BAB IV ANALISIS YURIDIS PERJANJIAN KARTEL YANG DILAKUKAN
PERUSAHAAN INDUSTRI MINYAK GORENG SAWIT DI INDONESIA
A. Kasus Posisi Perjanjian Kartel Yang Dilakukan Industri Minyak Goreng
Sawit Di Indonesia
Industri minyak goreng merupakan industri yang memiliki nilai strategis karena berfungsi sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia.
Perkembangan industri minyak goreng di Indonesia telah menempatkan minyak goreng sebagai bahan baku kelapa sawit sebagai komoditi yang paling banyak
dikonsumsi oleh masyarakat saat ini. Hal tersebut disebabkan oleh rendahnya ketersediaan bahan baku selain kelapa sawit.
Selain itu, karakteristik kelapa sawit yang memiliki berbagai macam produk turunan juga telah mempengaruhi perkembangan industri-industri yang
terkait dengan kelapa sawit dan turunannya termasuk diantaranya adalah industri minyak goreng sawit. Namun demikian, struktur pasar industri minyak goreng
yang oligopoli telah mendorong perilaku beberapa pelaku usaha produsen minyak goreng untuk menentukan harga sehingga pergerakan harganya tidak responsif
dengan harga CPO padahal CPO merupakan bahan baku utama dari minyak goreng. Dalam putusan KPPU Nomor 24KPPU-I2009, pergerakan harga yang
tidak responsif inilah yang membuat KPPU mengindikasikan bahwa terdapat pelanggaran Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 11 Undang-Undang No.5 tahun 1999.
Adapun perusahaan-perusahaan industri minyak goreng sawit yang terkena indikasi pelanggaran Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 11 Undang-Undang No.5 Tahun
1999 oleh KPPU adalah: 1.
Terlapor I: PT Multimas Nabati Asahan. Dalam prakteknya, PT Multimas Nabati Asahan melakukan kegiatan produksi dan penjualan antara lain produk
minyak goreng curah dan minyak goreng kemasan dengan merek Sania dan Fortune.
2. Terlapor II: PT Sinar Alam Permai. Dalam prakteknya, PT Sinar Alam
Permai melakukan kegiatan produksi dan penjualan antara lain produk minyak goreng curah dan minyak goreng kemasan dengan merek Sania dan
Fortune. 3.
Terlapor III: PT Wilmar Nabati Indonesia. Dalam prakteknya, PT Wilmar Nabati Indonesia melakukan kegiatan produksi dan penjualan antara lain
produk minyak goreng curah. 4.
Terlapor IV: PT Multi Nabati Sulawesi. Dalam prakteknya, PT Multi Nabati Sulawesi melakukan kegiatan produksi dan penjualan antara lain produk
minyak goreng curah dan minyak goreng kemasan dengan merek Sania dan Fortune.
5. Terlapor V: PT Agrindo Indah Persada. Dalam prakteknya, PT Agrindo Indah
Persada melakukan kegiatan produksi dan penjualan antara lain produk minyak goreng curah.
6. Terlapor VI: PT Musim Mas. Dalam prakteknya, PT Musim Mas melakukan
kegiatan produksi dan penjualan minyak goreng curah.
7. Terlapor VII: PT Intibenua Perkasatama. Dalam prakteknya, PT Intibenua
Perkasatama melakukan kegiatan produksi dan penjualan produk minyak goreng curah.
8. Terlapor VIII: PT Megasurya Mas. Dalam prakteknya, PT Megasurya Mas
melakukan kegiatan produksi dan penjualan antara lain produk minyak goreng curah dan kemasan.
9. Terlapor IX: PT Agro Makmur Raya. Dalam prakteknya, PT Agro Makmur
Raya melakukan kegiatan produksi dan penjualan produk minyak goreng curah.
10. Terlapor X: PT Mikie Oleo Nabati Industri. PT Mikie Oleo Nabati Industri
melakukan kegiatan produksi dan penjualan produk minyak goreng curah dan kemasan dengan merek Sunco, Alibaba dan Tiara.
11. Terlapor XI: PT Indo Karya Internusa. Dalam prakteknya, PT Indo Karya
Internusa melakukan kegiatan produksi dan penjualan produk minyak goreng curah.
12. Terlapor XII: PT Permata Hijau Sawit adalah. Dalam prakteknya, PT Permata
Hijau Sawit melakukan kegiatan produksi dan penjualan antara lain produk minyak goreng curah.
