Setelah adanya putusan ini, ke-20 dua puluh produsen minyak goreng sawit yang dihukum KPPU tersebut mengajukan keberatannya terhadap
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Jakpus. Putusan ini kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Jakpus. Kemudian KPPU melakukan upaya
hukum selanjutnya dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung MA. Dalam kasasi ini, MA kembali membatalkan putusan KPPU Nomor 24KPPU-
I2009 tersebut, yang artinya semakin menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang sebelumnya. Saat ini KPPU masih dalam upaya pengkajian
terhadap kasasi MA tersebut, dan belum memutuskan apakah akan mengambil langkahupaya hukum Peninjauan Kembali PK atau tidak.
B. Analisis Yuridis Terhadap Putusan KPPU Nomor 24KPPU-I2009
Tentang Perjanjian Kartel Yang Dilakukan Industri Minyak Goreng Sawit Di Indonesia
Berdasarkan kasus posisi yang telah diuraikan diatas, analisis yuridis yang dilakukan terhadap Putusan KPPU Nomor 24KPPU-I2009 tersebut dibatasi
hanya dengan menganalisis alat bukti yang digunakan oleh KPPU dalam kasus kartel minyak goreng ini. Dalam putusan KPPU ini, penulis berpendapat bahwa
satu alat bukti saja tidak cukup untuk menghukum perusahaan-perusahaan industri minyak goreng sawit. Terlebih lagi alat bukti tersebut merupakan bukti tidak
langsung indirect evidence bukan merupakan bukti yang langsung direct evidence
. Masalah yang terjadi dalam kasus ini adalah KPPU dalam menghukum perusahaan-perusahaan industri minyak goreng tersebut tidak menemukan
perjanjian tertulis yang dilakukan para pelaku usaha untuk melakukan praktek kartel.
Jika kita mengacu pada Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang berbunyi “Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku
usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis”, maka dapat dikatakan bahwa
yang dimaksud perjanjian dalam hukum persaingan usaha adalah perjanjian tertulis maupun tidak tertulis. Yang berarti dalam hal ini identifikasi ada atau
tidaknya kartel dapat menggunakan perjanjian tertulis maupun perjanjian yang tidak tertulis, yang dalam kasus ini KPPU tidak menemukan perjanjian yang
tertulis, namun hanya menemukan perjanjian yang tidak tertulis. Dalam hukum acara perdata, alat bukti yang diakui diatur dalam Pasal
1866 KUHPerdata dan Pasal 164 HIR, yang terdiri dari: 1.
Bukti tulisan. 2.
Bukti dengan saksi. 3.
Persangkaan. 4.
Pengakuan. 5.
Sumpah. Dalam hukum acara pidana, sesuai dengan ketentuan Pasal 184 KUHAP,
alat bukti yang diakui terdiri dari: 1.
Keterangan saksi. 2.
Keterangan ahli. 3.
Surat.
4. Petunjuk.
5. Keterangan terdakwa.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga mengatur menegnai alat-alat bukti. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, alat bukti diatur dalam Pasal
42, yang terdiri dari: 1.
Keterangan saksi. 2.
Keterangan ahli. 3.
Surat dan atau dokumen. 4.
Petunjuk. 5.
Keterangan pelaku usaha. Berdasarkan Peraturan Komisi No. 1 Tahun 2006 yang kemudian dirubah
menjadi Peraturan Komisi No. 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara, menyatakan bahwa indirect evidence merupakan suatu bukti petunjuk
dalam menangani perkara persaingan usaha. Namun, dalam prakteknya yang sering kali digunakan oleh KPPU sebagai indirect evidence adalah hasil analisis
terhadap hasil pengolahan data yang mencerminkan terjadinya supernormal profit yang terjadi bukan karena peningkatan efisiensi dan produktivitas perusahaan.
111
Alat bukti inilah yang kemudian akan menjadi suatu “momok” yang menakutkan bagi para pelaku usaha. Apabila kita membandingkan dengan hukum perdata di
Indonesia, bukti petunjuk itu bukan merupakan bukti yang utama dalam suatu
111
Anonim, Indirect Evidence Sebagai Alat Bukti Kartel Dipersoalkan, dapat diakses di http:hukumonline.comberitabacaalat-bukti-kartel-dipersoalkan
, terakhir diakses tanggal 6 Mei 2012.
perkara hukum, sehingga bukti petunjuk dalam hukum perdata sangat jarang dipertimbangkan oleh hakim.
Apabila melihat dari defenisi bukti petunjuk yang sebagaimana diatur dalam peraturan KPPU, bukti petunjuk merupakan pengetahuan majelis komisi
yang diketahui dan diyakini kebenarannya. Dan apabila melihat dari defenisi bukti petunjuk tersebut, maka dapat dikatakan bahwa cukup bermodalkan satu
keyakinan komisi saja, indirect evidence dapat menjadi suatu bukti yang penting dalam perkara persaingan usaha.
