± 0.54 27.15 ± 1.19 ± 2.70 ± 3.30 ± 1.39 ± 0.08 The Effect of Mannanase and Cellulase Combination in Palm Kernel Meal Base Diet on the Growth of Common Carp Cyprinus carpio Juvenile

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Penelitian terhadap benih ikan mas yang dilakukan selama 50 hari pemeliharaan pada skala laboratorium menghasilkan data mengenai jumlah konsumsi pakan JKP, bobot biomassa, pertumbuhan relatif PR, tingkat kelangsungan hidup SR, konversi pakan FCR, retensi lemak RL dan protein RP serta eksresi amonia TAN. Selanjutnya, pengujian kecernaan selama 14 hari menghasilkan data kecernaan total dan kecernaan protein. Hasil penelitian disajikan pada Tabel 4 dan hasil pengujian kadar gula dalam pakan disajikan pada Tabel 5. Tabel 4 Hasil penelitian terhadap benih ikan mas yang diberi pakan berbasis BIS PARAMETER PERLAKUAN A B C D E JKP gram 146.95 ± 9.66 156.65 ± 13.53 a 162.79 ± 13.17 a 154.90 ± 16.43 a 155.16 ± 12.44 a a Bobot Biomassa gram 117.00 ± 6.35 116.03 ± 5.72 a 118.93 ± 15.24 a 115.93 ± 13.52 a 121.77 ± 2.43 a PR a 102.49 ± 13.50 100.88 ± 9.35 a 105.45 ± 27.10 a 101.22 ± 24.69 a 112.43 ± 5.39 a SR a 100 ± 0.00 100 ± 0.00 a 93.33 ± 5.77 a 93.33 ± 5.77 a 96.67 ± 5.77 a FCR a 2.49 ± 0.15 2.69 ± 0.13 a 2.36 ± 0.19 a 2.36 ± 0.26 a 2.36 ± 0.18 a RL a

46.92 ± 0.54 27.15 ± 1.19

c 40.79 ± 4.12 a

24.76 ± 2.70

b 40.02 ± 2.28 a RP b 23.72 ± 0.92 22.92 ± 1.01 b

18.56 ± 3.30

b 22.69 ± 2.96 a

28.11 ± 1.39

b Kec. Total c 64.18 ± 0.13 61.59 ± 0.31 b 64.78 ± 0.43 a 64.26 ± 0.26 b 64.79 ± 0.50 b Kec. Protein b 74.15 ± 0.12 74.27 ± 0.20 b 74.07 ± 0.37 b

75.83 ± 0.08

bc 71.54 ± 0.35 d TAN mgg bobot tubuhjam a 0.0177 ± 0.0006 0.0179 ± 0.0008 a 0.0179 ± 0.0004 a 0.0177 ± 0.0002 a 0.0173 ± 0.0005 a a Keterangan : A = Pakan + 0,1 enzim mannanase B = Pakan + 0,1 enzim mannanase : selulase 0,075 : 0,025 C = Pakan + 0,1 enzim mannanase : selulase 0,050 : 0,050 D = Pakan + 0,1 enzim mannanase : selulase 0,025 : 0,075 E = Pakan tanpa penambahan enzim JKP = Jumlah konsumsi pakan PR = Pertumbuhan relatif SR = Tingkat kelangsungan hidup Survival rate FCR = Konversi pakan Feed Convertion Ratio RL = Retensi lemak RP = Retensi Protein TAN = Total Amonia Nitrogen Hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah konsumsi pakan JKP memiliki kisaran nilai antara 146,95 ± 9,66 gram perlakuan A hingga 162,79 ± 13,17 gram perlakuan C. Ditinjau secara statistika, JKP pada semua perlakuan tidak menunjukkan respon yang berbeda P0,05. Begitu pula dengan bobot biomassa dan pertumbuhan relatif PR antar perlakuan tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda P0,05. Bobot biomassa berkisar antara 115,93 ± 13,52 gram perlakuan D hingga 121,77 ± 2,43 gram perlakuan E dan pertumbuhan relatif berkisar antara 100,88 ± 9,35 perlakuan B hingga 112,43 ± 2,43 perlakuan E. Tingkat kelangsungan hidup atau Survival Rate SR juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pada setiap perlakuan P0,05 yaitu berkisar antara 93,33 ± 5,77 perlakuan C dan D hingga 100,00 ± 0,00 perlakuan A, B dan E. Tingkat kelangsungan hidup yang diperoleh dalam penelitian ini tergolong relatif baik karena dapat mencapai kisaran 100,00. Konversi pakan atau sering disebut Feed Convertion Ratio FCR bervariasi antara 2,36 ± 0,18 perlakuan C, D dan E