13. Terlapor XIII: PT Nagamas Palmoil Lestari. Dalam prakteknya, PT Nagamas
Palmoil Lestari melakukan kegiatan produksi dan penjualan antara lain produk minyak goreng curah.
14. Terlapor XIV: PT Nubika Jaya. Dalam prakteknya, PT Nubika Jaya
melakukan kegiatan produksi dan penjualan antara lain produk minyak goreng curah.
15. Terlapor XV: PT Smart, Tbk PT Sinar Mas Agro Resources and Technology,
Tbk. Dalam prakteknya, PT Smart, Tbk melakukan kegiatan produksi dan penjualan antara lain produk minyak goreng curah dan kemasan dengan
merek Filma dan Kunci Mas. 16.
Terlapor XVI: PT Salim Ivomas Pratama. Dalam prakteknya, PT Salim Ivomas Pratama melakukan kegiatan produksi dan penjualan antara lain
produk minyak goreng curah dan kemasan merek Bimoli. 17.
Terlapor XVII: PT Bina Karya Prima. Dalam prakteknya, PT Bina Karya Prima melakukan kegiatan produksi dan penjualan antara lain produk minyak
goreng curah dan kemasan dengan merek Tropical, Hemart, Fraiswell dan Forvita.
18. Terlapor XVIII: PT Tunas Baru Lampung, Tbk. Dalam prakteknya, PT Tunas
Baru Lampung, Tbk melakukan kegiatan produksi dan penjualan antara lain produk minyak goreng curah dan kemasan dengan merek Rose Brand.
19. Terlapor XIX: PT Berlian Eka Sakti Tangguh. Dalam prakteknya, PT Berlian
Eka Sakti Tangguh melakukan kegiatan produksi dan penjualan antara lain produk minyak goreng curah.
20. Terlapor XX: PT Pacific Palmindo Industri. Dalam prakteknya, PT Pacific
Palmindo Industri melakukan kegiatan produksi dan penjualan antara lain produk minyak goreng curah.
21. Terlapor XXI: PT Asian Agro Agung Jaya. Dalam prakteknya, PT Asian
Agro Agung Jaya melakukan kegiatan produksi dan penjualan antara lain produk minyak goreng curah dan kemasan merek Camar dan Harumas.
Dalam kasus kartel minyak goreng ini, secara faktual terdapat perbedaan kapasitas produksi antara perusahaan yang menjadi market leader
106
dengan perusahaan yang menjadi follower
107
pada masing-masing segmen produk minyak goreng curah dan minyak goreng kemasan.
Pada segmen minyak goreng curah, kapasitas produksi rata-rata pertahun antara Musim Mas Group dan Wilmar Group selaku market leader relatif sama
yang produknya tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Sedangkan pada segmen minyak goreng kemasan, kapasitas produksi rata-rata pertahun PT Salim
Ivomas Pratama, Wilmar Group, PT Smart, Tbk dan PT Bina Karya Prima selaku market leader
relatif sama. Besaran produksi tersebut terpisah antara perusahaan yang menjadi market leader tidak akan dianalisis sama dengan perusahaan yang
menjadi market follower. Sehingga analisis untuk perusahaan market leader akan berbeda terhadap perusahaan yang menjadi market follower. Hal ini didukung dari
keterangan perusahaan follower yang menyatakan bahwa kebijakan harga akan selalu mengikuti kebijakan harga perusahaan market leader. Hal ini menunjukkan
bahwa ukuran perusahaan minyak goreng relatif setarasama pada di tingkat sesama perusahaan market leader yang mempermudah terjadinya kartel antar
106
Market leader atau disebut juga pimpinan pasar adalah perusahaan yang memegang
bagian terbesar dalam pasar yang memiliki karakteristik memiliki pangsa pasar 40 atau lebih dan menjadi pusat orientasi pesaing untuk diserang, ditiru dan dijauhi.
107
Market follower adalah perusahaan yang mengambil sikap tidak mengusik market leader dan hanya puas dengan cara menyesuaikan diri terhadap kondisi-kondisi pasar. Market
follower ini disebut juga pengikut pasar dan memiliki pangsa pasar yang dikuasai berada pada
kisaran 20.
perusahaan minyak goreng yang menjadi market leader, yang diikuti oleh perusahaan follower.
Tingkat hambatan masuk didalam pasar minyak goreng kemasan relatif tinggi. Hal ini dikarenakan untuk dapat bersaing maka perusahaan membutuhkan
modal yang besar agar dapat mencapai skala ekonomi sehingga dapat bersaing di dalam pasar. Selain itu di dalam memasarkan minyak goreng kemasan,
perusahaan harus mempunyai jalur distribusi untuk memasarkan produknya dan membutuhkan biaya promosi yang tinggi agar dapat dikenal oleh masyarakat.
