BAB II TINJAUAN PUSTAKA - BAB II TRIANA ANGGRAEANI FARMASI'16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Otitis Media 1. Definisi Otitis media adalah suatu peradangan sebagian atau seluruh mukosa

  telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Otitis media terbagi atas otitis media supuratif dan non-supuratif, dimana masing

  • – masing memiliki bentuk akut dan kronis. Otitis media akut termasuk kedalam jenis otitis media supuratif. Selain itu terdapat juga jenis otitis media spesifik, yaitu otitis media tuberkulosa, otitis media sifilitik dan otitis media adhesive (Ghanie, 2010).

  Senturia et al (1980) membagi otitis media berdasarkan durasi penyakit yaitu akut (otitis media yang berlangsung selama < 3 minggu), subakut (otitis media yang berlangsung selama 3-12 minggu) dan kronis (otitis media yang berlangsung selama >12 minggu). Sade (1985); Klein et

  al (1989) pada third and fourth International Symposium on otitis media

  membagi otitis media berdasarkan gejala klinis yang terdiri atas 4 kelompok yaitu miringitis, otitis media supuratif akut (OMSA), otitis media sekretori (OMS) dan otitis media supuratif kronis (OMSK).

  Otitis media supuratif kronis (OMSK) dahulu disebut otitis media perforata atau dalam masyarakat Indonesia biasa disebut congek adalah infeksi kronis pada telinga tengah karena adanya perforasi membran timpani dan sekret (encer atau kental dan bening atau berupa nanah) yang keluar dari lubang telinga luar secara terus-menerus atau hilang timbul (Djafaar et al., 2007).

2. Etiologi

  Sumbatan pada tuba eustachius merupakan penyebab utama dari otitis media. Pertahanan tubuh pada silia mukosa tuba eustachius terganggu, sehingga pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah terganggu juga. Selain itu, ISPA juga merupakan salah satu faktor penyebab yang paling sering walaupun perkembangan dari OMSK merupakan lanjutan dari mulainya infeksi akut, bakteri yang ditemukan pada sekret otitis media supuratif kronis berbeda dengan yang ditemukan pada otitis media supuratif akut. Bakteri yang sering di jumpai pada

  

Proteus sp . Sedangkan bakteri pada OMSA yaitu Streptococcus

pneumoniae, H. influenza dan Morexella kataralis (Nursiah, 2003).

  Bakteri lain yang dijumpai pada OMSK yaitu E. Coli, Difteroid,

  

Klebsiella dan bakteri anaerob seperti Bacteriodes sp. Infeksi telinga

  biasanya masuk melalui tuba dan berasal dari hidung, sinus parasanal, adenoid atau faring. Dalam hal ini penyebab biasanya adalah

  

Pneumococcus, Streptococcus atau Haemophylus influenzae. Tetapi pada

  OMSK keadaan ini agak berbeda karena adanya perforasi membran timpani, infeksi lebih sering berasal dari luar yang masuk melalui perforasi tadi. Pengobatan penyakit infeksi ini sebaiknya berdasarkan kuman penyebab dan hasil uji kepekaan kuman (Nursiah, 2003).

  Terjadinya OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak dan jarang dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari nasofaring (adenoiditis, tonsilitis, rinitis dan sinusitis) mencapai telinga tengah melalui tuba eustachius. Fungsi tuba eustachius yang abnormal merupakan faktor predisposisi yang dijumpai pada anak dengan cleft palate dan

  Down’s syndrom. Adanya tuba patulous

  menyebabkan refluk isi nasofaring yang merupakan faktor insiden OMSK yang tinggi di Amerika Serikat (Nursiah, 2003).

  Faktor host yang berkaitan dengan insiden OMSK yang relatif tinggi adalah defisiensi immun sistemik, kelainan humoral (seperti hipo gamma globulinemia) dan cell mediated (seperti infeksi HIV) dapat sebagai manifestasi sekresi telinga kronis. Penyebab OMSK antara lain: a. Lingkungan

  Hubungan penderita OMSK dan faktor sosial ekonomi mempunyai hubungan erat dimana kelompok sosioekonomi rendah memiliki insiden yang lebih tinggi. Tetapi sudah hampir dipastikan hal ini berhubungan dengan kesehatan secara umum dan tempat tinggal yang padat (Kumar, 1996).

  b. Genetik insiden OMSK berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai faktor genetik. Sistem sel-sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis media, tapi belum diketahui apakah hal ini primer atau sekunder (Kumar, 1996).

  c. Otitis media sebelumnya.

  Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari otitis media akut atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui faktor apa yang menyebabkan berkembang menjadi keadaan kronis (Kumar, 1996).

  d. Infeksi Bakteri yang diisolasi dari mukopus atau mukosa telinga tengah hampir tidak bervariasi pada otitis media kronik yang aktif. Organisme yang terutama dijumpai adalah gram negatif, flora tipe usus dan beberapa organisme lainnya (Kumar, 1996).

  e. Infeksi saluran nafas atas Banyak penderita mengeluh sekret telinga sesudah terjadi infeksi saluran nafas atas. Infeksi bakteri dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh terhadap organisme yang secara normal berada dalam telinga tengah, sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri (Kumar, 1996).

  f. Autoimun Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insiden lebih besar terhadap otitis media kronis (Kumar, 1996).

  g. Alergi Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggi dibanding yang bukan alergi (Kumar, 1996). h. Gangguan fungsi tuba eustachius.

  Pada otitis kronis aktif, dimana tuba eustachius sering tersumbat oleh edema tetapi apakah hal ini merupakan fenomena primer atau sekunder masih belum diketahui. Pada telinga yang inaktif berbagai metode umumnya menyatakan bahwa tuba tidak mungkin mengembalikan tekanan negatif menjadi normal (Nursiah, 2003).

  3. Patogenesis

  Patogenesis OMSK belum diketahui secara lengkap, tetapi dalam hal ini merupakan stadium kronis dari otitis media akut (OMA) dengan perforasi yang sudah terbentuk diikuti dengan keluarnya sekret yang terus menerus. Perforasi sekunder pada OMA dapat menjadi kronis tanpa kejadian infeksi pada telinga tengah misal perforasi kering dan disebut sebagai keadaan inaktif dari otitis media kronis. Terjadinya otitis media nekrotikan terutama pada masa anak

  • –anak menimbulkan perforasi yang besar pada gendang telinga. Setelah penyakit akut berlalu, gendang telinga tetap berlubang atau sembuh dengan membran yang atrofi yang kemudian dapat kolaps kedalam telinga tengah, memberi gambaran otitis atelektasis (Nursiah, 2003).

  4. Klasifikasi

  OMSK dapat dibagi atas 2 tipe yaitu: a. Tipe tubotimpani = tipe jinak = tipe aman = tipe rhinogen.

  Penyakit tubotimpani ditandai oleh adanya perforasi sentral atau pars tensa dengan gejala klinik yang bervariasi dari luas dan keparahan penyakit. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi keadaan ini terutama patensi tuba eustachius, infeksi saluran nafas atas, pertahanan mukosa terhadap infeksi yang gagal pada pasien dengan daya tahan tubuh yang rendah, disamping itu campuran bakteri aerob dan anaerob, luas dan derajat perubahan mukosa, serta migrasi sekunder dari epitel skuamous. Sekret mukoid kronis berhubungan dengan hiperplasia goblet sel, metaplasia dari mukosa telinga tengah pada tipe respirasi dan mukosiliar yang jelek. Secara klinis penyakit tubotimpani terbagi atas: 1) Penyakit aktif

  Pada jenis ini terdapat sekret pada telinga dan tuli. Biasanya eutachius atau setelah berenang dimana kuman masuk melalui liang telinga luar. Sekret bervariasi dari mukoid sampai mukopurulen. Ukuran perforasi bervariasi dari sebesar jarum sampai perforasi subtotal pada pars tensa dan jarang ditemukan polip yang besar pada liang telinga luar. Perluasan infeksi ke sel - sel mastoid mengakibatkan penyebaran yang luas dan penyakit mukosa yang menetap harus dicurigai bila tindakan konservatif gagal untuk mengontrol infeksi atau jika granulasi pada mesotimpanum dengan atau tanpa migrasi sekunder dari kulit, dimana kadang - kadang adanya sekret yang berpulsasi diatas kuadran posterosuperior (Nursiah, 2003). 2) Penyakit tidak aktif

