PERILAKU PEMILIH ETNIS TIONGHOA DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014 DI KOTA METRO

(1)

ABSTRAK

PERILAKU PEMILIH ETNIS TIONGHOA DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014 DI KOTA METRO

Oleh

ADITYA DARMAWAN

Perkembangan politik etnis Tionghoa di Indonesia mulai terlihat dengan kiprah politik etnis Tionghoa dari tingkat pusat sampai daerah. Pemilihan legislatif Tahun 2014 kandidat etnis Tionghoa cenderung berpolitik di Kota Metro karena dinilai Kota Metro merupakan basis utama persatuan seluruh marga Tionghoa dan juga merupakan tempat Dewan Perwakilan Cabang Paguyuban Sosial Masyarakat Tionghoa Indonesia (DPC PSMTI) di Kota Metro. Perilaku pemilih terhadap kandidat etnis Tionghoa justru kurang memberikan dukungan kepada kandidat etnis Tionghoa.

Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui perilaku pemilih etnis Tionghoa dalam pemilihan umum Tahun 2014 di Kota Metro. Metode penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan jenis data primer berupa interview (wawancara) dan data sekunder berupa dokumen atau literatur penunjang.


(2)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku pemilih dalam menyikapi isu dan kebijakan publik (issues and policies) yakni lebih mempertimbangkan program atau kebijakan yang ditawarkan oleh kandidat sesuai keinginan pemilih, namun dalam realitanya program kandidat etnis Tionghoa tidak ada yang secara spesifik sesuai keinginan pemilih. Pemilih dalam menyikapi citra sosial (social imagery) lebih berdasarkan kesamaan daerah dan kesamaan politis-ideologis partai politik yang mengusungnya. Perilaku pemilih dalam melihat sisi-sisi emosional kandidat (emotional feelings) menekankan pada karakter kandidat yang berpengalaman dalam urusan pemerintahan, kerakyatan, kejujuran dan rendah hati kandidat. Perilaku pemilih dalam menyikapi peristiwa yang menjadi intrik-intrik politik bahwa saat ini banyak etnis Tionghoa berkiprah di dunia politik pasca tragedi Tahun 1998, situasi tersebut membawa pembaharuan dalam kehidupan demokrasi dan terbukanya ruang untuk berdialog atas suatu persoalan hak yang sama dalam bidang politik. Faktor episdemik kandidat terhadap perilaku pemilih cenderung mengutamakan karakter kandidat yang dikenal oleh masyarakat dan berpengalaman di bidang pemerintahan, selain itu. faktor episdemik (episdemic issues) dalam pemilu legislatif 2014 di Kota Metro yakni adanya isu-isu bahwa salah satu kandidat etnis Tionghoa diisukan akan berpindah kepercayaan sesuai basis partai politik yang mengusungnya sehingga hal ini menjadi isu yang berkembang di kelompok masyarakat etnis Tionghoa yang berdampak pada kurang adanya dukungan secara maksimal oleh masyarakat etnis Tionghoa.


(3)

ABSTRACT

BEHAVIOR OF CHINESE ETHNIC VOTERS OF ELECTION 2014 IN METRO CITY

by

ADITYA DARMAWAN

Political development of ethnic Chinese in Indonesia began to appear with the political progress of ethnic Chinese from central to local levels. 2014 legislative election candidates tend politic of ethnic Chinese in Metro City as judged City Metro is the main base of the entire clan unity Chinese and also a place Legislative Assembly Branch Social Association Chinese Society of Indonesia (DPC PSMTI) in Lampung. The behavior of ethnic Chinese voters to candidates are less provide support to candidates of Chinese ethnic.

The purpose of this thesis is to study the behavior of the Chinese ethnic voters in the 2014 general election in Metro City. Methods of this research belong to qualitative using primary data types form of interviews and secondary data such as documents or supporting literature.

The results showed that the behavior of voters in the issues and public policy (issues and policies) which is considering a program or policy that is offered by


(4)

image (social imagery) is based the same of regional, cultural, ethnic candidates, and political-ideological similarity supporting political parties. Voter behavior in seeing the sides of the candidate emotional (emotional feelings) emphasizes the character of the candidate with experience in government affairs, democracy, honesty and humility candidates. Candidate epistemic factors on the behavior of voters tend to lack of support.


(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Metro, Lampung pada tanggal 15 Juli 1992. Anak kedua dari pasangan Bapak Drs. I Made Sukerte dengan Ibu Puji Hastuti, S.Pd.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis antara lain:

1. Taman Kanak-Kanak Pertiwi Teladan Metro, tamat pada tahun 1997 2. Sekolah Dasar Pertiwi Teladan Metro, tamat pada tahun 2004 3. Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Metro, tamat pada tahun 2007 4. Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Metro, tamat pada tahun 2010

Pada tahun 2010, penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lampung melalui jalur Ujian Mandiri Lokal (UML). Penulis sangat meyakini bahwa pengembangan diri sebagai manusia harus dicari dan dikembangkan sehingga menjadi sebuah pengalaman dalam hidup kita dimasa depan. Penulis, banyak mendapatkan hal-hal yang baru serta bermanfaat dalam menjalani proses sebagai seorang mahasiswa yang aktif dibeberapa lembaga organisasi kampus/non kampus, antara lain:

1. Kadiv Diklat Lingkar Studi Sosial Politik (LSSP) Cendekia FISIP 2012-2013 2. Ketua Komisi I DPM-F FISIP Univesitas Lampung 2013-2014

3. Wakil Bendahara Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bandar Lampung Komisariat Sosial Politik Universitas Lampung 2013-2015


(10)

M O T O

Kita tidak pernah tahu usaha keberapa yang akan berhasil atau

doa mana yang akan diijabah Tuhan. Tapi yg pasti

Perbanyaklah

(Penulis)


(11)

P E R S E M B A H A N

Alhamdulillah Hirobbil Alamin

Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT, atas izin dan

ridho-Nya

Kupersembahkan Karya Sederhanaku ini kepada:

Papa dan Mama atas cinta, kasih sayang dan

kesabarannya dalam merawat, membesarkan, mendidik,

dan memperjuangkan serta mendoakan putranya dengan

tulus ikhlas.

Kakak dan keponakanku tercinta, atas semangat, saran,

doa dan dukungannya.

Sahabat-sahabatku yang selalu mewarnai kehidupanku.

Para pendidikku yang kuhormati.


(12)

SANWACANA

Puji syukur kepada ALLAH SWT, atas rahmat dan hidayh-Nya penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perilaku Pemilih Etnis Tionghoa Dalam Pemilihan Umum Tahun 2014 di Kota Metro”. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat dalam rangka mencapai gelar Sarjana Ilmu Pemerintahan pada jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Lampung.

Penulis juga menyadari, bahwa tanpa bantuan dan dukungan serta bimbingan dari berbagai pihak dalam hal materiil maupun spiritual, penulisan skripsi ini tidak akan terlaksana dengan baik. Oleh karena itu dalam kesempatan ini, penulis dengan segala hormat mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

2. Bapak Drs. Denden Kurnia Drajat, M.Si. selaku Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung. 3. Bapak Hertanto, P.hD. selaku pembimbing utama bagi penulis, yang telah

bersedia memberikan bimbingan, saran, kritik dan motivasi dalam penulisan skripsi ini.


(13)

5. Seluruh jajaran Dosen di FISIP UNILA, seluruh staf Tata Usaha dan pegawai di FISIP dan Jurusan Ilmu Pemerintahan.

6. Kedua orang tuaku tercinta Bapak Drs. I Made Sukerte dan Ibu Puji Hastuti, S.Pd. yang telah memberikan dukungan moril dan materiil serta selalu mendoakan tanpa henti dalam menanti keberhasilanku.

7. Kakak dan keponakanku tercinta Mike Anggraini, S.Pd dan Ghani Mahardika yang senantiasa mendoakanku dan memberikan semangat dalam setiap letihku. 8. Sahabatku tercinta Rifan Wiguna, Pebri Dwi Firnando, Tiffany Anandhini Putri Ramli, Anggi Tri Satria, Aditya Wiguna yang telah jatuh bangun bersama dalam melewati masa-masa perkuliahan.

9. Sahabat sepanjang hidup, Rizky Ramdhani Puspanegara, Nadya Pradini, Destia Herlisya, Bayu Adjie, Yudha Irla, Hendra Winata, Yudi Eka Putra, Dwi Setiawan, Yusa Lizar, Ade Setiawan, Muhammad Abizar. Terima kasih untuk dukungannya dan semangatnya, sukses untuk kedepannya.

10.Teman-teman satu bimbinganku, Andrilius Feraera, Ryan Maulana, Shiawlin Ratu Ajeng, Antarizki, Dewi Astriya, Dita Purnama, Alam Patria, terima kasih untuk dukungannya dalam pengerjaan skripsi kita.

11.Teman-teman Jurusan Ilmu Pemerintahan angkatan 2010 Reddyah Renata, Okta Purnama, Yoan Yunita, Siska Fitria, Tano Gupala, Iin Tajudin, Raditiya Febrian, Robby Ruyudha, Maulana Rendra, Ridho Jupanter, Violanda, Aditia Arief, Anugerah Robiantori, Ikhwan, Ricky, Harizon, Novrico, Putra Ramadhan, Ade


(14)

lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima Kasih atas dukungan dan kebersamaannya selama ini.

12.Adik-adik Ilmu Pemerintahan 2011 Atika Uli Herdasari, Panggih, Yuyun, Anbeja, Mulia, Abu, Nelsen, Wilanda, Winda, Restia, Indah dan angkatan 2011 yang lainnya yang tidak bias disebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungannya selama ini.

13.Adik-adik Ilmu Pemerintahan angkatan 2012 Nissa, Arum, Dita, Darji, Nico, Vico, Juanda, Bakti, Astuti, Erin, Astari, dan yang lainnya, terima kasih atas dukungannya dan motivasinya selama ini.

14.Keluarga Besar Harmonisasi Irfan Satria Nugraha, Pandu, Arya, Putri, Sisil, Arum, Kevin Abelio, Bani, Meka, Vasco, Ziad, Fika, Ardika, Dika, Popo, atas dukungan,nasihat, kebersamaan dan pengalamannya selama ini.

15.Keluarga Besar Komisariat Sosial Politik Universitas Lampung, Bang Angga, Bang Hafiz, Bang Darma, Bang Mijwad, Bang Junian, Jani, terima kasih untuk saran dan dukungannya selama ini.

16.Teman-teman Kost Nunyai, Winda, Dwin, Yoga, Bang Inal, Bang Tulus, Putra, Diah, terima kasih sudah menemani dalam pengerjaan skripsi, tetap semangat. 17.Teman-teman KKN Desa Gumuk Mas, Deby, Eko, Andre, Dwi, Astri, Eci,

Shari, Ratu, Muthia, Rachmat, Bunga. Terima kasih atas dukungan dan semangatnya. Sukses untuk kita semua.


(15)

rasa letih, keluh kesah, dan bahagia dalam pengerjaan skripsi ini (1016021140).

