Teori Perubahan Demografi TINJAUAN PUSTAKA

2.7. Teori Perubahan Demografi

Notestein menyatakan, bahwa perubahan keadaan demografi dari tingkat fertilitas dan mortalitas tinggi menjadi keadaan tingkat fertilitas dan mortalitas rendah mengikuti kemajuan dalam pembangunan sosial ekonomi. Teori ini disebut sebagai teori transisi demografi. Teori transisi demografi menggunakan asumsi bahwa sifat rasional hanya terjadi dalam masyarakat industri dan urban. Dengan perkataan lain, transisi demografi hanya mungkin terjadi dalam masyarakat yang telah mengalami proses industrialisasi dengan tingkat urbanisasi yang tinggi Chesnais, 1992. t=0 Pangsa output Sektoral terhadap Pembentukan PDB Tersier jasa “rendah” Tingkat Pembangunan Pendapatan Per kapita Sekunder i d t i t=n “tinggi” Gambar 2. 3 Pembangunan Ekonomi dan Transformasi Struktural sumber: Tambunan, 2001 Prime r t i Waktu t Universitas Sumatera Utara Oshima 1983 mengajukan suatu teori transisi demografi dengan mengambil contoh transisi demografi yang dialami beberapa negara Asia. Ia memperlihatkan bahwa penyebaran mekanisasi di Asia Timur adalah suatu kekuatan besar yang merupakan kelanjutan dari dampak transisi industri dan transisi demografi. Ia menunjukkan bahwa belum pernah terjadi sebelumnya di mana turunnya fertilitas di Asia Timur disertai dengan perubahan yang cepat dari sektor pertanian ke sektor industri, dan suatu penurunan yang cepat atas ketimpangan pendapatan di masyarakat. Penyelesaian transisi industri bersamaan dengan penyelesaian transisi demografi. Oshima menyatakan bahwa pada masa transisi di dalam suatu perekonomian industri orang-orang tua mulai merubah persepsi mereka mengenai nilai anak. Mereka menginginkan jumlah anak-anak lebih sedikit, tetapi dengan kualitas yang lebih tinggi; karena kenaikan biaya oportunitas bagi wanita-wanita dalam usia mampu melahirkan anak, kehilangan pendapatan bagi remaja-remaja yang berada di sekolah; lebih sedikit membutuhkan anak-anak untuk membantu mereka di masa tua, kurang dalam menggunakan tenaga anak-anak didalam berbagai kegiatan ekonomi, dan menaikkan permintaan untuk angkatan kerja yang lebih berpendidikan. Sekalipun demikian, penyelesaian perubahan demografi itu sendiri akan mengurangi tingkat pertumbuhan angkatan kerja, dimana peralatan- peralatan yang digunakan lebih bersifat mekanisasi; lebih sedikit pekerja yang bekerja di sektor pertanian, lebih tinggi pendapatan, lebih besar partisipasi angkatan kerja wanita, dan selanjutnya turun pula permintaan terhadap anak. Universitas Sumatera Utara Ananta dan Pungut 1992 mendapatkan bahwa Indonesia telah mencapai suatu tahap transisi demografi dengan tingkatan yang lebih rendah dari transisi ekonomi yang pernah dialami oleh beberapa negara maju pada saat tingkat fertilitas negara- negara tersebut sama dengan Indonesia. Dengan demikian transisi demografi telah mendahului transisi ekonomi di Indonesia. Ananta menyimpulkan bahwa pengalaman di Indonesia merupakan suatu bukti dari kegagalan teori transisi demografi. Mortalitas turun sangat lambat, sekitar dua abad di negara-negara Eropa Barat, tetapi di Indonesia mortalitas turun dalam jangka waktu relatif pendek sepanjang periode 1950. Indonesia tidak sampai menunggu kemajuan sosial-ekonomi untuk menghasilkan peralatan- peralatan medis untuk imunisasi dan anti-biotik. Teknologi telah ada tersedia, dengan demikian Indonesia mendapatkan manfaat dari telah tersedianya peralatan-peralatan medis. Kontras dengan negara-negara Eropa Barat yang harus mengembangkan teknologi sebelum dapat mengatur secara baik fertilitas mereka dengan menggunakan alat kontrasepsi modern. Studi Ananta, Wongkaren dan Mis Cicih 1995 juga menunjukkan bahwa transisi demografi di Indonesia terjadi lebih dahulu dibandingkan dengan transformasi ekonomi. Hubungan antara transisi demografi dengan pembangunan ekonomi sering menjadi perdebatan. Aliran pembangunan ekonomi percaya bahwa pembangunan ekonomi akan diikuti transisi demografi. Sedangkan aliran pengendalian penduduk beranggapan bahwa tanpa kesadaran dari masyarakat tentang pembatasan