this file 838 1575 1 SM

TRANSFORMASI TRADISI FILANTROPI ISLAM :
STUDI MODEL PENDAYAGUNAAN ZAKAT, INFAQ,
SADAQAH WAKAF DI INDONESIA
Indah Piliyanti1
Abstract
The history of Islamic philanthropy in Indonesia, appeared simultaneously with the arrival of Islam in the archipelago. However, the term philanthropy (philanthropy) in a common sense, became
a fame, and began to strengthen in various forms in the 19th century. Zakat, Infaq, Sadaqah and
Endowment are sources of philanthropic funds in Islamic treasures. Currently, the Islamic philanthropy management becomes an interesting issue when juxtaposed with the issue of poverty in
Indonesia because, the funds, are not only used for consumption but also can be utilized as solutions to alleviate poverty. This paper aims to examine the institution and fund utilization model of
Islamic philanthropy in Indonesia since the beginning of Islam in Indonesia up to now.
The research concludes, in the early phase of the development of Islam in Indonesia, the tradition
of philanthropy was driven by two religious institutions namely mosques and pesantren. The management of both institutions, was still in traditional-individualistic pattern. Continuously, institution, model and direction of Islamic philanthropy tradition in Indonesia, have been developing
along with the change of time. Currently, the institution / organization manager of Islamic philanthropy is managed by two agencies, in accordance with law number 38/1999 zakat management,
namely; amil-amil zakat and charity institutions. While the management of endowments, managed
by nadzir waqf which is established by the National Endowments of Indonesian government, as
mandated by Law Number 41/2004 concerning waqf (endowment). Islamic philanthropic institutions, have been applying modern management. Utilization model of philanthropy has transformed
toward empowerment, and become a real endeavor of poverty alleviation in Indonesia.
Keyword: Islamic philantropy, ZISWAF institution, poverty

PENDAHULUAN
Diskursus filantropi Islam merupakan kajian menarik akhir akhir ini, khususnya jika dikaitkan

dengan masalah kemiskinan di Indonesia. Filantropi Islam memiliki peran penting dalam
perekonomian. Menurut Wibisono (2009), instrumen filantropi adalah mekanisme transfer dari
kelompok kaya kepada kelompok miskin yang tepat sasaran. Pada saat yang sama, instrumen
filantropi Islam berperan sebagai jejaring pengaman sosial yang efektif. Dengan adanya transfer
pendapatan dari kelompok kaya ke kelompok miskin, akan terjadi peningkatan permintaan barang
dan jasa dari kelompok miskin, yang umumnya kebutuhan dasar.
1

Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Surakarta,
E-mail: indah.piliyanti@gmail.com

Nomor 1I / Edisi II / November 2010

1

Jurnal Pemikiran dan Penelitian Ekonomi Islam
Ditilik dari jenis sumber dana, filantropi dalam Islam terdiri atas infaq, sadakah, zakat dan
wakaf (ZISWAF). Dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi
dana ZISWAF yang besar. Potensi zakat nasional mencapai 19,3 triliun. Sedangkan Hafidhuddin
(2010), mengatakan potensi zakat di Indonesia mencapai 80 triliun pertahunnya.2 Potensi ini, belum

termasuk perhitungan dana infaq dan sadaqah yang belum tergali di masyarakat karena sumber
dana infaq sadaqah bersifat sukarela.
Begitu pula dengan potensi wakaf. Dilihat dari sumber daya alam atau tanahnya (resources
capital) jumlah harta wakaf di Indonesia merupakan jumlah harta wakaf terbesar di seluruh dunia.
Berdasarkan data dari Departemen Agama tahun 2008, tanah wakaf yang tersebar di seluruh Indonesia mencapai 2,7 miliar m2. Belum lagi, potensi wakaf uang (cash waqf). Badan Wakaf Indonesia (BWI) menilai potensi wakaf tunai di Indonesia mencapai Rp. 20-50 triliun pertahun3. Potensi
dana ZISWAF yang besar membutuhkan sistem yang kuat agar dana-dana filantropi dapat mengatasi
masalah kemiskinan di Indonesia, serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dana ZISWAF
bahkan dapat menjadi instrumen untuk mensubstitusi utang negara, sehingga kemandirian negara
menjadi sebuah keniscayaan.
Sejarah filantropi Islam telah ada sejak Islam hadir di Indonesia. Pelaksanaan ajaran filantropi
didorong oleh aktivitas sosial dua institusi keagamaan terpenting masjid dan pesantren. Pada awalnya,
pengelolaan bersifat tradisional dan lebih didominasi oleh pola pendistribusian secara konsumtif.
Namun demikian, pada pelaksanaan yang lebih mutakhir saat ini, khususnya dana zakat mulai
dikembangkan dengan pola distribusi dana zakat secara produktif.
Dalam buku pedoman zakat yang diterbitkan Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji Departemen
Agama, untuk mendayagunaan dana zakat, bentuk inovasi distribusi dikategorikan dalam empat
bentuk: pertama, distribusi bersifat ‘konsumtif tradisional’, Kedua, distribusi bersifat ‘konsumtif
kreatif’. Ketiga, distribusi bersifat ‘produktif tradisional’. Keempat, distribusi dalam bentuk
‘produktif kreatif.4
Dengan latar belakang di atas, tulisan ini akan mengkaji lembaga dan model pendayagunaan

dana filantropi Islam di Indonesia sejak awal masuknya Islam di Indonesia hingga saat ini, serta
melihat hubungan antar lembaga filantropi Islam dengan komunitas di dalam masyarakat Indonesia. Pembahasan dalam tulisan ini terdiri dari empat bagian. Bagian pertama: pendahuluan yang
membahas tentang latar belakang kajian ini dilakukan. Kedua, membahas ZISWAF dan kemiskinan
di Indonesia. Ketiga, memaparkan metode penelitian yang digunakan serta diskusi hasil kajian.
Bagian akhir dari tulisan ini adalah kesimpulan.
TELAAH TORITIS
1. Zakat, Infaq, Sadaqah, Wakaf Dan Kemiskinanan Di Indonesia
Zakat dalam Mu’jam Al’Muqayis fi al-Lughah memiliki akar kata yang mengacu pada makna
al-nama’ dan al-ziyadah yang berarti pertumbuhan dan pertambahan. Menurutnya, hal ini bukannya
tidak beralasan, karena dengan zakat diharapkan harta seseorang terus tumbuh dan bertambah,
baik dalam bentuk nyata di dunia maupun di akhirat.5 Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat merupakan
bentuk kata dasar (masdar) dari zaka yang berarti berkah, tumbuh, bersih, dan baik. Sesuai itu

2

Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Press, 2010, hal 8.
Wakaf; tidak hanya Tanah dan Bangunan, dikutip dari Sharing Majalah ekonomi dan Bisnis Syariah Edisi 33 th. III
September 2009, hal. 20.
4
Mufraini, Arif, Akuntansi dan Manajemen Zakat Mengoptimalkan Kesadaran Zakat dan Membangun Jaringan.

