PEMAHAMAN STRUKTUR CERITA PENDEK KUPU-KUPU IBU KARYA KOMANG IRA PUSPITANINGSIH OLEH SISWA KELAS VII SMP DWI WARNA PANJANG BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2014/2015

(1)

ABSTRAK

PEMAHAMAN STRUKTUR CERITA PENDEK KUPU-KUPU IBU KARYA KOMANG IRA PUSPITANINGSIH OLEH SISWA KELAS VII SMP DWI WARNA PANJANG BANDAR LAMPUNG

TAHUN PELAJARAN 2014/2015 Oleh

MIRA SALVIANI

Penelitian ini dilakukan berdasarkan rumusan masalah, yaitu bagaimana tingkat pemahaman siswa terhadap struktur cerita pendek “Kupu-Kupu Ibu” karya Komang Ira Puspitaningsih. Tujuan penelitian adalah untuk mendeskripsikan tingkat pemahaman siswa terhadap struktur cerita pendek“Kupu-Kupu Ibu” karya Komang Ira Puspitaningsih kelas VII SMP Dwi Warna Panjang Bandar Lampung tahun pelajaran 2014/2015.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, yakni untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian. Misalnya, perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik, serta dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa. Hal ini dilihat dari suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Sumber data dalam penelitian ini berupa teks cerita pendek “Kupu-Kupu Ibu” karya Komang Ira Puspitaningsih yang terangkum dalam modul yang dibelajarkan oleh guru pada siswanya di sekolah. Selanjutnya, peneliti memberikan tes berupa soal yang terdiri dari 30 soal. Soal yang digunakan untuk tes, yaitu kategori tema dan masalah, sebanyak delapan soal, kategori fakta cerita sebanyak tiga belas soal, dan kategori sarana cerita sebanyak sembilan soal. Teknik analisis data dilakukan dengan cara (1) membaca hasil lembar jawaban kerja siswa; (2) mengoreksi jawaban siswa; (3) memberikan nilai pada lembar jawaban siswa yang telah dikoreksi; (4) mengklasifikasikan data sesuai dengan tingkat pemahaman siswa, dan (5) menyimpulkan hasil deskripsi tingkat pemahaman siswa terhadap struktur cerita pendek.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pemahaman siswa terhadap struktur cerita pendek “Kupu-Kupu Ibu” karya Komang Ira Puspitaningsih, yakni memiliki nilai rata-rata 66,39 dan secara umum dikategorikan cukup. Selain itu, dalam pembelajaran siswa sudah dapat memahami materi struktur cerita pendek yang telah diajarkan sebelumnya. Siswa mampu mengetahui, memahami, dan menghubungkan kejadian-kejadian atau membedakan pokok-pokok permasalahan


(2)

yang terkandung dalam cerita. hal ini dapat dibuktikan dengan siswa dapat menjawab soal yang diberikan oleh peneliti dengan tepat.

Secara khusus dapat dirinci (1) terdapat delapan siswa yang memiliki nilai rata-rata 82,13 dan termasuk kategori tinggi. Siswa sudah memahami struktur cerita pendek dengan baik dan menjawab soal dengan tepat. Selain itu, dalam pembelajaran siswa mampu memprediksi, menghayati, menilai, serta membuat simpulan terhadap isi cerita dan unsur-unsur yang terkandung dalam cerita pendek “Kupu-Kupu Ibu” karya Komang Ira Puspitaningsih. (2) terdapat tujuh siswa yang memiliki nilai rata-rata 69,86 dan termasuk kategori cukup. Siswa cukup memahami struktur cerita pendek dengan baik, namun dalam menjawab soal masih ada yang kurang tepat. Selain itu, dalam pembelajaran siswa mampu mengetahui, memahami, dan menghubungkan kejadian-kejadian atau membeda-kan pokok-pokok permasalahan yang termembeda-kandung dalam cerita; dan (3) terdapat sepuluh siswa yang memiliki nilai rata-rata 5,33 dan termasuk kategori rendah. Siswa kurang memahami struktur cerita pendek dengan baik dan menjawab soal kurang tepat. Selain itu, dalam pembelajaran siswa hanya kagum, serta mengetahui isi cerita dan tidak tepat dalam menjawab soal yang diberikan peneliti.


(3)

PEMAHAMAN STRUKTUR CERITA PENDEK KUPU-KUPU IBU KARYA KOMANG IRA PUSPITANINGSIH OLEH SISWA KELAS VII SMP DWI WARNA PANJANG BANDAR LAMPUNG

TAHUN PELAJARAN 2014/2015

Oleh

MIRA SALVIANI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN

Pada

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDARLAMPUNG 2015


(4)

PEMAHAMAN STRUKTUR CERITA PENDEK KUPU-KUPU IBU KARYA KOMANG IRA PUSPITANINGSIH OLEH SISWA KELAS VII SMP DWI WARNA PANJANG BANDAR LAMPUNG

TAHUN PELAJARAN 2014/2015

(Skripsi)

Oleh

MIRA SALVIANI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDARLAMPUNG 2015


(5)

Halaman Tabel

3.1 Kisi-Kisi Tes Pemahaman Struktur Cerita Pendek ... 50 3.2 Tolok Ukur Penilaian Pemahaman Struktur Cerita Pendek... 51


(6)

(7)

(8)

(9)

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan) kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhan-mulah hendaknya kamu berharap

(Quran Surat Asy-Syarh: 6-8)

Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar


(10)

PERSEMBAHAN

Alhamdulilah dan rasa syukur atas nikmat yang diberi Allah Subhanahuwataala, segenap jiwa dan raga serta dengan penuh rasa kasih sayang dan cinta kupersembahkan kepada.

1. Ibu Mursila dan Bapak Syahmer Hayat (Alm) yang selalu mengadahkan tangan, mendekap, dan memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya, terimakasih atas doa dan pengorbanan demi terwujudnya keberhasilanku. 2. Lukman Sangiang Jo, penyambung kasih sayang ayah, beliau selalu

memberikan dukungan dalam bentuk moral maupun material serta untaian doa untuk keberhasilanku.

3. Adikku, Gun Satria LS Jo yang selalu memberikan semangat dan keceriaan.

4. Keluargaku, yang selalu memberikan dukungan, doa, semangat, dan motivasi.

5. Sahabat dan teman-teman yang selalu memberikan pelajaran berharga, dukungan, motivasi, dan doa.


(11)

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 10 April 1993, anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Syahmer Hayat (Alm) dan Mursila.

Pendidikan yang ditempuh penulis adalah:

1. Taman Kanak-kanak (TK) Dwi Warna Panjang Bandar Lampung, selesai tahun 1999.

2. Sekolah Dasar (SD) Dwi Warna Panjang Bandar Lampung, selesai tahun 2005.

3. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 29 Bandar Lampung, selesai tahun 2008.

4. Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 17 Bandar Lampung, selesai tahun 2011.

Pada tahun 2011 penulis diterima menjadi mahasiswa pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN Tertulis.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi internal kampus yakni sebagai berikut.

1. Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni (HMJ PBS): Tahun 2012/2013 sebagai Anggota Bidang KADERISASI.


(12)

2. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan:

Tahun 2013/2014 sebagai Anggota Bidang Eksternal.

3. Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) FKIP Universitas Lampung Tahun 2014/2015 sebagai Anggota Komisi IV.

Pada tahun 2014 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata Kependidikan Terintegrasi (KKN-KT) di Desa Jagaraga, Kecamatan Sukau, Lampung Barat dan PPL di SMP Negeri 3 Jagaraga, Lampung Barat.


(13)

Assalamualaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, puji syukur penulis haturkan ke hadirat Allah Swt. karena atas karunia dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Pemahaman Struktur Cerita Pendek Kupu-Kupu Ibu karya Komang Ira Puspitaningsih oleh Siswa Kelas VII SMP Dwi Warna Panjang Bandarlampung 2014/2015”. Shalawat, salam, dan doa semoga selalu tetap tercurah kepada Rasul yang agung Rosulullah Muhammad SAW, para keluarga, sahabat, dan pengikutnya yang Allah pastikan di surga. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Penulisan skripsi ini banyak menerima bimbingan, bantuan, serta dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih setulus-tulusnya kepada pihak-pihak tersebut sebagai berikut.

1. Dr. Muhammad Fuad, M.Hum. selaku pembimbing I yang telah membimbing dan mengarahkan penulis, serta memberikan motivasi, saran, dan nasihat yang berharga bagi penulis.

2. Dr. Edi Suyanto, M.Pd. selaku pembimbing II yang telah membimbing dan mengarahkan penulis, serta memberikan motivasi, saran, dan nasihat yang berharga bagi penulis.


(14)

3. Dr. Nurlaksana Eko Rusminto, M.Pd. selaku penguji bukan pembimbing yang telah memberikan kritik, saran, dan nasihat kepada penulis.

4. Drs. Iqbal Hilal, M.Pd. selaku pembimbing Akademik.

5. Dr. Mulyanto Widodo, M.Pd. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni.

6. Drs. Kahfie Nazaruddin, M.Hum. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

7. Dr. Bujang Rahman, M.Si. Dekan FKIP Universitas Lampung.

8. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberi penulis berbagai ilmu yang bermanfaat. 9. Neliwaty, S.Pd. selaku guru Bahasa Indonesia di SMP Dwi Warna Panjang

Bandarlampung yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi.

10. Guruku tersayang, Syawaluddin, S.E. yang sering dipanggil Ucok selalu memberikan kasih sayang pada muridnya serta semangat dan motivasi untuk menuju kesuksesan.

11. Kepala sekolah, guru, dan siswa SMP N 3 Jagaraga yang sudah mengajarkan penulis menjadi seorang guru, memberikan motivasi serta doa.

12. Orang tua tercinta, Ibu Mursila dan Bapak Syahmer Hayat (Alm) yang telah memberikan kasih sayang dan doa, serta tak henti memberikan dukungan dan motivasi untuk menyelesaikan studi.

13. Lukman Sangiang Jo, yang selalu memotivasi dan merawatku serta penyambung kasih sayang seorang ayah hingga saat ini. Beliau selalu


(15)

untaian doa.

14. Adik semata wayang, Gun Satria LS Jo dan sepupu tersayang, Dwi Septiani dan Deni Nalisa yang selalu memberikan keceriaan, semangat, serta motivasi.

15. Kakakku, Tantoni, S.Pd., Ari Mahendra, S.Pd., Rika Melia Sari, S.Pd., dan Andiska Medianto, S.Pd. yang selalu memberi dukungan, semangat, dan motivasi.

16. Nenek tersayang, Hatimah (Alm) yang telah memberikan semangat dan doa semasa hidupnya.

17. Keluarga besar yang senantiasa menantikan kelulusanku dengan memberikan, doa, dukungan, dan motivasi.

18. Imamku kelak yang Insya Allah beriman, selalu memberikan kasih sayang, perhatian, dan memotivasi serta memberikan dukungan dalam menyelesaikan studi.

19. Orang tua kedua bagiku, Ibu Masnun dan Bapak Eka Sabta, yang memberikan motivasi dan doa dalam menjalankan studi.

20. Sahabat kecilku Putri Wahyu Apriani yang selalu memberikan pelajaran berharga, selalu memberikan kritik dan saran, serta motivasi.

21. Sahabat-sahabat seperjuangan yang luar biasa, Ayu Mayasari, S.Pd., Ridha Adilla, Budi Risnawati, Anggun Setiana, S.Pd., Soviera Vitaloka, Cita Dani Apriyanti, Qonita Afriyani, Abbas Habibi, Ichan Prastika, dan Satrio Nur Hadi, S.H., yang selalu memberikan pelajaran berharga, selalu memberikan nasihat, dukungan, kritik dan saran, serta motivasi.


