Peran Perawat dalam Upaya Pencegahan Komplikasi Anestesi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.
Peran Perawat Dalam Upaya Pencegahan Komplikasi Anestesi
di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan
Ida Basa Nainggolan
Skripsi
Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara
(2)
Judul : Peran Perawat dalam Upaya Pencegahan Komplikasi Anestesi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan
Peneliti : Ida Basa Nainggolan Program : S1 Keperawatan Tahun akademik : 2008/2009
ABSTRAK
Pasien yang mengalami operasi dengan anestesi, jam pertama setelah anestesi merupakan saat yang paling berbahaya. Kondisi berbahaya ini disebabkan oleh jalan nafas yang masih tertekan walaupun pasien tampak sudah bangun. Depresi pernapasan dapat mengakibatkan kematian karena hipoksia. Dalam hal ini, hipoksia merupakan salah satu komplikasi anestesi pasca operasi. Komplikasi anestesi jarang terjadi, namun dapat mengancam jiwa. Pasien yang baru saja menjalani tindakan operasi harus dirawat sementara di PACU (Post Anesthesia Care Unit) atau ruang pemulihan (recovery room) untuk perawatan post anestesi sampai kondisi pasien stabil. Peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi terdiri dari pemantauan/pengkajian dan perawatan/penatalaksanaan pasien pasca anestesi. Pemantauan yang optimal dan penanganan pasien pasca anestesi yang dilakukan dengan baik dapat mencegah terjadinya komplikasi pasca anestesi pada pasien.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengidentifikasi gambaran peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi postoperasi dan dilaksanakan mulai dari tanggal 28 Juli sampai dengan 12 Agustus di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan. Melalui teknik total sampling diperoleh sampel sebanyak 45 orang dengan kriteria perawat pelaksana yang terlibat dalam penanganan pasien pasca anestesi. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan disajikan dalam analisa statistik deskriptif.
Hasil analisa data menunjukkan peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi adalah baik 51.1%, peran pemantauan cukup terlaksana sebanyak 46.7%, dan peran penatalaksanaan oleh tiga perlima dari perawat adalah baik (60%). RSUP H Adam Malik perlu untuk mensosialisasikan kepada perawat pelaksana yang terlibat dalam penanganan pasien pasca anestesi agar perawat dapat melaksanakan peran tersebut dengan baik mengingat pasien yang mengalami operasi dengan anestesi memerlukan pemantauan yang ketat serta penatalaksanaan yang tepat.
(3)
UCAPAN TERIMAKASIH
Segala puji syukur, hormat, dan pujian penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menyertai penulis untuk menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Peran Perawat dalam Upaya Pencegahan Komplikasi Anestesi di RSUP Haji Adam Malik Medan”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan dan mencapai gelar sarjana di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan.
Penyusunan skripsi ini telah banyak mendapat bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Dedi Ardinata, M.Kes sebagai Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan Erniyati, S.Kp, MNS sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
2. Ikhsanuddin Ahmad Harahap, S.Kp, MNS selaku dosen pembimbing yang penuh keikhlasan dan kesabaran telah memberikan arahan, bimbingan, dan ilmu yang bermanfaat dalam penyusunan skripsi ini.
3. Ibu Sri Eka Wahyuni S.Kep, Ns dan Ibu Farida L Siregar S.Kep, Ns selaku dosen penasehat akademik saya, Ibu Salbiah S.Kp, M.Kep selaku penguji II, dan kepada Ibu Liberta Lumbantoruan S.Kp M.Kep selaku dosen penguji III yang dengan teliti memberikan masukan yang berharga dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Seluruh Dosen Pengajar S1 Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang telah banyak mendidik penulis selama proses perkuliahan dan staf nonakademik yang membantu memfasilitasi secara administratif.
5. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang telah memberikan izin penelitian.
6. Emilia Khairani Madjid, S.Kep, Ns sebagai Kapokja ICU yang telah membantu saya menyebarkan kuisioner kepada responden penelitian ini.
7. Dudut Tanjung S.Kp, MKep, Pak Muktar Rahmad Sedayu Harahap, S.St dan dr. Soedjatnarto, Sp. An yang telah berperan dalam uji validitas skripsi ini.
(4)
Terimakasih atas saran dan perbaikan yang sangat berguna dalam penyempurnaan kuisioner penelitian ini.
8. Para responden yang telah bersedia berpartisipasi dan meluangkan waktu untuk pengisian kuesioner.
9. Rekan-rekan mahasiswa S1 Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara, khususnya stambuk 20005 yang telah memberikan semangat dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.
10. Teristimewa kepada kedua orangtuaku Bapak P Nainggolan, Ibu P Sembiring, terimakasih buat doa dan dukungan yang sangat berarti bagi saya. Kepada kakakku (kak Ani dan kak Shanty), bang Karto, adikku tersayang (Moan, dan Ria), terimakasih buat cinta, doa, dorongan yang telah diberikan. Dan juga kepada jagoanku (bang Agus) yang selalu berdoa dan menyayangiku, memberi dukungan dan semangat. Juga kepada teman-temanku (Dina, Polma, mb Yuli, Siska, Friska, Evi, dll) terimakasih buat dukungan dan doanya. 11. Semua pihak yang dalam kesempatan ini tidak dapat disebutkan namanya satu
persatu yang telah banyak membantu peneliti baik dalam penyelesaian skripsi ini maupun dalam dalam menyelesaikan perkuliahan di PSIK FK USU
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa dan penuh kasih melimpahkan berkat dan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat nantinya untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
Medan, September 2009
(5)
DAFTAR ISI
Lembar pengesahan ... i
Abstrak …... ii
Ucapan terimakasih ... iii
Daftar isi ... iv
Daftar tabel ... vi
Daftar skema ... vii
BAB 1. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ... 1
2. Pertanyaan Penelitian ... 3
3. Tujuan Penelitian ... 3
4. Manfaat Penelitian ... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Anestesi ... 5
1.1 Defenisi ... 5
1.2 Sejarah ... 5
1.3 Klasifikasi ... 6
1.4 Obat-obat anestesi dan metode pemberiannya ... 10
1.5 Pemilihan teknik anestesi pada pasien ... 15
1.6 Komplikasi anestesi dan bahaya anestesi ... 15
2. Keperawatan ... 21
2.1 Pengertian ... 21
2.2 Peran dan fungsi keperawatan ... 22
2.3 Peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi .. 26
BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 1. Kerangka konsep ... 38
2. Defenisi operasional ... 39
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 1. Desain penelitian ... 40
2. Populasi dan sampel ... 40
2.1 Populasi ... 40
2.2 Sampel ... 40
3. Lokasi dan waktu penelitian ... 41
4. Pertimbangan etik ... 41
5. Instrumen penelitian ... 42
6. Validitas dan reliabilitas instrumen ... 43
7. Pengumpulan data ... 44
8. Analisa data ... 45
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil penelitian ... 47
(6)
BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
1. Kesimpulan ... 58 2. Rekomendasi ... 58 DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1. Lembar persetujuan menjadi responden 2. Kuesioner penelitian
3. Surat izin penelitian dari Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan 4. Tabel hasil penelitian
(7)
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kriteria penentuan tingkat pemulihan pasien pasca anestesi
Tabel2 . Distribusi frekuensi karakteristik perawat pelaksana yang menjadi responden di RSUP H Adam Malik Medan
Tabel 3. Kategori pelaksanaan peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi di RSUP H Adam Malik Medan
Tabel 4. Kategori pelaksanaan peran pemantauan perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi di RSUP H Adam Malik Medan Tabel 5 Gambaran peran pemantauan oleh perawat dalam upaya
pencegahan komplikasi anestesi di RSUP H Adam Malik Medan Tabel 6 Kategori pelaksanaan peran penatalaksanaan pasien pasca anestesi
oleh perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi di RSUP H Adam Malik Medan
Tabel 7 Peran penatalaksanaan/perawatan pasien pasca anestesi oleh perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi di RSUP H Adam Malik Medan
(8)
DAFTAR SKEMA
(9)
Judul : Peran Perawat dalam Upaya Pencegahan Komplikasi Anestesi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan
Peneliti : Ida Basa Nainggolan Program : S1 Keperawatan Tahun akademik : 2008/2009
ABSTRAK
Pasien yang mengalami operasi dengan anestesi, jam pertama setelah anestesi merupakan saat yang paling berbahaya. Kondisi berbahaya ini disebabkan oleh jalan nafas yang masih tertekan walaupun pasien tampak sudah bangun. Depresi pernapasan dapat mengakibatkan kematian karena hipoksia. Dalam hal ini, hipoksia merupakan salah satu komplikasi anestesi pasca operasi. Komplikasi anestesi jarang terjadi, namun dapat mengancam jiwa. Pasien yang baru saja menjalani tindakan operasi harus dirawat sementara di PACU (Post Anesthesia Care Unit) atau ruang pemulihan (recovery room) untuk perawatan post anestesi sampai kondisi pasien stabil. Peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi terdiri dari pemantauan/pengkajian dan perawatan/penatalaksanaan pasien pasca anestesi. Pemantauan yang optimal dan penanganan pasien pasca anestesi yang dilakukan dengan baik dapat mencegah terjadinya komplikasi pasca anestesi pada pasien.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengidentifikasi gambaran peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi postoperasi dan dilaksanakan mulai dari tanggal 28 Juli sampai dengan 12 Agustus di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan. Melalui teknik total sampling diperoleh sampel sebanyak 45 orang dengan kriteria perawat pelaksana yang terlibat dalam penanganan pasien pasca anestesi. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan disajikan dalam analisa statistik deskriptif.
Hasil analisa data menunjukkan peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi adalah baik 51.1%, peran pemantauan cukup terlaksana sebanyak 46.7%, dan peran penatalaksanaan oleh tiga perlima dari perawat adalah baik (60%). RSUP H Adam Malik perlu untuk mensosialisasikan kepada perawat pelaksana yang terlibat dalam penanganan pasien pasca anestesi agar perawat dapat melaksanakan peran tersebut dengan baik mengingat pasien yang mengalami operasi dengan anestesi memerlukan pemantauan yang ketat serta penatalaksanaan yang tepat.
(10)
BAB 1 PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pasien yang mengalami operasi dengan anestesi, jam pertama setelah anestesi merupakan saat yang paling berbahaya. Kondisi berbahaya ini disebabkan oleh jalan nafas yang masih tertekan walaupun pasien tampak sudah bangun (Admin, 2007). Depresi pernapasan dapat mengakibatkan kematian karena hipoksia. Dalam hal ini, hipoksia merupakan salah satu komplikasi anestesi pasca operasi (Siduhutomo, 2008).
Secara garis besar ada empat hal yang harus diperhatikan pada pasien pasca anestesi, yaitu: masalah pernapasan, kardiovaskuler, keseimbangan cairan, sistem persarafan, perkemihan, dan gastrointestinal (Abrorshodiq, 2009). Harus diperhatikan bahwa komplikasi anestesi yang tidak segera ditangani akan berdampak kematian bagi pasien. Beberapa komplikasi lain yang mungkin terjadi antara lain: pernapasan tidak adekuat, pneumotorakis, atelektasis, hipotensi, gagal jantung, embolisme pulmonal, pemanjangan efek sedatif premedikasi, trombosis jantung, cedera kepala, sianosis, konfulsi, mual muntah, embolisme lemak dan keracunan barbiturat (Ellis & Campbell, 1986).
