Siaran Pers KKB Lap Tahun Kedua UU Ormas 12Nov15
Siaran Pers
Koalisi Kebebasan Berserikat [KKB]
Laporan Tahun Kedua
Pelaksanaan UU Ormas
(2 Juli 2014 – 2 Juli 2015):
Refleksi KKB
Sulit mengamati wujud efektifitas
UU Ormas. Dalih penyusunan UU
Ormas adalah untuk menindak
ormas yang melakukan kekerasan
patut dipertanyakan karena kita
masih menemukan perilaku ormas
demikian. Di sisi lain, tidak sedikit
organisasi yang mampu dikelola
secara transparan dan akuntabel
bukan disebabkan UU Ormas.
Keberadaan putusan MK sendiri
masih menyisakan bahkan
menimbulkan persoalan baru.
Putusan MK terkait frase tidak
mendapatkan pelayanan
ditafsirkan secara serampangan.
Temuan KKB di Kabupaten
Gorontalo adalah salah satu
buktinya. Ormas yang tidak
mendaftarkan diri bahkan tidak
akan diladeni permintaan
wawancara hingga menghadiri
kegiatannya. Pengaturan yang
kurang lebih sama ditemukan pula
di Kabupaten Kapuas dan Kota
Bandar Lampung.
Temuan tahun pertama dan kedua
dari pemantauan UU Ormas
mengkonfirmasi watak represif UU
Ormas, yang semakin nampak di
berbagai daerah. Artinya, watak
asli UU Ormas bukan tercermin
dari pasal-pasal pengaturan, tapi
implementasinya di lapangan.
KKB berpandangan,
mempertahankan keberadaan UU
Ormas, yang sudah cacat sejak
kelahirannya, hanya akan
menambah deretan persoalan.
Pengakuan dan perlindungan
terhadap kebebasan berserikat
seharusnya berbasiskan
pendekatan hukum, bukan politik.
Memperbarui ketentuan tentang
perkumpulan, profesionalisme
aparat penegak hukum hingga
merapikan tata kelola organisasi
sesungguhnya lebih relevan. Ini
adalah serangkaian langkah yang
perlu saling bersinergi. Bukan UU
Ormas.
PRAKTEK REPRESIF UU ORMAS
SEMAKIN NAMPAK DI BERBAGAI DAERAH
Pengantar
Seperti halnya tahun pertama sejak disahkan menjadi undang-undang pada 2 Juli 2013,
Koalisi Kebebasan Berserikat [KKB] kembali melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas).
Obyek pemantauan adalah seluruh praktek UU Ormas dan dinamikanya pada rentang
waktu dari 2 Juli 2014 hingga 2 Juli 2015 di seluruh wilayah Indonesia. Pemantauan yang
dijalani KKB merupakan bagian dari monitoring dan evaluasi legislasi. Tujuannya untuk
mendapatkan perkembangan terbaru implementasi UU Ormas terkait tingkat efektifitas
maupun kemungkinan memunculkan permasalahan baru.
Metode
Dalam memantau pelaksanaan UU Ormas, KKB melakukan pengumpulan, seleksi, dan
verifikasi terhadap sejumlah data dan temuan. Sumbernya antara lain media, laporan
lapangan hingga dokumen kebijakan (dalam bentuk qanun (perda), instruksi gubernur, dan
surat edaran). Demi memperoleh konfirmasi dan konteks yang lebih utuh, KKB menempuh
tahap wawancara dan Focused Group Discussion (FGD) di beberapa daerah. Hasilnya
kemudian dianalisis dan menjadi kesimpulan tahun kedua pelaksanaan UU Ormas.
Konteks dan Temuan
Salah satu yang membedakan pemantauan UU Ormas tahun pertama (2 Juli 2013 – 2 Juli
2014) dengan tahun kedua adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas
permohonan judicial review UU Ormas. Putusan MK 23 Desember 2014 memberikan
pengaruh terhadap pelaksanaan UU Ormas, utamanya terhadap 2 (dua) hal. PERTAMA,
pendaftaran ormas bersifat sukarela dan ormas yang tidak mendaftar tetap harus diakui dan
dilindungi eksistensinya. KEDUA, tidak dikenal ormas berdasarkan ruang lingkup
kewilayahan.
Sebelum ada putusan MK, setiap ormas wajib mendaftarkan diri. KKB menemukan praktek
keharusan pendaftaran ormas, salah satunya melalui surat edaran pejabat Badan Kesatuan
Bangsa dan Politik Kabupaten Banyuwangi (November 2014). Dari temuan di beberapa
daerah, sempat muncul pernyataan dari pejabat setempat, yang menyatakan jika suatu
ormas tidak diregistrasi, maka ormas tersebut dianggap ilegal, tidak akan diberi akses, dan
tidak akan dilayani.
Sekalipun sudah ada putusan MK, praktek di lapangan semakin memperlihatkan watak
represif UU Ormas. Sepanjang April 2015 misalkan, muncul kebijakan lokal seperti Qanun
Kabupaten Aceh Utara tentang Kemaslahatan dan Ketertiban Umat yang masih mewajibkan
setiap ormas mendaftarkan diri dan mengurus ijin jika ingin melakukan kegiatan di
Kabupaten Aceh Utara. Contoh lainnya adalah perintah penghentian kegiatan suatu ormas
dari pejabat Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Tanah Datar, karena ormas
tersebut tidak memperpanjang kepemilikan Surat Keterangan Terdaftar (SKT).