(16)

22. Sahabat-sahabat SMA yang luar biasa, Acib Saputra Dwi Yuda, Santika Insyira Zahra, Ingga Untari, Kartika, Ali Saputra, Setia Chandra Kesuma, A.Md., Ria, Sari, Pompi Yulianto, dan Wahyu yang selalu memberikan semangat dan motivasi, semoga silaturahmi tetap terjaga.

23. Teman-teman Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2011 terima kasih atas persahabatan, doa, serta kebersamaan selama ini.

24. Keluarga DPM Unila (Andre Edo Larichi, Titik Oktavia, dll) yang sudah memberikan pengalaman dan pelajaran hebat dalam hidup saya.

25. Teman-teman seperjuangan KKN/PPL di Lampung Barat dan di SMP Negeri 3 Jagaraga (Neti Betria Sari, Irma Damayanti, S.Pd., Rizka GP, Rosalia Deviana, S.Pd., Erlina Khusnul Khotima, S.Pd., Resti Nursalafah, S.Pd., Agung Restu Batari, Muhammad Khadafi, Andreas Malau, S.Pd.). 26. Semua Pihak yang terlibat dalam penulisan dan penyelesaian skripsi ini. Semoga Allah swt.selalu memberikan balasan yang lebih besar untuk Bapak, Ibu dan rekan-rekan semua. Hanya ucapan terimakasih dan doa yang bisa penulis berikan. Semoga skripsi ini bermanfaat untuk kemajuan pendidikan, khususnya Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Amin.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bandar Lampung, September 2015 Penulis,


(17)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL ... i

ABSTRAK ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

RIWAYAT HIDUP ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

SANWACANA ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Manfaat Penelitian ... 9

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 10

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Cerita Pendek ... 11

2.1.1 Pengertian ... 11

2.1.2 Hakikat Cerita Pendek ... 12

2.2Struktur Cerita Pendek ... 13

2.2.1 Tema dan Masalah ... 13

2.2.2 Fakta Cerita ... 16

2.2.3 Sarana Cerita ... 28

2.3 Pemahaman Struktur Cerita Pendek ... 34

2.4 Pembelajaran Cerita Pendek di Sekolah ... 37

2.5 Proses Pembelajaran Sastra di SMP Dwi Warna Panjang ... 42

2.5.1 Perencanaan Pembelajaran ... 42

2.5.1.1Pengertian Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ... 43

2.5.1.2Tujuan dan Fungsi RPP ... 43

2.5.1.3Langkah-Langkah penyusunan RPP ... 44

2.5.2 Pelaksanaan Pembelajaran ... 44

2.5.2.1Kegiatan Pendahuluan ... 44

2.5.2.2Kegiatan Inti ... 45


(18)

2.5.3 Penilaian Pembelajaran... 47

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode ... 48

3.2 Sumber Data ... 49

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 49

3.4 Teknik Analisis Data ... 50

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil ... 52

4.2 Pembahasan ... 54

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 78

5.2 Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 81 LAMPIRAN


(19)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sastra merupakan sebuah ungkapan atau pikiran seseorang yang dituangkan menggunakan bahasa yang indah sebagai sarana pengucapannya dan dapat berguna bagi manusia, yakni dapat memberikan hiburan bagi pembacanya. Sastrawan menunjukkan keindahannya melalui bahasa dan susunan bentuk yang diungkapkan dalam karyanya. Bahasa merupakan bahan pokok yang digunakan dalam kesusastraan. Tidak ada sastra tanpa menggunakan bahasa. Bahasa berfungsi untuk memberi tahu dan menggambarkan isi dari karya sastra tersebut. Karya sastra yang umum dinikmati oleh masyarakat yaitu puisi, prosa, dan drama. Karya sastra disebut karya besar apabila isi pikirannya mendalam, kandungan perasaannya padat dan pekat serta ungkapan bahasanya indah dan mengesankan (Jakob Sumardjo, 1984: 16). Oleh sebab itu, keindahan sastra terdapat pada pegolahan bahan pokoknya yaitu bahasa. Sastra memiliki syarat-syarat dan cirinya tersendiri. Ciri-ciri tiap bentuk sastra memang tidak mudah untuk mem-bedakannya. Meskipun demikian terdapat bentuk dasar yang membedakannya satu sama lain.

Garis besar pembagian bentuk sastra itu dapat dijelaskan sebagai berikut (1) Sastra Bukan Rekaan merupakan karya-karya yang berdasarkan kenyataan dan rekaan saja, yakni berusaha mengungkapkan kenyataan (data) secara murni yang


(20)

2

terdiri atas esai, kritik, biografi, memoar, catatan harian, dan sejarah. (2) Sastra Rekaan merupakan ungkapan pengalaman seseorang melalui bahasa-bahasa yang disajikan, yakni tidak terikat pada kenyataan yang sudah terjadi maupun yang sedang terjadi. Sastra Imajinatif terdiri atas puisi dan prosa. Puisi terdiri atas puisi epik, puisi dramatik, dan puisi lirik. Sedangkan, prosa terbagi atas dua, yakni prosa narasi (fiksi) dan drama. Prosa narasi (fiksi) terdiri atas novel, cerita pendek, dan novelet. Drama terdiri atas drama prosa dan drama puisi yang keduanya merupakan tragedi komedi melodrama (Jakob Sumardjo, 1984: 25). Sastra khususnya cerita pendek sangat penting dibaca dan dipahami maknanya, baik di kalangan pelajar maupun masyarakat luas. Ketika membaca sastra kita dapat memeroleh beberapa manfaat, yakni mengetahui adat istiadat dan kehidupan seseorang melalui karyanya. Melalui sastra kita memeroleh pengetahuan, yakni pengalaman-pengalaman yang diungkapkan pengarangnya. Sastra juga dapat memperkaya rohani, yakni dengan memberikan hiburan dan kesenangan bagi pembacanya. Pada saat membaca sastra seseorang seringkali asyik dan terhanyut dalam jalan cerita yang disajikan pengarangnya. Membaca sastra sering disebut membaca indah yang tujuan utamanya adalah agar pembaca dapat menikmati, menghayati, dan sekaligus menghargai unsur-unsur keindahan yang terdapat dalam teks sastra (Aminuddin dalam Priyatni, 2010: 25). Selain itu, dengan membaca sastra membuat seseorang dapat mengungkapkan sesuatu dengan baik, yaitu dengan bahasa yang indah dan menarik untuk keperluan-keperluan tertentu. Sastra khususnya cerita pendek merupakan salah satu bahan ajar dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah. Cerita pendek merupakan salah satu jenis karya sastra prosa fiksi yang sangat baik diajarkan di sekolah, khususnya di


(21)

SMP kelas VII. Hal ini dapat dilihat dalam kurikulum 2013 dengan Kompetensi Dasar (KD) 3.1 memahami teks cerita pendek melalui lisan maupun tulisan. Dalam materi ini siswa diharapkan banyak membaca sastra khususnya cerita pendek dan dapat memahami struktur cerita pendek yang terdiri atas tema dan masalah; fakta cerita; dan sarana cerita. Karya sastra khususnya cerita pendek, jika dibandingkan dengan karya sastra prosa fiksi yang lain, maka pembelajaran sastra dengan menggunakan bahan ajar cerita pendek memberikan keuntungan praktis dalam penyajiannya. Hal ini dimungkinkan karena keuntungan cerita pendek, yaitu kesederhanaan ceritanya serta penyajian persoalan yang bernada tunggal. Dengan demikian, pembahasannya pun dapat diselesaikan dalam satu kali tatap muka.

Cerita pendek merupakan salah satu karya sastra berbentuk prosa yang sangat populer di kalangan masyarakat, karena jalan ceritanya jauh lebih pendek jika dibandingkan dengan bentuk prosa lainnya seperti roman dan novel. Perbedaan cerita pendek dengan novel sebenarnya terdapat pada lingkupan masalah yang disajikan. Novel yang menyajikan kehidupan seorang tokoh secara terperinci, sedangkan cerita pendek hanya menyajikan sebagian dari kehidupan tokoh tersebut. Oleh sebab itu, jika dilihat dari segi kuantitasnya, cerita pendek itu lebih kecil daripada novel dan roman.

Cerita pendek merupakan variasi bacaan yang diharapkan mampu menarik minat siswa karena kisahnya singkat sehingga tidak menyita waktu dan membuat jenuh saat membacanya. Cerita pendek merupakan salah satu bentuk karya sastra yang dituliskan berdasarkan fakta sosial. Cerita pendek memiliki stuktur yang sama dengan roman dan novel, yakni memiliki tema, fakta, dan sarana cerita. Adapun,


(22)

4

cerita pendek hanya menyajikan sebagian dari kehidupan seorang tokoh, sehingga masalah yang dikaji hanya terpusat pada tokoh sentral saja. Begitu juga fakta-fakta yang disajikan dalam cerita hanya seperlunya yang sesuai dengan kebutuhan isi cerita. Kepepalan bentuk dari penyajian cerita pendek tidak menuntut waktu lama untuk seorang pembaca menikmati ceritanya. Tepat kiranya bila William Henry Hudson (dalam Pradopo dkk., 1985: 1) mengatakan bahwa cerita pendek adalah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk. Artinya cerita pendek tidak menuntut waktu lama untuk membacanya.

Cara memahami cerita pendek lebih mudah dibandingkan dengan memahami novel. Dilihat dari segi penyajian, cerita pendek lebih singkat dibandingkan novel. Memahami cerita pendek, pembaca tidak cukup sekali membaca bahan bacaanya, melainkan berkali-kali, agar dapat memahami isi yang terkandung dalam cerita tersebut. Cara memahami cerita pendek, hendaknya terlebih dahulu membaca cerita pendek itu dengan cermat dan pembaca hendaknya menguasai unsur-unsur apa saja dalam cerita pendek, sehingga pembaca lebih mudah mengetahui isi dan makna yang terkandung dalam cerita pendek tersebut.

Struktur cerita pendek berarti rincian dari unsur-unsur yang terkandung dalam sebuah cerita. Struktur itu sendiri pada pokoknya berarti, bahwa sebuah karya atau peristiwa di dalam masyarakat menjadi suatu keseluruhan karena ada relasi timbal balik antara bagian-bagiannya dan antara bagian dan keseluruhan (Luxemburg, 1986: 38). Cara memahami struktur cerita pendek yang terdiri atas tema dan masalah, fakta cerita, dan sarana cerita, yaitu pembaca harus cermat dan mengetahui isi dari tiap-tiap peristiwa yang terjadi, dengan demikian pembaca akan lebih mudah mengetahui unsur-unsur apa saja yang terkandung dalam cerita.


(23)

Tidak semua unsur-unsur terdapat dalam cerita pendek yang kita baca. Oleh sebab itu, pembaca hendaknya membaca dengan tekun dan menguasai unsur-unsur cerita pendek, agar pembaca lebih memahami isi dan makna yang terkandung dalam cerita tersebut.

Selain itu, dengan memahami struktur cerita pendek juga bertujuan agar pembaca dapat menikmati jalan ceritanya serta ikut merasakan apa yang terjadi dalam cerita. Memahami dan menikmati isi suatu cerita, pembaca dapat merasa terhibur dengan apa yang dibaca. Selain terhibur, pembaca juga merasakan manfaat lain dari memahami struktur cerita pendek, yakni pembaca memperluas pengetahuan dan pengalamannya yang berkaitan dengan isi cerita yang dibacanya.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti menyimpulkan, bahwa pembaca dikatakan telah memahami cerita pendek, jika pembaca telah mengetahui isi dari keseluruhan cerita (tema dan masalah, fakta cerita, dan sarana cerita) yang terkandung dalam cerita, pembaca menikmati bacaannya dan ikut hanyut dengan jalan cerita yang disajikan penulis, dan pembaca mampu mengungkapkan kembali isi cerita tersebut.

