Kewenagan Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR,DPR,DPD,dan DPRD
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
SRI ANDRIYANI NIM: 1111048000017
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
(2)
(3)
(4)
(5)
i
1. Skripsi ini merupakan hasil asli karya saya yang diajukan untuk
memenuhui salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum
(S.H) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penulisan yang telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa hasil karya saya ini bukan asli karya
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Juni 2015
(6)
ii
NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. x + 73 halaman. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kewenangan legislasi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dibatasi, untuk mengetahui implikasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012, dan mengetahui kewenangan legislasi Dewan Perwakilan Daerah Pasca Regulasi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Latar belakang skripsi ini adalah sebagai salah satu lembaga legislatif dalam parlemen Indonesia selain DPR adalah DPD, namun dalam pelaksanaannya dari mulai pembentukan Dewan Perwakilan Daerah pada amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ketiga hingga saat ini keberadaan DPD tidak begitu nyata karena kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 masih sangat terbatas. Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan sejarah (historical approach), dan pendekatan komparatif (comparative approach). Selanjutnya ada tiga bahan hukkum yang digunakan, yakni bahan hukum primer, sekunder, dan -non-hukum. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pembentukan undang-undang No. 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPD ini telah terjadi inkonstituional baik dalam muatan formil maupun materiil karena undang-undang ini ada yang tidak sesuai dengan UUD 1945 dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012, bahkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang masuk dalam
judicial review di Mahkamah Konstitusi belum juga di revisi sehingga menyulitkan DPD untuk melaksanakan kewenangan legislasinya.
Kata Kunci : Parlemen, Undang-undang, Kewenangan Legislasi
Pembimbing : Dr. H. JM Muslimin, MA.
(7)
iii
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. yang
senantiasa memberikan bimbingan dan petunjuk sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “KEWENANGAN LEGISLASI DEWAN PERWAKILAN DAERAH PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD”. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW.
yang telah membawa umat manusia dari zaman kebodohan kepada zaman yang
penuh dengan ilmu pengetahuan ini. Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak
mendapatkan bantuan, arahan, serta bimbingan dari berbagai pihak, sehingga
dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. Asep Syaifuddin Hidayat, SH., MH. dan Drs. Abu Tahmrin, SH.,
M.Hum. selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Dr. H. JM Muslimin, MA. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
bersedia menjadi pembimbing dalam penulisan skripsi ini dengan penuh
kesabaran dan memberikan masukan serta meluangkan waktunya sehingga
(8)
iv
ilmu pengetahuan yang diberikan dapat bermanfaat bagi penulis.
5. Staf dan pegawai Perpustakaan Fakultas dan Perpustakaan Utama yang telah
menyediakan buku-buku yang lengkap dan bermanfaat untuk menunjang
proses perkuliahan. Serta staf dan pegawai Fakultas Syariah dan Hukum yang
telah membantu penulis dalam perkuliahan baik dalam hal administrasi
maupun hal lainnya.
6. Kedua orang tua tercinta yaitu Ayahanda Nawiri dan Ibunda Asmah. Terima
kasih atas doa, motivasi, dukungan serta kasih sayang yang selama ini
diberikan sehingga penulis dapat melanjutkan pendidikan hingga Perguruan
Tinggi Negeri. Begitu pula dengan kakak-kakak tercinta yaitu Nawiyah,
Munawaroh dan Abdul Ajat. Terima kasih atas dukungan, perhatian dan kasih
sayang kalian kepada adik yang paling kecil ini.
7. Teman-teman seperjuangan Fanny Fatwati Putri, Lisanul Fikri, Waldan
Mufathir, dan Juli Andreansyah yang selama ini telah menjadi sahabat,
keluarga, susah dan senang bersama, serta berjuang bersama. Serta tidak lupa
abang yang selalu menasihati kami ketika kami salah yaitu Muhammad
(9)
v
hukum bisnis yang tidak mungkin disebutkan semua. Terima kasih atas
kebersamaan kalian selama ini dan semoga tali silaturahmi kita tidak terputus.
9. Kawan-kawan, Kanda, Yunda serta Adinda di HMI Komisariat Fakultas
Syariah dan Hukum dan Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum HMI Cabang
Ciputat yang telah menjadi tempat untuk berproses dan memberikan pelajaran
baik dalam organisasi maupun keilmuan.
10.Yunda-yunda yang hebat yaitu, ka Lini, Ka Naila, Ka Zakia, Ka Adis, dan Ka
caca yang telah memberikan banyak ilmu yang bermanfaat bagi penulis dan
tetap menjadi keluarga cemara yang kecil namun bahagia.
11.Yunda-yunda KOHATI Komfaksy, yaitu Ifa’ Afifah, Nurul Rizkillah, Furba Indah, dan lainnya yang telah membantu berbagai hal dan KOHATI Cabang
Ciputat yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat.
12.Adinda-adinda Ilmu Hukum tercinta, yaitu Muhammad Yusuf, Rama, Atma,
Murtadlo, Rajiv, Khaidir Musa, Raden, Ryan, Falah, Wulida, Dina dan
lainnya yang tidak disebutkan satu-persatu. Terima kasih atas kebersamaan
(10)
vi
14.Teman-teman Himpunan Mahasiswa Kota Tangerang Selatan
(HIMAKOTAS), yaitu Sopian Hadi Permana, M. Faisal Husen, Irfan
Zharfandy, Rizki Ahmad, Mutiarani Zahra, dan lain sebagainya. Terima kasih
atas motivasi dan dukungan kalian.
Atas seluruh bantuan dari semua pihak baik material maupun
immaterial, penulis berdoa semoga Allah SWT. memberi balasan yang berlipat.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya
dan bagi pembaca umumnya.
Jakarta, Juni 2015
(11)
vii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIAN UJIAN ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 5
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 5
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ... 7
F. Metodelogi Penelitian ... 9
G. Sistematika Penulisan ... 12
BAB II LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT A. Teori Kedaulatan Rakyat ... 14
B. Teori Keterwakilan ... 18
(12)
viii
B. Konsep Dewan Perwakilan Daerah Pasca Amandemen UUD 1945... 38
BAB IV KEDUDUKAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH SETELAH
PERUBAHAN UNDANG-UNDANG
A. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 ... 45
B. Analisis Kewenangan Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Pasca
Berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 ... 50
C. Penguatan Sistem Bikameral Dalam Tata Negara Indonesia ... 55
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 63
B. Saran ... 65
(13)
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
(selanjutnya disebut: UUD NRI 1945) menyebutkan bahwa Majelis Permusyawaratan
Rakyat (selanjutnya disebut: MPR) terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(selajutnya disebut: DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (selanjutnya disebut: DPD)
yang dipilih langsung melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan
undang-undang.
Hubungan di dalam MPR ini membentuk sistem bikameral yang bertujuan
untuk menciptakan hubungan check and balances di dalam lembaga legislatif itu sendiri. Gagasan ini menghendaki agar parlemen terdiri dari lembaga representasi
politik (political representation) yakni DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan lembaga representasi territorial atau regional (regional representation) yakni DPD (Dewan Perwakilan Daerah).1
Pembentukan DPD ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada
masyarakat daerah untuk berperan aktif di dalam pemerintahan, sejalan dengan ide
1
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Pres, 2011) Cet. Ke-2, h. 68.
(14)
untuk menerapkan otonomi daerah. Tetapi DPD hanya diberi otoritas yang sangat
terbatas, apalagi kalau dibandingkan dengan kekuasaan DPR.2
Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah forum bersama antara DPR dan DPD.
Namun antara DPR dengan DPD terdapat ketimpangan, yaitu pada pasal 22C UUD
1945 menyebutkan bahwa jumlah anggota DPD tidak lebih dari sepertiga anggota
DPR.3 Dan dalam hal kewenangan DPD yang diatur dalam UUD NRI 1945 adalah
sebagai berikut:
(1) DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah.
(2) Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
a. Ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
2
Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, (Jakarta: PT Mizan Pustaka, 2007), h. 372.
3
Yeny AS, Fungsi Legislasi DPD RI Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012, Jurnal Lex Publica, Vol. 1, No. 1, Januari 2014.
(15)
b. Memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN, RUU yang
berkaitan dengan pajak, RUU yang berkaitan dengan pendidikan, dan RUU
yang berkaitan dengan agama.
(3) DPD dapat melakukan pengawasan atas:
a. Pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi dalinnya,
pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan,
dan agama; serta
b. Menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan
pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
Menurut Jimly Asshiddiqie pembahasan mengenai kewenangan DPD dalam
UUD 1945 terlihat jelas bahwa DPD tidak mempunyai kewenangan membentuk
undang-undang, tetapi hanya dapat mengusulkan rancangan undang-undang kepada
DPR. Oleh karena itu, kedudukan DPD hanya bersifat penunjang atau auxiliary
terhadap fungsi DPR di bidang legislasi, sehingga DPD paling jauh hanya sebagai co-legislator, dari pada legislator yang sepenuhnya.4 Kewenangan-kewenangan DPD sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 22 D ayat (1) dan (2) UUD 1945
sangat terbatas dan dapat menyebabkan DPD hanya sebagai formalitas konstitusional
4
Agus Haryadi, Bivitri Susanti, dkk, Bikameral Bukan Federal, (Jakarta: Kelompok DPD di MPR, 2010, cet. Ke-10), h. xvi.
(16)
belaka disebabkan oleh kompromi yang melatarbelakangi pelaksanaan amandemen.5
Mengenai kewenangan legislasi oleh DPD ini sudah diputuskan oleh Mahkamah
Konstitusi (selanjutnya disebut: MK).
Dewan Perwakilan Daerah mengajukan uji materi UU No. 27 tahun 2009
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan undang-undang No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terhadap UUD 1945 ke MK.
