Dari Saving ke Consumption; Upaya Pemerintah Tiongkok dalam Merespon Penurunan GDP (Gross Domestic Product) di Tahun 2008 Aldy Firmansyah Adam Aldy Firmansyah Adam Asal Penulis ABSTRAK - Dari Saving ke Consumption; Upaya Pemerintah Tiongkok dalam Merespon

  

Dari Saving ke Consumption; Upaya Pemerintah Tiongkok dalam

Merespon Penurunan GDP (Gross Domestic Product) di Tahun 2008

Aldy Firmansyah Adam

Aldy Firmansyah Adam

  

Asal Penulis

ABSTRAK

  

Perekonomian pada era kontemporer memiliki peran yang penting bagi kesejahteraan

masyarakat di dalam suatu negara. Globalisasi yang terjadi saat ini, menyebabkan aspek

ekonomi ke arah yang lebih kompleks, dimana terdapat suatu hubungan yang saling

tergantung antara satu sama lain. Stabilitas ekonomi global menjadi acuan penting bagi

negara untuk dapat menjaga pertumbuhan ekonomi domestiknya. Krisis global yang sudah

beberapa kali terjadi telah menyebabkan dampak negatif terhadap negara atau

masyarakat secara langsung, adalah seperti krisis global di tahun 2008. Krisis tersebut

berasal dari permasalahan ekonomi domestik Amerika Serikat, namun dalam

kenyataannya krisis tersebut mampu memberikan dampak negatif terhadap global

termasuk Tiongkok. Secara umum, Tiongkok dari awal masa perkembangan ekonominya

yang pesat adalah berorientasi pada ekonomi luar, yakni ekspor dan investasi. Krisis global

2008 berhasil menurunkan GDP (Gross Domestic Product) secara signfikan. Penurunan

GDP disebabkan oleh beberapa faktor permintaan pasar tujuan ekspor Tiongkok yang

menurun, kemudian penurunan permintaan tersebut menyebabkan penumpukan barang

produksi Tiongkok yang tidak terjual, sehingga menyebabkan dampak yang bersifat

domino. Hu Jintao selaku Presiden Tiongkok pada masa tersebut menerapkan sebuah

kebijakan yang berorientasi pada penekanan konsumsi domestik. Namun

permasalahannya adalah masyarakat Tiongkok belum memiliki kultur yang konsumtif.

Dalam penerapannya, Hu Jintao berusaha memanfaatkan potensi daya beli masyarakat

kelas menengah Tiongkok yang tergolong besar melalui penciptaan mid-market dan

stimulus finansial. Disisi lain, Hu Jintao juga melakukan social marketing melalui varian

media. Hal tersebut diharapkan mampu mengubah kultur masyarakat Tiongkok untuk

menjadi konsumtif dan dapat menunjang peningkatan GDP dan memberikan dampak

ekonomi yang stabil dan berkelanjutan.

  Kata-kata kunci: Krisis, konsumsi, masyarakat menengah, middle market, media

The economy in the contemporary era has an important role for the welfare of society within

a country. The current globalization, causing the economic aspect to a more complex, where

an interdependent relationship between each other. Global economic stability becomes an

important reference for the country to be able to maintain its domestic economic growth.

The global crisis, which has been a number of times has had a negative impact on the state

or society directly, is like the global crisis in 2008. The crisis comes from the domestic

economic problems of the United States, but in this case can have a negative impact on the

global including China. In general, China from the beginning of its economical economic

development is in the external economy, export and investment. The global crisis of 2008

succeeded in lowering GDP (Gross Domestic Product) significantly. The decline in GDP

caused by some of the declining demand in Chinese export destinations, the decline in

demand causes the accumulation of unsold Chinese goods, thus causing a domino effect. Hu

  

domestic consumption. But the question is that Chinese society does not have a consumptive

culture. In its application, Hu Jintao seeks to capitalize on the potential purchasing power of

a large Chinese-owned society through the mid market and financial revitalization. On the

other hand, Hu Jintao is also doing social marketing through variant media. It is expected

to change the culture of Chinese society into a consumptive and able to support the increase

in GDP and provide a stable and sustainable economic impact.

