Bentuk Lain Perampasan Hak Sipil dan Politik

III.2.2.6. Bentuk Lain Perampasan Hak Sipil dan Politik

III.2.2.6.1. Wajib Lapor

Pasca Operasi Trisula, masyarakat di Blitar Selatan diwajibkan untuk melapor secara regular ke kantor Kodim/Koramil setempat (wajib lapor). Semua korban yang pernah ditangkap wajib melakukan hal ini, sebagaimana dituturkan oleh Djoyo Slamet, seorang petani :

Akhirnya saya bersama teman saya (“HDC”, “XMTBL” dan “XMTBM”), menyerahkan diri di daerah Maron kepada tentara. Pada saat itu tentara dari kesatuan 521, saya juga ditanya terkait kegiatan saya dan sangkut pautnya dengan PKI, dan saya ya bilang tidak tahu, dan saya juga dinyatakan wajib lapor ke Suruhwadang. Wajib lapor sejak tahun 1968 sampai dengan sekitar tahun 1983.

“IBA” juga menegaskan hal tersebut : Setelah bebas dari Plantungan pada tahun 1978, dikontrol terus kemana saja ijin,

jadi tahanan luar. Pokoknya dibebaskan tapi sebetulnya masih dalam pengawasan, jadi kalau mau pergi mesti lapor ke Koramil terus ke Kodim. Sering dipanggil Kodim juga, di sana ditanya untuk kontrol kegiatan gerpol (gerakan politik)…… tadinya lapor mingguan tapi berikutnya gak lagi…. Lapor hanya absen…. Semua penahanan tidak ada surat penahanan, ada surat pembebasan dari Plantungan untuk laporan. Tapi sekarang [suratnya] tidak tahu di mana.

“HDI”, seorang guru SD, juga mengalami hal tersebut. Ia menuturkan : Setelah ditahan selama tiga bulan saya mendapat surat pelepasan dari tim 511, lalu ke

Koramil Bakung, saya dikenakan wajib lapor, sampai dengan tahun 1980. “HHE”, seorang guru yang harus melakukan kerja paksa setelah dibebaskan, menuturkan :

Saya wajib lapor sejak tahun 1968 saya dipekerjakan di kantor kelurahan, kecamatan, kantor Koramil Lorejo dan hanya dikasih makan, kadang-kadang dikasih beras. Saya dipekerjakan selama dua tahun dan selesai wajib lapor hingga tahun 1983-an.

Wajib lapor itu dilakukan hingga waktu pemutihan (bebas wajib lapor) di masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang juga berdampak positif pada penghapusan eks tapol (ET). Sebagaimana dituturkan oleh “HDC” :

Soal wajib lapor itu... saya diwajibkan wajib lapor sejak ketika dikeluarkan dari Bakung (1968) sampai pemutihan pada [masa] presidennya Gus Dur dan Megawati. Saya wajib lapor pada awalnya beberapa hari sekali, kemudian setiap minggu sekali dan selanjutnya kemudian setiap satu bulan sekali... dan setelah pemutihan itu KTP saya yang sebelumnya ada tanda ET-nya di pojokan (salah satu sudut) KTP, terus, ... ketika presidennya Megawati... tanda ET itu dihilangkan.

Hal serupa dialami oleh “CI”, seorang petani. Ujarnya : Setelah saya dibebaskan saya masih harus wajib lapor di Koramil Bakung dan

diskriminasi terhadap saya diantaranya KTP saya dikasih tanda ET, dan pekerjaan saya ditulis TAI. Wajib lapor sampai tahun 1990.

Juga dialami oleh “IDA”, seorang petani. Ia menyatakan : Setelah itu saya didata dan dikenakan wajib lapor. Pada tahun 1971 pemilu pertama,

kami dikumpulkan di Kecamatan Bakung, tidak diperbolehkan ikut dalam pemilu. Pada saat kejadian saya baru berusia 28 tahun dan baru punya anak satu. Dampak yang paling saya rasakan pada saat itu saya tidak boleh kemana-mana dan tidak boleh beraktivitas dalam organisasi politik.

“XYX”, anak seorang aktivis PKI yang saat itu masih berusia 14 tahun juga harus menjalani hal tersebut. Ujarnya :

Dan tiga tahun kemudian, tahun ’68, kakak saya ditangkap, dan kemudian dibawa ke Nusa Kambangan dan akhirnya dipindah ke Pulau Buru. Pulang tahun 1979, tanpa proses hukum, itu pun kemudian masih diharuskan absen (wajib lapor). Nah sewaktu, saya mengantar kakak saya ke Koramil, ada pesan dari Koramil begini : ‘Sekarang sudah pulang, sudah ketemu keluarga, sudah tidak usah ngurusi apa yang dilakukan Negara.’ Itu terakhir yang saya ingat.

Hal ini terus berlanjut hingga tahun 1990. “HHI” menyampaikan : Saya wajib lapor sejak tahun 1977 sampai dengan 1990 di Koramil Bakung.

III.2.2.6.2. Kerja Paksa

Pada masa penahanan sewenang-wenang tersebut atau setelah dikeluarkan dari penjara, para korban melakukan wajib lapor dan menjalankan kerja paksa. Bahkan sebagian besar dari mereka diwajibkan untuk melakukan kerja tanpa diupah dalam rangka membangun monumen/museum peringatan Trisula di Desa Bakung.

“IBA” menyampaikan :

Saya ditempatkan di perumahan Mantri Kehutanan…..bahkan di tempat itu saya diperbantukan di dapur pos tentara di Lodoyo…setelah diperbantukan di situ, teman- teman saya sebanyak tujuh orang dimasukkan LP Perempuan di Malang, saya sendiri ditempatkan di tahanan kantor polisi Lodoyo yang waktu itu dipenuhi orang gila.

Pembangunan sekolah, masjid dan fasilitas publik lainnya juga dilakukan lewat kerja paksa para tahanan. “IOD” menyampaikan :

Nah setelah itu, desa membutuhkan pembangunan seperti sekolahan, masjid dan sebagainya, ini orang-orang wajib lapor dikenakan satu minggu itu kerja bakti (kerja paksa) tiga hari.... Senin Selasa dan Rabu... tanpa diperintah ini sudah menjadi ketentuan, jadi kalo ndak kerja harus ijin, apa sakit apa bagaimana..ini sudah diatur oleh desa.

Sementara “HHE”, seorang guru anggota PGRI Non Vaksentral, menuturkan :

Saya dikerjakan di kelurahan, kecamatan, di Koramil, di kepolisian, dengan tanpa bayaran hanya diberi makan saja. Kadang-kadang diberi beras. Saya disuruh bekerja hanya kalau ada pekerjaan. Jadi kalau ada pekerjaan itu dua hari, kadang tiga hari, setelah itu ya tidak. Tapi itu melayani empat tempat: desa, Koramil, kecamatan, kepolisian. Dan itu terjadi hampir dua tahun. Mungkin karena saya guru, jadi dianggap pandai (terlatih).

Para tahanan ini juga dipaksa untuk membangun Tugu Pahlawan Blitar dan Monumen Trisula. Seperti disampaikan oleh “ICI” yang pada saat peristiwa menjabat sebagai pamong praja :

Sewaktu pemerintah membangun Monumen Trisula, saya diwajibkan ikut bekerja tanpa mendapatkan upah.

Hal senada disampaikan “IBH” :