Jakarta: Kencana, 2008, hal 35-46
5
Mujahidin, Akhmad, Ekonomi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa, 2007, hal 23-25
3

2

Nomor 1I / Edisi II / November 2010

Indah Piliyanti
zaka, berarti tumbuh dan berkembang, dan seorang itu zaka berarti orang itu baik.6 Menurut istilah
fiqh, zakat berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah yang diserahkan kepada orangorang yang berhak, di samping berarti mengeluarkan jumlah tertentu itu sendiri . Secara garis besar
zakat dibagi menjadi dua: zakat fitrah (jiwa) dan zakar maal (harta).
Infaq berasal dari kata anfaqa yang berarti “mengeluarkan sesuatu harta untuk kepentingan
sesuatu. Menurut syara’, infaq berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan/penghasilan
untuk suatu kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam. Jika zakat ada nisbahnya, infaq tidak
mengenal nishab. Infaq dikeluarkan oleh setiap orang yang beriman, baik yang berpenghasilan
berpenghasilan tinggi maupun rendah, baik lapang maupun sempit. Zakat diperuntukkan bagi 8
golongan, sedangkan infaq tidak ada ketentuan pasti penerimanya.7
Shadaqah berasal dari shadaqa yang berarti benar. Menurut syara’ pengertian shadaqah sama

dengan pengertian infaq, termasuk hukum dan ketentuan-ketentuannya. Bedanya, infaq berkaitan
dengan materi, sadaqah memiliki arti lebih luas, menyangkut juga hal yang bersifat non material.8
Wakaf berasal dari bahasa Arab yang berarti menahan tindakan hukum. Persoalan wakaf adalah
persoalan permindahan hak milik yang dimanfaatkan untuk kepentingan umum (Ensiklopedi Hukum
Islam, 1997). Para ulama’ fiqh, memiliki definisi berbeda tentang wakaf. Dalam fiqh Sunnah, Sayyid
Sabiq menyatakan, wakaf adalah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, dan memungkinkan
untuk diambil manfaatnya guna diberikan dijalan kebaikan.9 Dari definisi di atas, baik zakat, infak,
sadaqah maupun wakaf merupakan bentuk ibadah yang memiliki dua dimensi; kewajiban individu
terhadap Tuhannya (hablum minallah) serta memenuhi kewajiban sosial (hablum mina nas).
2.

Filantropi Islam untuk Pengentasan Kemiskinan
Masalah kemiskinan akan terus menjadi perbincangan serius di Indonesia karena, negara dengan
kekayaan alam yang melimpah, ternyata angka kemiskinan sangat tinggi. Kemisikinan adalah satu
faktor dominan dari kekacauan sosial yang terjadi di banyak tempat. Karena kemiskinan jutaan
anak tidak mampu mengenyam pendidikan yang berkualitas, karena kemiskinan pula masyarakat
tidak mendapat pelayanan kesehatan yang layak.
Menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah
Garis Kemiskinan di Indonesia) pada bulan Maret 2009 sebesar 32,53 juta (14,15 persen). Dengan
angka kemiskinan tersebut, Rencana Kebijakan Pemerintah (RKP) tahun 2009 mengambil tema

“Peningkatan Kesejahteraan Rakyat dan Pengurangan Kemiskinan”. Dalam RKP tahun 2009, angka
kemiskinan ditargetkan turun menjadi 31 juta jiwa (14 %), dan angka pengangguran ditargetkan
turun menjadi 7,8 juta jiwa (7%). Pencapaian target tersebut secara operasional dilakukan dalam
tiga klaster program penanggulangan kemiskinan. Pertama, memberikan bantuan dan perlindungan
sosial kepada keluarga kurang mampu, melalui Program Beras untuk Rakyat Miskin, Bantuan
Operasional Sekolah, Bantuan Langsung Tunai dan Jaminan Kesehatan Masyarakat. Kedua, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat – Mandiri. Ketiga, Program Kredit Usaha Rakyat.10

6

Qardawi. Yusuf., Hukum Zakat. Jakarta: Pustaka Litera Antarnusa, 2004, hal 56-57.
Najmuddin, Zuhdi& Elvi Na’imah, Studi Islam 2, Cet. 3. Surakarta: Lembaga Pengembangan Ilmu-Ilmu Dasar,
2006 hal 37-38
8
Ibid
9
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Bandung: Al-Maarif, 1987, hal 45-46
10
http://www.setneg.go.id/index.php?Itemid=29&id=3234&option=com_content&task =view, diakses pada Agustus
2009.
7


Nomor 1I / Edisi II / November 2010

3

Jurnal Pemikiran dan Penelitian Ekonomi Islam
Pemerintah Indonesia memiliki sumber dana sebagai instrumen membiayai belanja negara
serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui pajak. Pajak merupakan kewajiban warga
negara atas objek pajak yang telah di atur dalam undang-undang. Namun, dari hasil pajak yang
dipungut pemerintah, ternyata belum mampu mengentaskan kemiskinan secara signifikan. Sehingga,
memungkinkan sumber lain seperti dana filantropi Islam dapat didayagunakan untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Selain merupakan kewajiban seorang muslim, zakat merupakan instrumen ekonomi dalam
Islam. Hasil pengumpulan zakat merupakan sumber dana yang potensial bagi upaya pengentasan
kemiskinan. Ini belum termasuk dana infaq, sadaqah serta wakaf yang bersifat sukarela dari
masyarakat muslim. Sejarah mencatat, pada awal pemerintahan Islam di masa Nabi Muhammad
saw, zakat dan ushr (zakat atas pertanian dan buah-buahan) merupakan dua pendapatan paling
utama dan penting. Keduanya berbeda dengan pajak dan tidak diperlakukan seperti pajak. Zakat
dan ushr merupakan kewajiban agama dan pengeluaran keduanya diuraikan jelas dalam Al-Qur’an.11
Dalam Islam, zakat tidak hanya memenuhi kewajiban agama akan tetapi memiliki fungsi sosial