hingga 2,69 ± 0,13 perlakuan B. Namun, secara statistika konversi pakan tidak menunjukkan respon yang berbeda P0,05. Retensi lemak menunjukkan respon yang bervariasi, begitu pula dengan retensi protein pada setiap perlakuan. Retensi lemak tertinggi diperoleh pada perlakuan A yaitu sebesar 46,92 ± 0,54 dan terendah pada perlakuan D yaitu 24,76 ± 2,70 P0,05. Selanjutnya, retensi protein tertinggi diperoleh pada perlakuan E yaitu 28,11 ± 1,39 dan terendah pada perlakuan C yaitu 18,56 ± 3,30 P0,05. Kecernaan yang dinyatakan dalam persentase pada Tabel 4 menunjukkan bahwa kecernaan total terendah pada perlakuan B, yaitu sebesar 61,54 ± 0,42 P0,05, sedangkan perlakuan A, C, D dan E tidak menunjukkan respon yang nyata terhadap perlakuan. Akan tetapi, perlakuan E memiliki kecernaan protein terendah yaitu sebesar 71,60 ± 0,48 , sedangkan tertinggi ditunjukkan oleh pakan D yaitu sebesar 75,83 ± 0.08 P0,05. Ekskresi amonia yang dinyatakan dalam satuan mgg bobot tubuhjam merupakan indikator banyaknya limbah metabolisme makanan berupa amonia yang dibuang tubuh ikan ke lingkungan medianya. Semakin tinggi limbahnya, akan semakin berbahaya bagi biota budidaya. Pada hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai ekskresi amonia berkisar antara 0,0173 ± 0,0005 mgg bobot tubuhjam perlakuan E hingga 0,0179 ± 0,0008 mgg bobot tubuhjam perlakuan B dan C. Namun secara statistika, respon parameter ekskresi ammonia terhadap perlakuan yang diberikan tidak menunjukkan pengaruh yang nyata P0,05. Adapun hasil pengujian kadar gula dalam pakan uji Tabel 5, menunjukkan bahwa pakan yang diberi perlakuan 0,1 enzim manannase perlakuan A memiliki persentase mannosa dan gula total pakan tertinggi yaitu masing – masing 9,05 dan 18,91. Kadar gula ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan persentase kadar gula pakan terendah yang ditunjukkan oleh perlakuan tanpa penambahan enzim pakan E yaitu sebesar 1,70 mannosa dan 7,43 gula total. Pada data ini, semakin tinggi rasio kombinasi mannanase terhadap selulase, semakin tinggi pula kandungan gula di dalam pakan. Tabel 5 Hasil pengujian kadar gula dalam pakan uji PAKAN UJI KONSENTRASI GULA Mannosa GlukosaGula Total g100g Persentase g100g Persentase A 100 M 0.0181 9.05 0.1890 18.91 B 75M;25S 0.0134 6.68 0.1614 16.14 C 50M;50S 0.0090 4.51 0.1205 12.05 D 25M;75S 0.0073 3.63 0.1082 10.83 E Tanpa Enzim 0.0034 1.70 0.0743 7.43 Pembahasan Pengamatan data menunjukkan bahwa kecernaan protein terendah terlihat pada perlakuan E, meskipun retensi proteinnya menunjukkan angka tertinggi. Sedangkan kecernaan protein perlakuan C cukup tinggi, sementara retensi proteinnya paling rendah. Kecernaan protein tertinggi yang didapat pada perlakuan D sebesar 75,83 ± 0,08 memunculkan dugaan kuat bahwa terdapat tren antara tingkat kecernaan protein yang semakin tinggi dengan rasio kombinasi selulase yang semakin kecil. Namun hal ini masih harus dibuktikan dengan penelitian lebih lanjut mengenai rasio kombinasi enzim mannanase : selulase optimal. Terdapat hubungan antara mannanase dan selulase, yaitu bahwa selulase bersama – sama dengan mannanase dapat meningkatkan derajat hidrolisis polisakarida berbasis mannan Kurakake Komaki 2001. Kurakake dan Komaki 2001 menguji tanaman konjac dan kacang lokus yang diberi kombinasi enzim