Komplikasi anestesi jarang terjadi, namun dapat mengancam jiwa (Abrorshodiq,2009). Laporan umum mencatat kejadian kematian pada waktu atau segera setelah operasi di beberapa rumah sakit di Amerika rata-rata 0,2% - 0,6% dari operasi dan kematian yang disebabkan oleh anestesi 0,03% - 0,1% dari seluruh anestesi yang diberikan (Admin, 2007). Campbell (1960) menambahkan
(11)
bahwa kematian yang terjadi pada waktu operasi atau segera setelah operasi dari laporan kejadian karena anestesi sangat bervariasi dari 5% sampai 50%.
Pasien yang baru saja menjalani tindakan operasi harus dirawat sementara di PACU (Post Anesthesia Care Unit) atau ruang pemulihan (recovery room) untuk perawatan post anestesi sampai kondisi pasien stabil. Apabila pasien tidak mengalami komplikasi operasi dan memenuhi syarat untuk dipindahkan ke ruang perawatan, dalam hal ini peran perawat di ruang pemulihan sangat dibutuhkan untuk memberikan asuhan keperawatan pada pasien pasca operasi dan yang mengalami operasi dengan anestesi (Torrance & Serginson, 1997).
Peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi terdiri dari pemantauan/pengkajian pasca anestesi dan perawatan/penatalaksanaan pasien pasca anestesi. Kegiatan pemantauan anestesi antara lain memantau untuk mendapatkan informasi supaya anestesi dapat bekerja dengan aman dan jika ada penyimpangan dapat segera dikembalikan ke keadaan yang normal (Latief, 2001). Penatalaksanaan pasien pasca anestesi yaitu memperhatikan hal-hal yang terkait dengan keadaan pasien pasca dilakukannya anestesi. Hal-hal yang perlu diperhatikan tersebut adalah keadaan pernapasan, kardiovaskuler, keseimbangan cairan, sistem persarafan, perkemihan, dan gastrointestinal. Pemantauan yang optimal dan penanganan pasien pasca anestesi yang dilakukan dengan baik dapat mencegah terjadinya komplikasi pasca anestesi pada pasien. Sehingga peran pemantauan dan penatalaksanaan pasien tersebut sangat penting dilakukan dengan baik oleh perawat (Iwantono, 2008).
Dari uraian tersebut disadari bahwa pentingnya peran seorang perawat dalam merawat pasien anestesi pasca operasi dan mengatasi komplikasi anestesi yang
(12)
kemungkinan terjadi. Perawat diharapkan mampu menjalankan peran penting tersebut sebaik-baiknya. Untuk itu peneliti tertarik untuk meneliti peran perawat dapat terlaksana sesuai dengan harapan.
2. Pertanyaan Penelitian
Bagaimanakah gambaran peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi pasien di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan
3. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui gambaran peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan
4. Manfaat Penelitian
4.1 Bagi praktek keperawatan
Hasil penelitian ini dapat menjadi data dasar dan bekal bagi perawat untuk mengaplikasikan peran perawat dalam praktek keperawatan, juga bermanfaat dalam memberikan gambaran bahwa pentingnya peranan Perawat dalam memberikan pelayanan yang dapat berdampak langsung bagi pasien pasca anestesi dan kualitas pelayanan yang diberikan.
4.2 Bagi pendidikan keperawatan
Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan serta dasar pengetahuan dalam pendidikan keperawatan sehingga peran perawat dalam penanganan pasien pasca anestesi dapat dibahas secara lebih mendalam.
(13)
4.3 Bagi penelitian selanjutnya
Sebagai data dasar dan informasi awal untuk penelitian yang sejenis bagi peneliti dalam melaksanakan penelitian selanjutnya.
(14)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anestesi 1.1 Defenisi
Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An-“tidak, tanpa” dan aesthesos, “persepsi, kemampuan untuk merasa”. Secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh (Wikipedia, 2008). Istilah Anestesia digunakan pertama kali oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun 1948 yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena anestesi adalah pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan. Sedangkan Analgesia adalah tindakan pemberian obat untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien (Latief, dkk, 2001).
1.2 Sejarah
Dahulu sebelum anestesi dikenal, operasi harus dijalankan secepat mungkin untuk meminimalkan rasa sakit (Ismunandar, 2006). Rekor dunia untuk amputasi kaki dicapai dalam waktu 15 detik yang dilakukan oleh Dominique Larrey, ketua tim dokter pribadi Napoleon. Tahun 1800, Davy seorang ahli kimia yang sangat terkenal telah mempublikasikan bahwa zat kimia terterntu seperti oksida nitrogen dapat mempunyai efek bius. Walaupun dokter yang pertama kali menggunakan anestesi dalam praktiknya adalah Crawford Long, di Amerika Serikat, karena ia tidak pernah mempublikasikan, maka dalam sejarah Amerika
(15)
Serikat menyebutkan bahwa penemu anestesi atau bius adalah William Morton karena Morton secara demonstratif telah menunjukkan cabut gigi tanpa rasa sakit di depan umum pada tahun 1846.
Pada tahun 1848, di Inggris tercatat JY Simpson dan John Snow yang banyak mengembangkan anestesi (Ellis, 1994). Eter waktu itu banyak digunakan untuk membantu persalinan di Inggris. Sambil berpraktik sebagai dokter, Simpson dan asistennya banyak bereksperimen dengan bahan–bahan kimia untuk mencari anestesi yang efektif. Kadang mereka bereksperimen dengan diri mereka sendiri.
Di dunia waktu itu, dan terutama di Inggris, banyak orang menganggap rasa sakit adalah bagian kodrat dari Tuhan, dan menggunakan anestesi berarti melawan kodrat itu. Namun, oposisi penggunaan anestesi berakhir setelah Ratu Victoria menggunakannya saat melahirkan Pangeran Leopold tahun 1853. Anestesi terhadap Ratu Victoria tersebut dilakukan oleh John Snow. Tindakan Ratu Victoria tersebut ternyata bisa mengubah pandangan umum tentang anestesi. Sehingga penggunaan anestesi pada prosedur bedah semakin lama semakin diperhitungkan (Ismunandar, 2006).
1.3 Klasifikasi
Obat bius memang diciptakan dalam berbagai sediaan dan cara kerja. Namun, secara umum obat bius atau istilah medisnya anestesi ini dibedakan menjadi tiga golongan yaitu anestesi lokal, regional, dan umum (Joomla, 2008).
1.3.1 Anestesi Lokal
Anestesi lokal adalah tindakan pemberian obat yang mampu menghambat konduksi saraf (terutama nyeri) secara reversibel pada bagian tubuh
(16)
yang spesifik (Biworo, 2008). Pada anestesi umum, rasa nyeri hilang bersamaan dengan hilangnya kesadaran penderita. Sedangkan pada anestesi lokal (sering juga diistilahkan dengan analgesia lokal), kesadaran penderita tetap utuh dan rasa nyeri yang hilang bersifat setempat (lokal) (Bachsinar, 1992).
Pembiusan atau anestesi lokal biasa dimanfaatkan untuk banyak hal. Misalnya, sulam bibir, sulam alis, dan liposuction, kegiatan sosial seperti sirkumsisi (sunatan), mencabut gigi berlubang, hingga merawat luka terbuka yang disertai tindakan penjahitan (Joomla, 2008).
Anestesi lokal bersifat ringan dan biasanya digunakan untuk tindakan yang hanya perlu waktu singkat. Oleh karena efek mati rasa yang didapat hanya mampu dipertahankan selama kurun waktu sekitar 30 menit seusai injeksi, bila lebih dari itu, maka akan diperlukan injeksi tambahan untuk melanjutkan tindakan tanpa rasa nyeri (Joomla, 2008).
1.3.2 Anestesi Regional
Anestesi regional biasanya dimanfaatkan untuk kasus bedah yang pasiennya perlu dalam kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi yang lebih besar, bila pasien tak sadar. Misalnya, pada persalinan Caesar, operasi usus buntu, operasi pada lengan dan tungkai. Caranya dengan menginjeksikan obat-obatan bius pada bagian utama pengantar register rasa nyeri ke otak yaitu saraf utama yang ada di dalam tulang belakang. Sehingga, obat anestesi mampu menghentikan impuls saraf di area itu.
Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sistem saraf tadi lalu terhambat dan tak dapat diregister sebagai sensasi nyeri di otak. Dan sifat anestesi atau efek mati rasa akan lebih luas dan lama dibanding anestesi lokal.
(17)
Pada kasus bedah, bisa membuat mati rasa dari perut ke bawah. Namun, oleh karena tidak mempengaruhi hingga ke susunan saraf pusat atau otak, maka pasien yang sudah di anestesi regional masih bisa sadar dan mampu berkomunikasi, walaupun tidak merasakan nyeri di daerah yang sedang dioperasi (Joomla, 2008).
1.3.3 Anestesi Umum
Anestesi umum (general anestesi) atau bius total disebut juga dengan nama narkose umum (NU). Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel (Miharja, 2009). Anestesi umum biasanya dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu pengerjaan lebih panjang, misalnya pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah rekonstruksi tulang, dan lain-lain (Joomla, 2008).
Cara kerja anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan kesadaran, dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot. Maka, selama penggunaan anestesi juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi jantung untuk meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama operasi dilakukan (Joomla, 2008).
Untuk menentukan prognosis (Dachlan. 1989) ASA (American Society of Anesthesiologists) membuat klasifikasi berdasarkan status fisik pasien pra anestesi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai berikut: ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi. ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut dengan lekositosis dan
(18)
febris. ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diaktibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis perforasi dengan septi semia, atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia miokardium. ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam kehiduannya. ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau tidak. Contohnya pasien tua dengan perdarahan basis krani dan syok hemoragik karena ruptura hepatik. Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda darurat (E = emergency), misalnya ASA 1 E atau III E.
Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu; Stadium I (stadium induksi atau eksitasi volunter), dimulai dari pemberian agen anestesi sampai menimbulkan hilangnya kesadaran. Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi dan defekasi. Stadium II (stadium eksitasi involunter), dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan stadium pembedahan. Pada stadium II terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pernafasan tidak teratur, inkontinensia urin, muntah, midriasis, hipertensi, dan takikardia. Stadium III (pembedahan/operasi), terbagi dalam 3 bagian yaitu; Plane I yang ditandai dengan pernafasan yang teratur dan terhentinya anggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal masih ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra, konjuctiva dan kornea terdepresi. Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola mata ventro medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut. Plane III, ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata kembali ke tengah dan otot perut relaksasi. Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau overdosis),ditandai dengan paralisis
(19)
otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata menunjukkan gambaran seperti mata ikan karena terhentinya sekresi lakrimal (Archibald, 1966).