Semoga Segala bantuan, bimbingan, dorongan yang diberikan kepada penulis mendapat ridho dan pahala dari allah swt. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, karenanya kritik dan saran yang sifatnya membangun penulis harapkan dmei perbaikan serta kegunaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bandar Lampung, Januari 2015 Penulis,


(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1: Keadaan Keagamaan Pemerintah Kota Metro Tahun 2014... 7

Tabel 2: Luas Wilayah Administrasi Pemerintahan Kota Metro per kelurahan Tahun 2014 ... 69

Tabel 3: Keadaan Penduduk Menurut Kelompok Usia Tahun 2014 ... 71

Tabel 4: Kondisi Keagamaan Pemerintah Kota Metro Tahun 2014 ... 73

Tabel 5: Karakteristik Informan Berdasarkan Jenis Kelamin ... 76


(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Bagan Kerangka Pikir ... 44 Gambar 2. Teknik Analisis Data ... 60 Gambar 3. Peta Wilayah Kota Metro ... 68


(18)

DAFTAR SINGKATAN

AIDA ... Attention, Interst, Desire dan Action

DPR ... Dewan Perwakilan Rakyat

DPRD ... Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPD ... Dewan Perwakilan Daerah

DPC ... Dewan Perwakilan Cabang Gerindra ... Gerakan Indonesia Raya HAM ... Hak Asasi Manusia KPU ... Komisi Pemilihan Umum KKN ... Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme KBSB ... Keluarga Besar Sumatera Barat Pemilu ... Pemilihan Umum

PDI-P ... Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PAN ... Partai Amanat Nasional

PBI ... Partai Bhineka Tunggal Ika Parti ... Partai Tionghoa Indonesia Parpindo ... Partai Pembaharuan Indonesia Parpol ... Partai Politik


(19)

(20)

HALAMAN JUDUL ... i

ABSTRAK ... ii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

RIWAYAT HIDUP ... vi

MOTO ... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xiv

DAFTAR ISI... xv

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian... 11

D. Kegunaan Penelitian... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perilaku Politik... 13

1. Pengertian Perilaku Politik ... 13

2. Pembagian Perilaku Politik ... 15

B. Tinjauan tentang Partisipasi Politik... 16

1. Pengertian Partisipasi Politik... 16

2. Kategorisasi Partisipasi Politik... 22

C. Tinjauan tentang Perilaku Pemilih.. ... 24

D. Teori-Teori Pendekatan Perilaku Pemilih... 28

1. Pendekatan Sosiologis ... 29

2. Pendekatan Psikologis ... 31

3. Pendekatan Rasional... 32

4. Pendekatan Domain Kognitif ... 34

E. Tinjauan tentang Pemilihan Umum... 35

F. Tinjauan tentang Partisipasi Politik Etnis Tionghoa... 38


(21)

B. Fokus Penelitian... 48

C. Lokasi Penelitian... 53

D. Jenis Data... 54

E. Teknik Pengumpulan Data... 55

F. Teknik Pengelolaan Data ... 56

G. Informan ... 57

H. Teknik Analisis Data ... 59

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Singkat Kota Metro ... 66

B. Kondisi Geografi Kota Metro ... 67

C. Administrasi Pemerintahan Kota Metro ... 69

D. Demografi Etnis Tionghoa di Kota Metro... 71

E. Keadaan Sosial Budaya dan Agama di Kota Metro... 72

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Informan.. ... 74

1. Karakteristik Informan Berdasarkan Jenis Kelamin... 76

2. Karakteristik Informan Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 76

B. Perilaku Pemilih Etnis Tionghoa dalam Pemilihan Umum Tahun 2014 di Kota Metro. ... 77

C. Analisis Hasil Pembahasan Perilaku Pemilih Etnis Tionghoa dalam Pemilihan Umum Tahun 2014 di Kota Metro. ... 90

1. Isu dan Kebijakan Publik (Issues and Policies).. ... 91

2. Citra Sosial (Social Imagery).. ... 93

3. Perasaan Emosional (Emotional Feelings)... 95

4. Peristiwa Mutakhir (Currents Events)... 97

5. Faktor Episdemik (Episdemic Issues) ... 98

VI. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 101

B. Saran... 102

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(22)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan salah satu bangsa yang menganut paham demokrasi, di dalam sistem politiknya. Hal ini dapat dilihat dari keanekaragaman pendapat, aspirasi, kepentingan politik dan sebagainya. Negara Indonesia sebagai negara multikultural yang di dalamnya terdapat berbagai kehidupan manusia yang memiliki suatu perbedaan baik dari agama, ras, bahasa, dan etnis akan menciptakan sebuah harmonisasi kultural yang beragam. Harmonisasi kultural yang nampak dalam sistem perpolitikan di Indonesia yakni munculnya nama-nama kelompok minoritas dari etnis Tionghoa dalam berpolitik. Hal ini tentunya tidak terlepas dari sikap dan perilaku kelompok masyarakat etnis Tionghoa dalam memberikan dukungan kepada calon kandidatnya dari etnis Tionghoa dalam pemilihan umum di Indonesia.

Negara Indonesia yang memiliki sebagian wilayahnya terpisah-pisah mampu menunjukkan bahwa masyarakatnya mampu menjaga suatu keberagaman dan tetap selalu menjunjung tinggi persatuan seperti yang telah tercantum dalam sila ketiga Pancasila yang menjadi pedoman hidup bangsa Indonesia, begitu juga halnya dengan konsep demokrasi yang selalu dijunjung tinggi oleh bangsa khususnya dalam hak berpolitik bagi setiap warga negara. Selain


(23)

dikenal sebagai negara multikuktural, Indonesia juga terkenal dengan negara multietnis (Syaukani, 2005: 21).

Berdasarkan data pusat statistik menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam etnis dengan persentase pada sensus Tahun 2013 yakni etnis Jawa 41,7%, etnis Sunda 15,4%, etnis Tionghoa 3,7%, etnis Melayu 3,4%, etnis Madura 3,3%, etnis Batak 3%, etnis Minang 2,7%, etnis Betawi 2,5%, etnis Bugis 2,5%, etnis Arab Indonesia 2,4%, etnis Banten 2,1%, etnis Bali 1,5%, etnis Makasar 1,3%, etnis Cirebon 0,9%, etnis Lampung 0,5% dan etnis Sasak 0,4% yang hidup berdampingan dalam satu kesatuan Negara Republik Indonesia (http://wikipedia.org/data-statistik.php diakses pada 2 Februari 2014, 11.30 WIB).

Menurut Data KPU Indonesia populasi etnis Tionghoa yang tinggal dan menetap di Indonesia pada Tahun 2013 sudah mencapai 9 juta jiwa atau sekitar 3,7% dari total jumlah penduduk Indonesia. Hasil sensus populasi Tionghoa Tahun 2012 baru sekitar 8 juta jiwa atau 2,8% dari penduduk Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia Tionghoa naik sekitar 0,9% sampai 1,04% (http://data.kpu.go.id/dpt.php diakses pada 10 Februari 2014, 14.45 WIB).

Etnis Tionghoa dalam sejarah kehidupannya di Indonesia pernah mempunyai kenangan buruk, salah satunya Peristiwa Mei 1998. Pada saat itu banyak etnis Tionghoa yang mengalami kekerasan baik fisik dan psikis, pengekangan kebebasan di bidang politik, bahkan penjarahan barang secara besar-besaran.


(24)

Peristiwa tersebut dilatarbelakangi dengan adanya praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dan adanya kecemburuan sosial antara pribumi kepada etnis Tionghoa yang dilibatkan dalam kebijakan pemerintah yakni pembangunan ekonomi moneter yang membuat kehidupan pribumi semakin menurun (http://anri-wikipedia/dpt.php/tragedi-semanggi diakses pada 19 Februari 2014, 20.30 WIB).

Pasca orde baru, muncul beberapa Perundang-undangan baru untuk mencabut peraturan diskriminatif kepada etnis Tionghoa salah satunya adalah Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002 tentang ditetapkannya hari tahun baru Imlek sebagai hari libur nasional. Era reformasi, etnis Tionghoa mulai menyerukan isu-isu lokal tentang penegakan HAM dan juga mulai masuk dan terlibat dalam kehidupan politik Indonesia salah satunya dengan sikap atau perilaku kelompok minoritas etnis Tionghoa dalam mengapresiasikan perwakilannya sebagai kandidat pemilihan umum (Hoon, 2012:19).

Bentuk perilaku dan aspirasi yang ditunjukkan etnis Tionghoa mulanya masih pada taraf ikut berpartisipasi dengan memilih anggota legislatif dan Presiden dalam pemilihan umum. Perkembangan selanjutnya perilaku politik yang ditunjukkan etnis Tionghoa di Indonesia mulai terlihat dengan memberikan dukungan terhadap kandidat yang berasal dari etnis Tionghoa dari tingkat pusat sampai dengan tingkat daerah, terlihat banyak warga keturunan Tionghoa yang mendukung kandidatnya sebagai wakil rakyat, anggota pemerintahan, dan menteri-menteri dalam Kabinet pemerintahan era Reformasi.


(25)

Pemilih etnis Tionghoa itu sendiri menjadi suatu partisipasi politik dan mulai menunjukkan pilihan-pilihan politik yang sesuai dengan ideologinya sebagai kelompok minoritas. Pemilu 1999 tercatat 150 calon anggota legislatif dari etnis Tionghoa, Pemilu 2004 jumlahnya meningkat menjadi 200 caleg dari etnis Tionghoa, dan pada Pemilu 2009 jumlahnya 100 calon legislatif. Era reformasi saat ini juga banyak partai politik yang bermunculan milik etnis Tionghoa seperti Partai Tionghoa Indonesia (Parti), Partai Pembaharuan Indonesia (Parpindo), Partai Bhineka Tunggal Ika (PBI) (http:// www. kpu. go. id/index.php diakses pada 3 Februari 2014, 20.25 WIB).

Etnis Tionghoa pada dasarnya masih mendominasi sektor perekonomian bisnis di Indonesia, kelompok etnis Tionghoa juga mempunyai pengaruh besar terhadap kemajuan perekonomian Indonesia. Konsep perilaku para pemilih etnis Tionghoa hakikatnya untuk mewujudkan dan meningkatkan standar hidup bangsa yang mencerminkan sifat kapitalisme dan materialisme yang dimiliki kandidat etnis Tionghoa dalam sistem perpolitikan di Indonesia. Politisi etnis Tionghoa yang pernah menduduki jabatan di pemerintahan, baik pusat maupun daerah seperti Kwik Kian Gie, Alvin Lee, dan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yakni Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dan Marie Elka Pangestu.

Politisi yang berasal dari etnis Tionghoa tidak terlepas dari bentuk sikap atau perilaku kelompok masyarakat etnis Tionghoa dalam memberikan dukungan terhadap Politisi etnis Tionghoa. Salah satu contoh bentuk dukungan politik yang diberikan oleh pemilih kepada Kwik Kian Gie adalah munculnya ikatan


(26)

pengusaha Indonesia yang pada umumnya berbasis etnis Tionghoa. Kwik Kian Gie merupakan politisi etnis Tionghoa di samping sebagai seorang fungsionaris pemerintahan, Kwik mendirikan PT. Indonesian Financing & Investment Company yang dikelola oleh persatuan etnis Tionghoa Indonesia (http://uob.bank.go.id/financial-bussiness/index.php diakses pada 11 Februari 2014, 13.30 WIB).

