Tabel-15: Presentase penduduk yang berumur 10 tahun ke atas yang tidak bisa menulis dan membaca

Tabel-15: Presentase penduduk yang berumur 10 tahun ke atas yang tidak bisa menulis dan membaca

Tidak dapat membaca dan menulis

No

Kota/ Kab

1 Kepulauan Seribu

2 Jakarta Selatan

3 Jakarta Timur

4 Jakarta Pusat

5 Jakarta Barat

6 Jakarta Utara

70.626 Sumber: Survei Sosial Ekonomi Nasional, 2012.

Jumlah

B. Keterjangkauan (Aksesibilitas) Aksesibilitas terhadap hak atas pendidikan mencakup tiga dimensi yang satu sama lain saling berhubungan dan saling menguatkan. Pertama, prinsip “tanpa diskriminasi. Bahwa pendidikan harus dapat diakses oleh semua orang tanpa kecuali. Segala fasilitas dan perwujudan atas hak pendidikan harus dapat diakses oleh semua, terutama oleh masyarakat yang marginal atau masyarakat yang tidak terlindungi oleh hukum dan dalam kehidupan nyata, tanpa diskriminasi dengan dasar apapun juga. Kedua, akses secara fisik. Fasilitas dan pemenuhan hak atas pendidikan harus dapat terjangkau secara fisik dengan aman bagi semua, terutama bagi kelompok yang rentan atau marginal, misalnya etnis minoritas atau masyarakat terasing, perempuan, anak-anak, dan kelompok marginal lainnya. Ketiga, akses ekonomi. Biaya pendidikan harus terjangkau oleh semua orang. Untuk pendidikan dasar bahkan mengacu pada Pasal 13 ayat (2) KIHESB dimana pendidikan dasar harus "bebas biaya bagi semua orang".

Dengan merujuk sejumlah regulasi pendidikan yang ada, seperti Undang- Undang, Peraturan pemerintah, Perda, Pergub, dan bahkan dalam konstitusi UUD 1945 sebagai hukum formal tertinggi tampaknya tidak ada klausul yang secara eksplisit maupun implisit mendorong sikap dan perilaku diskriminatif. Bahkan, dasar pertimbangan dari Perda DKI Tentang Sistem Pendidikan secara jelas dan eksplisit mendorong dan mempromosikan kesetaraan warga dalam mengakses hak atas pendidikan. Demikian pula dalam UU Sisdiknas dan UUD 1945, prinsip dasar penyelenggaraan pendidikan selalu didasarkan pada kaidah dan nilai-nilai kesetaraan, kemajemukan, keadilan, demokrasi, dan

penghormatan atas hak asasi manusia. 23 Meskipun demikian, dalam taran praksis memang harus diakui masih adanya kenyataan dimana dunia pendidikan masih menjadi alat penyekat primordialitas, baik yang berbasis etnis maupun agama. Namun begitu mainstream umumnya masih dalam koridor dan semangat tanpa diskriminasi, karena sejauh ini tidak ditemukan, misalnya, kasus penolakan peserta didik dari kelompok minoritas/rentan (berdasarkan agama, gender, ras, etnis, dan disabilitas) untuk masuk sekolah.

Dari sisi aksesibilitas fisik, perwujudan hak atas pendidikan di DKI Jakarta boleh dibilang sudah cukup baik. Faktanya, sebaran sarana dan parasara pendidikan sudah tersedia dengan cukup merata, termasuk di daerah-daerah yang sebelumnya masuk kategori sebagai daerah terpencil, seperti Kepulauan Seribu. Saat ini dapat dipastikan untuk seluruh wilayah Provinsi DKI Jakarta pasti memiliki setidaknya satu SMA negeri di setiap kota/kabupaten, SLTP negeri di !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