1.4 Obat-obat Anestesi dan Metode Pemberiannya 1.4.1 Obat-obat Anestesi Lokal
Anestetika lokal atau zat-zat penghalang rasa setempat adalah obat yang pada penggunaan lokal merintangi secara reversibel penerusan impuls-impuls saraf ke SSP (Tjay, 2002). Luasnya daerah anestesi tergantung tempat pemberian larutan anestesi, volume yang diberikan, kadar zat dan daya tembusnya (Siahaan, 2000).
Obat bius lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf. Tempat kerjanya terutama di selaput lendir. Di samping itu, anestesi lokal menggangu fungsi semua organ dimana terjadi konduksi dari beberapa impuls. Artinya, anestesi lokal mempunyai efek yang penting terhadap susunan saraf pusat, ganglia otonom, cabang–cabang neuromuskular dan semua jaringan otot (Siahaan, 2000).
Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk suatu jenis obat yang digunakan sebagai anestetika lokal, antara lain: tidak merangsang jaringan, tidak mengakibatkan kerusakan permanen terhadap susunan saraf, toksisitas sistemik yang rendah, efektif dengan jalan injeksi atau penggunaan setempat pada selaput lendir, mula kerjanya sesingkat mungkin dan bertahan untuk jangka waktu yang cukup lama, dapat larut dalam air dan menghasilkan larutan yang stabil, juga tahan terhadap pemanasan/sterilisasi (Tjay, 2002). Biworo (2008) juga
(20)
menyatakan bahwa anestetika yang ideal adalah anestetika yang memiliki sifat antara lain tidak iritatif/merusak jaringan secara permanen, onset cepat, durasi cukup lama, larut dalam air, stabil dalam larutan, dan dapat disterilkan tanpa mengalami perubahan.
Struktur dasar anestetika lokal pada umumnya terdiri dari suatu gugus-amino hidrofil (sekunder atau tersier) yang dihubungkan oleh suatu ikatan ester (alkohol) atau amida dengan suatu gugus aromatis lipofil (Tjay, 2002). Adanya ikatan ester sangat menentukan sifat anestesi lokal sebab pada degradasi dan inaktivasi di dalam tubuh, gugus tersebut akan dihidrolisis. Karena itu golongan ester umumnya kurang stabil dan mudah mengalami metabolisme dibandingkan golongan amida. Contohnya: Tetrakin, Benzokain, Kokain, dan Prokain. Senyawa amida contohnya adalah Dibukain, Lidokain, Mepivakain dan Prilokain. Senyawa lainnya contohnya fenol, Benzilalkohol, Etilalkohol, Etilklorida, dan Cryofluoran ( Siahaan, 2000).
Cara pemberian anestesi lokal adalah dengan menginjeksikan obat-obatan anestesi tertentu pada area yang akan dilakukan sayatan atau jahitan. Obat-obatan yang diinjeksikan ini lalu bekerja memblokade saraf-saraf tepi yang ada di area sekitar injeksi sehingga tidak mengirimkan impuls nyeri ke otak (Joomla, 2008).
1.4.2 Obat-obat Anestesi Regional
Metode pemberian Anestesi regional dibagi menjadi dua, yaitu secara blok sentral dan blok perifer (Latief, 2001).
(21)
Blok sentral dibagi menjadi tiga bagian yaitu anestesi Spinal, Epidural dan Kaudal (Latief, 2001).
a. Anestesi Spinal
Anestesi spinal merupakan tindakan pemberian anestesi regional ke dalam ruang subaraknoid. Hal-hal yang mempengaruhi anestesi spinal antara lain jenis obat, dosis obat yang digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intra abdomen, lengkung tulang belakang, usia pasien, obesitas, kehamilan, dan penyebaran obat (Abidin, 2008).
b. Anestesi Epidural
Anestesi epidural ialah blokade saraf dengan menempatkan obat pada ruang epidural (peridural, ekstradural) di dalam kanalis vertebralis pada ketinggian tertentu, sehingga daerah setinggi pernapasan yang bersangkutan dan di bawahnya teranestesi sesuai dengan teori dermatom kulit (Bachsinar, 1992). Ruang epidural berada di antara durameter dan ligamentun flavum. Bagian atas berbatasan dengan foramen magnum dan dibawah dengan selaput sakrogliseal. Anestesi epidural sering dikerjakan untuk pembedahan dan penanggulangan nyeri pasca bedah, tatalaksana nyeri saat persalinan, penurunan tekanan darah saat pembedahan supaya tidak banyak perdarahan, dan tambahan pada anestesia umum ringan karena penyakit tertentu pasien (Latief, 2001).
c. Anestesi Kaudal
Anestesi kaudal sebenarnya sama dengan anestesi epidural, karena ruang kaudal adalah kepanjangan dari ruang epidural dan obat ditempatkan di ruang kaudal melalui hiatus sakralis. Hiatus sakralis ditutupi oleh ligamentum sakrogsigeal tanpa tulang yang analog dengan ligamentum supraspinosum dan
(22)
ligamentum interspinosum. Ruang kaudal berisi saraf sacral, pleksus venosus, felum terminale dan kantong dura (Latief, 2001).
2. Blok Perifer (Blok Saraf)
Anestesi regional dapat juga dilakukan dengan cara blok perifer. Salah satu teknik yang dapat digunakan adalah anestesi regional intravena. Anestesi regional intravena dapat dikerjakan untuk bedah singkat sekitar 45 menit. Melalui cara ini saraf yang dituju langsung saraf bagian proksimal. Sehingga daerah yang dipersarafi akan teranestesi misalnya pada tindakan operasi di lengan bawah memblok saraf brakialis. Untuk melakukan anetesi blok perifer harus dipahami anatomi dan daerah persarafan yang bersangkutan (Bachsinar, 1992).
1.4.3 Obat-obat Anestesi Umum
Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan serta obat yang tersedia (Admin,2008).
Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah didapat, murah, tidak menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran pernapasan atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak diinginkan (Gan, 1987). Obat anestesi umum yang ideal menurut Norsworhy (1993)
(23)
mempunyai sifat-sifat antara lain : pada dosis yang aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah, mula kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan. Selain itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan yang luas, tidak dipengaruhi oleh variasi umur dan kondisi pasien.
Obat-obatan anestesi yang umum dipakai pada pembiusan total adalah N2O, halotan, enfluran, isofluran, sevofluran, dan desfluran. Obat anestesi umum yang ideal haruslah tidak mudah terbakar, tidak meledak, larut dalam lemak, larut dalam darah, tidak meracuni end-organ (jantung, hati, ginjal), efek samping minimal, tidak dimetabolisasi oleh tubuh, dan tidak mengiritasi pasien (Kumala, 2008).
1.5 Pemilihan Teknik Anestesi pada Pasien
Pemilihan teknik anestesi adalah suatu hal yang kompleks, memerlukan kesepakatan dan pengetahuan yang dalam baik antara pasien dan faktor–faktor pembedahan. Dalam beberapa kelompok populasi pasien, pembiusan regional ternyata lebih baik daripada pembiusan total. Blokade neuraksial bisa mengurangi resiko trombosis vena, emboli paru, transfusi, pneumonia, tekanan pernapasan, infark miokardial, dan gagal ginjal (Admin, 2007).
Beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan anestesi antara lain: keterampilan dan pengalaman ahli anestesi dan ahli bedah, tersedianya obat dan peralatan, kondisi klinis pasien, waktu yang tersedia, tindakan gawat darurat atau efektif, keadaan lambung, dan pilihan pasien. Untuk operasi kecil (misalnya
(24)
menjahit luka atau manipulasi fraktur lengan), jika lambung penuh, maka pilihan yang terbaik adalah anestesi regional. Untuk operasi besar gawat darurat, anestesi regional atau umum sangat kecil perbedaannya dalam hal keamanannya.
1.6 Komplikasi Anestesi dan Bahaya Anestesi 1.6.1 Komplikasi Anestesi
Komplikasi yang terjadi pada periode perioperatif dapat dicetuskan oleh tindakan anestesi sendiri dan atau kondisi pasien (Thaib, 1989). Komplikasi segera dapat timbul pada waktu pembedahan atau kemudian segera ataupun belakangan setelah pembedahan.
Komplikasi anestesi dapat berakhir dengan kematian atau tidak diduga walaupun tindakan anestesi sudah dilaksanakan dengan baik (Thaib, 1989). Menurut Ellis & Campbell (1986), secara umum komplikasi anestesi yang sering dijumpai antara lain:
1. Kerusakan Fisik
Kerusakan fisik yang dapat terjadi sebagai komplikasi anestesi antara lain: pembuluh darah, intubasi, dan saraf superfisialis.
a. Pembuluh Darah
Kesalahan teknik dalam venapunksi dapat menyebabkan memar, eksavasasi obat yang dapat menyebabkan ulserasi kulit di atasnya, infeksi lokal, tromboflebitis serta kerusakan struktur berdekatan, terutama arteri dan saraf (Ellis & Campbell, 1986). Beberapa obat yang mencakup Benzodiazepin dan
(25)
Propanidid menyebabkan tromboflebitis. Kanulasi vena yang lama lebih mungkin menyebabkan tromboflebitis dan infeksi.
b. Intubasi
Kerusakan sering terjadi pada bibir dan gusi akibat intubasi trachea oleh orang yang tidak berpengalaman. Kerusakan gigi geligi akan terjadi lebih serius jika disertai kemungkinan inhalasi fragmen yang diikuti oleh abses paru. Jika dibiarkan tidak terdeteksi, intubasi nasotrachea dapat menyebabkan epistaksis yang tak menyenangkan dan kadang–kadang sonde dapat membentuk saluran di bawah mukosa hidung, intubasi hidung sering memfraktura concha (Ellis & Campbell, 1986). Kerusakan pada struktur tonsila dan larynx (terutama pita suara) untungnya sering terjadi, tetapi penanganan mulut posterior struktur yang kasar menyokong sakit tenggorokan pasca bedah.
c. Saraf Superfisialis
Tekanan langsung terus menerus akan merusak saraf, seperti poplitea lateralis sewaktu mengelilingi caput fibulae, yang menyebabkan “foot drop”, fasialis sewaktu ia menyilang mandibula, yang menyebabkan paralisis otot wajah, ulnaris sewaktu ia menyilang epicondylus medialis, yang menyebabkan paralisis dan kehilangan sensasi dalam tangan serta nervus radialis sewaktu ia mengelilingi humerus di posterior, yang menyebabkan “wrist drop”. Pleksus brachialis dapat dirusak dengan meregangnya di atas caput humeri, jika lengan diabduksi atau rotasi eksternal terlalu jauh (Ellis & Campbell, 1986).
(26)
Komplikasi pernapasan yang mungkin timbul termasuk hipoksemia yang tidak terdeteksi, atelektasis, bronkhitis, bronkhopneumonia, pneumonia lobaris, kongesti pulmonal hipostatik, plurisi, dan superinfeksi (Brunner & Suddarth, 2001).