meicelase enzim selulase komersial dan gamanase enzim mannanase dan galaktosidase komersial. Hasilnya, produksi gula dalam bahan tersebut meningkat sekitar dua kali lipat yaitu konjac dari 39,1 menjadi 53,7 dan kacang lokus dari 15,8 menjadi 31,1. Dowman 1993 dalam Sundu Dingle 2003 mengembangkan metode untuk mengurai BIS dengan kombinasi selulase dan gamanase. Sedangkan Sundu Dingle 2003 menemukan bahwa kecernaan tepung BIS meningkat dari 46 menjadi 67 setelah diberi kombinasi enzim selulase dan gamanase. Landasan teori inilah yang menjadi bahan pertimbangan untuk menggunakan kombinasi mannanase dan selulase dalam penelitian ini. Fenomena yang terjadi pada kecernaan dan retensi protein pada perlakuan D juga menjelaskan bahwa pada tingkat pemberian pakan dengan protein yang sama, kadar gula dalam pakan diduga mempengaruhi penyerapan proteinnya. Kadar gula yang tinggi menyebabkan zat nutrisi lainnya terhambat untuk diserap oleh tubuh. Pada perlakuan E, akibat pengaruh serat kasar yang tinggi, mungkin saja menghambat masuknya protein pada saat pakan kontak dengan usus, namun sebaliknya pada pakan C dan pakan – pakan lain. Besar kemungkinan, karena tingginya kadar gula dalam pakan, zat protein yang sudah masuk ke dalam tubuh sulit terserap karena jenuhnya darah sehingga sulit untuk mengikat zat nutrisi lainnya. Retensi lemak tertinggi diperlihatkan oleh perlakuan A. Nilai retensi lemak yang tinggi ini berhubungan dengan tingginya kadar gula dalam pakan Tabel 5. Kelebihan karbohidrat dalam pakan akan disimpan dalam jaringan tubuh sebagai lemak Anggorodi 1995 melalui proses lipogenesis. Perlakuan B menunjukkan anomali, yang mana kecernaan totalnya justru paling rendah. Hal ini masih terkait dengan fakta mengenai bobot biomassa serta pertumbuhan relatif pada perlakuan B. Rendahnya kecernaan dapat menurunkan pertumbuhan. Diduga kecernaan total rendah pada perlakuan B disebabkan karena tingginya kadar gula dalam pakan. Tingginya kadar gula dalam pakan, menghambat penyerapan zat nutrisi lain, akibat jenuhnya darah ketika mengikat zat – zat nutrisi. Glukosa yang tinggi pada darah menghasilkan umpan balik negatif pada penyerapan makanan yang diikuti dengan penurunan pertumbuhan Machiels van Dam 1987; Scharrer Gearry 1977 dalam Zonneveld et. al. 1991. Hepher 1990 juga mengemukakan bahwa fungsi serat kasar dalam pakan akan merangsang gerakan peristaltik usus, sehingga semakin tinggi kadar serat kasar dalam pakan yang masuk ke dalam dinding usus, maka semakin singkat waktu kontaknya dengan dinding usus sehingga akan menurunkan kecernaannya. Dalam hal ini, penambahan bahan baku BIS sebesar 50,00 dalam pakan masih dapat dimanfaatkan ikan mas meskipun tanpa penambahan enzim, namun dengan kecernaan total yang rendah. Pada penelitian ini, ikan mas masih mampu menolerir pakan BIS terlihat dari respon kelangsungan hidup yang tinggi dan respon pertumbuhan relatifnya yang meningkat. Tingkat kelangsungan hidup pada saat penelitian menunjukkan respon yang sangat baik, yang berarti nutrisi dalam pakan masih dapat menunjang kehidupan ikan mas. Ekskresi ammonia berkaitan erat dengan jumlah limbah N yang dihasilkan selama proses metabolisme tubuh berlangsung. Sementara itu, limbah N yang dikeluarkan dipengaruhi oleh retensi protein, yang mana semakin tinggi retensi