  Keywords: Crisis, consumption, general, medium market, media

  Krisis global 2008 berdampak signifikan bagi pertumbuhan ekonomi global khususnya di Amerika Serikat. Penyebab krisis tersebut berasal dari penurunan kekuatan ekonomi domestik Amerika Serikat, kemudian menciptakan dampak yang negatif hingga ke Tiongkok.

  

Pada tahun 2008 mengalami penurunan GDP yang berlanjut hingga titik terendah di

pertengahan tahun 2009. Tiongkok pada kuartal pertama tahun 2006 mencapai angka 11,4

persen dari pertumbuhan GDP, pada kuartal kedua mencapai angka 11,5 persen, kuartal ketiga

10,6 , dan kuartal keempat mencapai penurunan pada 10,4.

  

Upaya Tiongkok dalam Meningkatkan GDP (Gross Domestic Product)

  Kebijakan Tiongkok berangkat dari pernyataan Hu Jintao dalam mengupayakan konsumsi domestiknya (Jintao, 2008). Namun pada awal pengimplementasiannya, Tiongkok perlu mengubah kultur masyarakatnya yang cenderung menabung. Dalam menciptakan kultur yang konsumtif di masyarakat, kebijakan Tiongkok berangkat dari upaya dalam menciptakan mid-

  

market. Dalam upaya tersebut, Hu Jintao menekankan peran perusahaan untuk fokus pada

  inovasi teknologi dan peningkatan industri sehingga dapat mendorong daya saing mereka untuk pembangunan ekonomi jangka panjang (Jintao, 2008). Secara umum, Tiongkok dikenal sebagai negara yang dinamis dalam menciptakan regulasi, tidak jarang intervensi pemerintah sering ditemui dalam kegiatan industri dalam melakukan pemasaran (Luo, 2004). Dalam menekankan inovasi di sektor industri, Tiongkok memberikan berbagai subsidi seperti

  

utilities terhadap industri-industri (Darmosumarto, 2016). Pemerintah Tiongkok

  menerapkan kebijakan pemotongan pajak, yakni mengurangi pajak beban perusahaan dan individu sebesar 550 miliar yuan (Jintao, 2008). Kebijakan ini bertujuan agar industri domestik Tiongkok mampu memproduksi barang dengan biaya rendah, sebagaimana tercakup dalam strategi para industri domestik menciptakan mid-market itu sendiri.

  Setelah upaya tersebut, disisi lain pemerintah Tiongkok berupaya untuk mengintervensi industri-industri domestik untuk menciptakan mid-markets itu sendiri yang terangkum dalam sebuah regulasi Seven principles for MNCs that operate in China (Jullens, 2013) ;

  

Pertama, develop distinctive mid-market product, Industri mengembangkan sebuah produk

  khas yang diperuntukkan oleh masyarakat Tiongkok, sebagai pihak oposisi untuk memperkenalkan produk dunia namun pada versi murah. Kedua, Design a mid-market

  

business model, menciptakan produk untuk mendukung berkembangnya mid-market

  mengenai produk, branding, pemasaran, distribusi, dan operasional. Ketiga, migrate across

  

the value chain, mempersempit gap batasan biaya yang mampu dikeluarkan oleh kelas

  masyarakat atas dan kelas masyarakat menengah. Keempat, Seek out selective partnerships

  

with local suppliers, dengan memiliki sumber bahan produksi lokal yang murah akan

  menciptakan produk yang terjangkau. Kelima, Craft a multibrand strategy, agar produk dapat masuk ke entry-point pasar, kemudian dapat diterima oleh mid-market. Keenam,

  

Establish a strong local organization, sebagai pemberi pengaruh kepada keputusan pasar dan

  industri mengenai fenomena-fenomena pasar yang fluktuatif. Ketujuh, Adopt a global mind-

  

set, namun tetap memegang teguh keunikan karakteristik pasar domestik Tiongkok. Tujuh

  aspek tersebut diharapkan mampu menciptakan mid-market yang dipercaya dapat menunjang sektor pasar domestik seiring dengan terbentuknya perspektif masyarakat Tiongkok yang mulai tergerak untuk konsumsi.