Pada penelitian ini, peneliti memilih cerita pendek yang berjudul “Kupu-Kupu Ibu” karya Komang Ira Puspitaningsih yang terangkum dalam buku 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2008 terbitan Gramedia Pustaka Utama. Cerita pendek yang berjudul “Kupu-Kupu Ibu” digunakan untuk belajar siswa di sekolah yang terangkum dalam modul dan dibelajarkan oleh guru pada siswanya. Cerita pendek yang berjudul “Kupu-Kupu Ibu” berisi informasi kehidupan yang positif, sehingga dapat menarik para siswa untuk membaca dan memahami isi ceritanya.


(24)

6

Peneliti tertarik akan cerita pendek ini adalah tidak adanya dialog yang sering ditemukan dalam sebuah cerita pendek. Selain itu, alur dalam cerita pendek ini menggunakan alur maju, yakni setiap kejadian-kejadian yang diceritakan tidak ada yang mengulang. Bahasa yang digunakan dalam cerita pendek yang berjudul “Kupu-Kupu Ibu” cukup lugas, tapi walau pun begitu cerpen ini sangat mudah dipahami. Penggunaan kata-kata majas yang tidak terlalu banyak seperti yang selalu digunakan dalam puisi, membuat cerpen ini mudah dipahami dengan baik oleh pembaca umum dan khususnya untuk kalangan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP). Cerita pendek ini juga mengandung nilai kebaikan dan nilai-nilai moral yang dapat dijadikan cerminan para siswa agar mengetahui perbuatan yang baik dan moral yang baik maupun yang tidak baik bagi dirinya.

Penelitian sebelumnya mengenai pemahaman struktur cerita pendek pernah dilakukan oleh Yunita Handiawati (2010) dengan judul “Pembelajaran Memahami Struktur Cerita Pendek pada Siswa Kelas VII SMPN 2 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2013/2014”. Hasil penelitian Yunita menyimpulkan bahwa hasil penilaian terhadap masing-masing peserta didik dikategorikan baik, terbukti dari skor yang diperoleh siswa. Hanya satu siswa dari 25 siswa yang mendapatkan skor dengan kategori kurang.

Hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya tersebut adalah proses dan hasil penelitiannya. Penelitian ini mengkaji pemahaman siswa terhadap struktur cerita pendek, sedangkan penelitian sebelumnya, yaitu pembelajaran cerpen. Selain itu, yang menjadikan penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, yaitu penelitian ini mengkaji tingkat pemahaman siswa terhadap cerpen yang diberikan oleh peneliti, menunjukkan bahwa tingkat


(25)

pemahaman siswa secara umum dikategorikan rendah, sedangkan penelitian sebelumnya mengamati bagaimana proses pembelajaran dan penilaian cerpen di sekolah, yang menunjukkan hasil penelitiannya dikategorikan cukup. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil penelitian, hanya satu siswa dari 25 siswa yang mendapat nilai dengan kategori rendah.

Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Teguh (2010) dengan judul “Pembelajaran Menulis Cerita Pendek Siswa Kelas VII Berdasarkan Kurikulum 2013 SMPN 1 Tumijajar Tulang Bawang Barat Tahun Pelajaran 2013/2014”. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa pembelajaran menulis cerpen pada siswa kelas VIIE SMP Negeri 1 Tumijajar sudah dapat dikategorikan berhasil dengan indikator siswa mampu mendiskusikan unsur intrinsik dan ekstrinsik pada cerita pendek dan mampu menulis cerita pendek. Selain itu, aspek kompetensi sikap juga berhasil dikembangkan dengan indikator seusai pembelajaran menulis cerita pendek siswa menjadi lebih berani dan percaya diri, juga memiliki sikap menghargai.

Hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya tersebut adalah proses dan hasil penelitiannya. Penelitian ini mengkaji pemahaman siswa terhadap struktur cerita pendek dan tingkat pemahaman siswa terhadap cerita pendek, sedangkan penelitian sebelumnya, yaitu pembelajaran menulis cerita pendek di SMP dan mengamati bagaimana proses pembelajaran serta penilaian dalam menulis cerita pendek.

Berdasarkan pertimbangan di atas, penelitian ini penting untuk dilakukan karena penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Kemudian, penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi lain untuk melakukan penelitian


(26)

8

mengenai pemahaman struktur cerita pendek dan menjadi penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya yang serupa. Selain itu, penelitian ini juga mengkaji pemahaman siswa dan tingkat pemahaman yang dilakukan peneliti dalam memberikan soal pada siswa mengenai struktur cerita pendek di SMP.

Peneliti memilih SMP Dwi Warna Panjang Bandar Lampung sebagai tempat penelitian. Sekolah tersebut adalah salah satu sekolah swasta yang ada di daerah Panjang. Ibu Neliwaty, S.Pd. sebagai guru mata pelajaran bahasa Indonesia yang mengajar di sekolah tersebut. Sekolah SMP Dwi Warna Panjang Bandar Lampung kelas VII terdapat dua rombel, yakni kelas VII A terdiri dari 25 siswa dan kelas VII B terdiri dari 25 siswa yang dapat dijadikan tempat penelitian. Sekolah ini merupakan salah satu sekolah yang memilih untuk meneruskan penggunaan kurikulum 2013.

Sekolah ini terdapat beberapa permasalahan seperti kurangnya minat siswa kelas VII SMP Dwi Warna Panjang Bandar Lampung terhadap mata pelajaran bahasa Indonesia, hal itu karena kurangnya upaya guru untuk meningkatkan kreatifitas belajar siswa dan kurangnya fasilitas perpustakaan sehingga tidak terciptanya proses pembelajaran yang bervariasi. Oleh sebab itu, kegiatan belajar-mengajar di SMP Dwi Warna Panjang Bandar Lampung kurang efektif dan efisien.

Berdasarkan materi memahami cerita pendek yang sudah diajarkan oleh guru mata pelajaran bahasa Indonesia, peneliti bertujuan mengukur tingkat pemahaman yang dimiliki siswa terhadap struktur cerita pendek. Adapun alasan penulis memilih SMP Dwi Warna Panjang Bandar Lampung sebagai tempat penelitian, yakni penulis memeroleh informasi dari guru mata pelajaran bahasa Indonesia bahwa siswa-siswi yang terdapat di sekolah tersebut kurang memiliki rasa ingin


(27)

tahu atau minat baca terhadap buku bacaan, sehingga membuat penulis ingin meningkatkan minat siswa dalam membaca, khususnya membaca cerita pendek. Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa penting meneliti Pemahaman Struktur Cerita Pendek “Kupu-Kupu Ibu” karya Komang Ira Puspitaningsih oleh Siswa Kelas VII SMP Dwi Warna Panjang Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2014/2015.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, peneliti merumuskan masalahnya sebagai berikut.

Bagaimanakah tingkat pemahaman siswa terhadap struktur cerita pendek “Kupu

-Kupu Ibu”karya Komang Ira Puspitaningsih di SMP Dwi Warna Panjang Bandar

Lampung kelas VII tahun pelajaran 2014/2015? 1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan,

tingkat pemahaman siswa terhadap struktur cerita pendek “Kupu-Kupu Ibu” karya Komang Ira Puspitaningsih di SMP Dwi Warna Panjang Bandar Lampung kelas VII tahun pelajaran 2014/2015.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun, manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.4.1 Siswa mendapat pemahaman struktur cerita pendek yang berjudul

“Kupu-Kupu Ibu” karya Komang Ira Puspitaningsih.

1.4.2 Sebagai alternatif bahan/penunjang bagi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di Sekolah Menengah Pertama.


(28)

10

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah cerita pendek yang berjudul “Kupu-Kupu Ibu” karya Komang Ira Puspitaningsih. Secara substansial lingkup yang dikaji adalah sebagai berikut.

1.5.1 Struktur Cerita Pendek (Tema dan Masalah, Fakta Cerita, dan Sarana Cerita).


(29)

LANDASAN TEORI

2.1 Cerita Pendek 2.1.1 Pengertian

Cerita pendek sebagai cerita berbentuk prosa yang pendek (Suyanto, 2012: 46). Ukuran pendek di sini bersifat relatif menurut Edgar Allan Poe, sastrawan kenamaan Amerika, ukuran pendek di sini adalah selesai dibaca dalam sekali duduk, yakni kira-kira kurang dari satu jam. Adapun, menilai ukuran pendek ini lebih didasarkan pada keterbatasan pengembangan unsur-unsurnya. Cerita pendek harus memiliki efek tunggal dan tidak kompleks (Jakob Sumardjo dan Saini K.M. dalam Suyanto, 2012: 46).

Cerita pendek adalah salah satu bentuk karya fiksi, yakni memperlihatkan sifat serba pendek baik peristiwa yang diungkapkan, isi cerita, jumlah pelaku, dan jumlah kata yang digunakan (Priyatni, 2010: 126). Perbandingan ini jika dikaitkan dengan bentuk prosa yang lain, misalnya novel. Selain itu, perbedaan antara cerita pendek dengan novel terletak pada panjangnya jumlah kata-kata yang digunakan dalam cerita, yakni cerita pendek menggunakan 15.000 kata atau 50 halaman, sedangkan novel menggunakan 30.000 kata atau 100 halaman (Staton dalam Pradopo, dkk., 1985: 15).

Cerita pendek memiliki struktur yang sama dengan roman atau novel, yaitu memiliki tema, fakta, dan sarana cerita. Akan tetapi, karena cerita pendek hanya


(30)

12

menggarap dari sebagian kehidupan seorang tokoh, maka masalah yang digarap pun pada umumnya hanya terpusat pada tokoh sentral saja. Begitu pula pada fakta-fakta cerita lainya hanya digarap seperlunya sesuai dengan kebutuhan cerita (Nugroho Notosusanto dalam Hutagalung dan Pradopo dkk., 1985: 1).

Berdasarkan rincian pendapat dari para ahli, penulis menyimpulkan bahwa sesuai dengan namanya, cerpen merupakan cerita pendek. Cerita pendek atau cerpen merupakan jenis prosa singkat yang biasa dibaca sekali duduk saja, kira-kira berkisar satu sampai dua jam. Cerita pendek tidak sepanjang novel, oleh sebab itu, cerita pendek biasanya menggunakan beberapa lembar, sedangkan novel bisa menggunakan ratusan lembar. Adapun, ciri-ciri umum yang terdapat pada sebuah ceria pendek adalah pendek, padat, singkat, terpusat, dan memiliki struktur. Selain itu cerita pendek merupakan salah satu bentuk karya fiksi, yakni menggambarkan suatu peristiwa atau kehidupan.

2.1.2 Hakikat Cerita Pendek

Cerita pendek atau yang lebih populer dengan akronim cerpen, merupakan salah satu jenis fiksi yang paling banyak digemari oleh pembaca (Rosidi dalam Tarigan, 1986: 119). Pada hakikatnya cerita pendek berbentuk prosa fiksi yang memiliki struktur atau unsur-unsur pembangun di dalamnya. Dengan kata lain fiksi menceritakan atau melukiskan kehidupan, baik fisik maupun psikis, jasmani maupun rohani (Tarigan, 1986: 118). Sama halnya dengan novel yang memiliki unsur-unsur pembangun, namun novel cangkupan jalan ceritanya lebih luas dibandingkan dengan cerita pendek. Sesuai dengan namanya cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi lain yang lebih panjang, yakni bentuk cerita yang singkat dan hanya memiliki satu


(31)

tema dalam cerita, jalan ceritanya jelas dan bahasanya juga lugas sehingga lebih mudah dipahami dalam mengetahui isi cerita serta memetik hikmah dan makna yang terkandung dalam cerita.