sebagai bentuk solidaritas sosial. Sayyid Quthb dalam Muhajahidin menyebutkan setidaknya ada
dua fungsi utama zakat: pertama, zakat sebagai asuransi sosial (al-ta’min al-ijtima’iy) dalam
masyarakat muslim. Kedua, zakat juga berfungsi sebagai jaminan sosial (al-dha,am al ijtimaiy).12
Sedangkan Umar bin Khaththab menegaskan tujuan zakat adalah mengubah mustahik menjadi
muzzaki (Ensiklopedi Fiqh ‘Umar ibn al-Khathab, tth).
Sumber dana filantropi Islam memiliki karakteristik yang berbeda. Zakat merupakan kewajiban
umat muslim, bagi mereka yang sudah memenuhi persyaratan (mencapai nishab dan haul). Sasaran
penerima zakat, telah ditentukan oleh agama yakni, delapan golongan. Sedangkan infaq, sadaqah
serta wakaf, tidak berdasar nishab dan ketentuan tertentu, hanya merupakan kedermawanaan dari
seorang muslim. Dari perhitungan potensi dana zakat dan wakaf sebagaimana dijelaskan pada
bagian sebelumnya, serta pengelolaan yang amanah dan profesional, maka dengan sumber dana
ZISWAF, dapat membantu pemerintah menyelesaikan masalah kemiskinan di Indonesia.
3.

Survey Lembaga dan Model Pendayagunaan dana ZISWAF di Indonesia
Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Analisis data yang digunakan berupa analisis
deskriptif serta diagram venn (sejenis diagram lingkaran, diadaptasi dari disiplin ilmu matematika)
untuk menggambarkan hubungan antar lembaga filantropi yang ada di dalam masyarakat Indonesia. Data diperoleh melalui data sekunder yang berasal dari literatur terkait teori, dasar hukum
serta praktik pengelolaan ZISWAF di Indonesia oleh lembaga filantropi Islam berupa laporan
publikasi Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) yang ada di internet, majalah serta leaflet yang

dikeluarkan oleh lembaga zakat.
PEMBAHASAN
Dari hasil penelurusan literatur, penulis menyimpulkan fase awal praktik filantropi Islam di
Indonesia, dimulai sejak abad ke-1513 sampai dengan abad ke-20. Pembahasan pada bagian ini
terdiri dari dua bagian. Pertama, mengenai kelembagaan filantropi Islam. Kedua, tentang model
pendayagunaan dana filantropi Islam di Indonesia. Ketiga, gambar diagram venn yang menjelaskan
hubungan masyarakat dengan lembaga filantropi islam di dalam lingkungan Indonesia.
11

Karim, Adiwarman Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, hal 67
Ibid
13
Islam sebagai sebuah pemerintahan hadir di Indonesia sekitar abad ke-12, namun sebenarnya Islam sudah sudah
masuk ke Indonesia pada abad 7 Masehi. Saat itu sudah ada jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional melalui
Selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat
sejak abad 7. Untuk bacaan lebih lanjut baca dalam, http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia.
12

4


Nomor 1I / Edisi II / November 2010

Indah Piliyanti
1.

Kelembagaan Filantropi Islam
Secara historis praktik kedermawanan atau filantropi Islam14, dimulai sejak kehadiran agama
Islam di nusantara. Sejak itu, dua institusi yang menyemai tindakan filantropi bagi masyarakat
muslim adalah masjid dan pesantren. Kedua lembaga keagamaan ini telah mulai dibangun sejak
abad ke 15, ketika komunitas muslim khususnya di Jawa mulai menjadikan kedua tempat tersebut
sebagai pusat gerakan pendidikan dan dakwah. Praktik filantropi bahkan menjelma menjadi
fenomena rakyat dan kerajaan sekaligus karena diketahui bahwa raja-raja kesultanan Aceh dan
kesultanan Mataram telah mempraktekkan tindakan filantropi dalam lingkup istana. Tidak adanya
demarkasi rakyat-negara dalam praktek berfilantropi membuat domain aktivitas filantropi menjadi
hak semua pihak, baik masyarakat sipil maupun negara. Tidak ada pihak yang secara legitimate
dapat mengklaim bahwa ini wewenangnya.15
Pesantren atau pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tradisional tertua di Indonesia. Pada awal perkembangannya, ada dua fungsi pesantren. Pertama, sebagai lembaga pendidikan,
kedua sebagai lembaga penyiaran agama .16 Sedangkan masjid merupakan pusat dakwah Islam
pada masa itu, dan sebenarnya merupakan bagian dari elemen yang ada dalam pesantren. Dalam
catatan Azyumardi Azra, fungsi masjid dalam sejarah Islam bukan sekadar tempat melakukan ritual

ibadah, khususnya shalat. Lebih dari itu dalam perkembangnnya masjid dijadikan sebagai pusat
berbagai aktivitas sosial keagamaan, pendidikan, politik, kesehatan dan sebagainya17.
Namun, sejak pemerintahan kolonial Belanda menduduki Indonesia pada abad ke-16, terjadi
perubahan tradisi filantropi Islam. Zakat khususnya, terus mengalami pergumulan hebat. Pada awal
abad ke 19, pemerintah kolonial mengeluarkan Bijblad Nomor 1892 tanggal 4 Agustus 1893 yang
berisi tentang peraturan zakat Hindia Belanda. Hal ini dilakukan untuk mencegah penyelewengan
keuangan zakat oleh para penghulu, sekaligus untuk melemahkan ekonomi rakyat yang bersumber
dari zakat. Dalam hal ini pemerintah Hindia Belanda melarang para priyayi pribumi untuk ikut
serta membantu pelaksanaan zakat yang tertuang dalam Bijblad Nomor 6200 tanggal 28 Februari
1905.18
Selain pemerintah yang kurang mendukung pelaksanaan filantropi Islam, ternyata organisasiorganisasi pergerakan yang lahir di Indonesia pada awal abad XX kurang memperhatikan tentang
persoalan zakat. Serikat Dagang Islam 1905 yang kemudian berubah nama menjadi Syariat Islam
(1912) –yang merupakan organisasi penggerak ekonomi muslim– pun kurang memperhatikan
masalah zakat ini. Perhatian Syarikat Islam lebih terfokus pada peningkatan ekonomi sosial muslim
pribumi khususnya pedagang batik serta membantu memajukan pendidikan Islam.
Tahun 1912, pada tingkat pejabat pemerintah terdengar berita gembira. Menteri Keuangan
saat itu Jusuf Wibisono menggagas untuk memasukkan zakat sebagai salah satu komponen system
ekonomi keuangan di Indonesia. Pada masa yang sama, di dalam MPRS mulai terdengar suarasuara yang menghendaki agar zakat dikelola negara.