Yang paling ditakuti oleh para pekerja anestesi adalah obstruksi saluran pernapasan akut selama atau segera setelah induksi anestesi. Spasme Larynx dan penahanan napas dapat sulit dibedakan serta dapat timbul sebagai respon terhadap anestesi yang ringan, terutama jika saluran pernapasan dirangsang oleh uap anestesi iritan atau materi asing yang mencakup sekresi dan kandungan asam lambung (Ellis & Campbell, 1986). Intubasi yang gagal dapat menjadi mimpi buruk, bila mungkin terjadi aspirasi lambung, seperti pasien obstetri dan kedaruratan yang tak dipersiapkan.
Gagal pernapasan terutama merupakan fenomena pasca bedah, biasanya karena kombinasi kejadian. Kelamahan otot setelah pemulihan dari relaksan yang tidak adekuat, depresi sentral dengan opioid dan zat anestesi, hambatan batuk dan ventilasi alveolus yang tak adekuat sekunder terhadap nyeri luka bergabung untuk menimbulkan gagal pernapasan restriktif dengan retensi CO2 serta kemudian narcosis CO2, terutama jika PO2 dipertahankan dengan pemberian oksigen.
Gangguan pernapasan mendadak, terutama yang timbul kemudian adalah konvalesensi, biasanya sebagai akibat embolisme pulmonalis sekunder terhadap lepasnya thrombus dari vena pelvis atau betis. Thrombus vena profunda di tungkai dapat diduga, bila pasien mengeluh pembengkakan atau nyeri tekan otot betis (Ellis & Campbell, 1986). Embolisme pulmonalis bisa tampil
(27)
sebagai hemoptisis atau sebagai kolaps generalisasi yang serupa dengan infark myocardium mayor, yang kadang–kadang sulit dibedakan.
3. Kardiovaskuler
Komplikasi kardiovaskuler yang dapat terjadi antara lain hipotensi, hipertensi, aritmia jantung, dan payah jantung (Thaib, 1989). Hipotensi didefinisikan sebagai tekanan darah systole kurang dari 70 mmHg atau turun lebih dari 25% dari nilai sebelumnya. Hipotensi dapat disebabkan oleh hipovolemia yang diakibatkan oleh perdarahan, overdosis obat anestetika, penyakit kardiovaskuler seperti infark miokard, aritmia, hipertensi, dan reaksihipersensivitas obat induksi, obat pelumpuh otot, dan reaksi transfusi.
Hipertensi dapat meningkat pada periode induksi dan pemulihan anestesi. Komplikasi hipertensi disebabkan oleh analgesa dan hipnosis yang tidak adekuat, batuk, penyakit hipertensi yang tidak diterapi, dan ventilasi yang tidak adekuat (Thaib, 1989). Sementara faktor-faktor yang mencetuskan aritmia adalah hipoksia, hiperkapnia, tindakan intubasi, gangguan elektrolit, dan pengaruh beberapa obat tertentu.
4. Hati
Penyebab hepatitis pasca bedah dapat disebabkan oleh halotan. Insidens virus Hepatitis A aktif dalam populasi umum mungkin jauh lebih lazim,
yang diperkirakan sekitar 100–400 per sejuta pada suatu waktu (Ellis & Campbell, 1986). Mungkin bahwa zat anestesi mengurangi kemanjuran
susunan kekebalan dan membuat pasien lebih cenderung ke infeksi yang mencakup hepatitis virus. Anestesi Halotan berulang dalam interval 6 minggu mungkin harus dihalangi.
(28)
5. Suhu tubuh
Akibat venodilatasi perifer yang tetap ditimbulkan anestesi menyebabkan penurunan suhu inti tubuh. Selama pembedahan yang lama, terutama dengan pemaparan vesera, bisa timbul hipotermi yang parah, yang menyebabkan pengembalian kesadaran tertunda, pernapasan dan perfusi perifer tidak adekuat. Masalah pernapasan akan dirumitkan, jika kebutuhan oksigen meningkat sebagai akibat menggigil selama masa pasca bedah (Ellis & Campbell, 1986).
1.6.2 Bahaya Anestesi
Bahaya utama anestesi dapat disebabkan banyak penyebab. Sebagian penyebab pada mulanya tidak berarti, tetapi jika bahaya tersebut tidak diperhatikan sama sekali, atau tidak diatasi dengan baik, maka bencana dapat terjadi (Bulto & Blogg, 1994). Bahaya lain mungkin tidak berbahaya tetapi merupakan sumber utama ketidaknyamanan, nyeri, atau iritasi terhadap penderita. Bahaya anestesi yang mungkin dapat terjadi antara lain:
1. Kematian “dalam keadaan” atau “akibat anestesi”
Kematian dalam keadaan “teranestesi” mungkin tidak sepenting kematian akibat anestesi, atau komplikasinya. Jika perdarahan masif yang terjadi selama pembedahan tidak dapat dikontrol, hal ini tentu saja termasuk kematian dalam keadaan teranestesi tetapi bukan akibat anestesi walaupun ahli anestesi telah mempunyai peran yang penting untuk berusaha mempertahankan
hidup penderita dengan secepatnya melakukan transfusi darah (Bulto & Blogg, 1994).
(29)
2. Bahaya anestesi yang dapat mematikan
Kematian akibat anestesi mungkin disebabkan oleh hipoksia dan henti jantung yang saling terkait, pada kedua kasus kematian dapat disebabkan oleh gangguan penyediaan oksigen otak dan /atau jantung baik primer (yang disebabkan oleh hipoksia respiratorik) maupun sekunder (sebagai akibat terhentinya sirkulasi setelah henti jantung) (Bulto & Blogg, 1994).Bahaya lain akibat anestesi yang dapat mematikan karena anestesi adalah anafilaksis akut karena obat yang digunakan pada anestesi, dan hipertermia yang ganas.
3. Hipoksia atau anoksia respiratorik selama anestesi
Hipoksia atau anoksia terjadi selama anestesi akibat kegagalan sebagian atau total maupun hambatan terhadap penyediaan oksigen ke otak (Bulto & Blogg, 1994). Keadaan seperti ini dapat terjadi pada semua titik mulai dari sumber penyediaan oksigen, mesin anestesi, saluran pernapasan atas dan bawah, paru–paru, pembuluh darah utama sampai kapiler, dan akhirnya sampai kepada pemindahan oksigen ke dan dalam sel. Sebagian sel akan pulih dari hipoksia atau bahkan anoksia yang berlangsung dalam beberapa menit, tetapi pada otak akan terjadi kerusakan yang irreversibel setelah 4–6 menit kekurangan oksigen, demikian juga yang terjadi jika jantung berhenti dengan efektif (henti jantung) (Bulto & Blogg, 1994).
2 Keperawatan 2.1 Pengertian
(30)
Keperawatan adalah diagnosis dan penanganan respon manusia terhadap masalah kesehatan aktual maupun potensial (ANA, 2000). Dalam dunia keperawatan modern respon manusia yang didefinisikan sebagai pengalaman dan respon orang terhadap sehat dan sakit yang merupakan suatu fenomena perhatian perawat.
Perawat atau Nurse berasal dari bahasa latin yaitu dari kata Nutrix yang berarti merawat atau memelihara. Harlley Cit ANA (2000) menjelaskan pengertian dasar seorang perawat yaitu seseorang yang berperan dalam merawat atau memelihara, membantu dan melindungi seseorang karena sakit, injury dan proses penuaan dan perawat profesional adalah perawat yang bertanggungjawab dan berwewenang memberikan pelayanan keperawatan secara mandiri dan atau berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain sesuai dengan kewenanganya (Depkes RI,2002).
Asuhan keperawatan adalah kegiatan profesional perawat yang dinamis, membutuhkan kreativitas dan berlaku rentang kehidupan dan keadaan (Carpenito, 1998). Adapun tahap dalam malakukan asuhan keperawatan yaitu : pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana, implementasi, dan evaluasi.
2.2 Peran dan Fungsi Perawat
Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap kedudukannya dalam sistem ( Zaidin Ali , 2002). Ahli lain yaitu Kozier Barbara (1995) memberi defenisi peran sebagai seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam, suatu sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar
(31)
dan bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari seseorang pada situasi sosial tertentu.
Menurut Gaffar (1995) peran perawat adalah segenap kewenangan yang dimiliki oleh perawat untuk menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. Peran perawat yang dimaksud adalah cara untuk menyatakan aktifitas perawat dalam praktik, dimana telah menyelesaikan pendidikan formalnya yang diakui dan diberi kewenangan oleh pemerintah untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab keperawatan secara professional sesuai dengan kode etik professional. Dimana setiap peran yang dinyatakan sebagai ciri terpisah demi untuk kejelasan.
Fungsi perawat dalam melakukan pengkajian pada Individu sehat maupun sakit dimana segala aktifitas yang di lakukan berguna untuk pemulihan kesehatan berdasarkan pengetahuan yang di miliki, aktifitas ini di lakukan dengan berbagai cara untuk mengembalikan kemandirian pasien secepat mungkin dalam bentuk proses keperawatan yang terdiri dari tahap pengkajian, identifikasi masalah (diagnosa keperawatan), perencanaan, implementasi dan evaluasi.
Keperawatan dalam menjalankan pelayanan sebagai nursing services menyangkut bidang yang amat luas sekali, secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk membantu orang sakit maupun sehat dari sejak lahir sampai meningal dunia dalam bentuk peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan yang dimiliki, sedemikian rupa sehingga orang tersebut dapat secara optimal melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri tanpa
(32)
memerlukan bantuan dan ataupun tergantung pada orang lain (Sieglar cit Henderson, 2000).
Perhatian perawat profesional pada waktu menyelenggarakan pelayanan keperawatan adalah pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Profil perawat profesional adalah gambaran dan penampilan menyeluruh. Perawat dalam malakukan aktifitas keperawatan sesuai dengan kode etik keperawatan.
Aktifitas keperawatan meliputi peran dan fungsi pemberi asuhan keperawatan, praktek keperawatan, pengelola institusi keperawatan, pendidikan pasien serta kegiatan penelitian dibidang keperawatan. (Sieglar, 2000).
Peran yang dimiliki oleh seorang perawat antara lain peran sebagai pelaksana, peran sebagai pendidik, peran sebagai pengelola, dan peran sebagai peneliti (Marullah, 2005).
2.2.1 Peran sebagai Pelaksana
Peran ini di kenal dengan “ Care Giver”, yaitu peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan secara langsung atau tidak langsung kepada pasien sebagai individu, keluarga dan masyarakat, dengan metoda pendekatan pemecahan masalah yang disebut proses keperawatan. Pada peran ini, perawat diharapkan mampu: memberikan pelayanan keperawatan kepada individu, keluarga , kelompok atau masyarakat sesuai diagnosis masalah yang terjadi mulai dari masalah yang bersifat sederhana sampai pada masalah yang kompleks; memperhatikan individu dalam konteks sesuai kehidupan pasien,
(33)
perawat harus memperhatikan pasien berdasarkan kebutuhan signifikan dari pasien (Marullah, 2005).