Hasil dari uji materi ini adanya Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 yang
memutuskan bahwa DPD mempunyai kedudukan yang sama dengan DPR dan
Presiden untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang tertentu untuk menyusun
program legislasi nasional (prolegnas) di lingkungan DPD dan ikut membahas RUU
tertentu tersebut dari awal hingga akhir tahapan, namun DPD tidak memberi
pengesahan atau persetujuan pada RUU tersebut untuk menjadi UU.
Setelah adanya putusan ini tidak secara serta merta dapat diterapkan dalam
perumusan Undang-undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD (MD3). Pada undang-undang ini kewenangan DPD dalam melakukan legislasi
belum terakomodir dengan baik serta secara kelembagaan DPD masih belum
dianggap menjadi lembaga legislatif oleh DPR. Serta dalam proses pembentukan UU
No.17 Tahun 2014 ini terkesan buru-buru karena sudah berdekatan dengan masa
pemilihan umum 2014.
5
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia), h. 68.
(17)
Oleh sebab itu, penulis bermaksud melakukan penelitian skripsi terhadap
permasalahan kewenangan DPD dengan judul “KEWENANGAN LEGISLASI
DEWAN PERWAKILAN DAERAH PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD”
B. Identifikasi Masalah
Berkaitan dengan kewenangan legislasi Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
sebagaimana yang telah diuraikan diatas, maka penulis menarik beberapa pokok yang
dijadikan permasalahan, yaitu :
1. Berkenaan dengan masih belum jelasnya sistem perwakilan yang dianut
oleh Indonesia;
2. Tentang tugas dan wewenang Dewan Perwakilan Daerah terkait dengan
fungsi legislasi;
3. Kekuasaan pembentukan Undang-undang;
4. Upaya memperluas kewenangan Dewan Perwakilan Daerah;
5. Usul amandemen kelima Undang-Undang Dasar 1945.
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Mengingat kewenangan DPD ada beberapa bagian, oleh karena itu
(18)
kewenangan legislasi DPD pasca berlakunya Undang-undang No. 17 Tahun
2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
2. Rumusan Masalah
Agar penelitian ini berjalan dengan sistematis, maka perlu dibuat rumusan
masalah sebagai berikut:
a. Mengapa kewenangan legislasi Dewan Perwakilan Daerah dibatasi?
b. Bagaimana implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
92/PUU-X/2012?
c. Bagaimana kewenangan legislasi Dewan Perwakilan Daerah pasca
berlakunya UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang dan rumusan masalah, maka disusun
tujuannya sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui kewenangan legislasi Dewan Perwakilan Daerah sampai
dibatasi.
b. Untuk mengetahui implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
92/PUU-X/2012.
c. Untuk mengetahui kewenangan legislasi Dewan Perwakilan Daerah pada
(19)
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk:
a. Manfaat Akademis
Peneltian ini berguna untuk memberikan informasi dan kontribusi bagi
kalangan intelektual, pelajar, praktisi, akademisi, institusi, dan masyarakat
umum tentang fungsi legisalsi DPD di parlemen pasca berlakunya UU No. 17
Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu untuk dijadikan bahan pertimbangan baik
Lembaga Pemerintahan maupun lembaga legislatif di Indonesia.
c. Masyarakat Umum
Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberi penjelasan bagi
masyarakat umum agar senantiasa memiliki perhatian terhadap lembaga
negara ini.
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Dalam penelitian atau pembuatan skripsi, terkadang ada tema yang berkaitan
dengan penelitian yang peneliti teliti sekalipun arah dan tujuan yang diteliti berbeda.
Dari penelitian ini, penulis menemukan beberapa sumber kajian lain yang telah lebih
(20)
Sumber pembahasan ini diambil dari buku Bikameral Bukan Federal penulis Agus Haryadi, Bivitri Susanti, dkk dari kelompok DPD di MPR RI yang membahas
segala permasalahan yang ada di DPD.
Adapun skripsi yang pernah membahas seputar Dewan Perwakilan Daerah
diantaranya adalah:
1. Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Bikameral Di Indonesia,
Penulis Miki Firmansyah dari Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang membahas tentang DPD dalam Hukum
Ketatanegaraan Indonesia dalam ruang lingkup tata negara terkait dengan sistem
bikameral di Indonesia. Sedangkan skripsi yang diteliti oleh penulis adalah
terkait Kewenangan Legislasi Dewan Perwakilan Daerah.
2. Revitalisasi Dewan Perwakilan Daerah Dalam Peningkatan Otonomi Daerah Provinsi Banten, Penulis Ade Nubzatus Tsaniyah dari Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang membahas
tentang usaha penggiatan kembali (Revitalisasi) kewenangan, peran dan fungsi
DPD dalam peningkatan otonomi daerah, terutama Provinsi Banten. Sedangkan
skripsi yang diteliti oleh penulis adalah mengenai kewenangan legislasi oleh
Dewan Perwakilan Daerah dalam lingkup nasional.
3. Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Rancangan Undang-Undang Otonomi Daerah Analisis Putusan MK 92/PUU/-X/2013, Penulis Fikri Abdullah dari Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
(21)
kepentingan daerah, untuk mengefektifkan peran-peran DPD serta
mengembalikan hak-hak konstusional lembaga tersebut kepada Mahkamah
Konstitusi. Sedangkan skripsi yang diteliti oleh penulis adalah setelah adanya
putusan Mahkamah Konstitusi dengan menggunakan Undang-Undang MD3
yang terbaru.
F. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data yang akan dibutuhkan untuk menyusun skripsi ini,
maka penulis menggunakan metode:
1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
Yuridis Normatif (Penelitian Hukum Normatif). Nama lain dari penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum doktriner, juga di sebut dengan penelitian
hukum perpustakaan atau studi dokumen. Disebut penelitian hukum doktriner
karena penelitian ini dilakukan atau ditunjukan hanya pada peraturan-peraturan
yang tertulis atau bahan hukum lain. Sebagai penelitian perpustakaan atau studi
dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang
bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.6
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan penelitian ini adalah:
6
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek (Jakarta: Sinar Grafika, 2008, Cet. Ke-4), h. 13-14.
(22)
a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach)
Bahwa penelitian ini menjadikan peraturan perundang-undangan sebagai
pokok kajian, yaitu peraturan yang berkaitan dengan kewenangan DPD
termasuk di dalamnya dikaji pula putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
92/PUU-X/2012.
b. Pendekatan Sejarah (Historical Approach)
Pendekatan ini dilakukan untuk memahami hukum secara lebih mendalam
tentang suatu sistem atau lembaga, dalam hal ini sejarah mengenai lembaga
perwakilan rakyat di Indonesia yang lebih difokuskan kepada lembaga Dewan
Perwakilan Daerah.
c. Pendekatan Komparatif (Comparative Approach)
Pendekatan ini dilakukan dengan cara mengkaji dan membandingkan
kewenangan legislasi Dewan Perwakilan Daerah dalam parlemen Indonesia
dengan lembaga di negara lain yang mirip dengan Dewan Perwakilan Daerah.
3. Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga jenis, yaitu:
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a) UUD 1945 NRI Tahun 1945
b) Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan
(23)
c) Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD
d) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Peraturan
Perundang-Undangan
e) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari
buku-buku hukum lainnya, Skripsi hukum tata negara, Tesis hukum tata negara,
Disertasi hukum tata negara, dan Jurnal ataupun materi-materi mengenai
hukum yang berkaitan dengan tema Kewenangan Legislasi DPD Pasca
Berlakunya UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
3. Bahan non-hukum
Merupakan bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna
terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Hukum,
Ensiklopedia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Media Massa dan lain-lain.
4. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
maupun bahan non hukum diuraikan dan dihubungan sedemikian rupa, sehingga
ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab
permasalahan yang telah dirumuskan. Cara mengolahnya dengan mengumpulkan
(24)
pendekatan udang-undang, pendekatan sejarah dan pendekatan kasus, kemudian
dihubungkan dengan pendapat para ahli ahli hukum. Dari sini akan ditemukan
jawaban yang berkaitan dengan permasalahan kewenangan legislasi Dewan
Perwakilan Daerah.
G. Sistematika Penulisan
Skripsi disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab.
Masing-masing bab terdiri dari atas beberapa sub, hal ini dapat membantu dan mempermudah
untuk mengetahui dan memahaminya. Adapun sistematika yang dimaksud adalah
sebagai berikut:
BAB I Berisi pendahuluan, yang memuat tentang Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat Penelitian, Tinjauan (Review) Studi Terdahulu, Metode Penelitian, serta Sistematika Penulisan.
BAB II Berisi tentang tinjauan teori yang berisikan Teori Tentang Kontrak Sosial, Teori Tentang Kesejahteraan Masyarakat, Teori Tentang Keterwakilan
dan Teori Tentang Check and Balances.
BAB III Berisi tentang Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah Sebelum Perubahan Undang-Undang yang teridiri atas Konsep Dewan Perwakilan Daerah
Sebelum Amandemen UUD 1945, Konsep Dewan Perwakilan Daerah
(25)
BAB IV Berisi tentang Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah Pasca Perubahan Undang-Undang yang berisikan mengenai Implikasi Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 92/PUU-X 2012, Analisis Kewenangan Legislasi
Dewan Perwakilan Daerah Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta Penguatan
Dewan Perwakilan Daerah Dalam Tata Negara Indonesia.