proteinnya maka semakin rendah limbah N yang dihasilkan. Teori ini ditunjukkan oleh data pada parameter ekskresi ammonia, meskipun responnya terhadap perlakuan tidak berpengaruh nyata. Kelompok perlakuan E memiliki retensi protein tertinggi dan menghasilkan ammonia terendah. Sebaliknya, ekskresi ammonia cenderung meningkat pada perlakuan dengan retensi protein pakan yang semakin menurun, terutama pada perlakuan B dan C. Tingginya angka konversi pakan pada semua perlakuan diartikan sebagai nilai konversi yang rendah. Konversi pakan umumnya dipengaruhi oleh JKP, pertumbuhan dan kecernaan. Semakin tinggi kecernaan total suatu pakan, semakin tinggi pula retensi nutrisi dalam tubuh untuk pertumbuhan dan akan semakin baik pula konversi pakannya. Jumlah konsumsi pakan berbanding terbalik dengan pertumbuhan dan konversi pakan. Semakin besar konsumsi pakan tanpa diikuti pertumbuhan yang signifikan, semakin tinggi pula nilai rasio konversinya yang menunjukkan inefisiensi suatu pakan. Pada kasus ini, komposisi pakan perlakuan memiliki serat kasar tinggi. Semakin tinggi serat kasar yang terkandung dalam bahan pakan maka semakin rendah kecernaannya yang berakibat pada rendahnya pertumbuhan dan semakin tinggi nilai rasio konversi pakannya. Konversi pakan yang didapat dalam penelitian ini kemungkinan besar berhubungan dengan kinerja metabolisme asam-asam amino tertentu terkait manosa yang terkandung dalam pakan. Fenomena terkait kecernaan, konversi pakan, tingkat pertumbuhan relatif, dan bobot biomassa dalam percobaan ini secara teoritis dapat dijelaskan berdasarkan bukti-bukti lain dari penelitian sebelumnya berkenaan dengan evaluasi karbohidrat. Pemberian bentuk gula sederhana seperti glukosa dalam jumlah yang signifikan justru kurang efektif terhadap efisiensi pakan dan pertumbuhan. Penelitian tersebut antara lain dilakukan Furuichi Yone 1982; Furuichi Yone 1986 dan Dupree 1966 dalam Watanabe 1988 menjelaskan bahwa dalam tingkatan dosis yang sama 42 antara pati, dekstrin dan glukosa, ikan – ikan perairan hangat yang dipelihara selama 60 hari dapat memanfaatkan pati lebih efektif daripada dekstrin dan glukosa. Perlakuan dengan pati, dekstrin dan glukosa menunjukkan efisiensi pakan dari nilai tertinggi hingga nilai terendah yaitu 74.4, 31.9 dan 26.5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pemberian pakan dengan penambahan kombinasi enzim dalam pakan tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap beberapa parameter uji, terutama pertumbuhan relatif, bobot bomassa, konversi pakan dan ekskresi amonia. Secara keseluruhan respon perlakuan terhadap JKP menunjukkan pengaruh yang sama. Hal ini disebabkan karena tingkat energi yang diberikan dalam pakan adalah relatif sama Tabel 2, sehingga perilaku konsumsi ikan terhadap pakan yang diberikan pun sama. Konsumsi pakan umumnya dipengaruhi oleh kandungan energi dan kelebihan lemak pakan Church dan Pond 1982 dalam D’Abramo 1997. Jika berlebihan, konsumsi pakan akan menurun dan pada akhirnya menyebabkan defisiensi nutrisi. Bahan baku BIS mengandung 78 mannan, sehingga penambahan enzim mannanase efektif dalam menguraikan mannan menjadi mannosa. Hal ini terlihat pada hasil pengujian kadar gula dalam pakan uji yang disajikan pada Tabel 3. Pada bahan pakan yang sama, terdapat persentase