Dalam melaksanakan peran ini perawat bertindak sebagai comforter, protector, advocate, communicator serta rehabilitator (Marullah, 2005). Sebagai comforter perawat berusaha memberi kenyamanan dan rasa aman pada pasien. Peran protector dan advocate lebih berfokus pada kemampuan perawat melindungi dan menjamin hak dan kewajiban pasien agar terlaksana dengan seimbang dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Peran sebagai communicator, perawat bertindak sebagai penghubung antara pasien dengan anggota kesehatan lainya. Peran ini erat kaitanya dengan keberadaan perawat mendampingi pasien sebagai pemberi asuhan keperawatan selama 24 jam. Sedangkan rehabilitator, berhubungan erat dengan tujuan pemberian asuhan keperawatan yakni mengembalikan fungsi organ atau bagian tubuh agar sembuh dan dapat berfungsi normal (Marullah, 2005).
2.2.2 Peran sebagai Pendidik
Sebagai pendidik perawat berperan dalam medidik individu, keluarga, kelompok dan masyarakat serta tenaga kesehatan yang berada dibawah tanggungjawabnya. Peran ini berupa penyuluhan kepada pasien, maupun bentuk desimilasi ilmu kepada peserta didik keperawatan (Marullah, 2005).
2.2.3 Peran sebagai Pengelola
Dalam hal ini perawat mempunyai peran dan tanggungjawab dalam mengelola pelayanan maupun pendidikan keperawatan sesuai dengan manajemen keperawatan dalam kerangka paradigma keperawatan. Sebagai
(34)
pengelola, perawat memantau dan menjamin kualitas asuhan atau pelayanan keperawatan serta mengorganisasi dan mengendalikan sistem pelayanan keperawatan. Karena pengetahuan dan pemahaman perawat yang kurang sehingga pelaksanaan peran perawat pengelola belum maksimal, mayoritas posisi, lingkup kewenangan dan tanggungjawab perawat hampir tidak berpengaruh dalam perencanaan dan pengambilan keputusan (Marullah, 2005).
2.2.4 Peran sebagai Peneliti
Sebagai peneliti dibidang keperawatan, perawat diharapkan mampu mengidentifikasi masalah penelitian, menerapkan prinsip dan metoda penelitian serta memanfaatkan hasil penelitian untuk meningkatkan mutu asuhan atau pelayanan dan pendidikan keperawatan. Penelitian di dalam bidang keperawatan berperan dalam mengurangi kesenjangan penguasaan tehnologi di bidang kesehatan, karena temuan penelitian lebih memungkinkan terjadinya transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, selain itu penting dalam memperkokoh upaya menetapkan dan memajukan profesi keperawatan (Marullah, 2005).
2.3 Peran Perawat dalam Upaya Pencegahan Komplikasi Anestesi
Setelah selesai tindakan pembedahan, pasien harus dirawat sementara di ruang Post Anestesi Care Unit (PACU) atau Recovery Room (RR) sampai kondisi pasien stabil, tidak mengalami komplikasi operasi dan memenuhi syarat untuk dipindahkan ke ruang perawatan (bangsal perawatan) (Torrance & Serginson, 1997). Post Anestesi Care Unit (PACU) atau Recovery Room (RR) biasanya terletak berdekatan dengan ruang operasi. Hal ini disebabkan untuk mempermudah akses bagi pasien untuk perawat yang disiapkan dalam merawat
(35)
pasca operatif (perawat anastesi), ahli anastesi dan ahli bedah, alat monitoring dan peralatan khusus penunjang lainnya.
Alat monitoring yang terdapat di ruang pemulihan digunakan untuk memberikan penilaian terhadap kondisi pasien (Torrance & Serginson, 1997). Jenis peralatan yang ada diantaranya adalah alat bantu pernafasan seperti oksigen, laringoskop, set trakheostomi, peralatan bronkhial, kateter nasal, ventilator mekanik dan peralatan suction. Selain itu di ruang ini juga harus terdapat alat yang digunakan untuk memantau status hemodinamika dan alat-alat untuk mengatasi permasalahan hemodinamika, seperti : apparatus tekanan darah, peralatan parenteral, plasma ekspander, set intravena, set pembuka jahitan, defibrilator, kateter vena, tourniquet, bahan-bahan balutan bedah, narkotika dan medikasi kegawatdaruratan, set kateterisasi dan peralatan drainase (Rondhianto, 2998)
Selain alat-alat tersebut diatas, pasien post operasi juga harus ditempatkan pada tempat tidur khusus yang nyaman dan aman serta memudahkan akses bagi pasien, seperti pemindahan darurat dan dilengkapi dengan kelengkapan yang digunakan untuk mempermudah perawatan. Seperti tiang infus, side rail, tempat tidur beroda, dan rak penyimpanan catatan medis dan perawatan (Torrance & Serginson, 1997).
.
Pasien tetap berada dalam PACU sampai pulih sepenuhnya dari pegaruh anastesi, yaitu tekanan darah stabil, fungsi pernafasan adekuat, saturasi oksigen minimal 95% dan tingkat kesadaran yang baik (Rondhianto, 2998).
Kriteria penilaian yang digunakan untuk menentukan kesiapan pasien untuk dikeluarkan dari PACU adalah : pasien harus pulih dari efek anestesi, efek
(36)
fisiologis dari obat bius harus stabil, pasien harus sudah sadar kembali dan tingkat kesadaran pasien telah sempurna, orientasi pasien terhadap tempat, waktu dan orang, fungsi pulmonal yang tidak terganggu, hasil oksimetri nadi menunjukkan saturasi oksigen yang adekuat, tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah, haluaran urine tidak kurang dari 30 ml/jam, mual dan muntah dalam kontrol, dan nyeri minimal (Torrance & Serginson, 1997). Status pasien harus ditulis dan dibawa ke bangsal masing-masing, jika keadaan pasien membaik, pernyataan persetujuan harus dibuat untuk kehadiran pasien tersebut oleh seorang perawat khusus yang bertugas pada unit dimana pasien akan dipindahkan, staf dari unit dimana pasien harus dipindahkan, perlu diingatkan untuk menyiapkan dan menerima pasien tersebut (Abrorshodiq, 2009).
Hal-hal yang harus diperhatikan selama membawa pasien ke ruangan antara lain : keadaan penderita serta order (usulan) dari dokter, mengusahakan agar pasien jangan sampai kedinginan, kepala pasien sedapat mungkin harus dimiringkan untuk menjaga bila muntah sewaktu-waktu, dan muka pasien harus terlihat sehingga bila ada perubahan dapat dipantau dengan segera (Abrorshodiq, 2009).
2.3.1 Peran perawat pada fase pasca anestesi
Peran perawat pada fase pasca anestesi baik pada bedah mayor maupun minor sangat dibutuhkan. Peran perawat tersebut merupakan upaya dalam pencegahan terjadinya komplikasi anestesi yaitu peran pemantauan atau pengkajian pasca anestesi dan peran penatalaksanaan atau perawatan pasien pasca anestesi (Latief, 2001; Wijaya, 2008 ).
(37)
2.3.1 Pemantauan/pengkajian pasca anestesi
Periode segera setelah anestesi adalah periode gawat. Untuk itu pasien harus dipantau dengan jeli dan harus mendapat bantuan fisik dan psikologis yang intensif sampai pengaruh utama dari anestesi mulai berkurang dan kondisi umum mulai stabil (Abrorshodiq, 2009). Pemantauan yang efektif mengurangi kemungkinan outcomes (akibat) buruk yang bisa terjadi setelah anesthesia melalui pengidentifikasian kelainan sebelum menimbulkan kelainan yang serius atau tidak dapat diubah (Murphy & Vender, 2004). Pemantauan dilakukan segera setelah pasien masuk di ruang PACU atau di ruang mana pasien telah mendapatkan tindakan anestesi yang meliputi pengkajian sistem pernapasan, sistem kardiovaskuler, keseimbangan cairan dan elektrolit, sistem persarafan, sistem perkemihan, dan sistem gastrointestinal .
1. Sistem pernapasan
Pengkajian sistem pernapasan dilakukan dengan cara memeriksa jalan nafas dengan meletakan tangan di atas mulut atau hidung. Perubahan pernafasan dikaji antara lain frekuensi pernapasan (Respiratory Rate/RR), pola pernapasan, kemampuan nafas dalam dan batuk, dan kedalaman pernapasan (Abrorshodiq, 2009). Pernapasan pendek dan cepat mungkin akibat nyeri, balutan yang terlalu ketat, dilatasi lambung, atau obesitas. Pernapasan yang
bising mungkin karena obstruksi oleh sekresi atau lidah (Brunner & Suddarth, 2001).
(38)
Selama 2 jam pertama, nadi dan pernafasan diperiksa setiap 15 menit, lalu setiap 30 menit selama 2 jam berikutnya. Setelah itu bila keadaan tetap baik, pemeriksaan dapat diperlambat. Bila tidak ada petunjuk khusus, pemeriksaan dilakukan setiap 30 menit. Bila ada tanda-tanda syok, perdarahan dan menggigil perawat segera melaporkan kepada dokter. RR dibawah 10 kali permenit diduga terjadinya gangguan kardiovaskuler atau metabolisme yang meningkat. Auskultasi paru dilakukan untuk mengkaji keadekwatan expansi paru, dan kesimetrisan paru. Pengkajian pernapasan juga dilakukan melalui inspeksi pergerakan dinding dada, penggunaan otot bantu pernafasan (diafragma, retraksi sterna), efek anestesi yang berlebihan, dan adanya obstruksi (Wijaya,
2. Sistem kardiovaskuler 2008).
Pertimbangan dasar dalam mengkaji fungsi kardiovaskuler adalah memantau pasien terhadap tanda-tanda syok dan hemoragi (Brunner & Suddarth, 2001). Pengkajian sistem kardiovaskuler yaitu pengkajian sirkulasi perifer yang meliputi kualitas denyut, warna kulit, temperatur, ukuran ektremitas, sirkulasi darah, nadi dan suara jantung yang dikaji tiap 15 menit (4 x ), 30 menit (4x), 2 jam (4x) dan setiap 4 jam selama 2 hari jika kondisi stabil (Abrorshodiq, 2009). Penurunan tekanan darah, nadi dan suara jantung kemungkinan dapat disebabkan oleh depresi miocard, shock, perdarahan atau overdistensi. Nadi yang meningkat disebabkan oleh shock, nyeri, dan hypothermia (Wijaya, 2008).
(39)
3. Keseimbangan cairan dan elektrolit
Untuk mengkaji keseimbangan cairan dan elektrolit pasien pasca anestesi, perawat melakukan inspeksi membran mukosa meliputi warna dan kelembaban, turgor kulit, dan balutan, mengukur cairan NGT, menilai out put urine, drainage luka, mengkaji intake/output, memonitor cairan intravena, dan mengukur tekanan darah (Abrorshodiq, 2009).
4. Sistem Persarafan.
Pengkajian sistem persarafan antara lain pengkajian fungsi serebral dan tingkat kersadaran pasien. Pada pasien terutama dengan bedah kepala leher, dikaji respon pupil, kekuatan otot, koordinasi, dan depresi fungsi motor (Abrorshodiq, 2009).