BAB V merupakan bab Penutup, dalam bab ini akan menguraikan tentang kesimpulan dan saran. Dalam kesimpulan akan diuraikan secara ringkas
mengenai jawaban-jawaban dari pokok permasalahan yang sebagaimana
telah diuraikan pada bab pendahuluan. Kemudian saran yang berisi
masukan-masukan dari penulis terkait dengan kewenangan legislasi
Dewan Perwakilan Daerah pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014. Serta saran penulis mengenai penguatan sistem bikameral di
(26)
BAB II
LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT
A. TEORI KEDAULATAN RAKYAT
Kata kedaulatan berasal dari kata sovereignty (bahasa Inggris), souverainete
(bahasa Prancis), sovranus (bahasa Italia). Kata-kata asing tersebut diturunkan dari kata Latin superanusyang berarti “yang tertinggi” (supreme).1
Jean Bodin orang yang pertama memberi bentuk ilmiah pada teori kedaulatan,
(souvereiniteit). Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi untuk menentukan hukum dan negara. sifat-sifat kedaulatan itu, tunggal, asli, abadi, dan tidak terbagi.2 Jeremy
Bentham menjelaskan bahwa kedaulatan memiliki dua ciri, yaitu, (1) kedaulatan tidak
didapatkan atau diterapkan dengan menunjuk pada moralitas atau prinsip moral.
Kedaulatan semata-mata berdasarkan pada kenyataan sosial, kebiasaan untuk patuh;
dan (2) dalam menganalisis kedaulatan, kuncinya ialah konsep tentang kebiasaan dan
kepatuhan personal.3
Teori-teori yang berkembang terkait kedaulatan diantaranya adalah teori
kedaulatan Tuhan, teori kedaulatan raja, teori kedaulatan negara, teori kedaulatan
hukum, dan teori kedaulatan rakyat.
1Ni’matul Huda,
Ilmu Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 169.
2
Abu Daud Busroh, Ilmu Negara (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010, Cet. Ke-7), h. 69.
3
Efriza, Ilmu Politik: Dari Ilmu Politik Sampai Sistem Pemerintahan, (Bandung: ALFABETA, 2013, cet. Ke-3), h. 58.
(27)
Teori kedaulatan Tuhan mengatakan bahwa kekuasaan tertinggi itu yang
memiliki atau ada pada Tuhan.4 Ajaran ini menganggap Tuhan sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi dalam negara. dalam prakteknya kedaulatan Tuhan ini dapat pula
menjelma dalam hukum yang harus dipatuhi oleh kepala negara atau dapat pula
menjelma dalam kekuasaan raja sebagai kepala negara yang mengklaim wewenang
untuk menetapkan hukum atas nama Tuhan.5
Menurut ajaran Marsillius, raja itu adalah wakil Tuhan untuk melaksanakan
kedaulatan atau memegang kedaulatan di dunia. Karena raja-raja merasa berkuasa
untuk berbuat apa saja menurut kehendaknya dengan alasan bahwa perbuatannya itu
sudah menjadi kehendak Tuhan. Raja merasa tidak bertanggung jawab kepada
siapapun kecuali pada Tuhan. Bahkan raja merasa merkuasa menetapkan kepercayaan
atau agama yang harus dianut oleh rakyatnya atau warga negaranya.6
Teori kedaulatan negara menyatakan bahwa kedaulatan itu tidak ada pada
Tuhan (God-souvereiniteit), tetapi ada pada negara. Negaralah yang menciptakan
hukum, jadi segala sesuatu harus tunduk kepada negara. Negara di sini dianggap
sebagai suatu keutuhan yang menciptakan peraturan-peraturan hukum, jadi adanya
hukum itu karena adanya negara, dan tiada satu hukumpun yang berlaku jika tidak
dikehendaki negara.7
4
Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1981, cet. Ke-2), h. 152.
5
Efriza, Ilmu Politik: Dari Ilmu Politik Sampai …, h. 59.
6Ni’matul Huda, Ilmu Negara,…,
h. 178.
7
(28)
Menurut teori kedaulatan hukum atau Rechts-souvereiniteit segalanya berdasarkan hukum karena yang berdaulat adalah hukum, kekuasaan diperoleh dari
peraturan yang sudah ditetapkan oleh hukum.8 Karena baik raja atau penguasa
maupun rakyat atau warganegara, bahkan negara itu sendiri semuanya tunduk kepada
hukum. Semua sikap, tingkah laku dan perbuatannya harus sesuai atau menurut
hukum.9
Gagasan mengenai konsep kedaulatan rakyat adalah Jean Jacques Rousseau
yang lebih dikenal dengan teori perjanjian masyarakat (Kontrak Sosial). Menurut
Rousseau negara terjadi karena adanya perjanjian dalam masyarakat. Perjanjian itu
timbul disebabkan masyarakat sadar bahwa kepentingan bersama tidak dapat
dilaksanakan sendiri-sendiri.10 Tetapi perlu diingat bahwa yang dimaksud dengan
rakyat oleh Rosseau itu bukan penjumlahan daripada individu-individu di dalam
negara itu, dan yang mempunyai kehendak, kehendak mana diperolehnya dari
individu-individu itu melalui perjanjian masyarakat yang oleh Rosseau kehendak tadi
disebut kehendak umum, yang dianggap mencerminkan kemauan dan kehendak
umum.11
8
Efriza, Ilmu Politik: Dari Ilmu Politik Sampai …, h. 59.
9
Soehino, Ilmu Negara,…, h. 156.
10
Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, (Bandung: Fokus Media, 2003), h. 28.
11
(29)
Yang dimaksud oleh Rosseau dengan kedaulatan rakyat pada prinsipnya
adalah cara atau sistem yang bagaimanakah pemecahan sesuatu soal menurut cara
atau sistem tertentu yang memenuhi kehendak umum. Jadi kehendak umum hanyalah
khayalan saja yang bersifat abstrak, dan kedaulatan adalah kehendak umum.12
Teori kontak sosial ini telah meletakkan landasan yang kuat bagi terbentuknya
konsep Negara dan Pemerintah, serta konsep Kedaulatan Rakyat. Ide kekuasaan ada
ditangan rakyat dan dijalakan pemerintah mulanya dikemukakan oleh Epicurus dan
dikembangkan oleh Marsilius yang menjelaskan proses terciptanya pemerintah
sebagai pelaksana kedaulatan rakyat bermula ketika terjadi penyerahan tugas (Pactum Subjectiones) dalam bentuk konsesi (Consession).13
“Kekuasaan negara yang tertinggi itu ada pada rakyat, sebab rakyatlah yang
berhak membuat peraturan-peraturan hukum atau undang-undang. Hal itu disebabkan karena negara itu merupakan kesatuan dari orang-orang yang bebas, yang merdeka, jadi perimbangan antara kekuasaan rakyat dengan
kekuasaan raja melaksanakan kedaulatan rakyat”.14
Teori tersebut menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, karena
di samping rakyat ada pemerintah. Fungsi pemerintahan adalah melindungi warga
negara dan harta benda yang dimilikinya, mencegah tindakan agresif dari pihak-pihak
yang berkuasa terhadap mereka yang lemah. Berdasarkan hal tersebut,
diwujudkannya melalui lembaga perwakilan rakyat, baik itu Parlemen, Majelis
12
Abu Daud Busroh, Ilmu Negara,…., h. 74.
13
Paimin Napitupulu, Menuju Perwakilan Politik, (Bandung: PT. Alumni, 2007), h. 5.
14
(30)
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Senate, House of Commons, dan lain sebagainya. Lembaga tersebut yang membatasi kekuasaan pemerintah yang mewujudkan
kedaulatan rakyat. Lembaga-lembaga tersebut melakukan kegiatan legislasi, yaitu
mengatur dan membentuk seperangkat peraturan yang mengikat semua pihak, rakyat,
dan pemerintah. Kewajiban pemerintah adalah menjalankan dan menegakkan aturan
tersebut.15
B. TEORI KETERWAKILAN
Alfred de Grazia dalam tulisannya mengenai Perwakilan Politik bahwa
perwakilan diartikan sebagai hubungan di antara dua pihak, yaitu wakil dengan
terwakil di mana wakil memegang kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan
yang berkenaan dengan kesepakatan yang dibuatnya dengan terwakil.16 Dalam hal
melaksanakan kewenangan ini, rakyat yakin nahwa segala kehendak dan
kepentingannya akan diperhatikan di dalam melaksanakan kekuasaan negara. Cara
melaksanakan kekuasaan negara ialah senantiasa mengingat kehendak dan keinginan
rakyat. Jadi, tiap tindakan dalam melaksanakan kekuasaan negara tidak bertentangan
dengan kehendak dan kepentingan rakyat, bahwa sedapat mungkin berusaha
memenuhi segala keinginan rakyat.17
15
Afan Ghaffar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, (Yogyakarta: Pustakapelajar, 2006, Cet. Ke-VI), h. 282.
16
Arbi Sanit, Perwakilan Politik Di Indonesia, (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), h. 1
17
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia 2,
(31)
Teori keterwakilan yang dikembangkan oleh George Jellinek adalah teori
Mandat. 18 Dalam teori mandat, si wakil dianggap duduk di Lembaga Perwakilan
karena mendapat mandat dari rakyat sehingga disebuut mandataris. Ajaran ini muncul
di Prancis sebelum revolusi dan dipelopori oleh Rosseau dan diperkuat oleh Petion.
Sesuai dengan perkembangan zaman, maka teori mandate inipun menyesuaikan diri
dengan kebutuhan zaman. Pertama kali lahir teori mandat ini disebut sebagai:
1. Mandat Imperatif
Menurut ajaran ini si wakil bertugas dan bertindak di Lembaga Perwakilan sesuai
dengan instruksi yang diberikan oleh yang diwakilinya. Si wakil tidak boleh
bertindak diluar instruksi tersebut dan apabila ada hal-hal baru yang tidak
terdapat dalam instruksi tersebut, maka si wakil harus mendapat instruksi baru
yang diwakilinya baru dapat melaksanakannya.
2. Mandat Bebas
Ajaran ini dipelopori oleh Abbe Sieyes di Prancis dan Black Stone di Inggris.
Ajaran ini berpendapat bahwa si wakil dapat berindak tanpa tergantuk instruksi
yang diwakilinya. Menurut ajaran ini si wakil adalah orang-orang yang
terpercaya dan terpilih serta memiliki kesadaran hukum masyarakat yang
diwakilinya, sehingga si wakil dapat bertindak atas nama mereka yang
diwakilinya atau atas nama rakyat.