23 Pasal 31 UUD 1945 beserta penjeasannya dapat menjelaskan hal ini secara gamblang.

setiap kecamatan, dan beberapa SD negeri di setiap kelurahan/desa. Dalam rangka memenuhi dan mencapai aksesibilitas fisik terhadap layanan pendidikan dasar, Pemda DKI bahkan telah membuat regulasi spesifik, yaitu Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.060/U/2002 Tentang Pedoman Pendirian Sekolah; Pergub DKI No.105 Tahun 2012 Tentang Prosedur Pendirian, Penggabungan, dan Penutupan Lembaga Pendidikan dan “program rayonisasi sekolah” yang intinya untuk mendekatkan akses fisik siswa terhadap lembaga pendidikan. Selain itu, dalam Pergub tentang KJP juga sudah diakomodasi elemen anggaran untuk transportasi pulang-pergi dari rumah ke sekolah. Ini semua menunjukkan bahwa dari sisi akses fisik sebetulnya sudah hampir tidak ada masalah. Karena dari sisi regulasi maupun program telah ada upaya-upaya antisipatif untuk menjawab persoalan itu. Namun begitu tetap saja harus ada catatan kritis mengenai hal ini. Terutama terkait soal memburuknya berbagai fasilitas pendidikan, seperti makin banyaknya jumlah gedung sekolah yang

rawan ambruk 24 dan nihilnya perhatian untuk fasilitas-fasilitas penunjang seperti toilet/jamban, terutama di lingkungan Sekolah Dasar.

Dari sisi aksesibilitas ekonomi perwujudan hak atas pendidikan di Provinsi DKI Jakarta sebenarnya sudah sangat baik, bahkan dapat dibilang progresif. Hal ini dapat dilihat dari dimensi regulasi dimana produk-produk legislasi yang ada sudah sangat mendukung, baik Perda maupun Pergub yang memperlihatkan adanya ‘kebijakan affirmatif” bagi kelompok miskin dan kurang mampu untuk mendapatkan dana pendidikan. Dengan mengacu pada beberapa regulasi pendidikan paling mutakhir –seperti Pergub No.34 Tahun 2013 Tentang Biaya Operasional Pendidikan SD/MI Negeri; Pergub No.36 Tahun 2013 Tentang Biaya Operasional Pendidikan SD/MI Swasta; Pergub No. 23 tahun 2013 Tentang Bantuan Biaya Personal Pendidikan Bagi Peserta Didik dari Keluarga Tidak Mampu Melalui Kartu Jakarta Pintar– dana pendidikan yang dikeluarkan pemerintah Provinsi DKI Jakarta bahkan tidak terbatas pada level pendidikan dasar, tapi juga untuk siswa SMA dan SMK. Selain itu bahkan masih ada sumbangan biaya lainnya, misalnya uang praktek untuk SMK.

Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti menilai bahwa secara umum akses pendidikan di DKI Jakarta sudah terpenuhi dengan baik, tapi perlu juga ada pembedaan antara Pendidikan Dasar (SD dan SMP) dengan SLTA (SMA dan SMK). Untuk level SLTA, menurutnya masih harus dikritisi karena

24 Dari sejumlah berita media, misalnya kita mendapat informasi ada beberapa sekolah SD di DKI Jakarta yang selama puluhan tahun belum mengalami renovasi sehingga kualitas fisik bangunannya sudah sangat

buruk. Simak misalnya: http://www.beritasatu.com/aktualitas/126542-selama-27-tahun-sdn-27-kramatjati- tak-pernah-rehab-total.html buruk. Simak misalnya: http://www.beritasatu.com/aktualitas/126542-selama-27-tahun-sdn-27-kramatjati- tak-pernah-rehab-total.html

DKI, meski kenyataannya ternyata masih ada. 25

Di luar itu, ada catatan tambahan penting lainnya yang justru memperlihatkan “angka merah” terkait perwujudan hak atas pendidikan di Provinsi DKI Jakarta, yaitu soal kualitas. Retno Listyarti menilai bahwa dari sisi kualitas, pendidikan di DKI Jakarta masih sangat krusial. Setidaknya, ada tiga masalah mendasar yang terkait satu sama lainnya, yaitu: tenaga pendidik (guru), sarana dan prasarana, serta mentalitas para penyelenggara pendidikan yang ujungnya berdampak pada masih rendahnya kualitas out-put pendidikan.