Peneliti menarik simpulan, bahwa pada hakikatnya cerita pendek merupakan salah satu prosa fiksi yang di dalamnya terdapat unsur-unsur pembangun suatu cerita. Selain jenis prosa fiksi adapun jenis prosa lainnya, yakni prosa non fiksi yang biasa terdapat pada novel. Berdasarkan sifatnya, fiksi bersifat relitas, sedangkan non-fiksi bersifat aktualitas. Realitas adalah apa-apa yang dapat terjadi (tapi belum tentu terjadi), sedangkan aktualitas adaah apa-apa yang benar-benar terjadi (Tarigan dalam Tarigan, 1986: 122).

2.2 Struktur Cerita Pendek

Cerita pendek merupakan sebuah karya sastra yang memiliki struktur. Struktur cerita pendek dibina oleh unsur-unsur pembangun. Unsur-unsur tersebut saling mendukung satu sama lainnya. Menurut Staton (dalam Pradopo dkk., 1985: 17) unsur-unsur tersebut sebagai berikut.

1) tema dan masalah, 2) fakta cerita, dan 3) sarana cerita. 2.2.1 Tema dan Masalah

Tema merupakan ide pokok dari suatu cerita. Melalui tema, pengarang menyampaikan ide atau gagasan supaya pembaca memahami cerita yang ditulisnya. Tema merupakan makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Selain itu, ada banyak makna yang dikandung dan ditawarkan oleh cerita itu, maka


(32)

14

masalahnya adalah makna khusus yang mana yang dapat dinyatakan sebagai tema (Staton dan Kenny dalam Nurgiantoro, 2007: 67).

Tema dirumuskan sebagai “generalisasi, dinyatakan atau disarankan, yang terletak di belakang penceritaan situasi yang spesifik yang melibatkan individu-individu yang spesifik” (Jaffe dalam Pradopo dkk., 1985: 30). Tema inilah yang kemudian menjadi ide pusat dan tujuan pokok (Stanton dalam Pradopo dkk., 1985: 30). Tema adalah dasar atau makna suatu cerita atau novel (Brooks dan Warren dalam Tarigan, 1986: 125). Buku lain mengatakan bahwa “tema adalah pandangan hidup yang tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya sastra”(Brooks, Purser, dan Warren dalam Tarigan, 1986: 125).

Makna cerita dalam sebuah karya fiksi bisa lebih dari satu. Hal tersebut, menyebabkan sulitnya menentukan tema pokok cerita atau tema mayor (artinya: makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan umum karya) (Nurgiyantoro, 2007: 82-83). Makna pokok cerita tersirat dalam sebagian besar dalam keseluruhan cerita, sedangkan makna tambahan yang terdapat di dalamnya disebut tema tambahan atau tema minor. Penafsiran terhadapnya harus dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang ada secara keseluruhan membangun suatu cerita. Tema yang terdapat dalam cerita pendek “Anak Ayah” karya Agus Noor adalah keegoisan ayah. Hal ini tergambar dalam cerita bahwa tokoh aku selalu didoktrin oleh ayahnya agar menjadi seorang bajingan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut ini.

“Hanya bajingan yang punya masa depan. Jangan kamu percayai apa pun yang dikatakan ibumu. Itu akan membuatmu cengeng. Cuh! Orang cengeng tak akan pernah bisa jadi bajingan yang baik. di dunia ini yang


(33)

begini culas, orang lembek hanya akan ditindas dan dilindas. Ingat itu! Kamu mesti liat, licik, nekat. Jangan Cuma manggut-manggut buyung. Sekali lagi dengar kata ayah: semua orang tak lebih bajingan, dan bajingan hanya bisa dilawan oleh bajingan. “Huek. Ayah muntah. Kepalanya yang besar lunglai. Tapi ayah terus nyerocos.

(Noor dalam Suyanto, 2012: 63).

Yang paling uatama dalam hidup ini, buyung, adalah jadi bajingan.tentu saja bajingan yang bukan jadi pecundang. Karenanya, hanya ini nasehat ayah: Pertama kamu mesti jadi bajingan besar. Kedua, kamu juga mesti jadi bajingan. Ketiga, tetap sebagai bajingan...” (Noor dalam Suyanto, 2012: 63).

Masalah atau pokok permasalahan (subject matter) yang merupakan suatu hal (permasalahan hidup dan kehidupan) yang diangkat ke dalam cerita sebuah karya fiksi (Nurgiantoro, 2007: 98). Permasalah yang terkadang dihadapi manusia, misalnya permasalahan hubungan antar manusia, sosial, hubungan manusia dengan Tuhan, dengan lingkungan, dengan diri sendiri, dan sebagainya. Oleh sebab itu, pemilihan pokok permasalah yang terdapat dalam sebuah cerita ada kaitannya dengan pemilihan tema. Paling tidak, terdapat kesesuaian antara pemilihan keduanya, dan hal yang demikian akan mempermudah pembaca untuk memahaminya.

Berasarkan uraian di atas, dalam karya sastra khususnya cerita pendek, pada dasarnya merupakan hasil kajian pengarang terhadap apa yang dirasakan dan dilihat dalam kehidupan nyata manusia. Oleh karena itu, masalah yang diungkapkan melalui karya sastra berkisar di antara kehidupan manusia sehari-hari. Selanjutnya, masalah yang terdapat dalam cerita pendek “Anak Ayah” karya Agus Noor adalah hubungan antar manusia. Hal ini tergambar dalam cerita bahwa antara tokoh aku dan tokoh ayah yang selalu mengingankan anaknya menjadi seorang bajigan.


(34)

16

Selain pengarang ingin menyampaikan gagasan dan pandangannya terhadap masalah-masalah kehidupan, juga sesungguhnya ia menyampaikan harapan-harapan dan kegunaannya ke pada pembaca. Berkenaan hal tersebut, pengarang sering memasukkan pesan-pesannya ke dalam karyanya. Pesan-pesan yang disampaikan pengarang ke dalam ceritanya itu disebut amanat.

Amanat yang disampaikan pengarang melalui karyanya biasanya berupa ajaran moral atau pesan didaktis. Tidak jauh berbeda dengan bentuk cerita lainnya, amanat dalam cerita pendek sering disimpan rapi dan disembunyikan pengarangnya secara tersirat (implisit) dalam keseluruhan cerita. Oleh karena itu, untuk menemukan amanat, pembaca harus menghabiskan bacaannya sampai tuntas.

2.2.2 Fakta Cerita

Fakta cerita disebut juga sebagai struktur faktual atau tingkat faktual. Fakta cerita meliputi alur, penokohan, dan latar (Pradopo dkk., 1985: 17). Fakta cerita merupakan hal-hal yang akan diuraikan di dalam sebuah karya fiksi. Fakta cerita dalam karya fiski meliputi alur, tokoh, dan latar. Sesuatu hal yang akan diuraikan dapat dirangkai dalam susunan peristiwa dalam kerangka unsur alur, tokoh, dan latar. Aspek-aspek yang berhubungan dengan fakta cerita inilah yang akan diuraikan dalam bagian ini.

1. Alur

Alur merupakan cerminan atau perjalanan tingkah laku para tokoh dalam bertindak, berpikir, dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan (Nurgiyantoro, 2007: 114). Selain itu, alur merupakan sebuah rangkaian jalannya cerita yang menunjukkan adanya hubungan sebab dan


(35)

akibat (Suyanto, 2012: 49-50). Oleh sebab itu, alur merupakan rangkaian peristiwa yang berlangsung secara keseluruhan. Bentuk alur terbagi menjadi dua macam, yaitu alur lurus dan sorot balik. Alur lurus berarti suatu peristiwa yang disusun dengan model pembeberan kisah: awal-tengah-akhir, yang mewujudkan dengan eksposisi-komplikasi-klimaks-peleraian-penyelesaian (Abrams dalam Pradopo dkk., 1985: 17).

Suatu cerkan (cerita rekaan) disebut beralur sorot balik apabila cerkan itu tidak disusun dalam sistem berurutan, melainkan dengan menggunakan sistem yang lain. Bila cerkan menggunakan pola alur, maka dapat digambarkan dengan diagram A-B-C-D-E...Z, sedangkan pola alur sorot balik menggunakan pola rangkaian tengah-awal-akhir, atau akhir-awal-tengah, dan sebagainya.

Sudjiman (dalam Priyatni, 2010: 114) membagi tahapan alur dengan menggunakan bagan sebagai berikut.

Awal : 1. Paparan (eksposition) 2. Rangsangan(inciting force) 3. Gawatan(rising action) Tengah : 4. Tikaian(conflict)

5. Rumitan(complication) 6. Klimaks(climacx) Akhir : 7. Leraian(falling action)

8. Selesaian(denoument)

Bagian awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap perkenalan, tahap perkenalan pada umumnya berisi sejumlah infomasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya (Nuriyantoro, 2007: 142). Bagian tengah cerita disebut sebagai tahap pertikaian, menampilkan pertentangan dan konflik yang sudah mulai


(36)

18

dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan (Nurgiyantoro, 2007: 145). Bagian akhir cerita disebut sebagai tahap peleraian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks (Nurgiyantoro, 2007: 145).

Misalnya, alur yang terdapat dalam cerita pendek “Anak Ayah” karya Agus Noor adalah alur maju. Hal ini dapat dilihat dari pendeskripsian rangkaian peristiwa berikut ini.

a. Berawal dari kelahiran tokoh. Ayah bahagia karena anaknya laki-laki, bukan perempuan. Haram bagi ayah punya anak perempuan. Anak-anak permpuan yang pernah lahir sebelumya, menurut kasak-kusuk tetangga tokoh aku, dikubur hidup-hidup oleh ayahnya (Suyanto, 2012: 70).

b. Ayahnya mulai membentuk tokoh aku menjadi bajingan seperti yang selama ini dicita-citakan dirinya yang juga bajingan. Bentukan itu dilakukan dengan kata-kata yang menuntut anaknya jadi bajingan. Juga dengan perilaku buruknya. Perilaku buruk ayahnya yang dilihat tokoh Aku, misalnya: selama berbicara pada tokoh aku, ayahnya yang sedang mabuk, muntah. Yang keluar dari muntahannya adalah bagkai tikus, lintah yang baunya busuk luar biasa. Ayahnya juga mempertontonkan sikap kejam ke pada ibu tokoh Aku dengan memerintahkan ibunya membersihkan muntahan tokoh Ayah dengan lidahnya. Ayahnya yang dalam pandangan tokoh Aku raksasa, sering membawa tokoh Aku menyusuk kegelapan menghabiskan malam di pekuburan (Suyanto, 2012: 71).


(37)

c. Tokoh Aku menyerap bentukan tokoh Ayah yang serba jahat itu. Meskipun demikian, sisi-sisi baik dari ibunya singgah juga ke hatinya. Namun, akses ibunya terhadap dirinya terbatas. Ayahnyalah yang mendominasi dan berkuasa atas pembentukan kepribadian tokoh Aku (Suyanto, 2012: 71).

d. Oleh karena bentukan dan interaksi yang intens dengan ayahnya, lambat laut tokoh Aku mulai mengidentifikasi diri dengan kepribadian ayahnya. Tokoh Aku memiliki persepsi betapa membanggakannya menjadi bajingan (Suyanto, 2012: 71).

e. Dalam berinteraksi dalam lingkungan, toko Aku mulai tertarik dengan anak-anak sekolah dan memiliki keinginan untuk bersekolah. Keinginan ini mendapat dukungan dari ibunya. Namun, ayahnya malah marah. Ayahnya kembali menekankan bahwa tokoh Aku harus menjadi bajingan, karena bajinganlah yang memiliki masa depan. Sekolah hanya akan membuatnya menjadi banci (Suyanto, 2012: 71). f. Alih-alih mendukung keinginan tokoh Aku untuk bersekolah, ayahnya

malah menyuruhnya mengganggu anak-anak sekolah (SD) dengan cara meludahinya. Tokoh Aku meludahi anak-anak itu. Ia bangga ketika anak-anak itu ternyata lari ketakutan dan menangis. Tokoh Aku bangga dengan perilakunya itu karena telah membuat ayahnya bangga juga (Suyanto, 2012: 71).

g. Dari peristiwa itu, tokoh Aku semakin punya keberanian. Ia pun memalak anak-anak SD tersebut dan berhasil (Suyanto, 2012: 71).