18
(32)
3. Mandat Representative
Disini si wakil dianggap bergabung dalam suatu Lembaga Perwakilan
(Parlemen). Rakyat memilih dan memberikan mandat pada lembaga
perwakilan (parlemen), sehingga si wakil sebagai individu tidak ada hubungan
dengan pemiliknya apalagi pertanggungjawabannya. Lembaga perwakilan
(parlemen) inilah yang bertanggung jawab kepada rakyat.
Menurut John Stuart Mill, yaitu satu-satunya pemerintahan yang sepenuhnya
dapat memenuhi tuntuan suatu kondisi sosial adalah yang di dalamnya seluruh warga
dapat berpartisipasi; yang setiap partisipasinya berguna, bahkan dalam fungsi publik
yang terkecil; yang di mana pun partisipasinya itu seharusnya besar yang diberikan
tingkat perbaikan umum masyarakat; dan pada akhirnya yang tak lebih diharapkan
adalah pengakuan semua warga negara untuk berbagi kekuasaan memerintah negara.
Namun dalam sebuah masyarakat yang melebihi kota kecil, ketika semua tidak dapat
berpartisipasi secara pribadi dalam segala hal selain hanya pada beberapa bagian
urusan publik yang sangat kecil, tampaknya tipe ideal untuk suatu pemerintahan yang
sempurna haruslah berupa perwakilan.19
C. TEORI LEMBAGA PERWAKILAN
Sistem pemerintahan yang demokratis yang dilaksanakan dalam sistem
perwakilan, keberadaan lembaga perwakilan rakyat dipandang sebagai suatu
19
(33)
keniscayaan dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan ini. Lembaga negara ini
merupakan badan yang berwenang sebagai pelaksana kekuasaan negara dalam hal
menentukan kebijakan umum yang mengikat seluruh rakyat. Lembaga perwakilan
atau lembaga legislatif saat ini banyak negara disebut dengan nama parlemen.20
Perbincangan teoritis mengenai struktur organisasi parlemen ini biasanya
dikenal dengan adanya dua sistem, yaitu sistem unikameral dan bikameral. Sistem
unikameral terdiri atas satu kamar, sedangkan sistem bikameral mempunyai dua
kamar yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri.21
1. Sistem Unikameral
Dalam susunan lembaga perwakilan satu kamar (unikameral) tidak dikenal
dengan adanya kamar (chamber) yang terpisah berupa Majelis Rendah (lower house) dan Majelis Tinggi (upper house). Dalam model unikameral, hanya ada satu kamar di lembaga legislatif. Dalam kutipannya Jimly Ashiddiqie
menyebutkan bahwa majelis legislatif dalam sistem unikameral itu terpusat pada
satu badan legislatif tertinggi dalam struktur negara. isi aturan mengenai tungsi
dan tugas parlemen unikameral ini beragam dan bervariasi dari satu negara ke
negara lain, tetapi pada pokoknya serupa bahwa secara kelembagaan fungsi
20
Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem Bikameral Dalam Parlemen Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), h. 10.
21
(34)
legislatif tertinggi diletakkan sebagai tanggung jawab satu badan tertinggi yang
dipilih oleh rakyat.22
Negara-negara yang berukuran kecil lebih menyukai untuk satu kamar
daripada dua kamar, seperti masalah keseimbangan kekuatan politik sangat kecil
kesulitannya untuk memecahkannya daripada dalam suatu negara besar. Di
negara-negara kesatuan sosialis, sistem bikameral dipandang membawa pada
komplikasi-komplikasi, penundaan-penundaan, dan biaya-biaya, dengan sedikit
kompensasi yang menguntungkan.23
Meskipun mampu menjalankan fungsi legislasi, model unikameral ini
kurang mampu menggagas idealitas fungsi lembaga parlemen. Tanpa kamar
satunya kontrol adalah cabang kekuasaan lainnya. Tanpa mekanisme kontrol
internal tersebut, kualitas fungsi parlemen dalam hal legislasi, representasi,
kontrol, anggran maupun pengisian jabatan publik menjadi berkurang. Namun
demikian, menurut Dahlan Thaib, kelebihan sistem unikameral akan lebih capat
meloloskan undang-undang karena hanya ada satu kamar badan perwakilan.24
Proses legislasi dalam model unikameral pada sistem pemerintahan hanya
menyisakan kemungkinan saling kontrol antara kamar tunggal legislatif dengan
eksekutif. Karena selesai di satu kamar, proses legislasi di lembaga legislatif bisa
22
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013, cet. Ke-2), h.233.
23
Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia ...., h. 59-60
24
(35)
keluar dari kemungkinan terjadinya deadlock antarkamar seperti di sistem bikameral. Tidak hanya itu, jika presiden menolak (veto) rancangan
undang-undang yang telah disetujui lembaga legislatif, penolakan legislatif (override) cukup diputuskan di satu kamar saja. Artinya, proses legislasi dalam sistem
unikameral menjadi lebih sederhana dan cepat jika dibandingkan dengan
lembaga legislatif bikameral.25
2. Sistem Bikameral
Teori klasik Aristoteles dan Polybius yang mengargumentasikam bahwa
pemerintahan yang baik adalah gabunngan antara prinsip demokrasi dan oligarki.
Lalu kemudian, dikemukakan oleh Robert L. Madex, Jeremy Bentham-lah yang
paling pertama mengeluarkan istilah lembaga legislatif bikameral.
Definisi bikameralisme yang dikemukakan oleh Giovani Sartori
sebagaimana yang dikutip oleh Denny Indrayana adalah:26
“Bikameralisme besebrangan dengan unikameralisme, dengan alasan bahwa
dua kamar adalah satu perangkat kontrol yang aman, dan bahwa konsentrasi semua kekuasaan legislatif pada satu lembaga saja tidak hanya berbahaya tetapi juga tidak bijaksana karena dua mata lebih baik daripada hanya satu
mata saja”.
Pilihan atas model dua kamar (bikameral) dalam lembaga perwakilan rakyat
dijelaskan C.F. Strong dengan mengutip pendapat Lord Bryce bahwa no lesson
25
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi…,h. 234.
26
Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945, Antara Mitos dan Pembongkaran, (Jakarta: Mizan, 2007), h. 272.
(36)
of constitutional history bas been more deeply imbided than that which teaches the use of second chamber.27Mengikuti argumentasi itu, Lord Bryce mengatakan bahwa kamar kedua (second chamber) mempunyai empat fungsi, yaitu: (a)
revision of legislation, (b) initiation of noncontroversional bills, (c) delaying
legislation of fundamental constitutional importance so as ‘to enable the opinion
of the nation to be adequately expressed upon it’ dan (d) public debate.28
Dengan adanya kamar kedua, monopoli legislasi dalam satu kamar dapat
dihindari. Karenanya, lembaga legislatif dua kamar mencegah pengesahan
undang-undang secara tergesa-gesa dan tidak direncanakan dengan matang oleh
majelis, perasaan sebagai kekuasaan yang tak terbatas pada pihak satu majelis,
kesadaran sebagai satu-satunya kekuasaan untuk dimintai nasihat dapat
menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan dan tirani, sebaliknya setiap saat harus
ada pusat resistensi terhadap kekuasaan yang dominan dalam suatu negara.29
Bikemeral diartikan sebagai sistem yang terdiri atas dua kamar berbeda dan
biasanya dipergunakan istilah majelis tinggi (upper house) dan majelis rendah (lower house). Masing-masing kamar mencerminkan keterwakilan dari kelompok kepentingan masyarakat baik secara politik, teritorial ataupun fungsional.30
27
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi ..., h. 235.
28
Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem Bikameral Dalam Parlemen Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), h. 15
29
Charles Simabura, Palemen Indonesia: Lintasan Sejarah dan Sistemnya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 10.
30
(37)
Sehingga saat ini sistem bikameral diketegorikan dalam dua kelompok besar,
yaitu bikameral kuat (strong bicameralism) dan bikameral lunak (soft bicameralism). Pada strong bicameralism dalam arti kedua kamar dilengkapi dengan kewenangan yang sama-sama kuat dan saling mengibangi satu sama lain.
Sedangkan soft bicameralism diartikan bahwa kedua kamar tidak memiliki kewenangan yang sama kuat.31
Ada dua alasan para penyusun konstitusi memilih sistem bikameral. Alasan
pertama adalah untuk membangun sebuah mekanisme pengawasan dan
keseimbangan (check and balances) serta untuk pembahasan sekali lagi dalam bidang legislatif. Alasan yang kedua adalah untuk membentuk perwakilan untuk
menampung kepentingan tertentu yang biasanya tidak cukup terwakili oleh
majelis pertama. Secara khusus bikameral telah dipergunakan untuk menjamin
perwakilan yang memadai untuk daerah-daerah di dalam lembaga legislatif.
Hasil dari kesenjangan representasi di majelis kedua amat bervariasi di dalam
berbagai sistem di dunia.32
Menurut Arent Lijphart,33 ada enam perbedaan antara kamar pertama dan
kamar kedua. Dari enam perbedaan tersebut, terdapat tiga hal yang secara khusus
penting dalam membedakan apakah bikameralisme adalah suatu institusi yang
31
Jimly Ashiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Konpress, 2006), h. 186.
32
Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia …, h. 61.
