PERMASALAHAN YANG DIHADAPI SUBBIDANG POLITIK LUAR NEGERI

8 - 19 CIO. Di samping itu, kerjasama antarlembaga juga akan dilanjutkan, antara lain, melalui fasilitasi peran dan fungsi Komisi Penyiaran Indonesia KPI, Komisi Informasi Pusat KI Pusat, Dewan Pers, Museum Penerangan, serta dengan lembaga informasi dan komunikasi di daerah baik pemerintah maupun kemasyarakatan. Pada tahun mendatang pembangunan informasi dan komunikasi akan dilaksanakan dengan meningkatkan peran informasi dan komunikasi melalui penyediaan dan pengelolaan informasi dengan lebih terarah. Upaya tersebut akan diwujudkan dengan penyusunan grand design penyebaran informasi publik, penyusunan database nasional, sektoral dan regional mengenai informasi publik, dan penyusunan konten informasi publik yang siap dimanfaatkan oleh pemda. Di samping itu, juga akan dilakukan penyebaran dan diseminasi informasi publik yang diawali dengan penyusunan grand design media center, selain terus memperkuat keberadaan media center di berbagai provinsi dan kabupatenkota yang dibangun sejak tahun 2007. Untuk memfasilitasi penyediaan informasi publik di daerah terluarterdepan dan pascakonflik akan dibangun media center yang disyaratkan sesuai dengan standar dan dapat berfungsi dengan baik. Selain itu, akan terus dilakukan penyebaran informasi langsung kepada masyarakat melalui berbagai media forum, dialog, Kelompok Informasi Masyarakat KIM, media tradisional termasuk media cetak dan media elektronik. Peningkatan peran media publik, pengembangan kemitraan, dan dukungan manajemen dengan lembaga komunikasi juga merupakan agenda penting yang akan terus dilaksanakan. Kegiatan- kegiatan tersebut akan dilengkapi dengan berbagai kegiatan penelitian dan pengembangan bidang komunikasi dan informatika.

