Jokowi dan Potret Hak Ekosob DKI Jakarta

Potret Hak Ekosob di DKI Jakarta:

Hak Atas Kesehatan dan Pendidikan 1

Sofian Munawar Asgart

Hiruk pikuk politik elektoral dari pemilu nasional hingga pemilukada di sejumlah daerah di sisi lain telah melenakan kita pada “urusan politik warga” lainnya yang bisa jadi justru lebih fundamental dan substansial. Salah satunya adalah Hak Ekonomi Sosial dan Budaya atau kerap disebut sebagai Hak Ekosob. Meskipun Hak Ekosob sendiri meliputi hal yang cukup luas, namun sejumlah pihak seringkali memberikan skala prioritas yang lebih fokus pada lima aspek yang dianggap lebih fundamental, yakni: pangan, perumahan, pekerjaan, kesehatan, dan pendidikan.

Tulisan ini merupakan salah satu segmen dari hasil sementara “proyek uji Coba” Indikator dan Pembuatan Indeks Hak Asasi Manusia yang dilakukan Komnas HAM di sejumlah provinsi untuk lima aspek issu hak Ekosob: hak atas pangan, perumahan, pekerjaan, kesehatan, dan pendidikan. Tulisan berikut merupakan pemetaan awal dari dua aspek hak Ekosob, yaitu hak atas kesehatan dan hak atas pendidikan di Provinsi DKI Jakarta (2013) dimana penulis turut terlibat di dalam tim yang dibentuk Komnas HAM.

Pendahuluan

Humanisme yang merupakan dasar-pijak bagi lahirnya konsep hak asasi manusia merupakan bentuk antroposentrisme dimana manusia menjadi titik sentral bagi perjuangan beragam kepentingan. Munculnya Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia/DUHAM) mencerminkan suatu tingkat perkembangan kesadaran yang menentukan dimana harkat dan martabat kemanusiaan diakui secara setara. James W. Nickel menyebut deklarasi itu sebagai suatu standar pencapaian hak yang berlaku umum untuk semua rakyat dan semua negara. Menurutnya, instrumen yang termuat dalam DUHAM menegaskan bahwa sesungguhnya semua orang

mempunyai hak atas berbagai pelayanan dari negara. 2

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 1 Laporan penelitian “Uji Coba Indikator dan Pembuatan Indeks Hak Asasi Manusia (Kesehatan dan

Pendidikan) di Provinsi DKI Jakarta “difasilitasi” Komnas HAM, Jakarta, 2013.

2 James W. Nickel, 1996. Hak Asasi Manusia: Refleksi Filosofis Atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Gramedia, Jakarta.

Dalam konteks Hak Asasi Manusia (HAM), negara mempunyai kedudukan sebagai pemangku kewajiban (duty bearer). Kewajiban yang diemban negara terdiri atas tiga bentuk, yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfil). Kewajiban untuk menghormati (obligation to respect) adalah kewajiban negara untuk menahan diri untuk tidak melakukan intervensi, kecuali atas hukum yang sah (legitimate). Kewajiban negara untuk melindungi (the obligation to protect) adalah kewajiban untuk melindungi hak bukan hanya terhadap pelanggaran yang dilakukan negara, namun juga terhadap pelanggaran atau tindakan yang dilakukan oleh entitas atau pihak lain (non-negara) yang akan mengganggu perlindungan HAM. Sementara itu, kewajiban untuk memenuhi (the obligation to fulfill) adalah kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, yudisial, dan praktis untuk menjamin pelaksanaan HAM sesuai DUHAM.

Perdebatan ideologis atas kelahiran konvensi hak Ekosob telah menjadi wacana yang cukup menarik. Negara-negara yang memiliki latar belakang ideologi liberalis-kapitalis tidak mendukung dilahirkannya konvensi Ekosob dengan alasan bahwa negara tidak boleh intervensi atas kegiatan ekonomi. Sedangkan negara-negara sosialis mendukung kelahiran konvensi Ekosob ini dengan alasan bahwa negara memiliki tanggungjawab untuk menyejahterahkan rakyatnya. Jalan tengah perdebatan tersebut adalah dengan dikeluarkanya dua konvensi atas derivasi deklarasi universal HAM 1948, yaitu Konvensi Hak Sipil dan Politik serta Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Latar belakang perdebatan ideologis ini diakui oleh Verloren Van Themaat. Menurut Themaat, dalam tertib ekonomi internasional terdapat dua sistem ekonomi yang berbeda. Pertama adalah negara-negara yang menganut pada prinsip liberalisasi pasar yang dikenal dengan negara kapitalis. Kedua adalah negara-negara sosialis yang menganut

pentingnya intervensi negara dalam bidang ekonomi. 3

Jika melihat bagian pembukan konvensi Ekosob, terlihat jelas bahwa pembentukan konvensi didasarkan pada Piagam PBB (Pasal 1 ayat 2 dan 3 serta

55) serta Deklarasi Universal HAM 1948, terutama pada Pasal 22-27. Konvensi juga menyadari bahwa individu memiliki kewajiban atas individu dan komunitasnya serta memiliki kewajiban untuk memperjuangkan hak-hak yang

dijamin dalam konvensi. 4

Sejak lama, Indonesia telah mengakui dan berkomitmen atas pemenuhan hak Ekosob yang secara eksplisit telah diakomodasi dalam konstitusi dan sejumlah

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 3 Simak: http://senandikahukum.wordpress.com/2009/02/25/hak-asasi-manusia-dalam-hukum- .....

4 Simak: http://senandikahukum.wordpress.com/2009/02/25/hak-asasi-manusia-dalam-hukum- .....

peraturan perundangan yang ada. Dalam hal kesehatan, misalnya, Pasal 28H (1) menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Sementara dalam Pasal 34 (3) disebutkan bahwa “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Demikian pula dalam hal pendidikan, Pasal 28C (1), Pasal 31 (1), (2), (3), dan (4) antara lain menyebutkan bahwa:

• Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; • Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; • Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% APBN dan APBD .

Komitmen Indonesia dalam mengimplementasikan hak Ekosob juga diwujudkan dengan mengesahkan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHESB) melalui UU No. 11 Tahun 2005. Dengan demikian, pelaksanaan ketentuan dalam Kovenan ini mengikat Indonesia secara hukum oleh karena Indonesia telah menjadi Negara Pihak. Kovenan ini mengatur tentang kewajiban negara pihak.