Contoh lain adalah terpilihnya Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta, merupakan cerminan bahwa pemilih dalam hal ini adalah masyarakat DKI Jakarta memberikan dukungan bukan hanya dari kelompok etnis Tionghoa saja melainkan dari warga DKI Jakarta non etnis Tionghoa. Kepemimpinan yang tegas dan ulet, dan pekerja keras terbukti dengan kinerjanya saat ini yang lebih menekankan suatu perubahan yang lebih baik bagi DKI Jakarta (Suryadinata, 2012: 31).

Perilaku pemilih terhadap kandidat etnis Tionghoa yang dinamis dan asertif dalam partisipasi berpolitik adalah pada pemilu 2004 dan 2009, pada saat pesta demokrasi berlangsung, banyak masyarakat Tionghoa yang berpartisipasi menjadi anggota legislatif, salah satu contoh bentuk perilaku positif masyarkat terhadap kandidat etnis Tionghoa di Provinsi Lampung yakni terpilihnya salah satu warga keturunan etnis Tionghoa bernama Effendi Taslim dan Mungliana sebagai anggota DPRD Provinsi Lampung dan DPRD Kota Metro pada Pemilu 2004. Melihat sikap msayarakat yang cukup positif dalam memilih kandidat etnis Tionghoa di Provinsi Lampung maka pada pemilihan berikutnya di Tahun 2009 calon legislatif keturunan etnis Tionghoa


(27)

atas nama Hartarto Lojaya dan Donny Irawan mencalonkan sebgai anggota legislatif daerah pemilihan 1 Kota Metro Pusat yang kemudian mendaftarkan diri pada pemilihan legislatif Tahun 2009 di Kota Metro.

Kandidat etnis Tionghoa pada pemilihan legislatif Tahun 2014 lebih cenderung mencalonkan diri di wilayah Kota Metro karena dinilai bahwa Kota Metro merupakan basis utama persatuan seluruh marga Tionghoa seperti persatuan marga Han, Wen, Liong, Thien, Juan, Le, Chaw dan sebagainya sehingga pemilih etnis Tionghoa dapat bergabung dalam mendulang suara. Kota Metro juga merupakan tempat Dewan Perwakilan Cabang Paguyuban Sosial Masyarakat Tionghoa Indonesia (DPC PSMTI) di Kota Metro, sehingga berbagai masyarakat etnis Tionghoa dri berbagai daerah di Lampung sering mengadakan pertemuan di DPC PSMTI yang bertempat di Aula Hati Kudus Kota Metro. Kota Metro memiliki Luas wilayah 68,74 km2 atau 6.874

ha, dengan jumlah penduduk 172.985 jiwa yang tersebar dalam 5 wilayah kecamatan dan 22 kelurahan. Jumlah etnis Tionghoa di Kota Metro 6.040 jiwa (Profil Kota Metro 2014).

Beragamnya etnis di Kota Metro menyebabkan keragam pula adat dan kebiasaan masyarakat. Beberapa etnis memiliki perkumpulan tertentu yang bertujuan untuk mempererat tali persaudaraan seperti etnis Sumatera Barat dengan istilah Keluarga Besar Sumatera Barat (KBSB), etnis Jawa dengan Keluarga Banyumas yang menggunakan istilah penginyongan dan etnis Tionghoa dengan istilah Paguyuban Sosial Masyarakat Tionghoa Indonesia (PSMTI) atau dalam bahasa Hokkien (bahasa mandarin) dikenal dengan Lan


(28)

Fo. Berdasarkan data pusat statistik Kota Metro Tahun 2014 kondisi keagamaan yang dianut berbagai masyarakat dapat dilihat dalam tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1. Keadaan Keagamaan Pemerintah Kota Metro Tahun 2014

No Variabel Jumlah No Variabel Jumlah 1 Penduduk 2 Tempat Ibadah

A.Islam 158.846 A. Mesjid/Musholla 336 B. Protestan 4.471 B. Gereja Kristen 13 C. Katolik 1.458 C. Gereja Katolik 6 D. Hindu 353 D. Pura 2 E. Budha 4.051 E. Vihara 5 F. Khonghucu 3.806 F. Klenteng 2 Total 172.985 Total 364

Sumber: Profil Kota Metro 2014

Masyarakat kelompok etnis Tionghoa pada umumnya menganut agama Konghucu, Budha dan Protestan. Kota Metro sebagai Kota Madya kedua setelah Bandar Lampung menjadi tempat yang subur untuk melihat sejauh mana perkembangan kehidupan politik dan bisnis. Pemilu 2004 dan 2009 etnis Tionghoa mulai menampakkan dirinya dalam perpolitikan di Kota Metro, baik sebagai anggota perwakilan rakyat, aktifis politik, maupun pakar politik.

Fenomena di Tahun 2014 cukup berbeda dengan pemilu legislatif sebelumnya, hal ini terlihat dari kelompok masyarakat etnis Tionghoa di Kota Metro cenderung kurang memberikan respon positif terhadap calon anggota legislatif etnis Tionghoa Kota Metro yakni Melany Filiang (Mey Liang) dan Hernany (Tiung Mei Ni). Perilaku pemilih dalam menyikapi berbagai kebijakan atau program calon anggota legislatif etnis Tionghoa Kota Metro yakni Melany Filiang (Mey Liang) dan Hernany (Tiung Mei Ni) kurang begitu terlihat antusias dibandingkan dengan pemilu legislatif sebelumnya. Calon anggota


(29)

legislatif etnis Tionghoa pada pemilu legislatif tidak berhasil lolos dalam pemilu 2014. Perilaku pemilih etnis Tionghoa pada pemilu legislatif Tahun 2014 perlu dikaji secara mendalam, hal ini karena Kota Metro sebagai basis utama persatuan seluruh marga Tionghoa dan juga merupakan tempat DPC PSMTI di Kota Metro, serta beberapa kali telah melahirkan kandidat legislatif DPRD Kota Metro pada Pemilu 2004 dan Pemilu 2009, namun di Tahun 2014 perilaku pemilih etnis Tionghoa justru kurang memberikan dukungan kepada kandidat etnis Tionghoa.

Melihat perilaku masyarakat etnis Tionghoa di Kota Metro tersebut yang kemudian mendorong peneliti untuk mengkaji mengenai perilaku pemilih etnis Tionghoa dalam pemilihan anggota legislatif Tahun 2014. Kecenderungan pemilih dalam menetapkan pilihannya dapat dilihat dari perilaku pemilihnya. Perilaku pemilih adalah keterkaitan seseorang untuk memberikan suara dalam proses pemilihan umum berdasarkan faktor psikologis, faktor sosiologis, dan faktor rasional pemilih atau disebut teori voting behavioral. Ketiga faktor tersebut digunakan sebagai pendekatan kepada perilaku pemilih dalam menentukan pilihannya, namun faktor mana yang paling dominan mempengaruhi perilaku pemilih dalam sebuah Pemilihan calon legislatif masih menjadi perdebatan (Kristiadi, 2006: 22).

Berbagai fakta di atas menjadi bahan yang unik untuk dikembangkan menjadi sebuah penelitian. Alasan peneliti ingin meneliti tentang Perilaku Pemilih etnis Tionghoa adalah mengkaji lebih dalam mengenai perilaku pemilih etnis tionghoa dalam pemilihan umum Tahun 2014 di Kota Metro. Hal ini


(30)

berhubungan dengan sikap atau perilaku yang dimiliki etnis Tionghoa dalam menggunakan hak politiknya serta sikap yang diambil dalam menentukan pilihan dan memberikan dukungan terhadap kandidat etnis Tionghoa.

Alasan kedua yakni, banyaknya pilihan-pilihan politik tetapi mayoritas etnis Tionghoa yang lebih cenderung pada partai-partai yang mempunyai paham Nasionalis. Pada hakikatnya etnis Tionghoa sudah memiliki partai yang mewadahi aspirasi politik etnis Tionghoa, seperti Partai Bhineka Tunggal Ika Indonesia (PBI) dan partai yang bernafaskan agama yang dianut sebagian besar elit politik etnis Tionghoa di Indonesia, seperti Partai Kristen Indonesia. Alasan ketiga adalah ingin mengetahui pendekatan perilaku pemilih etnis Tionghoa dalam Pemilu 2014 di Kota Metro karena dinilai bahwa Kota Metro merupakan basis utama persatuan seluruh marga Tionghoa.

Peneliti sebelumnya telah melakukan penelitian terkait dengan objek penelitian peneliti. Merujuk pada hasil kegiatan pra penelitian, peneliti menemukan informasi bahwa ada peneliti sebelumnya yang telah melakukan penelitian pada Persatuan Etnis Tionghoa di Sumatera Selatan dalam waktu Tahun 2009 dengan topik atau objek penelitian yang hampir relevan sebagaimana yang peneliti uraikan di bawah ini. Hasil penelitian itu peneliti jadikan sebagai rujukan untuk menambah referensi dan memperkaya analisis. Berikut ini adalah hasil penelitian sebelumnya pada penelitian Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sriwijaya oleh Yusfirlana Nuri

Ma’rifah mengenai “Orientasi Perilaku Pemilih Politisi Etnis Tionghoa Di Kota Palembang Pada Pemilu 2009”. Penelitian ini menggunakan satu


(31)

variabel yaitu, orientasi perilaku pemilih politisi etnis Tionghoa dengan indikatornya yaitu pendekatan domain kognitif yang meliputi isu dan kebijakan publik, citra sosial, perasaan emosional, citra kandidat, peristiwa mutakhir, peristiwa personal, dan faktor episdemik.

Hasil penelitian dan analisis yang dilakukan Yusfirlana Nuri Ma’rifah menemukan fakta bahwa, dalam orientasi perilaku pemilih politisi etnis Tionghoa di Kota Palembang pada Pemilu 2009 diperoleh gambaran bahwa dalam pendekatan domain kognitif mampu mengkaji lebih dalam mengenai perilaku pemilih dalam proses Pemilu Legislatif Tahun 2009 sehingga kelompok etnis Tionghoa yang berada di tengah-tengah mayoritas etnis non Tionghoa mampu berorientasi kepada perilaku pemilih dalam mendulang suara dengan terpilihnya calon-calon anggota legislatif etnis Tionghoa.

Perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan peneliti sebelumnya adalah dalam penelitian yang dilakukan peneliti fokus penelitian perilaku pemilih etnis Tionghoa dalam pemilihan umum Tahun 2014 di Kota Metro sedangkan pada peneliti sebelumnya fokus penelitian pada orientasi perilaku pemilih politisi etnis Tionghoa di Kota Palembang pada Pemilu 2009, sedangkan persamaan penelitian yang dilakukan oleh peneliti mengacu pada teori perilaku pemilih dengan pendekatan domain kognitif. Hal tersebut mendorong peneliti untuk melakukan penelitian mengenai perilaku pemilih masyarakat berdasarkan etnisitas dalam Pemilihan Umum Tahun 2014 di Kota Metro, yang pada kenyataannya kelompok minoritas kecil kemungkinan dapat dipilih dalam suatu pemilihan legislatif di tengah-tengah kelompok mayoritas,


(32)

namun pada dasarnya etnis Tionghoa memiliki hak yang sama baik dalam berpendapat, beraspirasi dan berpolitik.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti memandang perlu mengkaji lebih lanjut berbagai masalah perilaku pemilih etnis Tionghoa, sehingga peneliti menganggap perlu diadakan penelitian mengenai “Perilaku Pemilih Etnis Tionghoa dalam Pemilihan Umum Tahun 2014 di Kota Metro”.

