Buton dan Peristiwa 1965

III.3.1. Buton dan Peristiwa 1965

Dampak dari pembasmian organisasi, anggota, simpatisan dan orang-orang yang dianggap dekat dengan PKI dan ormas-ormasnya juga dirasakan di Pulau Buton (Sulawesi Tenggara). 90

Ada dua nama wilayah yang sering disebut dalam sedikit catatan yang tersedia mengenai Buton dan PKI: Bau-Bau dan Sampolawa (sekitar 40 km dari Kota Bau-Bau). Buton memang pernah dicap sebagai basis PKI. Anggota DPRD periode 1999–2004 di Kabupaten Buton merasa perlu membersihkan nama kabupatennya dan melahirkan Keputusan DPRD Kabupaten Buton No. 18/DPRD/2000 tanggal 2 September 2000 tentang Maklumat DPRD Kabupaten Buton yang menyatakan Buton bukanlah basis PKI. Salah satu bagian keputusan ini antara lain merekomendasikan kepada Komnas HAM dan pemerhati perjuangan kemanusiaan untuk melakukan penelitian, investigasi dan advokasi tentang kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM di Buton pada tahun 1969. Memang, peristiwa 1969 dianggap begitu berdampak bagi sistem pemerintahan di Kabupaten Buton kala itu. Peristiwa yang nyaris serupa dan juga terjadi di Buton pada tahun 1965 kurang mendapat perhatian.

Pada waktu peristiwa 1965 terjadi, Bau-Bau dan Sampolawa merupakan dua wilayah yang berada dalam satu pemerintahan Kabupaten Buton. Di waktu itu, Bau-Bau merupakan ibukota Kabupaten Buton. Ia merupakan pusat kota yang ramai dengan pelabuhan yang cukup sibuk dan merupakan tulang punggung perdagangan wilayah tersebut bahkan sejak Kerajaan Buton berdiri di awal abad 15. Sejak tahun 2001, Bau-Bau berdiri sendiri sebagai sebuah kota dan terpisah dari Kabupaten Buton. Sampolawa yang lokasinya sekitar 40 km dari Kota Bau-Bau, hingga kini adalah satu wilayah (sekarang kecamatan) yang berada di bawah pemerintahan Kabupaten Buton. Sampolawa dianggap sebagai tempat di mana banyak terdapat kader ataupun simpatisan PKI.

PKI memang pernah berdiri di Provinsi Sulseltra. Menurut catatan“XWGHD” , September 1979, perpindahan PKI dari Buton ke Kendari disebabkan peningkatan status Kabupaten Sulawesi Tenggara menjadi provinsi pada tahun 1964. Di tahun 1965, “XWGHD” menduduki posisi sebagai sekretaris Comittee Daerah Besar (CDB) PKI Sulawesi Tenggara.

Orang-orang PKI di Buton, terutama para pengurus teras, melakukan migrasi ke Kendari sebagai ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara untuk membentuk CDB. Pada saat itu, pihak militer memandang Buton adalah salah satu basis PKI yang besar di Sulawesi Tenggara dan oleh karenanya merupakan wilayah target dari operasi pemulihan keamanan dan ketertiban.

Proses penangkapan terhadap orang-orang Buton yang diduga terlibat PKI pun dimulai pada tahun 1965 atau beberapa minggu setelah peristiwa G30S. Mereka yang ditangkap di tahun

89 Wawancara dengan “CI”, “IDA”, “XXMT”. 90 Provinsi ini awalnya merupakan sebuah kabupaten yang masuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan (dulu bernama Provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara atau Sulseltra) hingga 22 September 1964. Beberapa dokumen terkait, terutama di sekitar tahun 1965, masih menggunakan nama Provinsi Sulseltra.

1965 ini sebagian besar adalah anggota-anggota PKI dan atau organisasi sayapnya. Mereka inilah yang kemudian mengalami penyiksaan luar biasa dan dipenjara untuk waktu yang cukup lama antara tujuh tahun sampai 11 tahun tanpa melalui proses peradilan, sebagaimana

lazimnya negara hukum 91 .

Ditambah, posisi militer di Buton pada saat itu semakin berjaya pasca lengsernya“XWGHE”, pejabat sipil Gubernur Provinsi Tingkat I Sultra digantikan oleh pejabat militer, Brig. Jend. TNI AD ”ES” dari Kodam XIV Hasanuddin. Hal tersebut membuat jabatan politis Bupati Kepala Daerah Tingkat II Buton yang saat itu dipegang oleh pejabat sipil Drs. Moh. “K” harus segera diturunkan untuk digantikan dengan pejabat militer. Namun menggulingkan Bupati “K” saat itu tidaklah mudah mengingat kredibilitas “K” yang dikenal sebagai “Bapak Pendidikan” dan dicintai masyarakat Buton.

Pasca peristiwa G30S 1965, sebuah Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah Sulawesi Selatan dan Tenggara dilakukan dalam dua tahap di bawah Komando Pelaksana Khusus (Laksus) Kodam XIV Hasanuddin. Tahap pertama adalah pasca terjadinya peristiwa, yaitu pada tahun 1965 hingga tahun 1968 dan tahap kedua adalah pada tahun 1969. Kedua

operasi ini kemudian dikenal dengan sandi operasi “Sisir Merah” 92 .

Berdasarkan kesaksian para korban, Peristiwa Buton 1969 diawali dengan tuduhan di tahun 1965 tentang adanya dropping senjata oleh PKI melalui KRI Dompu yang singgah di Teluk Sampolawa, Buton dalam pelayaran dari Tanjung Priok menuju Maluku. Camat Sampolawa pada waktu itu, “XWGHF” , melaporkan bahwa PKI telah men-drop senjata yang diterima oleh PKI “XWGHG” Cs untuk kemudian dibagi-bagikan kepada para tokoh masyarakat. Atas laporan ini, Pemerintah Daerah Tingkat II Buton di bawah koordinasi Bupati “K” membentuk tim yang terdiri dari unsur pemerintah, pihak Kodim, dan Kepolisian untuk memeriksa kebenaran laporan tersebut, dan setelah tim ini melakukan pemeriksaan lapangan, ternyata laporan tersebut tidak terbukti.

Empat tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1969, isu dropping senjata itu diangkat lagi ke permukaan. Kali ini tujuannya untuk melanjutkan manuver politik dari pihak- pihak yang mengincar jabatan politis bupati Buton yang saat itu masih dipegang “K”. Tuduhan dropping senjata yang diterima oleh “K” dan kelompok anti-ABRI di wilayah Buton membuat “K” beserta kurang lebih 40 orang aparat Pemerintah Buton dan anggota ABRI di Buton mulai ditangkap pasukan Kodim 1413 Buton dan Korem 143 Kendari pada tangal 21 Maret 1969 tanpa surat perintah. 93

Temuan yang akan disampaikan dalam pendokumentasian ini tidak akan memfokuskan pada bagaimana peristiwa itu terjadi, melainkan ingin menyajikan deskripsi dan temuan tentang operasi keamanan dan ketertiban yang dimulai sejak gagalnya kudeta pemerintahan pusat RI di tahun 1965 di Buton, Sulawesi Tenggara dan dampaknya terhadap masyarakat Buton.