Pertama, mengambil langkah-langkah secara sendiri maupun melalui bantuan dan kerjasama internasional, khususnya dalam bidang ekonomi dan teknis. Kedua, memaksimumkan sumber dayanya yang tersedia dalam pemenuhan hak Ekosob. Ketiga, secara bertahap mencapai realisasi atas hak-hak Ekosob. Keempat, melalui cara-cara yang sesuai, termasuk secara khusus melakukan perbaikan terhadap langkah-langkah legislatif.

Sebagai lembaga yang memiliki mandat dalam pemajuan HAM –seperti termuat dalam Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia– Komnas HAM melakukan berbagai upaya, termasuk mendorong pemajuan hak Ekosob. Salah satu kegiatan yang dilakukan untuk menunjang hal ini adalah merumuskan Indeks Hak Asasi Manusia (Human Rights Index/HRI) melalui serangkaian penelitian. Kegiatan penelitian HRI untuk tahun ini mengambil sampel empat wilayah provinsi sebagai pilot project: DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Gorontalo, dan Maluku. Adapun hak Ekosob yang masuk dalam cakupan penelitian ini adalah hak atas pangan, perumahan, kesehatan, pendidikan dan pekerjaan. Tulisan ini merupakan laporan penelitian untuk hak atas kesehatan dan pendidikan di Provinsi DKI Jakarta.

Pemenuhan Hak Atas Kesehatan

Ratio legis UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan menjadi salah satu unsur penting bagi kesejahteraan. Pertimbangan dasar regulasi ini juga mengamanatkan bahwa setiap kegiatan dalam upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan Ratio legis UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan menjadi salah satu unsur penting bagi kesejahteraan. Pertimbangan dasar regulasi ini juga mengamanatkan bahwa setiap kegiatan dalam upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan

Mengacu pada KIHESB bahwa hak atas kesehatan berisi hak kebebasan dan kepemilikan, kemerdekaan mencakup hak untuk memeriksakan kesehatan tubuh termasuk kebebasan seksual dan berproduksi dan hak untuk bebas dari gangguan, hak untuk bebas dari penganiayaan, tindakan medis tanpa persetujuan dan eksperimen. Kepemilikan termasuk hak atas sistem proteksi kesehatan yang menyediakan kesempatan yang sama bagi tiap orang untuk memenuhi standar kesehatan yang memadai dan terjangkau.

Standar kesehatan yang memadai dan terjangkau sebagaimana dimuat Pasal 12 ayat (1) KIHESB mencakup keadaan biologis individu dan kondisi-kondisi sosial, ekonomi dan sumber daya yang ada pada negara. Terdapat beberapa aspek yang tidak dapat diarahkan secara sendiri dalam hubungan antara negara dan individu. Lebih lanjut hak ini berusaha sedapat mungkin menjaga agar layanan kesehatan yang tersedia cukup dapat menyesuaikan dengan latar belakang budaya seseorang. Pasal 12 ayat (1) KIHESB secara khusus menyebutkan: ”Negara pihak dalam Kovenan ini mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental.”

Kerangka legal-normatif tersebut dapat dijadikan acuan dasar untuk mengukur sejauh mana pemenuhan hak atas kesehatan. Penilaian terhadap suatu capaian pembangunan di bidang kesehatan dapat diukur dengan menggunakan indikator hak. Indikator tersebut dapat mengukur pelaksanaan kewajiban negara yang disyaratkan dalam Komentar Umum No. 14 KIHESB, yaitu: ketersediaan, aksesibilitas, penerimaan, dan kualitas. Penelitian ini akan berfokus pada tiga elemen kunci yang dipandang paling relevan yaitu ketersediaan, aksesibilitas dan kualitas. Indikator ini pula yang akan digunakan untuk melihat tingkat pemenuhan hak atas kesehatan di Provinsi DKI Jakarta.

Dalam tataran implementasinya, ketiga elemen kunci tersebut beririsan dengan tiga ranah pendekatan, yaitu: struktur, proses, dan hasil. Setiap elemen kunci mengukur tiga indikator yang menjadi satu kesatuan secara integratif untuk memandang komitmen dari struktur, upaya atau proses terutama terkait legislasi dan kebijakan yang mendukung, serta hasil dari perwujudan hak atas kesehatan di suatu wilayah provinsi dalam bentuk kegiatan dan program kesehatan yang nyata. Kerangka model evaluasi ini secara illustratif dapat divisualisasikan sebagai berikut.

A. Ketersediaan Dari aras struktur, komitmen pelaksanaan kewajiban negara atas hak kesehatan dapat dirujuk pada Undang-Indang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang memposisikan kesehatan sebagai bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia. Dalam konteks DKI Jakarta, hal yang sama juga diakomodasi dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI No.4 Tahun 2009 Tentang Sistem Kesehatan Daerah. Dari Perda itu tampak jelas bahwa Pemda DKI melihat aspek kesehatan sebagai “urusan wajib” pemerintah untuk menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang semakin tinggi sekaligus menjadikannya investasi strategis pada sumber daya manusia agar semakin produktif dan kompetitif.

Demikian pula produk legislasi lainnya yang merupakan turunan dari Undang- Undang dan Perda tersebut. Setidaknya, ada tiga Peraturan Gubernur (Pergub) DKI kini yang secara langsung mengatur soal pemenuhan hak atas kesehatan. Pertama, Pergub DKI No.187 Tahun 2012 Tentang Pembebasan Biaya Layanan Kesehatan. Kedua, Pergub DKI No.14 Tahun 2013 Tentang Pembebasan Biaya Layanan Kesehatan. Ketiga, Pergub DKI No.171 Tahun 2012 Tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Keluarga Miskin, Penduduk Renta, Korban Bencana, dan Penerima Penghargaan. Selain itu, masih ada produk legislasi lainnya yang juga relevan dengan upaya pemenuhan hak atas kesehatan di DKI Jakarta, seperti: Pergub DKI No.4 Tahun 2011 Tentang Organisasi dan Tatakerja Pusat Kesehatan Masyarakat, Pergub DKI No. 15 Tahun 2013 Tentang Formasi Jabatan Fungsional Dokter Pendidikan Medis, dan sejumlah legislasi pendukung lainnya. Karena itu, dari sisi struktur, ketersediaan regulasi ini menunjukkan bahwa komitmen pemerintah dalam pemenuhan hak atas kesehatan ini sudah on the right track.