8.2 SUBBIDANG POLITIK LUAR NEGERI

8.2.1 PERMASALAHAN YANG DIHADAPI

Pelaksanaan politik luar negeri dan peningkatan kerjasama internasional ditujukan untuk mengoptimalkan pencapaian kepentingan nasional melalui berbagai forum kerjasama baik 8 - 20 bilateral, regional maupun multilateral. Pelaksaanaan Politik Luar Negeri Indonesia selain dimaksudkan untuk mengamankan kepentingan nasional Indonesia, juga untuk memproyeksikan sistem nilai values pada tingkat nasional yang terus menguat seperti demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik good governance, pemajuan dan perlindungan HAM kepada masyarakat internasional. Meskipun demikian, tidak dapat dimungkiri bahwa terkait dengan sifat interaksi hubungan baik antarnegara, maupun antarnegara dengan aktor non-negara senantiasa diwarnai dengan berbagai ketidakpastian dan permasalahan yang harus dihadapi, terutama disebabkan oleh perubahan lingkungan domestik ataupun internasional yang terjadi dengan sangat cepat. Di tingkat ASEAN, Indonesia akan menjadi ketua pada tahun 2011. Kepemimpinan Indonesia tersebut akan diarahkan pada beberapa capaian implementasi Cetak Biru Komunitas ASEAN. Namun di satu sisi, Pemerintah Indonesia menghadapi permasalahan masih kurangnya pemahaman publik domestik terhadap pembentukan Komunitas ASEAN pada tahun 2015. Situasi ini terjadi pada berbagai level, baik pada level pemerintahan pusat dan pemerintah daerah, maupun pada level masyarakat. Pada ASEAN Foreign Ministers’ Retreat di Da Nang, Vietnam, tanggal 13-14 Januari 2010, khususnya dalam pembahasan mengenai perkembangan regional architecture, para Menlu, antara lain, menyambut baik keinginan Rusia dan Amerika Serikat untuk ikut serta dalam East Asia Summit EAS. Pada KTT ke-16 ASEAN di Hanoi, Vietnam, tanggal 9 April 2010, para Kepala NegaraPemerintahan ASEAN mengakui dan mendukung peran ASEAN Plus Three APT, EAS dan ASEAN Regional Forum ARF yang saling memperkuat dalam meningkatkan kerja sama Asia Timur dan dialog terhadap pembangunan komunitas di Asia Timur. Dalam kaitan itu, para Kepala Negara Pemerintahan ASEAN mendorong Rusia dan Amerika Serikat untuk memperkuat engagement mereka dalam perkembangan arsitektur regional, termasuk kemungkinan keterlibatan mereka dengan EAS melalui modalitas yang tepat, dengan memperhitungkan EAS yang bersifat Leaders’-led, terbuka dan inklusif. 8 - 21 Upaya reformasi PBB yang terfokus untuk membentuk Dewan Keamanan PBB DK-PBB yang lebih demokratis dan representatif, hingga saat ini belum mencapai kemajuan yang berarti karena adanya perbedaan mendasar di antara negara anggota mengenai cara dan bentuk reformasi yang hendak dicapai. Dalam hal ini, Indonesia memandang bahwa DK-PBB perlu direformasi karena tidak lagi mencerminkan kenyataan penyebaran kekuatan dan keberagaman masyarakat internasional saat ini, serta selaras dengan prinsip demokratis. Dalam mereformasi DK-PBB, Indonesia menilai bahwa segala upaya atau bentuk reformasi harus dilakukan secara komprehensif dan harus dilakukan dalam konteks reformasi PBB secara keseluruhan. Elemen-elemen yang perlu direformasi dari DK- PBB, antara lain, lima persoalan kunci, yaitu jenis keanggotaan Categories of membership, persoalan hak veto Question of veto, keterwakilan kawasan Regional representation, jumlah anggota DK setelah perluasan serta metode kerjanya Size of the enlarged Security Council and its working methods, dan hubungan antara DK dengan Majelis Umum PBB The relationship between the Security Council and the General Assembly. Pada Sidang Majelis Umum ke- 64 tahun 2009, kesepakatan mengenai reformasi DK-PBB tidak tercapai meskipun telah dilakukan 3 putaran negosiasi informal. Terkait dengan kawasan Timur Tengah, Pemerintah Indonesia mengutuk penyergapan dan aksi kekerasan Israel terhadap Kapal Mavi Marmara yang membawa misi bantuan kemanusiaan internasional ke Jalur Gaza, Palestina, pada tanggal 31 Mei 2010. Secara khusus, Indonesia mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menunaikan kewajibannya sesuai dengan Piagam PBB, termasuk melakukan investigasi atas insiden tersebut guna memastikan pertanggungjawaban Israel. Politik luar negeri Indonesia tetap difokuskan untuk terus mendukung secara konsisten perjuangan bangsa Palestina dan proses perdamaian yang ditujukan untuk mewujudkan suatu negara Palestina merdeka. Dalam hal isu nuklir, Traktat Nonproliferasi Nuklir NPT adalah suatu perjanjian yang ditandatangani pada 1 Juli 1968 yang bertujuan membatasi kepemilikan senjata nuklir. Terdapat 189 negara berdaulat yang menjadi negara pihak NPT dan dibagi menjadi 2 kategori yaitu negara-negara nuklir Nuclear Weapon StatesNWS 8 - 22 dan negara-negara non-nuklir Non-Nuclear Weapon StatesNNWS. NPT pada dasarnya merupakan komitmen dari kelima negara NWS untuk mewujudkan perlucutan senjata secara umum dan menyeluruh general and complete disarmament, dan komitmen negara-negara NNWS untuk tidak mengembangkan atau memperoleh senjata nuklir. Selain itu, NPT juga menegaskan untuk melindungi hak seluruh negara pihak untuk mengembangkan nuklir untuk tujuan damai. Sejak mulai berlaku pada tahun 1970, NPT yang memiliki 189 negara pihak ini dianggap telah berhasil menjadi saka guru cornerstone dari keamanan global. Sesuai dengan ketentuan di dalam Traktat, seluruh negara pihak melakukan pertemuan Konferensi Kaji-Ulang Review Conference setiap 5 tahun dengan tujuan untuk mengkaji implementasi berbagai ketentuan yang terdapat di dalam NPT sekaligus menyepakati hal-hal yang perlu dilakukan di masa mendatang untuk memperkuat NPT. Selaku Koordinator Gerakan Non-Blok GNB bagi isu-isu perlucutan senjata, Indonesia berperan aktif pada Konferensi Kaji Ulang Traktat Non-Proliferasi NPT Review Conference yang telah berlangsung pada tanggal 3-28 Mei 2010 di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat. Konferensi tersebut telah berhasil menyepakati dokumen akhir Final Document terkait dengan upaya- upaya