(38)

20

h. Suatu hari, anak-anak SD itu beramai-ramai melakukan perlawanan terhadap tokoh Aku engan potongan kayu, rantai, dan besi. Tokoh Aku pun babak belur (Suyanto, 2012: 71).

i. Tokoh Ayah murka pada tokoh Aku yang kalah menghadapi anak-anak SD itu. Ayahnya menonjoknya dan menyatakan memalukan. Tak mau mengecewakan ayahnya dan didorong oleh dendam, tokoh Aku berjanji pada ayahnya akan membuat perhitungan dengan anak-anak tersebut (Suyanto, 2012: 71).

j. Tokoh Ayah memperlihatkan kebanggaan pada dendam yang dipancarkan tokoh Aku. Diberinya tokoh Aku kelewang untuk menghadapi anak-anak tersebut (Suyanto, 2012: 71).

k. Tokoh Aku, dengan kelewangnya, menghadang anak-anak SD itu dan ketika mendengar penghinaan dari mereka, ia pun menyerang anak-anak itu sehingga di antara mereka ada yang terbunuh (Suyanto, 2012: 72).

l. Tokoh Aku diringkus oleh polisi karena pembunuhan tersebut. Tokoh berteriak minta tolong pada ayahnya, namun ternyata, ayahnya yang selama ini tindak-tanduknya demikian ia banggakan, malah beringsut mundur. Tokoh Aku sangat kecewa dengan kepengecutan ayahnya (Suyanto, 2012: 72).

m. Tokoh Aku menekam di penjara. Ayahnya tak pernah menengoknya. Hanya ibunya, yang dalam pandangan tokoh Aku adalah hantu cekung, pucat, yang kerap mengunjunginya. Hal ini semakin membuat tokoh Aku kecewa pada ayahnya (Suyanto, 2012: 72).


(39)

n. Setelah tokoh Aku bebas dari penjara, ia mencari ayahnya. Namun, yang ia temukan hanya ibunya, tergolek pasi. Ketika tokoh Aku menanyakan keberadaan ayahnya, ibunya menjawab. “Bersama kuntilanak, di kuburan...” (Suyanto, 2012: 72).

o. Tokoh Aku segera pergi ke tempat ayahnya. Di tempat itu ia menemukan ayahnya yang renta dan kotor tengah mendekap perempuan gembrot, kuntilanak seharga tiga ribu perak. Ia berharap menemukan sosok ayahnya yang dulu, yang juanya berkuasa. Namun, di tempat itu ia menemukan sosok ayahnya yang sebaliknya: tunduk dan menghinakan diri di depan perempuan itu. Ayahnya mau menjilati kaki perempuan itu yang bengkak bernanah. Bahkan, terhadap tokoh Aku pun, ayahnya menghiba-hiba (Suyanto, 2012: 72).

p. Tokoh Aku tak ingin menerima kenyataan ayahnya yang seperti itu. Ia ingin ayahnya tetap sebagai bajingan digjaya perkasa yang membuat dirinya bangga. Tokoh Aku tidak terima ayahnya menghinakan dirinya. Ia ingin ayahnya tetap sebagai raksasa perkasa. Tokoh Aku pun secepat kilat membunuh ayahnya demi “kehormatan” ayahnya (Suyanto, 2012: 72).

2. Penokohan

Sebuah karya sastra tidak dapat terlepas dari istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi. Istilah tokoh menunjuk pada orangnya atau pelaku cerita. Watak, perwatakan dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh.


(40)

22

Penokohan dan karakterisasi menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2007: 164-165).

Tokoh merupakan pelaku yang terdapat dalam sebuat cerita. Sebuah cerita akan hidup apabila menghadirkan berbagai watak dalam tokoh yang disebut dengan penokohan. Pada dasarnya tokoh dibagi menjadi dua jenis, yaitu tokoh utama atau tokoh sentral dan tokoh bawahan (Staton dalam Pradopo dkk., 1985: 19). Tokoh utama senantiasa relevan dalam setiap peristiwa di dalam suatu cerita. Tipe tokoh yang demikian, biasanya disebut tokoh protagonis, sedangkan tokoh bawahannya bisa pula disebut dengan tokoh antagonis.

Tokoh protagonis adalah tokoh yang biasa dikagumi oleh banyak orang, tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma dan nilai-nilai yang ideal bagi kita. Sebaliknya, tokoh antagonis adalah tokoh yang menyebabkan konflik. Meskipun konflik tidak hanya disebabkan oleh tokoh antagonis, melainkan dapat disebabkan oleh hal lain yang di luar individualitas seseorang, seperti bencana alam, kecelakaan, lingkungan alam dan sosial, aturan-aturan sosial, dan sebagainya. Penyebab konflik yang tak dilakukan oleh seorang tokoh disebut sebagai kekuatan antagonistis, antagonistic forcé (Altenbernd dalam Nurgiyantoro, 2007: 178-179).

Misalnya, tokoh yang terdapat dalam cerita pendek“Anak Ayah”karya Agus Noor, yakni tokoh utama adalah tokoh aku dan tokoh tambahannya adalah tokoh ayah, ibu, anak-anak SD, perempuan pelacur.


(41)

Tokoh aku merupakan pribadi yang tumbuh dalam lingkungan keinginan ayahnya. Ayahnya mendoktrinkan pada dirinya bahwa eksistensinya sebagai laki-laki adalah jika ia menjadi bajingan. Ia tidak boleh lembek, cengeng, atau mau ditindas. Ia harus keras, culas, dan licik. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut ini.

“Anak ayah tidak boleh lembek,” dengusnya. “Dunia ini keras, buyung. Hanya orang-orang keras dan culas yang bisa hidup, ingat itu. Kau mesti jadi bajingan seperti ayah!” tangannya penuh rajah, mengepal, lekat ke mataku”. (Noor dalam Suyanto, 2012: 63).

“Hanya bajingan yang punya masa depan. Jangan kamu percayai apa pun yang dikatakan ibumu. Itu akan membuatmu cengeng. Cuh! Orang cengeng tak akan pernah bisa jadi bajingan yang baik. di dunia ini yang begini culas, orang lembek hanya akan ditindas dan dilindas. Ingat itu! Kamu mesti liat, licik, nekat. Jangan Cuma manggut-manggut buyung. Sekali lagi dengar kata ayah: semua orang tak lebih bajingan, dan bajingan hanya bisa dilawan oleh bajingan. “Huek. Ayah muntah. Kepalanya yang besar lunglai. Tapi ayah terus nyerocos”. (Noor dalam Suyanto, 2012: 63).

“Yang paling uatama dalam hidup ini, buyung, adalah jadi bajingan.tentu saja bajingan yang bukan jadi pecundang. Karenanya, hanya ini nasehat ayah: Pertama kamu mesti jadi bajingan besar. Kedua, kamu juga mesti jadi bajingan. Ketiga, tetap sebagai bajingan...” (Noor dalam Suyanto, 2012: 63).

Selanjutnya, tokoh ayah yang digambarkan dengan berbagai sisi jahat: pemabuk, penjudi, penzina, penyiksa, bajingan, dan berbagai sisi jahat lainnya. Hal ini dapat di lihat dari kutipan berikut ini.

“Andaikata aku lahir perempuan, pasti sudah kucacah-cacah ayah. Setidaknya dibuang begitu saja ke tempat sampah. “Haram bagi ayah punya anak perempuan!”...Aku dengar bisik-bisik tetangga betapa ayah tak peduli ketika dua kali ibu melahirkan bayi permpuan, bahkan bayi itu lenyap tak berbekas. Di belakang punggung ayah, para tetangga kasak-kusuk: kalau ayah sendirilah yang membuang bayi itu. Menguburnya hidup-hidup”. (Noor dalam Suyanto, 2012: 65).

“Memang kadang-kadang, bila tak ada ayah, ibu suka meninabobo-kanku dengan dongeng raksasa seperti itu. Raksasa yang doyan menculik putri-putri jelita. Ketika beranjak dewasa, aku dengar


(42)

24

sesungguhnya ibu tak pernah direstui menikah dengan ayah. Tapi Ayah dengan paksa membawaibu pergi dan menggagahinya”. (Noor dalam Suyanto, 2012: 65).

Berikutnya, tokoh ibu yang ditampilkan berwatak pendiam, penurut, lembut, dan tertindas. Adapun, secara fisik ia ditampilkan pucat, bermata murung, berwajah tirus, bertubuh cekung. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut.

“Bila menatap ibu, putri pucat bermata murung, aku percaya kisah itu. Sering aku heran, bagaimana ibu yang pendiam dan lembut bisa hidup dengan raksasa kasar pemarah semacam Ayah?! Putri berpipi tirus itu seakan tak punya daya di hadapan Ayah...”(Noor dalam Suyanto, 2012: 67).

Penokohan anak-anak SD yang terdapat dalam cerita pendek tersebut dapat digambarkan sebagai anak-anak: yang suka takut jika menghadapi ancaman, dengan lari dan menangis. Namun, tokoh anak-anak SD ini digambarkan pula berani melakukan perlawanan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut ini.

“Memang ketika kuludahi monyet-monyet kecil itu, mereka hanya melongo, memandangiku dengan mata bego. Ketika sekali lagi kuludahi, langsung mereka berhamburan lari, menangis.”(Noor dalam Suyanto, 2012: 69).

“Tapi suatu hari ketika aku menghadang seperti biasanya, monyet-monyet itu muncul lebih banyak, bergegas menenteng potongan kayu, rantai, dan besi. Tanpa banyak bicara monyet-monyet itu serentak menyerangku. Aku bertahan. Tubuhku remak mereka permak.”(Noor dalam Suyanto, 2012: 70).

Selanjutnya, tokoh perempuan pelacur, namun dalam cerita pendek tidak secara tegas disebutkan sebagai pelacur. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut ini.

“Segera kunci ayah. Ia tergeletak kotor, reta. Ia tengah mendekap kuntilanak betetek besar gembrot seharga tiga ribu perak. Ayah tergeragap oleh kemunculanku yang tiba-tiba. Cepat-cepat ia talikan kolor celananya. Memuakkan. Untuk kuntilanak macam inikah Ayahmeninggalkan ibu? Kutatap kuntilanak gembrot yang telah


(43)

menyihir Ayah sehingga mau melata di kakinya. Gelambir lemaknya masih menisakan pesona kecantikan.” (Noor dalam Suyanto, 2012: 70).

3. Latar

Dalam sebuah cerita, latar terdapat latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar dikategorikan menjadi latar sosial, latar geografis atau tempat, dan latar waktu atau historis (Abrams dalam Pradopo dkk., 1985: 19). Latar sosial, yakni menyangkut satus sosial seorang tokoh di dalam kehidupan sosial. Latar tempat, yakni berhubungan dengan masalah tempat suatu cerita terjadi. Latar waktu, yakni berkaitan dengan saat berlangsungnya suatu cerita.