Dari sisi proses, Pemda DKI juga telah menunjukkan beragam upaya terkait program layanan kesehatan, terutama program publik dalam bentuk intervensi khusus yang mendorong pemenuhan hak atas kesehatan. Program Kartu Jakarta Sehat (KJS) dengan segala turunannya bahkan menjadi ikon tersendiri yang sekaligus menjadi salah satu program andalan pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kepala Bidang Jamkesda, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Theryanto, Dari sisi proses, Pemda DKI juga telah menunjukkan beragam upaya terkait program layanan kesehatan, terutama program publik dalam bentuk intervensi khusus yang mendorong pemenuhan hak atas kesehatan. Program Kartu Jakarta Sehat (KJS) dengan segala turunannya bahkan menjadi ikon tersendiri yang sekaligus menjadi salah satu program andalan pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kepala Bidang Jamkesda, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Theryanto,

tingkat nasional,” ujarnya. 5

Meskipun demikian, kehadiran Program KJS sebagai “jangkar” program kesehatan di Provinsi DKI Jakarta awalnya memunculkan pro-kontra. Sejumlah kalangan legislatif di DPRD DKI melontarkan kritik terhadap program ini. Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta, Achmad Nawawi, misalnya, menilai KJS sebagai program yang terburu-buru tanpa mempertimbangkan fasilitas kesehatan yang tersedia. Menurut Nawawi, sejak awal program KJS tidak memperlihatkan orientasi yang jelas. Bahkan, ia menuduh kebijakan soal KJS bertentangan dengan Perda Kesehatan yang ada. Nawawi menilai, dalam hal KJS Jokowi tidak mengkaji terlebih dahulu, misalnya berapa pasien yang akan datang, berapa Puskesmas dan Rumah Sakit Daerah yang tersedia, ketersediaan obat-obatan hingga ketersediaan Sumber Daya Manusia kesehatan yang dibutuhkan. Karena itu menurutnya banyak pasien KJS yang terbengkalai. “Ini jadi crowded di lapangan. Perawat tidak nambah, obat tidak nambah. Itu semua diberikan dan dijanjikan dalam waktu tiga menit, kacau,” ujar politisi

Partai Demokrat itu. 6

Kritik lainnya datang dari pihak rumah sakit. Sejumlah pengelola rumah sakit di Jakarta menyatakan keberatan, terutama terkait klaim penggantian ongkos perawatan yang kecil. Artinya, rumah sakit mengalami selisih bayar yang cukup besar sehingga pihak rumah sakit merasa tidak sanggup menjalankan sistem ini. Menurut sejumlah pengelola rumah sakit, penggantian ongkos perawatan hanya mencapai 30 persen dari total biaya yang diajukan. “Ya, kalau penggantiannya sekitar 85 persen mungkin cukup masuk akal, tapi kalau cuma 30 persen kami rugi. Lalu bagaimana kami harus nombok dan bagaimana juga nanti menghadapi kesulitan berikutnya,” ujar Barry Rodjak, Wakil Direktur Rumah Sakit Thamrin Internasional, Jakarta.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) DKI Jakarta, Tony S. Natakarman mengakui bahwa memang pada awalnya ada semacam kegusaran di kalangan pengelola Rumah Sakit, terutama Rumah Sakit swasta. Ada kekhawatiran misalnya akan sulitnya klaim biaya kesehatan, dan lain-lain. Itu saya kira wajar, tapi setelah semuanya dikomunikasikan secara baik sebetulnya tidak ada masalah, dan bahkan sekarang semuanya mendukung. “Jadi, ini hanya persoalan komunikasi dan sosialisasi saja,” ujarnya. Sementara soal membludaknya pasien di sejumlah Rumah Sakit menurutnya bukanlah karena katidaksiapan KJS, tapi lebih ke soal pola dan sistem rujuk yang belum tertib. Ini juga tak lepas dari

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 5 Wawancara dengan Theryanto, Jakarta: Kamis, 26 September 2013.

6 Simak: http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/02/20/3/132471/DPRD-Kartu-Jakarta-Sehat-

Gubernur-Jokowi-Melanggar-Perda Gubernur-Jokowi-Melanggar-Perda

Idealnya, 60 persen pasien dapat dilayani di Puskesmas, 25 persen dilayani di rumah sakit kecil, dan 15 persen pasien saja yang dirujuk ke Rumah Sakit besar. Kondisinya sekarang justru terbalik, pasien menumpuk di Rumah Sakit sementara Puskesmas hanya dilewati saja. Karena itu kami sudah usulkan untuk membuat layanan kesehatan dan sistem/pola rujuk secara on-line, komputerisasi dan linking data base antar Rumah Sakit. Dengan begitu secara real time kondisi ketersediaan kamar, dan lain-lain tiap Rumah Sakit dapat terpantau secara on-

line. “Itu sudah kita pikirkan dan sudah diantisipasi sejak awal,” ujarnya. 7 Namun yang terpenting dari program KJS adalah dibukanya ruang partisipasi dari masyarakat dan upaya perbaikan sistem yang dilakukan secara terus menerus.

Hal senada disampaikan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Dien Emmawati. Menurutnya, perbaikan sistem dan layanan KJS terus dilakukan untuk meningkatkan pelayanan dan tertibnya administrasi kesehatan. Beberapa waktu lalu, Dinas kesehatan Provinsi DKI Jakarta telah membagikan KJS “versi baru”. Kartu ini dilengkapi barcode yang terhubung ke server data. Lewat kartu ini, d ata-data riwayat kesehatan pasien bisa diakses oleh elemen kesehatan seperti Rumah Sakit, Dinas Kesehatan, dan PT.Askes. “Dengan begitu, setiap tahun bisa dipetakan penyakit terbanyak di wilayah Jakarta. Atau, bisa juga menjelaskan kecenderungan pola kesehatan di masyarakat. Sedangkan keuntungan bagi masyarakat adalah bisa mengecek penuh tidaknya Rumah

Sakit atau Puskemas”, ujar Dien Emmawati. 8

Namun terlepas dari polemik dan dinamik KJS tersebut hal ini menunjukkan bahwa Pemda Provinsi DKI Jakarta telah melakukan beragam upaya sekaligus hal ini telah menunjukkan ketersediaan program layanan kesehatan dalam rangka pemenuhan hak atas kesehatan. Upaya ini bahkan telah memunculkan

apresiasi publik yang tinggi terhadap layanan kesehatan di DKI Jakarta. 9 Beragam respon positif muncul, bukan saja dari warga Jakarta. Wakil Perdana Menteri Inggris Lord Mandelson bahkan memberikan pujian dan apresiasi khusus kepada Jokowi terkait program KJS di DKI Jakarta. "Saya melihat sesuatu yang kuat pada progress dan transisi DKI Jakarta di bidang pelayanan kesehatan dan pendidikan melalui program KJS dan KJP. Ini bisa memberikan inspirasi untuk menerapkan kebijakan yang dapat diterima

semua pihak,” ujar Mandelson saat berkunjung ke Jakarta beberapa waktu lalu. 10 Dukungan publik yang kuat ini sungguh telah menjadi modal tersendiri bagi

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 7 Wawancara dengan Tony S. Natakarman, Jakarta: Kamis, 3 Oktober 2013.