  Kebijakan pemerintah Tiongkok dalam menciptakan mid-market, diikuti dengan mulai berkembang dan mulai hidup kembalinya industri-industri yang sebelumnya mengalami kebangkrutan pasca krisis global 2008. Kebangkitan industri-industri tersebut ditandai dengan melonjaknya kebutuhan listrik Tiongkok di tahun 2009. Kebutuhan listrik Tiongkok pada tahun 2009 naik mencapai selisih angka 2.189 (100 Million/kwh). Kenaikan kebutuhan listrik yang tajam di Tiongkok sebagian besar adalah sebagai kebutuhan industri-industri yang mulai beroperasi dalam kegiatan produksi barang. Tiongkok mengalami peningkatan yang signifikan ditandai dengan adanya garis tren yang berjalan keatas dari tiga tahun terakhir. Pada tahun 2007, Tiongkok hanya menghabiskan listrik sebesar 32815,33 saja, kemudian dilanjutkan dengan tahun 2008 yang mencapai angka 34957,61, dan di tahun 2009 mencapai 37146,51. Jumlah angka kebutuhan listrik di Tiongkok hingga melebihi garis tren yang ada. Sehingga peningkatan kebutuhan tersebut mencapai angka lebih dari peningkatan yang seharusnya.

  Dalam penawaran stimulus finansial, Pemerintah Tiongkok di tahun 2009 menciptakan anggaran pusat untuk berbagai layanan publik seperti layanan pendidikan, medis dan kesehatan, jaminan sosial, ketenagakerjaan, proyek perumahan dan layanan budaya yang terjangkau dan sektor lain yang terkait langsung dengan kehidupan masyarakat, kemudian upaya tersebut menyebabkan adanya peningkatan anggaran belanja Tiongkok sebesar 29,4% dari tahun sebelumnya (Jintao, 2013). Dalam laporan pekerjaan pemerintah yang disahkan pada sesi tahunan NPC pada bulan Maret 2009, pemerintah mengatur 130 miliar yuan untuk rehabilitasi di daerah yang dilanda gempa, 716,1 miliar yuan untuk pembangunan pedesaan, 293 miliar yuan untuk jaminan sosial, 850 miliar yuan untuk reformasi Layanan medis dan perawatan kesehatan selama tiga tahun (Jintao, 2008) Kebijakan tersebut telah meningkatkan pengeluaran pemerintah Tiongkok dari tahun sebelumnya. Nilai pengeluaran pemerintah (% dari GDP), hanya berkisar pada 16% hingga tahun 2008. Namun, kebijakan yang diterapkan Hu Jintao menyebabkan peningkatan, pada pengeluaran yang mencapai kisaran angka 17%. Schuller dan Zhou melihat bahwa tujuan dari stimulus yang dikeluarkan oleh pemerintah Tiongkok ini dikatakan sebagai tujuan stimulus yang sangat ambisius dalam kepentingan yang mendesak (Margot & Zhou, 2009). Dalam menciptakan kebijakan tersebut, Tiongkok melihat mengenai masalah kehidupan sehari-hari masyarakatnya, mulai dari pekerjaan lulusan perguruan tinggi dan pekerja migran, kesejahteraan orang-orang cacat hingga proyek perumahan bagi keluarga miskin dan orang- orang yang dilanda gempa (Jintao, 2008). Instruksi selanjutnya dibuat Hu Jintao untuk membangun program jaminan sosial bagi penduduk perkotaan dan pedesaan, untuk memperbaiki layanan pendidikan kejuruan di daerah pedesaan, untuk mempercepat reformasi sistem medis, untuk membangun layanan perawatan kesehatan dasar dan memperbaiki hubungan masyarakat dan fasilitas medis (Jintao, 2008). Pemberian jaminan sosial ini diharapkan mampu mendorong konsumsi rumah tangga dalam artian masyarakat akan membelanjakan penghasilan mereka yang sebelumnya seharusnya digunakan sebagai dana kesehatan atau dana pensiun (Sharma, 2012). Artinya, Tiongkok mengharapkan sebuah peralihan keputusan masyarakat yang saving untuk keperluan mendadak di masa depan dapat ter-cover oleh stimulus yang dikeluarkan pemerintah. Sehingga, kekhawatiran masyarakat akan kebutuhan mendadak di masa mendatang dapat teralihkan untuk digunakan dalam kegiatan konsumsi. Kebijakan ini menuai hasil positif bagi Tiongkok yang dibuktikan pada kuartal terakhir di tahun 2009, terdapat 230 juta orang perkotaan telah mengikuti program asuransi pensiun dasar, 83 persen lulusan perguruan tinggi telah menemukan pekerjaan dan lebih dari 1,2 miliar orang Tiongkok menikmati asuransi kesehatan dasar (Jullens, 2013). Kebijakan tersebut berhasil mengurangi tendensi masyarakat mengenai