kelahiran, maka transisi demografi tidak akan terjadi. Indonesia melakukan ke dua pendekatan tersebut secara bersamaan, yaitu pembangunan Universitas Sumatera Utara ekonomi dan program keluarga berencana pada masa pemerintahan orde baru antara tahun 1970 sampai pertengahan tahun 1990-an. Hasilnya Indonesia berhasil menurunkan tingkat pertumbuhan penduduk sesuai dengan yang diharapkan. Namun demikian penurunan fertilitas tidak merata di semua daerah. Ada beberapa daerah telah mencapai penurunan fertilitas yang begitu rendah, seperti Jakarta yang memiliki TFR 2,04, Yogyakarta 1,85 pada tahun 199. Sumatera Utara sendiri pada tahun 2008 memiliki angka TFR sebesar 2,49 dan Deli Serdang 2,42 BPS, 2010. Ruang Lingkup hubungan antara pembangunan ekonomi dan sosial terhadap demografi dapat dilihat dalam gambar 2.5. Dari gambar tersebut terlihat dampak dari kondisi jumlah, komposisi, dan pertumbuhan penduduk pada berbagai kondisi ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Ini merupakan hubungan antara kotak I dan kotak II. Selanjutnya berbagai kondisi ekonomi, sosial, budaya dan politik memberikan dampak pada kondisi fertilitas, mortalitas, dan mobilitas dari kotak II ke kotak III; yang kemudian perubahan pada kotak III ini akan menyebabkan perubahan pada kotak I, demikian seterusnya. Gambar 2. 4 Hubungan Antara Sosial Ekonomi Dengan Demografi sumber: Ananta dan Wongkaren, 1995 Jumlah, komposisi, Pertumbuhan penduduk Ekon omi, sosial, budaya, politik Fertilitas, mortalitas, mobilitas Kotak I Kotak II Kotak III Universitas Sumatera Utara Hubungan antara pendapatan dengan fertilitas dapat dijelaskan oleh H. Leibenstein Hatmadji et al 2010, mempunyai anak dapat dilihat dari dua segi ekonomi, yaitu segi kegunaannya utility dan biaya cost yang harus dikeluarkan untuk membesarkan dan merawat anak. Kegunaan anak adalah dalam hal memberikan kepuasan kepada orang tua, dapat memberi transfer ekonomi misalnya memberikan kiriman uang kepada orang tua pada saat dibutuhkan, atau dapat membantu dalam kegiatan produksi misalnya membantu mengolah tanah pertanian. Anak juga dapat menjadi sumber yang dapat membantu kehidupan orang tua di masa depan investasi. Sementara itu, pengeluaran untuk membesarkan anak merupakan biaya dari kepemilikan anak tersebut. Apabila ada kenaikan pendapatan orang tua, maka aspirasi orang tua untuk mempunyai anak akan berubah. Orang tua menginginkan anak dengan kualitas yang lebih baik. Misalnya, dengan menyekolahkan anak setinggi mungkin, memberi makanan bergizi dengan jumlah yang cukup, memberikan kursus-kursus di luar jam sekolah, membawa ke tempat perawatan kesehatan yang lebih berkualitas. Hal ini berarti biaya untuk membesarkan dan merawat anak menjadi besar. Di pihak lain, kegunaan anak akan turun, sebab walaupun anak masih memberikan kepuasan psikologis, akan tetapi balas jasa ekonominya menurun. Waktu yang diberikan oleh anak untuk membantu orang tua akan menurun karena anak-anak lebih lama berada di sekolah atau di kegiatan lain untuk kepentingan anak sendiri. Disamping itu, orang tua modern dengan penghasilan yang cukup juga tidak lagi tergantung dari sumbangan anak. Singkatnya, biaya membesarkan anak menjadi lebih besar daripada kegunaannya. Secara ekonomi, hal ini Universitas Sumatera Utara mengakibatkan permintaan demand terhadap anak menurun, dan pada gilirannya akan menurunkan tingkat fertilitas. Wealth flow theory, menyatakan bahwa jaminan pendapatan hari tua berhubungan negatif dengan jumlah anak. Dalam upaya menurunkan angka kelahiran, pemerintah Indonesia melaksanakan program keluarga berencana KB sejak tahun 1970. Program KB yang dilaksanakan pemerintah tidak saja mengajak pasangan suami istri untuk mengatur jumlah keluarga mereka dengan menggunakan alat-alat kontrasepsi modern, tetapi juga memperkenalkan nilai-nilai baru tentang keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Program KB di Indonesia turut berkontribusi menurunkan angka fertilitas total dari 5,6 pada tahun 1967-1970 menjadi 2,8 pada tahun 1991- 1994, dan terus menurun menjadi 2,34 pada tahun 1997-2000 BPS, Sensus Penduduk 2000. Sementara itu, angka kelahiran kasar Crude Birth RateCBR telah menurun dari 43 kelahiran per 1.000 penduduk pada tahun 1967-1970 menjadi 23 kelahiran per 1.000 penduduk pada periode 1991-1994. 