Tingkat hambatan masuk yang tinggi memperkuat keberadaan kartel karena peluang pendatang baru untuk masuk ke dalam pasar dan merebut pangsa pasar
yang disebabkan penetapan harga yang tinggi. Berdasarkan fakta hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh majelis komisi
KPPU bahwa terdapat hubungan harga CPO di beberapa institusi Rotterdam, Malaysia, Tender KPB, dan Tender PT Astra Agro Lestari dengan harga minyak
goreng yang ditetapkan oleh para terlapor. Hal tersebut terjadi karena setiap transaksi minyak goreng yang dilakukan oleh para terlapor selalu
mempertimbangkan pergerakan harga CPO di beberapa institusi tersebut. Transparansi harga bahan baku minyak goreng dan didukung oleh transparansi
harga jual minyak goreng terutama minyak goreng curah di pasar sangat memudahkan bagi perusahaan market leader untuk melakukan koordinasi harga
jual. Pergerakan harga CPO dan harga minyak goreng yang ada di pasar digunakan oleh para perusahaan baik yang memiliki posisi market leader maupun
follower sebagai sinyal harga price signaling. Khusus untuk minyak goreng
kemasan, pola distribusi dari semua minyak goreng kemasan salah satunya dilakukan melalui retail modern yang tersebar di seluruh Indonesia. Sehingga
perusahaan minyak goreng kemasan melakukan penyesuaian harga berkala melalui media promosi yang dikeluarkan oleh retail modern. Media promosi dari
retail modern ini diiklankan di media nasional sehingga memberikan sinyal kepada perusahaan pesaing dalam menyesuaikan harga. Sedangkan untuk
perusahaan follower, akan menyesuaikan harga sesuai dengan harga yang ditetapkan oleh perusahaan market leader.
Apabila mencermati perbedaan tingkat harga yang ditetapkan produsen minyak goreng sawit maka terjadi perbedaan dimana harga minyak goreng curah
ditetapkan dengan harga jual yang lebih rendah dibandingkan harga minyak goreng kemasan bermerek. Perbedaan penetapan harga tersebut dikarenakan
oleh perbedaan dalam struktur biaya produksi dimana minyak goreng kemasan bermerek dilakukan proses lanjutan berupa proses penyaringan berulang
sehingga hanya mendapatkan komposisi olein sekitar 45 empat puluh lima persen hingga 65 enam puluh lima persen. Selain itu, berdasarkan keterangan
para terlapor diperoleh keterangan bahwa perbedaan tingkat harga minyak goreng kemasan bermerek dilakukan dalam rangka menjaga citra produk brand image.
Selain itu, segmentasi yang dituju untuk masing-masing produk tersebut memang berbeda dimana minyak goreng curah ditujukan untuk segmen menengah ke
bawah middle to low sedangkan minyak goreng kemasan bermerek ditujukan untuk segmen menengah ke atas middle to up.
Dalam perkara ini, KPPU juga melakukan suatu uji nilai probabilitas untuk mengetahui apakah perusahaan industri minyak goreng melakukan suatu
price pararelism .
108
Sebelumnya, dalam menentukan ada atau tidaknya price paralelism
dalam suatu industri dapat dilakukan dengan metode uji statistik yaitu Uji Homogenity of Varians. Uji statistik dilakukan untuk membandingkan varians
dari harga minyak goreng masing-masing perusahaan, sehingga bisa mengetahui kesamaan pola pergerakan harga antar perusahaan.
Tabel 2. Uji Homogenity of Varians Dari Minyak Goreng Curah
.
Sumber: Putusan KPPU Nomor 24KPPU-I2009 hlm. 39-40
108
Price Parallelism adalah suatu kondisi yang terjadi pada hukum persaingan usaha untuk menjelaskan adanya penetapan harga antara para pesaing pada pasar oligopoli yang terjadi
tanpa adanya perjanjian tertulis diantara perusahaan-perusahaan tersebut.
Dari uji diatas ditemukan bahwa perubahan harga dari setiap pelaku usaha minyak goreng curah sama. Uji dapat dilihat dari nilai probabilitas, jika nilai
probabilitas dibawah 5 lima persen, maka Ho ditolak dan tidak ada price parallelism
, dan sebaliknya jika nilai probabilitas lebih besar dari 5 lima persen, maka perubahan variasi harga antar perusahaan sama atau adanya price
parallelism . Hal ini menyimpulkan bahwa di industri minyak goreng curah
terdapat price parallelism antar sesama pelaku usaha minyak goreng curah.