8 Simak: Koran TEMPO, Jakarta: Selasa, 28 Mei 2013.

9 Apresiasi publik terhadap program KJS dapat disimak antara lain dalam pemberitaan berbagai media massa terutama sepanjang pertengangan tahun 2013.

10 Simak: Warta Kota, Jakarta: Jumat, 29 November 2013.

Jokowi dan Pemda Provinsi DKI untuk menjadikan KJS sebagai salah satu

program andalannya. 11

Capaian penting lainnya yang perlu dikemukakan dan dideskripsikan secara lebih detil dari indikator ketersediaan adalah dimensi hasil. Dalam konteks ini kita akan melihat bagaimana target dan capaian beberapa aspek terkait layanan kesehatan dasar semisal k etersediaan fasilitas kesehatan, Puskesmas, Rumah Sakit, balai pengobatan, program obat generik, pencegahan penyakit menular, sanitasi dan air bersih, ketersediaan tenaga medis seperti dokter, perawat dan bidan, serta perbandingannya dari waktu ke waktu, termasuk bagaimana pula implikasinya terhadap tingkat dan derajat kesehatan masyarakat seperti pada angka harapan hidup, angka kematian bayi, angka kematian ibu melahirkan, dan aspek-aspek penting lainnya.

Kepala Bidang Jamkesda, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Theryanto, menyebutkan bahwa ketersediaan fasilitas kesehatan di Provinsi DKI Jakarta sudah sangat memadai. Menurut Theryanto, lebih dari 150 rumah sakit yang ada di DKI Jakarta. Sementara jumlah Puskesmas tingkat kecamatan sekitar 40-an dan Puskesmas tingkat kelurahan/desa hampir 300-an belum termasuk Balai Pengobatan Umum yang jumlahnya lebih banyak lagi. Secara lebih rinci, perkembangan jumlah fasilitas kesehatan di Provinsi DKI Jakarta dapat disimak pada tabel berikut.

Tabel-1: Jumlah Fasilitas Kesehatan, 2010-2012

Tahun No

Fasilitas Kesehatan

1 Rumah Sakit

2 Rumah Sakit Bersalin

3 Puskesmas Kecamatan

4 Puskesmas Kelurahan/Desa

5 Balai Pengobatan Umum

6 Balai Pengobatan Gigi

7 Klinik Spesialis

4.241 4.245 Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta

10 Posyandu

Dari sisi jumlah sebetulnya tidak terlalu banyak perubahan berarti atas penambahan fasilitas kesehatan antara tahun 2012 dengan tahun sebelumnya. Bahkan, justru terjadi penurunan pada jumlah Rumah Sakit Bersalin. Dengan data itu kita bisa saja menduga-duga atau berspekulasi. Pertama, untuk kasus

11 Jokowi bahkan pernah mengeluarkan pernyataan “Saya siap mundur demi KJS” untuk menyindir DPRD.

Rumah Bersalin yang berkurang misalnya menunjukkan “keberhasilan” program KB yang berimplikasi pada menurunnya angka kelahiran yang secara otomatis juga berimplikasi pada berkurangnya jumlah Rumah Bersalin. Kedua, program kesehatan Provinsi DKI Jakarta berfokus pada peningkatan kualitas layanan, bukan pada kuantitas penambahan fasilitas kesehatan. Ketiga, belum tercatatnya perkembangan mutakhir mengenai angka perkembangan jumlah fasilitas kesehatan tahun 2013. Semua praduga ini tentu perlu diklarifikasi lebih jauh untuk mendapatkan informasi yang lebih sahih.

Asumsi bahwa program kesehatan Provinsi DKI Jakarta berfokus pada peningkatan kualitas layanan barangkali dapat membawa kita pada “titik terang” jika menyimak perkembangan jumlah tenaga medis yang dari tahun ke tahun terus bertambah. Sejak 2010 hingga 2012, jumlah tenaga medis, kecuali apoteker: dokter umum, dokter spesialis, dokter gigi, asisten apoteker, dan bidan relatif terus meningkat. Secara lebih rinci, perkembangan jumlah tenaga kesehatan di Provinsi DKI Jakarta dapat disimak pada tabel berikut.

Tabel-2: Jumlah Tenaga Kesehatan, 2010-2012

Tahun No

Tenaga Kesehatan

1 Dokter Umum

2 Dokter Spesialis

3 Dokter Gigi

5 Asisten Apoteker

2.111 2.398 Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta

6 Bidan

Perkembangan tenaga kesehatan yang paling signifikan terjadi pada penambahan jumlah dokter spesialis, dokter gigi, dan terutama pada penambahan bidan dimana terjadi lonjakan jumlah dari 1.897 pada 2010 menjadi 2.398 pada 2012. Angka ini bahkan diperkirakan meningkat lagi pada 2013. Namun demikian, penambahan jumlah bidan yang cukup signifikan itu ternyata belum berhasil mengeluarkan Provinsi DKI Jakarta dari masalah kesehatan yang paling krusial di DKI yakni kekurangan bidan. Menurut data Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (PPSDMK) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Provinsi DKI Jakarta hingga kini tercatat memiliki rasio bidan terrendah di Indonesia, yakni 21,5 per 100.000 penduduk. Angka ini jauh dari rata-rata nasional yakni 49,9 per 100.000 penduduk. Padahal, target Indikator Indonesia Sehat mematok angka 100 bidan per 100.000 penduduk. Ini tentu merupakan catatan merah tersendiri potret dunia kesehatan Provinsi DKI Jakarta. Secara umum, rasio tenaga kesehatan di Provinsi DKI Jakarta dapat disimak pada tabel berikut.