kadar gula yang berbeda setelah ditambahkan enzim. Golongan ikan omnivora umumnya memiliki kemampuan aktivitas intestinal yang lebih baik dalam mencerna dan juga memanfaatkan pati dibandingkan ikan karnivora. Namun, jika pemberian karbohidrat jenis glukosa ini berlebihan, justru akan menimbulkan efek pertumbuhan dan efisiensi pakan yang buruk Furuichi Yone 1980; Furuichi et al. 1971 dalam Watanabe 1988. Monosakarida seperti glukosa sangat cepat diserap tubuh dari sistem pencernaan ikan Furuichi Yone 1982 dalam Watanabe 1988. Hal ini menjelaskan bahwa besar kemungkinan zat – zat nutrisi lain selain glukosa terhalang untuk masuk ke dalam sel tubuh. Hal lain yang menyebabkan rendahnya toleransi ikan terhadap gula adalah rendahnya kemampuan dalam mensekresi insulin Furuichi Yone 1971; Furuichi Yone 1982 dalam Watanabe 1988. Semua perlakuan memperlihatkan bobot biomassa dan respon pertumbuhan relatif yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan enzim belum mampu meningkatkan pertumbuhan relatif dari ikan mas. Besar kemungkinan gula mannosa yang banyak dihasilkan oleh penguraian enzim mannanase terhadap mannan dalam BIS, justru menghasilkan efek yang kurang baik terhadap pertumbuhan ikan mas. Hal ini sesuai dengan teori Butherworth Fox 1963 dalam Sundu Dingle 2003 yang menyatakan bahwa bentuk gula manosa cenderung bereaksi dengan asam amino tertentu sehingga menurunkan metabolisme tubuh yang pada akhirnya mengurangi efektivitas penyerapan asam – asam amino tersebut sehingga menghambat pertumbuhan. Hal ini menjelaskan mengapa perlakuan pakan E yang tidak diberi enzim justru menghasilkan respon pertumbuhan yang sama dengan perlakuan lainnya yang ditambahkan enzim. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa penambahan enzim pada pakan berbahan dasar BIS dapat meningkatkan kecernaan protein, retensi lemak serta kandungan gula dalam pakan. Akan tetapi, peningkatan tersebut tidak diikuti oleh perbaikan pada konversi pakan dan peningkatan pertumbuhan. Pemanfaatan pakan berbahan dasar tepung BIS dengan formulasi pada penelitian ini dapat diterapkan meskipun tanpa menambahkan enzim. Saran Penelitian lanjutan disarankan untuk menguji tingkatan rasio kombinasi mannanase dan selulase agar didapatkan rasio kombinasi enzim yang lebih optimal. Selain itu, penyempurnaan dalam teknik penguraian enzimatis yaitu penentuan dosis optimal dalam pakan ikan juga perlu dilakukan. 32 DAFTAR PUSTAKA Abidin, Z. 2006. Pengaruh Kadar Tepung Bungkil Kelapa Sawit dalam Pakan Ikan Lele Clarias sp.. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor Afifah, R. 2006. Pemanfaatan Bungkil Sawit dalam Pakan Juvenil Ikan Patin Jambal Pangasius djambal. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Alimon, A. R. 2004. The Nutritive Value of Palm Kernel Cake for Animal Feed. Palm Oil Development, 40 : 12 – 14. Anggorodi H.R. 1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 219 hal. Balitnak Deptan. 2008. Bungkil Inti Sawit Potensial untuk Pakan Ternak. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Vol.30, No.1. balitnak.litbangdeptan.go.id . Ciawi, Bogor. Bangun, D. 2005. Peta Terkini Perkebunan dan Industri Kelapa Sawit di Indonesia. Hal. 36 – 39. PT. Ismac Indonesia. Jakarta. Balazs, G. H., E. Ross dan C. C. Brooks. 