5. Sistem perkemihan.
Untuk mengkaji sistem perkemihan, perawat menilai kontrol volunteer fungsi perkemihan harus kembali setelah 6 – 8 jam post anestesi (Abrorshodiq, 2009). Selain itu perawat juga melakukan inspeksi, palpasi, dan perkusi abdomen bawah untuk mengetahui adanya distensi buli-buli. Pada pemasangan kateter dikaji warna, dan jumlah urine. Out put urine kurang dari 30 ml/jam menandakan terjadinya komplikasi ginjal (Wijaya, 2008).
(40)
6. Sistem Gastrointestinal.
Mual muntah 40 % pasien dengan GA selama 24 jam pertama dapat menyebabkan stress dan iritasi luka GI dan dapat meningkatkan TIK pada bedah kepala dan leher. Perawat mengobservasi keadaan umum, observavomitus dan drainase. Keadaan umum dari pasien harus diobservasi untuk mengetahui keadaan pasien, seperti kesadaran dan sebagainya. Vomitus atau muntahan mungkin saja terjadi akibat penagaruh anastesi sehingga perlu dipantau kondisi vomitusnya. Selain itu drainase sangat penting untuk dilakukan obeservasi terkait dengan kondisi perdarahan yang dialami pasien (Abrorshodiq, 2009). Perawat mengkaji fungsi gastro intestinal dengan auskultasi suara usus. Selain itu
juga mengkaji paralitic ileus, suara usus, distensi abdomen, dan ada atau tidaknya flatus.
Insersi Naso Gastric Tube (NGT) intra operatif untuk mencegah komplikasi post operatif dengan decompresi dan drainase lambung juga bertujuan untuk meningkatkan istirahat, memberi kesempatan penyembuhan pada GI track bawah, memonitor perdarahan, mencegah obstruksi usus, irigasi atau pemberian obat, serta mengkaji jumlah, warna, dan konsistensi isi lambung tiap 6 – 8 jam (Wijaya,
Pasien tetap berada dalam PACU sampai pulih sepenuhnya dari pengaruh anestesi, yaitu pasien telah mempunyai tekanan darah yang stabil, fungsi pernapasan adekuat, saturasi O2 minimum 95%, dan tingkat kesadaran yang baik.
2008).
Beberapa petunjuk tentang keadaan yang memungkinkan terjadinya situasi krisis antara lain: tekanan sistolik < 90 –100 mmHg atau > 150
(41)
– 160 mmHg, diastolik < 50 mmHg atau > dari 90 mmHg, Heart Rate (HR) kurang dari 60 x menit > 10 x/menit, suhu > 38,3 o C atau kurang < 35 o
Kriteria untuk mentukan tingkat pemulihan diberikan secara detail pada bagan ruang pemulihan pascaanestesi (Brunner & Suddarth, 2001) :
C, meningkatnya kegelisahan pasien,dan tidak BAK lebih dari 8 jam post operasi (Abrorshodiq, 2009).
Tabel 1.
Kriteria penentuan tingkat pemulihan pasien pasca anestesi
RUANG PEMULIHAN PASCAANESTESI Penilaian
Pasien: Nilai akhir:
Ruangan: Ahli bedah:
Tanggal: Perawat R.R:
Area pengkajian Poin nilai
Saat penerimaan
Setelah
1 jam 2 jam 3 jam
Kemampuan untuk bernapas dengan dalam dan batuk
Pernapasan:
Upaya bernapas terbatas (dispnea atau membebat) Tidak ada upaya spontan
2
1 0
>80% dari tingkat praanestetik Sirkulasi: tekanan arteri sistolik
50% sampai 80% dari tingkat praanestetik
<50% dari tingkat praanestetik
2
1
(42)
Respon secara verbal terhadap pertanyaan/terorientasi terhadap tempat
Tingkat kesadaran:
Terbangun ketika dipanggil namanya
Tidak memberikan respon terhadap perintah
2 1
0
Warna dan penampilan kulit normal Warna kulit:
Warna kulit berubah: pucat, agak kehitaman, keputihan, ikterik
Sianosis jelas
2
1 0
Bergerak secara spontan atau atas perintah
Aktivitas otot:
Kemampuan untuk menggerakkan semua ektremitas
Tidak mampu untuk mengontrol setiap ektremitas
Total
2
1
0
Keterangan:
Pasien bisa dipindahkan ke ruang perawatan dari ruang PACU/RR jika nilai pengkajian post anestesi > 7-8.
2.3.2 Penatalaksanaan/perawatan pasien pasca anestesi
Selain malakukan pengkajian, perawat juga melaksanakan perannya dalam hal perawatan pasien pasca anestesi. Dalam hal ini pasien harus
(43)
mendapat bantuan fisik dan psikologis yang intensif sampai pengaruh utama dari anestesi mulai berkurang dan kondisi umum mulai stabil. Banyaknya asuhan keperawatan yang dilaksanakan segera setelah periode pasca anestesi tergantung kepada prosedur bedah yang dilakukan (Abrorshodiq, 2009). Hal-hal yang harus diperhatikan meliput i:
1. Mempertahankan ventilasi pulmonary.
Ventilasi pulmonary dipertahankan dengan memberikan posisi kepala pasien lebih rendah dan kepala dimiringkan atau setengah telungkup dengan kepala tengadah ke belakang dan rahang didorong ke depan sampai reflek-reflek pelindung pulih (Abrorshodiq, 2009). Mempertahankan ventilasi pulmonary bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi pernapasan seperti hipoksemia yang tidak terdeteksi, atelektasis, bronkhitis, bronkhopneumonia, pneumonia, lobaris, kongesti pulmonal hipostatik, pleurisi, dan superinfeksi, Saluran nafas buatan pada orofaring biasanya terpasang terus setelah pemberian anestesi umum untuk mempertahankan saluran tetap terbuka dan lidah ke depan sampai reflek faring pulih. Bila pasien tidak bisa batuk dan mengeluarkan dahak dan lendir harus dibantu dengan suction. Terapi oksigen sering diberikan pada pasien pasca operasi, karena obat anestesi dapat menyebabkan lyphokhemia. Selain pemberian O2
Pada pasien mual dan muntah, pasien benar-benar dibalikkan miring ke salah satu sisi untuk meningkatkan drainase mulut. Intervensi keperawatan yang paling penting dibutuhkan ketika terjadi untah adalah untuk mencegah aspirasi muntahan, yang dapat menyebabkan asfiksia dan kematian (Brunner & Suddarth, 2001).
(44)
2. Mempertahankan sirkulasi.
Hipotensi dan aritmia merupakan komplikasi kardiovaskuler yang paling sering terjadi pada pasien post anestesi. Untuk itu pemantauan tanda vital dilakukan tiap 15 menit sekali selama pasien berada di ruang pemulihan (Abrorshodiq, 2009).
3. Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit Pemberian infus merupakan usaha pertama untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. Monitor cairan per infus sangat penting untuk mengetahui kecukupan pengganti dan pencegah kelebihan cairan. Begitu pula cairan yang keluar juga harus dimonitor(Abrorshodiq, 2009). Insersi Naso Gastric Tube (NGT) intra operatif untuk mencegah komplikasi post operatif dengan decompresi dan drainase lambung juga bertujuan untuk meningkatkan istirahat, memberi kesempatan penyembuhan pada GI track bawah (www.Nurseview.com, 2008).
4. Mempertahankan keamanan dan kenyamanan.
Pasien post operasi atau post anestesi sebaiknya pada tempat tidurnya dipasang pengaman sampai pasien sadar betul. Posisi pasien sering diubah sesuai dengan potensial pasien untuk mencegah kerusakan saraf akibat tekanan kepada saraf otot dan persendian. Nyeri yang dirasakan memerlukan intervensi keperawatan yang tepat juga kolaborasi dengan medis terkait dengan agen pemblok nyerinya (Rhondianto,2008). Pasien yang mulai sadar memerlukan orientasi dan merupakan tunjangan agar tidak merasa sendirian. Pasien harus diberi penjelasan bahwa operasi sudah selesai dan diberitahu apa yang sedang dilakukan (Abrorshodiq, 2009).
(45)
BAB 3
KERANGKA PENELITIAN 1. Kerangka Konsep
Kerangka konseptual pada penelitian ini disusun berdasarkan peran Perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi postoperasi di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan.
Peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi meliputi tindakan pemantauan/pengkajian dan penatalaksanaan/perawatan pasien pasca anestesi. Pemantauan yang dilakukan yaitu pemantauan sistem pernapasan, kardiovaskuler, keseimbangan cairan, sistem persarafan, perkemihan, dan gastrointestinal (Abrorshodiq, 2009; Wijaya, 2008). Penatalaksanaan/perawatan pasien pasca anestesi antara lain mempertahankan ventilasi pulmonary, mempertahankan sirkulasi, mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, dan mempertahankan keamanan dan kenyamanan (Abrorshodiq, 2009).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi post operasi di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan. Secara skematik, kerangka konsep penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
2. Defenisi Operasional
Anestesi umum/total adalah anestesi yang digunakan pada hampir seluruh tindakan operasi untuk menghindari rasa nyeri akibat suatu tindakan bedah.
Komplikasi Anestesi Peran perawat
Pemantauan/pengkajian
Penatalaksanaan/ perawatan pasien
(46)
Karena tindakan bedah mumnya adalah tindakan yang membuat suatu luka pada suatu bagian atau organ tubuh, maka tindakan bedah selalu akan menimbulkan rasa nyeri sehingga dibutuhkan aenstesi untuk menghilangkan nyeri tersebut.
Peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi adalah tindakan yang harus dilakukan seorang perawat meliputi tindakan pemantauan/pengkajian yaitu pemantauan sistem pernapasan, kardiovaskuler, keseimbangan cairan, sistem persarafan, perkemihan, dan gastrointestinal; dan penatalaksanaan/perawatan pasien pasca anestesi antara lain mempertahankan ventilasi pulmonary, mempertahankan sirkulasi, mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, dan mempertahankan keamanan dan kenyamanan yang diukur dengan menggunakan kuisioner yang terdiri dari 37 pertanyaan dengan pilihan jawaban: tidak pernah, kadang-kadang, sering, dan selalu, dan data akan dianalisa dengan menggunakan rumus statistik Sudjana, sehingga didapatkan skala interval 37-74 untuk menyatakan peran kurang terlaksana, skala interval 75-111 untuk menyatakan peran cukup terlaksana dan skala 112-148 untuk menyatakan peran terlaksana dengan baik.
(47)
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
1. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengidentifikasi gambaran peran perawat dalam
upaya pencegahan komplikasi anestesi postoperasi di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan.
2. Populasi dan Sampel
2.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat pelaksana di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan yang terlibat dalam perawatan pasien pasca tindakan anestesi sebanyak 45 orang yang terdistribusi di beberapa ruangan antara lain, di ruang pasca bedah IGD sebanyak 24 orang, ICU pasca bedah 17 orang, dan ruang pulih sadar (recovery room) 4 orang.
2.2 Sampel
Penentuan sampel dilakukan dengan teknik total sampling (sampling jenuh). Sampling jenuh adalah teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel dan sering dilakukan bila populasi relatif kecil (Ginting, 2008). Maka jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 45 orang.
(48)
Kriteria sampel dalam penelitian ini antara lain perawat pelaksana yang terlibat dalam penanganan pasien pasca anestesi, mempunyai pengalaman kerja minimal 2 tahun, dan bersedia menjadi responden.