  Pada pemeriksaan telinga dijumpai perforasi total yang kering dengan mukosa telinga tengah yang pucat. Gejala yang dijumpai berupa tuli konduktif ringan. Gejala lain yang dijumpai seperti vertigo, tinnitus atau suatu rasa penuh dalam telinga. Faktor predisposisi pada penyakit tubotimpani antara lain infeksi saluran nafas yang berulang, alergi hidung, rhinosinusitis kronis, pembesaran adenoid pada anak, tonsilitis kronis, mandi dan berenang dikolam renang, mengkorek telinga dengan alat yang terkontaminasi, malnutrisi, hipogammaglobulinemia dan otitis media supuratif akut yang berulang (Nursiah, 2003).

  b. Tipe antikoantral = tipe ganas = tipe tidak aman = tipe tulang Pada tipe ini ditemukan adanya kolesteatom dan berbahaya. Penyakit antikoantral lebih sering mengenai pars flasida dan khasnya dengan terbentuknya kantong retraksi yang mana bertumpuknya keratin sampai menghasilkan kolesteatom. Kolesteatom adalah suatu massa amorf, konsistensi seperti mentega, berwarna putih dan terdiri dari lapisan epitel bertatah yang telah nekrotis. Kolesteatom dapat dibagi atas 2 tipe yaitu kongenital dan didapat (Nursiah, 2003).

  a. Telinga berair (otorrhoe) Sekret bersifat purulen (kental, putih) atau mukoid (seperti air dan encer) tergantung stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan oleh aktivitas kelenjar sekretorik telinga tengah dan mastoid. Pada OMSK tipe jinak, cairan yang keluar mukopus tidak berbau busuk dan sering kali sebagai reaksi iritasi mukosa telinga tengah oleh perforasi membran timpani dan infeksi. Keluarnya sekret biasanya hilang timbul. Meningkatnya jumlah sekret dapat disebabkan infeksi saluran nafas atas atau kontaminasi dari liang telinga luar setelah mandi atau berenang (Nursiah, 2003).

  Pada OMSK stadium inaktif tidak dijumpai adanya sekret telinga. Sekret yang sangat bau, berwarna kuning abu - abu kotor memberi kesan kolesteatoma dan produk degenerasinya. Dapat terlihat keping - keping kecil, berwarna putih dan mengkilap. Pada OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan mukosa secara luas. Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan adanya jaringan granulasi, polip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatom yang mendasarinya. Suatu sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan tuberculosis (Nursiah, 2003).

  b. Gangguan pendengaran Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang - tulang pendengaran.

  Biasanya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Gangguan pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologi sangat hebat, karena daerah yang sakit ataupun kolesteatom dapat menghambat bunyi dengan efektif ke fenestra ovalis. Apabila tidak dijumpai kolesteatom, tuli konduktif kurang dari 20 db ini ditandai bahwa rantai tulang pendengaran masih baik. Kerusakan dan fiksasi dari rantai tulang pendengaran menghasilkan penurunan pendengaran lebih dari 30 db. Beratnya ketulian tergantung dari besar dan letak pengantaran suara ke telinga tengah (Nursiah, 2003).

  Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat karena putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi sering kali juga kolesteatom bertindak sebagai penghantar suara sehingga ambang pendengaran yang didapat harus diinterpretasikan secara hati- hati. Penurunan fungsi kohlea biasanya terjadi perlahan - lahan dengan berulangnya infeksi karena penetrasi toksin melalui jendela bulat (foramen rotundum) atau fistel labirin tanpa terjadinya labirinitis supuratif. Apabila terjadinya labirinitis supuratif akan terjadi tuli saraf berat, hantaran tulang dapat menggambarkan sisa fungsi kohlea (Nursiah, 2003).

  c. Otalgia ( nyeri telinga) Nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK dan bila ada merupakan suatu tanda yang serius. Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena terbendungnya drainase pus. Nyeri dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret, terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis serta ancaman pembentukan abses otak. Nyeri telinga mungkin ada tetapi mungkin karena adanya otitis eksterna sekunder dan nyeri merupakan tanda berkembangnya komplikasi OMSK seperti petrositis, subperiosteal abses atau trombosis sinus lateralis (Nursiah, 2003).