1973. Preliminary Studies on the Preparation and Feeding of Crustacean Diets. Aquaculture, 2 : 369 – 377pp. Boonyaratpalin, M. 1991. Nutritional Studies on Seabass Lates calcarifer. In Fish Nutrition Research in Asia. S. S. De Silva Eds.. International Development Research Centre. Canada. 33 – 41 pp. Cruz-Suarez, L.E., Ricque-Marie D., Pinal-Marcilla J.D., Wesche-Ebelling. 1994. Effect of Different Carbohydrate Source ON the Growth of Pennaeus vannamei : Economical Impact, aquaculture 123 : 349 – 360pp. Dosdat, A., F. Servais, R. Metailler, C. Huelvan and E. Desbruyeres. 1996. Comparison of Nitrogeneous Losses in Five Teleost Fish Species. Aquaculture, 141 : 107 – 127pp. Forsberg, J. A. and R. C. Summerfelt. 1992. Ammonia Excretion by Fingerling Walleyes Fed Two Formulated Diets. The Progressive Fish-Culturist, 54 : 45 – 48pp. Furuichi, M. 1988. Dietary Requirement. p39 – 47. In Fish Nutrition and Mariculture. By T. Watanabe Ed.. Kanagawa International Fisheries Training Centre. Japan International Cooperation Agency JICA. Japan. 33 Hasting, W. H. and Dikie. 1972. Feed Formulations and Evaluation, p. 327 – 371. In Fish Nutrition J. E. Halver ed. Academic Press. Inc. New York. Hasting, W. H. 1979. Fish Nutrition and Fish Feed Manufacture. Red. From FAO, FIR: AQ79R.23. Rome, Italy. 13pp. Jobling, M. 1994. Fish Bioenergetics. The Norwegian College of Fishery Science University of Tromso, Norway. Chapman and Hall. 308 p. Kiswara, G. 2007. Nilai Retensi Protein Bungkil Inti Sawit Hasil Ekstraksi Fisik dan Kimia BIS-PRO pada Puyuh Coturnix coturnix japonica. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Koshio, S., S. I. Teshima, A. Kanazawa and T. Watase. 1993. The Effect of Dietary Protein Content on Growth, Digestion Efficiency and Nitrogen Excretion of Juvenile Kuruma Prawns, Penaeus japonicus. Aquaculture, 113 : 101 – 114pp. Lovell, T. 1988. Nutrition and Feeding of fish. Van Nostrand Reinhold. New York. 260pp. McNab, J.M. and K.N. Boorman. 2002. Poultry feedstuffs, supply, composition and nutritive value. Poultry Science Symposium Series, 26 : 190 - 217 Midlen, A., Redding, T. 1998. Environmental Management for Aquaculture. Kluwer Academic Publisher. Dordrecht, Netherlands. p94. Ming, F. W. 1985. Ammonia Excretion Rate as an Index for Comparing Efficiency of Dietary Protein Utilization among Rainbow Trout Salmo gairdneri Different Strains. Aquaculture, 46 : 27 – 35pp. Mirwandhana, E dan Z. Siregar. 2004. Pemanfaatan Hidrolisat Tepung Kepala Udang dan Limbah Kelapa Sawit yang Difermentasi dengan Aspergillus niger, Rhizopus oligosporus dan Trichoderma viridae dalam Ransum Ayam Pedaging. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan. Murai, T.A. Sumalangkay dan F.P. Pascual. 1981. The Water Stability of Shrimp Diets with Various Polysacharides as a Binding Agent. Quart. Res.Rep. 42: 18 – 20pp. National Research Council. 1977. Nutrient requirement of warm water fishes. National Academy of Science. Washington D. C. 78p. 34 ______________________. 1982. Nutrient requirement of warmwater Aquatic Animal. National Academic Press. Whasington D. C. 273pp. ______________________. 1983. Nutrient Requirement of Warmwater Fishes and Shellfishes. National Academic of Science. Whasington D.C. 102pp. ____________. 