B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah perilaku pemilih etnis tionghoa dalam pemilihan umum Tahun 2014 di Kota Metro?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui perilaku pemilih etnis tionghoa dalam pemilihan umum Tahun 2014 di Kota Metro.

D. Kegunaan Penelitian

1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran, informasi, menjadi bahan referensi dalam ilmu pemerintahan dan menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya ilmu politik dalam perilaku pemilih etnis tionghoa dalam pemilihan umum Tahun 2014 di Kota Metro.


(33)

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi etnis Tionghoa di Kota Metro khususnya para calon anggota legislatif etnis Tionghoa di Kota Metro dalam pendekatan kepada perilaku pemilih.


(34)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Perilaku Politik

1. Pengertian Perilaku Politik

Perilaku politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Interaksi antara pemerintah dan masyarakat, antar lembaga pemerintah dan antara kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku politik (Kristiadi, 2006: 28).

Sejalan dengan pengertian politik, perilaku politik berkenaan dengan tujuan suatu masyarakat, kebijakan untuk mencapai suatu tujuan, serta sistem kekuasaan yang memungkinkan adanya suatu otoritas untuk mengatur kehidupan masyarakat kearah pencapaian tujuan tersebut. Beberapa negara berkembang sering dihadapkan dengan masalah integrasi nasional yang menjadi tantangan dalam pembangunan sistem politik di negara tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari dua dimensi, yakni:

a) Dimensi horizontal, yaitu terdapat perbedaan suku, ras, agama, golongan dan lain-lain yang dipengaruhi oleh ikatan primordial yang hidup dalam norma-norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat yang secara tidak langsung dapat menghambat perkembanga proses integrasi nasional.


(35)

b) Dimensi vertikal, yaitu berupa masalah yang muncul dan memicu terjadinya jurang pemisah (gap) antara kalangan elit yang eksekutif dengan kelompok mayoritas (massa). Stratifikasi sosial yang terjadi menimbulkan rasa keterasingan masyarakat dari kalangan elit yang sedang berkuasa (Kristiadi, 2006: 34)

Perilaku politik dapat diartikan sebagai keseluruhan tingkah laku politik para aktor politik dan warga negara yang dalam manifestasi konkretnya telah saling memiliki hubungan dengan kultur politik. Sikap waraga negara, respon dan aktivitasnya terhadap sistem politik yang berlaku dipengaruhi oleh budaya politik yang membentukanya (Hutington, 2010: 42).

Perilaku politik (political behavior) dinyatakan sebagai suatu telaah mengenai tindakan manusia dalam situasi politik. Perilaku politik juga sering dikaitkan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Adapun yang melakukan kegiatan politik adalah pemerintah dan masyarakat sesuai dengan fungsinya masing-masing. Pada hakikatnya seorang individu atau masyarakat setelah memiliki sikap politik terhadap suatu objek politik sebagai manifestasi nyata dari sikap politik yang merupakan sikap alami yang terdapat pada setiap individu. Melakukan tindakan atau aktivitas politik lalu tindakan ini yang kemudian disebut sebagai perilaku politik (Efriza, 2012: 25).

Berdasarkan beberapa definisi perilaku politik menurut para ahli tersebut, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perilaku politik merupakan tindakan yang dilakukan pemerintah maupun masyarakat berkaitan dengan


(36)

tujuan suatu masyarakat, kebijakan untuk mencapai suatu tujuan, serta sistem kekuasaan yang memungkinkan adanya suatu otoritas untuk mengatur kehidupan masyarakat kearah pencapaian tujuan tersebut.

2. Pembagian Perilaku Politik

Pelaksanaan pemilu di suatu Negara ataupun dalam pelaksanaan pilkada langsung di suatu daerah, perilaku politik dapat berupa perilaku masyarakat dalam menentukan sikap dan pilihan dalam pelaksanaan pemilu atau pilkada tersebut hal ini jugalah yang membuat digunakannya teori perilaku politik dalam proposal penelitian ini Perilaku politik dapat dibagi dua sebagai berikut: a. Perilaku politk lembaga-lembaga dan para pejabat pemerintah, yakni bertanggung jawab membuat, melaksanakan dan menegakkan keputusan politik.

b. Perilaku politik warga Negara biasa (baik individu maupun kelompok), yakni berhak mempengaruhi pihak yang pertama dalam melaksanakan fungsinya karena apa yang dilakukan pihak pertama menyangkut kehidupan pihak kedua. Kegiatan politik yang dilakukan oleh warga Negara biasa (individu maupun kelompok) disebut partisipasi politik (Rahman, 2007: 29).

Menurut Mahendra (2005: 36) menjelaskan bahwa kajian terhadap perilaku politik, dapat dipilih tiga unit analisis yaitu :

1). Aktor politik (meliputi aktor politik, aktivitas politik, dan individu warga negara biasa).


(37)

2). Agregasi politik (yaitu individu aktor politik secara kolektif seperti partai politik, birokrasi, lembaga-lembaga pemerintahan).

3). Topologi Kepribadian Politik (yaitu kepribadian pemimpin, seperti Otoriter, Machiavelist, dan Demokrat).

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik aktor politik (pemimpin, aktivis, dan warga biasa) antara lain:

a). Lingkungan sosial politik tak langsung seperti sistem politik, ekonomi, budaya dan media massa.

b). Lingkungan sosial politik langsung yan membentuk kepribadian aktor seperti keluarga, agama, sekolah, dan kelompok bergaul. Dari lingkungan ini, seorang aktor politik mengalami proses sosialisasi dan internalisasi nilai dan norma masyarakat dan norma kehidupan bernegara.

c). Struktur kepribadian. Hal ini tercermin dalam sikap individu (yang berbasis pada kepentingan, penyesuaian diri dan eksternalisasi).

d). Lingkungan sosial politik langsung berupa situasi yaitu keadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung ketika hendak melakukan suatu kegiatan seperti cuaca, keadaan keluarga, keadaan ruang, kehadiran orang lain, suasana kelompok, dan ancaman dengan segala bentuknya (Mahendra, 2005: 41).

B. Tinjauan tentang Partisipasi Politik 1. Pengertian Partisipasi Politik

Keikutsertaan Warga Negara atau masyarakat dalam suatu kegiatan politik, tidak terlepas dengan adanya partisipasi politik dari masyarakat. Masyarakat merupakan faktor terpenting dalam menentukan pemimpin pemerintahan, baik di tingkat pusat sampai pada tingkat terendah yakni desa. Menurut Budiardjo (2008: 19) menjelaskan bahwa:

“Partisipasi adalah penentuan sikap dan keterlibatan hasrat setiap individu dalam situasi dan kondisi organisasinya, sehingga pada akhirnya mendorang individu tersebut untuk berperan serta dalam pencapaian tujuan organisasi, serta ambil bagian dalam setiap pertanggungjawaban


(38)

Berdasarkan teori tersebut partisipasi merupakan faktor terpenting dalam setiap sikap yang dilakukan oleh seseorang atau individu baik dalam suatu organisasi, yang pada akhirnya dapat mendorong seseorang tersebut mencapai tujuan yang akan dicapai oleh organisasinya dan mempunyai tanggungjawab bersama dari setiap tujuan tersebut.

Selain itu Ramlan Surbakti dalam Budiardjo (2008: 26) memberikan definisi bahwa:

“Partisipasi merupakan salah salah satu aspek penting demokrasi. Asumsi yang mendasari demokrasi (dan partisipasi) orang yang paling tahu tentang apa yang baik bagi dirinya adalah orang itu. Karena keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga masyarakat maka warga masyarakat

berhak ikut serta menentukan isi keputusan politik”.

Berdasarkan teori di atas, dapat dikatakan bahwa partisipasi merupakan salah satu aspek terpenting dalam suatu pelaksanaan demokrasi. Dimana pelaksanaan demokrasi dapat menentukan keputusan politik yang akan dibuat dan dilaksanakaan pemerintah serta dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat.

Menurut Usman dalam Budiardjo (2008: 32) partisipasi adalah partisipasi itu dapat bersifat perorangan atau secara kelompok, diorganisasikan atau secara spontan, ditopang atau sporadis, secara baik-baik atau dengan kekerasan, legal atau tidak legal, aktif atau tidak aktif. Partisipasi pada umumnya bersifat perorangan atau kelompok yang dibentuk dalam suatu organisasi secara baik-baik tanpa adanya kekerasan dalam bentuk apapun. Pelaksanaan partisipasi dari Warga Negara atau masyarakat dalam salah satu contoh keputusan yang


(39)

dibuat oleh pemerintah yakni pemilihan umum di tingkat pusat dan di tingkat desa.

Pemilihan umum tidak akan berjalan dengan baik apabila tidak adanya partisipasi politik dari masyarakat. Definisi partisipasi politik itu sendiri menurut Nelson bahwa Partiasipasi politik adalah Kegiatan warga Negara sipil (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah (Budiardjo, 2008: 48).

Partisipasi politik menurut Hilman dalam Budiardjo (2008: 53) yaitu:

“Partisipasi politik adalah Kegiatan seseorang atau sekelompok orang

untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pimpinan negara, dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy)”.

Berdasarkan teori di atas, kegiatan seseorang atau sekelompok orang yang ikut aktif dalam politik dengan memilih pemimpin Negara baik secara langsung maupun tidak langsung sangat mempengaruhi semua kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah, sehingga seseorang atau sekelompok orang yang aktif tersebut merupakan faktor terpenting dari semua kegiatan politik dalam menentukan pemimpin negara atau pemimpin pemerintahan.

Menurut Soemarsono dalam Budiardjo (2008: 59) menjelaskan bahwa:

“Partisipasi politik pada hakekatnya sebagai ukuran untuk mengetahui

kualitas kemampuan warga negara dalam menginterpretasikan sejumlah simbol kekuasaan (kebijaksanaan dalam mensejahterakan masyarakat sekaligus langkah-langkahnya) ke dalam simbol-simbol pribadi. Atau dengan perkataan lain, partisipasi politik adalah proses memformulasikan ulang simbol-simbol-simbol komunikasi berdasarkan tingkat rujukan yang dimiliki baik secara pribadi maupun secara kelompok (individual reference, social references) yang berwujud dalam aktivitas sikap dan


(40)

Berdasarkan teori di atas bahwa formulasi simbol-simbol merupakan faktor terpenting dalam komunikasi baik dilihat secara pribadi maupun secara kelompok. Sedangkan menurut Michael Rush dan Philip Althoff dalam Budiardjo (2008: 64) bahwa:

“Partisipasi politik merupakan keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan di dalam sistem politik. Yang termasuk dalam sistem politik tersebut antara lain: Menduduki jabatan politik atau administratif, Mencari jabatan politik atau administrasi, Keanggotaan aktif suatu organisasi politik, Keanggotaan pasif suatu organisasi politik, Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik, Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik, Partisipasi dalam rapat umum, kampaye, dan sebagainya, Partisipasi dalam diskusi politik informal minat umum dalam politik, Voting atau Pemberian Suara”.