  d. Vertigo Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius lainnya. Keluhan vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat erosi dinding labirin oleh kolesteatom. Vertigo yang timbul biasanya akibat perubahan tekanan udara yang mendadak atau pada panderita yang sensitif keluhan vertigo dapat terjadi hanya karena perforasi besar membran timpani yang akan menyebabkan labirin lebih mudah terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga akan menyebabkan keluhan vertigo. merupakan temuan yang serius karena infeksi kemudian dapat berlanjut dari telinga tengah dan mastoid ke telinga dalam sehingga timbul labirinitis dan mungkin dapat berlanjut menjadi meningitis. Uji fistula perlu dilakukan pada kasus OMSK dengan riwayat vertigo, uji ini memerlukan pemberian tekanan positif dan negatif pada membran timpani, dengan demikian dapat diteruskan melalui rongga telinga tengah (Nursiah, 2003). Tanda- tanda klinis OMSK tipe maligna: a. Adanya abses atau fistel retroaurikular.

  b. Jaringan granulasi atau polip diliang telinga yang berasal dari kavum timpani.

  c. Pus yang selalu aktif atau berbau busuk (aroma kolesteatom).

  d. Foto rontgen mastoid adanya gambaran kolesteatom (Nursiah, 2003).

6. Penegakan Diagnosis

  Diagnosis otitis media dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat. Beberapa teknik pemeriksaan dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis seperti otoskop, otoskop pneumatik, timpanometri dan timpanosintesis. Dengan otoskop dapat dilihat adanya gendang telinga yang menggembung, perubahan warna gendang telinga menjadi kemerahan atau agak kuning dan suram, serta cairan di liang telinga (Munilson, J.; Edward, Y & Yolazenia).

  Otitis media didiagnosis dengan melihat membran timpani menggunakan otoscope. Tes diagnostik lain adalah dengan mengukur kelenturan membran timpani dengan tympanometer. Dari tes ini akan tergambarkan ada tidaknya akumulasi cairan di telinga bagian tengah. Pemeriksaan lain menggunakan X ray dan CT Scan ditujukan untuk mengkonfirmasi adanya mastoiditis dan nekrosis tulang pada otitis maligna ataupun kronik (Nursiah, 2003).

  7. Pemeriksaan Klinik

  sebagai berikut :

  a. Pemeriksaan Audiometri Pada pemeriksaan audiometri penderita OMSK biasanya didapati tuli konduktif. Tapi dapat pula dijumpai adanya tuli sensori neural, beratnya ketulian tergantung besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem penghantaran suara ditelinga tengah (Nursiah, 2003).

  b. Pemeriksaan Radiologi.

  Pemeriksaan radiografi daerah mastoid pada penyakit telinga kronis nilai diagnostiknya terbatas dibandingkan dengan manfaat otoskopi dan audiometri. Pemeriksaan radiologi biasanya mengungkapkan mastoid yang tampak sklerotik, lebih kecil dengan pneumatisasi lebih sedikit dibandingkan mastoid yang satunya atau yang normal. Erosi tulang terutama pada daerah atik memberi kesan kolesteatom (Nursiah, 2003).

  c. Bakteriologi Walapun perkembangan dari OMSK merupakan lanjutan dari mulainya infeksi akut, bakteriologi yang ditemukan pada sekret yang kronis berbeda dengan yang ditemukan pada otitis media supuratif akut. Pada OMSK keadaan ini agak berbeda karena adanya perforasi membran timpani, infeksi lebih sering berasal dari luar yang masuk melalui perforasi tadi. Pengobatan penyakit infeksi ini sebaiknya berdasarkan kuman penyebab dan hasil uji kepekaan kuman (Nursiah, 2003).

  8. Penatalaksanaan

  Prinsip pengobatan tergantung dari jenis penyakit dan luasnya infeksi, dimana pengobatan dapat dibagi atas : a. Konservatif b. Operasi OMSK Benigna Tenang

  Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan dan dinasehatkan untuk jangan mengorek telinga, air jangan masuk ke telinga sewaktu mandi, atas. Apabila fasilitas memungkinkan sebaiknya dilakukan operasi rekonstruksi (miringoplasti atau timpanoplasti) untuk mencegah infeksi berulang serta gangguan pendengaran (Nursiah, 2003). OMSK Benigna Aktif Prinsip pengobatan OMSK adalah: 1. Membersihkan liang telinga dan kavum timpani.

  2. Pemberian antibiotika:

  • topikal antibiotik ( antimikroba) - sistemik.