  

saving karena persepsi unexpected needs di masa depan dengan terbukti banyaknya

  masyarakat Tiongkok mengikuti program-program asuransi yang disediakan oleh pemerintah. Harapannya, kebijakan ini dapat menciptakan daya beli (Purchasing Power) dalam masyarakatnya yang kemudian dari daya beli tersebut dapat dialokasikan sebagai ke konsumsi.

  

SIMPULAN

  Berdasar pada data dan penjelasan yang disebutkan pada bab sebelumnya, Tiongkok pada tahun 2008 terbukti telah terindikasi dampak dari krisis global yang disebabkan subprime mortgage di Amerika Serikat. Kepercayaan diri Tiongkok selama beberapa dekade sebelumnya yang menggantungkan ekonomi kepada ekspor dan investasi terpatahkan dengan adanya perlambatan ekonomi pasca terjadinya krisis 2008. Nampaknya, keberhasilan rezim revolusioner dari pemimpin Tiongkok sebelumnya yang menitik beratkan pada kemampuan masyarakat untuk melakukan ekspor gencar-gencaran dan membidik sektor investasi asing untuk masuk perlu diperbaharui.

  Hal ini dibuktikan dengan pernyataan Hu Jintao selaku Presiden Tiongkok pada fase krisis ekonomi 2008 terjadi, melalui rapat kenegaraan Beliau mengatakan bahwa dalam menanggapi krisis 2008 Tiongkok akan berupaya untuk meningkatkan sektor konsumsi domestiknya. Pembaharuan strategi ekonomi Tiongkok model seperti ini dianggap perlu untuk menyelesaikan indikasi dan menghindari kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi mengenai krisis global. Namun, Tiongkok mengalami kendala dalam mengupayakannya. Hambatan tersebut bernilai kontradiktif, pasalnya konsumsi domestik akan tercipta melalui karakter masyarakat yang memiliki kultur konsumtif. Pada kenyataannya, meski Tiongkok memiliki populasi masyarakat kelas menengah yang tinggi di dekade tersebut, dan jumlahnya diprediksi akan terus meledak, masyarakat Tiongkok kenyataanya tidak memiliki model kultur yang seperti itu, melainkan saving sabagai acuan dasar dari kulturnya dalam melakukan kegiatan ekonomi. Dalam fase tersebut, Tiongkok melihat krisis 2008 menyebabkan demand yang menurun drastis terhadap industrinya, hal ini menyebabkan kelebihan produksi terhadap industri-industri lokal yang menumpuk dan menyebabkan ketidakstabilan finansial dari industri, kemudian berujung pada kebangkrutan, PHK yang menjadi salah-satu faktor meningginya angka pengangguran di Tiongkok pasca krisis 2008. Disisi lain, Tiongkok juga dikenal sebagai negara dengan memiliki gap pendapatan yang jauh antara daerah urban dan rural. Pada fase tersebut, Tiongkok berada pada situasi dimana angka industri pailit yang tinggi, angka pengangguran tinggi, angka pendapatan yang tidak merata di masyarakat dan kultur masyarakat yang cenderung saving, menyebabkan perputaran uang domestik tidak lancar yang dianggap dapat menyebabkan kemacetan ekonomi domestiknya. Sehingga dalam konteks ini, Hu Jintao melihat dalam merespon krisis 2008 diperlukan strategi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan semua problematika tersebut sekaligus. Dalam penerapannya, Tiongkok menciptakan kultur konsumtif melalui media yang didorong oleh pemanfaatan daya beli masyarakat kelas menengah. Dalam konteks ini, pemanfaatan daya beli masyarakat kelas menengahnya melalui penciptaan mid-market yang dibuktikan dengan adanya regulasi pemerintah yan g menetapkan ‘tujuh prinsip perusahaan yang beroperasi di Tiongkok’, pemberian subsidi seperti pemotongan pajak dan utilities yang berhasil menciptakan produk mid-market yakni produk yang sekelas dengan produk kualitas bagus namun dengan biaya rendah. Disisi penciptaan mid-market malalui masyarakatnya, pemerintah mendorong untuk adanya urbanisasi untuk menghidupkan daya beli masyarakat yang lebih kuat dan merata. Disisi lain, hal tersebut diperuntukkan guna menggiring masyarakat rural ke dalam golongan masyarakat urban yang cenderung berkarakter konsumtif. Pemerintah Tiongkok juga menawarkan stimulus finansial seperti jaminan sosial (contoh: asuransi) dimana kebijakan ini akan berengaruh untuk mengalokasikan pendapatan masyarakat yang semula ditabung untuk kerluan mendadak (sakit atau kecelakaan) teratasai oleh adanya jaminan sosial dari pemerintah kemudian menjadi pendapatan yang “tidak terpakai”.