14
Istilah filantropi (philanthropy) sendiri baru populer di Indonesia, dan mulai menguat dalam pelbagai bentuknya
kira-kira pada abad ke -19 M. Selengkapnya baca dalam (Sudewo: 2004: xx).
15
Bamualim, Chaider S dan Abubakar, Irfan (ed), Revitalisasi Filantropi Islam : Studi Kasus Lembaga Zakat dan
Wakaf di Indonesia. Jakarta: Universitas Islam Negeri, 2005, hal 32
16
Kajian lebih lanjut baca hal.145-146 dalam Muhammad Daud Ali dan Habibah Daud (1995). Lembaga Lembaga
Islam di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
17
Dikutip dari Mustolih Siradj (2010), Potensi dan problematika Zakat berbasis Masjid. Sumber internet diakses
tanggal 16 September 2010.
18
Ibid

Nomor 1I / Edisi II / November 2010

5

Jurnal Pemikiran dan Penelitian Ekonomi Islam
Perkembangannya selanjutnya, pada awal pemerintahan orde baru, Menteri Agama
mengeluarkan Peraturan No. 4 dan 5 tahun 1968 tentang pembentukan Badan Amil Zakat dan
Baitul Mal. Hal ini menjadi instrumen baru dalam kebijakan zakat secara nasional19. Sedangkan
praktik perwakafan khususnya tanah milik di kalangan umat Islam sudah berjalan jauh sebelum
pemerintah Belanda di Indonesia. Hasil penelitian di Jawa Timur membuktikan bahwa praktik
perwakafan yang berdasarkan agama Islam sudah ada sejak abad ke-15 (Anshori, 2006)20.
Masyarakat mewakafkan hartanya disamping didorong untuk kepentingan umum juga motivasi
keagamaan. Kuatnya motivasi keagamaan dalam mewakafkan hartanya ini, berimplikasi pada
keengganan masyarakat untuk diatur secara administratif.
Pengaturan secara administratif wakaf (tanah) telah dimulai oleh pemerintah Kolonial Belanda
pada tahun 1905 dengan dikeluarkannya Surat Edaran Sekretaris Government no. 435 yang termuat
dalam Bijblad No. 6195/1905 tentang Toezichat op den bouw van Mohammedaansche Bedehuizen21.
Sehingga dapat disimpulkan dari uraian di atas, pada fase awal ini, lembaga yang berpengaruh kuat
di masyarakat dalam pelaksanaan tradisi filantropi Islam; dana ZISWAF di Indonesia adalah pesanten
dan masjid. Kemudian, setelah pemerintah mulai menggagas dana filantropi Islam di tingkat
pemerintahan (dengan dikeluarkannya produk hukum) kelembagaan filantropi Islam mulai meluas,
walaupun, pesantren dan masjid masih memiliki pengaruh yang kuat di masyarakat.
2.

Model Pendayagunaan Dana Filantropi Islam
Masjid dan pesantren pada fase awal ini menjadi dua institusi keagamaan yang penting dalam
pengelolaan praktik filantropi Islam di Indonesia. Pendayagunaan dana-dana filantropi Islam di
pesantren dan masjid bersifat konsumtif tradisional, sporadis serta bersifat individual. Di dalam
pesantren biasanya di percayakan kepada kyai (pimpinan pesantren yang ada). Sedangkan
pendayagunaan zakat khususnya zakat fitrah yang dikoordinasi oleh masjid, dibagi habis kepada
yang berhak menerimanya, tetapi kadang-kadang ada juga yang tersisa. Sisanya diserahkan kepada
badan-badan sosial keagamaan, misalnya panti asuhan yatim-piatu. Bagian amil diserahkan untuk
keperluan pembangunan, misalnya untuk memperbaiki tempat ibadah dan sebagainya 22
Begitu pula pada sumber filantropi Islam berupa wakaf. Dalam periode ini, wakaf masih
ditempatkan sebagai ajaran yang murni dimasukkan dalam kategori ibadah mahdah; yaitu
kebanyakan benda-benda wakaf diperuntukkan untuk pembangunan fisik, seperti masjid, mushola,
pesantren, kuburan, yayasan dan sebagainya.23
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada fase awal model pendayagunaan dana
filantropi masih bersifat konsumtif tradisional. Oleh sebab itu, keberadaan dana-dana filantropi
Islam belum memberikan kontribusi sosial yang lebih luas pada masyarakat waktu itu.
Setelah pemerintah mulai menggagas dana filantropi Islam di tingkat pemerintahan, pengelolaan
zakat lebih baik. Menurut Anwar seperti dikutip dalam Ali 24, BAZIS DKI Jaya membuat ketentuan
19

Setelah pembentukan badan amil zakat oleh presiden dan diikuti oleh para pejabat diberbagai daerah, kemudian
presiden mendirikan Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila. Untuk bacaan lebih lanjut dalam: Muhammad Daud Ali,
Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI Press, 1988, hal. 37
20
Untuk sejarah lebih lanjut, baca hal. 39 dalam Abdul Ghofur Anshori, 2006, Hukum dan Praktik Perwakafan di
Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media
21
Surat edaran ini tidak berlaku efektif karena tidak dilaksanakan oleh bupati bahkan muncul penolakan dari kalangan
umat Islam. Untuk kajian selanjutnya baca dalam Anshori , 2006, hal. 40
22
Ali, Muhammad Daud, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI Press, 1988, hal 53.
23
Wadjdy, Farid dan Mursyid, Wakaf dan Kesejahteraan Umat (Filantropi Islam yang Hampir Terlupakan),
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007 hal 42-43.
24
Ali, Muhammad Daud dan Habibah Daud, . Lembaga Lembaga Islam di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1995 hal 72

6

Nomor 1I / Edisi II / November 2010

Indah Piliyanti
umum yang merupakan kebijaksanaan pendayagunaan zakat ke dalam 4 sektor. Kebijakan ini dibuat
dengan memperhatikan bobot permasalahan yang dihadapi oleh penerima zakat. Empat sektor
tersebut adalah: (1) sektor fakir-miskin=35% (25% untuk dana produktif dan 10% untuk dana
konsumtif); (2) sektor amil= 10% yang pelaksanaannya dialihkan ke sektor fakir miskin dan sektor
sabililah karena amil sebagai pegawai negeri mendapat gaji dan subsidi dari APBD; (3) sektor
muallaf, gharim dan ibnusabil=10%; (4) sektor sabilillah= 45% (25% untuk bantuan fisik, 15%
untuk pembinaan lembaga dakwah, dan 5% untuk bantuan sosial).
Sedangkan untuk pemanfaatan zakat -khusunya zakat harta (maal) di beberapa daerah di Jawa
Tengah pada tahun 1973, pada umumnya juga dialokasikan untuk empat kluster.25
Sedangkan untuk pendayagunaan sumber dana filantropi berupa wakaf, model produktif mulai
diperkenalkan walaupun masih sebatas pada lembaga-lembaga tertentu, misalnya, Pondok Pesantren
As-Salam, Gontor. Yayasan wakaf Sultan Agung Semarang yang khusus mengembangkan wakaf
untuk kesehatan dan pendidikan.26
Sehingga dapat disimpulkan, bahwa setelah fase pengelolaan dana filatropi oleh dua lembaga;
masjid dan pesantren, pendayagunaan dana-dana filantropi (ZISWAF) mulai mengarah kepada
periode semi professional. Pendayagunaan ZISWAF, tidak murni dihabiskan untuk konsumtif serta
mulai dikelola oleh lembaga.
3.