3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan. Rumah Sakit Haji Adam Malik dipilih sebagai lokasi karena sebagai sebuah institusi yang mempunyai karakteristik sampel yang akan diukur yaitu perawat yang terlibat dalam penanganan pasien pasca anestesi, letak rumah sakit yang strategis dan juga merupakan salah satu rumah sakit rujukan tipe A dengan pelayanan, fasilitas dan jumlah perawat yang memadai untuk mendapatkan jumlah sampel penelitian. Penelitian ini dilaksanakan selama dua minggu yaitu dari tanggal 28 Juli sampai dengan 12 Agustus 2009.
4. Pertimbangan Etik
Sebelum melakukan penelitian, Peneliti menunjukkan surat permohonan kepada bagian pendidikan Program Studi Ilmu Keperawatan untuk mendapatkan persetujuan penelitian. Setelah memperoleh persetujuan, Peneliti meminta izin kepada direktur Rumah Sakit Umum Dr. Pringadi Medan dan Pimpinan ruangan Rumah Sakit tersebut.
Dalam melakukan penelitian ini terlebih dahulu dilakukan pertimbangan etik yaitu dengan memberi penjelasan kepada calon responden tentang tujuan, manfaat dan prosedur pelaksanaan penelitian. Apabila calon responden bersedia untuk diwawancarai, maka calon responden akan menandatangani lembar persetujuan.
(49)
Tetapi jika calon responden tidak bersedia, maka calon responden berhak untuk menolak dan mengundurkan diri selama pengumpulan data berlangsung.
Penelitian ini tidak menimbulkan resiko fisik maupun psikis. Kerahasiaan data responden dijaga dengan tidak menuliskan nama responden pada instrument penelitian. Data–data yang diperoleh dari responden hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.
5. Instumen Penelitian
Instrumen dalam penelitian ini menggunakan alat pengumpul data berupa kuesioner. Kuesioner dibuat sendiri oleh perawat berdasarkan tinjauan pustaka. Kuesioner terdiri dari data demografi responden yang berisi identitas dari perawat yang menjadi sampel, dan peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi, yang terbagi lagi menjadi 2 yaitu tindakan pemantauan berupa pemantauan sistem pernapasan, kardiovaskuler, keseimbangan cairan, sistem persarafan, perkemihan, dan gastrointestinal; dan tindakan penatalaksanaan pasien pasca anestesi antara lain mempertahankan ventilasi pulmonary, mempertahankan sirkulasi, mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, dan mempertahankan keamanan dan kenyamanan.
Pertanyaan 1-28 menyatakan peran perawat dalam melakukan pemantauan/pengkajian pasien pasca anestesi dan pertanyaan 29-37 menyatakan peran perawat dalam penatalaksanaan/perawatan pasien pasca anestesi.
Data demografi responden meliputi: petunjuk pengisian kuisioner, jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, dan lama bekerja. Sedangkan kuisioner tindakan dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi terdiri dari 37 pertanyaaan
(50)
yang disusun menggunakan skala Linkert dengan empat alternatif pilihan jawaban yaitu tidak pernah, kadang-kadang, sering, dan selalu. Untuk jawaban tidak pernah memperoleh nilai 1, kadang-kadang memperoleh nilai 2, sering memperoleh nilai 3 dan selalu memperoleh nilai 4.
6. Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Instrumen kuesioner dibuat oleh peneliti karena itu perlu dilakukan uji validitas dan reliabilitasnya untuk mengetahui seberapa besar derajat kemampuan alat ukur dalam mengukur secara konsisten sasaran yang akan diukur. Uji validitas dilakukan untuk mengetahui tingkat kesahian suatu instrumen. Suatu instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkapkan data dari variabel yang diteliti secara tepat (Arikunto, 2005). Uji validitas dilakukan dengan metode validitas isi, yaitu menetapkan bahwa insturmen dibuat mengacu pada isi yang dilakukan dengan meminta bantuan orang yang ahli sebanyak 3 orang antara lain perawat pendidik, dokter anestesi, dan perawat anestesi. Berdasarkan hasil uji validitas tersebut, kuisioner disusun kembali dengan bahasa yang lebih interaktif sehingga responden tertarik untuk membaca setiap item pertanyaan, dan ahli juga menawarkan beberapa item peran yang juga perlu dilakukan oleh perawat dalam melakukan pemantauan dan perawatan pasien pasca anestesi.
Reliabilitas adalah adanya suatu kesamaan hasil apabila pengukuran dilaksanakan oleh orang yang berbeda ataupun waktu yang berbeda (Setiadi, 2007). Uji reliabilitas dilakukan secara internal konsistensi. Pengujian ini dilakukan dengan cara mencobakan instrument pada 10 orang (Arikunto, 2006).
(51)
Menurut Polit & Hungler (1999) menyatakan bahwa suatu instrumen dikatakan reliabel jika memiliki nilai reliabilitas 0,7. Uji reliabilitas kuisioner dilakukan di ruang ICU anak dengan jumlah responden sebanyak 10 orang. Hasil uji reliabilitas peran pemantauan/pengkajian dan penatalaksanaan/ perawatan pasien pasca anestesi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa nilai uji reliabilitas kuisioner adalah 0.703. Maka diambil kesimpulan bahwa kuisioner tersebut reliabel dan dapat digunakan dalam penelitian ini.
7. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dimulai setelah Peneliti menerima surat izin pelaksanaan penelitian dari instansi pendidikan Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran USU, kemudian surat permohonan izin yang diperoleh diajukan kepada Direktur Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan, lalu direktur Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan mengajukan surat inzin tersebut kepada kepala kapokja ICU dan akhirnya peneliti didisposisi oleh kapokja langsung ke ruangan untuk membagi kuisioner yaitu ruang ICU pasca bedah, dan recovery room. Sementara penyebaran kuisioner kepada responden di ruang IGD pasca bedah dilakukan setelah memperoleh izin dari kepala ruangan IGD pasca bedah.
Setelah memperoleh responden, peneliti menjelaskan pada responden tentang tujuan, manfaat, dan proses pengisian kuisioner, kemudian responden diminta untuk menandatangani surat persetujuan. Selanjutnya responden diminta untuk mengisi kuisioner dan diberi kesempatan bertanya jika ada hal yang tidak dimengerti oleh responden. Setelah kuisioner diisi, kemudian dikumpulkan
(52)
kembali dan diperiksa kelengkapannya, apabila ada yang tidak lengkap maka dapat dilengkapi juga saat itu.
8. Analisa Data
Setelah semua data terkumpul maka analisa data dilakukan dengan memeriksa kembali semua kuesioner satu persatu yakni identitas dan data responden serta memastikan bahwa semua jawaban harus diisi dengan petunjuk. Kemudian memberi kode terhadap setiap pernyataan yang telah diajukan guna mempermudah peneliti ketika akan melakukan tabulasi dan analisa data.
Metode statistik untuk analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan rumus statistik Sudjana (2001) untuk menentukan panjang interval suatu kelas dengan rumus:
P = rentang/banyak kelas = (148-37)/3 = 37
Dimana p merupakan panjang kelas dengan rentang nilai tertinggi dikurang rentang nilai terendah dibagi banyak kelas. Nilai tertinggi 148 dan nilai terendah 37. Sehingga didapat panjang kelas 37. Maka peran perawat kurang terlaksana intervalnya adalah 37-74, peran cukup terlaksana skala intervalnya 75-111 dan peran terlaksana dengan baik skala intervalnya adalah 112-148.
(53)
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Penelitian
Pada bab ini akan diuraikan data hasil penelitian mengenai peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi di RSUP H Adam Malik Medan. Penelitian ini dilaksanakan mulai dari tanggal 28 Juli sampai dengan 12 Agustus 2009 di RSUP H Adam Malik Medan dengan jumlah responden sebanyak 45 orang perawat pelaksana yang terlibat dalam tindakan penanganan pasien pasca anestesi.
Hasil penelitian ini dibagi atas dua bagian, yaitu data demografi, dan peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi.
1.1 Karakteristik Demografi Responden
Responden penelitian ini lebih kurang sepertiga (35.6%) adalah berusia 28-35 tahun (M=34.6, SD=7.9), dan kurang lebih dua per tiga dari responden adalah perempuan (73.3%). Mayoritas responden tingkat pendidikannya adalah Diploma III Keperawatan (82.2%), dan hampir seluruhnya memiliki pengalaman kerja lebih dari dua tahun (91.1%). Karakteristik demografi responden dapat dilihat pada tabel 2.
Table 2
Distribusi Frekuensi Karakteristik Perawat Pelaksana yang menjadi responden di RSUP H Adam Malik Medan 2009 (N=45)
No Karakteristik Frekuensi Persentase (%) 1 Usia
19-27 tahun 28-35 tahun 36-44 tahun 45-53 tahun
12 16 10 7
26.7 35.6 22.2 15.5
(54)
2. Jenis kelamin Perempuan Laki-laki 33 12 73.3 26.7 3. Tingkat Pendidikan
Sarjana Keperawatan Akademi Perawat Lain-lain 4 37 4 8.9 82.2 8.9 4. Lama Kerja
> 2 tahun < 2 tahun
41 4
91.1 8.9
1.2 Peran Perawat dalam Upaya Pencegahan Komplikasi Anestesi
Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa lebih dari setengah responden dalam melakukan perannya dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi adalah baik (51.1%). Sisanya adalah sebanyak kurang lebih dua perlima dari responden (40%) dalam melakukan perannya termasuk dalam katergori cukup, dan sebanyak 8.9% adalah kurang melaksanakan peran ini. Gambaran pelaksanaan peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi lebih lengkap dapat dilihat pada table 3.
Tabel 3
Kategori pelaksanaan peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Medan (N=45)
Kategori pelaksanaan peran perawat dalam
upaya pencegahan komplikasi anestesi Frekuensi Persentase
Terlaksana dengan baik
Cukup terlaksana Kurang terlaksana 23 18 4 51.1 40 8.9
(55)
1.2.1 Peran Pemantauan
Dari hasil penelititan diperoleh bahwa peran pemantauan perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi cukup terlaksana sebanyak 46.7% dari responden. Peran yang terlaksana dengan baik adalah 42.2% dan sisanya yaitu sebanyak 11.1% perawat dalam melakukan perannya adalah kurang. Gambaran pelaksanaan peran pemantauan perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi secara lengkap dapat dilihat pada table 4.
Table 4
Kategori pelaksanaan peran pemantauan perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Medan (N=45)
Kategori pelaksanaan peran pemantauan dalam
upaya pencegahan komplikasi anestesi Frekuensi Persentase
Terlaksana dengan baik
Cukup terlaksana
Terlaksana dengan baik
19
21
5
42.2
46.7
11.1
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat dilihat bahwa peran mengukur suhu tubuh pasien (M=3.7, SD=0.8), mengukur tekanan darah (M=5.6, SD=0.8), mengkaji perubahan frekuensi pernapasan (M=3.5, SD=0.9), dan melakukan palpasi/meraba kulit pasien (M=3.5, SD=0.9), mendapat frekuensi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan peran yang lain. Sedangkan peran yang nilainya lebih rendah yaitu peran mengakaji kemampuan bernapas dalam
(56)
(M=2.4, SD=1.3), melakukan perkusi abdomen bawah (M=2.1, SD=1.0), dan peran mengkaji warna urine pasien (M=1.8, SD=0.9).