Berdasarkan teori di atas, keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan di dalam semua sistem politik, yang berupa hierarki partisipasi yang dapat dilihat dalam menduduki jabatan politik, mencari jabatan politik, ikut menjadi anggota aktif suatu organisasi, menjadi anggota pasif suatu organisasi politik, ikut dalam rapat umum, ikut dalam diskusi politik maupun pemberian suara saat pemilihan baik pemilihan umum di tingkat pusat maupun pemilihan umum di tingkat pemerintahan terkecil yaitu desa.

Sementara itu menurut Rafael Raga dalam Budiardjo (2008: 70) bahwa:

“Partisipasi politik sebagai usaha yang terorganisir oleh para warga negara

untuk memilih pemimpin-pemimpin mereka dan mempengaruhi bentuk dan jalanya kebijaksanaan umum. Usaha ini dilakukan berdasarkan kesadaran akan tanggung jawab mereka terhadap kehidupan bersama sebagai suatu bangsa dalam suatu negara. Dalam hal ini, partisipasi politik berbeda dengan mobilisasi politik, yaitu usaha pengerahan masa oleh golongan elite politik untuk mendukung kepentingan-kepentingannya”.

Berdasarkan teori di atas, partisipasi politik sebagai usaha yang terorganisir atau tersusun rapi oleh warga negara atau masyarakat dalam memilih semua


(41)

pemimpin-pemimpin yang akan menduduki pemerintahan serta dapat berpengaruh pada semua kebijaksanaan umum. Dalam hal ini partisipasi politik bukan merupakan mobilisasi politik yang dapat menggerakkan masyarakat yang diinginkan para elit politik, sehingga dapat mendukung semua keinginan-keinginan dari para elit politik tersebut.

Menurut Kevin R. Hardwick dalam Budiardjo (2008: 77) menjelaskan bahwa: “Political participation concerns the manner in which citizen interact with government, citizens attempt to convey their needs to public officials in the

hope of having these needs met”(Partisipasi politik memberi perhatian

pada cara-cara warga Negara berinteraksi dengan pemerintah, warga Negara berupaya menyampaikan kepentingan-kepentingan mereka terhadap pejabat-pejabat publik agar mampu mewujudkan kepentingan-kepentingan tersebut).

Berdasarkan teori di atas, partisipasi politik merupakan usaha dari Warga Negara untuk mempengaruhi pemimpin pemerintahan serta adanya interaksi warga negara dengan pemerintah dalam menyampaikan semua kepentingan atau keinginan yang dibutuhkan oleh warga negara yang disampaikan pada pemerintah, sehingga kepentingan atau keinginan tersebut dapat terlaksana.

Setiap masyarakat yang sudah tinggal dan menetap di Indonesia serta sudah terdaftar menjadi warga negara Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk berpartisipasi politik di negara Indonesia tanpa memandang suku, agama, ras, maupun golongan tanpa terkecuali dimaksudkan dalam penelitian ini ialah etnis Tionghoa. Melihat dari partisipasi politik etnis Tionghoa dari zaman ke zaman yang selalu berubah-ubah, sampai dimana era saat ini partisipasi maupun peran etnis Tionghoa diakui keberadaannya di negara Indonesia.


(42)

Warga etnis Tionghoa saat ini semakin menunjukkan eksistensinya dalam berpartisipasi politik, seperti salah satu contohnya ikut memilih dalam suatu pemilihan umum, baik itu pemilihan Presiden maupun pemilihan kepala daerah. Ada bebagai macam faktor maupun alasan mengapa para warga etnis Tionghoa ikut serta dalam suatu pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah, faktor maupun alasan yang paling mendasar untuk dijelaskan mungkin karena mereka merasa walaupun mereka warga keturunan bukan merupakan asli Indoneseia, namun setelah sekian lama mereka dan menetap dan akhirnya menjadi WNI memiliki identitas yang sama dengan Warga Negara Indonesia yang lainnya.

Melihat dari kesamaan identitas dengan warga lainnya hal itulah yang meyakinkan bahwa etnis Tionghoa mempunyai hak dan kewajiban sama dalam partisipasi politik, serta menimbulkan kesadaran politik ditengah-tengah masyarakat etnis Tionghoa sebagai rasa tanggung jawab mereka sebagai warga negara Indonesia dalam hal partisipasi politik dalam hal ini ikut memberikan hak suaranya dalam suatu pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah.

Menurut Myron Weiner dalam Gaffar (2002: 45) paling tidak terdapat lima hal yang menyebabkan timbulnya gerakan kearah partisipasi lebih luas dalam proses politik ini antara lain:

a). Modernisasi, komersisialisasi pertanian, industrrialisasi, urbanisasi yang meningkat, penyebaran kepandaian baca tulis, perbaikan pendidikan, dan pengembangan media komunikasi massa. Ketika penduduk kota baru yang

buruh, pedagang mempengaruhi nasib mereka sendiri, mereka makin banyak menuntut untuk ikut dalam kekuasaan politik.


(43)

b). Perubahan-perubahan Struktur Kelas Sosial, begitu bentuk suatu kelas pekerja baru dan kelas menengah yang meluas dan berubah selama proses industrialisasi dan modernisasi, masalah tentang siapa yang berhak berpartisipasi dalam pembuatan keputusan politik menjadi penting dan mengakibatkan perubahan-perubahan dalam pola partisipasi politik.

c). Pengaruh kaum Intelektual dan Komunikasi massa Modern; kaum intelektual, sarjana, filsof, pengarang dan wartawan sering mengemukakan ide-ide seperti egalitarisme dan nasioalisame kepeda masyarakat umum untuk membangkitkan tuntutan akan partisipasi massa yang luas dalam pembuatan keputusan politik.

d). Konflik di antara Kelompok-Kelompok pemimpin politik; kalau timbul kompetisi memperebutkan kekuasaan, strategi yang biasa digunakan oleh kelompok-kelompok yang saling berhadapan adalah mencari dukungan rakyat.

e). Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial ekonomi dan kebudayaan; perluasan kegiatan pemerintah dalam bidang-bidang kebijaksanaan baru biasanya berarti bahwa konsekuensi tindakan-tindakan pemerintahan menjadi semakin menyusup ke segala segi kehidupan sehari-hari rakyat. Tanpa hak-hak sah atas partisipasi politik, individu-individu betul-betul tidak berdaya menghadapi dan dengan mudah dapat dipengaruhi oleh tindakan-tindakan pemerintah yang mungkin dapat ruang lingkup aktivitas pemerintah sering merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisir akan kesempatan untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik.

2. Kategorisasi Partisipasi Politik

Secara umum dapat dikatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik. Negara-negara demokrasi umumnya dianggap bahwa lebih banyak partisipasi masyarakat, lebih baik. Tingginya tingkat partisipasi menunjukkan bahwa warga mengikuti dan memahami masalah politik dan ingin melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan itu, tingginya tingkat partisipasi juga menunjukkan bahwa rezim yang sedang berkuasa memiliki keabsahan yang tinggi, dan sebaliknya rendahnya partisipasi politik di suatu Negara dianggap kurang baik karena menunjukkan rendahnya perhatian warga terhadap


(44)

masalah politik, selain itu rendahnya partisipasi politik juga menunjukkan lemahnya legitimasi dari rezim yang sedang berkuasa (Rahman, 2007: 34).

Partisipasi sebagai suatu bentuk kegiatan dibedakan atas dua bagian, yaitu: a. Partisipasi aktif, yaitu kegiatan yang berorientasi pada output dan input

politik. Yang termasuk dalam partisipasi aktif adalah, mengajukan usul mengenai suatu kebijakan yang dibuat pemerintah, menagjukan kritik dan perbaikan untuk meluruskan kebijakan, membayar pajak dan memilih pemimpin pemerintahan.

b. Partisipasi pasif, yaitu kegiatan yang hanya berorientasi pada output politik. Pada masyarakat yang termasuk kedalam jenis partisipasi ini hanya menuruti segala kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah tanpa mengajukan kritik dan usulan perbaikan (Mahendra, 2005: 62).

Kemudian terdapat masyarakat yang tidak termasuk kedalam kedua kategori ini, yaitu masyarakat yang menganggap telah terjadinya penyimpangan sistem politik dari apa yang telah mereka cita-citakan. Kelompok tersebut disebut apatis (golput). Kategori partisipasi politik menurut Milbrath dalam Hutington (2010: 57) adalah sebagai berikut:

1. Kegiatan Gladiator meliputi:

a. Memegang jabatan publik atau partai b. Menjadi calon pejabat

c. Menghimpun dana politik

d. Menjadi anggota aktif suatu partai

e. Menyisihkan waktu untuk kampanye politik. 2. Kegiatan transisi meliputi :

a. Mengikuti rapat atau pawai politik

b. Memberi dukungan dana partai atau calon c. Jumpa pejabat publik atau pemimpin politik


(45)

3. Kegiatan monoton meliputi :

a. Memakai symbol atau identitas partai atau organisasi politik b. Mengajak orang untuk memilih

c. Menyelenggarakan diskusi politik d. Memberi suara

4. Kegiatan apatis atau masa bodoh.

Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi politik seseorang adalah : a. Kesadaran politik, yaitu kesadaran akan hak dan kewajibannya sebagai

warga Negara.

b. Kepercayaan politik, yaitu sikap dan kepercayaan orang tersebut terhadap pemimpinnya (Hutington, 2010: 58).

Berdasarkan dua faktor tersebut, terdapat empat tipe partisipasi politik yaitu: 1). Partisipasi politik aktif jika memiliki kesadaran dan kepercayaan politik

yang tinggi.

2). Partisipasi politik apatis jika memiliki kesadaran dan kepercayaan politik yang rendah.

3). Partisipasi politik pasif jika memiliki kesadaran politik rendah, sedangkan kepercayaan politiknya tinggi.

4). Partisipasi politik militant radikal jika memiliki kesadaran politik tinggi, sedangkan kepercayaan politiknya rendah (Hutington, 2010: 59).

C. Tinjauan tentang Perilaku Pemilih

Pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para konsestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan kemudian memberikan suaranya kepada konsestan yang bersangkutan. Masyarakat merupakan faktor terpenting dalam Pemilihan Umum menentukan pemimpin pemerintahan baik (Nursal, 2004: 13).


(46)

Menurut Firmanzah dalam Nursal (2004: 15) menyatakan bahwa:

“Pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para kontestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan kemudian memberikan suaranya kepada kontestan yang bersangkutan. Pemilih dalam hal ini dapat berupa konstituen atau masyarakat pada umumnya. Konstituen adalah kelompok masayarakat yang merasa diwakili oleh suatu ideologi tertentu yang kemudian dimanifestasikan dalam

institusi politik seperti parpol”.