yang akan dilakukan dalam memperkuat rezim non-proliferasi dan perlucutan senjata nuklir di bawah NPT. Hal ini sangat berbeda dengan situasi yang terjadi pada Konferensi Kaji-Ulang Review Conference NPT tahun 2005 yang tidak berhasil mencapai kesepakatan substantif apa pun. Permasalahan yang sering mengemuka dalam isu nuklir di antaranya adalah belum semua negara nuklir mau melucuti senjata nuklirnya dalam waktu yang jelas dan secara transparan. Selain itu, masih terdapat silang pendapat tentang penggunaan energi nuklir untuk maksud damai. Terkait dengan masalah perbatasan, Indonesia memiliki perbatasan maritim dengan sepuluh negara dan perbatasan darat dengan tiga negara. Dalam konteks ini, adanya garis batas wilayah yang jelas berdasarkan hukum internasional merupakan prioritas nasional yang mutlak dalam rangka memelihara dan mempertahankan kedaulatan wilayah NKRI. Sejalan dengan prinsip “good fences make good neighbours”, penuntasan perundingan 8 - 23 perbatasan dengan negara-negara tetangga perlu dilakukan melalui apa yang disebut diplomasi perbatasan border diplomacy yang mencakup upaya penetapan batas wilayah delimitasi dan pengelolaan wilayah perbatasan. Permasalahan utama yang selama ini dihadapi adalah masih adanya perbedaan pandangan dan kepentingan dalam penggunaan dasar penetapan perbatasan antara Indonesia dengan negara-negara yang berbatasan sehingga dapat membawa konsekuensi berlarutnya proses perundingan perbatasan. Selain permasalahan tersebut, Indonesia juga belum memiliki kebijakan maritim Ocean Policy yang komprehensif yang dapat digunakan sebagai landasan kebijakan dalam setiap penanganan isu maritim, termasuk di antaranya perundingan masalah perbatasan laut dan pengelolaan kawasan laut. Penyusunan Ocean Policy tersebut dimulai pada tahun 2010 dan diharapkan dapat diselesaikan pada tahun 2011. Dengan adanya Ocean Policy, diharapkan segala penanganan isu maritim dapat dilakukan dengan lebih terarah dan terkoordinasi sesuai dengan kepentingan Indonesia. Pelayanan dan perlindungan bagi WNIBHI merupakan salah satu bentuk tanggung jawab negara terhadap warga negaranya sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Perlakuan tidak layak atau masalah hukum yang dialami warga negara Indonesia di luar negeri cenderung meningkat dari tahun ke tahun sehingga diperlukan perhatian dan tindakan yang lebih dari Pemerintah untuk mengatasi atau mengurangi hal-hal tersebut. Upaya perlindungan yang dilakukan oleh Perwakilan Indonesia di luar negeri seringkali terkendala oleh berbagai faktor yang menyebabkan seakan-akan upaya perlindungan tersebut kurang maksimal. Faktor-faktor yang menjadi kendala, antara lain, masih banyaknya jumlah warga negara Indonesia di luar negeri TKI yang tidak terdokumentasi dengan baik illegal, tidak adanya aturan hukum di negara setempat yang memberikan cukup perlindungan kepada warga negara Indonesia di negara tersebut. Penanganan masalah TKI secara umum menunjukkan pentingnya koordinasi antarinstansi pemerintah dan unsur-unsur masyarakat lainnya. Satu persoalan yang diperkirakan akan terus memerlukan perhatian adalah pembatasan terorisme, yakni perlunya mengatasi 8 - 24 apa yang disebut sebagai akar permasalahan atau kondisi yang kondusif bagi tumbuhnya terorisme. Peningkatan efektifitas Interfaith dialogue melalui kerja sama bilateral, regional, dan antarkawasan, dan pelaksanaan pendekatan soft power lainnya akan menjadi tantangan diplomasi Indonesia. Dengan perkembangan demokrasi yang diraih hingga saat ini, Indonesia memiliki potensi untuk menjadi promotor baru perkembangan demokrasi di dunia internasional, khususnya di kawasan Asia dan Afrika, dimana pada kedua kawasan ini Indonesia memiliki landasan hubungan politik yang kuat, baik pada tataran bilateral maupun regional. Namun, pelembagaan dan penguatan budaya politik demokrasi memiliki kaitan yang tidak dapat dipisahkan dengan implementasi promosi dan perlindungan terhadap HAM. Indonesia masih terus menghadapi persoalan-persoalan domestik yang berkaitan dengan isu HAM yang merupakan warisan dari masa lalu. Salah satu tantangan lain yang tidak dapat diabaikan adalah masih belum tuntasnya penanganan perubahan iklim. Pertemuan Kopenhagen di akhir tahun 2009 tidak mewujudkan kesepakatan yang mengikat secara hukum merupakan tantangan nyata bagi penanganan perubahan iklim. Tantangan dunia internasional yang masih mengemuka adalah kecenderungan terjadinya kekurangan pangan dan bahkan semakin memburuk di banyak negara. Hal ini akan menjadi masalah besar apabila pemerintah tidak mengantisipasinya secara baik, berpandangan jauh ke depan melalui peran diplomasi Indonesia di dunia internasional. Dalam hal pemantapan kemitraan strategis di kawasan Asia Pasifik dan Afrika, serta Kawasan Amerika dan Eropa, Indonesia masih perlu mengatasi ketertinggalannya di banding negara-negara berkembang lainnya dalam menangkap peluang dan mengembangkan potensi investasi dan perdagangan, terutama peluang pasar non tradisional. Salah satu tantangan sekaligus peluang diplomasi Indonesia adalah partisipasi Indonesia dalam G-20. Seiring dengan penegasan status G-20 selaku forum utama bagi penanganan isu-isu ekonomi 8 - 25 dunia, politik luar negeri Indonesia ditantang untuk dapat menunjukkan ciri khas di dalam kelompok ini, yaitu sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, negara dengan penduduk Muslim terbesar, dan dapat memainkan peran strategis sebagai negara yang menyuarakan moderasi. Berkenaan dengan pengembangan Kerjasama Selatan-Selatan KSS, salah satu permasalahan dalam diplomasi Indonesia melalui bantuan teknik adalah belum adanya desain nasional yang komprehensif untuk menjamin sinergi antara berbagai instansi terkait dalam pelaksanaan KSS. Indonesia juga belum mempunyai entitas yang kuat untuk menangani KSS yang mampu melaksanakan koordinasi secara terpadu.

8.2.2 LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASIL-HASIL YANG