Diagram Venn Hubungan Masyarakat dengan Lembaga Filantropi Islam di Indonesia
Diagram Venn dipergunakan untuk melihat hubungan kedekatan/kekerabatan dan kerja sama
antara masyarakat dengan lembaga/instansi filantropi Islam di Indonesia. Dalam Diagram Venn
ini, masyarakat menjadi sentra (sasaran pendayagunaan dana ZISWAF) dan karena itu diletakkan
di tengah, sementara lembaga filantropi diletakkan di sekeliling masyarakat.
Dalam gambar dijelaskan bahwa ada dua institusi penting didalam (internal) masyarakat di
Indonesia yang mendorong tradisi filantropi Islam di Indonesia pada fase awal kelembagaan/
pengelolaaan dana filantropi Islam di Indonesia, yakni; masjid dan pesantren. Agar lebih jelas,
informasi ini dapat dilihat dalam gambar 1. Gambar 1 menunjukkan hubungan dua institusi yang
ada di masyarakat Indonesia yang mempraktikkan tradisi filantropi Islam di Indonesia pada awalawal perkembangan Islam di nusantara.

Pesantren

Masyarakat

Masjid

Gambar 1. Diagram Venn Hubungan Masyarakat Dengan Institusi Filantropi Islam
di Dalam Masyarakat

25

Yakni; (1) untuk meringankan penderitaan masyarakat; zakat diberikan kepada fakir miskin atau golongan lainnya
yang sedang mengalami penderitaan, (2) untuk pembangunan dan usaha-usaha produktif, misalnya merehabilitasi tempat
tempat ibadah, madrasah dan panti asuhan. Dibeberapa daerah, zakat dipergunakan juga untuk usaha pertanian, peternakan,
dan koperasi, (3) untuk memperluas memperluas lapangan kerja. Oleh beberapa panti asuhan di Jawa Tengah misalnya
dengan memberikan kepada mereka peralatan usaha seperti cukur, mesin jahit dan modal berjualan. (4) lumbung paceklik.
Dibeberapa daerah di Jawa Tengah, misalnya Magelang, zakat hasil bumi dikumpulkan pada waktu panen dan dimasukkan
ke dalam lumbung paceklik (depot logistik). Dimusim paceklik, zakat yang dikumpulkan dan dibagikan kepada masyarkat
yang membutuhkan dengan syarat harus dikembalikan lagi. Selajutnya baca hal. 64-65 dalam Muhammad Daud Ali
(1988), Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI Press.
26
Untuk pembahasan lebih lanjut, baca. Wadjdy, Farid dan Mursyid. Wakaf dan Kesejahteraan Umat (Filantropi
Islam yang Hampir Terlupakan), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007,hal 63

Nomor 1I / Edisi II / November 2010

7

Jurnal Pemikiran dan Penelitian Ekonomi Islam
Dari hasil penelurusan literatur, penulis menyimpulkan fase Perkembangan praktik filantropi
Islam di Indonesia, dimulai sejak akhir abad 20 sampai saat ini abad 21. Pembahasan pada bagian
ini terdiri tiga bagian. Pertama, mengenai kelembagaan filantropi Islam. Kedua, tentang model
pendayagunaan dana filantropi Islam di Indonesia. Ketiga, gambar diagram venn yang menjelaskan
hubungan masyarakat dengan lembaga filantropi islam di dalam lingkungan Indonesia.
1.

Kelembagaan Filantropi Islam
Melihat besarnya potensi dana filantropi Islam di Indonesia, maka dibutuhkan system yang
kuat sehingga, dana filantropi Islam memiliki dampak positif untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. System yang kuat dapat dibangun dari dukungan pemerintah melalui peraturan perundang
undangan.
Di era reformasi, zakat semakin mendapat tempat dalam tatanan hukum Indonesia. Hal ini
ditandai dengan dikeluarkannya Undang Undang, keputusan presiden dan keputusan menteri tentang
zakat, yaitu sebagai berikut: (1) pada tanggal 23 September 1999, disahkan Undang Undang No. 38
tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Dan diundangkan oleh Menteri Negara RÉ dengan lembaran
Negara RI tahun 1999 no. 164; (2) Keputusan menteri agama no. 581 tentang pelaksanaan undang
undang No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat; (3) Tahun 2001, dikeluarkan keputusan
presiden RI No. 8 tahun 2001 tentang badan amil zakat nasional (BAZNAS) dan (4) Tahun 2003,
dikeluarkan keputusan menteri agama no 373 tahun 2003 tentang pelaksanaan undang undang No.
38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat.
Dengan payung hukum diatas, pengelolaan zakat di Indonesia diharapkan menjadi lebih baik,
efektif dan efisien serta menciptakan kesejateraan umat. Pada bab I UU No. 38/1999 menyebutkan
pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan
terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat. Berdasarkan KMA No.
581 tahun 1999, lembaga zakat harus memiliki persyaratan teknis, antara lain: berbadan hukum,
memiliki data muzzaki dan mustahik, memiliki program kerja yang jelas, memiliki pembukuan
yang baik, melampirkan surat pernyataan bersedia diaudit
Tugas pengelolaaan zakat di Indonesia diamanahkan kepada Organisasi Pengelola Zakat (OPZ).
OPZ diklasifikasikan menjadi dua yaitu: pertama, Badan Amil Zakat (BAZ) yang dikelola pemerintah
(dari tingkat pusat: BAZNAS hingga daerah: BAZDA). Kedua, Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang
dikelola swasta; beroperasi di pusat, maupun daerah27.
Menurut Mintarti pasca pemberlakuan UU Nomor 38 tahun 1999, lembaga pengelola zakat
mulai bertumbuhan di Indonesia, baik BAZ maupun LAZ. Tidak kurang dari 31 BAZ propinsi,
lebih dari 300 BAZ dikabupaten/kota, dan 18 LAZ nasional. Selain BAZ dan LAZ, lembaga pengelola
zakat yang tidak resmi di masyarakat jumlahnya mencapai ratusan28. Sedangkan data Forum Zakat
(FOZ) mencatat, hingga tahun 2008, setidaknya terdapat 421 OPZ di Indonesia. Angka tersebut
terdiri dari BAZ dan LAZ.29