112
Hal ini tentunya tidaklah benar apabila satu keyakinan komisi saja bisa menjadi bukti utama atau bukti penting dalam suatu
perkara. Penggunaan satu bukti petunjuk yang merupakan keyakinan komisi
dapat menjadi satu alat bukti yang penting dalam hukum persaingan usaha dapat kita bandingkan dengan satu asas hukum pidana yang berbunyi “satu bukti bukan
bukti” unus testis nullus testis. Berdasarkan asas ini, diperlukan tambahan bukti yang lain yang akan menjadi pendukung bagi bukti yang satu. Hal inipun sangat
berbeda dengan yang digunakan oleh KPPU dalam perkara hukum persaingan usaha di Indonesia, dimana KPPU hanya mendasarkan pada satu bukti petunjuk
untuk menyatakan bahwa para pelaku usaha telah melakukan suatu praktek kartel hal ini yang terjadi dalam kasus kartel minyak goreng. Hal ini tentunya tidaklah
baik, karena dengan kata lain dapat dikatakan bahwa cakupan atau parameter untuk menyatakan ada atau tidaknya praktek kartel yang dilakukan para pelaku
usaha dalam hal ini perusahaan industri minyak goreng sawit di Indonesia
112
Ibid.
sangatlah minim dan sempit. Dan hal inipun cenderung tidak adil bagi para pelaku usaha yang terkena hukuman KPPU dimana dalam kasus mereka hanya ada satu
bukti yang menjadi tolak ukur KPPU dalam menjatuhkan hukuman. Sesuai dengan Peraturan Komisi Nomor 04 Tahun 2010 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pasal 11 Undang-Undang No.5 Tahun 1999, memang masih menganggap bahwa satu bukti itu cukup untuk mengidentifikasi suatu praktek
kartel. Akan tetapi, KPPU seharusnya dalam mengidentifikasi suatu perkara kartel mendasarkan lebih dari satu alat bukti. Hal inipun mempunyai kegunaan agar
pembuktian yang dilakukan oleh KPPU mempunyai kekuatan hukum, sehingga pada akhirnya putusan yang dikeluarkan oleh KPPU tidak dibatalkan oleh
Pengadilan Negeri PN ataupun oleh Mahkamah Agung MA seperti dalam kasus kartel minyak goreng ini dan tidak menimbulkan spekulasi atau perdebatan
di dalam masyarakat. Seharusnya KPPU dalam menjalankan hukum acaranya terutama mengenai alat-alat bukti yang digunakan dalam suatu perkara
mempunyai pedoman yang sama dengan hukum acara pidana yang mempunyai suatu asas “satu bukti bukan bukti” unus testis nullus testis yang tentunya akan
mempunyai kekuatan hukum pembuktian yang lebih kuat daripada hanya memakai satu alat bukti dalam menangani suatu perkara.
Dalam kasus kartel industri minyak goreng sawit ini, penulis melihat adanya suatu pemaksaan yang dilakukan oleh KPPU untuk menjatuhkan hukuman
terhadap pelaku usaha industri minyak goreng sawit tersebut. Penulis mengatakan hal demikian adalah karena masih minimnya alat-alat bukti yang dipegang oleh
KPPU dalam kasus ini untuk mengambil sebuah putusan. Dengan masih
minimnya alat bukti yang dipegang oleh KPPU dalam kasus ini, menurut penulis seharusnya putusan ini dibatalkan. Pendapat penulis ini sesuai dengan adanya
pembatalan putusan KPPU tersebut setelah perusahaan-perusahaan industri minyak goreng sawit itu mengajukan keberatannya di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat PN Jakpus. Dalam kasus kartel minyak goreng ini, seharusnya KPPU memerlukan waktu yang lebih banyak lagi dan lebih mengupayakan untuk
mencari alat bukti yang tentunya akan semakin memberatkan para terlapor dan mendukung tuduhan pelanggaran kartel yang ditujukannya terhadap perusahaan-
perusahaan industri minyak goreng sawit tersebut. Dalam suatu perkarapraktik kartel memang sangat sulit untuk
memperoleh lebih dari satu alat bukti terutama bukti langsung direct evidence yang misalnya berupa harus ada kesepakatan di antara para pelaku usaha. Akan
tetapi, hanya menggunakan indirect evidence pun dalam suatu perkara bukanlah merupakan hal yang cukup. Hal yang seharusnya perlu dilakukan KPPU dalam
kasus kartel industri minyak goreng sawit ini adalah menggunakan indirect evidence
akan tetapi harus didukung oleh bukti-bukti tambahan lainnya agar kekuatan pembuktiannya menjadi lebih kuat.
C. Dampak Putusan KPPU Nomor 24KPPU-I2009 Terhadap Perusahaan-