Tabel 3. Uji Homogenity of Varians Untuk Minyak Goreng Kemasan
Sumber: Putusan KPPU Nomor 24KPPU-I2009 hlm. 40-41
Berdasarkan uji nilai probabilitas tersebut, dapat dilihat bahwa terdapat fakta adanya price parallelism pada pasar minyak goreng curah maupun kemasan
bermerek karena nilai probabilitas lebih besar dari 5 lima persen. Berdasarkan uji homogenity of varians yang dilakukan terhadap pelaku usaha
minyak goreng tersebut, maka KPPU berpendapat bahwa ada kartel penetapan harga yang dilakukan perusahaan minyak goreng curah maupun kemasan.
Akan tetapi, terlapor XV dalam tanggapan atau pembelaannya menyatakan bahwa price pararelism belum cukup membuktikan tentang adanya penetapan
harga atau kartel harga antar perusahaan industri minyak goreng sawit. Oleh karena tanggapan atau pembelaan terlapor XV tersebut, dapat diberikan
penjelasan tersendiri mengenai indirect evidence yang dalam pembuktian adanya sebuah kartel dapat dilakukan dengan menggunakan indirect evidence tersebut.
Dalam kasus kartel minyak goreng ini, indirect evidence dapat berupa:
109
1. Bukti Komunikasi communication evidence Bukti komunikasi dapat berupa fakta adanya pertemuan danatau
komunikasi antar pesaing meskipun tidak terdapat substansi dari pertemuan danatau komunikasi tersebut. Dalam perkara ini, pertemuan danatau komunikasi
baik secara langsung maupun tidak langsung dilakukan oleh para terlapor pada tanggal 29 Februari 2008 dan tanggal 9 Februari 2009. Bahkan dalam dalam
pertemuan danatau komunikasi tersebut dibahas antara lain mengenai harga, kapasitas produksi, dan struktur biaya produksi.
2. Bukti ekonomi economic evidence Terdapat 2 dua tipe bukti ekonomi yaitu bukti yang terkait dengan
struktur dan perilaku. Dalam perkara ini, industri minyak goreng baik curah dan kemasan memiliki struktur pasar yang terkonsentrasi pada beberapa pelaku usaha
109
Putusan KPPU Nomor 24KPPU-I2009 tentang Kartel Minyak Goreng, hlm. 57-58.
oligopoli. Adapun bukti ekonomi yang berupa perilaku tercermin dari adanya price parallelism
. 3. Facilitating practices
110
, yang dilakukan melalui price signaling dalam
kegiatan promosi dalam waktu yang tidak bersamaan serta pertemuan-pertemuan atau komunikasi antar pesaing melalui asosiasi.
Atas dasar indirect evidence diatas, dapat dikatakan telah terjadi komunikasi danatau koordinasi di antara para terlapor yang mengakibatkan
terjadinya price parallelism. Atas dasar bukti komunikasi danatau koordinasi dengan didukung bukti ekonomi tersebut dapat dikategorikan sebagai perjanjian
yang dilakukan oleh antar pelaku usaha yang bersaing dalam hal ini para terlapor untuk menetapkan harga minyak goreng yang harus dibayar oleh konsumen atau
pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama. Berdasarkan penjelasan tersebut dan berdasarkan hasil perhitungan yang
dilakukan oleh majelis komisi, diperoleh fakta bahwa adanya kerugian konsumen selama periode bulan April 2008 hingga bulan Desember 2008 setidak-tidaknya
sebesar Rp. 1.270.232.632.175,00 satu trilyun dua ratus tujuh puluh milyar dua ratus enam puluh tiga juta enam ratus tiga puluh dua ribu seratus tujuh puluh lima
rupiah untuk
produk minyak
goreng kemasan
dan sebesar
Rp. 374.298.034.526,00 tiga ratus tujuh puluh empat milyar dua ratus sembilan puluh
110
Facilitating Practices adalah salah satu jalan yang dapat dipergunakan oleh para
pelaku usaha untuk mengkordinasikan strategi harga dan output. Untuk merealisasikannya dibutuhkan adanya kekuatan pangsa pasar market power. Penggunaan facilitating practices
menurut hukum persaingan dapat dianggap bersifat anti persaingan bila dibandingkan antara efek negatif dan positif yang diberikannya terhadap persaingan dan konsumen.
delapan juta tiga puluh empat ribu lima ratus dua puluh enam rupiah untuk produk minyak goreng curah.