Menurut Jean Kristiadi (2006: 76) menyatakan bahwa:

“Perilaku seseorang untuk memberikan suara dalam proses pemilihan umum berdasarkan faktor psikologis, faktor sosiologis, dan faktor rasional pemilih atau disebut teori voting behavioral. Perilaku memilih merupakan tindakan seseorang ikut serta dalam memilih orang, partai politik, atau isu publik tertentu yang sedang terjadi. Salah satu wujud dari partisipasi politik ialah kegiatan pemilihan yang mencakup dukungan suara, sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon atau setiap tindakan yang bertujuan untuk mempengaruhi hasil proses pemilihan”.

Menurut Surbakti dalam Nursal (2004: 19) perilaku pemilih adalah aktivitas pemberian suara oleh individu yang berkaitan erat dengan kegiatan pengambilan keputusan untuk memilih dan tidak memilih (to vote or not to vote) di dalam suatu pemilu maka voters akan memilih atau mendukung

kandidat tertentu”.

Perilaku pemilih Menurut Surbakti ditentukan oleh lima domain kognitif yang berbeda dan terpisah sebagai berikut:

a) Isu dan kebijakan publik (issues and policies), mempresentasikan kebijakan/program (platform) yang diperjuangkan dan dijanjikan oleh partai atau kandidat politik jika kelak menang Pemilu.

b) Citra sosial (social imagery), menunjukkan stereotip kandidat atau partai politik untuk menarik pemilih dengan menciptakan asosiasi antara kandidat atau partai dan segmen-segmen tertentu dalam masyarakat. Citra sosial bisa terjadi berdasarkan banyak faktor, antara lain demografi, sosial ekonomi, kultur dan etnik, serta politis-ideologis.


(47)

c) Perasaan emosional (emotional feelings) adalah dimensi emosional yang terpancar dari sebuah kontestan atau kandidat yang ditunjukkan oleh kebijakan politik yang ditawarkan.

d) Peristiwa mutakhir (currents events) mengacu pada peristiwa, isu, dan kebijakan yang berkembang menjelang dan selama kampanye.

e) Faktor episdemik (episdemic issues) adalah isu-isu pemilihan yang spesifik yang dapat memicu keingintahuan para pemilih mengenai hal-hal baru.

Menurut Firmanzah dalam Nursal (2004: 26) ada tiga faktor determinan bagi pemilih dalam memutuskan pilihan politiknya. Ketiga faktor tersebut sangat memperngaruhi pertimbangan pemilih, yaitu:

Pertama, Kondisi awal pemilih. Kondisi awal yang dimaksud adalah karakteristik yang akrab dengan diri pemilih. Setiap individu memiliki nilai, keyakinan dan kepercayaan dengan tingkatan yang berbeda-beda. Setiap individu memiliki kemampuan yang berbeda, tergantung pada tingkat pengalaman, pendidikan, ekonomi, dan status sosial masing-masing. Kondisi ini jelas sangat mempengaruhi individu dalam pengambilan keputusan politik. Kedua, faktor media massa yang memepengaruhi opini publik. Media masa yang memuat data, informasi, dan berita berperan penting dalam mempengaruhi opini di masyarakat. Demikian pula dengan pemaparan para ahli, iklan politik, hasil seminar, survei dan berbagai hal yang diulas dalam media masa akan menjadi bahan pertimbangan pemilih. Isu-isu hangat dan aktual, perkembangan situasi dan berita-berita terkait kinerja dan platform partai akan dikonsumsi oleh pemilih dengan keragaman dan derajat pemahaman yang berbeda-beda. Ketiga, faktor parpol atau kontestan. Pemilih akan menilai latar belakang, reputasi, citra, ideologi, dan kualitas para tokoh-tokoh parpol dengan pandangan mereka masing-masing.

Masyarakat akan menilai kinerja partai dalam kurun waktu yang cukup lama, jauh dari sebelum pemilu dilaksanakan. Parpol atau kontestan pemilu yang ingin mendapat citra baik di tengah-tengah masyarakat harus membuktikannya dari jauh-jauh hari sebelum pemilu berlangsung. Reputasi harus dibangun tidak dengan jangka waktu yang sebentar dan merupakan hasil dari akumulasi serta kinerja dalam kurun waktu yang relatif lama. Karena untuk mendapatkan


(48)

suatu hasil memerlukan proses yang panjang, melihat kondisi masyarakat yang fluktuatif perilakunya dalam menanggapi pemilihan umum.

Menurut Jean Kristiadi (2006: 41) teorinya mengungkapkan, ada beberapa pendekatan untuk menganalisis tingkah laku masa pemilih dalam suatu pemilu meliputi: pendekatan struktural, pendekatan sosiologis, pendekatan ekologis, pendekatan psikologis-sosial dan pendekatan rasional.

Menurut oleh Samuel P. Hutington (2010: 59) pemilih dikelompokkan menjadi empat segmen berdasarkan perilaku pemilih sebagai bagian dari political marketing antara lain:

a) Segmen pemilih rasional. Kelompok pemilih yang memfokuskan perhatian pada isu dan kebijakan kontestan dalam menentukan pilihan politiknya.

b) Segmen pemilih emosional. Kelompok pemilih yang dipengaruhi oleh perasaan-perasaaan tertentu dalam menentukan pilihan politiknya. Faktor emosional ini sangat ditentukan oleh faktor personalitas kandidat.

c) Segmen pemilih sosial. Kelompok yang mengasosiasikan kontestan pemilu dengan kelompok-kelompok sosial tertentu dalam menentukan pilihan politiknya.

d) Segmen pemilih situasional. Kelompok pemilih yang dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional tertentu dalam menentukan pilihannya. Segmen ini digerakkan oleh perubahan dan akan menggeser pilihan politiknya jika terjadinya kondisi-kondisi tertentu.

Perilaku memilih seseorang sangat ditentukan oleh kinerja dan pencapaian sebuah partai politik atau kontestan politik jauh sebelum mereka berkampanye untuk pemilu. Berdasarkan beberapa pendapat yang telah diungkapkan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku pemilih adalah tindakan seseorang untuk memberikan suara dalam pemilihan umum, yang diperhatikan


(49)

dalam hal ini adalah mengapa seseorang memilih partai tertentu, tokoh tertentu dan pengelompokan tertentu.

D. Teori-teori Pendekatan Perilaku Pemilih

Pemilih merupakan komponen penting dalam pemilihan umum. Hal tersebut dikarenakan sistem politik demokrasi yang meletakkan kedaulatan tertinggi pada rakyat. Rakyat berhak mencalonkan dan memilih siapa yang akan mewakili kontestan di kursi parlemen. Perilaku pemilih juga sarat dengan ideology antara pemilih dengan partai politik atau kontestan pemilu. Masing-masing kontestan membawa ideologi yang saling berinteraksi. Selama periode kampanye pemilu, muncul kristalisasi dan pengelompokkan antara ideologi yang dibawa kontestan. Masyarakat akan mengelompokkan dirinya kepada kontestan yang memiliki ideologi sama dibawa dengan yang mereka anut sekaligus juga menjauhkan diri dari ideologi yang berseberangan dengan mereka.

Menurut teori Surbakti dalam Nursal (2004: 33) ada beberapa pendekatan untuk melihat perilaku pemilih, yaitu:

1) Pendekatan sosiologis. 2) Pendekatan Psikologis. 3) Pendekatan Rasional.

4) Pendekatan Domain Kognitif.

Berdasarkan beberapa rumusan beberapa pendekatan untuk melihat perilaku pemilih oleh para ahli dapat disimpulkan bahwa pada dasarnnya pendekatan tersebut hanya berkisar pada tiga pendekatan sebagaimana yang dirumuskan


(50)

oleh Surbakti dalam Nursal (2004: 33), maka pendekatan untuk melihat perilaku pemilih dalam teori Surbakti dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Pendekatan Sosiologis

Menurut Surbakti dalam Nursal (2004: 34), ketika menggunakan pendekatan ini untuk menjelaskan perilaku memilih masyarakat Inggris, menyebut model ini sebagai social determinism approach. Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku pemilih seseorang. Karakteristik sosial (seperti pekerjaan, pendidikan dan sebagainya) dan karekteristik atau latar belakang sosiologis (seperti agama, wilayah, jenis kelamin, umur dan sebagainya) merupakan faktor penting dalam menentukan pilihan politik.

Pengelompokan sosial seperti umur (tua atau muda); jenis kelamin (laki-laki atau perempuan); agama dan semacamnya dianggap mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam membentuk pengelompokan sosial baik secara formal seperti keanggotaan seseorang dalam organisasi-organisasi keagamaan, organisasi-organisasi frofesi; maupun pengelompokan informal seperti keluarga, pertemanan, atau pun kelompok-kelompok kecil lainnya., merupakan sesuatu yang sangat vital dalam memahami perilaku politik seseorang, karena kelompok-kelompok inilah yang mempunyai peranan besar dalam membentuk sikap, persepsi dan orientasi seseorang.


(51)

Menurut mazhab Asfar dalam Mahendra (2005: 75), pendekatan sosiologis pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan sosial, usia, jenis kelamin, agama, pekerjaan, latar belakang keluarga, dan sebagainya dianggap memberi pengaruh cukup signifikan dalam membentuk perilaku pemilih.

Menurut teori Surbakti dalam Nursal (2004: 37-41) teori perilaku pemilih sosiologis atau mazhab Columbia menekankan bahwa faktor-faktor sosiologis memiliki peranan penting dalam membentuk perilaku memilih seseorang atau sekelompok orang, perilaku pemilih dalam pendekatan sosiologis dipengaruhi oleh beberapa indikator, yaitu:

a) Tingkat pendidikan sosial pemilih.

b) Karakteristik sosial pemilih berdasarkan pekerjaan. c) Pendapatan pemilih.

d) Karakteristik kelompok umur dan jenis kelamin pemilih. e) Karakteristik sosial didasarkan suku pemilih.

f) Karakteristik sosial pemilih berdasarkan unsur lingkungan keluarga atau kelas sosial.

Mengenai mazhab sosiologis, Marbawi (Litbang Media Group), seperti yang dikutip oleh Mahendra (2005: 75), menyatakan bahwa:

“Latar belakang pilihan atas partai, calon dan isu, ditentukan oleh karakteristik sosial pemilih. Misalnya, agama, etnis, atau kedaerahan. Seseorang akan memilih partai atau figur tertentu, karena ada kesamaan karakteristik sosial antara si pemilih dan karakteristik sosial figur atau

partai”.

Menurut Muhammad Asfar dalam Nursal (2004: 43) menjelaskan bahwa:

“Pendekatan sosiologis pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik

sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku pemilih. Pengelompokan sosial seperti umur (tua, muda) jenis kelamin, agama dan


(52)

semacamnya, dianggap mempunyai peranan yang cukup menentukan

dalam membentuk perilaku pemilih”.