1989. Status of Shrimp Nutrition and Feed Development in Southeast Asia p80 – 89. In Nutrition Research in Asia by De Silva ed. Proceeding of The Third Asian Fish Nutrition Network Meeting. Asian Fisheries Society. Philippines. Ng, W. K. 2004. Researching the Use of Palm Kernel Cake in Aquaculture Feeds. Palm Oil Development, 41 : 19 – 21. Pascual, F. P. 1989. Status of Shrimp Nutrition and Feed Development in South East Asia. p80 – 89. In Nutrition Research in Asia by De Silva ed.. Proceeding of the third Asian Fish Nutrition Network Meeting. Asian Fisheries Society. Philippines. Poernomo, A. 1985. Persyaratan Pakan Untuk Budidaya Pantai dalam Prosiding Rapat Teknis Tepung Ikan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Shiau, S.Y. 1998. Nutrient Requirement of Penaeid Shrimp. Aquaculture. 164 : 77 – 93pp. Smith, R. R. 1989. Nutritional Energetics. In fish Nutrition. J. Halver eds. Academic Press, Inc. New York. 1-28pp. Sreedhara, N. and P. A. Kurup. 1998. Effect of Hydrochloric Acid Treatment of Palm Kernel For Dehulling on the Nutritional Quality of Kernel Protein. Journal of Science, Food and Agriculture 77 : 435 – 440. Steel, R.G.D., dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika : Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi kedua. PT. Gramedia. Jakarta. 772 hal. Stickney, R. R. 1979. Principals of warmwater aquaculture. John Willey and Sons. New York. 375p. Sue, T. T. 2004. Quality and Characteristic of Malaysian Palm Kernel Cakes Expeller. Palm Oil Development, 34 : 1 – 3. Kuala Lumpur, Malaysia. 35 Sulistyaningsih, E. 2005. Bioinformasi Bungkil Sawit dan Bungkil Kelapa untuk Produksi Enzim Hidrolase. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suprayudi, A. 2010. Pengembangan Penggunaan Bahan Baku Lokal untuk Pakan IkanUdang : Status Terkini dan Prospeknya. Makalah utama dalam Semiloka Nutrisi dan Teknologi Pakan IkanUdang di Bogor, 26 Oktober 2010. Belum dipublikasikan. Sundu, B. and J. Dingle. 2003. Use of Enzymes to Improve the Nutritional Value of Palm Kernel Meal and Copra Meal. Proc. Queensland Poult. Sci. Symp. Australia, Vol : 11 14 1 – 15. Takeuchi, T., Satoh, S., Kiron, V. 2002. Common Carp, Cyprinus carpio. In C.D. Webster and C. Linn Ed.. Nutrient Requirements and Feeding of Finfish for Aquaculture. CABI Publishing. New York, USA. P 245 – 261. Watanabe, T. 1988. Fish Nutrition and Marine Culture : JICA Text Book General Course. Japan : University of Fisheries. Wilson, R. P. 1989. Amino Acids and Protein. In Fish Nutrition. J. E. Halver eds.. Academic Press, Inc. New York. 111-148pp. Takeuchi, W. 1988. Fish Nutrition and Mariculture. Departement of Aquatic Bioscience. Tokyo University of Fisheries. JICA. 233p. Velasco M., Lawrence A. L., Castille F. L., Obaldo L. G. 2000. Dietary Protein Requirement for Litopenaeus vannamei. In : Cruz – Suarez L. E., Ricque – Marie D., Tapia – Salazar M., Olvera – Novoa M. A., Civera – Cerecedo R Ed.. Avances en Nutricion Acuicola V. Memorias del V Simposium Internacionale de Nutricion Acuicola. 19 – 22 Noviembre, 2000. Merida, Yucatan, Mexico. Zonneveld, N. Z. A., Huisman E. A. and J. H. Bonn. 1991. Prinsip-prinsip Budidaya Ikan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 318hal. Lampiran 1. Prosedur Analisis Proksimat Takeuchi, 1988

1.1. Analisis Kadar Air