33
(38)
signifikan. ketiga perbedaan yang signifikan tersebut diantaranya adalah,
Pertama, kamar kedua cenderung lebih kecil dari kamar pertama. Kedua, adalah masa jabatan legislatif kamar kedua cenderung lebih lama daripada di kamar
pertama. Ketiga, ciri-ciri umum yang lain dari kamar kedua dipilih dengan cara pemilihan umum bertahap (staggered election)
Sistem bikameral dapat digolongkan sebagai „kuat’ (strong) dan „lunak’
(soft). Dalam membagi antara parlemen kuat dan lemah Arent Lijphart membedakan menjadi tiga ciri sebagai berikut.34 Pertama, kekuasaan yang
diberikan secara formal oleh konstitusi terhadap kedua kamar tersebut. Pola yang
umum terhadap kamar kedua adalah bahwa kamar kedua cenderung subordinat
terhadap kamar kedua. Sebagai contoh, suara negatif (negatives votes) mereka pada pengusulan legislasi seringkali diabaikan oleh kamar pertama, dan dalam
paling banyak sistem parlementer kabinet bertanggungjawab secara ekslusif
kepada kamar pertama.
Kedua, kepentingan politik yang sesungguhnya dari kamar kedua tidak
hanya tergantung dari kekuasaan formalnya (dalam konstitusi), tetapi juga
bagaimana metode seleksi mereka. Semua kamar pertama paling banyak dipilih
secara langsung oleh pemilih, tetapi anggota kamar kedua paling banyak dipilih
secara tidak langsung (biasanya dibawah tingkatan dari pemerintah nasional).
Kamar kedua yang dipilih secara langsung kurang mempunyai legitimasi
34
(39)
demokratis, sehingga pengaruh politik yang sebenarnya diberikan kepada kamar
pemilihnya (popular election). Sebaliknya, pemilihan langsung kamar kedua mungkin akan mengimbangi beberapa tingkat untuk kekuasaan yang dibatasi.
Berdasarkan kedua kriteria diatas, yaitu kekuasaan formal relatif terhadap dua
kamar dan legitimasi demokrasi dari kamar kedua, legislasi bikameral dapat
diklasifikasikan semagai simetris dan asimetris bikameral. Kamar yang secara
simetris adalah bila kekuasaan yang diberikan konstitusi sama atau hanya secara
moderat tidak sama dalam hal ini.
Ketiga, perbedaan yang krusial antara dua kamar legislatif bikameral adalah
kamar kedua mungkin dipilih dengan cara atau desain yang berbeda juga sebagai
perwakilan (overrepresent) minoritas yang tertentu/khusus.
Sistem bikameral dapat digolongkan sebagai „kuat’ atau „lunak’. Andrew S.
Ellis menggolongkannya sebagai berikut.35Dalam sistem yang „kuat’, pembuatan undang-undang biasanya dimulai dari majelis manapun, dan harus
dipertimbangkan oleh kedua kamar majelis dalam forum yang sama sebelum bisa
disahkan. Dalam sistem „lunak’, majelis yang satu memiliki status yang lebih
tinggi dari yang lain. Misalnya majelis pertama mungkin dapat
mengesampingkan penolakan atau amandemen RUU yang diajukan oleh majelis
kedua. Hal ini menyaratkan tingkat dukungan yang lebih tinggi, seperti mayoritas
absolut dari anggota-anggotanya, atau dua pertiga mayoritas dari anggota yang
35
(40)
hadir dan memberikan. Majelis kedua juga bisa dilarang atau dibatasi secara
ketat dalam menolak atau melakukan amandemen RUU Keuangan (money bills). Bila dalam majelis kedua merupakan perwakilan dari daerah-daerah, kekuatan
dari majelis kedua bisa saja, bervariasi tergantung dari apakah RUU yang
diperdebatkan berkaitan langsung dengan daerah-daerah tersebut. Dan sebuah
sesi bersama (joint session) dari kedua majelis dapat digunakan sebagai mekanisme untuk menyelesaikan konflik sehingga sebagian besar anggota dari
majelis kedua memiliki timbangan/porsi yang lebih besar dalam pengambilan
(41)
BAB III
KEDUDUKAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH SEBELUM PERUBAHAN UNDANG-UNDANG
A. KONSEP DEWAN PERWAKILAN DAERAH SEBELUM AMANDEMEN UUD 1945
Lembaga perwakilan daerah sudah pernah terbentuk di Indonesia yang terdapat
dalam konstitusi RIS.1 Pada masa RIS, negara tetap berdasarkan pada Kedaulatan
Rakyat. Pernyataan tersebut dinyatakan dalam Konstitusi RIS pada Pasal 1 ayat (2)
bahwa: Kedaulatan Rakyat dilaksanakan oleh Pemerintah bersama dengan DPR dan
senat. Berdasarkan ketentuan ini rakyat tetap diposisikan sebagai pemilik dan
pemegang kedaulatan, namun kedaulatan rakyat tersebut dilaksanakan oleh
pemerintah bersama dengan DPR dan senat.2
Untuk di bidang legislasi, pasal 127 a Konstitusi RIS menyebutkan bahwa:
kekuasaan perundang-undangan federal dilakukan oleh pemerintah bersama-sama
dengan DPR dan Senat, dan Pasal 128 ayat (1): Usul pemerintah tentang
undang-undang disampaikan kepada DPR dengan amanat presiden dan dikirim serentak
1
Pada tanggal 27 Desember 1945, di Amsterdam, Belanda, menghasilkan sebuah perjanjian antara Indonesia dan Kerajaan Belanda dalam KMB (Konferensi Meja Bundar) yaitu Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan konstitusinya yang disebut Konstitusi RIS. Lihat Charles Simambura,
Palemen Indonesia…, h. 57.
Konstitusi RIS adalah konstitusi negara federasi dengan sistem parlementer, yang sama halnya UUDs 1945, juga masih bersifat sementara. Lihat Hendarmin Ranadireksa, Dinamika Konstitusi Indonesia,
(Bandung: Fokusmedia, 2009, edisi kedua), h. 49.
2
(42)
kepada senat untuk diketahui, Ayat (2): Senat berhak mengajukan usul
undang-undang kepada DPR. Apabila senat menggunakan hak ini, maka hal itu diberitahukan
serentak kepada presiden, dengan menyampaikan salinan usul itu, dan Ayat (4) : DPR
berhak mengajukan usul undang-undang kepada pemerintah.
Berdasarkan ketentuan tersebut, Konstitusi RIS 1949 meneguhkan praktik
pemerintahan parlementer (sistem tanggungjawab menteri) seperti yang termaktub
dalam Maklumat 14 November. Lembaga legislatifnya merupakan badan perwakilan
dengan sistem dua kamar (bicameral system) sehingga fungsi legislasi dilakukan secara bersama-sama antara pemerintah dan DPR serta senat.3
Sesudah reformasi, keinginan membentuk badan legislasi bikameral muncul
berkaitan dengan sistem politik yang sentralistik dan jarang memerhatikan aspirasi
daerah. Lembaga legislatif pada masa lalu cenderung pasif dan tidak memerhatikan
kebijakan pemerintah pusat terutama yang berkaitan dengan daerah. Sehingga sistem
bikameral dimunculkan kembali pada perubahan ke-3 dan ke-4 UUD 1945.4
Gagasan awal yang meyertai perubahan UUD 1945 bertolak dari keinginan
untuk merubah sistem perwakilan dari satu kamar (unicameral system) menjadi sistem dua kamar (Bicameral System). Di banyak negara, dua kamar parlemen dalam sistem bikameral itu terdiri dari Majelis Tinggi (Upper House). Di beberapa negara, majelis rendah biasanya diberi wewenang untuk mengambil prakarsa mengajukan
3
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi,… , h. 115.
4
Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem Biksmeral dalam Parlemen Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), h. 138.
(43)
rencana anggaran dan pendapatan negara, sedangkan Majelis Tinggi berperan dalam
perumusan kebijaksanaan luar negeri. Pada prinsipnya, kedua kamar majelis dalam
sistem bikameral itu memiliki kedudukan yang sederajat. Satu sama lain tidak saling
membawahi, baik secara politik maupun secara legislatif. Undang-undang tidak dapat
ditetapkan tanpa persetujuan bersama yang dilakukan oleh suatu panitia bersama
ataupun melalui sidang gabungan di antara kedua majelis itu.5
Salah satu konsekuensi dari gagasan dua kamar (yang terdiri dari DPR dan
DPD), diperlukan penamaan wadah bagi Badan Perwakilan yang mencerminkan dua
unsur perwakilan tersebut seperti negara-negara yang menganut bicameral system.
Sehubungan dengan itu, maka nama yang digagaskan untuk badan perwakilan dua
kamar di Indonesia adalah tetap menggunakan nama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).6
Perubahan terhadap UUD 1945, dimulai pada tahun 1999, perubahan
konstitusi dalam kerangka reformasi kelembagaan merupakan bagian penting kearah
perwujudan apa yang dikenal sebagai consolidated democrazy.7
Untuk pertama kalinya perubahan UUD 1945 dilakukan pada tangggal 19
Oktober 1999 oleh MPR karena adanya penyimpangan pelaksanaan UUD 1945 pada
masa lalu bukan hanya terjadi karena faktor politik atau kepemimpinan nasional saja
5 Ni’matul Huda,
UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 228.
6
Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia …, h. 4.
7
(44)
namun juga diakibatkan oleh rumusan UUD 1945 yang memberikan peluang untuk
itu. UUD 1945 telah dijadikan instrumen politik yang ampuh untuk membenarkan
berkembangnya otoritarianisme dan menyuburkan praktik-praktik korupsi, kolusi,
dan nepotisme di sekitar kekuasaan presiden.8
Pembahasan perubahan pertama UUD 1945 tentang MPR sebagai salah satu
materi perubahan Undang-Undang Dasar. Pandangan-pandangan umum dari
fraksi-fraksi di MPR menyimpulkan beberapa poin penting dalam rangka menata lembaga
perwakilan. Poin tersebut antara lain:9
1. Reorientasi pelaksanaan kedaulatan rakyat yang selama ini berada di tangan
MPR.
2. Penataan ulang lembaga negara yaitu lembaga tinggi dan lembaga tertinggi
3. Menciptakan hubungan yang seimbang dan demokratis (check and balances). 4. Menata ulang struktur MPR yang mulai mengarah pada pemikiran penguatan
peran utusan daerah.