1 Menurut berbagai studi yang telah dilakukan, penurunan angka fertilitas total yang terjadi di Indonesia selain disebabkan oleh pelaksanaan program KB, juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti berikut ini. Umur Kawin Pertama Dalam masyarakat Indonesia, hubungan antara laki-laki dan perempuan dipandang harus melalui lembaga perkawinan yang sah menurut norma agama dan menurut Undang-Undang Perkawinan tahun 1974. Karena usia perkawinan juga dipengaruhi oleh adat istiadat dan anggapan masyarakat tentang umur berapa sebaiknya perempuan menikah, maka umur kawin Universitas Sumatera Utara pertama dapat menjadi indikator dimulainya seorang perempuan berpeluang untuk hamil dan melahirkan. Dalam kondisi seperti ini, perempuan yang kawin pada usia muda mempunyai rentang waktu untuk kehamilan dan melahirkan lebih panjang dibandingkan dengan mereka yang kawin pada umur yang lebih tua dan mempunyai lebih banyak anak dibandingkan dengan mereka yang menikah pada umur lebih tua. 2 Peningkatan Pendidikan Perempuan Kesempatan perempuan untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi semakin terbuka pada saat ini, sehingga banyak perempuan yang menunda perkawinan untuk menyelesaikan pendidikan yang diinginkan. Perempuan yang berpendidikan tinggi cenderung memilih terjun ke pasar kerja terlebih dahulu sebelum memasuki perkawinan. Kalaupun mereka menikah pada usia muda, pengetahuan mereka tentang alat pencegahan kehamilan cukup baik sehingga sebagian dari mereka menunda kelahiran anak atau menyelesaikan masa reproduksi, baru kemudian masuk ke pasar kerja. Hasil studi di Indonesia menunjukkan adanya hubungan yang berbentuk huruf U terbalik antara tingkat pendidikan dengan jumlah anak yang dipunyai. Hasil Survai Demografi dan Kesehatan Indonesia SDKI tahun 1994 dan 1997 menunjukkan; Pada pendidikan yang sangat rendah tingkat fertilitas rendah, dan angka kelahiran meningkat pada tingkat pendidikan tamat SD. Setelah tamat SD, fertilitas turun dengan meningkatnya pendidikan. Universitas Sumatera Utara 3 Partisipasi Perempuan dalam Pasar Kerja Peningkatan pendidikan bagi perempuan dan peningkatan peluang mereka untuk bekerja menyebabkan naiknya partisipasi angkatan kerja perempuan. Semakin terbukanya industri, terutama industri garmen, elektronik, serta industri jasa menyebabkan banyak perempuan terjun ke pasar kerja. Hal ini menyebabkan terjadinya penundaan usia kawin pertama. Hatmadji dan Suradji 1989 dalam Survai Penduduk Antar Sensus SUPAS 1985 menemukan bahwa perempuan yang hanya mengurus rumah tangga saja cenderung mempunyai anak yang lebih banyak, sedangkan perempuan yang bekerja mempunyai anak lebih sedikit. Selanjutnya mereka menambahkan bahwa perbedaaan jumlah anak yang dilahirkan antara perempuan yang bekerja dan mengurus rumah tangga lebih besar di perkotaan daripada di pedesaan. 4 Lingkungan Tempat Seseorang Dibesarkan Tempat tinggal dari lahir sampai berumur 12 tahun dianggap mempengaruhi persepsi dan jalan pikiran seseorang untuk bersikap dan berperilaku, termasuk perilaku melahirkan. Seseorang yang dibesarkan di perkotaan akan mempunyai sikap dan perilaku yang dipengaruhi oleh situasi perkotaan yang umumnya lebih modern dibandingkan dengan mereka yang dibesarkan di daerah pedesaan. Selain itu tempat tinggal di perkotaan memudahkan diperolehnya informasi tentang berbagai pengetahuan modern termasuk mengenai metode pengaturan dan pencegahan kehamilan dibandingkan di pedesaan. Oleh sebab itu, diduga angka kelahiran di daerah perkotaan akan lebih rendah dibandingkan angka kelahiran di pedesaan. Hasil Universitas Sumatera Utara SDKI 1997 menunjukkan bahwa angka fertilitas total diperkotaan lebih rendah dibandingkan angka fertilitas total di pedesaan, yaitu masing-masing 2,40 dan 2,98. Adioetomo dan Samosir 2010.

2.8. Studi Terdahulu Tentang Transformasi Struktural