Berdasarkan seluruh hasil pemeriksaan, hasil perhitungan dan penjelasan yang dilakukan oleh KPPU, maka hasil putusan majelis komisi yang dijatuhkan
terhadap perusahaan industri minyak goreng sawit adalah: 1.
Menghukum Terlapor I : PT Multimas Nabati Asahan untuk membayar denda sebesar Rp. 25.000.000.000,00 duapuluh lima miliar rupiah.
2. Menghukum Terlapor II: PT Sinar Alam Permai untuk membayar denda
sebesar Rp. 20.000.000.000,00 duapuluh miliar rupiah. 3.
Menghukum Terlapor III: PT Wilmar Nabati Indonesia untuk membayar denda sebesar Rp. 1.000.000.000,00 satu miliar rupiah.
4. Menghukum Terlapor IV: PT Multi Nabati Sulawesi untuk membayar denda
sebesar Rp. 25.000.000.000,00 duapuluh lima miliar rupiah. 5.
Menghukum Terlapor V: PT Agrindo Indah Persada untuk membayar denda sebesar Rp. 25.000.000.000,00 duapuluh lima miliar rupiah.
6. Menghukum Terlapor VI: PT Musim Mas untuk membayar denda sebesar Rp. 15.000.000.000,00 lima belas miliar rupiah.
7. Menghukum Terlapor VII: PT Intibenua Perkasatama untuk membayar denda sebesar Rp. 2.000.000.000,00 dua miliar rupiah.
8. Menghukum Terlapor VIII: PT Megasurya Mas untuk membayar denda sebesar Rp. 15.000.000.000,00 lima belas miliar rupiah.
9. Menghukum Terlapor IX: PT Agro Makmur Raya untuk membayar denda sebesar Rp. 5.000.000.000,00 lima miliar rupiah.
10. Menghukum Terlapor X: PT Mikie Oleo Nabati Industri untuk membayar denda sebesar Rp. 20.000.000.000,00 duapuluh miliar rupiah.
11. Menghukum Terlapor XI: PT Indo Karya Internusa untuk membayar denda sebesar Rp. 15.000.000.000,00 lima belas miliar rupiah.
12. Menghukum Terlapor XII: PT Permata Hijau Sawit untuk membayar denda sebesar Rp. 5.000.000.000,00 lima miliar rupiah.
13. Menghukum Terlapor XIV: PT Nubika Jaya untuk membayar denda sebesar Rp. 2.000.000.000,00 dua miliar rupiah.
14. Menghukum Terlapor XV: PT Smart, Tbk untuk membayar denda sebesar Rp. 25.000.000.000,00 duapuluh lima miliar rupiah.
15. Menghukum Terlapor XVI: PT Salim Ivomas Pratama untuk membayar denda sebesar Rp. 25.000.000.000,00 duapuluh lima miliar rupiah.
16. Menghukum Terlapor XVII: PT Bina Karya Prima untuk membayar denda sebesar Rp. 25.000.000.000,00 duapuluh lima miliar rupiah.
17. Menghukum Terlapor XVIII: PT Tunas Baru Lampung, Tbk untuk membayar denda sebesar Rp. 10.000.000.000,00 sepuluh miliar rupiah.
18. Menghukum Terlapor XIX: PT Berlian Eka Sakti Tangguh untuk membayar denda sebesar Rp. 10.000.000.000,00 sepuluh miliar rupiah.
19. Menghukum Terlapor XX: PT Pacific Palmindo Industri untuk membayar denda sebesar Rp. 10.000.000.000,00 sepuluh miliar rupiah.
20. Menghukum Terlapor XXI: PT Asian Agro Agung Jaya untuk membayar denda sebesar Rp. 10.000.000.000,00 sepuluh miliar rupiah.
Setelah adanya putusan ini, ke-20 dua puluh produsen minyak goreng sawit yang dihukum KPPU tersebut mengajukan keberatannya terhadap
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Jakpus. Putusan ini kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Jakpus. Kemudian KPPU melakukan upaya
hukum selanjutnya dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung MA. Dalam kasasi ini, MA kembali membatalkan putusan KPPU Nomor 24KPPU-
I2009 tersebut, yang artinya semakin menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang sebelumnya. Saat ini KPPU masih dalam upaya pengkajian
terhadap kasasi MA tersebut, dan belum memutuskan apakah akan mengambil langkahupaya hukum Peninjauan Kembali PK atau tidak.
B. Analisis Yuridis Terhadap Putusan KPPU Nomor 24KPPU-I2009