5. Belum membahas konsep parlemen bikameral secara mendalam.
Pembahasan perubahan kedua UUD 1945 dilakukan oleh PAH I BP MPR10.
PAH I bersidang antara 1999 sampai 2000 dan mengadakan sidang sebanyak 51 kali.
8
Charles Simambura, Palemen Indonesia …, h. 77.
9
Charles Simambura, Palemen Indonesia …, h. 82.
10
Panitia Ad Hoc I BP MPR adalah panitia yang disiapkan oleh Badan Pekerja (BP) MPR untuk membahas dan mempersiapkan Rancangan Ketetapan (Rantap) dan Rancangan Keputusan (Rantus) serta acara sidang MPR, Badan Pekerja (BP) MPR terdiri dari 45 orang anggota tetap dan 45 orang anggota pengganti.
(45)
Pembahasan materi perubahan UUD 1945 mulai dilakukan pada rapat ke-3 PAH I
yang dilaksanakan pada 6 Desember 1999 yang dipimpin oleh Ketua PAH I Jakob
Tobing dengan agenda Pengantar Musyawarah fraksi-fraksi.11
Pada perubahan kedua ini, keinginan untuk membentuk lembaga parlemen
dengan sistem bikameral semakin menguat. Terungkap dalam persidangan dan
rapat-rapat yang dilakukan PAH I, lebih menitik beratkan pada pembahasan mengenai
komposisi Majelis Permusyawaratan Rakyat. Perdebatan yang terjadi mengenai
sistem bikameral ini tidak hanya melibatkan anggota PAH I MPR saja, namun juga
mengundang komponen civil society lainnya. Selain itu juga dibahas hasil dan masukan dari daerah tersebut merupakan hasil kunjungan ke beberapa daerah.12
Usulan mengenai pembaharuan kelembagaan MPR di antaranya berupa
penghapusan utusan golongan peninjauan ulang wewenang MPR dan hak-hak
anggota MPR. Usulan tersebut disampaikan oleh F-PDU melalui juru bicaranya
Asnawi Latief meliputi:
Pertama, utusan daerah adalah utusan yang mewakili daerah bukan urusan partai politik, unsur birokrasi tidak boleh menjadi utusan daerah. Utusan daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu yang bersamaan dengan anggota DPR dan DPRD.
Kedua, utusan golongan dihapuskan dari keanggotaan MPR.
Ketiga, MPR hanya dapat melakukan wewenang yang telah tercantum dalam UUD.13
11
Naskah Konferhensif Perubahan UUD 1945Negara Republik Indonesia, Buku III Jilid 1, Sekjen MPR, Jakarta, h. 89.
12
Charles Simambura, Palemen Indonesia …, h. 99.
13
(46)
Pada rapat ke-7 PAH I BP MPR pada tanggal 13 Desember 1999 yang
dipimpin oleh ketua PAH I Jakob Tobing dengan agenda melakukan dengar pendapat
dengan para pakar, antara lain Roeslan Abdulgani, Dr. Pranarka, dan Dahlan
Ranuwihardjo tentang MPR hanya Roeslan Abdulgani yang mengemukakan
pemikirannya:
…kalau utusan daerah dijadikan kuat, maka kita datang pada senat sehingga kita nanti mempunyai bicameral system, satu DPR, satu senat. Yang senat ini adalah terdiri dari, umpamanya dua dari tiap-tiap provinsi atau tiga orang dari tiap provinsi. Tidak melihat besar kecilnya sehingga dengan begitu kita nanti mempunyai bicameral systemyang bisa kita jalankan itu semua…14
Mengenai komposisi MPR Dahlan Ranuwidjoyo pada intinya mengemukakan
bahwa dasar kehadiran utusan golongan adalah untuk mencerminkan representasi
fungsional di samping representasi secara politik yang dimiliki oleh DPR. Begitu pula
dengan utusan daerah kehadirannya dalam rangka mencerminkan keterwakilan secara
teriotorial. Namun demikian, ini tidak berarti dikatakan bikameral karena jika
bikameral kedudukannya sama dan sederajat.15 Dari pemaparan para pakar kelihatan
bahwa komposisi MPR yang terdiri dari DPR ditambah utusan golongan dan daerah
adalah dalam rangka untuk meng-akomodir keterwakilan seluruh rakyat Indonesia
baik secara fungsional, teritorial, dan politik. Namun, desain kelembagaannya tidak
menganut sistem bikameral.16
14
Naskah Konferhensif Perubahan UUD 1945 …, h. 100.
15
Naskah Konferhensif Perubahan UUD 1945 …, h. 104.
16
(47)
Pembahasan mengenai struktur dan komposisi MPR lebih banyak dilakukan
pada rapat ke-33 PAH I BP MPR yang membahas usulan fraksi tentang rumusan
perubahan Bab II. Theo L Sambuaga juru bicara F-PG mengemukakan hal sebagai
berikut.
…Fraksi Partai Golkar ingin mengusulkan agar Majelis Permusyawaratan
Rakyat terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Utusan Daerah dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala… Saudara ketua dan anggota yang terhormat. Dengan sistem parlementer dua kamar (bikameral) sebagaimana yang diusulkan, diharapkan penyelenggaraan kehidupan bernegara akan terselenggara lebih demokratis dan checks and balances lebih terjamin… Selanjutnya kami telah mempersiapkan sistematika baru, yaitu Bab II tentang Sistematika Majelis Permusyawaratan Rakyat, Bab III tentang Sistematika Dewan Perwakilan Rakyat, dan Bab IV tentang Sistematika Dewan Utusan Daerah.17
F-PPP melalui juru bicaranya menyampaikan usulan rumusan mengenai
komposisi Majelis Perwakilan Rakyat sebanyak delapan buah. Khusus usul rumusan
mengenai komposisi MPR menjadi rumusan pertama. Usulan rumusannya berbunyi
bahwa Majelis Perwakilan Rakyat terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
amggota Dewan Utusan Daerah yang masing-masing dipilih melalui pemilihan
umum yang diatur dengan undang-undang.18
Pada pembahasan ketiga Undang-undang Dasar 1945 khusus mengenai materi
tentang MPR pada rapat ke-12, 29 Maret 2001. Pembahasan tersebut ddengan agenda
mendengarkan keterangan tim ahli yakni Nazarudin Syamsudin yang menyatakan:
17
Naskah Konferhensif Perubahan UUD 1945 …, h. 152.
18
(48)
….Kemudian menyangkut Bab II Pasal 2, Perumusan yang dibuat oleh Badan
Pekerja itu kalau kit abaca respons daripada tim secara leeterlijk tulisannya tidak setuju, diganti dengan yang baru. Jadi sana ada ide-ide yang kami sepakati sehingga usul kami adalah sebai berikut: “Majelis Permusyawaratan
Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota dewan
Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum.”19
Selanjutnya, anggota tim ahli yaitu Prof. Jimly Asshiddiqie yang menyatakan
pendapat tentang struktur MPR, bahwa:
Kami berpendapat, pertama, struktur parlemen kita sebaiknya di masa yang akan datang kita kembangkan menjadi bikameral dengan konsekuensi MPR sebagai lembaga tertinggi negara itu mengalami penyesuaian. Majelis Permusyawaratan Rakyat akan menjadi nama dari persidangan bersama antara MPR dan DPD. MPR yang telah menjadi forum tersebut berwenang melakukan dua hal. Jadi masih ada sisa kewenangan yang masih harus diputuskan dalam joint session.20 Artinya MPR merupakan rapat gabungan
dari DPR dan DPD…
Kemudian Maswadi Rauf memberikan tanggapan yang memperjelas
mengenai konsep bikameralisme yang sudah disampaikan. Menurut beliau bahwa:
19
Naskah Konferhensif Perubahan UUD 1945 …, h. 204.
20
Sebagai lembaga gabungan/joint session antara DPR dan DPD, MPR mempunyai konsekuensi atas perubahan dari lembaga permanen, perbedaannya dari lembaga permanen menjadi lembaga gabungan diantaranya adalah:
1) MPR sebagai lembaga permanen
Kepermanenan lembaga MPR ini membawa MPR sebagai institusi yang pada akhirnya akan memiliki perangkat penuh sebagai sebuah lembaga seutuhnya, yaitu:
a) Kelengkapan administrasi dan organisasional anggota individu;
b) Kesekretariatan tersendiri dengan pengurusnya untuk menjalankan fungsinya sebagai sebuah lembaga yang mandiri;
c) Kode etik dan badan kehormatannya sendiri; d) Sistem penggajian anggota (anggaran). 2) MPR sebagai sidang gabungan (joint session)
Pengertian MPR sebagai sidang gabungan adalah bahwa MPR tidak lagi merupakan sebuat lembaga yang bersifat mandiri. Ia hanya forum pertemuan antara dua lembaga negara, yaitu DPD dan DPR. ketika sidang berlangsung, baik anggota DPR dan DPD yang bersidang bersama-sama tersebut, tetap sebagai anggota DPR dan DPD. Mereka tidak tergabung menjadi satu dalam sebuah lembaga lain (MPR). Lihat Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem …, h.175-176.
(49)
…saya ingin mempersoalkan bikameralisme. Kesimpulan yang bisa diambil berdasarkan pendapat sebelumnya adalah bahwa bikameralisme yang strong
itu tidak ada kaitannya dengan bentuk negara. Sehingga meskipun kita negara kesatuan, bikameralisme yang strong lembaga legislatif dengan dua itu masih tetap bisa dibenarkan.