Tahap awal cerita pada umunya berisi penyesuaian, pengenalan terhadap berbagai hal yang akan diceritakan, misalnya pengenalan tokoh, pelukisan keadaan alam, lingkungan, suasana tempat, mungkin berhubungan dengan waktu, dan lain-lain yang dapat menuntun pembaca secara emosional kepada situasi cerita (Nurgiyantoro, 2007: 217-219). Latar merupakan pijakan cerita secara konkret dan jelas untuk memberikan kesan realistis pada pembaca. Latar tempat dan waktu dikategorikan dalam latar fisik (physical setting). Namun, latar tidak terbatas pada tempat-tempat tertentu saja, atau yang bersifat fisik saja, melainkan juga yang berwujud tata cara, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutan. Inilah yang disebut dengan latar spiritual (spiritual setting). Dengan demikian, latar dapat dibedakan menjadi latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.

a) Latar Tempat (le lieu)

Latar tempat mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi. Latar juga harus didukung oleh kehidupan sosial


(44)

26

masyarakat, nilai-nilai, tingkah laku, suasana, dan sebagainya yang mungkin berpengaruh pada penokohan dan pengalurannya (Nurgiyantoro, 2007: 227-228).

Misalnya, latar tempat yang terdapat dalam cerita pendek “Anak Ayah”

karya Agus Noor, yakni latar rumah. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut ini.

“Lalu, bagaimana biasanya, ayah mendudukanku di bibir meja makan, hingga kaki mungilku berjuntaian, sementara Ayah duduk tegak di kursi, hingga mata kami tetap sejajar saling menatap.” (Noor dalam Suyanto, 2012: 73).

“Lantas ia berteriak, membuat ibu yang ngumpet di dapur tergopoh-gopoh muncul.”(Noor dalam Suyanto, 2012: 73).

b) Latar Waktu (le temps)

Latar waktu mengacu pada saat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi. Menurut Genette (dalam Nurgiyantoro, 2007: 231) latar waktu memiliki makna ganda, yaitu mengacu pada waktu penulisan cerita dan urutan waktu kejadian yang dikisahkan dalam cerita. Misalnya latar waktu yang terdapat dalam cerita pendek “Anak Ayah”

karya Agus Noor, yakni latar malam dan waktu yang berkaitan dengan kegelapan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut ini.

“Sebagaimana raksasa, mereka memang doyan makan daging. Di bawah purnama yang selalu terkesima menyaksikan pesta mereka yang meriah, musik kegelapan terus berdentuman, seakan muncul dari liang kubur yang meganga...”(Noor dalam Suyanto, 2012: 74). “...mereka menegakkan apa saja, hingga teler dan meracau, menggarap fajar pergi tak pernah muncul di ufuk kegelapan.” (Noor dalam Suyanto, 2012: 74).


(45)

c) Latar Sosial (l’espace social)

Latar sosial melukiskan perilaku kehidupan sosial masyarakat pada suatu tempat dalam karya fiksi. Latar sosial berkaitan dengan kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan bersikap yang tercermin dalam kehidupan masyarakat yang kompleks (Nurgiyantoro, 2007: 233).

Selain uraian atau lukisan mengenai latar di atas, adapun tujuan atau kegunaan dari latar tersebut yang dijelaskan oleh Tarigan (1986: 136) sebagai berikut.

1. Suatu latar yang dapat dengan mudah dikenal kembali, dan juga yang dilukiskan terang dan jelas serta mudah diingat, biasanya cenderung untuk memperbesar keyakinan terhadap tokoh dan geraknya serta tindakannya. Dengan kata lain: apabila pembaca menerima latar itu sebagai sesuatu yang real, maka dia lebih cenderung lebih siap siaga menerima orang-orang yang berada dalam latar itubeserta tingkah laku serta gerak-geriknya. Penerimaan itu tentu penerimaan yang wajar, tidak berlebih-lebihan (Tarigan, 1986: 136).

2. Latar sesuatu cerita yang dapat memuyai suatu relasi yang lebih langsung dengan arti keseluruhan dan arti yang umum dari sesuatu cerita (Tarigan, 1986: 136).

3. Kadang-kadang mungkin juga terjadi bahwa latar itu dapat bekerja bagi maksud-maksud yang lebih tertentu dan terarah daripada


(46)

28

menciptakan suatu atmosfer yang bermanfaat dan berguna (Tarigan, 1986: 136).

Adapun, cara menentukan latar pada sebuah cerita pendek, yakni dalam suatu cerita latar dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu (1) latar tempat, adalah latar yang merupakan lokasi tempat terjadi peristiwa cerita, baik itu nama kota, jalan, gedung, rumah, dan lain-lain; (2) latar waktu, adalah latar yang berhubungan dengan saat terjadinya peritiwa cerita, apakah berupa penanggalan, penyebutan peristiwa sejarah, penggambaran situasi malam, pagi, siang, sore, dan lain-lain; (3) latar sosial, adalah keadaan yang berupa adat istiadat, budaya, nilai-nilai/norma, dan sejenisnya yang ada di tempat peristiwa cerita (Suyanto, 2012: 50-51).

2.2.3 Sarana Cerita

Sarana cerita merupakan unsur-unsur yang terdapat dalam rangkaian cerita. Unsur tersebut menjadikan sebuah peristiwa di dalamnya menjadi menarik. Unsur yang terdapat dalam sarana cerita yakni sebuah rangkaian peristiwa yang disebut dengan pengisahan dan suasana dalam cerita. Sarana cerita adalah cara-cara pengarang memilih dan mengatur butir-butir cerita sehingga tercipta bentuk-bentuk yang sanggup mendukung makna (Staton dalam Pradopo dkk., 1985: 23). Sarana cerita pada dasarnya merangkum judul, pusat pengisahan, simbol, ironi, humor, suasana, dan gaya (Pradopo dkk., 1985: 23).

1. Judul

Judul merupakan gambaran dari makna jalannya cerita. Judul biasa digunakan sebagai titik tumpu dari rangkaian peristiwa dari suatu cerita. Kesuaian judul sangat diperlukan dalam menjabarkan dari serangkaian gejala dan sikap pada


(47)

suatu cerita. Oleh sebab itu judul harus selaras dan dapat dideskripsikan dalam keseluruhan isi cerita.

Misalnya, judul yang terdapat dalam cerita pendek “Anak Ayah” karya Agus Noor ini menceritakan kisah seorang anak laki-laki yang sangat diinginkan oleh ayahnya untuk dijadikan seorang bajingan. Dalam cerita tokoh ayah juga seorang bajingan dan menginginkan anak laki-lakinya menjadi seperti dirinya, yakni menjadi bajingan.

2. Pusat Pengisahan

Pengisahan biasa disebut dengan sudut pandang. Dalam pusat pengisahan dijelaskan bahwa posisi pengarang yang terdapat pada sebuah karya sastra. Posisi pengarang sangat menentukan bagaimana jalannya cerita tersebut. Rene Wellek dan Austin Warren (dalam Pradopo dkk., 1985: 24), mengemukakan bahwa pusat pengisahan terbagi menjadi dua hal.

a. Ich-Erzahlung, orang pertama dengan gaya aku. Dengan demikian, gaya ini mirip dengan gayaauthor participant S. Tasrif.

b. Author omniscient, orang ketiga yang kedudukan pengarangnya serba tahu. Bentuk orang ketiga ini oleh Wellek dan Warren dibagi menjadi:

1) Romantik-ironik. Dalam bentuk ini, pengarang dengan sengaja menonjolkan peranannya sehingga para tokoh hanya merupakan bayangan-bayangan pengarangnya atau sebagai boneka.

2) Objective atau dramatic/artistic. Di sini pengarang bercerita apa adanya menurut penglihatan dan pendengarannya. Jadi, ia berlaku seperti wartawan. Pelaku-pelaku dibiarkan bergerak secara bebas, dinamis, dan dramatis melalui tingkah dan perilaku serta cakapan.


(48)

30

Dengan demikian, pembaca harus aktif mengikuti ulah tingkah dan sepak terjang para pelaku agar snggup “menerjemahkan” gerak-gerik pelaku. Dari makna “terjemahan” itulah, watak seorang pelaku dapat dikenali oleh pembaca, bahkan sampai pada cakapan batinya.

Misalnya, pusat pengisahan atau sudut panjang yang terdapat dalam cerita pendek

“Anak Ayah”karya Agus Noor menggunakan sudut pandang orang pertama tokoh utama, yakni dengan menyebut dengan kata ganti pertama “aku” sebagai tokoh anak.

3. Simbol

Simbol merupakan sebuah lambang atau tanda yang digunakan oleh seseorang untuk menandakan sesuatu. Dalam suatu karya sastra khususnya cerpen, simbol yang digunakan dapat dicermikan pada penggunaan tokoh pelaku dalam cerita dan latar (tempat, waktu, sosial) yang digunakan dalam sebuah cerita.

Rufin Kedang (dalam Pradopo dkk., 1985: 25) mengutip pendapat Stephen Ullman bahwa tanda atau simbol yang dipakai untuk berkomunikasi itu ada dua macam, yaitu simbol nonlinguistik (misal isyarat, tanda lalu lintas, bendera, dan simbol yang berkaitan dengan linguistik (bahasa). Yang dipergunakan dalam sastra adalah simbol yang berkaitan degan bahasa. Selanjutya, pengarang menciptakan simbol tidak lain agar ide-ide atau emosi yang disimbolkan itu lebih nyata.

Suatu cerkan (cerita rekaan), simbol memiliki tiga efek. Pertama, simbol yang muncul selama waktu-waktu penting dalam cerita akan mempertegas makna waktu itu. Kedua, simbol yang ditampilkan secara beruntun (dalam bentuk kata, frase, atau kalimat) akan mengingatkan pembaca akan adanya unsur yang


(49)

menonjol dalam cerkan itu. Ketiga, simbol yang selalu berulang dalam berbagai konteks akan membantu memperjelas tema cerita (Stanton dalam Pradopo dkk., 1985: 25-26).

Misalnya, simbol yang terdapat dalam cerita pendek “Anak Ayah” karya Agus Noor adalah tokoh ayah yang disimbolkan dengan raksasa dan ia memakan mayat ersebut dengan rakssa-raksasa lainnya. Kemudian raksasa itu melahap apa saja, termasuk hutan. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut ini.

“Sementara raksasa itu terus tertawa, untuk sesuatu yang sebenarnya tak bermakna apa-apa: membanting kartu, menegak ciu, dengan mulut berasap, seakan ada hutan terbakar di dalam dada mereka. Ah, mungkin suatu kali mereka memang pernah melahap hutan, batinku.”(Noor dalam Suyanto, 2012: 73).

4. Ironi

Ironi merupakan gaya bahasa yang digunakan pengarang untuk menciptakan suasana karyanya menjadi lebih hidup. Makna fungsi ironi dalam dunia kritik sastra masih bertumpu pada makna dasarnya yang tersembunyi atau perbedaan antara yang diekspresikan dengan yang telah terjadi dalam arti yang sebenarnya (Abrams dalam Pradopo dkk., 1985: 26). Ironi dapat menimbulkan daya pikat dan humor, memperkuat alur, menjelaskan sikap penulis, bahkan secara tidak langsung juga menyatakan suatu tema (betapapun tersamarnya).

Ironi terbagi menjadi dua bagian besar yaitu ironi verba (ironic tone) dan ironi dramatik (dramatic irony. Ironi dramatik ialah ironi alur atau situasi. Ironi dramatik dapat dilihat dari dua sudut. Pertama, ironi dramatik berkaiatan dengan


(50)

32

alur cerita saja. Kedua ironi dramatik yang setiap strukturnya memiliki hubungan tematik (Pradopo dkk., 1985: 169).