Pertama, masalah guru. Mestinya kita berangkat dari Tupoksi guru sebagai pendidik. Acuannya terutama bisa merefer ke Undang-Undang Guru dan Dosen. Tugas profetik guru menurut UU No.14 Tahun 2005 itu adalah merencanakan pembelajaran, melakukan proses pembelajaran serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran secara professional. Karena itu, guru semestinya memainkan multi-peran secara variatif mulai sebagai konservator, transformator, planner, komunikator, motivator, dan evaluator secara kreatif dan inovatif. Namun nyatanya guru saat ini lebih banyak terjebak pada pola rutinitas formal, sekadar mengajar, tidak ada waktu untuk belajar dan mengembangkan diri dan ini tentu akan sangat berpengaruh terhadap output kualitas pendidikan.

Kedua, soal sarana-prasarana pendidikan. Ini mungkin lebih bervariasi masalahnya. Perlu dibedakan terutama misalnya sanpras pendidikan SLTA dengan SD. Kalau untuk SMA boleh dibilang sudah cukup representatif baik ketersediaan ruang kelas, ruang guru, sarana pendidikan seperti perpustakaan, laboratorium sampai ke jamban siswa. Kalau untuk tingkat Sekolah Dasar (bahkan sebagian juga untuk level SMP) kondisi sanprasnya sangat memperihatinkan. Contoh untuk banyak kasus SD negeri di Jakarta ruang kelasnya masih kurang dan bahkan dipake bersama secara bergantian. Ruang dan meja guru juga demikian, dipakai secara berbagi (sharing) antara guru pagi dan guru siang/sore. Jadi bayangkan, ada guru sampai antri untuk memakai ruang kelas dan raung/meja guru, karena guru pagi belum selesai sementara guru siang/petang sudah datang. Demikian juga siswa-siswanya, jadi krodit juga !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

25 Wawancara dengan Retno Listyarti, Jakarta: Selasa, 8 Oktober 2013.

suasasna di sekolah. Ini menyedihkan, karena efeknya juga berdampak pada waktu belajar siswa yang terpotong. Karena ruang kelas dipake pagi dan siang/petang maka jam pelajaran pun dipersempit, misalnya 1 jam pelajaran =

30 atau 35 menit, bahkan ada yang 25 menit. Kondisi ini tentu berpengaruh pada kualitas pendidikan yang buruk.

Ketiga, soal mentalitas para penyelenggara pendidikan, ini terutama para “pejabat” struktural seperti kepala sekolah, kepala dinas, dan sebagainya, beberapa (atau mungkin sebagian besar) masih memelihara mental lama: sulit mendengar dan menerima kritik, padahal untuk perbaikan dan kemajuan dunia pendidikan. Pengangkatan orang-orang kunci di level pendidikan juga masih melihat kedekatan, patron-klien, bukan atas dasar prestasi dan kecakapan atau kinerjanya. Untuk ini saya rencana Jokowi-Ahok untuk melakukan lelang jabatan di lingkungan Dinas Pendidikan dengan berbasiskan prestasi dan kinerja perlu didukung. “Jadi bukan Kepala Dinas saja, termasuk jabatan Kepala Sekolah juga bisa dilelang tapi dengan pendekatan meritokrasi. Saya kira ini akan berdampak baik pada dunia pendidikan karena semua terpacu untuk berprestasi dan berkinerja baik, bukan berlomba-lomba untuk menjilat atasan,” tambah Retno.

Hal penting lainnya, menurut Retno, perlu ada kritisme terhadap diskriminasi organisasi guru, dimana yang diakui secara formal oleh pemerintah hanya PGRI. Padahal, menurut data BPK, PGRI mendapat berbagai fasilitas dari negara, baik dari APBD maupun APBN. Jadi seharusnya PGRI tidak boleh lagi melakukan pungutan-pungutan seperti pemotongan gaji ke-13 dan berbagai potongan lainnya atas gaji guru. Data BPK bahkan menyebutkan bahwa APBN 2013 memberikan Rp 10 miliar untuk operasional kegiatan PGRI. Sementara APBD DKI Jakarta 2013 melalui anggaran Dinas Pendidikan memberikan dana 750 juta untuk PGRI. Fakta ini juga membuktikan bahwa pemerintah masih bersikap diskriminatif terhadap organisasi guru yang lain.

Diskusi dan Rekomendasi

Pemetaan pemenuhan Hak Ekosob dalam penelitian ini memang belum tuntas terutama karena keseriusan Komnas HAM sendiri perlu dipertanyakan dalam program ini, baik dari sisi metodologis maupun aspek-aspek teknis dalam implementasinya. Namun begitu, dari survei awal, terutama di wilayah Provinsi DKI Jakarta ada beberapa temuan menarik, terutama dalam dua isu Ekosob, yaitu kesehatan dan pendidikan.

Pemenuhan hak atas kesehatan di DKI Jakarta mengalami peningkatan cukup signifikan pasca pergantian pemerintahan Jokowi-Ahok. Dari ketiga ranah yang dijadikan basis pengkajian, yaitu struktur, proses, dan hasil, kinerja hak atas kesehatan mengalami peningkatan. Berbagai kebijakan dan legislasi terkait hak atas kesehatan dibarengi upaya-upaya implementasinya telah menunjukkan capaian angka-angka positif yang juga diiringi tingkat kepuasan dan harapan yang sangat positif dari warga Jakarta umumnya. Angka-angka capaian indikator yang dideskripsikan di atas cukup mengkonfirmasi kinerja positif dalam hal akes dan pemenuhan hak atas kesehatan.

Adapun untuk pemenuhan hak atas pendidikan tampaknya masih stagnan. Meskipun dari sisi proses legislasi dan kebijakan sudah diupayakan berbagai terobosan yang cukup progresif, namun di tingkat struktur, terutama struktur pelaksana di bawah Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta tampak kurang greget. Bahkan sejumlah rencana perbaikan yang sudah disepakati pun kesulitan implementasinya karena ketidaksiapan struktur pelaksananya. Hal ini sekaligus menjadi penghambat sehingga sejumlah indikator pencapaian hasil hak atas pendidikan cenderung stagnan, meskipun beberapa indikator lainnya mengalami sedikit perbaikan. Karena itu, “kebijakan susulan” yang kemudian banyak dipromosikan Ahok seperti lelang jabatan kepala sekolah dan kepala dinas pendidikan bisa jadi merupakan terobosan untuk memecah kebuntuan di level “struktur” untuk mendongkrak proses dan hasil yang lebih baik dalam kaitannya dengan akses dan perbaikan hak atas pendidikan di DKI Jakarta.

Terpilihnya Jokowi menjadi orang nomor satu di negeri ini membawa angin segar bagi banyak hal, termasuk dan terutama dalam hal perbaikan dan peningkatan atas pemenuhan hak Ekosob. Hak atas kesehatan dan hak atas pendidikan yang merupakan hak paling mendasar telah direspon Jokowi-Ahok dengan “Kartu Jakarta Sehat” dan “Kartu Jakarta Pintar” di level DKI Jakarta. Dengan runningnya Jokowi ke pentas nasional setidaknya kita dapat berharap agar program ini dapat diproyeksikan menjadi kebijakan nasional. Dengan begitu, perbaikan dan peningkatan atas pemenuhan hak Ekosob, terutama hak atas kesehatan dan hak atas pendidikan mengalami kemajuan yang sangat signifikan. Salah satunya, misalnya dengan mempromosikan “Kartu Indonesia Sehat” dan “Kartu Indonesia Pintar” di level nasional. ***