  Kebijakan pemerintah Tiongkok selanjutnya adalah dengan menerapkan strategi social marketing melalui media pemerintah dan media alternatif. Media di Tiongkok adalah sebuah alat yang dikontrol penuh oleh pemerintahnya, spesifiknya adalah Central Department memanfaatkan media pemerintah seperti Xinhua, China Daily, CCTV (China Central Television) dalam menyebarkan social marketing guna mencapai konsensus di masyarakat. Dalam pengupayaan tersebut, Tiongkok mempublikasikan segala propaganda yang dibuat oleh pemerintah melalui Central Department Propaganda. Dalam konteks ini, departemen tersebut bertugas dalam mengkontrol, mengawasi dan membuat agenda-agenda propaganda melalui media di Tiongkok. Mengenai media alternatif, Tiongkok percaya masyarakatnya lebih potensial dalam dibentuk perilaku konsumtif melalui media ini. Tiongkok membuat regulasi-regulasi yang memudahkan ekspansi pemasaran bagi industri domestik berbasis internet seperti Taobao dan Alibaba. Regulasi tersebut termuat dalam FYP (Five Year Plan) Tiongkok kesebelas mengenai kebijakan untuk mempercepat kecepatan daya internet. Untuk menunjangnya, Tiongkok juga menciptakan kredit-kredit barang dengan suku bunga rendah guna mendorong masyarakatnya untuk tertarik dalam kegiatan konsumsi. Di tahun 2009, kebijakan tersebut dinilai berhasil dengan adanya peningkatan-peningkatan di berbagai sektor konsumsinya. Banyak masyarakat yang mengikuti alur yang sengaja dibuat oleh pemerintah Tiongkok. Terbukti, banyak masyarakat yang mengikuti program jaminan sosial, masyarakat berbondong-bondong untuk urbanisasi, gap pendapatan antara daerah urban dan rural mengecil dan sektor konsumsi di angka yang meningkat di daerah urban maupun rural. Selanjutnya, industri-industri yang semulanya pailit, kini kembali aktif dan mampu bersaing kembali di pasar dunia. Keberhasilan ini menitikberatkan pada topik utama yakni perubahan kultur saving di masyarakat menjadi konsumtif yang ditandai dengan meningkatnya angka konsumsi dan GDP Tiongkok di tahun 2009. Dalam penelitian ini, dapt dilihat bahwa media sosial dan pemasaran sosial mampu persuasi masyarakat Tiongkok untuk bersifat lebih konsumtif. Kembalinya kepercayaan diri industri Tiongkok yang seiring dengan kepercayaan masyarakat untuk cenderung mengkonsumsi telah menciptakan perluasan ekonomi Tiongkok yang tidak hanya berbasis ekspor saja. Momentum ini dijadikan Tiongkok sebagai acuan bagi ekonominya di tahun mendatang untuk mengantisipasi akan terjadinya pengaruh-pengaruh global yang berpotensi untuk mengganggu stabilitas ekonominya. Dalam tahun-tahun setelah fenomena krisis 2008, Tiongkok terbukti memiliki daya saing yang lebih kuat di pasar global dengan ditandai lebih banyaknya barang-barang komoditas yang di ekspor oleh Tiongkok ke negara-negara Eropa, Asia, Afrika dan Amerika. Selain itu, stabilitas ekonomi Tiongkok dinilai memiliki kekuatan yang lebih stabil. Berkaca pada perlambatan ekonomi dunia di tahun 2015, tidak menjadikan sebuah hambatan tersendiri bagi Tiongkok untuk menjaga stabilitas ekonominya. Hal ini adalah sebagai efek positif dari pemaksimalan ekonomi domestik yang berupa konsumsi. Ketika perlambatan ekonomi terjadi dan menyebabkan penurunan permintaan terhadap barang produksi Tiongkok, namun industri di Tiongkok tidak mengalami dilema berlebih seperti pada tahun 2008, melainkan Tiongkok masih memiliki pasar domestik yang kuat guna menyalurkan barang-barang produksinya. Hal tersebut akan menghindari industri Tiongkok dari kemacetan siklus produksi yang diyakini memiliki efek domino bagi ekonomi domestik. Keberhasilan Hu Jintao dalam memimpin Tiongkok untuk menghindari sekaligus memanfaatkan peluang yang ada pada krisis 2008 akan terus dinilai positif bagi presiden selanjutnya yakni Xi Jinping. Nilai-nilai positif tersebut masih diadopsi oleh Tiongkok dengan adanya banyak kebijakan-kebijakan yang mirip dan masih diterapkan seperti kontrol media, pendorongan urbanisasi dan sebagainya. Urbanisasi dapat dikatakan sebagai kebijakan yang efektif untuk diterapkan di Tiongkok, karena masyarakat Tiongkok pada umumnya memiliki sebuah ikatan paham budaya konfusius. Diluar dari penelitian ini, konfusius adalah sebagai paham budaya yang melekat di masyarakat kawasan asia timur yang membawa instrumen kekeluargaan. Kemudian konfusius diyakini mampu mendorong masyarakat yang urbanisasi akan cenderung kembali ke daerah rural untuk membangun perekonomian oedesaan berdasar pada instrumen kekluargaan yang berujung pada terciptanya pendapatan masyarakat yang merata. Hal-hal seperti ini adalah sebuah ketelitian Tiongkok dalam menciptakan sebuah kebijakan yang efektif. Sehingga dari penelitian ini, adalah sebuah bahasan mengenai titik

awal Tiongkok untuk menciptakan kebijakan-kebijakan baru yang cenderung mengantisipasi terhadap keadaan ekonomi global yang fluktuatif. Namun, strategi-strategi yang dilakukan Tiongkok pada tahun 2008 seharusnya dapat digunakan sebagai acuan bagi semua kalangan negara-negara seperti negara dunia ketiga. Dikatakan dapat digunakan sebagai acuan karena strategi tersebut dianggap dinamis.

  

Daftar Pustaka

Buku

  Abimanyu, Anggito. 2005. “Kebijakan Fiskal dan Efektivitas Stimulus Fiskal di Indonesia:

Aplikasi Model Makro- Modfi dan CGE Indorani”. Jakarta. Jurnal Ekonomi

  Indonesia (Indonesian Economic Journal). No. 1. Ajzen. 2005. Attitudes, Personality and behavior. (2nd ed). Berkshire: Open University Press.

  Albaran, B Alan. 1996. Media Economic: Understanding Markets industries and conscepts.

  USA, Iowa State University Press. Blanchard, O., and R. Perotti. 2002. An Empirical Characterization of Dynamic Effects of

  Changes in Government Spending and Taxes on Output. Quaterly Journal of

  Economics, Vol. 117. hlm 168 Brady, A. 2002.

  ‘Regimenting the Public Mind: The Modernisation of Propaganda in the PRC’, International Journal, 57(4). hlm 563-578.

  Brandt, L. and E. Thun. 2010.

  ‘The Fight for the Middle: Upgrading, Competition, and Industrial Development in China’. World Development. hlm 38.

  Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana Camilla T. N. Sørensen, 2015. "The Significance of Xi Jinping’s “Chinese Dream” for Chinese

  Foreig n Policy: From “Tao Guang Yang Hui” to “Fen Fa You Wei” ", JCIR: Vol. 3, No.

  1. hlm 56. Kiggundu, M.N. 2008.

  “A Profile of China‘s Outward Foreign Direct Investment to Africa‘, Proceedings of the American Society of Business and Behavioral Sciences , Vol.15, No.