Adapun, ironi verba ialah ucapan-ucapan yang bersifat kebalikan dari kenyataan (Pradopo dkk., 1985: 169). Metode pusat pengisahan orang pertama “serta” lah yang paling utama membawakan atau menyampaikan ironi-ironi verba (Stanton dalam Pradopo dkk., 1985: 169).

5. Humor

Humor adalah cara melahirkan sesuatu pikiran, baik dengan kata-kata (verbal) maupun dengan jalan lain yang melukiskan suatu ajakan untuk menimbulkan simpati dan hiburan (Ensiklopedia Umum dalam Pradopo dkk., 1985: 27). Selain itu, humor adalah salah satu sarana cerita yang dapat berwujud kata, frasa, bentuk lahir dan sikap tokoh, atau suasana cerita yang lucu dan menimbulkan tawa (Pradopo, 1985: 27).

Humor juga dijadikan salah satu alat penceritaan yang sering dipergunakan dalam penulisan fiksi, yang bertugas sebagai pengendor ketegangan (Pradopo, 1985: 174). Selain humor bertugas sebagai pengendor ketegangan, humor biasanya terselip di tengah-tengah fiksi, dapat berupa episode kecil dan dapat pula berupa selingan di tengah-tengah cakapan yang tegang, yang membutuhkan pause (Pradopo, 1985: 174).

Adapun, bentuk-bentuk humor ialah dapat berupa pantun atau teka-teki, ada kalanya terwujud dalam percakapan, dan ada pula yang terwujud dala sebuah cerita yang humoristis (Pradopo, 1985: 175).


(51)

6. Suasana dan Gaya

Gaya diartikan dalam bahasa Inggris style dan dalam bahasa latin stillus, yang mengandung arti leksikal ‘alat untuk menulis’. Dalam istilah sastra, gaya mengandung pengertian cara seseorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca (Aminuddin dalam Priyatni, 2010: 114). Selain itu, gaya sebagai cara khas yang dipakai pengarang untuk mengungkapkan dan meninjau persoalan (Jakob Subardjo, 1984: 62).

Berdasarkan uraian di atas suasana dan gaya dalam sebuah karya sastra digunakan oleh pengarang untuk mengekspresikan suasana cerita dalam karangannya. Gaya yang digunakan oleh pengarang dalam suatu cerita tergambar oleh suasana pengarang dalam menulis karangannya. Biasanya selera berkaitan erat dengan gaya yang digunakan oleh pengarang, yakni dapat tercermin dengan apa yang dituangkan dalam karyanya. Gaya yang digukanan merupakan pilihan kata, frasa, dan kalimat yang digunakan oleh pengarang untuk mengkomunikasikan karyanya pada pembaca.

Berdasarkan teori struktur, yakni unsur-unsur pembangun dalam cerita pendek di atas, maka mengapresiasikan cerita pendek dalam penelitian ini lebih diarahkan untuk memahami unsur-unsur tersebut secara mendalam. Cara-cara mengapresiasi cerita pendek yang diarahkan adalah sebagai berikut.

1. Menentukan alur cerita pendek dengan menjelaskanbagian-bagian alur secara legkap, yaitu bagian awal cerita, pemunculan konflik/anti klimak, dan bagian akhir cerita;


(52)

34

2. Menentukan latar cerita pendek dengan unsur latar yag lengkap, yaitu unsur tempat, waktu, dan suasana cerita;

3. Menentukan tokoh dan penokohan dengan menganalisis dari segi perannya, dari segi kualitasnya, dan dari segi metode penyajian wataknya; 4. Menentukan pusat pengisahan (sudut pandang) dengan menjelaskan alasan

penentuan sudut pandang tersebut;

5. Menentukan gaya daam menganalisis unsur nada, diksi, dan gaya bahasa yang digunakan dalam cerita pendek;

6. Menentukan tema yang sesuai kandungan cerita pendek dengan spesifik; 7. Menentukan beberapa amanat yang sesuai kandungan cerita pendek. 2.3 Pemahaman Struktur Cerita Pendek

Cerita pendek merupakan sebuah karya sastra yang isi pikirannya mendalam, kandungan perasaannya padat dan pekat serta ungkapan bahasanya indah dan mengesankan (Jakob Sumardjo, 1984: 16). Oleh sebab itu, keindahan sastra terdapat pada pegolahan bahan pokoknya yaitu bahasa. Sastrawan menunjukkan keindahannya melalui bahasa dan susunan bentuk yang diungkapkan dalam karyanya.

Membaca atau memahami cerita pendek pada dasarnya berbeda dengan membaca pengetahuan umum. Memahami isi cerita pendek diperlukan pengetahuan khusus. Pembaca tidak hanya satu kali membaca, bahkan harus berulang-ulang dan membacanya dengan cermat. Selain itu pembaca harus memiliki pemahaman struktur cerita pendek dengan baik, agar dapat memahami isi dan makna cerita, serta dapat mengungkapkan kembali isi cerita dengan bahasanya sendiri.


(53)

Pemahaman berasal dari kata paham yang artinya mengerti benar akan sesuatu. Pemahaman adalah hasil dari peristiwa afiksasi kata paham yang mendapat imbuhan pe-an yang artinya sebuah proses atau cara untuk dapat memahami sesuatu. Pemahaman merupakan proses penalaran yang berupaya memahami makna atau pesan dari penulis, dan proses dari pemahaman mengikuti prinsip-prinsip kerja sama (Widdowson dalam Tagor, 2008: 83). Selain itu, pemahaman juga merupakan suatu proses komunikasi dari penulis ke pada pembaca (Widdowson dalam Tagor, 2008: 88).

Pemahaman (comprehension) adalah bagaimana seseorang mempertahankan, membedakan, menduga (estimates), menerangkan, memperluas, menyimpulkan, menggenerelisasikan, memberikan contoh, menuliskan kembali, dan memperkirakan (Arikunto, 2009: 118). Dengan pemahaman, seseorang dituntut untuk dapat membuktikan bahwa ia memahami hubungan yang ada di antara fakta-fakta atau konsep.

Dalam kamus psikologi, kata pemahaman berasal dari kata insight yang memunyai arti wawasan, pengetahuan yang mendalam. Jadi kata insight berarti suatu pemahaman atau penilaian yang beralasan mengenai pengetahuan atau kecerdasan dan kemampuan yang dimiliki seseorang.

Suatu pemahaman dapat diartikan sebagai penguasaan terhadap sesuatu secara mental makna filosofinya, maksud, dan implikasi, serta aplikasi-aplikasinya. Kemampuan memahami menjadi bagian penting dalam proses pembelajaran di sekolah. Belajar dengan mengharapkan hasil yang baik tidak cukup hanya sebatas mengetahuinya saja, tetapi seseorang harus dapat memahami tentang konsep yang


(54)

36

dipalajari. Oleh sebab itu, kemampuan memahami pada umumnya mendapat penekanan dalam kegiatan pembelajaran.

Berdasarkan rincian di atas, dapat ditarik simpulan bahwa pemahaman struktur cerita pendek adalah pemahaman siswa dalam memahami struktur cerita pendek yang terdiri atas tema dan masalah, fakta cerita, dan sarana cerita. Pemahaman dapat dibedakan menjadi tiga kategori (Sudjana, 2010: 24), yakni sebagai berikut.

1. tingkat terendah adalah pemahaman terjemahan, dari menerjemahkan dalam arti yang sebenarnya, mengartikan prinsip-prinsip,

2. tingkat kedua adalah pemahaman penafsiran, yaitu menghubungkan bagian-bagian terendah dengan yang diketahui berikutnya, atau menghubungkan dengan kejadian, membedakan yang pokok dengan yang bukan pokok, dan

3. tingkat ketiga merupakan tingkat tertinggi yaitu pemahaman ekstrapolasi (perluasan data). Memiliki pemahaman tingkat ekstrapolasi berarti seseorang mampu melihat dibalik yang tertulis, dapat membuat estimasi, prediksi berdasarkan pada pengertian dan kondisi yang diterangkan dalam ide-ide atau simbol, serta kemampuan membuat kesimpulan yang dihubungkan dengan implikasi dan konsekuensinya.

Sementara tingkat apresiasi dapat digolongkan ke dalam lima tingkat (Natawidjaya, 1980: 2). Kelima tingkat tersebut sebagai berikut.

1. Tingkat pertama, tingkat penikmatan yang bersifat menonton, merasakan senang yang sifatnya sama dengan perasaan saat dipuji atau menerima pemberian yang terduga.


(55)

2. Tingkat kedua, tingkat penghargaan yang bersifat kepemilikan dan kekaguman dan sesuatu yang dihadapinya.

3. Tingkat ketiga, tingkat pemahaman yang bersifat studi, mencari pengertian sebab-akibat.

4. Tingkat keempat, tingkat penghayatan yaitu meyakini apa dan bagaimana produk karya tersebut.

5. Tingkat kelima, tingkat tingkat implikasi yang bersifat material, memeroleh daya tepat guna, bagaimana dan untuk apa karya cerpen itu. Berdasarkan uraian di atas, tingkat pemahaman siswa terhadap cerita pendek dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Tinggi → Siswa mampu memprediksi, menghayati dan menilai, menghargai dan memiliki, serta membuat simpulan terhadap isi cerita dan unsur-unsurnya.

2. Cukup → Siswa dapat mengetahui, memahami, dan

menghubungkan kejadian-kejadian atau membedakan pokok-pokok permasalahan.

3. Rendah → Siswa merasa senang, kagum, dan mengetahui isi cerita dan unsur unsurnya.

Selanjutnya, untuk mengetahui kriteria pemahaman siswa terhadap unsur-unsur cerita pendek, digunakan pedoman penilaian sebagaimana terlampir dalam bab III. 2.4 Pembelajaran Cerita Pendek di Sekolah

Istilah pembelajaran merupakan perkembangan dari istilah pengajaran, dan istilah belajar-mengajar yang dapat diperdebatkan oleh seorang guru atau pendidik untuk membelajarkan siswa yang belajar. Pembelajaran merupakan suatu proses


(56)

38

interaksi komponen-komponen pembelajaran. Konsep dan pembelajaran dapat dipahami dengan menganalisis aktivitas komponen pendidik, peserta didik, bahan ajar, media, alat, prosedur, dan proses belajar (Ruhimat dkk., 2012: 128-142). Tujuan pembelajaran dalam kurikulum 2013 adalah untuk mempersiapkan insan Indonesia untuk memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Seiring berjalannya waktu, pendidikian di Indonesia selalu mengalami per-kembangan. Salah satu perangkat pembelajaran yang mengalami perkembangan, yakni penggunaan kurikulum pendidikan. Kurikulum merupakan sebagai semua kegiatan yang diberikan kepada peserta didik di bawah tanggung jawab sekolah (all of the activities that are provided for the students by the school) (Ruhimat, dkk., 2012: 2). Salah satu tujuan dari perubahan kurikulum, yakni untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

Dalam Kurikulum 2013, Pembelajaran Bahasa Indonesia berbasis teks baik lisan maupun tulis. Jenis teks yang dimaksud, yakni teks sastra dan teks nonsastra. Teks cerita merupakan jenis teks sastra. Sementara itu, teks cerita dapat dirinci menjadi teks cerita naratif dan teks cerita nonnaratif. Pembelajaran Bahasa Indonesia berbasis teks dilaksanakan dengan menerapkan prinsip bahwa (1) bahasa hendaknya dipandang sebagai teks, bukan semata-mata kumpulan kata atau kaidah kebahasaan, (2) penggunaan bahasa merupakan proses pemilihan bentuk-bentuk kebahasaan untuk mengungkapkan makna, (3) bahasa bersifat fungsional, yaitu penggunaan bahasa yang tidak pernah dapat dilepaskan dari konteks karena bentuk bahasa yang digunakan itu mencerminkan ide, sikap, nilai, dan ideologi


(57)

penggunanya, dan (4) bahasa merupakan sarana pembentukan kemampuan berpikir manusia (Kemendiknas, 2013: 6).