  Tabel 1. Antibiotika pada Terapi pokok Otitis Media Antibiotika Dosis Keterangan Lini Pertama Amoksisilin Anak: 20-40mg/kg/hari terbagi dalam Untuk pasien risiko 3 dosis rendah yaitu: Usia>2th,

  Dewasa:40mg/kg/hari terbagi dalam 3 tidak mendapat dosis antibiotika selama 3 bulan terakhir Anak 80mg/kg/hari terbagi dalam 2 Untuk pasien risiko tinggi dosis Dewasa:80mg/kg/hari terbagi dalam 2 dosis

  Lini Kedua Amoksisilin- Anak:25-45mg/kg/hari terbagi dalam klavulanat 2 dosis

  Dewasa:2x875mg Kotrimoksazol Anak: 6-12mg TMP/30-60mg SMX/kg/hari terbagi dalam 2 dosis Dewasa: 2 x 1-2 tab

  Cefuroksim Anak: 40mg/kg/hari terbagi dalam 2 dosis Dewasa:2 x 250-500 mg

  Ceftriaxone Anak: 50mg/kg; max 1 g; i.m. 1 dosis untuk otitis media yang baru 3 hari terapi untuk otitis yang resisten

  Cefprozil Anak: 30mg/kg/hari terbagi dalam 2 dosis Cefixime Anak:8mg/kg/hari terbagi dalam 1-2 dosis

  Dewasa: 2 x 200mg (DepKes RI, 2005).

  OMSK Maligna Pengobatan yang tepat untuk OMSK maligna adalah operasi. Pengobatan konservatif dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara sebelum dilakukan pembedahan. Apabila terdapat abses subperiosteal, maka insisi abses sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum kemudian dilakukan mastoidektomi. Ada beberapa jenis pembedahan atau teknik operasi yang dapat dilakukan pada OMSK dengan mastoiditis kronis baik tipe benigna atau maligna, antara lain:

  1. Mastoidektomi sederhana (simple mastoidectomy).

  2. Mastoidektomi radikal.

  3. Mastoidektomi radikal dengan modifikasi.

  4. Miringoplasti.

  5. Timpanoplasti.

  6. Pendekatan ganda timpanoplasti (combined approach tympanoplasty) (Nursiah, 2003).

B. Antibiotik

1. Definisi

  Antibiotik adalah zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Turunan zat

  • – zat ini yang dibuat secara semi- sintesis juga termasuk kelompok ini, begitu pula
semua senyawa sintesis dengan khasiat antibakteri (Tjay dan Rahardja, 2007).

  2. Aktivitas Spektrum

  Berdasarkan dari sifat toksisitas selektif, terdapat anti mikroba yang pula anti mikroba yang bersifat membunuh pertumbuhan mikroba (bakterisid), masing

  • – masing mempunyai kadar hambat minimal (KHM) dan kadar bunuh minimal (KBM). Selain itu terdapat antibiotik spektrum luas yang dapat menghambat atau membunuh mikroba gram positif maupun gram negatif dan antibiotik dengan spektrum sempit yang hanya dapat menghambat atau membunuh gram positif atau gram negatif saja (Katzung, 2004).

  3. Mekanisme Kerja

  Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotik dibagi dalam 5 kelompok: a. Mengganggu metabolisme sel mikroba, yang termasuk kelompok ini ialah sulfonamide, trimetoprim, asam p

  • – aminosalisilat (PAS) dan sulfon.

  b. Menghambat sintesis dinding sel mikroba, yang termasuk kelompok ini ialah penisilin, sefalosporin, basitrasin, vankomisin dan sikloserin.

  c. Mengganggu permeabilitas membran sel mikroba, yang termasuk kelompok ini ialah polimiksin, golongan polien serta berbagai antimikroba kemoterapeutik, misalnya antiseptik,

  d. Menghambat sintesis protein sel mikroba, yang termasuk kelompok ini ialah aminoglikosida, linkomisin, tetrasiklin dan kloramfenikol.

  e. Merusak asam nukleat sel mikroba, yang termasuk kelompok ini ialah rifampisin dan golongan kuinolon (Setiabudy, 2007).