Tabel-3: Rasio Tenaga Kesehatan Provinsi DKI Jakarta dan Target Indonesia Sehat

No Rasio Tenaga Kesehatan Target Indikator per 100.00 Penduduk DKI Jakarta

Indonesia Sehat

1 Dokter Umum

2 Dokter Gigi

117,5 Sumber: Diolah dari Data Badan PPSDMK, Kemenkes RI, 2013

4 Perawat

Data tersebut menunjukkan bahwa meskipun jumlah tenaga kesehatan di Provinsi DKI Jakarta sudah relatif banyak dan terus bertambah, namun sebenarnya rasionya masih berada di bawah target Indikator Indonesia Sehat. Bahkan untuk tenaga medis terbawah –yang menjadi ujung tombak layanan kesehatan– yaitu bidan dan perawat rasionya masih sangat jauh. Demikian pula rasio Puskesmas yang menjadi ujung tombak fasilitas pelayanan kesehatan. Di Provinsi DKI Jakarta, hanya tiga daerah saja yang angka rasionya berada di atas rata-rata provinsi, sementara tiga daerah lainnya masih berada di bawah rata- rata. Rinciannya dapat disimak pada tabel berikut.

Tabel-4: Rasio Puskesmas di DKI Jakarta per 100.000 Penduduk

Sumber: Pusdatin, Kemenkes RI, 2013.

Rasio Puskesmas per 100.000 penduduk di Provinsi DKI Jakarta 3,41. Dengan estimasi jumlah penduduk tahun 2012 sebesar 9.869.590 dan jumlah Puskesmas 340, maka satu Puskesmas dapat melayani sebesar 34.440 orang. Rasio Puskesmas tertinggi terdapat di Kepulauan Seribu (36,94) sementara rasio terrendah di Kota Jakarta Utara (2,90).

Dari sisi ketersediaan, pemerintah Provinsi DKI Jakarta memang telah dan terus berupaya melakukan berbagai program, termasuk dan terutama menambah jumlah fasilitas kesehatan dan jumlah tenaga medis. Upaya ini tampak secara signifikan telah menunjukkan peningkatan atas tersedianya fasilitas dan tenaga kesehatan yang ada di DKI Jakarta. Namun demikian, meskipun jumlah dan angkanya terus meningkat, tapi rasionya masih belum optimal. Hal ini bisa jadi karena tingkat pertumbuhan penduduk di DKI masih sangat tinggi, dan rasio pertumbuhannya masih lebih tinggi ketimbang rasio penanmbahan jumlah fasilitas maupun jumlah tenaga medis. Karena itu, dari sisi ketersediaan, kondisi ini masih membersitkan sejumlah tantangan yang tidak sedikit untuk memantapkan pemenuhan hak publik atas kesehatan di DKI Jakarta.

B. Aksesibilitas. Keterjangkauan (aksesibilitas) terhadap hak atas kesehatan mencakup empat dimensi yang saling terkait. Pertama, fasilitas dan layanan kesehatan harus dapat diakses oleh semua, terutama oleh masyarakat yang marginal atau masyarakat yang tidak terlindungi oleh hukum dan dalam kehidupan nyata, tanpa diskriminasi dengan dasar apapun juga. Kedua, akses secara fisik. Fasilitas dan layanan kesehatan harus dapat terjangkau secara fisik dengan aman bagi semua, terutama bagi kelompok yang rentan atau marginal, misalnya etnis minoritas atau masyarakat terasing, perempuan, anak-anak, dan kelompok marginal lainnya seperti warga di daerah pinggiran dan penyandang cacat. Ketiga, akses ekonomi. Fasilitas kesehatan, layanan kesehatan, serta barang dan jasa kesehatan harus dapat terjangkau secara ekonomi bagi semua kalangan warga. Keempat, akses informasi. Aksesibilitasnya mencakup hak untuk mencari dan menerima atau membagi informasi terkait fasilitas dan layanan kesehatan secara terbuka dan transparan.

Dengan merujuk sejumlah peraturan perundangan yang ada, seperti Perda kesehatan dan Pergub DKI yang relevan dengan isu kesehatan tampaknya tidak ada klausul yang secara eksplisit maupun implisit mendorong sikap dan perilaku diskriminatif. Bahkan ratio legis dari peraturan yang ada secara jelas dan eksplisit mendorong dan mempromosikan kesetaraan warga dalam mengakses

layanan kesehatan. 12 Dalam tataran yang lebih praksis, sejumlah program kesehatan Provinsi DKI –termasuk dan terutama misalnya KJS yang menjadi program kesehatan andalan– juga tidak menampakkan unsur-unsur diskriminatif. Bahkan sebaliknya, menjadikan kesetaraan warga sebagai salah satu visi dan prinsip dasarnya: “Jakarta Sehat untuk Semua,” demikian visi yang terus digelorakan Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta.

12 Simak misalnya klausul “Menimbang” dan konten per pasal dalam Perda DKI Jakarta No.4 Tahun 2009 Tentang Sistem Kesehatan Daerah dan Pergub DKI No. 187 Tahun 2012 Tentang Pembebasan Biaya

Pelayanan Kesehatan.

Demikian juga akses secara fisik berbagai layanan kesehatan yang disediakan pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Terlepas dari jumlah dan rasionya yang masih perlu ditingkatkan, namun bila dibandingkan dengan yang ada di provinsi lain, Provinsi DKI Jakarta masih cukup baik. Tingkat penyebarannya pun terhitung cukup merata. Bahkan, Kabupaten Kepulauan Seribu yang seringkali dianggap dan dipersepsikan sebagai daerah terisolir di DKI Jakarta justru memiliki ketersediaan dan akses paling baik dalam sejumlah aspek kesehatan. Bukan saja dalam ketersediaan sarana fisik kesehatan, bahkan dalam hal jumlah dan rasio tenaga kesehatan pun Kepulauan Seribu lebih baik aksesnya dibanding daerah- daerah lainnya di Provinsi DKI Jakarta. Contoh, misalnya rasio dokter umum dan rasio bidan yang menggambarkan –selain ketersediaan tenaga medis— tapi sekaligus kemudahan akses layanan masyarakat terhadap sarana maupun tenaga kesehatan. Untuk rasio dokter umum, perbandingan angka rinciannya per kota/kabupaten di Provinsi DKI Jakarta dapat disimak pada tabel berikut.

Tabel-5: Perbandingan Rasio Dokter Umum per 100.000 Penduduk di Provinsi DKI Jakarta

Sumber: Pusdatin, Kemenkes RI, 2013.

Demikian pula untuk layanan kesehatan dasar yang relatif sudah baik dan merata. Salah satu contoh, misalnya mengenai cakupan layanan anak balita yang secara umum telah mencapai dan bahkan melampai target Renstra Kesehatan, yaitu 81 persen, sementara capaian Provinsi DKI 89,75. Dari lima daerah kota/kabupaten, hanya satu daerah saja yakni Jakarta Pusat (80,48) yang capaiannya di bawah target, sementara lima daerah lainnya sudah melampaui target yang ditetapkan. Kabupaten Kepulauan Seribu bahkan capaiannya jauh diatas target maupun rata-rata capaian angka Provinsi DKI Jakarta. Rinciannya dapat disimak pada tabel berikut.