Pada silabus Kurikulum 2013 kelas VII semester genap Bab VI materi yang diberikan berupa teks cerita pendek dengan Kompetensi Dasar 3.1 memahami teks hasil observasi, tanggapan deskriptif, eksposisi, eksplanasi, dan cerita pendek melalui lisan maupun tulisan. Dalam materi ini siswa diharapkan dapat memahami struktur cerita pendek yang terdiri atas tema dan masalah; fakta cerita; dan sarana cerita. Selain itu siswa diharapkan dapat membandingkan hasil diskusi tentang struktur cerpen untuk memperkuat pemahaman.

Pelaksanaan proses pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan pada keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran secara lebih intens, kreatif, dan mandiri. Guru melibatkan peserta didik secara langsung dalam kegiatan pembelajaran.

Dalam hal ini, guru bertugas untuk mengarahkan peserta didik dalam pembelajaran sastra. Guru diharapkan mampu untuk menyajikan pengajarannya dengan penuh tanggung jawab. Untuk mendukung kegiatan belajar-mengajar, guru dapat menggunakan sumber belajar yang berhubungan dengan sastra seperti buku kumpulan puisi, cerpen, novel dan lain-lain. Pemilihan materi pembelajaran yang berkaitan dengan penelitian ini adalah materi pembelajaran tentang struktur dalam karya sastra, khususnya cerita pendek. Berkaitan dengan itu, metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk menunjang proses pembelajaran sastra dalam hal ini menggunakan pendekatan ilmiah (Scientific approach).


(58)

40

Proses pembelajaran menyentuh tiga ranah, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Pendekatan Scientific merupakan pembelajaran yang mengadopsi langkah-langkah saintis dalam membangun pengetahuan melalui metode ilmiah. Kegiatan pembelajaran Scientific dilakukan melalui proses mengamati, menanya, mencoba, mengasosiasi, dan mengomunikasikan. Lima pengalaman belajar ini diimplementasikan ke dalam model atau strategi pembelajaran, metode, teknik, maupun taktik yang digunakan.

Metode pembelajaran ini dapat diterapkan dalam pemebelajaran sastra khusunya struktur cerita pendek karena pendekatan ini melibatkan peserta didik dalam proses pembelajaran. Peserta didik dituntut agar dapat berperan aktif dalam proses pembelajaran dengan menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi dalam kehidupan nyata. Berdasarkan hal tersebut, peserta didik diharuskan mampu mengaitkan aspek struktur dalam kehidupan nyata.

Sementara itu, pembelajaran sastra dapat berjalan dengan baik apabila ditunjang dengan penggunaan bahan ajar yang baik dan dapat memenuhi kebutuhan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. cerita pendek merupakan salah satu media yang dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran sastra. Namun, tidak semua cerita pendek dapat dijadikan bahan ajar di sekolah. cerita pendek yang digunakan dalam penelitian ini yang berjudul “Kupu-Kupu Ibu”karya Komang Ira Puspitaningsih. Berikut ini merupakan aspek penting yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan bahan pengajaran sastra, yakni bahasa, psikologi, dan latar belakang kebudayaan (Rahmanto, 1988: 27).


(59)

a. Bahasa

Perkembangan karya sastra melewati tahap-tahap yang meliputi banyak aspek kebahasaan. Aspek kebahasaan dalam sastra ini tidak hanya ditentukan oleh masalah-masalah yang dibahas, tetapi juga fakor-faktor lain seperti cara penulisan yang dipakai pengarang, ciri-ciri karya sastra pada waktu penulisan karya itu, dan kelompok pembaca yang ingin dijangkau pengarang..

b. Psikologi

Dalam memilih bahan pengajaran sastra, tahap-tahap perkembangan psikologis ini hendaknya diperhatikan karena tahap-tahap ini sangat besar pengaruhnya terhadap minat dan keengganan anak didik dalam banyak hal. Berikut ini merupakan pentahapan yang dapat digunakan guru untuk lebih memahami tingkatan perkembangan psikologi anak-anak sekolah dasar dan menengah.

1) Tahap pengkhayal (8 sampai 9 tahun)

Pada tahap ini imajinasi anak belum banyak diisi hal-hal nyata, tetapi masih penuh dengan berbagai macam fantasi kekanakan.

2) Tahap romantik (10 sampai 12 tahun)

Pada tahap ini anak mulai meninggalkan fantasi-fantasi dan mengarah ke realitas. Meski pandanganya tentang dunia ini masih sangat sederhana, tapi pada tahap ini anak telah menyenangi cerita-cerita kepahlawanan, petualangan, dan bahkan kejahatan.

3) Tahap realistik (13 sampai 16 tahun)

Sampai tahap ini anak-anak sudah benar-benar terlepas dari dunia fantasi, dan sangat berminat pada realitas atau apa yang benar-benar


(1)

✄1 Untuk menentukan rata-rata nilai siswa di peroleh dari jumlah nilai siswa, kemudian dikonsultasikan ke pada rumus sebagai berikut.

100

4. setelah itu mengklasifikasikan data sesuai dengan tingkat pemahaman siswa, dan

5. menyimpulkan hasil deskripsi tingkat pemahaman siswa terhadap struktur cerita pendek Kupu-Kupu Ibu karya Komang Ira Puspitaningsih di SMP Dwi Warna Panjang Bandar Lampung.

Selanjutnya, untuk menghitung rentang skor, peneliti menggunakan tolok ukur hasil modifikasi merujuk Natawidjaya 1980 dan Sudjana 2010.

Tabel 3.2 Tolok Ukur Penilaian Pemahaman Struktur Cerita Pendek

Interval Nilai Pemahaman Kriteria

78–100 Tinggi

5577 Cukup

3154 Rendah


(2)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Dari hasil penelitian di SMP Dwi Warna Panjang Bandar Lampung tahun pelajaran 2014/2015, dapat disimpulkan bahwa tingkat pemahaman siswa terhadap struktur cerita pendek “Kupu-Kupu Ibu” karya Komang Ira Puspitaningsih sebagai berikut.

Tingkat pemahaman siswa terhadap struktur cerita pendek “Kupu-Kupu Ibu” karya Komang Ira Puspitaningsih, yakni menunjukkan bahwa tingkat pemahaman siswa terhadap struktur cerita pendek “Kupu-Kupu Ibu” karya Komang Ira Puspitaningsih, yakni memiliki nilai rata-rata 66,39 dan secara umum dikategorikan cukup. Selain itu, dalam pembelajaran siswa sudah dapat memahami materi struktur cerita pendek yang telah diajarkan sebelumnya. Siswa mampu mengetahui, memahami, dan menghubungkan kejadian-kejadian atau membedakan pokok-pokok permasalahan yang terkandung dalam cerita. hal ini dapat dibuktikan dengan siswa dapat menjawab soal yang diberikan oleh peneliti dengan tepat.

Secara khusus dapat dirinci (1) terdapat delapan siswa yang memiliki nilai rata-rata 82,13 dan termasuk kategori tinggi. Siswa sudah memahami struktur cerita pendek dengan baik dan menjawab soal dengan tepat. Selain itu, dalam pembelajaran siswa mampu memprediksi, menghayati, menilai, serta membuat


(3)

79

simpulan terhadap isi cerita dan unsur-unsur yang terkandung dalam cerita pendek “Kupu-Kupu Ibu” karya Komang Ira Puspitaningsih. (2) terdapat tujuh siswa yang memiliki nilai rata-rata 69,86 dan termasuk kategori cukup. Siswa cukup memahami struktur cerita pendek dengan baik, namun dalam menjawab soal masih ada yang kurang tepat. Selain itu, dalam pembelajaran siswa mampu mengetahui, memahami, dan menghubungkan kejadian-kejadian atau membeda-kan pokok-pokok permasalahan yang termembeda-kandung dalam cerita; dan (3) terdapat sepuluh siswa yang memiliki nilai rata-rata 5,33 dan termasuk kategori rendah. Siswa kurang memahami struktur cerita pendek dengan baik dan menjawab soal kurang tepat. Selain itu, dalam pembelajaran siswa hanya kagum, serta mengetahui isi cerita dan tidak tepat dalam menjawab soal yang diberikan peneliti.

5.2 Saran

Dengan diperolehnya gambaran empirik tentang pemahaman siswa terhadap struktur cerita pendek dan tingkat pemahaman siswa terhadap struktur cerita

pendek “Kupu-Kupu Ibu” karya Komang Ira Puspitaningsih, maka akan

membawa saran sebagai berikut :

1. Untuk siswa, hendaknya harus memperbanyak membaca dan menambah referensi bacaan, dan memahami unsur-unsur yang terkandung dalam karya sastra, khususnya cerita pendek, agar menambah ilmu pengetahuan dan memperluas pengalaman.

2. Untuk guru, hendaknya lebih sering mengajak siswa bersama-sama membaca sastra khususnya cerita pendek, agar siswa lebih terbiasa dan meningkatkan minat siswa dalam membaca.


(4)

80

3. Untuk sekolah hendaknya melengkapi sarana dan prasarana serta faktor pendukung pembelajaran khususnya di bidang cerita pendek, agar siswa lebih memahami struktur cerita pendek.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2009. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (edisi revisi). Jakarta: Bumi Aksara.

________________. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Dependikbud. 2014. Materi Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Badan Pengembangan SDM Pendidikan dan Kebudayaan.

Handiawati, Yunita. 2010. Skripsi Pembelajaran Memahami Struktur Cerita Pendek pada Siswa Kelas VII SMPN 2 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2013/2014”. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Kunandar. 2007. Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Luxemburg. 1986.Pengantar Ilmu Sastra.Jakarta: PT Gramedia.

Moeleong, Lexy J. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Natawijaya, P. Suparman. 1982. Apresiasi Sastra dan Budaya. Jakarta: PT Intermasa.

Nurgiantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Pangaribuan, Tagor. 2008.Paradigma Bahasa. Yogyakarta: Graha Ilmu. Pradopo dkk. 1985.Struktur Cerita Pendek Jawa.Jakarta: Dependikbud. Priyanti, Endah Tri. 2010.Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis.

Jakarta: Bumi Aksara.

Puspitaningsih, Komang Ira. 2014. Kupu-Kupu Ibu (dalam buku Zabadi. Bahasa Indonesia). Jakarta: Kemendikbud.


(6)

Ruhimat, dkk. 2012.Kurikulum dan Pembelajaran.Jakarta: Rajawali Pers. Rusman. 2012.Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Sanusi, Effendi. 2013. Penilaian Pengajaran Bahasa dan Sastra. Bandar

Lampung: Universitas Lampung.

Sardiman, A.M. 2011. Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers.

Semi, M. Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa. Shohib, dkk. 2007.Al-Qur’an. Jakarta: Departemen Agama.

Sudjana, Nana. 2010. Evaluasi Proses dan Hasil Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Sukardi. 2012. Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Sumardjo, Jakob.1984.Memahami Kesusastraan. Bandung: Alumni.

Suyanto, Edi. 2012. Perilaku Tokoh Dalam Cerpen Indonesia. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Tarigan, Henry Guntur. 1986.Prinsip-Prinsip Dasar Sastra.Bandung: Angkasa. Teguh. 2010. Skripsi “Pembelajaran Menulis Cerita Pendek Siswa Kelas VII

Berdasarkan Kurikulum 2013 SMPN 1 Tumijajar Tulang Bawang Barat Tahun Pelajaran 2013/2014”. Bandar Lampung: Universitas Lampung. Universitas Lampung. 2011. Format Penulisan Karya Ilmiah. Bandar Lampung: