Evaluasi Alinemen Horizontal Pada Ruas Jalan Sembahe – Sibolangit

(1)

EVALUASI ALINEMEN HORIZONTAL PADA RUAS JALAN

SEMBAHE – SIBOLANGIT

TUGAS AKHIR

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk menempuh

Ujian Sarjana Teknik Sipil

Oleh:

DARWIN LEONARDO PANDIANGAN 050404142

BIDANG STUDI TRANSPORTASI DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang tiada hingga kepada Tuhan Yang Maha Esa yang selalu memberikan rahmat dan hidayah-Nya hingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini..

Adapun judul dari Tugas Akhir ini adalah “Evaluasi Alinemen Horizontal Pada Ruas Jalan Sembahe - Sibolangit. Tugas Akhir ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Strata I (S1) di Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas akhir ini tidak terlepas dari bimbingan, dukungan dan bantuan dari semua pihak. Penulis mengucapkan terima kasih atas segala bantuan, motivasi dan doa yang diberikan hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara, terutama kepada :

1. Bapak Ir. Joni Harianto , selaku Dosen Pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu, tenaga dan pemikiran untuk membantu, membimbing dan mengarahkan penulis hingga selesainya tugas akhir ini.

2. Bapak Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan, selaku Ketua Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.


(3)

3. Bapak Ir. Indra Jaya Pandia, Bapak Ridwan Anas, S.T., M.T., Bapak Yusandi Aswad, S.T., M.T., selaku Dosen Pembanding/Penguji yang telah memberikan masukan dan kritikan yang membangun dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

4. Bapak Ir. Zulkarnain A. Muis, M.Eng.Sc. selaku Koordinator Sub Jurusan Transportasi Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan masukan kepada penulis hingga selesainya tugas akhir ini.

5. Bapak/Ibu Staf Pengajar Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara yang telah membekali penulis dengan berbagai ilmu pengetahuan hingga selesainya tugas akhir ini.

6. Bapak/Ibu Staf Tata Usaha Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara yang telah membantu dalam menyelesaikan dan menyukseskan tugas akhir ini.

7. Ayahanda, H. Pandiangan dan Ibunda J. Sinaga, Spd., tercinta yang selalu mendukung dan memotivasi penulis dalam menjalani hidup dengan penuh kasih sayang. Merupakan suatu kebahagian bila ananda bisa selalu membahagiakan ibu dan ayah tercinta.

8. Adinda tercinta Natalia M. Sitorus, Arjuna Pandiangan, Sandro Pandiangan, Eko Pandiangan yang telah mendukung dan memberikan semangat.

9. Teman-teman seperjuangan angkatan ’05, abang-abang angkatan ’02 ’03 ’04, dan adik-adik angkatan ’06 ’07 ’08 ’09. Terima kasih atas


(4)

bantuan dan dukungannya baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian tugas akhir ini, sehingga tugas akhir ini dapat selesai dengan baik dan tanpa menemui hambatan serta rintangan yang berarti.

10.My Castle Corp, Rudolf, Niel, N’gok, Piter, Marthin, Marshall, Juju, Wiliam, Aran, dan yang tak tersebutkan namanya.

Tiada gading yang tak retak, demikian juga dengan Tugas Akhir ini yang masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, segala saran, masukan dan kritikan yang sifatnya membangun akan penulis terima dengan tangan terbuka demi perbaikan tugas akhir ini. Harapan penulis, semoga tugas akhir ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Medan, Maret 2011

Hormat Saya,

Penulis

Darwin L. Pandiangan NIM : 05 0404 142


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GRAFIK ... xii

DAFTAR NOTASI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

I.1. Umum ... 1

I.2. Latar Belakang ... 2

I.3 Maksud Penelitian... 3

I.4. Tujuan Penelitian ... 4

I.5. Manfaat Penelitian ... 4

I.6. Perumusan Masalah ... 4

I.7. Pembatasan Masalah ... 5

I.8. Metodologi Pembahasan ... 6


(6)

BAB II DASAR TEORI... 8

2.1.Pengertian Jalan, Klasifikasi Jalan Raya dan Kecelakaan Lalu Lintas di Jalan Raya ... 8

2.1.1 Pengertian Jalan ... 8

2.1.2 Klasifikasi Jalan ... 9

2.1.2.1 Klasifikasi Menurut Fungsi Jalan... 9

2.1.2.2 Klasifikasi Menurut Kelas Jalan ... 9

2.1.2.3 Klasifikasi Menurut Medan Jalan ... 10

2.1.2.4 Klasifikasi Menurut Wewenang Pembinaan Jalan 11 2.1.3 Kecelakaan Lalu Lintas di Jalan Raya ... 11

2.2. Perencanaan Geometrik Jalan Raya ... 15

2.2.1 Standar Perencanaan ... 15

2.2.2 Kendaraan Rencana ... 16

2.2.3 Volume Lalu Lintas ... 17

2.2.3.1 Lalu Lintas Harian Rata-Rata... 17

2.2.3.2 Volume Jam Perencanaan ... 18

2.2.4 Kecepatan Rencana ... 20

2.3 Elemen Perencanaan Geometrik Jalan Raya ... 22

2.3.1 Penampang Melintang Jalan ... 22

2.3.1.1 Jalur Lalu Lintas ... 25


(7)

2.3.1.2.1 Lebar Lajur Lalu Lintas ... 28

2.3.1.2.2 Jumlah Lajur Lalu Lintas ... 29

2.3.1.3 Bahu Jalan ... 30

2.3.1.3.1 Jenis Bahu Jalan ... 31

2.3.1.3.2 Lebar Bahu Jalan ... 31

2.3.1.3.3 Lereng Melintang Bahu Jalan ... 32

2.3.1.4 Median ... 33

2.3.1.5 Fasilitas Pejalan Kaki ... 36

2.3.2 Segmen/Ruas Jalan... 36

2.3.2.1 Panjang Bagian Lurus ... 36

2.3.2.2 Jarak Pandang... 37

2.3.2.2.1 Jarak Pandang Henti ... 37

2.3.2.2.2 Jarak Pandang Mendahului ... 37

2.3.2.2.3 Daerah Bebas Samping di Tikungan ... 38

2.4 Persyaratan Alinemen ... 45

2.4.1 Alinemen Vertikal ... 45

2.4.1.1 Pengertian Alinemen Vertikal ... 45

2.4.1.2 Landai Maksimum ... 45

2.4.1.3 Panjang Kritis ... 46


(8)

2.4.2 Alinemen Horizontal ... 48

2.4.2.1 Pengertian Alinemen Horizontal ... 48

2.4.2.2 Jari-jari Tikungan ... 48

2.4.2.3 Menentukan Bentuk Tikungan ... 58

2.4.2.3.1 Bentuk Tikungan Full Circle (FC) ... 58

2.4.2.3.2 Bentuk Tikungan Spiral – Circle – Spiral (SCS) ... 60

2.4.2.3.3 Bentuk Tikungan Spiral – Spiral ( S – S) 69 2.4.2.4 Superelevasi ... 70

2.4.2.5 Pelebaran Perkerasan Pada Tikungan ... 86

2.4.2.6 Tikungan Gabungan ... 90

2.4.3 Koordinasi Alinemen ... 93

BAB III Metodologi Penelitian ... 94

3.1 Lokasi Penelitian ... 94

3.2 Pengumpulan Data ... 95

3.3 Pengolahan Data... 96

BAB IV Analisis Data ... 99


(9)

4.1.1 Analisa Data Pada Tikungan 1 ... 102

4.1.2 Analisa Data Pada Tikungan 2 ... 105

4.1.3 Analisa Data Pada Tikungan 3 ... 108

4.2 Perencanaan Ulang Alinemen Horisontal ... 111

4.2.1 Perencanaan Ulang Tikungan 1 ... 111

4.2.2 Perencanaan Ulang Tikungan 2 ... 122

4.2.3 Perencanaan Ulang Tikungan 3 ... 133

4.3 Kemiringan Tikungan ... 145

4.4 Daerah Bebas Samping di Tikungan ... 148

BAB V Kesimpulan dan Saran ... 154

5.1 Kesimpulan ... 154

5.2 Saran ... 157 DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Bagan Penelitian... 7

Gambar 2.1 Penampang Melintang Jalan ... 23

Gambar 2.2 Penampang Melintang Jalan Dengan Median ... 24

Gambar 2.3 Penampang Melintang Jalan Tanpa Median ... 24

Gambar 2.4 Jalan 1 Jalur – 2 Lajur – 2 Arah (2/2 TB) ... 26

Gambar 2.5 Jalan 1 Jalur – 2 Lajur – 1 Arah (2/1 TB) ... 26

Gambar 2.6 Jalan 2 Jalur – 4 Lajur – 2 Arah (4/2 B) ... 27

Gambar 2.7 Kemiringan Melintang Jalan Normal ... 30

Gambar 2.8 Bahu Jalan ... 33

Gambar 2.9 Kombinasi Bahu Dengan Trotoar ... 33

Gambar 2.10 Median Direndahkan ... 35

Gambar 2.11 Median Ditinggikan ... 35

Gambar 2.12 Jarak Pandang < Panjang Tikungan (Jh < Lt) ... 39

Gambar 2.13 Jarak Pandang > Panjang Tikungan (Jh > Lt) ... 42

Gambar 2.14 Gaya Sentrifugal Diimbangi Gesekan Ban, Perkerasan . 49 Gambar 2.15 Gaya Sentrifugal Diimbangi Hanya Dengan Kemiringan Melintang Jalan ... 51

Gambar 2.16 Gaya Sentrifugal Diimbangi Dengan Gaya Gesek dan Kemiringan Melintang Jalan ... 52


(11)

Gambar 2.17 Lengkung Busur Lingkaran Sederhana (Full Circle) ... 58

Gambar 2.18 Bentuk Tikungan Spiral – Circle – Spiral (S-C-S)... 64

Gambar 2.19 Lengkung Spiral – Spiral ... 69

Gambar 2.20 As Atau Sumbu Jalan Sebagai Sumbu Putar... 71

Gambar 2.21 Tepi Perkerasan Sebelah Dalam Sebagai Sumbu Putar . 71 Gambar 2.22 Tepi Perkerasan Sebelah Luar Sebagai Sumbu Putar .... 72

Gambar 2.23 Mengambil Sisi - Sisi Sebelah Dalam Perkerasan Sebagai Sumbu Putar ... 73

Gambar 2.24 Mengambil Sisi - Sisi Sebelah Luar Dari Jalur Jalan Sebagai Sumbu Putar ... 73

Gambar 2.25 Mengambil Sumbu Putar Masing - Masing Jalur Sendiri-Sendiri ... 74

Gambar 2.26 Diagram Superelevasi Untuk Full Circle ... 84

Gambar 2.27 Diagram Superelevasi Untuk Spiral - Circle – Spiral .... 84

Gambar 2.28 Diagram Superelevasi Untuk Spiral – Spiral ... 85

Gambar 2.29 Tikungan Gabungan Searah ... 91

Gambar 2.30 Tikungan Gabungan Searah Dengan Sisipan Bagian Lurus 20 m ... 91

Gambar 2.31 Tikungan Balik Arah ... 92

Gambar 2.32 Tikungan Balik Arah Dengan Sisipan Bagian Lurus 20 m ... 92


(12)

Gambar 4.1 Alinemen Horizontal di Lapangan ... 101

Gambar 4.2 Tikungan 1 ... 102

Gambar 4.3 Detail Tikungan 1 ... 103

Gambar 4.4 Tikungan 2 ... 105

Gambar 4.5 Detail Tikungan 2 ... 106

Gambar 4.6 Tikungan 3 ... 108

Gambar 4.7 Detail Tikungan 3 ... 109

Gambar 4.8 Tangent (T max) Tikungan 1 ... 111

Gambar 4.9 Perencanaan Ulang Tikungan 1 ... 121

Gambar 4.10 Tangent (T max) Tikungan 2 ... 122

Gambar 4.11 Perencanaan Ulang Tikungan 2 ... 132

Gambar 4.12 Tangent (T max) Tikungan 3 ... 133

Gambar 4.13 Perencanaan Ulang Tikungan 3 ... 143

Gambar 4.14 Perencanaan Ulang Tikungan di Lapangan... 144

Gambar 4.15 Kemiringan Tikungan 1 ... 145

Gambar 4.16 Kemiringan Tikungan 2 ... 146

Gambar 4.17 Kemiringan Tikungan 3 ... 147

Gambar 4.18 Daerah Bebas Samping Di Tikungan 1 ... 149

Gambar 4.19 Daerah Bebas Samping Di Tikungan 2 ... 151


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi Jalan Raya Menurut Kelas Jalan ... 10

Tabel 2.2 Klasifikasi Jalan Raya Menurut Medan Jalan ... 10

Tabel 2.3 Dimensi Kendaraan Rencana ... 16

Tabel 2.4 Ekivalen Mobil Penumpang ... 19

Tabel 2.5 Penentuan Faktor K dan Faktor F Berdasarkan Volume Lalu Lintas Harian Rata-Rata... 20

Tabel 2.6 Kecepatan Rencana Sesuai Klasifikasi Fungsi dan Klasifikasi Medan Jalan ... 21

Tabel 2.7 Penentuan Lebar Jalur dan Bahu Jalan ... 27

Tabel 2.8 Lebar Lajur Jalan Ideal ... 29

Tabel 2.9 Lebar Minimum Median ... 34

Tabel 2.10 Panjang Bagian Lurus Maksimum ... 36

Tabel 2.11 Persyaratan Jarak Pandang Henti ... 37

Tabel 2.12 Persyaratan Jarak Pandang Mendahului... 38

Tabel 2.13 Nilai E Untuk Jh < Lt ... 41

Tabel 2.14 Nilai E Untuk Jh > Lt ... 43

Tabel 2.15 Nilai E Untuk Jh > Lt, Jh - Lt = 50 m ... 44

Tabel 2.16 Kelandaian Maksimum Yang Diijinkan... 45


(14)

Tabel 2.18 Penentuan Faktor Penampilan Kenyamanan Y ... 47 Tabel 2.19 Panjang Minimum Lengkung Vertikal ... 48 Tabel 2.20 Rekomendasi AASHTO Untuk Koefisien Gesek Samping . 55 Tabel 2.21 Panjang Jari - Jari Minimum ... 56 Tabel 2.22 Jari – Jari Minimum Untuk Jalan Luar Kota, Jalan Tol, Jalan

Perkotaan Berdasarkan Nilai e dan f ... 57 Tabel 2.23 Batasan Dalam Bentuk Full Circle ... 59 Tabel 2.24 Panjang Lengkung Peralihan (Ls) dan Panjang Pencapaian

Superelevasi (Le) Untuk Jalan 1 Jalur – 2 Lajur – 2 Arah ... 63 Tabel 2.25 Perhitungan e, b dan Ls Minimum ... 67 Tabel 2.26 Perhitungan e dan Ls Minimum (Untuk Rural Highway, 2 Jalur, e

max = 10%) ... 68 Tabel 2.27 Landai Relatif Berdasarkan Kecepatan Rencana ... 83 Tabel 2.28 Pelebaran, Lebar Jalur 2 x 3.50 m, 2 Arah Atau 1 Arah ... 87 Tabel 2.29 Pelebaran Perkerasan Menurut AASHTO 2001 (2 Jalur 1 Arah


(15)

DAFTAR GRAFIK

Grafik 2.1 Jarak Penghalang (E), Dari Lajur Sebelah Dalam ... 40 Grafik 2.2 Koefisien Gesekan Melintang Maksimum Untuk Desain 55 Grafik 2.3 Superelevasi Rencana Untuk Superelevasi

Maksimum 4% ... 80 Grafik 2.4 Superelevasi Rencana Untuk Superelevasi

Maksimum 6% ... 80 Grafik 2.5 Superelevasi Rencana Untuk Superelevasi

Maksimum 8% ... 81 Grafik 2.6 Superelevasi Rencana Untuk Superelevasi

Maksimum 10% ... 81 Grafik 2.7 Superelevasi Rencana Untuk Superelevasi


(16)

DAFTAR NOTASI

Jh min = Jarak pandang henti minimum (meter)

fm = Koefisien gesekan antara ban dengan permukaan aspal V = Kecepatan kendaraan (Km/Jam)

G = Berat kendaraan (Ton)

a = Perlambatan kendaraan (deaccelerate), (m/s2)

m = Jarak dari penghalang ke sumbu lajur sebelah dalam (meter) Ǿ = Setengah sudut pusat lengkung sepanjang Lt

Lt = Panjang Busur Lingkaran (meter) R = Jari-jari tikungan (meter)

S = Jarak Pandangan (meter)

Lv = Panjang lengkung vertikal (meter) A = Perbedaan grade (meter)

Y = Faktor penampilan kenyamanan g = Percepatan gravitasi (m/s2) e = Superelevasi (%)

T = Jarak antara TC dan PI (meter) L = Panjang tikungan (meter)

E = Jarak PI ke bentuk lengkung (meter) ∆ = Sudut tangent (derajat)


(17)

C = Perubahan kecepatan (m/s) em = Suprelevasi maksimum en = Superelevasi normal

re = Tingkat Pencapaian Perubahan Kemiringan (%/detik) Le = Pencapaian Superelevasi (meter)

θs = Sudut Lengkung Spiral (derajat) 1/m = Landai relatif antara tepi perkerasan b = Lebar Jalur 1 arah (meter)


(18)

ABSTRAK

Ruas jalan Sembahe – Sibolangit merupakan sistem jaringan jalan yang penting, yang menghubungkan suatu kabupaten dengan kabupaten lainnya. Untuk itu perencanaan geometrik yang baik meliputi alinemen horizontal yang aman bagi pengemudi agar dapat dengan aman cepat dan nyaman melakukan perjalanan sangat diperlukan guna menghemat biaya operasional kendaraan, waktu perjalanan, dan mengurangi tingkat kecelakaan pada jalan luar kota.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah alinemen horizontal telah memenuhi persyaratan pada peraturan yang ada. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan pada daerah yang rawan kecelakaan dengan menggunakan theodolite sebagai alat bantu untuk pemetaan kondisi lapangan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Alinemen horizontal pada seluruh lokasi yang ditinjau pada Ruas jalan Sembahe – Sibolangit tidak memenuhi syarat perencanaan geometrik dimana semua tikungan tidak memenuhi syarat nilai R min (jari - jari minimum) untuk penggunaan jenis tikungan full circle sesuai kecepatan rencana dan tidak memiliki ketersediaan jarak pandang yang disyaratkan.

Perencanaan ulang alinemen horizontal perlu untuk dilakukan karena semua tikungan yang ditinjau tidak memenuhi syarat dari peratutan yang ada. Apabila perencanaan ulang tidak dapat dilakukan ,untuk menghindari kecelakaan di ruas jalan Sembahe - Sibolangit tersebut perlu dibuat rambu pengurangan kecepatan dan untuk dikemudian hari perlu adanya evaluasi perencanaan geometrik untuk mendapatkan kondisi geometrik yang baik dan benar.


(19)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Umum

Jalan raya adalah salah satu sarana transportasi yanag paling banyak dipergunakan untuk menunjang perekonomian maupun kegiatan-kegiatan manusia sehari-hari. Jalan raya berfungsi untuk melewatkan lalu lintas diatasnya dengan cepat, aman dan nyaman. Transportasi darat merupakan sistem trasportasi yang terbesar dan yang paling mendapat perhatian. Hal ini terutama disebabkan oleh aktivitas manusia pada umumnya dilakukan di darat, dimana sistem transportasi darat ini memerlukan prasarana jalan sebagai jalur penghubung sebagai penunjang perekonomian, perkembangan wilayah, perkembangan sosial dan perkembangan kebudayaan.

Kemajuan dalam bidang transportasi menyebabkan jarak antara satu daerah dengan daerah lainnya dirasakan menjadi lebih dekat. Selain itu arus barang dari suatu tempat ke tempat lainnya menjadi lebih lancar dan dapat menyebar lebih luas sehingga menunjang pemerataan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi suatu daerah.

Ditinjau dari segi manfaatnya tersebut maka jalan raya sangat memerlukan pengembangan dan pengelolaan yang sungguh-sungguh agar selalu dapat melayani kebutuhan lalu lintas bagi masyarakat yang semakin meningkat.

Untuk mendapatkan jalan yang baik dan nyaman, sesuai dengan kelas jalan yang telah ditetapkan oleh pemerintah yaitu Direktorat Jenderal Bina Marga maka perlu ditinjau aspek geometriknya sebagai dasar perencanaan untuk menentukan


(20)

kecepatan rencana yang layak untuk jalan tersebut.Kecepatan rencana (VR ) adalah kecepatan yang dipilih sebagai dasar perencanaan geometrik yang memungkinkan kendaraan-kendaraan bergerak dengan aman dan nyaman dengan kondisi cuaca yang cerah, lalu lintas yang lengang dan pengaruh samping jalan yang tidak berarti (Sukirman S, 1994).

Untuk mendapatkan standar kecepatan rencana, diperlukan kondisi jalan yang baik, bebas, dan alinemen horizontal jalan yang baik pula. Untuk itu perencanaan alinemen horizontal perlu diperhatikan agar pengemudi dapat berkendara dengan aman dan nyaman.

1.2Latar Belakang

Jalan luar kota merupakan sistem dari jaringan jalan yang didesain dengan kecepatan rencana yang tinggi dan memiliki perencanaan geometrik yang baik sehingga pengguna jalan dapat dengan cepat, aman dan nyaman sampai ke daerah tujuan.

Kondisi jalan luar kota yang baik dapat memicu pertumbuhan suatu wilayah karena dipengaruhi oleh aksesibilitas transportasi yang tinggi. Salah satu jalan lintas Sumatera yang memiliki kriteria seperti diatas adalah ruas jalan Sembahe-Sibolangit yang merupakan jalan dengan aksesibilitas yang tinggi dengan kondisi rawan terjadi kecelakaan. Kondisi ini didukung oleh data kecelakaan yang terjadi pada daerah tersebut dalam beberapa tahun yang didapat dari Salantas Polresta Medan. Karena tingkat kecelakaan cukup tinggi maka daerah tersebut menjadi daerah “blackspot”.


(21)

Blackspot adalah lokasi pada jaringan jalan dimana frekwensi kecelakaan atau jumlah kecelakaan lalu lintas cukup besar.

Kondisi dengan aksesibilitas yang tinggi dan rawan kecelakaan tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi alinemen horizontal jalan. Untuk itu perencanaan geometrik yang baik khususnya alinemen horizontal sangat penting bagi pengemudi agar dapat dengan aman, nyaman dan cepat melakukan perjalanan sangat diperlukan sehingga menghemat biaya operasi kendaraan, waktu perjalanan, dan mengurangi tingkat kecelakaan pada jalan luar kota.

Untuk menganalisa kelayakan alinemen horizontal, data yang diperlukan antara lain adalah data kondisi daerah tikungan dan data - data lain yang mendukung.

Untuk itu penulis coba mengkaji dan mengevaluasi alinemen horizontal jalan yang ada pada daerah tersebut apakah memenuhi kriteria yang telah ditetapkan atau tidak.

1.3Maksud Penelitian

Adapun maksud penelitian ini adalah agar dalam perencanaan alinemen horizontal perlu memperhatikan persyaratan pada standar peraturan geometrik jalan raya agar diperoleh perencanaan alinemen horizontal yang baik guna kepentingan keselamatan pengguna jalan sehingga tidak menimbulkan terjadinya kecelakaan lalu lintas akibat pangaruh alinemen horizontal jalan yang tidak baik tersebut.


(22)

1.4Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan tugas akhir ini adalah mengetahui apakah alinemen horizontal dalam hal ini tikungan yang ada pada jalan luar kota Sembahe - Sibolangit telah memenuhi persyaratan atau sesuai dengan peraturan geometrik yang ada dalam hal ini Bina Marga 1997 dan AASHTO 2001.

1.5Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan, khususnya tentang perencanaan alinemen horizontal yang mengacu pada perencanaan geometrik yang baik dan juga dapat menjadi teori panduan dalam perencanaan ulang alinemen horizontal pada ruas jalan Sembahe – Sibolangit.

1.6Perumusan Masalah

Kecelakaan yang terjadi di jalan raya (road crash) tidak hanya disebabkan oleh faktor kondisi kendaraan maupun pengemudi, namun disebabkan pula oleh banyak faktor antara lain: kondisi alam (cuaca), desain ruas jalan (alinyemen vertikal dan horizontal), jarak pandang pengemudi, kondisi kerusakan perkerasan, kelengkapan rambu atau petunjuk jalan, pengaruh budaya dan pendidikan masyarakat sekitar jalan, peraturan / kebijakan lokal yang berlaku dapat secara tidak langsung memicu terjadinya kecelakaan di jalan raya, misalnya penetapan lokasi sekolah dasar di tepi jalan arteri (Mulyono dkk, 2009).


(23)

Leisch & Assoc ( 1971 ) dalam E Hauer (2000) mengemukakan bahwa jalan raya dengan adanya tikungan mempunyai tingkat kecelakaan yang lebih besar

dibandingkan dengan bagian jalan raya yang lurus (Elly T.P, 2006).

Dalam tugas akhir ini, permasalahan yang akan dibahas adalah mengenai kondisi alinemen horizontal jalan khususnya pada tikungan pada jalan luar kota Sembahe - Sibolangit. Ruas jalan yang diambil adalah pada area “black spot” atau daerah rawan kecelakaan. Dari data yang diperoleh dari Satlantas Polresta Medan tahun 2009, diperoleh bahwa daerah tersebut berada pada Jalan Jamin Ginting Km 36 - 38 yaitu pada daerah PDAM Tiratanadi -Taman Hutan Lindung.

1.7Pembatasan Masalah

Mengingat penulisan ini berdasarkan jalan raya luar kota (rural highway) dan dalam hal ini cukup banyak permasalahan yang dihadapi maka penulis membatasi permasalahan tersebut pada apakah kondisi alinemen horizontal jalan terutama pada tikungan, yaitu lokasi di PDAM Tirtanadi - Taman Hutan Lindung telah memenuhi syarat atau standar peraturan yang ada dalam hal ini Bina Marga 1997 dan AASHTO 2001.


(24)

1.8Metodologi Pembahasan

Metode pembahasan yang dilakukan pada penulisan tugas akhir ini adalah sebagai berikut :

1. Melakukan identifikasi terhadap hal-hal yang diperlukan untuk memperoleh data alinemen horizontal jalan.

2. Menganalisa tingkat kecelakaan yang terjadi pada daerah kasus sehingga dapat dijadikan acuan masalah.

3. Menganalisa data geometrik yang telah didapat dari survey di lapangan dalam bentuk koordinat sehingga dapat diubah kedalam bentuk gambar. 4. Membandiangkan data alinemen horizontal jalan tersebut dengan syarat

alinemen horizontal yang baik dalam hal ini pada peraturan Bina Marga 1997 dan AASHTO 2001.

5. Menarik suatu kesimpulan dari data yang telah diubah kedalam bentuk gambar, apakah sesuai dengan perhitungan yang telah didapat.

1.9Sumber Data dan Standar Perencanaan

Pada tugas akhir ini data yang diperlukan antara lain :

•Data Primer, yaitu data survey geometrik dan lalu lintas dari daerah kasus.

•Data Sekunder, yaitu data kecelakaan yang terjadi dalam kurun waktu beberapa tahun pada daerah kasus.

Standar perencanaan antara lain meliputi kecepatan rencana, lebar jalur, dan alinemen horizontal yang ada dilapangan.


(25)

PERENCANAAN ALINEMEN MULAI

TINJAUAN PUSTAKA Pengumpulan bahan refrensi &

studi literatur

DATA PRIMER Data Alinemen Horizontal di

L

DATA SEKUNDER Data Korban Kecelakaan

PERHITUNGAN DAN PENGOLAHAN DATA Menggunakan Microsoft Excel dan Perhitungan

t ti d i d t di l h

ANALISA DAN DISKUSI Membahas hasil yang diperoleh oleh

penulis dari pengolahan data dan menganalisa apakah hasil di lapangan


(26)

HORIZONTAL YANG BARU

BAB II KESIMPULAN DAN SARAN


(27)

BAB II DASAR TEORI

2.1 Pengertian Jalan, Klasifikasi Jalan Raya dan Kecelakaan Lalu Lintas di Jalan Raya

2.1.1 Pengertian Jalan

Jalan adalah. prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel (Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006).

Jalan raya adalah jalur - jalur tanah di atas permukaan bumi yang dibuat oleh manusia dengan bentuk, ukuran - ukuran dan jenis konstruksinya sehingga dapat digunakan untuk menyalurkan lalu lintas orang, hewan dan kendaraan yang mengangkut barang dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan mudah dan cepat (Clarkson H.Oglesby,1999).

Untuk perencanaan jalan raya yang baik, bentuk geometriknya harus ditetapkan sedemikian rupa sehingga jalan yang bersangkutan dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada lalu lintas sesuai dengan fungsinya, sebab tujuan akhir dari perencanaan geometrik ini adalah menghasilkan infrastruktur yang aman, efisiensi pelayanan arus lalu lintas dan memaksimalkan ratio tingkat penggunaan biaya juga memberikan rasa aman dan nyaman kepada pengguna jalan.


(28)

2.1.2 Klasifikasi Jalan

Jalan raya pada umumnya dapat digolongkan dalam 4 klasifikasi yaitu: klasifikasi menurut fungsi jalan, klasifkasi menurut kelas jalan, klasifikasi menurut medan jalan dan klasifikasi menurut wewenang pembinaan jalan (Bina Marga 1997).

2.1.2.1Klasifikasi menurut fungsi jalan

Klasifikasi menurut fungsi jalan terdiri atas 3 golongan yaitu:

1) Jalan arteri yaitu jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien.

2) Jalan kolektor yaitu jalan yang melayani angkutan pengumpul/pembagi dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.

3) Jalan lokal yaitu Jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.

2.1.2.2Klasifikasi menurut kelas jalan

Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk menerima beban lalu lintas, dinyatakan dalam muatan sumbu terberat (MST) dalam satuan ton.


(29)

Tabel 2.1. Klasifikasi jalan raya menurut kelas jalan

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga, 1997.

2.1.2.3 Klasifikasi menurut medan jalan

Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar kemiringan medan yang diukur tegak lurus garis kontur. Keseragaman kondisi medan yang diproyeksikan harus mempertimbangkan keseragaman kondisi medan menurut rencana trase jalan dengan mengabaikan perubahan-perubahan pada bagian kecil dari segmen rencana jalan tersebut.

Tabel 2..2. Klasifikasi Menurut Medan Jalan:

No Jenis Medan Notasi Kemiringan Medan (%)

1 Datar D < 3

2 Berbukit B 3-25

3 Pegunungan G >25

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997.

Fungsi Kelas Muatan Sumbu Terberat/MST (ton) Arteri I

II IIIA

>10 10 8 Kolektor III A

III B


(30)

2.1.2.4Klasifikasi menurut wewenang pembinaan jalan

Klasifikasi menurut wewenang pembinaannya terdiri dari Jalan Nasional, Jalan Provinsi, Jalan Kabupaten/Kotamadya dan Jalan Desa.

2.1.3 Kecelakaan Lalu Lintas di Jalan Raya

Kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak di sangka – sangka dan tidak disengaja melibatkan kendaraan yang sedang bergerak dengan atau tanpa pemakai jalan lainnya, mengakibatkan korban manusia atau kerugian harta benda ( Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 1993).

Faktor - faktor penyebab kecelakaan terdiri dari : faktor manusia, faktor kendaraan, faktor jalan, faktor lingkungan (Elly T.P 2006).

1. Faktor manusia (Pengemudi dan Pejalan kaki) a) Pengemudi

Beberapa kriteria pengemudi sebagai penyebab kecelakaan antara lain:

• Pengemudi mabuk (Drunk Driver)

• Pengemudi ngantuk atau lelah (Fatigu or Overly Tired Driver)

• Pengemudi lengah (Emotional or Distracted driver)


(31)

b) Pejalan Kaki

Penyebab kecelakaan dapat ditimpakan pada pejalan kaki pada berbagai kemungkinan antara lain seperti menyeberang jalan pada tempat dan waktu yang tidak tepat (aman), berjalan terlalu ketengah dan tidak berhati – hati.

2. Faktor kendaraan: Kendaraan dapat menjadi faktor penyebab kecelakaan apabila tidak dapat dikendalikan sebagaimana mestinya yaitu sebagai akibat kondisi teknis yang tidak layak jalan ataupun penggunaannya tidak sesuai ketentuan antara lain:

• Rem blong, kerusakan mesin, ban pecah adalah merupakan kondisi kendaraan yang tidak layak jalan. Kemudi tidak baik, as atau kopel lepas, lampu mati khususnya pada malam hari, slip dan sebagainya.

Over load atau kelebihan muatan adalah merupakan penggunaan

kendaraan yang tidak sesuai ketentuan tertib muatan.

Design kendaraan dapat merupakan faktor penyebab beratnya ringannya kecelakaan, tombol – tombol di dashboard kendaraan dapat mencederai orang terdorong kedepan akibat benturan, kolom kemudi dapat menembus dada pengemudi pada saat tabrakan. Demikian design bagian depan kendaraan dapat mencederai pejalan kaki yang terbentur oleh kendaraan. Perbaikan design kendaraan terutama tergantung pembuat kendaraan namun peraturan atau rekomendasi pemerintah dapat memberikan pengaruh kepada perancang.


(32)

• Sistem lampu kendaraan yang mempunyai dua tujuan yaitu agar pengemudi dapat melihat kondisi jalan didepannya konsisten dengan kecepatannya dan dapat membedakan / menunjukkkan kendaraan kepada pengamat dari segala penjuru tanpa menyilaukan.

3. Faktor jalan

Jalan dapat menjadi penyebab kecelakaan antar lain untuk hal – hal sebagai berikut:

• Kontruksi pada permukaan jalan (misalnya terdapat lubang yang sulit dikenal oleh pengemudi)

• Kontruksi jalan yang rusak atau tidak sempurna (misalnya bila posisi permukaan bahu jalan terlalu randah terhadap permukaan jalan)

• Geomrtik jalan yang kurang sempurna misalnya derajat kemiringan (superelevasi) yang terlalu kecil atau terlalu besar pada tikungan, terlalu sempitnya pandangan bebas pengemudi dan kurangnya perlengkapan jalan.

4. Lingkungan

Lingkungan juga dapat menjadi faktor penyebab kecelakaan misalnya pada saat adanya kabut, asap tebal, penyeberang, hewan, genangan air, material di jalan atau hujan lebat menyebabkan daya pandang pengemudi sangat berkurang untuk dapat mengemudikan kendaraannya secara aman.


(33)

PT Jasa Marga mengelompokkan jenis tabrakan yang melatarbelakangi terjadinya

kecelakaan lalu lintas menjadi :

1. Tabrakan depan – depan

Adalah jenis tabrakan antara dua kendaraan yang tengah melaju dimana keduanya saling beradu muka dari arah yang berlawanan, yaitu bagian depan kendaraan yang satu dengan bagian depan kendaraan lainnya.

2. Tabrakan depan – samping

Adalah jenis tabrakan antara dua kendaraan yang tengah melaju dimana bagian depan

kendaran yang satu menabrak bagian samping kendaraan lainnya.

3. Tabrakan samping – samping

Adalah jenis tabrakan antara dua kendaraan yang tengah melaju dimana bagian samping kendaraan yang satu menabrak bagian yang lain.

4. Tabrakan depan – belakang

Adalah jenis tabrakan antara dua kendaraan yang tengah melaju dimana bagian depan

kendaraan yang satu menabrak bagian belakang kendaraan di depannya dan kendaraan tersebut berada pada arah yang sama.


(34)

5. Menabrak penyeberang jalan

Adalah jenis tabrakan antara kendaraan yang tengah melaju dan pejalan kaki yang sedang menyeberang jalan.

6. Tabrakan sendiri

Adalah jenis tabrakan dimana kendaraan yang tengah melaju mengalami kecelakaan sendiri atau tunggal.

7. Tabrakan beruntun

Adalah jenis tabrakan dimana kendaraan yang tengah melaju menabrak mengakibatkan terjadinya kecelakaan yang melibatkan lebih dari dua kendaraan secara beruntun.

8. Menabrak obyek tetap

Adalah jenis tabrakan dimana kendaraan yang tengah melaju menabrak obyek tetap dijalan

2.2Perencanaan Geometrik Jalan Raya 2.2.1 Standar Perencanaan

Standar perencanaan adalah ketentuan yang memberikan batasan-batasan dan metode perhitungan agar dihasilkan produk yang memenuhi persyaratan. Standar perencanaan geometrik untuk ruas jalan di Indonesia biasanya menggunakan


(35)

peraturan resmi yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga tentang perencanaan geometrik jalan raya. Peraturan yang dipakai dalam studi ini adalah “Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota” yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga dengan terbitan resmi No. 038 T/BM/1997 dan American Association of State Highway and Transportation Officials. 2001 (AASHTO 2001).

2.2.2 Kendaraan Rencana

Kendaraan Rencana adalah kendaraan yang dimensi dan radius putarnya dipakai sebagai acuan dalam perencanaan geometrik. Dilihat dari bentuk, ukuran dan daya dari kendaraan – kendaraan yang menggunakan jalan, kendaraan - kendaraan tersebut dapat dikelompokkan (Bina Marga, 1997).

Kendaraan yang akan digunakan sebagai dasar perencanaan geometrik disesuaikan dengan fungsi jalan dan jenis kendaraan yang dominan menggunakan jalan tersebut. Pertimbangan biaya juga tentu ikut menentukan kendaraan yang dipilih sebagai perencanaan.

Kendaraan Rencana dikelompokkan ke dalam 3 kategori antara lain:

1) Kendaraan Kecil, diwakili oleh mobil penumpang.

2) Kendaraan Sedang, diwakili oleh truk 3 as tandem atau oleh bus besar 2 as. 3) Kendaraan Besar, diwakili oleh truk semi-trailer.


(36)

Tabel 2.3 Dimensi Kendaraan Rencana KATEGORI KENDARAAN RENCANA DIMENSI KENDARAAN (cm) TONJOLAN (cm) RADIUS PUTAR (cm) RADIUS TONJOL AN (cm) Ting gi Leba r Panja ng Depa n Belaka ng

Minimum Maksim um Kendaraan

Kecil

130 210 580 90 150 420 730 780

Kendaraan Sedang

410 260 1210 210 240 740 1280 1410

Kendaraan Besar

410 260 2100 1200 900 2900 14000 1370

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997.

2.2.3 Volume Lalu – Lintas Rencana

Volume lalu lintas menunjukkan jumlah kendaraan yang melintasi satu titik pengamatan dalam satu satuan waktu (hari, jam, menit). Volume lalu lintas yang tinggi membutuhkan lebar perkerasan jalan lebih besar sehingga tercipta kenyamanan dan keamanan dalam berlalu lintas. Sebaliknya jalan yang terlalu lebar untuk volume lalu lintas rendah cenderung membahayakan karena pengemudi cenderung mengemudikan kendaraannya pada kecepatan yang lebih


(37)

tinggi sedangkan kondisi jalan belum tentu memungkinkan. Disamping itu juga mengakibatkan peningkatan biaya pembangunan jalan yang tidak pada tempatnya/ tidak ekonomis (Sukirman, 1994).

Satuan volume lalu lintas yang umum dipergunakan sehubungan dengan penentuan jumlah dan lebar jalur adalah:

1. Lalu lintas harian rata-rata 2. Volume jam perencanaan

2.2.3.1Lalu Lintas Harian Rata-Rata

Lalu lintas harian rata-rata adalah volume lalu lintas rata-rata dalam satu hari (Sukirman,1994). Cara memperoleh data tersebut dikenal dua jenis lalu lintas harian rata-rata, yaitu lalu lintas harian rata-rata tahunan (LHRT) dan lalu lintas harian rata-rata.

LHRT adalah jumlah lalu lintas kendaraan rata-rata yang melewati satu jalur jalan selama 24 jam dan diperoleh dari data selama satu tahunan penuh..

LHRT =

365

intasdalamSatuTahun L

Lalu Jumlah

………...………...2.1

Sedangkan LHR adalah hasil bagi jumlah kendaraan yang diperoleh selama pengamatan dengan lamanya pengamatan,


(38)

LHR =

tan

tan int

Pengama Lamanya

Pengama Selama

as L Lalu Jumlah

……….2.2

Data LHR ini cukup teliti jika :

1. Pengamatan dilakukan pada interval-interval waktu yang cukup menggambarkan fluktuasi arus lalu lintas selama satu tahun.

2. Hasil LHR yang dipergunakan adalah harga rata-rata dari perhitungan LHR beberapa kali

2.2.3.2Volume Jam Perencanaan (VJR)

Volume jam perencanaan (VJR) adalah volume lalu lintas per jam yang dipergunakan sebagai dasar perencanaan (Sony Sulaksono, 2001). Volume ini harus mencerminkan keadaan lalu lintas sebenarnya tetapi biasanya tidak sama dengan volume terbesar atau arus tersibuk yang akan melewatinya, perencanaan berdasarkan volume terbesar ini akan mengahasilkan konstruksi yang boros yang hanya akan berguna pada arus maksimum dan ini terjadi dalam kurun waktu singkat dalam sehari.

Volume lalu lintas untuk perencanaan geometrik umumnya ditetapkan dalam Satuan Mobil Penumpang (SMP) sehingga masing – masing jenis kendaraan yang diperkirakan yang akan melewati jalan rencana harus dikonversikan kedalam satuan tersebut dengan dikalikan nilai ekivalensi mobil penumpang (emp). Besarnya faktor ekivalensi tersebut, dalam perencanaan


(39)

geometrik jalan antar kota ditentukan pada tabel di bawah ini: Tabel 2.4 Ekivalen Mobil Penumpang (emp)

NO JENIS KENDARAAN DATAR/

PERBUKITAN

PEGUNUNGAN

1 Sedan, Jeep, Station Wagon 1,0 1,0

2 Pick-Up, Bus Kecil, Truck Kecil 1,2-2,4 1,9-3,5

3 Bus dan Truck Besar 1,2-5,0 2,2-6,0

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997.

Besarnya volume jam perencanaan ditentukan dengan persamaan:

VJR = VLRH x

F K

………...…2.3

Dimana : VJR = Volume Jam Perencanaan (smp/jam)

VLRH = Volume Lintas Harian Rata – rata Tahunan (smp/jam)

K = Faktor K, faktor volume lalu lintas jam tersibuk dalam setahun

F = Faktor variasi volume lalu lintas dalam satu jam tersibuk (Peak Hour Faktor / PHF)


(40)

sedangkan untuk jalan antar kota disesuaikan dengan besarnya VLHR seperti pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.5 Penentuan faktor-K dan faktor-F berdasarkan Volume Lalu Lintas Harian Rata-rata

VLHR FAKTOR K

(%)

FAKTOR F (%)

> 50.000 4 - 6 0,9 - 1

30.000 – 50.000 6 - 8 0,8 - 1

10.000 – 30.000 6 - 8 0,8- 1

5.000 – 10.000 8 - 10 0,6 – 0,8

1.000 – 5.000 10 - 12 0,6 – 0,8

< 1.000 12 - 16 < 0,6

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997.

2.2.4 Kecepatan Rencana

Kecepatan adalah besaran yang menunjukkan jarak yang ditempuh kendaraan dibagi waktu tempuh, biasanya dinyatakan dalam km/jam.

Kecepatan Rencana adalah kecepatan yang dipilih untuk keperluan perencanaan setiap bagian jalan raya seperti tikungan, kemiringan jalan, jarak


(41)

pandang dan lain- lain (Sukirman, 1994).

Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya kecepatan rencana adalah keadaan terrain apakah datar, berbukit atau gunung. Untuk menghemat biaya tentu saja perencanaan jalan sepantasnya disesuaikan dengan keadaan medan. Suatu jalan yang ada di daerah datar tentu saja memiliki design speed yang lebih tinggi dibandingkan pada daerah pegunungan atau daerah perbukitan.

Adapun faktor - faktor yang mempengaruhi kecepatan rencana antara lain:

a) Topografi ( Medan )

Untuk perencanaan geometrik jalan raya, keadaan medan memberikan batasan

kecepatan terhadap kecepatan rencana sesuai dengan medan perencanaan

( datar, berbukit, dan gunung ).

b) Sifat dan tingkat penggunaan daerah

Kecepatan rencana untuk jalan - jalan arteri lebih tinggi dibandingkan jalan

kolektor.Untuk kondisi medan yang sulit, kecepatan rencana suatu segmen jalan dapat diturunkan dengan syarat bahwa penurunan tersebut tidak lebih dari 20 km/jam (Bina marga 1997).


(42)

Tabel 2.6 Kecepatan Rencana, VR, Sesuai Klasifikasi Fungsi dan Kiasifikasi Medan Jalan

Fungsi Kecepatan Rencana, VR (Km/Jam)

Datar Bukit Pegunungan

Arteri 70 - 120 60 - 80 40 - 70

Kolektor 60 - 90 50 - 60 30 - 50

Lokal 40 - 70 30 - 50 20 - 30

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997.

2.3Elemen Perencanaan Geometrik Jalan 2.3.1 Penampang Melintang Jalan

Penampang melintang jalan adalah potongan suatu jalan secara melintang tegak lurus sumbu jalan (Sukirman, 1994). Bagian-bagian penampang melintang jalan yang terpenting dapat dibagi menjadi :

1. Jalur lalu lintas 2. Lajur

3. Bahu jalan 4. Selokan 5. Median


(43)

7. Lereng

Bagian-bagian penampang melintang jalan ini dan kedudukannya pada penampang melintang terlihat seperti pada gambar 2.1

Gambar 2.1 Penampang Melintang Jalan

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997.

a) DAMAJA (Daerah Manfaat Jalan)

DAMAJA (Daerah Manfaat Jalan) adalah daerah yang dibatasi oleh batas ambang pengaman konstruksi jalan di kedua sisi jalan, tinggi 5 meter di atas


(44)

permukaan perkerasan pada sumbu jalan, dan kedalaman ruang bebas 1,5 meter di bawah muka jalan.

b) DAMIJA (Daerah Milik Jalan)

DAMIJA (Daerah Milik Jalan) adalah daerah yang dibatasi oleh lebar yang sama dengan Damaja ditambah ambang pengaman konstruksi jalan dengan tinggi 5 meter dan kedalaman 1.5 meter.

c) DAWASJA (Ruang Daerah Pengawasan Jalan)

DAWASJA (Ruang Daerah Pengawasan Jalan) adalah ruang sepanjang jalan di luar DAMAJA yang dibatasi oleh tinggi dan lebar tertentu, diukur dari sumbu jalan

sebagai berikut:

a) jalan Arteri minimum 20 meter b) jalan Kolektor minimum 15 meter c) jalan Lokal minimum 10 meter

Untuk keselamatan pemakai jalan, DAWASJA di daerah tikungan ditentukan oleh jarak pandang bebas.

Gambar 2.2 Penampang Melintang Jalan Dengan Median


(45)

Sumber : Dasar-Dasar Perencanaan Geometrik Jalan,Silvia Sukirman

Gambar 2.3. Penampang Melintang Jalan Tanpa Median

Sumber : Dasar-Dasar Perencanaan Geometrik Jalan,Silvia Sukirman

2.3.1.1Jalur Lalu Lintas

Jalur lalu lintas adalah keseluruhan bagian perkerasan jalan yang diperuntukan untuk lalu lintas kendaraan (Sukirman ,1994).

Lebar jalur lalu lintas (travelled way = carriage way) adalah saluran perkerasan jalan yang digunakan untuk lalu lintas kendaraan yang terdiri dari beberapa jalur yaitu jalur lalu lintas yang khusus diperuntukkan untuk di lewati oleh kendaraan dalam satu arah. Pada jalur lalu lintas di jalan lurus dibuat miring, hal ini diperuntukkan terutama untuk kebutuhan drainase jalan dimana air yang jatuh di atas permukaan jalan akan cepat mengalir ke saluran-saluran pembuangan. Selain itu, kegunaan kemiringan melintang jalur lalu lintas adalah untuk kebutuhan keseimbangan gaya sentrifugal yang bekerja terutama pada tikungan.


(46)

Separator.

Jalur lalu lintas dapat terdiri atas beberapa lajur dengan type anatara lain:

a) 1 jalur-2 lajur-2 arah (2/2 TB) b) 1 jalur-2 lajur-l arah (2/1 TB) c) 2 jalur-4 1ajur-2 arah (4/2 B) d) 2 jalur-n lajur-2 arah (n/2 B) Keterangan: TB = tidak terbagi.

B = terbagi

Gambar 2.4 Jalan 1 Jalur-2 Lajur-2 Arah (2/2 TB)

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997.


(47)

Gambar 2.5 Jalan 1 Jalur-2 Lajur-l Arah (2/1 TB)

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997.

Gambar 2.6 Jalan 2 Jalur-4 Lajur-2 Arah (4/2 B)

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997.


(48)

Tabel 2.7 Penentuan Lebar Jalur dan Bahu jalan VLHR

(smp/jam)

ARTERI KOLEKTOR LOKAL

Ideal Minimum Ideal Minimum Ideal Minimum

Lebar Jalur (m) Lebar Bahu (m) Lebar Jalur (m) Lebar Bahu (m) Lebar Jalur (m) Lebar Bahu (m) Lebar Jalur (m) Lebar Bahu (m) Lebar Jalur (m) Lebar Bahu (m) Lebar Jalur (m) Lebar Bahu (m)

< 3000 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,0 4,5 1,0

3000 –

10.000

7,0 2,0 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,0

10.001– 25.000

7,0 2,0 7,0 2,0 7,0 2,0 **) **) - - - -

>25.000 2n x 3,5*)

2,5 2 x 7,0*)

2,0 2n x 3,5*)

2,0 **) **) - - - -

Keterangan: **) = Mengacu pada persyaratan

*) = 2 jalur terbagi, masing – masing n × 3, 5m, dimana n jumlah lajur per jalur

- = Tidak ditentukan

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997.


(49)

2.3.1.2Lajur

Lajur adalah bagian jalur lalu lintas yang memanjang, dibatasi oleh marka lajur jalan, memiliki lebar yang cukup untuk dilewati suatu kendaraan bermotor sesuai kendaraan rencana. Lebar lajur tergantung pada kecepatan dan kendaraan rencana (Jotin Khisty, 2003).

2.3.1.2.1 Lebar Lajur Lalu Lintas

Lebar lajur lalu lintas merupakan bagian yang paling menentukan lebar melintang jalan secara keseluruhan (Sukirman, 1994). Besarnya lebar lajur lalu lintas hanya dapat ditentukan dengan pengamatan langsung dilapangan karena :

a. Lintasan kendaraan yang satu tidak mungkin akan dapat diikuti oleh lintasan kendaraan lain dengan tepat.

b. Lajur lalu lintas mungkin tepat sama degan lebar kendaraan maksimum. Untuk keamanan dan kenyamanan setiap pengemudi membutuhkan ruang gerak antara kendaraan.

c. Lintasan kendaraan tidak mengkin dibuat tetap sejajar sumbu lajur lalu lintas, karena selama bergerak akan mengalami gaya – gaya samping seperti tidak ratanya permukaan, gaya sentritugal ditikungan, dan gaya angin akibat kendaraan lain yang menyiap.

Lebar lajur lalu lintas merupakan lebar kendaraan ditambah dengan ruang bebas antara kendaraan yang besarnya sangat ditentukan oleh keamanan dan


(50)

kenyamanan yang diharapkan. Pada jalan lokal (kecepatan rendah) lebar jalan minimum 5,50 m (2 x 2,75) cukup memadai untuk jalan 2 jalur dengan 2 arah.

Dengan pertimbangan biaya yang tersedia, lebar 5 m pun masih diperkenankan.Jalan arteri yang direncanakan untuk kecepatan tinggi, mempunyai lebar lajur lalu lintas lebih besar dari 3,25 m sebaiknya 3,50 m.

Tabel 2.8 Lebar Lajur Jalan Ideal

FUNGSI KELAS LEBAR LAJUR

IDEAL (m)

Arteri I

II, III A

3,75 3,50

Kolektor III A, III B 3,00

Lokal III C 3,00

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997.

2.3.1.2.2 Jumlah Lajur Lalu Lintas

Banyak lajur yang dibutuhkan sangat tergantung dari volume lalu lintas yang akan memakai jalan tersebut dan tingkat pelayanan jalan yang diharapkan.Empat lajur untuk satu arah untuk pada jalan tunggal adalah patokan maksimum yang diterima secara umum.Tetapi AASHTO 2001 memberikan sebuah kemungkinan terdapatnya


(51)

16 lajur pada jalan 2 arah terpisah.Kemiringan melintang jalur lalu lintas jalan lurus diperuntukkan untuk kebutuhan drainase jalan (Jotin Khisty, 2003). Air yang jatuh di atas permukaan jalan supaya cepat dialirkan ke saluran – saluran pembuangan. Kemiringan melintang jalan normal dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 2.7 Kemiringan melintang jalan normal

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997.

2.3.1.3Bahu Jalan

Bahu jalan atau tepian jalan adalah bagian jalan yang terletak di antara tepi jalan lalu lintas dengan tepi saluran, parit, kreb atau lereng tepi (Clarkson H.Oglesby,1999). AASHTO menetapkan agar bahu jalan yang dapat digunakan harus dilapisi perkerasan atau permukaan lainyang cukup kuat untuk dilalui kendaraan dan menyarankan bahwa apabila jalur jalan dan bahu jalan dilapisi dengan bahan aspal, warna dan teksturnya harus dibedakan.


(52)

Bahu jalan berfungsi sebagai :

1. Tempat berhenti sementara kendaraan

2. Menghindarkan diri dari saat-saat darurat sehingga dapat mencegah terjadinya kecelakaan

3. Memberikan sokongan pada konstruksi perkerasan jalan dari arah samping agar tidak mudah terkikis

4. Ruang pembantu pada waktu mengadakan pekerjaan parbaikan atau pemeliharaan jalan (Bina Marga, 1997).

2.3.1.3.1 Jenis Bahu Jalan

Berdasarkan tipe perkerasannya, bahu jalan dapat dibedakan atas :

a) Bahu yang tidak diperkeras, yaitu bahu yang hanya dibuat dari material perkerasan jalan tanpa bahan pengikat, bahu ini dipergunakan untuk daerah – daerah yang tidak begitu penting, dimana kendaraan yang berhenti dan mempergunakan bahu tidak begitu banyak jumlahnya.

b) Bahu yang diperkeras, yaitu bahu yang dibuat dengan mempergunakan bahan pengikat sehingga lapisan tersebut lebih kedap air dari pada bahu yang tidak diperkeras. Bahu dipergunakan untuk jalan – jalan dimana kendaraan yang akan berhenti dan memakai bagian tersebut besar jumlahnya


(53)

2.3.1.3.2 Lebar Bahu Jalan

Besarnya lebar bahu jalan dipengaruhi oleh :

a) Fungsi jalan; jalan arteri direncanakan untuk kecepatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan jalan lokal. Dengan demikian jalan arteri membutuhkan kebebasan samping, keamanan, dan kenyamanan yang lebih besar, atau menuntut lebar bahu yang lebih besar dari jalan lokal.

b) Volume lalu lintas; volume lalu lintas yang tinggi membutuhkan lebar bahu yang lebih besar dibandingkan dengan volume lalu lintas yang lebih rendah. c) Kegiatan disekitar jalan.; Jalan yang melintasi daerah perkotaan, pasar,

sekolah, membutuhkan lebat bahu jalan yang lebih besar dari pada jalan yang melintasi daerah rural.

d) Ada atau tidaknya trotoar

e) Biaya yang tersedia; sehubungan dengan biaya pembebasan tanah, dan biaya untuk konstruksi (Jotin Kisty, 2003).

2.3.1.3.3 Lereng Melintang Bahu Jalan

Fungsi lereng melintang perkerasan jalan untuk mengalirkan air hujan sangat ditentukan oleh kemiringan melintang bagian samping jalur perkerasan itu sediri, yaitu kemiringan melintang bahu jalan (Sukirman, 1994). Kemiringan melintang bahu yang tidak baik ditambah pula dengan bahu dari jenis tidak diperkeras akan menyebabkan turunnya daya dukung lapisan perkerasan, lepasnya


(54)

ikatan antara agregat dan aspal yang akhirnya dapat memperpendek umur pelayanan jalan. Untuk itu, haruslah dibuat kemiringan bahu jalan yang sebesar – besarnya tetapi aman dan nyaman bagi pengemudi kendaraan. Kemiringan melintang jalur perkerasan jalan, yang dapat bervariasi sampai 6 % tergantung dari jenis permukaan bahu, intensitas hujan, dan kemungkinan penggunaan bahu jalan. Kemiringan bahu jalan normal antara 3 - 5%. dengan ketentuan seperti gambar di bawah ini.

Gambar 2.8 Bahu Jalan

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997.

Gambar 2.9 Kombinasi Bahu Dengan Trotoar

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997.


(55)

2.3.1.4Median

Median adalah bagian bangunan jalan yang secara fisik memisahkan dua jalur lalu lintas yang berlawanan arah (Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, 2004).

Fungsi median adalah untuk:

a) Memisahkan dua aliran lalu lintas yang berlawanan arah b) Ruang lapak tunggu penyeberang jalan

c) Penempatan fasilitas jalan

d) Tempat prasarana kerja sementara e) Penghijauan

f) Tempat berhenti darurat (jika cukup luas) g) Cadangan lajur (jika cukup luas)

h) Mengurangi silau dari sinar lampu kendaraan dari arah yang berlawanan Median dapat dibedakan atas :

a) Median direndahkan, terdiri atas jalur tepian dan bangunan pemisah jalur yang direndahkan.

b) Median ditinggikan, terdiri atas jalur tepian dan bangunan pemisah jalur yang ditinggikan.

Lebar minimum median terdiri atas jalur tepian selebar 0,25-0,50 meter dan bangunan


(56)

Tabel 2.9 Lebar Minimum Median

Bentuk Median Lebar Minimum

Median Ditinggikan 2,0

Median Direndahkan 7,0

Sumber : Pedoman Konstruksi Bangunan, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah.2004

Gambar 2.10 Median Direndahkan

Sumber : Pedoman Konstruksi Bangunan, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah.2004


(57)

Gambar 2.11 Median Ditinggikan

Sumber : Pedoman Konstruksi Bangunan, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah.2004

2.3.1.5Fasilitas Pejalan Kaki

Pejalan kaki adalah istilah dalam transportasi yang digunakan untuk menjelaskan orang yang berjalan di lintasan pejalan kaki baik dipinggir jalan, trotoar, lintasan khusus bagi pejalan kaki ataupun menyeberang jalan. Untuk melindungi pejalan kaki dalam berlalu lintas, pejalan kaki wajib berjalan pada bagian jalan dan menyeberang pada tempat penyeberangan yang telah disediakan bagi pejalan kaki.

Fasilitas pejalan kaki berfungsi memisahkan pejalan kaki dari jalur lalu lintas kendaraan guna menjamin keselamatan pejalan kaki dan kelancaran lalu lintas.Perlengkapan bagi para pejalan kaki sebagaimana pada kendaraan bermotor


(58)

sangat penting terutama di daerah perkotaan dan untuk jalan masuk ke atau keluar dari tempat tinggal (Clarkson H.Oglesby,1999).

2.3.2 Segmen/ Ruas Jalan 2.3.2.1Panjang Bagian Lurus

Dengan mempertimbangkan faktor keselamatan pemakai jalan, ditinjau dari segi kelelahan pengemudi, maka panjang maksimum bagian jalan yang lurus harus ditempuh dalam waktu tidak lebih dari 2,5 menit sesuai dengan tabel di bawah ini:

Tabel 2.10 Panjang Bagian Lurus Maksimum

Fungsi Panjang Bagian Lurus Maximum

Datar Perbukitan Pegunungan

Arteri 3.000 2.500 2.000

Kolektor 2.000 1.750 1.500

Sumber :Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997

2.3.2.2 Jarak Pandang

Jarak pandang adalah jarak dimana pengemudi dapat melihat benda yang menghalanginya, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak dalam batas mana pengemudi dapat melihat dan menguasai kendaraan pada satu jalur lalu lintas. Jarak pandang bebas ini dibedakan menjadi dua bagian, yaitu : jarak pandang henti dan jarak pandang mendahului (Sony Sulaksono, 2001).


(59)

2.3.2.2.1 Jarak Pandang Henti ( JPH )

Jarak pandang henti (JPH) adalah jarak yang diperlukan untuk menghentikan kendaraan bila ada suatu halangan di tengah jalan (Sony Sulaksono, 2001).

Tabel 2.11 Persyaratan Jarak Pandangan Henti

VR (Km/Jam) 120 100 80 60 50 40 30 20

Jh minimum (m) 250 175 120 75 55 40 27 16

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997.

2.3.2.2.2 Jarak Pandang Mendahului (JPM)

Jarak pandang mendahului (JPM) adalah jarak yang memungkinkan suatu kendaraan mendahului kendaraan lain di depannya dengan aman sampai kendaraan tersebut kembali ke lajur semula (Bina Marga,1997).

Tabel 2.12 Persyaratan Jarak Pandangan Mendahului

VR (Km/Jam) 120 100 80 60 50 40 30 20

Jd (m) 800 670 550 350 250 200 150 100

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997.


(60)

2.3.2.2.3 Daerah Bebas Samping di Tikungan

Pada saat mengemudikan kendaraan pada kecepatan tertentu, ketersediaan jarak pandang yang baik sangat dibutuhkan apalagi sewaktu kendaraan menikung atau berbelok. Keadaan ini seringkali terganggu oleh gedung-gedung (perumahan penduduk), pepohonan, hutan-hutan kayu maupun perkebunan, tebing galian dan lain sebagainya.Oleh karena itu perlu adanya daerah bebas samping di tikungan untuk menjaga keamanan pemakai jalan (Jotin Khisty,2003).

Daerah bebas samping di tikungan adalah ruang untuk menjamin kebebasan pandang di tikungan sehingga jarak pandangan henti (Jh) dipenuhi. Daerah bebas samping dimaksudkan untuk memberikan kemudahan pandangan di tikungan dengan membebaskan objek-objek penghalang sejauh E (m) diukur dari garis tengah lajur dalam sampai objek penghalang pandangan sehingga persyaratan Jh dipenuhi ( Bina Marga 1997).

Jarak ini diperlukan untuk memenuhi syarat jarak pandang yang besarnya tergantung jari-jari (R), kecepatam rencana (V) dan keadaan lapangan. Terdapat dua kemungkinan keadaan, yaitu :

a) Jarak Pandang < Panjang Tikungan (Jh < Lt)

E = R ( 1 – cos (

R Jh π

0

90

) )...2.4

Dimana : R = Jari – jari tikungan (m)


(61)

Lt = Panjang tikungan (m)

Gambar 2.12. Jarak Pandang < Panjang Tikungan (Jh < Lt)

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997


(62)

Grafik 2.1 Jarak Penghalang (E), Dari Sumbu Lajur Sebelah Dalam


(63)

Tabel 2.13 berisi nilai E (m) untuk Jh<Lt, VR (km/jam) dan Jh (m)

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997


(64)

b) Jarak Pandang > Panjang Tikungan (Jh > Lt)

E = R ( 1 – cos (

R Jh π

0

90

) ) + 2 1

( Jh – Lt ) sin (

R Jh π

0

90

)...2.5

Dimana : R = Jari – jari tikungan (m)

Jh = Jarak pandang henti (m)

Lt = Panjang tikungan (m)

Gambar 2.13. Jarak Pandang > Panjang Tikungan (Jh > Lt)

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997.


(65)

Tabel 2.14 Berisi Nilai E (m) Untuk Jh>Lt, VR (km/jam) dan Jh (m)

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997


(66)

Tabel 2.15 Berisi nilai E (m) Untuk Jh>L, VR (km/jam) dan Jh (m), Dimana Jh - Lt = 50 m.

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997


(67)

2.4Persyaratan Alinemen 2.4.1 Alinemen Vertikal 2.4.1.1Pengertian

Alinemen vertikal adalah proyeksi dari sumbu jalan pada suatu bidang vertikal yang melalui sumbu jalan tersebut.Alinemen vertikal terdiri atas bagian landai vertikal dan bagian lengkung vertikal (Sukirman, 1994). Ditinjau dari titik awal perencanaan, bagian landai vertikal dapat berupa landai positif (tanjakan), atau landai negatif (turunan), atau landai nol (datar).

2.4.1.2Landai Maksimum

Landai Maksimum adalah landai vertikal maksimum dimana truk dengan muatan penuh masih mampu bergerak dengan penurunan kecepatan tidak lebih dari setengah kecepatan awal tanpa penurunan gigi rendah ( Sony Sulaksono, 2001) seperti pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.16 Kelandaian maksimum yang diizinkan

VR (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20

Kelandaian Maksimum (%) 3 3 4 5 8 9 10 10

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997


(68)

2.4.1.3Panjang Kritis

Panjang kritis adalah panjang landai maksimum yang harus disediakan agar kendaraan dapat mempertahankan kecepatannya sedemikian rupa sehingga penurunan kecepatan tidak lebih dari kecepatan rencana (Sony Sulaksono, 2001).Lama perjalanan tersebut tidak boleh lebih dari satu menit.

Tabel 2.17 Panjang Kritis Kecepatan pada awal tanjakan (km/jam)

Kelandaian

4 5 6 7 8 9 10

80 630 460 360 270 230 230 200

60 320 210 160 120 110 90 80

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997

2.4.1.4Lengkung Vertikal

Lengkung vertikal harus disediakan pada setiap lokasi yang mengalami perubahan kelandaian dengan tujuan mengurangi goncangan akibat perubahan kelandaian dan menyediakan jarak pandang henti. Lengkung vertikal terdiri atas lengkung vertikal cembung dan lengkung vertikal cekung (Sony Sulaksono, 2001).

Panjang lengkung vertikal (LV) ditentukan dengan rumus sebagai berikut:


(69)

LV = 405

2 S A

……….………2.6

b. Jika jarak pandang henti lebih bear dari panjang lengkung vertikal cekung. LV = 2 S -

A

405

………..…………2.7

Panjang minimum lengkung vertikal dapat ditentukan dengan rumus:

LV = A Y………..………..2.8

LV = 405

S

………..2.9

Dimana:

LV = Panjang lengkung vertikal (m)

A = Perbedaan grade (m)

S = Jarak pandang henti (m)

Y = Faktor penampilan kenyamanan, didasarkan pada tinggi obyek 10 cm dan tinggi mata 120 cm.Nilai Y ini dapat diperoleh sesuai tabel berikut:


(70)

Tabel 2.18 Penentuan Faktor Penampilan Kenyamanan, Y

Kecepatan Rencana ( km/jam) Faktor Penampilan Kenyamanan, Y

< 40 1,5

40 - 60 3

>60 8

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997

Panjang lengkung vertikal bisa ditentukan langsung sesuai tabel berikut didasarkan pada penampilan,kenyamanan dan jarak pandang.

Tabel 2.19 Panjang Minimum Lengkung Vertikal Kecepatan Rencana

(km/jam)

Perbedaan Kelandaian Memanjang (%)

Panjang Lengkung (m)

< 40 1 20 - 30

40 - 60 0,6 40 - 80

> 60 0,4 80 - 150

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997


(71)

2.4.2 Alinemen Horizontal 2.4.2.1 Pengertian

Alinemen horizontal adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang horizontal. Alinemen horizontal dikenal juga dengan nama “situasi jalan” atau “trase jalan”, yang terdiri dari garis-garis lurus yang dihubungkan dengan garis-garis lengkung. Garis lengkung tersebut dapat terdiri dari busur lingkaran ditambah busur peralihan, busur peralihan saja atau busur lingkaran saja (Sukirman, 1994). Alinemen horizontal terdiri atas bagian lurus dan bagian lengkung (disebut juga tikungan). Perencanaan geometrik pada bagian lengkung dimaksudkan untuk mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima oleh kendaraan yang berjalan pada kecepatan VR.

2.4.2.2Jari - Jari Tikungan

Jari - jari tikungan adalah nilai yang membatasi besar kelengkungan untuk kecepatan rencana tertentu dan ditentukan dari besar superelevasi maksimum dan faktor gesekan samping maksimum yanag dipilih untuk desain ( AASHTO 2001).

Bagian yang sangat kritis pada alinemen horizontal adalah bagian tikungan karena terdapat gaya yang akan melemparkan kendaraan keluar dari tikungan (gaya sentrifugal), hal tersebut harus diimbangi oleh komponen berat kendaraan yang diakibatkan oleh superelevasi dari jalan dan oleh gesekan samping (side friction) antara ban dan permukaan jalan. Hubungan antara kecepatan (V), jari-jari tikungan (R), kemiringan melintang/ superelevasi (e) dan gaya gesek samping antara ban dan


(72)

permukaan jalan (f) didapat dari hukum mekanika F = m.a (Hukum Newton II).Gaya

sentrifugal saat kendaraan bergerak di tikungan dengan persamaan

gR V

G 2

, dimana G

= berat kendaraan dan g = percepatan gravitasi. Dalam hal ini terdapat tiga keadaan keseimbangan, yaitu:

1. Stadium I : Gaya sentrifugal diimbangi gesekan ban Vs perkerasan..

K

Gambar 2.14 Gaya Sentrifugal Diimbangi Gesekan Ban Vs Perkerasan F max

G

FL FR


(73)

Penurunan Rumus:

K = F max FL + FR = K

( NR + NL ) f = m . a

G . f =

g G . R V2 f = R g V . 2

, g = 9,8 2 s m g = 3600 1 1000 98 2 jam km

g = 127.000 2 jam km f = R V . 12700 2

, R dalam satuan meter maka:

f = R V . 0 12700 2 . 1000 1 f = R V . 127 2


(74)

2. Stadium II : Gaya sentrifugal diimbangi hanya dengan kemiringan melintang jalan

Gambar 2.15 Gaya Sentrifugal Diimbangi Hanya Dengan Kemiringan Melintang Jalan

Penurunan Rumus:

F max = K

G sin α = K cos α G sin α = m. a cos α

G sin α =

g G

.

R V2

cos α : G cos α

tg α =

gR V2

, g = 9,8 2 s m

G sin α K cos α

G K


(75)

g = 3600 1 1000 98 2 jam km

g = 127.000

jam km e = R V 000 . 127 2 . 1000 1 e = R V . 127 2

Sumber : Rekayasa jalan,Ir.Sony Sulaksono,M.Sc.

3. Stadium III : Gaya sentrifugal diimbangi dengan gaya gesek dan kemiringan melintang jalan

FR FL

G sin α G

K

α K cosα

G cos α NL


(76)

Gambar 2.16 Gaya Sentrifugal Diimbangi Dengan Gaya Gesek Dan Kemiringan Melintang Jalan

Penurunan Rumus:

F max = K

( FL + FR ) + G sin α = K cos α

( NL + NR ) f + G sin α= K cos α

G cos α. f + G sin α= m . g cos α

G cos α. f + G sin α=

g G

.

R v2

cos α : G cos α.

f + α α cos sin = R g V . 2

, g = 9,8 2 s m g = 3600 1 1000 98 2 jam km

g = 127.000

jam km

f + tg α =

R V 000 127 2 . 1000 1

f + tg α =

R V

127


(77)

f + e = R V 127 2

Sumber : Rekayasa jalan,Ir.Sony Sulaksono,M.Sc.

Dari ketiga keseimbangan di atas diperoleh kesimpulan yaitu:

Pada stadium I : Rmin =

fm V

127

2

...2.10

Pada stadium II : Rmin = m e V 127 2 ...2.11

Pada stadium III : Rmin =

) ( 127 2 m m f e V + ………..………..…2.12

Rumus dasar dari kendaraan yang melintasai tikungan menurut bina marga adalah sbb:

e + f =

R V 127 2 ...2.13 Dengan :

e = Superelevasi

f = Faktor gesekan samping V = Kecepatan rencana (km/jam) R = Jari-jari tikungan (m )


(78)

Grafik 2.2 Koefisien Gesekan Melintang Maksimum Untuk Desain

Sumber : Buku Teknik Sipil, Ir. Sunggono KH.

Tabel 2.20 Rekomendasi AASHTO Untuk Koefisien Gesekan Samping

Kecepatan Rencana (mph)

20 30 40 50 60 70 80

Kecepatan Rencana (km/jam)

32 48 64 80 97 113 129

Koefisien 0,17 0,16 0,15 0,14 0,12 0,10 0,08

Sumber: Teknik Jalan Raya, Clarkson H.Oglesby

AASHTO 2001 memberikan rumusan untuk batasan basar jari jari minimum tersebut yaitu:


(79)

Rmin =

) 01

, 0 (

127 max max

2 f e V

+ ...2.14

Dengan :

e = superelevasi

f = faktor gesekan samping

V = kecepatan rencana (km/jam)

R = jari-jari tikungan (m)

Tabel 2.21 Panjang Jari-jari Minimum

VR (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20

Jari-jari Minimum Rmin (m) 600 370 210 110 80 50 30 15

Jari-jari Minimum Tanpa Lengkung Peralihan (m)

2500 1500 900 500 350 250 130 60

Jari-jari Minimum Tanpa Superelevasi (m)

5000 2000 1250 700 - - - -

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997.


(80)

Tabel 2.22 Jari-Jari Minimum Untuk Jalan Luar Kota, Jalan Tol, Jalan Perkotaan Berdasarkan Nilai e dan f

Kecepatan Rencana (Km/Jam) Superelevasi maximum (%) Koefisien Gesek (f) Total (e/100+f) Radius (m) Radius (Pembulatan) (m)

20 4,0 0,18 0,22 14,5 15

30 4,0 0,17 0,21 33,7 35

40 4,0 0,17 0,21 60,0 60

50 4,0 0,15 0,20 98,4 100

60 4,0 0,15 0,19 149,1 150

70 4,0 0,14 0,18 214,2 215

80 4,0 0,14 0,18 279,8 280

90 4,0 0,13 0,17 375,0 375

100 4,0 0,12 0,16 491,9 490

20 6,0 0,18 0,24 13,1 15

30 6,0 0,17 0,23 30,8 30

40 6,0 0,17 0,23 54,7 55

50 6,0 0,16 0,22 89,4 90

60 6,0 0,15 0,21 134,9 135

70 6,0 0,14 0,20 192,8 195

80 6,0 0,14 0,20 251,8 250

90 6,0 0,13 0,19 335,5 335

100 6,0 0,12 0,18 437,2 435

110 6,0 0,11 0,17 560,2 560

120 6,0 0,09 0,15 755,5 755

130 6,0 0,08 0,14 950,0 950

20 8,0 0,18 0,28 12,1 10

30 8,0 0,17 0,25 28,3 30

40 8,0 0,17 0,25 50,4 50

50 8,0 0,16 0,24 82,0 80

60 8,0 0,15 0,23 123,2 125

70 8,0 0,14 0,22 175,3 175

80 8,0 0,14 0,22 228,9 230

90 8,0 0,13 0,21 303,6 305

100 8,0 0,12 0,20 393,5 395

110 8,0 0,11 0,19 501,2 500

120 8,0 0,09 0,17 666,6 665

130 8,0 0,08 0,18 831,3 830

20 10,0 0,18 0,28 11,2 10

30 10,0 0,17 0,27 26,2 25

40 10,0 0,17 0,27 46,6 45


(81)

60 10,0 0,15 0,25 113,3 115

70 10,0 0,14 0,24 160,7 160

80 10,0 0,14 0,24 209,9 210

90 10,0 0,13 0,23 277,2 275

100 10,0 0,12 0,22 357,7 360

110 10,0 0,11 0,21 453,5 455

120 10,0 0,09 0,19 596,5 595

130 10,0 0,08 0,18 738,9 740

20 12,0 0,18 0,30 19,5 10

30 12,0 0,17 0,29 24,4 25

40 12,0 0,17 0,29 43,4 45

50 12,0 0,16 0,28 70,3 70

60 12,0 0,15 0,27 104,9 105

70 12,0 0,14 0,26 148,3 150

80 12,0 0,14 0,26 193,7 195

90 12,0 0,13 0,25 255,0 255

100 12,0 0,12 0,24 327,9 330

110 12,0 0,11 0,23 414,0 415

120 12,0 0,09 0,21 539,7 540

130 12,0 0,08 0,20 665,0 665

Sumber : A policy on Geometric Design of Highways And Streets, (AASHTO , 2001)

2.4.2.3Menentukan Bentuk Tikungan

Berdasarkan jari-jari tikungan, maka tikungan atau disebut juga lengkung horizontal dapat dibagi dalam 3 (tiga) bentuk yaitu:

1. Bentuk Tikungan Full Circle (FC)

2. Bentuk Tikungan Spiral-Circle-Spiral (S-C-S) 3. Bentuk Tikungan Spiral-Spiral (S-S)


(82)

2.4.2.3.1 Bentuk Tikungan Full Circle (FC)

Bentuk tikungan full circle disebut juga bentuk busur lingkaran sederhana. Bentuk ini dipergunakan hanya pada lengkung yang mempunyai radius besar dan besar sudut tangent yang kecil. Adapun lengkung tikungan full circle seperti gambar 2.17 dibawah ini. Di Indonesia penggunaan bentuk full circle mempunyai batasan-batasan tertentu seperti pada tabel 2.23 di bawah ini.

Gambar 2.17 Lengkung Busur Lingkaran Sederhana (Full Circle)

Sumber : Buku Teknik Sipil, Ir. Sunggono KH.

Tabel 2.23 Batasan-Batasan Dalam Bentuk Full Circle

Kecepatan Rencana (km/jam) Jari – Jari Lengkung Minimum (m)

120 2500

100 1500


(83)

60 500

50 350

40 250

30 130

20 60

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997.

Untuk tikungan yang jari-jarinya lebih kecil daripada harga-harga di atas bentuk tikungan harus dipakai spiral - circle – spiral atau spiral – spiral.

Rumus-rumus untuk full circle menentukan T,L dan E adalah sebagai berikut:

tg 2 1 =

R T

………..…….2.15

Sehingga diperoleh:

T = Rtg 2

1 ………..2.16

E = T tg 4

1 Δ ...2.17

E =

2 1 cos

R

- R ……….…….….2.18

L = 0 360


(84)

L = 0,01745.∆.R………...2.20

Dengan:

P.I = Point of intersection

V = Kecepatan rencana (km/jam) R = Jari-jari (m)

∆ = Sudut tangent (derajat)

TC = Tangent circle CT = Circle tangent

T = Jarak antara TC dan PI (m) L = Panjang bagian tikungan (m) E = Jarak PI ke bentuk lengkung (m)

2.4.2.3.2 Bentuk Tikungan Spiral - Circle - Spiral (S-C-S)

Ketika kendraan memasuki atau meninggalkan lengkungan horizontal melingkar, maka penambahan atau pengurangan gaya sentrifugal tidak dapat tercapai langsung karena faktor keselamatan dan kenyamanan.Dalam hal ini menyisipkan lengkungan transisi antara tangen dan lengkungan melingkar memerlukan pertimbangan (Jotin Khisty,2003).Lengkungan transisi yang dirancang dengan baik mempunyai keuntungan antara lain:


(85)

1. Sebuah rute alamiah dan mudah diikuti oleh pengemudi sehingga gaya sentrifugal meningkat atau berkurang secara bertahap seiiring kendaraan memasuki dan meninggalkan lengkungan melingkar.

2. Superelevasi dapat diatur sesuai keinginan dan lebih mudah. 3. Fleksibilitas dalam pelebaran lengkungan tajam.

4. Tampilan jalan raya yang lebih baik.

Lengkungan spiral merupakan peralihan dari bagian lurus ke bagian circle. Panjang lengkung peralihan (spiral) diperhitungkan dengan mempertimbangkan bahwa perubahan gaya sentripugal dari nol (pada bagian lurus) sampai sebesar :

K = Ls R V M . . 2 ………..…………...…2.21

Menurut Bina Marga 1997 lengkungan spiral dapat ditentukan dengan 3 rumus:

1. Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal

Ls min = 0,022.

C R V3 - 2,727. C K V . …..……….…….…2.22 Dimana:

Ls = Panjang spiral (m)

V = Kecepatan rencana (km/jam)


(86)

C = Perubahan kecepatan

K = Superelevasi

2. Berdasarkan waktu tempuh maksimum di lengkung peralihan

Ls = 6 , 3 V .T………..………2.23

Dimana: T = waktu tempuh pada lengkung peralihan, ditetapkan 3 detik.

V = kecepatan rencana (km/jam).

3. Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian

Ls = e n m r V e e 6 , 3 ). ( − ………..……2.24

Dimana: V = kecepatan rencana (km/jam)

em = superelevasi maximum

en = superelevasi normal

re = tingkat pencapaian perubahan kemiringan melintang jalan (%/detik)

Untuk VR ≤ 70 km/jam, re-max = 0.035 %/detik


(87)

Selain ketiga rumus diatas, untuk tujuan praktis Ls dapat ditetapkan dengan menggunakan tabel 2.24

Tabel 2.24 Panjang Lengkung Peralihan (Ls) dan Panjang Pencapaian Superelevasi (Le) Untuk Jalan l Jalur-2 Lajur-2 Arah.

VR (km/jam) Superelevasi (%)

2 4 6 8 10

Ls Le Ls Le Ls Le Ls Le Ls Le 20

30

40 10 20 15 25 15 25 25 30 35 40

50 15 25 20 30 20 30 30 40 40 50

60 15 30 20 35 25 40 35 50 50 60

70 20 35 25 40 30 45 40 55 60 70

80 30 55 40 60 45 70 65 90 90 120

90 30 60 40 70 50 80 70 100 100 130 100 35 65 45 80 55 90 80 110 110 145 110 40 75 50 85 60 100 90 120 - - 120 40 80 55 90 70 110 95 135 - -

Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997.


(88)

Menurut AASHTO 2001 lengkung spiral dapat ditentukan dengan rumus:

Ls =

C R

V3

0214 , 0

………..2.25

Dimana: Ls = Panjang minimum lengkung spiral (m) R = Jari – jari tikungan (m)

V = Kecepatan Rencana (km/jam) C = Perubahan Percepatan (1,2 m/s2)

Bentuk tikungan Spiral - Circle - Spiral (S-C-S) dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 2.18. Bentuk Tikungan Spiral - Circle – Spiral ( S – C – S )


(89)

Jari-jari circle yang diambil harus sesuai dengan kecepatan rencana yang ditentukan serta tidak mengakibatkan adanya kemiringan tikungan yang melebihi harga maksimum. Kemiringan tikungan maksimum menurut bina marga dibedakan menjadi 2 (dua) bagian yaitu:

1. Untuk jalan antar kota, kemiringan tikungan maksimumnya 10 % 2. Untuk jalan kota, kemiringan tikungan maksimumnya 8 %

Rumusan-rumusan untuk Spiral - Circle – Spiral (lihat gambar 2.18)

Ts = (R+P) tg 2

1 + K………...…2.26

Es = ∆ + . 2 1 cos ) (R P

-

R………....……….……2.27

∆= ∆−2θs………...……….…...………2.28

Lc = 0 360

.2π.R………...………...……2.29

Yc =

Rc Ls 6 2 ………...……….2.30 Y = Ls Rc L 6 3 ……….….2.31


(90)

Xc = Ls - 2

3

40 Rc

Ls

………...………..2.32

X = L - 2 2

5

40Rc Ls L

………...……….…..2.33

P = Yc – Rc ( 1 – cos θS)……….2.34

K = Xc – Rc sin θ………....2.35

L = Lc + 2.Ls...2.36

Dimana:

P.I = Point of intersection

d = Jarak PI ke PI yang lain (m)

V = Kecepatan rencana (km/jam) ∆ = Sudut tangent (derajat)

R = Jari-jari (m)

θЅ = Sudut lengkung spiral (derajat)

Ls = Panjang lengkung spiral (m)

e = Kemiringan melintang (%)


(91)

D= R 0 4 , 1432 ... 2.37

R atau D yang telah ditetapkan, lihat tabel emax

R atau V didapat : e = ……… (%)

Ls = ……… (m)

Selanjutnya lihat tabel untuk lengkung spiral :

Ls = ……… (m) : didapat harga : θЅ = ………...…(derajat)

R = ……… (m) P = …………...………...… (m)

K =……… (m)

Apabila Lc < 20 m, maka bentuk tikungannya adalah spiral-spiral (S-S). Tabel 2.25 Perhitungan e, b dan Ls mínimum

R dalam meter

Vr = 20 km/jam Vr = 30km/jam Vr = 40km/jam e ( %) b’ (m) Ls

min

e ( %) b’ (m) Ls min

e ( %) b’ (m) Ls min

400 2.0 0.50 25

360 2.7 0.50 25

320 2.5 0.50 25

300 2.7 0.50 25

280 2.9 0.50 25


(92)

200 2.2 0.50 20 4.0 0.75 25

180 2.5 0.50 20 4.4 0.75 30

160 2.8 0.75 20 4.9 0.75 30

140 3.2 0.75 20 5.5 0.75 30

130 3.4 0.75 20 5.8 0.87 30

120 3.7 0.75 20 6.2 1.00 40

100 4.5 1.00 25 7.2 1.00 40

90 5.0 1.00 25 7.6 1.00 40

85 2.0

80 2.1 5.6 1.00 25 8.8 1.25 40

75 2.2

70 2.4 6.3 1.25 30 9.4 1.25 50

65 2.5

60 2.6 1.000 15 7.1 1.25 30 9.9 1.50 50 55 2.8 1.000 15

50 2.9 1.000 15 8.0 1.50 40 1.50 50

45 3.0 1.000 15 8.4 1.50 40 40 3.1 1.500 15 8.9 1.75 40 35 3.2 1.500 20 9.4 2.00 40 30 3.4 1.500 20 9.8 2.25

25 3.5 1.500 20 20 3.6 1.500 20 15 4.0 3.700 20


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Dari pembahasan yang disajikan,maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Perencanaan alinemen horizontal pada semua tikungan yang ditinjau

tidak memenuhi persyaratan Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya.

2. Pada tikungan 1,untuk mengubah keadaan lapangan diman jenis tikungan adalah full circle didapat R = 10,99 m yang tidak memenuhi Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya, dimana tikungan tidak memenuhi ketentuan besar nilai R untuk penggunaan jenis tikungan full circle maka tikungan direncanakan menjadi jenis tikungan spiral - spiral dengan R = 15 m. Kemiringan tikungan maksimum (e max) pada tikungan ini adalah 6,68 %. Untuk ketersediaan jarak pandang pada tikungan 1 tidak memenuhi persyaratan teknis dari hasil perhitungan yang telah dilakukan oleh penulis, ini diperlihatkan diantaranya oleh:

Jh = 40 m

E tersedia = 3,55 m

E perhitungan = 24 m


(2)

Maka tikungan ini tidak layak untuk kondisi jalan sekarang ini dan penghalang yang ada harus ditiadakan.

3. Pada tikungan 2,untuk mengubah keadaan lapangan diman jenis tikungan adalah full circle.didapat R = 8,9 m yang tidak memenuhi Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya, dimana tikungan tidak memenuhi ketentuan besar nilai R untuk penggunaan jenis tikungan full circle maka tikungan direncanakan menjadi jenis tikungan spiral - spiral dengan R = 10 m. Kemiringan tikungan maksimum (e max) pada tikungan ini adalah 9,37 %. Untuk ketersediaan jarak pandang pada tikungan 2 tidak memenuhi persyaratan teknis dari hasil perhitungan yang telah dilakukan oleh penulis, ini diperlihatkan diantaranya oleh:

Jh = 40 m

E tersedia = 3,52 m

E perhitungan = 23 m

R = 8,9 m

Maka tikungan ini tidak layak untuk kondisi jalan sekarang ini dan penghalang yang ada harus ditiadakan.

4. Pada tikungan 3,untuk mengubah keadaan lapangan diman jenis tikungan adalah full circle didapat R = 17,32 m yang tidak memenuhi Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya, dimana tikungan tidak memenuhi ketentuan besar nilai R untuk penggunaan jenis tikungan


(3)

full circle maka alinemen horizontal diubah menjadi jenis tikungan spiral - spiral dengan R = 25 m. Kemiringan tikungan maksimum (e max) pada tikungan ini adalah 7,01 %. Untuk ketersediaan jarak pandang pada tikungan 1 tidak memenuhi persyaratan teknis dari hasil perhitungan yang telah dilakukan oleh penulis, ini diperlihatkan diantaranya oleh:

Jh = 40 m

E tersedia = 6,65 m

E perhitungan = 14 m

R = 17,32 m

Maka tikungan ini tidak layak untuk kondisi jalan sekarang ini dan penghalang yang ada harus ditiadakan.


(4)

5.2 Saran

Ainemen horizontal pada ruas jalan Sembahe – Sibolangit tidak sesuai dengan Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya maka penulis menyarankan:

1. Perlu dilakukan perencanaan ulang alinemen horizontal pada Ruas Jalan Sembahe – Sibolangit.

2. Jika perencanaan ulang tidak dapat dilakukan maka perlu dibuat rambu – rambu lalu lintas untuk pengurangan kecepatan pada Ruas Jalan Sembahe – Sibolangit.

3. Perlunya kesadaran berlalulintas bagi pengemudi agar mematuhi semua rambu yang telah dibuat.

4. Bagi setiap pengendara diharuskan berkendara dengan kecepatan yang telah disesuaikan dan mengatur kecepatan pada daerah rawan kecelakaan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

American Association of State Highway and Transportation Officials. 2001. A policy on Geometric Design for Highways and Streets. Washington DC.

Departemen Pekerjaan Umum. “Pengawasan Alinemen Horizontal Bab XVI”. http:// www. pu.org.id (diakses tanggal 1 oktober 2010)

Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, 2004. Pedoman Konstruksi Bangunan.Jakarta

Direktorat Jenderal Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum. 1997. Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota. Jakarta.

Pujiastutie, Elly Tri. 2006. Pengaruh Geometrik Jalan Pada Kecelakaan Lalu Lintas di Jalan Tol. Semarang. Universitas Diponegoro.

Khisty, Jotin. C. 2003. Dasar – Dasar Rekayasa Transportasi. Jakarta : Erlangga.

Mannering, F. 1990. Principles of Highway Engineering and Traffic Analysis. West Lafayette: Wiley.

Mulyono, Agus Taufik. 2009. Audit Keselamatan Infrastruktur Jalan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Oglesby, Clarkson. H. 1999. Teknik Jalan Raya. Jakarta: Erlangga.


(6)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38. 2004. Tentang Jalan.

Sukirman, S. 1994. Dasar-Dasar Perencanaan Geometrik Jalan. Bandung: Nova.

Sunggono, Ir. 1984. Buku Teknik Sipil. Bandung: Nova.