Tabel-6: Cakupan Layanan Anak Balita

Karena itu barangkali tidaklah terlalu berlebihan jika Ketua IDI DKI Jakarta, Tony S. Natakarman mengatakana bahwa dari sisi aksesibilitas kesehatan di DKI Jakarta tidak terlalu bermasalah. Apalagi dengan adanya program KJS yang menurut Tony sangat berdampak pada upanya peningkatan akses sekaligus mendekatkan masyarakat pada layanan kesehatan sehingga semakin terjangkau oleh masyarakat kebanyakan. Namun begitu memang harus diakui bahwa program kesehatan yang ada sekarang belum optimal. Masih harus ada upaya keras untuk terus meningkatkan layanan. Dari sisi aksesibilitas, terutama harus ada upaya yang lebih keras lagi untuk mendorong peningkatan aksesibilitas bagi warga yang memiliki kebutuhan khusus, seperti bagi para penyandang cacat, kelompok marginal, kelompok manula, dan kelompok masyarakat lainnya yang “kurang beruntung” sehingga memerlukan intervensi khusus.

Dari segi akses ekonomi program kesehatan yang dimiliki Provinsi DKI Jakarta sudah termasuk progresif. Hal ini dapat dilihat dari dimensi regulasi dimana produk-produk legislasi yang ada sudah sangat mendukung, baik Perda maupun Pergub yang memperlihatkan adanya ‘kebijakan affirmatif” bagi kelompok miskin dan kurang mampu. Dengan begitu, layanan kesehatan menjadi lebih mudah dan secara ekonomi lebih terjangkau bagi warga kebanyakan.

Perda No.4 Tahun 2009 Tentang Sistem Kesehatan Daerah secara jelas dan tegas menyebutkan bahwa bagi penduduk miskin dan penduduk rentan, biaya pelayanan kesehatan ditanggung oleh pemerintah pusat dan pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Lebih rinci, setidaknya ada empat Pergub selama 2012 yang mengatur soal ini, yakni Pergub No.68 Tahun 2012 Tentang Tarif Pelayanan Puskesmas Kecamatan, Pergub No.117 No.2012 Tentang Tarif Pelayanan Rumah

Sakit Umum Daerah dan Rumah Sakit Khusus Daerah, Pergub No. 171 Tahun 2012 Tentang Jaminan Pelayanan Kesehatan bagi Keluarga Miskin, Penduduk Rentan, Korban Bencana, dan Penerima Penghargaan, Pergub No. 187 Tahun 2012 Tentang Pembebasan Biaya Pelayanan Kesehatan yang kemudian diperbaharui lagi dengan Pergub No.14 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Pergub No. 187 Tahun 2012 Tentang Pembebasan Biaya Pelayanan Kesehatan.

Dalam Pergub yang terakhir itu disebutkan cakupan Pembebasan Biaya Pelayanan Kesehatan secara lebih luas. Dengan begitu lebih banyak lagi segmen masyarakat yang mendapatkan “Pembebasan Biaya Pelayanan Kesehatan”, mulai dari kelompok miskin dan rentan sampai kelompok masyarakat yang diberi penghargaan, termasuk di dalamnya kelompok lansia dan perangkat pemerintahan terendah, seperti RT, RW, dan perangkat desa/kelurahan. Mereka sebetulnya bukan tidak membayar layanan kesehatan, tapi pembayarannya ditanggung oleh negara melalui anggaran kesehatan pemerintah dan pemerintah daerah. “Dari sisi anggaran, program KJS itu hampir tidak ada masalah karena sebenarnya Pemda DKI punya uang yang sangat cukup, bahkan bisa dibilang unlimited sehingga kita mampu membayar klaim rumah sakit mana pun,” ujar Theryanto, Kepala Jamkesda Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. Namun masih ada kesan kuat di benak kita bahwa layanan kesehatan itu seperti gratisan sehingga ‘asal-asalan’. Padahal, pemerintah maupun Pemda membayar semua klaim pelayanan kesehatan itu. Karena itu, Pergub kesehatan yang terus diperbaharui itu pada dasarnya untuk mendekatkan akses ekonomi masyarakat kebanyakan atas layanan kesehatan yang tersedia, semisal KJS.

Dari sisi akses informasi, pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga sudah tergolong maju. Sineas yang juga pemerhati kebijakan publik, Garin Nugroho menilai berbagai upaya keterbukaan yang ditunjukkan pemerintah Provinsi DKI Jakarta, seperti penyediaan informasi mengenai regulasi atau legislasi daerah, program- program Pemda beserta penganggarannya secara transparan dan terbuka itu merupakan langkah positif yang sangat baik. “Pengumuman tentang anggaran daerah sudah diumumkan di berbagai tempat, namun yang penting lagi adalah kesadaran menggunakan informasi itu. Jadi kalau timbulnya masyarakat informatif harus timbul kesadaran bagaimana menggunakan

informasi lewat sistem pelayanan publik secara baik,” ujarnya. 13

Senada dengan itu, Ketua Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta, Yulianto Widirahardjo, menilai bahwa saat ini ada perkembangan sangat signifikan tentang keterbukaan informasi publik di DKI Jakarta. Hal ini antara lain dan terutama lantaran pucuk pimpinannya, Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang lebih mengedepankan transparansi. “Dengan sikap seperti itu mau

tidak mau seluruh jajaran di bawahnya akan mengikuti,” ucapnya. 14 Menurut Yulianto, pelaksanaan Undang-undang No.14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 13 Simak: http://kebebasaninformasi.org/2013/10/16/keterbukaan-informasi-di-dki-hingga-tingkat-

kelurahan/ 14 Wawancara dengan Yulianto Widirahardjo, Jakarta: Jumat, 4 Oktober 2013.

Informasi Publik (KIP) telah diimplementasikan Pemda DKI, baik dalam penyediaan media informasi berbasis internet maupun media konvensional seperti papan pengumuman (mading) yang ditempel di semua kantor kelurahan.