Latar belakang pilihan atas partai atau calon, menurut pendekatan sosiologis dikembangkan dari asumsi bahwa perilaku memilih ditentukan oleh karakteristik sosial pemilih. Misalnya, agama, etnik, atau kedaerahan. Seseorang akan memilih partai atau figur tertentu, karena ada kesamaan karakteristik sosial antara si pemilih dan karakteristik sosial figur atau partai.

2. Pendekatan Psikologis

Pendekatan psikologis menurut Surbakti dalam Nursal (2004: 47), yakni pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologi-terutama konsep sosialisasi dan sikap untuk menjelaskan perilaku pemilih. Variabel-variabel itu tidak dapat dihubungkan dengan perilaku memilih kalau ada proses sosialisasi. Oleh karena itu, menurut pendekatan ini sosialisasilah sebenarnya yang menentukan perilaku memilih (politik) seseorang.

Pendekatan ini menjelaskan sikap seseorang-sebagai refleksi dari kepribadian seseorang-merupakan variabel yang cukup menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang. Oleh karena itu, pendekatan psikologis menekankan pada tiga aspek psikologis sebagai kajian utama yaitu ikatan emosional pada suatu partai politik, orientasi terhadap isu-isu dan orientasi terhadap kandidat.

Pendekatan psikologis menurut Mahendra (2005: 80) mengungkapkan bahwa:

“masyarakat dalam menentukan pilihannya dalam suatu proses pemilu lebih banyak dipengaruhi oleh kekuatan psikologis yang berkembang


(53)

dalam dirinya sendiri. Model psikologis menggunakan identifikasi partai

sebagai konsep kunci. Identifikasi partai berarti “rasa keterkaitan individu terhadap partai”, sekalipun bukan anggota partai”.

Menurut Angust Campbell dalam Nursal (2004: 51) menyatakan bahwa:

a pyscological identification, which can persist without legal recognition or evidence of formal membership and even without a consistent record of party support”. (identifikasi psikologis, yang dapat tetap melakukan tanpa pengakuan yang sah atau bukti keanggotaan formal dan sekalipun tanpa data yang tetap tentang pendukung partai).

Sikap seseorang sangat mempengaruhi perilaku politiknya, yang semuanya itu merupakan akibat dari hasil proses sosialisasi yang panjang. Melalui proses sosialisasi inilah, akan berkembang suatu ikatan yang kuat dengan partai politik atau organisasi masyarakat lainnya. Ikatan seperti inilah yang disebut sebagai identifikasi partai sebuah variabel inti untuk menjelaskan pemilih berdasarkan Mazhab Michigan.

3. Pendekatan Rasional

Pendekatan rasional menurut Surbakti dalam Nursal (2004: 59), bahwa perilaku pemilih oleh pakar politik sebenarnya diadaptasi dari ilmu ekonomi. Para ahli politik melihat adanya analogi antara pasar (ekonomi) dan perilaku memilih (politik), apabila secara ekonomi masyarakat dapat bertindak secara rasional, yaitu menekan ongkos sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, maka dalam perilaku politik pun maka masyarakat akan dapat bertindak secara rasional, yakni memberikan suara ke OPP yang dianggap mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan menekan kerugian.


(54)

Pendekatan rasional muncul sebagai reaksi tehadap dua pendekatan terdahulu yaitu pendekatan sosiologis dan pendekatan psikologis. Pendekatan ini lahir untuk menjelaskan tentang pergeseran perilaku pemilih dari satu pemilu ke pemilu yang lain, dari orang sama dengan status sosial yang sama, yang tidak dapat dijelaskan oleh dua pendekatan sebelumnya.

Menurut Lawrence, atau Redlawsk, ataupun Roth dalam Nursal (2004: 61) berdasarkan pendekatan ini, manusia diasumsikan adalah seorang pemilih yang rasional. Individu mengantisipasi setiap konsekuensi yang mungkin muncul dari pilihan-pilihan yang ada. Lalu, dari pilihan-pilihan tersebut, individu akan memilih pilihan yang memberi keuntungan paling besar bagi dirinya.

Pendekatan rasional berkaitan dengan pola perilaku pemilih masyarakat, yakni orientasi isu dan orientasi kandidat. Orientasi isu berkaitan dengan peristiwa-peristiwa sosial, ekonomi dan politik tertentu yang kontekstual dengan pemilu bersangkutan terutama peristiwa dramatis. Sementara itu pendekatan rasional terhadap kandidat dapat didasarkan pada kedudukan informasi, prstasi dan popularitas pribadi bersangkutan dalam berbagai bidang kehidupan seperti organisasi, kesenian, olahraga dan politik. Pendekatan rasional mengantarkan pada kesimpulan, bahwa para pemilih benar-benar rasional, para pemilih melakukan penilaian yang valid terhadap tawaran partai.

Berdasarkan tindakan komunikasi, Nimmo dalam Nursal (2004: 65) menggolongkan pemilih ini sebagai pemberi suara yang rasional. Pemilih


(55)

rasional itu memiliki motivasi, prinsip, pengetahuan dan mendapat informasi yang cukup, tindakan mereka bukanlah karena faktor kebetulan atau kebiasaan, bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk kepentingan umum menurut pikiran dan pertimbangan logis.

4. Pendekatan Domain Kognitif

Pendekatan domain kognitif menurut Surbakti dalam Nursal (2004: 70) yakni model perilaku pemilih berdasarkan beberapa domain yang terkait dengan marketing. Dalam mengembangkan model tersebut menggunakan sejumlah kepercayaan kognitif yang berasal dari berbagai sumber seperti pemilih, komunikasi dari mulut ke mulut, dan media massa. Model ini dikembangkan untuk menerangkan dan memprediksikan perilaku pemilih. Menurut model ini, perilaku pemilih ditentukan oleh lima domain kognitif yang berbeda dan terpisah, sebagai berikut:

a) Isu dan kebijakan politik

Merepresentasikan kebijakan atau program yang diperjuangkan dan dijanjikan oleh partai atau kandidat politik jika kelak menang pemilu. b) Citra sosial (social imagery)

Social imagery adalah citra kandidat dalam pikiran pemilih mengenai berada di dalam kelompok sosial mana atau tergolong sebagai apa seorang kandidat politik.

c) Perasaan emosional

Perasaan emosional adalah dimensi yang terpancar dari sebuah kontestan yang ditunjukkan oleh policy politik yang ditawarkan.

d) Peristiwa mutakhir

Peristiwa mutakhir mengacu pada himpunan peristiwa, isu, dan kebijakan yang berkembang menjelang dan selama kampanye.

e) Faktor-faktor episdemik

Isu-isu pemilihan spesifik yang dapat memicu keingintahuan para pemilih mengenai hal-hal baru.


(56)

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa antara pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis, pendekatan rasional dan pendekatan domain kognitif terdapat keterkaitan dan satu sama lain saling melengkapi. Perilaku pemilih seseorang dapat dipengaruhi oleh sikap seseorang yang terbentuk melalui sosialisasi panjang yang dari latar belakang keluaga, ruang lingkup pekerjaan, agama, atau kegiatan-kegiatan dalam kelompok formal dan informal. Sikap seseorang tersebut akan memberikan pemahaman terhadap isu dan kebijakan politik, citra sosial, perasaan emosional, citra kandidat, peristiwa mutakhir dan personal, serta faktor episdemik.

Berdasarkan uraian tersebut, menurut peneliti berdasarkan konsep perilaku pemilih adalah aktivitas pemberian suara oleh individu yang bekaitan erat dengan kegiatan pengambilan keputusan untuk memilih atau tidak memilih (to vote or not to vote) di dalam suatu pemilihan umum, maka dalam penelitian ini dalam menganalisis perilaku pemilih menggunakan teori Surbakti dalam Nursal (2004: 70) untuk melihat perilaku pemilih perilaku pemilih etnis Tionghoa dalam pemilihan Umum Tahun 2014 di Kota Metro. Peneliti menggunakan teori Surbakti karena memiliki relevansi dalam menganalisis pendekatan perilaku pemilih dengan pendekatan domain kognitif.

E. Tinjauan tentang Pemilihan Umum

Pemilihan Umum disebut juga dengan “Political Market”. Artinya bahwa pemilihan umum merupakan pasar politik tempat individu maupun masyarakat berinteraksi untuk melakukan kontrak sosial (perjanjian masyarakat) antara peserta pemilihan umu (partai politik atau kontestan politik) dengan pemilih


(57)

(rakyat) yang memiliki hak pilih setelah terlebih dahulu melakukan serangkaian aktivitas politik yang meliputi kampanye, propaganda, iklan politik dan sebagainya guna meyakinkan pemilih sehingga pada pencoblosan dapat menentukan pilihannya terhadap salah satu partai atau kontestan politik yang menjadi peserta pemilihan umum untuk mewakilinya dalam badan legislatif maupun eksekutif (Kristiadi, 2006: 62).

Pemilu merupakan cara terkuat bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam sistem demokrasi perwakilan modern. Sebuah instrument yang di perlukan bagi partisipasi demokrasi. Pemahaman demokrasi secara normatif merupakan suatu kondisi yang secara ideal ingin diselenggarakan oleh suatu negara. Sedangkan dalam pemahaman demokarasi secara empirik, demokrasi dikaitkan dengan kenyataan penerapan demokrasi dalam tataran kehidupan politik praktis.

Demokrasi sebagai suatu sistem politik dimana para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat didalam sistem politik, para calon secara bebas bersaing untuk mendapatkan suara, dan hampir semua penduduk dewasa berhak untuk memberikan suaranya. Selain itu, demokrasi juga mensyaratkan adanya kebebasan sipil dan politik, yaitu adanya kebebasan untuk berbicara, berpendapat, berkumpul, berorganisasi, yang dibutuhkan untuk perdebatan politik, dan pelaksanaan kampanye pemilihan umum. Suatu sistem dikatakan tidak demokratis bila oposisi dikontrol dan dihalangi dalam mencapai apa yang dapat dilakukannya, seperti koran-koran oposisi dibredel, hasil


(58)

pemungutan suara dimanipulasi atau perhitungan suara tidak benar (Hutington, 2010: 47).

Pelaksanaan Pemilu 2014 didasarkan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dimana disebutkan:

a) Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b) Pemilu dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

c) Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

1) Pemilu dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali. 2) Tahapan penyelenggaraan Pemilu.

3) Pemungutan suara dilaksanakan pada hari libur atau hari yang diliburkan.

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dilihat upaya konstitusional untuk menyelenggarakan pemilu yang demokratis. Agar pemilu dapat berjalan secara damai, terbuka, dan bebas, diperlukan sebuah sistem pemilu yang disepakati bersama. Sistem pemilu dalam ilmu politik dipahami sebagai kumpulan metode atau cara warga masyarakat tak terkecuali etnis Tionghoa memilih para wakil mereka, bahkan mencalonkan diri sebagai calon legislatif. Masyarakat Kecamatan Metro Pusat berhak memilih para wakilnya baik dilembaga legislatif (DPR, DPD, DPRD) maupun jabatan politik eksekutif (Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota) dengan tidak memandang pada suatu klasifikasi apapun.