Bagi Indonesia, bikameralisme yang strong ini sebuah kebutuhan yang sangat mendesak, mengingat berbagai macam daerah dengan tingkat perkembangan dengan tingkat kepentingan sehingga sebenarnya bikameralisme yang kuat itu dimaksudkan untuk bisa memperjuangkan lebih baik aspirasi kepentingan yang berkembang di berbagai daerah, sehingga bikameralisme yang kuat ini bisa kita anggap sebagai bagian dari usaha untuk memperkuat negara
kesatuan… karena yang diton-jolkan adalah fungsi, oleh karena itu MPR RI
dimasukkan ke dalam fungsi yang menjalankan fungsi legislasi…21
Dengan demikian, pilihan atas strong bicameral ataupun weak bicameral,
sama sekali tidak ada hubungannya dengan konsep negara kesatuaan. Antara negara
kesatuan maupun negara federal dapat saja menerapkan salah satu pilihan.22
Sesuai dengan kesepakatan awal bahwa perubahan dimaksudkan untuk
meneguhkan sistem pemerintahan presidensial, maka langkah yang ditempuh adalah
memberdayakan keberadaan lembaga perwakilan sebagai perwujudan kedaulatan
rakyat dengan jalan mengubah sistem dan kelembagaan. Di dalam negara yang
menganut sistem presidensial lazimnya kedaulatan rakyat diwujudkan melalui
lembaga perwakilan dengan sistem dua kamar (bicameral system). Oleh karena itu, semua pakar yang menggeluti masalah ketatanegaraan menghendaki bahwa lembaga
21
Naskah Konferhensif Perubahan UUD 1945…, h. 215.
22
(50)
perwakilan yang akan dibentuk setelah proses amandemen terhadap UUD 1945 juga
menganut sistem dua kamar.23
B. KONSEP DEWAN PERWAKILAN DAERAH PASCA AMANDEMEN UUD 1945
Setelah beberapa kali mencoba bentuk pemerintahan dan mengganti konstitusi
di Indonesia. Hingga akhirnya kembali kepada UUD 1945 dan setelah orde baru
berakhir, masyarakat menginginkan adanya reformasi dalam kelembagaan negara
sehingga dilakukannya Amandemen UUD 1945, pada perubahan ketiga UUD 1945
lembaga perwakilan merubah kamarnya dari unikameral menjadi bikameral.
UUD 1945 mengatur hubungan kewenangan dan mekanisme kerja
antarlembaga dalam penyelenggaraan negara. prinsip kedaulatan rakyat yang
terwujud dalam struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan untuk
menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi.24
Pasca amandemen UUD 1945 para ahli berbeda pendapat tentang parlemen
Indonesia, ada yang berargumen bahwa parlemen Indonesia adalah bikameral yang
lemah (weak bicameralism), namun ada pula yang menyatakan Indonesia bukanlah parlemen bikameral, melainkan trikameral. Saldi Israa misalnya berpandangan bahwa
dengan adanya kewenangan yang masih dimiliki MPR, di samping kewenangan
23
Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia…, h. 139.
24
A. M. Fatwa, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009), h. 9.
(51)
konstitusional yang dimiliki DPR dan DPD, maka sebenarnya Indonesia menganut
sistem parlemen tiga kamar.25
Menurut Jimly Asshiddiqie, unsur anggota DPR didasarkan atas prosedur
perwakilan politik (political representation), sedangkan anggota DPD yang merupakan cerminan dari prinsip (regional representation) dari tiap-tiap daerah provinsi.26
Adanya penambahan lembaga perwakilan daerah dimaksudkan untuk:
Pertama, memperkuat ikatan daeraah-daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah; kedua,
meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam
perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan negara dan daerah; dan ketiga,
mendorong percepatan demokrasi, pembangunan, dan kemajuan daerah secara serasi
dan seimbang.27
Berdasarkan landasan konstitusional UUD 1945 NRI Dewan Perwakilan
Daerah memilliki beberapa aturan dasar. Aturan dasar tersebut diantaranya Pasal 1
ayat (1) bahwa MPR terdiri atas anggota-anggota DPR dan anggota-anggota DPD
yang dipilih melalui pemilihan umum. Dalam pasal ini menyatakan bahwa adalah
posisi anggota DPD juga masuk dalam bagian MPR.
25
Denny Indrayana, Negara Antara Ada dan Tiada: Reformasi Hukum dan Ketatanegaraan, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2008), h. 16
26
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, (Yogyakarta: FH UII Press, 2005), h. 38 dan 49.
27
(52)
Selanjutnya dalam Pasal 22 C UUD 1945 yang mengatur tentang keanggotaan
serta kedudukan DPD. Disebutkan bahwa ayat (1) Anggota DPD terpilih dari setiap
provinsi melalui pemilihan umum. Ayat (2) Jumlah DPD dari setiap provinsi
jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari sepertiga
jumlah anggota DPR. Ayat (3) DPD bersidang sedikitnya satu kali dalam setahun.
Dan ayat (4) Susunan dan kedudukan DPD diatur dengan undang-undang.
Berbeda dengan DPR yang merupakan representasi jumlah penduduk, DPD
merupakan representasi wilayah provinsi. Banyaknya anggota DPD dari setiap
provinsi ditentukan sebanyak empat orang. Dengan demikian, setiap provinsi tanpa
memandang luas dan kepadatan penduduknya akan mendapat jatah kursi DPD
sebanyak empat orang.28
Kewenangan DPD diatur dalam Pasal 22 D UUD 1945 yaitu ayat (1) DPD
dapat mengajukan kepada DPR Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Ayat
(2) DPD ikut membahas Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta
28
T.A. Legowo, dkk, Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia, (Jakarta: FORMAPPI, 2005), h. 135.
(53)
memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU anggaran pendapatan belanja
negara dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. Selajutnya
ayat (3) DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
mengenai; otonomi daerah, hubungan pusat daerah, pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara dan
undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama serta menyampaikan
hasil pengawasan itu kepada DPR sebagai pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Dan
pada ayat (4) Anggota DPD dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat
dan tata caranya diatur dalam undang-undang.
Kemudian adalah bab tentang Pemilihan Umum pada Pasal 22E yang
mengatur bahwa keanggotaan DPD juga dipilih melalui sistem ini. Yakni pada ayat
(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden
dan Wakil Presiden dan DPRD. Dijelaskan bahwa pada ayat (3) Peserta pemilihan
umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik. Dan pada ayat
(4) Peserta pemilihan untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan. Ayat (3) dan
(4) inilah yang membedakan antara keanggotaan DPR dan DPD bahwa DPR
mewakili partai politik sementara DPD berasal dari perseorangan yang mewakili
daerah konstituen.
Kewenangan DPD juga terkait pengawasan keuangan negara, maka dalam
Pasal 23E ayat (2) disebutkan bahwa Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan
(54)
ayat (1) Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh DPR dengan
memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden.
Selain landasan yuridisnya dari UUD 1945, terdapat beberapa undang-undang
yang mengatur tentang DPD. Diantaranya adalah UU No. 11 Tahun 2012 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan dalam UU No. 27 Tahun 2009
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang direvisi menjadi UU No. 17 Tahun 2014.
Pengaturan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah beriringan dengan tugas
dan fungsinya berdasarkan ketentuan Pasal 22D UUD 1945 yang dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:29
1. Dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang
DPD dapat mengajukan RUU kepada DPR dalam bidang-bidang tertentu yang
berkaitan dengan Otonomi Daerah, Hubungan Pusat dan Daerah, Pembentukan
dan Pemekaran serta Penggabungan Daerah, Pengembangan Sumber Daya Alam
dan Sumber Daya Ekonomi lainnya, Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
2. Ikut membahas Rancangan Undang-Undang
DPD boleh ikut membahas RUU tanpa boleh ikut menetapkan dan memutuskan
RUU menjadi UU. RUU yang bisa diikuti pembahasannya oleh DPD yakni yang
berkaitan dengan Otonomi Daerah, Hubungan Pusat dan Daerah, Pembentukan
dan Pemekaran serta Penggabungan Daerah, Pengelolaan Sumber Daya Alam
dan Sumber Daya Ekonomi lainnya, Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
29
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pascaamandemen Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011) h. 70.
(55)
3. Memberi Pertimbangan
DPD diberi kewenangan untuk memberikan pertimbangan atau RUU yang
berkaitan dengan Rancangan APBN, Pajak, Pendidikan, dan Agama serta
memberikan pertimbangan (diluar RUU) dalam pemilihan anggota Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK)
4. Dapat melakukan Pengawasan
DPD juga dapat melakukan pegawasan dalam pelaksanaan bidang-bidang:
Otonomi Daerah, Hubungan Pusat dan Daerah, Pembentukan dan Pmekaran serta
Penggabungan Daerah, Pengembangan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya
Ekonomi lainnya, Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, APBN, Pajak,
Pendidikan, dan Agama.
Kewenangan-kewenangan yang diatur dalam UUD 1945 masih sangat
terbatas itu menimbulkan konsep bikameral yang lemah (weak bicameralism) karena menempatkan DPD pada persoalan daerah dan hanya sebagai penasihat DPR.30
Kewenangan yang minim tersebut seolah-olah tak bergigi, DPD tidak memiliki posisi
tawar yang kuat dalam mengubah legislasi di negara ini. Jika dibiarkan tanpa ada
upaya pemberdayaan dan perbaikan pendukung legal formalnya lembaga ini, maka
tidak mustahil lembaga ini nantinya hanya sebagai penghias struktur ketatanegaraan
sebagaimana yang dialami oleh Dewan Pertimbangan Agung (DPA) selama ini.31
30
Indra J. Piliang, dkk, Untuk Apa DPD RI, (Jakarta: Kelompok DPD di MPR RI, 2006, Cet. Ke-2), h. 23.