Demikian pula keterbukaan informasi dalam hal akses terhadap pelayanan kesehatan. Menurut Yulianto, salah satu nilai lebih program KJS dibandingkan program-program kesehatan lainnya dan program-program kesehatan sebelumnya antara lain dan terutama dalam hal keterbukaan informasi. “Dari sisi akses informasi, program KJS ini sudah sangat informatif dan sangat terbuka, serta mudah diakses oleh publik. Dalam situs resmi Pemda DKI atau website khusus mengenai program KJS selain juga di media-media mainstream, informasi mengenai KJS sudah demikian massif sehingga masyarakat bukan saja dapat mengaksesnya tapi sekaligus juga bisa mengkritisinya. Ini saya kira sangat baik bagi iklim keterbukaan informasi,” tambah Yulianto.

Sebagai salah satu program andalan bidang kesehatan, KJS sepertinya memang dirancang menjadi program yang partisipatif. Berbagai masukan sejak awal program ini dicanangkan hingga kini terus bergulir banyak masukan diakomodasi sehingga sebagai sebuah program KJS terus berevolusi mengalami sejumlah penyempurnaan signifikan. Ini tampak pada munculnya “KJS versi baru” yang terus mengalami pemutakhiran sampai pada level paling teknis sehingga, misalnya, secara on-line trend penyakit di DKI lebih mudah dipetakan. Demikian pula kapasitas dan densitas pemakaian Puskesmas dan Rumah Sakit dapat terpantau secara on-line dan real-time. Kondisi dan kualitas layanan kesehatan yang baik seperti ini dapat dicapai, salah satunya, karena adanya keterbukaan informasi sebagai salah satu kuncinya.

C. Kualitas Potret paling krusial dari persoalan kesehatan di Provinsi DKI Jakarta salah satunya adalah adalah masih rendahnya rasio tenaga medis, terutama rasio bidan yang menempati angka terrendah di Indonesia. Namun demikian, rendahnya rasio bidan di DKI Jakarta ternyata tidak serta merta berimplikasi pada rendahnya tingkat cakupan persalinan yang ditolong tenaga kesehatan, pun apalagi berimplikasi pada tingginya angka kematian bayi, angka kematian balita, maupun angka kematian ibu yang melahirkan. Data Direktorat Jenderal Gizi, Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan bahwa prosentase cakupan persalinan yang ditolong tenaga medis di provinsi DKI Jakarta justru memperlihatkan angka sangat baik, yakni mencapai rata-rata 96,17 persen. Angka ini telah melampaui target Renstra Kesehatan 2012, yakni sekitar 88 persen. Secara lebih rinci, prosentase cakupan persalinan yang ditolong tenaga kesehatan di Provinsi DKI Jakarta dapat disimak pada tabel berikut.

Tabel-7: Cakupan Persalinan Ditolong Tenaga Medis

Sumber : Ditjen Gizi dan KIA Kemenkes RI, 2012

Demikian pula mengenai tingkat kematian bayi, angka kematian balita dan kematian ibu melahirkan yang angkanya relatif baik dan sudah memenuhi target MDG’s. Data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukkan bahwa Angka Kematian Banyi 22 per 1000 kelahiran hidup, lebih rendah dari target MDG’s, yakni 23 per 1000 kelahiran hidup. Sementara angka kematian balita 31 per 1000 kelahiran hidup, lebih rendah dari target MDG’s, yakni 32. Demikian pula angka kematian ibu melahirkan, 41 per 1000 kelahiran hidup, lebih rendah dari target MDG’s, yakni 44 per 1000 kelahiran hidup. Rincian angkanya dapat disimak pada tabel berikut.

Tabel-8: AKB/B dan AKI (2012)

NO

SDKI 2012

Target MDG’s

1 AK Bayi

2 AK Balita

Sumber: SDKI, 2012

Masih seputar kesehatan banyi dan balita, cakupan pelayanan kesehatan banyi dan balita di provinsi DKI Jakarta sudah sangat baik dan sangat merata di seluruh kota/kabupaten. Data Ditjen Gizi dan KIA Kemenkes RI bahkan menunjukkan Kabupaten Kepulauan Seribu –yang dianggap daerah paling terpencil dan terisolir di DKI Jakarta– justru memperlihatkan capaian hasil terbaik. Hal ini dapat disimak pada tabel berikut.

Tabel-9: Cakupan Pelayanan Kesehatan Bayi

Sumber : Ditjen Gizi dan KIA Kemenkes RI, 2013.

Kualitas cakupan pelayanan kesehatan balita juga memperlihatkan angka sangat positif. Secara umum, hampir semua daerah kota/kabupaten yang ada di Provinsi DKI Jakarta memperlihatkan capaian sangat baik, reratanya per provinsi mencapai 89,75. Dengan rerata ini angkanya telah melampaui target Renstra Kesehatan (81%), kecuali Jakarta Pusat (80,48). Kepulauan Seribu dan Jakarta Selatan bahkan jauh melampaui target Renstra Kesehatan Nasional. Rincian angkanya dapat disimak pada tabel berikut.

Tabel-10: Cakupan Pelayanan Kesehatan Balita

Sumber : Ditjen Gizi dan KIA Kemenkes RI, 2013.

Capaian kemajuan taraf kesehatan lainnya dapat dilihat dari upaya pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam mendorong warganya untuk berperilaku hidup sehat. Upaya ini antara lain tampak, misalnya, pada upaya-upaya dan program pencegahan terhadap penyakit menular, program penciptaan sanitasi dan penyediaan air bersih, baik aspek kualitas fisik air bersih maupun akses terhadap air minum bersih yang berkualitas, serta akses terhadap pembuangan tinja secara layak.

Dalam hal program pencegahan terhadap penyakit menular, pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah melakukan berbagai upaya, terutama terkait sejumlah penyakit menular yang banyak menjangkit masyarakat, seperti TB Paru, HIV/Aids, dan terutama belakangan yang banyak mewabah adalah Demam Berdarah Dengue (DBD). Untuk itu, Pemda DKI bahkan mengeluarkan Perda khusus terkait penanganan DBD di DKI Jakarta, yaitu Perda DKI No.6 Tahun 2007 Tentang Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue. Upaya penting lainnya adalah program prefentif untuk menangkal mewabahnya penyakit menular melalui kegiatan imunisasi dasar, seperti imunisasi DPT, folio, dan campak. Rinciannya dapat disimak pada tabel berikut.