  1. hlm. 131 Keynes, J M. 1936. The General Theory of Employment, Interest and Money. Brace and

  World: Harcout Pete, Engardio. 2008. Chindia. Jakarta: Gramedia Pustaka. hlm 336 Peter, J. Paul & Jerry C. Olson. 1999. Consumer Behavior Perilaku Konsumen dan Strategi

  Pemasaran. Edisi 4, Jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga

  Potter, B Robert. 2008. Geographies of Development: An Introduction to Development Studies. New York: Prentice Hall. Print. Sharma, Shalendra D. 2012.

  “Chinese Economy in the Aftermath of Global Financial Crisis : Challenge to Macro Economic Rebalancing

  ,” International Journal of China Study 3, no.2. Schiffman dan Kanuk. 2000. Consumer Behavior. fifth edition. Prentice-Hall Inc. New Jersey Schuller, Margot & Yun Schuler Zhou, 2009.

  “China’s Economic Policy in the Time of Financial Crisis: Which Way Out?,” Journal of Current Chinese Affairs, 38, no. 2.

  German: GIGA Institute. Touraine, Alain. 2007. Penser autrement. Paris: Fayard.

  Internet

  Alibaba. 2009. Terms of Rights. PDF (online) tersedia dalam (Diakses pada 13 Juni 2017)

  CCTV. 2009. Dapat diakses http://www.cctv.com/english/special/economicmeeting/homepage/index.shtml Center For Strategic & International Studies (CSIS) dan Peterson Institute, n.d. "Chinese

  Foreign Policy : What Are the Main Tenets Of China's Foreign Policy ?",

  http://csis.org/files/publication/091019_china-bal_26-Chinese-Foreign-Policy.pdf (diakses pada tanggal 1 mei 2017). China Daily. 2009. Dapat diak

  12/09/content_7283558.htm CNNIC. 2009. Statistic survey report on the Internet development in China (24th). (Online) tersedia (Diakses pada 13

  Juni 2017) Huawei Annual Report. 2008. Enriching Life Through Communication. (Online) tersedia di http://www.huawei.com/ucmf/groups/public/documents/annual_report/092581.pd f (diakses pada 10 Juli 2017)

  Iresearch. 2009. Survey report on Chinese netizens' online shopping influence factors and

  decision-making model 2009 (2009 年中国网民

  购 买决策影响力研究报告). (Online) tersedia di (Diakses pada 13 Juni 2017)

  Jintao, Hu. 2008. China pulls through int'l financial crisis with determination. News (online) tersedia dala (diakses pada 1 mei 2017) Jullens, John, 2013.

  “China’s Mid-Market: Where ‘Good Enough’ Just Isn’t,” strategy &

  business. (online) tersedia di -Growth-approach- in-China.pdf (diakses pada 3 Mei 2017)

  Kedutaan Tiongkok untuk Amerika Serikat. 2009. Dapat diak Taobao. 2009. Management system of online shops on Taobao. (online) tersedia di (Diakses pada 13 Juni

  2017) The Economist. 2010. China exports savings, but why? . (online) tersedia dalam

  (diakses pada 11 Juni 2017) The Statistics Portal. Number of online shoppers in China from 2006 to 2016 (in millions). (online) tersediadiakses pada 10 Juni 2017)

  UNCTAD. United Nations Conference on Trade and Development. 2008. UNC- TADstat.

  (online) tersedia di http//www.unctad.org/en/pages/ statistics.aspx. (diakses pada 10 Juli 2017)

  Qinglian, He. 2004. Media Control in China. China Rights Forum. NO.4. PDF (online) tersedia Mei 2017) World Bank. 2009. General government final consumption expenditure (% of GDP). (online) tersedia dala (diakses pada 11 Juni 2017)

  Xinhua. 2009. Dapat diak 12/07/content_12604988.htm

  Sumber Wawancara:

  Wawancara dengan Agustin E (Minister Counsellor Kedutaan Besar Republik Indonesia di Beijing), Tanggal 7 Desember 2016 di KBRI Beijing.

  Wawancara oleh Santo Darmosumarto (Minister Counsellor Kedutaan Besar Republik Indonesia) pada tanggal 8 Desember 2016 di KBRI Beijing.