  4. Golongan Antibiotik

a. Cefixime

  Cefixime adalah antibiotik sefalosporin generasi ketiga yang stabil terhadap enzim β-laktamase yang diproduksi oleh organisme seperti strain Haemophylus Influenzae, Neisseria gonorrhoeae dan mayoritas enterobakteria. Mekanisme kerja cefixim atau antimikroba sefalosporin ialah dengan menghambat sintesis dinding sel mikroba, yang dihambat adalah reaksi transpeptidase tahap ketiga dalam

  Golongan sefalosporin ini aktif terhadap bakteri gram positif maupun gram negatif, tetapi dengan spektrum yang bervariasi. Cefixim generasi ketiga dengan sediaan oral, golongan ini umumnya kurang efektif dibandingkan dengan generasi pertama terhadap kuman gram positif, tetapi jauh lebih efektif terhadap enterobakteria, termasuk strain penghasil penisiline. Antibiotik cefixime generasi ketiga dari golongan sefalosporin dengan aktifitas terhadap kuman gram negatif lebih kuat dan lebih luas lagi yaitu meliputi pseudomonas dan bakteriodes.

  Cefixime diindikasikan untuk pengobatan infeksi

  • – infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme yang rentan yaitu seperti infeksi saluran kemih, otitis media, faringitis, tonsillitis, bronkitis akut dan bronkitis kronik. Kontra indikasinya yaitu penderita dengan riwayat shock dan hipersensitifitas akibat beberapa bahan dari sediaan ini (Tjay dan Rahardja, 2007).

  

Gambar 1. Struktur Cefixime

b.

   Ciprofloxacin

  Ciprofloxacin merupakan derivat siklopropil dari kelompok florokuinolon yang berkhasiat bakterisid pada pertumbuhan kuman dengan menghambat kerja enzim DNA gyrase bakteri, sehingga sintesis DNAnya dihindarkan. Karena enzim hanya terdapat pada kuman dan tidak pada sel organisme yang lebih tinggi, tidak akan menghambat sintesis DNA manusia sehingga tidak toksik pada hospes. Mekanisme resistensinya melalui mekanisme mutasi pada DNA atau membrane sel kuman. Untuk menghambat resistensi, sebaiknya ciprofloxacin

  Ciprofloxacin merupakan antibiotik golongan fluorokuinolon, bekerja dengan cara mempengaruhi enzim DNA gyrase pada bakteri. Siprofloksasin merupakan antibiotik untuk bakteri gram positif dan negatif yang sensitif. Bakteri gram positif yang sensitif : Enterococcus

  

faecallis, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis,

Streptococcus pyogenes. Bakteri gram negatif yang sensitif :

Campylobacter jejuni, Citrobacter diversus, Citrobacter freundii,

Enterobacter cloacae, Escherichia coli, Haemophilus influenzae,

Klebsiella pneumoniae, Morganella morganii, Neisseria gonorrheae,

Proteus mirabilis, Proteus vulgaris, Providencia rettgeri, Providencia

stuartii, Pseudomonas aeruginosa, Salmonella typhii, Serratia

  (Tjay dan Rahardja,

  marcencens, Shigella flexneri dan Shigella sonnei 2007).

  

Gambar 2. Struktur Ciprofloxacin

c.

   Amoxicillin

  Amoxicillin adalah antibiotik yang paling banyak digunakan. Hal ini karena amoxicillin cepat diserap di usus dan efektif untuk berbagai jenis infeksi. Amoxicillin dapat digunakan untuk pengobatan infeksi pada telinga, hidung, tenggorokan, gigi, saluran genitourinaria, kulit, struktur kulit dan saluran pernapasan bawah oleh Streptococcus spp., S.

  pneumoniae , Staphylococcus spp. , H. influenzae , E. coli, P.

  mirabilis atau E. faecalis. Amoxicillin juga bermanfaat untuk

  pengobatan gonore akut tanpa komplikasi oleh N. gonorrhoeae (Tjay dan Rahardja, 2007).

  Amoxicillin termasukpektrum luas dalam kelompok bakteri dengan menghambat enzim D-transpeptidase bakteri.

  Akibatnya, bakteri tidak dapat berkembang biak (Katzung, 2004).

  Gambar 3. Struktur Amoxicillin

C. Resistensi

  Resisten adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan melemahkan daya kerja antibiotik (Delica & Perlin, 2011). Satuan resistensi dinyatakan dalam satuan Kadar Hambat Minimal (KHM) atau Minimum

  Inhibitory Concentration (MIC) yaitu kadar terendah antibotik (µg/mL) yang

  mampu menghambat tumbuh dan berkembangnya bakteri. Peningkatan nilai KHM menggambarkan tahap awal menuju resisten (Permenkes, 2011). Timbulnya resistensi bakteri telah memunculkan pemikiran risiko dibanding keuntungan dalam meresepkan antibiotik untuk seluruh OMA. Risiko antibiotik termasuk reaksi alergi, gangguan pencernaan, mempercepat resistensi bakteri dan perubahan pola flora bakteri di nasofaring. Hal tersebut menyebabkan penggunaan antibiotik dianjurkan berdasarkan hasil timpanosintesis.