Tabel-11: Cakupan Imunisasi Campak/DPT/HB-1 Provinsi DKI Jakarta

Sumber: Ditjen PPPL, Kemenkes RI, 2013

Sementara itu, program lainnya yang cukup signifikan mendorong perilaku hidup sehat dalam mencapai taraf dan kualitas kesehatan yang baik, antara lain melalui upaya penyediaan air bersih yang layak dan berkualitas serta penyediaan sanitasi yang layak. Selain itu, tak kalah penting juga bagaimana mendorong perilaku rumah tangga sehat dalam hal akses pembuangan tinja secara layak. Semua upaya dan program tersebut tentu akan berimplikasi pada capaian kualitas dan taraf kesehatan yang diharapkan. Berikut hasil dan capaian upaya- Sementara itu, program lainnya yang cukup signifikan mendorong perilaku hidup sehat dalam mencapai taraf dan kualitas kesehatan yang baik, antara lain melalui upaya penyediaan air bersih yang layak dan berkualitas serta penyediaan sanitasi yang layak. Selain itu, tak kalah penting juga bagaimana mendorong perilaku rumah tangga sehat dalam hal akses pembuangan tinja secara layak. Semua upaya dan program tersebut tentu akan berimplikasi pada capaian kualitas dan taraf kesehatan yang diharapkan. Berikut hasil dan capaian upaya-

Tabel-12: Capaian Kualitas Kesehatan dan Target Renstra Kesehatan Nasional

No

Hasil/Capaian

Target Renstra/Nasional

1 Presentase

60 berperilaku hidup bersih dan sehat

29.5 44,2 akses air minum layak

penduduk terhadap

87 67,5 akses air minum berkualitas

3 Presentase rumah tangga terhadap

4 Presentase rumah tangga terhadap

90 kualitas fisik air minum yang baik

5 Presentase

55,3 sanitasi layak

penduduk terhadap

6 Presentase rumah tangga menurut

55,5 akses terhadap pembuangan tinja secara layak

Sumber: Pusat Promosi Kesehatan, Kemenkes, 2013.

Capaian dan hasil atas berbagai upaya dan program tersebut menunjukkan bahwa tingkat dan taraf kualitas kesehatan di Provinsi DKI Jakarta relatif sudah cukup baik. Kecuali dalam hal akses penduduk terhadap air minum yang layak, hasil dan capaian lainnya, seperti penyediaan sanitasi, ketersediaan air dengan kualitas fisik yang baik, serta akses terhadap pembuangan tinja secara layak, sudah mencapai dan bahkan melampaui Target Renstra Kesehatan Nasional. Demikian pula program-program dan upaya prefentif untuk menangkal mewabahnya penyakit menular melalui kegiatan imunisasi dasar, seperti imunisasi DPT, folio, dan campak telah memperlihatkan kualitas yang cukup baik.

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Dien Emmawati mengatakan bahwa Pemda DKI Jakarta menaruh perhatian sangat besar terhadap upaya untuk pemenuhan dan peningkatan kualitas kesehatan. “Dalam APBD DKI 2012 saja kita menganggarkan hingga 600 miliar untuk kesehatan. Ini menunjukkan komitmen kita untuk selalu mengupayakan peningkatan kualitas kesehatan,” Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Dien Emmawati mengatakan bahwa Pemda DKI Jakarta menaruh perhatian sangat besar terhadap upaya untuk pemenuhan dan peningkatan kualitas kesehatan. “Dalam APBD DKI 2012 saja kita menganggarkan hingga 600 miliar untuk kesehatan. Ini menunjukkan komitmen kita untuk selalu mengupayakan peningkatan kualitas kesehatan,”

program layanan kesehatan pada umumnya. 16

Pemenuhan Hak Atas Pendidikan

Dasar pertimbangan atas lahirnya Undang-Undang No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) menyebutkan bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Selanjutnya, Pasal

4 UU Sisdiknas ini memberikan penekanan atas pentingnya aspek hak asasi manusia (HAM) sebagai salah satu pegangan pokok dalam aktivitas pendidikan: “Bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai

keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.” 17

Dalam konteks hukum HAM internasional, elemen kunci indikator hak atas pendidikan dasar mengacu pada Komentar Umum No. 13 KIHESB yang memuat pengaturan mengenai hak untuk menikmati pendidikan dasar yang layak di suatu negara. Pada komentar umum tersebut dinyatakan bahwa segala bentuk pendidikan dan tingkatan harus memperbanyak fitur-fitur yang saling berkaitan dan esensial pada empat elemen kunci yang menjadi parameter, yaitu: ketersediaan, keterjangkauan, keberterimaan/dapat diterima (acceptability), dan kebersesuaian/dapat diadaptasi (adaptibility). Setiap elemen kunci tersebut terdiri dari indikator struktur, proses, dan hasil.

Indikator struktur mencerminkan hukum nasional yang relevan. Indiktor ini menunjukkan komitmen pelaksanaan kewajiban negara dan penerimaan atas standar-standar HAM. Indikator proses mencerminkan upaya negara mewujudkan komitmennya sebagaimana tertuang dalam indikator struktur. Indikator ini merujuk semua langkah, termasuk program-program publik dan !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

15 Koran Jakarta: Rabu, 21 Maret, 2012.

16 Wawancara dengan Tony S. Natakarman, Jakarta: Kamis, 3 Oktober 2013.

17 Simak Pasal 4 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional beserta penjelasannya.

intervensi-intervensi khusus. Indikator ini menjelaskan perwujudan secara progresif suatu hak dan menggambarkan upaya-upaya negara dalam melindungi hak atas pendidikan dasar. Indikator hasil akan mengungkap pencapaian upaya atau program, baik yang bersifat individu maupun kolektif, yang menggambarkan tingkat pemenuhan hak atas pendidikan.

Berbasiskan penelitian yang telah dilakukan Komnas HAM sebelumnya 18 , penelitian ini akan berfokus pada dua elemen kunci yang dipandang paling relevan yaitu ketersediaan dan aksesibilitas. Indikator ini pula yang akan digunakan untuk melihat tingkat pemenuhan hak atas pendidikan di Provinsi DKI Jakarta. Dalam tataran implementasinya, kedua elemen kunci tersebut beririsan dengan tiga ranah pendekatan, yaitu: struktur, proses, dan hasil. Setiap elemen kunci mengukur tiga indikator yang menjadi satu kesatuan secara integratif untuk memandang komitmen dari struktur, upaya atau proses terutama terkait legislasi dan kebijakan yang mendukung, serta hasil dari perwujudan hak atas pendidikan di Provinsi DKI Jakarta dalam bentuk kegiatan dan program pendidikan yang dilakukan. Kerangka model evaluasi ini secara illustratif dapat divisualisasikan sebagai berikut.

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 18 Sebelumnya, Komnas HA juga telah melakukan sejumlah penelitian mengenai Hak Ekosob dalam

berbagai tematik, simak misalnya pada: http://www.komnasham.go.id/profil-7/pengkajian-dan-penelitian