27

UU Pengelolaan Zakat No. 38/1999 Bab III, pasal 6.
Nana Mintarti (2009), “Kepercayaan Publik dan Kapasitas Pengelolaan Zakat di Indonesia”. Dikutip dari Sharing,
Majalah Ekonomi dan Bisnis Syariah, Edisi 33 Tahun III September 2009, hal. 49.
29
Mintarti, Nana, “Kepercayaan Publik dan Kapasitas Pengelolaan Zakat di Indonesia”. Dikutip dari Sharing,
Majalah Ekonomi dan Bisnis Syariah, Edisi 33 Tahun III September 2009, hal, 33
28

8

Nomor 1I / Edisi II / November 2010

Indah Piliyanti
Sedangkan perkembangan wakaf di Indonesia mulai menggeliat sejak disahkannya UU Nomor
41 Tahun 2004 tentang Wakaf, disusul dengan diterbitkannya PP Nomor 42 Tahun 2006 tentang
Pelaksanaan UU Nomor 41 Tahun 2004. Beberapa point penting yang merupakan terobosan dalam
perkembangan wakaf adalah; pertama, dibentuknya Badan Wakaf Indonesia (BWI). Kedua,
diakuinya Wakaf Benda Bergerak, termasuk Wakaf Tunai (Uang). Dengan diakuinya Wakaf Uang,
diharapkan sumber harta wakaf menjadi lebih banyak dan bisa disinergikan dengan harta Wakaf
Benda Tidak Bergerak. Ketiga, didorongnya pengelolaan harta wakaf secara produktif.
Pengelolaan harta wakaf yang selama ini masih tradisional, diharapkan secara bertahap akan
mengarah kepada yang lebih produktif, sehingga kemaslahatan ummat bisa tercapai. Selain BWI
sebagai nadzir wakaf yang dibentuk pemerintah, pada praktiknya, beberapa LAZ telah menangani
wakaf. Seperti Dompet Dhuafa Republika menggunakan wakaf untuk membangun sarana dan
prasarana layanan kesehatan cuma-cuma dan membeli gedung sekolah. Jauh sebelum terbit undangundang tentang wakaf, Universitas Islam Indonesia memiliki badan wakaf serta Pondok Pesantren
Modern Gontor telah meleburkan dalam badan wakaf khusus.30
Dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sejak pemerintah mengeluarkan
perundang undangan terkait dengan filantropi Islam di Indonesia, yakni melalui UU No. 38/1999
tentang pengelolaan zakat serta UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, tatanan kelembagaan
filantropi Islam memasuki babak baru. Selain dikelola oleh pemerintah melalui BAZIS dan
jaringannya (BAZDA) disetiap daerah untuk pengelolaan zakat, serta BWI beserta jaringannya di
setiap daerah untuk pengelolaan wakaf. Pihak swasta mengambil peran dalam pengelolaan ZISWAF
melalui LAZ dan jaringan yang mereka miliki.
2.

Model Pendayagunaan Dana Filantropi Islam
Jika pada fase awal, dana zakat pada awalnya lebih didominasi oleh pola pendistribusian
secara konsumtif, dan semi produktif. Maka, pelaksanaan yang lebih mutakhir saat ini, zakat mulai
dikembangkan dengan pola distribusi dana zakat secara produktif. Di kalangan ulama salaf, yang
setuju dengan model distribusi zakat produktif yaitu Imam Bahuti dalam karyanya Kisyaf Qina,
Imam Syarbini (Mughni al-Muhtaj), Imam Ibn Najm (Asybah wa An Naddir) Imam Nawawi (Al
Majmu’). Sedangkan di kalangan ulama khalaf (kontemporer yang setuju adalah Mustafa’ A Zarqa’,
Yusuf Al Qardhawi, Syeih Abu Al Fatah Abi Ghadah, Abu Aziz Khiyat, Abdus Salam ala Ibadi,
Muhammad Shaleh al Fur ur, Hasan Abdullah Ami, dan Faruq an Nabhani.
Forum Zakat (FOZ) sebagai wadah koordinasi bagi BAZ dan LAZ di Indonesia, memiliki
puluhan anggota. OPZ yang tergabung dalam FOZ, selain melakukan sosialisasi sadar zakat di
masyarakat, juga telah merubah porsi penyaluran zakat ke banyak arah pemberdayaan. Karena
target penyaluran zakat adalah memberdayakan umat yang secara ekonomi tidak berdaya31.
Sasarannya mengubah mustahik menjadi muzzaki, sebagaimana tujuan zakat menurut Ummar bin
Khattab.
Hasil penelitian Indonesian Zakat and Development Report (IZDR) terhadap 9 OPZ –yang
terdiri dari BAZ dan LAZ- berskala nasional sebagai sampel, pada tahun 2008-2009 menyebutkan
bahwa penyaluran dana filantropi Islam (ZISWAF) terfokus pada kegiatan-kegiataan sebagai berikut:
(1) Konsumsi dan bantuan kemanusiaan sebesar 23,1%, (2) Hibah langsung kepada asnaf sebesar
15, 0%, (3) Pendidikan sebesar 10, 7%, (4) Kesehatan sebesar 5,8%, (5) Bantuan dakwah sebesar
3,9%, (6) Ekonomi Produktif sebesar 10,7 %.32 Tabel berikut, menjelaskan porsi penyaluran dana
ZISWAF seperti telah dijelaskan di atas.
30

Ibid
Sharing, Majalah Ekonomi dan Bisnis Syariah, Edisi 33 Tahun III September 2009, hal. 10.
32
Ibid
31