CP dan narasumber: Koordinator KKB (Fransisca Fitri 0818202815)
Koalisi Kebebasan Berserikat [KKB]
Laporan Tahun Kedua
Pelaksanaan UU Ormas
(2 Juli 2014 – 2 Juli 2015):
Refleksi KKB
Sulit mengamati wujud efektifitas
UU Ormas. Dalih penyusunan UU
Ormas adalah untuk menindak
ormas yang melakukan kekerasan
patut dipertanyakan karena kita
masih menemukan perilaku ormas
demikian. Di sisi lain, tidak sedikit
organisasi yang mampu dikelola
secara transparan dan akuntabel
bukan disebabkan UU Ormas.
Keberadaan putusan MK sendiri
masih menyisakan bahkan
menimbulkan persoalan baru.
Putusan MK terkait frase tidak
mendapatkan pelayanan
ditafsirkan secara serampangan.
Temuan KKB di Kabupaten
Gorontalo adalah salah satu
buktinya. Ormas yang tidak
mendaftarkan diri bahkan tidak
akan diladeni permintaan
wawancara hingga menghadiri
kegiatannya. Pengaturan yang
kurang lebih sama ditemukan pula
di Kabupaten Kapuas dan Kota
Bandar Lampung.
Temuan tahun pertama dan kedua
dari pemantauan UU Ormas
mengkonfirmasi watak represif UU
Ormas, yang semakin nampak di
berbagai daerah. Artinya, watak
asli UU Ormas bukan tercermin
dari pasal-pasal pengaturan, tapi
implementasinya di lapangan.
KKB berpandangan,
mempertahankan keberadaan UU
Ormas, yang sudah cacat sejak
kelahirannya, hanya akan
menambah deretan persoalan.
Pengakuan dan perlindungan
terhadap kebebasan berserikat
seharusnya berbasiskan
pendekatan hukum, bukan politik.
Memperbarui ketentuan tentang
perkumpulan, profesionalisme
aparat penegak hukum hingga
merapikan tata kelola organisasi
sesungguhnya lebih relevan. Ini
adalah serangkaian langkah yang
perlu saling bersinergi. Bukan UU
Ormas.
PRAKTEK REPRESIF UU ORMAS
SEMAKIN NAMPAK DI BERBAGAI DAERAH
Pengantar
Seperti halnya tahun pertama sejak disahkan menjadi undang-undang pada 2 Juli 2013,
Koalisi Kebebasan Berserikat [KKB] kembali melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas).
Obyek pemantauan adalah seluruh praktek UU Ormas dan dinamikanya pada rentang
waktu dari 2 Juli 2014 hingga 2 Juli 2015 di seluruh wilayah Indonesia. Pemantauan yang
dijalani KKB merupakan bagian dari monitoring dan evaluasi legislasi. Tujuannya untuk
mendapatkan perkembangan terbaru implementasi UU Ormas terkait tingkat efektifitas
maupun kemungkinan memunculkan permasalahan baru.
Metode
Dalam memantau pelaksanaan UU Ormas, KKB melakukan pengumpulan, seleksi, dan
verifikasi terhadap sejumlah data dan temuan. Sumbernya antara lain media, laporan
lapangan hingga dokumen kebijakan (dalam bentuk qanun (perda), instruksi gubernur, dan
surat edaran). Demi memperoleh konfirmasi dan konteks yang lebih utuh, KKB menempuh
tahap wawancara dan Focused Group Discussion (FGD) di beberapa daerah. Hasilnya
kemudian dianalisis dan menjadi kesimpulan tahun kedua pelaksanaan UU Ormas.
Konteks dan Temuan
Salah satu yang membedakan pemantauan UU Ormas tahun pertama (2 Juli 2013 – 2 Juli
2014) dengan tahun kedua adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas
permohonan judicial review UU Ormas. Putusan MK 23 Desember 2014 memberikan
pengaruh terhadap pelaksanaan UU Ormas, utamanya terhadap 2 (dua) hal. PERTAMA,
pendaftaran ormas bersifat sukarela dan ormas yang tidak mendaftar tetap harus diakui dan
dilindungi eksistensinya. KEDUA, tidak dikenal ormas berdasarkan ruang lingkup
kewilayahan.
Sebelum ada putusan MK, setiap ormas wajib mendaftarkan diri. KKB menemukan praktek
keharusan pendaftaran ormas, salah satunya melalui surat edaran pejabat Badan Kesatuan
Bangsa dan Politik Kabupaten Banyuwangi (November 2014). Dari temuan di beberapa
daerah, sempat muncul pernyataan dari pejabat setempat, yang menyatakan jika suatu
ormas tidak diregistrasi, maka ormas tersebut dianggap ilegal, tidak akan diberi akses, dan
tidak akan dilayani.
Sekalipun sudah ada putusan MK, praktek di lapangan semakin memperlihatkan watak
represif UU Ormas. Sepanjang April 2015 misalkan, muncul kebijakan lokal seperti Qanun
Kabupaten Aceh Utara tentang Kemaslahatan dan Ketertiban Umat yang masih mewajibkan
setiap ormas mendaftarkan diri dan mengurus ijin jika ingin melakukan kegiatan di
Kabupaten Aceh Utara. Contoh lainnya adalah perintah penghentian kegiatan suatu ormas
dari pejabat Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Tanah Datar, karena ormas
tersebut tidak memperpanjang kepemilikan Surat Keterangan Terdaftar (SKT).
CP dan narasumber: Koordinator KKB (Fransisca Fitri 0818202815)