31
(56)
Meskipun dalam bidang pengawasan, keberadaan DPD itu bersifat utama
(main constitutional) yang sama penting dengan DPR, tetapi dalam bidang legislasi, fungsi DPD itu hanyalah sebagai co-legislator disamping DPR. sifat tugasnya di bidang legislasi hanya menunjang (auxiliary agency) tugas konstitusional DPR. Dalam proses pembentukan suatu undang-undang atau legislasi, DPD tidak
mempunyai kekuasaan untuk memutuskan atau berperan dalam proses pengambilan
keputusan sama sekali. Padahal, persyaratan dukungan untuk menjadi anggota DPD
jauh lebih berat daripada persyaratan dukungan menjadi anggota DPR. Artinya,
kualitas legitimasi anggota DPD itu sama sekali tidak diimbangi secara sepadan oleh
kualitas kewenangan sebagai wakil rakyat daerah (regional representatives).32
Fungsi dan kewenangan yang dimiliki sangat terbatas seperti itu maka
sebenarnya DPD dapat dikatakan tidak mempunyai fungsi ketatanegaraan yang
berarti. Peran-perannya yang sering dilakukan untuk menyampaikan aspirasi rakyat
daerah terhadap pusat sebenarnya dapat dilakukan oleh Ormas dan LSM atau media
massa. DPD hanya menjadi penting kalau terjadi sesuatu yang akan jarang terjadi dan
sifatnya insidental berdasarkan UUD 1945, yakni terjadinya perubahan atas UUD
1945 dan terjadinya impeachment terhadap Presiden/Wapres yang prosesnya sampai ke MPR.33
32
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara (Jakarta: Sinar Grafika, 2012, Cet. Ke-2), h.121.
33
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pascaamandemen Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011) h. 72.
(57)
BAB IV
KEDUDUKAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH PASCA PERUBAHAN UNDANG-UNDANG
A. IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 92/PUU-X/2012
Ketentuan Pasal 22D UUD 1945 menempatkan posisi Dewan Perwakilan
Daerah dalam ketatanegaraan Indonesia yang menganut sistem bikameral merupakan
lembaga legislatif. Namun, kewenangan yang diberikan UUD tersebut tidak
menempatkan DPD dalam arti lembaga legislatif yang sesungguhnya melainkan
hanya sebagai penunjang dari lembaga legislatif yang utama yakni DPR.
Kewenangan dimiliki DPD saat ini pernah diteliti oleh salah seorang peneliti
dari Australian National University yaitu Stephen Sherlock. Dia menilai bahwa DPD merupakan contoh yang tidak lazim dalam praktik lembaga perwakilan rakyat dengan
sistem bikameral karena merupakan kombinasi dari lembaga dengan kewenangan
yang amat terbatas dan legitimasi tinggi (represents the odd combination of limited power and high legitimacy). Kombinasi ini menurutnya merupakan contoh yang tidak lazim dalam praktik sistem bikameral mana pun di dunia.1
Pada tahun 2012 yang lalu anggota Dewan Perwakilan Daerah yang diwakili
oleh Irman Gusman, La Ode Ida, dan Gusti Kanjeng Ratu Kemas (selaku pimpinan
1
(58)
DPD RI) mengajukan uji materil Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun1945 ke Mahkamah Mahkamah Konstitusi.
Konsekuensi dari Putusan Mahkamah Konstitusi menimbulkan perubahan atas
kedudukan dan peran DPD. Isi putusan itu diantaranya adalah:2
1) RUU dari DPD setara dengan RUU dari DPR dan Presiden terkait dengan
pengajuan usul RUU, MK memutuskan beberapa hal, yaitu:
a) Kedudukan DPD sama dengan DPR dan Presiden dalam hal mengajukan
RUU,
b) DPD mengusulkan sesuai dengan bidang tugas,
c) DPD dapat mengajukan RUU diluar prolegnas, dan
d) Usul RUU DPD tidak menjadi RUU DPR.
2) Pembahasan RUU dilakukan dengan tiga pihak yang setara (tripartit), yaitu
Presiden, DPR, dan DPD, MK berpendapat bahwa:
a) Pembahasan dari DPD harus diberlakukan sama dengan RUU dari Presiden
dan DPR,
b) Terhadap RUU dari Presiden, Presiden diberikan kesempatan memberikan
penjelasan, sedangkan DPR dan DPD memberikan pandangan,
2
Yenny AS, Fungsi Legislasi DPD RI Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012, Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Januari 2014.
(1)
undangan (P3) dan UU MD3 yang tidak menerapkan putusan MK ini tidak segera di revisi.
B. SARAN
Penulis berharap untuk lembaga perwakilan rakyat segera merevisi UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta UU No. 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan karena berawal dari undang-undang tersebut apa yang sudah di putuskan oleh Mahkamah Konstitusi dapat terealisasi dengan baik. Walaupun masih belum dapat mengesahkan suatu RUU menjadi sebuah RUU yang disepakati bersama antara DPR, DPD, dan Presiden.
Jika pada saat awal perubahan UUD 1945 banyak pihak yang menganggap bahwa suatu sistem strong bicameralism dapat mengarah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi sebuah negara yang Federal, namun kenyataannya sekarang adalah
check and balances sebuah lembaga negara itu baik dilaksanakan guna memperbaiki
sebuah sistem yang dapat saling mengawasi dan tidak ada lembaga yang lebih mendominasi.
Maka dari itu, perlu diadakan perubahan UUD 1945 yang kelima, karena situasi dan kondisi politik saat ini sudah lebih stabil dibanding ketika awal reformasi. Serta urgensinya sebuah format kelembagaan yang baru akan menjadikan Negara Republik Indonesia ini lebih demokratis dan akan mementingkan kepentingan rakyatnya di daerah-daerah sehingga meminimalisir rasa kesenjangan antara masyarakat di daerah maupun di kota.
(2)
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Ashiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konpress. 2006.
_______________. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MK. 2006.
_______________. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945. Yogyakarta: FH UII Press. 2005.
_______________. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Konstitusi Press. 2006.
Daud Busroh, Abu. Ilmu Negara. Cet. Ke-7. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2010.
Efriza. Ilmu Politik: Dari Ilmu Politik Sampai Sistem Pemerintahan. Cet. Ke-3. Bandung: ALFABETA. 2013.
Fatwa, A. M. Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2009.
Ghaffar, Afan. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Cet.IV. Yogyakarta: Pustakapelajar. 2006.
Harahap, Krisna. Konstitusi Republik Indonesia Menuju Perubahan Ke-5. Cet.3 Jakarta: PT. Grafitri Budi Utami. 2009.
Haryadi, Agus, dkk. Bikameral Bukan Federal. Jakarta: Kelompok DPD di MPR. 2010.
(3)
Huda, Ni’matul. UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang. Jakarta: Rajawali Pres. 2008.
_____________. Ilmu Negara.Jakarta: Rajawali Pers. 2010.
Indrayana, Denny. Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran. Jakarta: PT Mizan Pustaka. 2007.
_______________. Negara Antara Ada dan Tiada: Reformasi Hukum dan Ketatanegaraan. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. 2008.
Isra, Saldi. Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. 2010.
Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. Hukum Tata Negara Republik Indonesia 2. cet. Ke-2. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003.
Jaweng, Robert Endi. Mengenal DPD-RI Sebuah Gambaran Awal. Jakarta: Institute For Local Development (ILD). 2005.
Legowo, T.A. dkk, Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia. Jakarta: FORMAPPI. 2005.
Mahfud MD, Moh. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. Jakarta: Rajawali Pers. 2010.
_______________. Perdebatan Hukum Tata Negara: Pascaamandemen Konstitusi. Jakarta: Rajawali Pers. 2011.
Manan, Abdul. Aspek-Aspek Pengubah Hukum. Jakarta: Kencana, 2009.
(4)
Piliang, Indra J. dkk. Untuk Apa DPD RI. Jakarta: Kelompok DPD di MPR RI. 2006.
Purnomowati, Reni Dwi. Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. 2005.
Ranadireksa, Hendarmin. Dinamika Konstitusi Indonesia. Bandung: Fokusmedia, 2009.
Sanit, Arbi. Perwakilan Politik Di Indonesia. Jakarta: CV. Rajawali. 1985.
Simabura, Charles. Palemen Indonesia: Lintasan Sejarah dan Sistemnya. Jakarta: Rajawali Pers. 2011.
Soehino. Ilmu Negara. Cet. Ke-2. Yogyakarta: Liberty. 1981.
Strong, C.F. Konstitusi Konstitusi Politik Modern: Kajian Tentang Sejarah & Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia. Bandung: Nusa Media. 2008.
Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika. 2008.
Yuhana, Abdy. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945. Bandung: Fokus Media. 2003.
Yuliandri. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik. Cet. IV. Jakarta: Rajawali Pers. 2013.
JURNAL:
AS, Yeny. Fungsi Legislasi DPD RI Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/201. Jurnal Lex Publica. Vol. 1. No. 1. Januari 2014.
(5)
PERUNDANG-UNDANGAN:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
WEBSITE:
http://www.dpd.go.id/artikel-dpd-ri-menyelenggarakan-press-gathering-
http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2014/08/15/293135/dpd-ajukan-permohonan-pengujian-uu-md3-ke-mahkamah-konstitusi
http://hukumonline.com/berita/baca/lt5458a152d420b/dpd-berharap-uu-md3-selaras-dengan-putusan-mk
http://civicseducation.files.wordpress.com/2008/03/ruu.jpg
SUMBER LAIN:
Naskah Konferhensif Perubahan UUD 1945 Negara Republik Indonesia. Buku III Jilid 1. Sekjen MPR. Jakarta.
(6)
Naskah Akademik RUU Perubahan Atas UU No. 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Risalah Sidang Rapat Dengar Pendapat DPR Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang-Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD pada Selasa, 20 Mei 2014.
Risalah Sidang DPR Rapat Kerja Panitia Khusus Rancangan Undang-undang Tentang Perubahan Atas UU No. 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD pada Senin, 7 Juli 2014.
Risalah Sidang DPR Rapat Dengar Pendapat Panitia Khusus Rancangan Undang-undang Tentang Perubahan Atas UU No. 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD pada Rabu, 4 Juni 2014.