Nomor 1I / Edisi II / November 2010

9

Jurnal Pemikiran dan Penelitian Ekonomi Islam
Tabel 1. Komposisi Fokus Kegiatan Dana ZISWAF 2008-2009
Kegiatan
Jumlah (%)
Konsumsi&bantuan kemanusiaan
23.1%
Hibah langsung kepada asnaf
15%
Pendidikan
10.7%
Kesehatan
5.8%
Bantuan dakwah
3.9%
Ekonomi Produktif
10.7%
Sumber: data Sharing diolah
Dari tabel 1, menunjukkan bahwa arah pendayagunaan dana filantropi Islam di Indonesia
telah mengarah kepada bentuk-bentuk pemberdayaan. Program-program yang dilakukan oleh OPZ,
umumnya dilakukan oleh LAZ pioneer di Indonesia lebih inovatif menjawab realitas di lapangan.
Berikut ini merupakan Profil dari dua LAZ yang kenal berada di garis depan (pioneer) dalam
pengembangan pendayagunaan dana ZISWAF untuk program-program pemberdayaan33: antara lain
(1) Dompet Dhuafa Republika, berdiri tahun 1993. Program Pendayagunaan dana ZISWAF terdiri
dari tiga yaitu Program Sosial, terdiri dari; program pelayanan kesehatan untuk dhuafa’, program
pengembangan pendidikan, program pelayanan masyarakat, disaster management centre, program
pengentasan pengangguran. Program Ekonomi, terdiri dari; program pengembangan pertanian sehat,
program masyarakat mandiri, program pengembangan peternakan, baitul maal desa, program social trust fund, sedekah pohon, program kelautan (pemberdayaan nelayan) dan Program Advokasi,
antara lain; Indonesian Magnificence of Zakat (IMZ), program advokasi kebijakan pro-rakyat.34
(2) Rumah Zakat Indonesia, berdiri tahun 1998. Program Pemberdayaan dana ZISWAF di Rumah
Zakat Indonesia, terbagi dalam empat rumpun program, yaitu: HealthCare, saat ini terdapat 5 Rumah
Bersalin Gratis dan 13 Layanan Bersalin Gratis; EduCare, saat ini terdapat 4 Sekolah Juara;
EcoCare, sangat ini terdapat unit pelayanan ecoCare berjumlah 17 Lembaga Keuangan Mikro Syariah
(LKMS) Mozaik serta YouthCare, saat ini terdapat 2 Youth Development Centre (YDC)35.
Kedua LAZ diatas, selain mengelola dana zakat, infaq, sadaqah juga telah mengelola wakaf
produktif. Akan tetapi memang, tidak semua LAZ yang ada di Indonesia mengelola program tersebut.
Adalah Badan Wakaf Indonesia (BWI) merupakan institusi yang lahir dari amanat UU Nomor 41
Tahun 2004 tentang Wakaf. BWI bertugas sebagai nazhir (pengelola wakaf). BWI dibentuk
pemerintah sebagai lembaga independen yang memiliki kewenangan sebagaimana amanat UndangUndang Wakaf untuk mengembangkan perwakafan nasional. BWI memiliki tujuh program wakaf
produktif. Salah satu program yang direalisasikan BWI adalah mendirikan Rumah Sakit Ibu dan
Anak (RSIA-BWI) di Serang Banten pada tahun 200936.

33

Pemilihan profil LAZ dalam penelitian ini, berdasarkan pada beberapa hal: (1) pioneer pengembangan program
pemberdayaan dana ZISWAF, (2) inovasi program pemberdayaan sesuai dengan realitas di lapangan, (3) kemudahan
mendapatkan data di internet, profil serta laporan keuangan untuk menganalisa program-program yang telah dilakukan
oleh LAZ tersebut.
34
Sumber; Leaflet “Sapa Ramadhan 1431H”, dikeluarkan oleh Dompet Dhuafa, 2010
35
Implementasi setiap core program pun diupayakan agar terarah, terpadu, dan terintegrasi di wilayah Integrated
Community Development (ICD) yang tersebar di seluruh kantor dan jaringan Rumah Zakat Indonesia. Untuk setiap
ICD dikelola oleh satu orang atau lebih Mustahik Relation Officer (MRO) yang tinggal di tengah-tengah masyarakat
yang dibinanya sehingga pemantauan dan keberlangsungan program lebih terjaga. Sumber:www.rumahzakat.or.id diakses
pada tanggal 11 September 2010.
36
Ibid, hal. 42

10

Nomor 1I / Edisi II / November 2010

Indah Piliyanti
Selain itu, BWI sebagai nadzir wakaf menerima wakaf tunai umat melalui lembaga keuangan
syariah-penerima wakaf uang (LKS-PWU) yang terdiri dari bank syariah mandiri, BNI Syariah,
Bank Muamalat, Bank DKI Syariah dan Bank Mega Syariah.
Dari pemaparan model pendayagunaan dana-dana filantropi Islam (ZISWAF) di Indonesia
pada fase perkembangan, dapat disimpulkan bahwa alokasi dana-dana filantropi lebih diarahkan
pada program-program pemberdayaan untuk mewujudkan keadilan sosial di masyarakat. Selain
problem kemiskinan dibidang ekonomi, program pemberdayaan juga telah merambah ke dalam
berbagai bentuk untuk mengatasi problem pendidikan, kesehatan dan bahkan sampai kepada program penyelamatan lingkungan hidup sebagai respon dari kerusakan lingkungan.
3.

Diagram Venn Hubungan Masyarakat dengan Lembaga Filantropi Islam di Indonesia
Diagram Venn dipergunakan untuk melihat hubungan kedekatan/kekerabatan dan kerja sama
antara masyarakat dengan lembaga/instansi filantropi Islam di Indonesia. Dalam Diagram Venn
ini, masyarakat menjadi sentra (sasaran pendayagunaan dana ZISWAF) dan karena itu diletakkan
di tengah, sementara lembaga filantropi diletakkan di sekeliling masyarakat.
Dalam gambar dijelaskan bahwa dalam fase pengembangan kelembagaan filantropi Islam di
Indonesia, telah bertransformasi pada kelembagaan modern, dimana aspek legalitas lembaga, unsurunsur manajemen mulai diaplikasikan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas dana umat yang
mereka kelola.
Sebagaimana disebutkan dalam UU No. 38/1999 tentang pengelolaan zakat, OPZ terdiri dari
dua; yakni: (1) BAZ beserta jaringannya disetiap daerah yang dikelola pemerintah, (2) LAZ beserta
jaringannya yang dikelola oleh swasta (masyarakat sipil). Menurut Mintarti, Tidak kurang dari 31
BAZ propinsi, lebih dari 300 BAZ dikabupaten/kota, dan 18 LAZ nasional. Selain BAZ dan LAZ,
lembaga pengelola zakat yang tidak resmi di masyarakat jumlahnya mencapai ratusan. Sedangkan
data Forum Zakat (FOZ) mencatat, hingga tahun 2008, setidaknya terdapat 421 OPZ di Indonesia.
Angka tersebut terdiri dari BAZ dan LAZ. Sedangkan pengelolaan wakaf, diamanahkan kepada
BWI (didirikan pemerintah dan dikelola independen) serta beberapa LAZ juga mengelola wakaf
produktif. 37
Dari data tersebut, dapat ditarik kesimpulan, bahwa pada fase pengembangan ini, terdapat
tiga institusi didalam (internal) masyarakat di Indonesia yang secara kelembagaan mengelola dana
filantropi Islam di Indonesia, yakni; BAZ, LAZ dan BWI. Agar lebih jelas, informasi ini dapat
dilihat dalam gambar 2.
Gambar 2 menunjukkan hubungan tiga institusi yang ada di masyarakat Indonesia yang
melaksanakan dan mengembangkan tradisi filantropi Islam di Indonesia pada fase pengembangan
(akhir abad 20- saat ini).
Masyarakat
BAZ