(59)

F. Tinjauan tentang Partisipasi Politik Etnis Tionghoa

Popoularitas istilah tionghoa berhubungan dengan bangkitnya nasionalisme pada akhir abad ke-19, Zhonghua digunakan beberapa abad sebelumnya, sebagai sinonim Zhongguo (Tiongkok dalam lafal Hokkian). Untuk menyebut darat pusat Tiongkok. Mencermati perjalanan sejarah Etnis Tionghoa di Indonesia, istilah Tionghoa muncul ketika terjadi perdebatan siapa orang Cina yang menjadi WNI dan siapa yang setia kepada RRC. Istilah Tionghoa muncul untuk membedakan keturunan Cina yang memilih WNI, bukan orang Cina yang memilih menjadi warga negara RRC. Dengan demikian, istilah Etnis Tionghoa digunakan untuk menunjuk orang Cina atau keturunan Cina yang ada di Indonesia, yang memilih menjadi warga negara Indonesia. Istilah Tionghoa menjadi semakin menguat dan meluas penggunaannya Pasca-Orde Baru (Maryanah, 2005: 19).

Sejarah partisipasi politik etnis Tionghoa sendiri dari masa ke masa yang kita telah pahami bahwa dari masa Orde Lama menuju Orde Baru sampai di era reformasi saat ini pun terjadi berbagai macam perubahan. Perubahan politik dari masa Orde Lama sampai era reformasi sekarang pun juga diikuti nya perubahan partisipasi politik etnis tionghoa ditiap jamannya ataupun ditipa massa nya.

Khusus di Provinsi Lampung tepatnya di Kota Metro partisipasi etnis Tionghoa sebelum pemilihan anggota legislatif, dicontohkan Pemilihan Walikota Metro 2010, etnis Tionghoa berpartisipasi hanya sebatas pengamat saja tanpa turut serta dalam pesta demokrasi masyarakat Kota Metro. Etnis


(60)

Tionghoa terlihat kurang tertarik karena mereka menganggap bahwa etnis Tionghoa tidak akan pernah bisa menjadi seorang pemimpin di Indonesia. Selain itu membicarakan politik, dan juga mengikuti perkembangan politik ataupun semacamnya, dan apabila pemilu itu dimulai mereka hanya sebatas ikut serta memberikan suaranya di pemilihan kepala daerah tersebut, bahkan sebagian golput.

Pemilihan Walikota Metro pada Juni 2010 dalam daftar calon walikota dan wakil walikota tidak ada yang berdarah etnis Tionghoa, maka dari itu peneliti menyebutkan partisipasi etnis Tionghoa sebelum pemilihan Walikota 2010 hanya sebatas pengamat saja. Pada masa orde lama etnis Tionghoa partisipasinya sedikit terlihat dikarenakan di masa itu ada lembaga atau badan yang berhasil didirikan oleh etnis Tionghoa yang diberi nama Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Namun hal ini memudar bersamaan dengan bergantinya masa orde lama menuju Orde Baru yang dapat diketahui semua aktifitas etnis Tionghoa khusunya di bidang politik dapat dikatakan mati. Hal ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah pada saat itu untuk menutup semua akses warga etnis Tionghoa dalam ikut berpartisipasi dalam hal politik dan dipercaya hanya dalam dunia perdagangan, bisnis, atau kesehatan saja.

Perkembangan yang ada di saat orde baru di Tahun 1998 yang akhirnya runtuh yang kemudian lahir era reformasi, dimana pada era ini partisipasi politik etnis Tionghoa juga ikut berubah, namun yang membedakan di era reformasi ini partisipasi etnis Tionghoa tidak hanya di bidang politik saja melainkan


(1)

VI. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap temuan peneliti di lapangan tentang Perilaku Pemilih Etnis Tionghoa dalam Pemilihan Umum Tahun 2014 di Kota Metro, maka dapat disimpulkan bahwa :

Perilaku pemilih terhadap kandidat etnis Tionghoa yang dinamis dan asertif dalam partisipasi politik pada pemilu 2014 merupakan bentuk perilaku positif masyarkat terhadap kandidat etnis Tionghoa di Kota Metro. Perilaku pemilih etnis Tionghoa dalam menyikapi isu dan kebijakan publik (Issues and Policies) yakni pemilih etnis Tinghoa lebih mempertimbangkan program atau kebijakan yang ditawarkan oleh kandidat sesuai keinginan dan pemahaman pemilih. Namun kebijakan atau program yang dijanjikan oleh kandidat politik masih belum dipahami oleh seluruh masyarakat etnis Tionghoa. Sebagai akibatnya perilaku pemilih cenderung kurang memberikan dukungan terhadap kandidat.

Perilaku pemilih masyarakat etnis Tionghoa dalam menyikapi citra sosial (Social Imagery) yakni penentuan pilihan politiknya lebih berdasarkan kesamaam daerah (demografi), budaya dan etnis dari masing-masing kandidat serta pertimbangan kesamaan Politis-Ideologis partai politik yang mengusungnya. Perilaku pemilih dalam hal citra sosial juga lebih mengacu


(2)

102

pada umumnya lebih memilih calon anggota Legislatif yang sudah dikenal oleh masyarakat. Pemilih lebih melihat elektabilitas dan popularitas calon anggota Legislatif dalam menentukan pilihan politiknya. Selanjutnya dalam melihat sisi-sisi emosional kandidat (emotional feelings) perilaku pemilih lebih mengutamakan karakter kandidat yang ramah kepada masyarakat, berpengalaman dalam urusan pemerintahan, kerakyatan, kejujuran dan rendah hati kandidat.

Perilaku pemilih menyikapi intrik-intrik politik bahwa saat ini etnis Tionghoa mulai berkiprah di dunia politik. Faktor episdemik kandidat terhadap perilaku pemilih cenderung mengutamakan karakter kandidat yang dikenal oleh masyarakat luas dan sudah berpengalaman di bidang pemerintahan, selain itu. faktor episdemik (episdemic issues) dalam pemilu legislatif 2014 di Kota Metro yakni adanya isu-isu bahwa salah satu kandidat etnis Tionghoa diisukan akan berpindah kepercayaan masuk agama islam dikarenakan partai politik yang mengusungnya merupakan partai berbasis islam sehingga hal ini menjadi isu yang berkembang di kelompok masyarakat etnis Tionghoa yang berdampak pada kurang adanya dukungan secara maksimal oleh masyarakat etnis Tionghoa.

B. Saran

Berdasarkan simpulan yang peneliti kemukakan, maka peneliti mengemukakan beberapa saran yang dapat dijadikan bahan masukan dan pertimbangan antara lain:


(3)

1. Perilaku pemilih etnis Tionghoa dalam menentukan pilihannya sebaiknya masyarakat etnis Tionghoa di Kota Metro dapat memutuskan pilihannya berdasarkan independensi sendiri tanpa dipengaruhi oleh pihak lain dan lebih proaktif dalam memahami program-program atau kebijakan-kebijakan yang ditawarkan oleh kandidat dalam konsep untuk kepentingan bersama.

2. Perilaku pemilih masyarakat etnis Tionghoa dalam penentuan pilihan politiknya sebaiknya tidak hanya berdasarkan kesamaan daerah (demografi), budaya, etnis dan Politis-Ideologis melainkan juga harus berdasarkan penilaian terhadap tingkat kecakapan dan kualitas serta program atau kebijakan yang ditawarkan kandidat untuk kepentingan masyarakat luas. PSMTI Kota Metro lebih aktif dalam pembinaan dan sosialisasi di bidang politik terhadap masyarakat etnis Tionghoa guna mendukung keberhasilan penyelengaraan pemelihan umum.

3. Perilaku pemilih sebaiknya melihat sisi-sisi emosional kandidat dalam kecakapan urusan pemerintahan dengan berlandaskan sikap-sikap pribadi yang baik karena harapan masyarakat setelah menjadi wakil rakyat tidak akan lupa dengan janji-janji yang telah diucapkan sehingga masyarakat dapat bersikap antusias terhadap program kerja yang ditawarkan kandidat. 4. Mayarakat etnis Tionghoa sebaiknya tidak perlu bimbang dalam

menentukan pilihan kandidat etnis Tionghoa karena sikap traumatis peristiwa Tahun 1998, hal ini karena jaminan hak berpolitik di Indonesia saat ini lebih progresif yakni semakin terbukanya ruang untuk berdialog bahwa etnis Tionghoa juga memiliki hak yang sama dalam bidang politik.


(4)

104

Masyarakat bebas menentukan pilihannya sendiri berdasarkan faktor episdemik kandidat terhadap perilaku pemilih, karakter kandidat dan hati nuraninya hal ini juga dimaksudkan untuk meminimalisir terjadinya perpecahan dukungan ke Parpol lain atau elit politik lainnya.


(5)

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

_________________. 1983. Partisipasi dan Partai Politik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Efriza. 2012. Political Explore: Sebuah Kajian Ilmu Politik. Alfabeta. Bandung. Gaffar, Afan Gaffar. 2002. Javanese Voters: a Case Study of Elecyion under a

Hegemonic Paarty System. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Hutington, Samuel P., dkk. 2010. Partisipasi Politik di Negara Berkambang. Rineka Cipta. Jakarta.

Hoon, Chang-Yau. 2012. Identitas Tionghoa Pasca-Suharto: Budaya, Politik dan Media. LP3ES. Jakarta.

Kristiadi, Jean. 2006. Pemilihan Umum dan Perilaku Pemilih di Indonesia. Prisma. Jakarta.

Mahendra, Oka. 2005. Pilkada Di Tengah Konflik Horizontal. Millenium Publisher. Jakarta.

Maryanah, Tabah. 2005. Partisipasi Politik Etnis Tionghoa Pasca Orde Baru di Bandar Lampung. UNILA.

Nursal, Adman. 2004. Political Marketing Strategi Memenangkan Sebuah Pemilu Sebuah Pendekatan Baru Kampanye Pemilihan DPR, DPD, Presiden. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Rahman, A. H.I. 2007. Sistem Politik Indonesia. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofian. 1989. Metode Penelitian. Jakarta. Pustaka Media

Suryadinata, Leo. 2012. Negara dan Etnis Tionghoa: Kasus Indonesia. LP3ES. Jakarta.


(6)

Syaukani, dkk. 2005. Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan. Cetakan ke-6. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Undang-Undang:

Undang-Undang dasar 1945 dan Amandemen dilengkapi Profile Kabinet Indonesia Bersatu 2009-2014.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD. Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002 tentang Ditetapkannya Hari Tahun Baru

Imlek sebagai Hari Libur Nasional

Media:

http://www.kpu.go.id/index.php (diakses pada 3 Februari 2014, 20.25 WIB) http://data.kpu.go.id/dpt.php (diakses pada 10 Februari 2014, 14.45 WIB) http://metrokota.go.id (diakses pada 3 Maret 2014, 15.05 WIB)

http://wikipedia.org/data-statistik.php (diakses pada 2 Februari 2014, 11.30 WIB) http://anri-wikipedia/dpt.php/tragedi-semanggi (diakses pada 19 Februari 2014, 20.30 WIB)

http://uob.bank.go.id/financial-bussiness/index.php (diakses pada 11 Februari 2014, 13.30 WIB)