  Bahaya dari timbulnya resistensi bakteri adalah semakin sulitnya pengobatan, semakin lamanya infeksi serta resiko peningkatan komplikasi atau kematian (Tjay dan Rahardja, 2007).

  Mikroorganisme dapat memperlihatkan resistensi terhadap obat melalui berbagai mekanisme, yaitu:

  1. Mikroorganisme menghasilkan enzim yang merusak obat aktif.

  2. Mikroorganisme mengubah permeabilitasnya terhadap obat tersebut.

  3. Mikroorganisme menyebabkan perubahan target struktural untuk obat.

  4. Mikroorganisme menyebabkan perubahan jalur metabolik yang melintasi

  5. Mikroorganisme menyebabkan perubahan enzim baru yang masih dapat melakukan fungsi metaboliknya tapi sedikit dipengaruhi oleh obat (Jawetz, 2007).

D. Bakteri

  Walapun perkembangan dari OMSK merupakan lanjutan dari mulainya infeksi akut, bakteri yang ditemukan pada sekret otitis media supuratif kronis berbeda dengan yang ditemukan pada otitis media supuratif akut. Bakteri yang sering di jumpai pada OMSK adalah Pseudomonas aeruginosae,

  Staphylococcus aureus dan Proteus sp. Sedangkan bakteri pada OMSA Streptococcus pneumoniae, H. influenzae dan Morexella kataralis. Bakteri

  lain yang dijumpai pada OMSK yaitu E. coli, Difteroid, Klebsiella dan bakteri anaerob seperti Bacteriodes sp. Infeksi telinga biasanya masuk melalui tuba dan berasal dari hidung, sinus parasanal, adenoid atau faring. Dalam hal ini penyebab biasanya adalah Pneumococcus, Streptococcus atau

  Haemophylus influenzae . Tetapi pada OMSK keadaan ini agak berbeda

  karena adanya perforasi membran timpani, infeksi lebih sering berasal dari luar yang masuk melalui perforasi tadi. Pengobatan penyakit infeksi ini sebaiknya berdasarkan kuman penyebab dan hasil uji kepekaan kuman (Nursiah, 2003).

1. Staphylococcus aureus

  termasuk golongan gram positif, aerob dan

  Staphylococcus aureus

  hidup saprofit pada kulit normal manusia. Perubahan sifat saprofit menjadi patogen terjadi pada kondisi kuman mampu memproduksi toksin dan enzim sehingga mempermudah terjadinya invasi lokal. Helmi et al (1990) mengatakan bahwa Staphylococcus aureus telah resisten terhadap antibiotika golongan penisilin seperti amoksisilin atau ampisilin, tetapi kombinasinya dengan sulbaktam atau asam klavulanat lebih baik daya bunuhnya terhadap kuman gram positif.

2. Pseudomonas aeruginosa

  dalam jumlah kecil sering dijumpai sebagai flora saprofit normal pada kulit dan usus. Perubahan sifat saprofit menjadi patogen pada OMSK terjadi karena faktor- faktor predisposisi yaitu serangan otitis media akut sebelumnya dan adanya perforasi membran timpani, efusi kronis telinga tengah, abnormalitas struktur epitel telinga tengah serta disfungsi tuba auditiva (Nursiah, 2003).

E. Isolasi dan Identifikasi Bakteri

  Isolasi mikroba yaitu memisahkan satu mikroba dengan mikroba yang lain yang berasal dari berbagai macam jenis mikroba. Cara mengisolasi mikroba dapat dilakukan dengan cara menumbuhkan mikroba dalam medium yang sesuai. Hal

  • – hal yang harus diperhatikan dalam mengisolasi mikroba yaitu sifat spesies mikroba yang akan diisolasi, tempat hidup atau asal mikroba, medium pertumbuhan yang sesuai, cara menginokulasi mikroba, lama inkubasi mikroba, cara menguji bahwa mikroba yang diisolasi telah berupa biakan murni dan cara memelihara agar mikroba yang diisolasi tetap merupakan biakan murni (Waluyo, 2010).