Gambaran peran pemantauan perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi secara lengkap dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5
Gambaran peran pemantauan oleh perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi di RSUP H. Adam Malik (N=45).
Peran Pemantauan Perawat dalam Upaya Pencegahan Komplikasi
Anestesi
Mean Standard
Deviasi Kategori
Mengukur suhu tubuh pasien
Mengukur tekanan darah pasien Mengkaji perubahan frekuensi pernapasan
Melakukan palpasi/meraba kulit Menghitung irama denyut nadi
Mengkaji kelembaban membran mukosa
Mengukur intake dan output cairan Menanyakan nyeri yang dirasakan pasien pada skala nyeri
Mengkaji turgor kulit (CRT)
Mengkaji kuat/lemahnya denyut nadi Mengkaji kekuatan otot pasien Mengkaji respon verbal pasien
Menanyakan apakah pasien merasakan mual
Mengkaji perubahan pola pernapasan Mengkaji bunyi napas
Mengkaji respon membuka mata Mengkaji jumlah urine pasien Mengkaji adanya muntahan pasien Mengauskultasi suara usus pasien Melakukan palpasi abdomen bawah Mengkaji kemampuan batuk pasien Mengkaji perubahan perubahan warna kulit
Mengkaji terjadinya distensi abdomen Mengkaji kontrol volunter fungsi perkemihan 3.7 3.6 3.5 3.5 3.4 3.2 3.2 3.2 3.2 3.1 3.1 3.1 3.0 3.0 3.0 3.0 2.9 2.9 2.9 2.8 2.8 2.8 2.6 2.6 0.8 0.8 0.9 0.9 0.9 0.9 0.9 0.9 0.9 1.0 0.8 0.9 0.8 0.9 1.1 0.9 1.0 0.8 1.1 0.8 0.9 1.1 1.0 0.9 Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Cukup Cukup Cukup Cukup Cukup Cukup Cukup Cukup Cukup Cukup
(57)
Mengkaji ada atau tidaknya flatus Mengkaji kemampuan bernapas dalam Melakukan perkusi abdomen bawah Mengkaji warna urine pasien
2.6 2.4 2.1 1.8
1.0 1.3 1.0 0.9
Cukup Cukup Cukup Kurang
1.2.2 Peran Penatalaksanaan Pasien Pasca anestesi
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan peran penatalaksanaan oleh tiga perlima dari responden adalah baik (60%), sementara responden lainnya dalam melaksanakan perannya termasuk dalam kategori cukup sebanyak 31.1%, dan sisanya adalah kurang (8.9%). Untuk lebih jelasnya gambaran pelaksanaan peran penatalaksanaan pasien pasca anestesi oleh perawat dapat dilihat pada tabel 6
Tabel 6
Kategori pelaksanaan peran pelaksanaan pasien pasca anestesi oleh perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan (N=45)
Kategori pelaksanaan peran penatalaksanaan
dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi Frekuensi Persentase
Terlaksana dengan baik
Cukup terlaksana
Terlaksana dengan baik
27
14
4
60
31.1
8.9
Peran memberikan terapi oksigen (M=3.7, SD=0.8), berkolaborasi
dengan dokter untuk pemberian obat untuk penanggulangan nyeri (M=3.7, SD=0.9), dan peran memberikan terapi cairan infus merupakan peran
(58)
dengan frekuensi paling tinggi dibanding peran yang lainnya. Sedangkan peran
memfasilitasi pasien dengan selimut untuk mencegah menggigil (M=3.0, SD=1.1), peran memberikan posisi kepala miring ke satu sisi (M=2.6, SD=1.1), dan peran mempertahankan status nutrisi pasien tetap normal (M=2.4, SD=1.4), merupakan peran dengan frekuensi paling rendah. Gambaran peran penatalaksanaan pasien pasca anestesi oleh perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi dapat dilihat pada tabel 7.
Table 7
Peran penatalaksanaan/perawatan pasien pasca anestesi oleh perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi di RSUP H. Adam Malik (N=45).
Peran Perawatan Perawat dalam Upaya Pencegahan Komplikasi
Anestesi
Mean Standard
deviasi Kategori
Memberikan terapi oksigen
Berkolaborasi dengan dokter untuk
pemberian obat untuk penanggulangan nyeri
Memberikan terapi cairan infus
Mengatur posisi pasien untuk membersihkan jalan napas pasien
Membantu pasien untuk perubahan posisi
Memberikan dukungan psikologis pada pasien
Memfasilitasi pasien dengan selimut untuk mencegah menggigil
Memberikan posisi kepala miring ke satu sisi
Mempertahankan status nutrisi pasien tetap normal 3.7 3.7 3.6 3.4 3.1 3.0 3.0 2.6 2.4 0.8 0.9 0.9 0.9 0.9 1.1 1.1 1.1 1.4 Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik
(59)
2. Pembahasan
Dari hasil penelitian, peneliti membahas masalah penelitian mengenai gambaran peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi.
2.1 Karakteristik Demografi Responden
Berdasarkan usia responden dalam penelitian ini lebih dari sepertiga berada pada rentang usia 28-35 tahun (35.6%), lebih dari dua pertiga adalah perempuan (73.3%), mayoritas responden tingkat pendidikannya adalah Diploma III Keperawatan (82.2%), dan hampir seluruhnya memiliki pengalaman kerja lebih dari dua tahun (91.1%). Dari data ini diperoleh bahwa responden dalam penelitian ini termasuk kedalam usia produktif. Hal ini sesuai dengan pendapat Siagian (1989) yang mengatakan bahwa pekerja yang berada pada usia produktif dapat diindikasikan bahwa mereka mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Bahkan bila dilihat dari pengalaman kerja yang dimiliki sudah lebih dari 2 tahun (91%) maka hal ini menunjukkan tingkat produktivitas kinerja yang tentunya semakin baik.
2.2 Peran Perawat dalam Upaya Pencegahan Komplikasi Anestesi
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa lebih dari setengah responden dalam melakukan perannya dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi adalah baik (51.1%). Sisanya adalah sebanyak kurang lebih dua perlima dari responden (40%) dalam melakukan perannya termasuk dalam katergori cukup, dan hanya 8.9% dari responden adalah kurang dalam melaksanakan perannya dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi. Peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi dapat terlaksana dengan baik karena perawat menyadari bahwa periode segera setelah anestesi adalah periode gawat. Untuk itu pasien
(1)
Valid 1 3 6.7 6.7 6.7
2 4 8.9 8.9 15.6
3 26 57.8 57.8 73.3
4 12 26.7 26.7 100.0
Total 45 100.0 100.0
Pertanyaan 25
N Valid 45
Missing 0
Mean 2.93
Std. Deviation .837
Minimum 1
Maximum 4
Frequency Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 1 4 8.9 8.9 8.9
2 5 11.1 11.1 20.0
3 26 57.8 57.8 77.8
4 10 22.2 22.2 100.0
Total 45 100.0 100.0
Pertanyaan 26
N Valid 45
Missing 0
Mean 2.62
Std. Deviation 1.029
Minimum 1
Maximum 4
Frequency Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 1 5 11.1 11.1 11.1
2 20 44.4 44.4 55.6
3 7 15.6 15.6 71.1
(2)
Std. Deviation 1.140
Minimum 1
Maximum 4
Frequency Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 1 6 13.3 13.3 13.3
2 14 31.1 31.1 44.4
3 5 11.1 11.1 55.6
4 20 44.4 44.4 100.0
Total 45 100.0 100.0
Pertanyaan 28
N Valid 45
Missing 0
Mean 2.56
Std. Deviation 1.035
Minimum 1
Maximum 4
Frequency Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 1 6 13.3 13.3 13.3
2 20 44.4 44.4 57.8
3 7 15.6 15.6 73.3
4 12 26.7 26.7 100.0
Total 45 100.0 100.0
Pertanyaan 29
N Valid 45
Missing 0
Mean 3.69
Std. Deviation .763
Minimum 1
Maximum 4
Frequency Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 1 2 4.4 4.4 4.4
2 2 4.4 4.4 8.9
3 4 8.9 8.9 17.8
4 37 82.2 82.2 100.0
(3)
Valid 1 11 24.4 24.4 24.4
2 8 17.8 17.8 42.2
3 15 33.3 33.3 75.6
4 11 24.4 24.4 100.0
Total 45 100.0 100.0
Pertanyaan 31
N Valid 45
Missing 0
Mean 3.38
Std. Deviation .936
Minimum 1
Maximum 4
Frequency Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 1 4 8.9 8.9 8.9
2 2 4.4 4.4 13.3
3 12 26.7 26.7 40.0
4 27 60.0 60.0 100.0
Total 45 100.0 100.0
Pertanyaan 32
N Valid 45
Missing 0
Mean 3.62
Std. Deviation .912
Minimum 1
Maximum 4
Frequency Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 1 4 8.9 8.9 8.9
2 1 2.2 2.2 11.1
3 3 6.7 6.7 17.8
(4)
Std. Deviation 1.423
Minimum 1
Maximum 4
Frequency Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 1 21 46.7 46.7 46.7
2 1 2.2 2.2 48.9
3 5 11.1 11.1 60.0
4 18 40.0 40.0 100.0
Total 45 100.0 100.0
Pertanyaan 34
N Valid 45
Missing 0
Mean 3.11
Std. Deviation .859
Minimum 1
Maximum 4
Frequency Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 1 2 4.4 4.4 4.4
2 8 17.8 17.8 22.2
3 18 40.0 40.0 62.2
4 17 37.8 37.8 100.0
Total 45 100.0 100.0
Pertanyaan 35
N Valid 45
Missing 0
Mean 3.00
Std. Deviation 1.066
Minimum 1
Maximum 4
Frequency Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 1 4 8.9 8.9 8.9
2 13 28.9 28.9 37.8
3 7 15.6 15.6 53.3
4 21 46.7 46.7 100.0
(5)
Valid 1 4 8.9 8.9 8.9
2 13 28.9 28.9 37.8
3 6 13.3 13.3 51.1
4 22 48.9 48.9 100.0
Total 45 100.0 100.0
Pertanyaan 37
N Valid 45
Missing 0
Mean 3.69
Std. Deviation .874
Minimum 1
Maximum 4
Frequency Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 1 4 8.9 8.9 8.9
3 2 4.4 4.4 13.3
4 39 86.7 86.7 100.0
(6)
Nama : Ida Basa Nainggolan Tempat/ Tanggal Lahir : Sidikalang, 31 Januari 1988 Jenis Kelamin : Perempuan
Keawarganegaraan : Indonesia
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Jl. SM Raja Atas No 155 Sidikalang-Sumbul
Pendidikan :
1. SDN Invaliden : Tahun 1993 - 1999
2. SLTPN 1 Sumbul : Tahun 1999 - 2002
3. SMUN 1 Sumbul : Tahun 2002 - 2005