LAZ
BWI

Gambar 2. Diagram Venn Hubungan Masyarakat Dengan
Institusi Filantropi Islam di Dalam Masyarakat

37

ibid

Nomor 1I / Edisi II / November 2010

11

Jurnal Pemikiran dan Penelitian Ekonomi Islam
PENUTUP
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: Pertama, Kelembagaan
Filantropi Islam di Indonesia diawali oleh dua institusi kegamaan di Indonesia, yakni Masjid dan
Pesantren. Model pendayagunaan dana-dana filantropi Islam yang terdiri dari zakat, infaq, sadaqah
serta wakaf masih bersifat konsumtif tradisional. Jika dana ZIS habis didistribusikan bagi mustahik.
Maka, pendayagunaaan wakaf masih sebatas pada pengelolaan barang tidak bergerak (tanah)
sehingga pemanfaatannya masih tradisional; kuburan, masjid, panti asuhan. Kedua, setelah
pemerintah mengeluarkan undang undang tentang pengelolaan zakat dan wakaf (UU No. 38/1999
dan UU No. 41 tahun 2004), maka tatanan tradisi filantropi Islam di Indonesia mengalami babak
baru. Dari sisi kelembagaan, pengelolaan dana ZISWAF lebih terarah dan terukur dengan mangadopsi
unsur-unsur manajemen lembaga modern. Ogranisasi Pengelola Zakat terdiri dari BAZ dan LAZ.
Serta nadzir wakaf berada dalam pengelolaan Badan Wakaf Indonesia. Dari sisi model
pendayagunaan dana ZISWAF, juga telah mengarah kepada program pemberdayaan untuk mengatasi
permasalah umat; kemiskinan disegala bidang (ekonomi, kesehatan, pendidikan, kerusakan
lingkungan). Dengan demikian, tujuan zakat akan tercapai. Khususnya di Indonesia, pengentasan
kemiskinan merupakan sebuah keniscayaan.

12

Nomor 1I / Edisi II / November 2010

Indah Piliyanti

DAFTAR PUSTAKA
AA. Dahlan et.all (ed). (1997). Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve.
Adimihardja, Kusnaka dan Hikmat, Harry. (2003). Participatory Research Appraisal dalam
Pelaksanaan Pengabdian Kepada Masyarakat. Humaniora Utama Press, Bandung.
Ali, Muhammad Daud. (1988). Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI Press.
Ali, Muhammad Daud dan Habibah Daud. (1995). Lembaga Lembaga Islam di Indonesia,
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Ali, Nuruddin Mhd. (2006). Zakat sebagai Instrument dalam Kebijakan FiskalRaja Grafindo
Persada, Jakarta.
Anshori, Abdul Ghofur Anshori. (2006). Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, Pilar
Media, Yogyakarta.
Bamualim, Chaider S dan Abubakar, Irfan (ed).(2005). Revitalisasi Filantropi Islam : Studi
Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia. Universitas Islam Negeri. Jakarta.
Biro Pusat Statistik No. 43/07/Th. XII, 1 Juli 2009 dikutip dari http://www.bps.go.id/brs_file/
kemiskinan-01jul09.pdf, diakses pada Agustus 2010.
Dirjen PMD Depdagri. (1995). Perencanaan Partisipatif Pembangunan Masyarakat Desa
(P3MD). PT. Penebar Swadaya, Jakarta.
Dwi Hardiyanto, “Zakat Solusi Kemandirian Negara”, dikutip dari Majalah Sabili No. 3 th.
VIII, 2010
Karim, Adiwarman Azwar. (2004). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Leaflet “Sapa Ramadhan 1431H”, dikeluarkan oleh Dompet Dhuafa, 2010
Mintarti, Nana (2009), “Kepercayaan Publik dan Kapasitas Pengelolaan Zakat di Indonesia”. Dikutip dari Sharing, Majalah Ekonomi dan Bisnis Syariah, Edisi 33 Tahun III September
2009.
Mufraini, M Arief. (2008). Akuntansi dan Manajemen Zakat Mengoptimalkan Kesadaran Zakat
dan Membangun Jaringan. Kencana, Jakarta.
Mujahidin, Akhmad. (2007). Ekonomi Islam. PT Raja Grafindo Perkasa. Jakarta.
Najmuddin, Zuhdi& Elvi Na’imah. (2006). Studi Islam 2, Cet. 3. Surakarta: Lembaga
Pengembangan Ilmu-Ilmu Dasar.
Qardawi. Yusuf. (2004). Hukum Zakat. Pustaka Litera Antarnusa, Jakarta.
Rawas Qal’ah Jy (tth). Ensiklopedi Fiqh ‘Umar ibn al-Khathab.
Sabiq, Sayyid. (1987). Fiqh Sunnah, Bandung: Al-Maarif.
Sudewo, Erie. (2004). Manajemen Zakat Tinggalkan 15 Tradisi Terapkan 4 Prinsip Dasar,
Institut Manajemen Zakat, Jakarta.
__________.(2008). Politik ZISWAF, Kumpulan Esei. CID-Dompet Dhuafa, Jakarta.
Undang-Undang RI No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
Undang-Undang RI No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf

Nomor 1I / Edisi II / November 2010

13

Jurnal Pemikiran dan Penelitian Ekonomi Islam
USAID. (2006). Kajian Penghidupan Berkelanjutan, Desa Sawang, Kemukiman Lageun
Kecamatan Setia Bakt., Kabupaten Aceh Jaya.
Wadjdy, Farid dan Mursyid. (2007). Wakaf dan Kesejahteraan Umat (Filantropi Islam yang
Hampir Terlupakan), Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Wakaf; Tidak hanya Tanah dan Bangunan, dikutip dari Sharing Majalah ekonomi dan Bisnis
Syariah Edisi 33 th. III September 2009.
Wakaf di Indonesia Belum Produktif 17 feb 2010 dikutip dari http://www.pkesinteraktif.com/
lifestyle/ziswaf/408-wakaf-di-indonesia-belum-produktif.html, retieved 15 sept 2010.

14

Nomor 1I / Edisi II / November 2010