  Identifikasi dan determinasi suatu biakan murni bakteri yang diperoleh dari hasil isolasi dapat dilakukan dengan cara pengamatan sifat morfologi koloni serta pengujian sifat

  • – sifat fisiologi dan biokimianya, selain itu dapat dilihat kemampuannya menggunakan senyawa tertentu sebagai sumber karbon dan sumber energi (Waluyo, 2004). Terdapat 3 prosedur pewarnaan, yaitu:

  1. Pewarnaan Sederhana (Simple Strain)

  Hanya digunakan satu macam pewarna dan digunakan untuk mewarnai seluruh sel mikroorganisme sehingga bentuk seluler dan struktur dasarnya terlihat.

  2. Pewarnaan Diferensial (Diferential Strain) untuk setiap bakteri. Pewarnaan diferensial yang sering digunakan yaitu pewarnaan gram yang mampu membedakan dua kelompok besar bakteri, yaitu gram positif dan gram negatif.

  3. Pewarnaan Khusus (Special Strain) Digunakan untuk mewarnai dan mengisolasi bagian spesifik dari mikroorganisme, misalnya bagian endospora, kapsul, flagella (Waluyo, 2010).

F. Uji Sensitivitas Bakteri

  Uji sensitivitas antibiotik dapat dilakukan dengan mengukur respon pertumbuhan populasi mikroorganisme terhadap agen antimikroba. Tujuannya adalah untuk menentukan potensi dan kontrol kualitas selama proses produksi senyawa antimikroba di pabrik untuk menentukan farmakokinetik obat pada hewan atau manusia dan untuk memonitor serta mengontrol kemoterapi obat. Kegunaan uji antimikroba adalah diperolehnya suatu sistem pengobatan yang efektif dan efisien (Pratiwi, 2008).

  Uji sensitivitas bakteri dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Metode yang digunakan salah satunya adalah metode disc diffusion (Tes Kirby & Bauer) yang digunakan untuk menentukan aktivitas agen antimikroba dengan cara cawan yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media agar yang telah ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar. Adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh agen mikroba pada permukaan media agar ditandai dengan adanya area jernih (Pratiwi, 2008).

  Zona hambat yang terbentuk diukur dan di uji kepekaannya terhadap antibiotik dan digolongkan ke dalam tiga Kriteria sesuai dengan CLSI yaitu resisten (R), intermediet (I), sensitif (S) (Matthew et al., 2008).

  Otore adalah sekret atau cairan yang keluar dari liang telinga. Cairan yang keluar dari telinga harus diperhatikan sifat-sifatnya karena dapat mendukung diagnosis, misal jernih atau purulen, mengandung darah atau tidak, berbau, pulsatil atau non-pulsasi. Gejala penyerta yang lain juga harus diperhatikan, seperti adanya ganguan pendengaran, tinitus dan otalgia (Nursiah, 2003).

  Sekret yang keluar dapat purulen, mukoid atau mukopurulen, sekret seperti ini menandai adanya infeksi pada telinga. Sekret dapat pula jernih yang bisa disebabkan oleh berbagai jenis dermatosis meatus akustikus externa atau mungkin sekret yang jernih itu berasal dari cairan otak (serebrospinalis). Semua tipe otore ini dapat mengandung darah, bisa karena trauma dan berbagai neoplasma, sekret dapat tidak berbau dan berbau sangat busuk (biasanya pada kolesteatoma). Biasanya sekret ini non-pulsatil, tetapi bila berada di bawah tekanan hebat di celah ruang telinga tengah, maka ia akan berpulsasi (Nursiah, 2003).

H. Rumah Sakit

  Menurut WHO (World Health Organization) rumah sakit adalah bagian integral dari suatu organisasi sosial dan kesehatan dengan fungsi menyediakan pelayanan paripurna (komprehensif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pencegahan penyakit (preventif) kepada masyarakat. Rumah sakit juga merupakan pusat pelatihan bagi tenaga kesehatan dan pusat penelitian medik (Adikoesoemo, 2002).

  Berdasarkan undang-undang No. 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, yang dimaksudkan dengan rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat. Sedangkan menurut undang-undang No. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit, fungsi rumah sakit adalah:

  1. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai

  2. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.

  3. Penyelenggaaan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.

  4. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta pengaplikasian teknologi dalam bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan (Depkes RI, 2009).