Latar Belakang Berdirinya Taman Siswa
a. Latar Belakang Berdirinya Taman Siswa
Bangsa yang hidup di dalam penjajahan, sangat tidak mungkin apabila penguasa sempat memikirkan pendidikan, kesejahteraan dan hari depan rakyat yang dijajahnya. Malahan yang terjadi apabila ada yang belajar, bisa berpikir secara luas dan sepak terjangnya dianggap membahayakan penguasa, maka akan dihalang-halangi dan ditindas (Probohening, 1987).
Ketika pulang dari pengasingan di Belanda Ki Hajar Dewantara bermaksud untuk menciptakan sistem pendidikan yang benar-benar bersifat pribumi (yakni yang nonpemerintah dan non-Islam). Pada tahun 1922 Ki Hajar Dewantara, mendirikan sekolah Taman Siswa yang pertama di Yogyakarta, yang memadukan pendidikan gaya Eropa yang modern dengan seni-seni Jawa tradisional. Taman Siswa tidak menerapkan kurikulum pemerintah sehingga tidak mendapat bantuan dari pemerintah (memang tidak mau menerima karena mengutamakan kebebasan) (Ricklefs, 1989).
Ilmu pengetahuan yang diperoleh Ki Hajar selama pengasingan diterapkannya ketika Ki Hajar diperbolehkan kembali ke Indonesia pada tahun 1919, dan pada tahun 1922 mendirikan Perguruan nasional dengan nama Taman Siswa (Gustamin, 1993).
Landasan upaya Ki Hajar Dewantara itu memang tidak lepas dari merombak sistem pendidikan Belanda yang dianggap kurang relevan dengan sistem timur. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan pola Barat sangat mengabaikan kecerdasan budi pekerti, Ki Hajar mengkhawatirkan timbulnya keresahan hidup bermasyarakat. Berpijak dari kondisi yang seperti ini Ki Hajar menerapkan sistem pendidikan anak-anak atas dasar hidup kemanusiaan serta peradaban bangsa dalam artian luas. Ki Hajar memperkenalkan sistem among melalui tut wuri handayani sebagai fondasi dan landasan kerja Taman Siswa (Oethomosoekranah, 1981).
Pada 3 Juli 1922 Ki Hajar Dewantara bersama Sutatmo Surjokusumo, Pronowidigdo, Sujoputro, dan lain-lain, menyatakan berdirinya
commit to user
Siswa di Yogyakarta (Rahardjo, 2009). Ki Hajar Dewantara sebelum mendirikan perguruan Taman Siswa ikut mengajar di perguruan “Adhidarmo” milik kakak Ki Hajar (R.M. Surjopranoto), dan berdasarkan pada pengetahuan pendidikan yang dipelajari Ki Hajar selama dalam pembuangan, Ki Hajar Dewantara pada tanggal 3 Juli 1922 mendirikan “Perguruan Taman Siswa” yang sampai sekarang hidup sebagai warisan utama Ki Hajar Dewantara (Tauchid, 1963).
Taman Siswa menamakan dirinya “Perguruan” dalam bahasa Jawa “peguron”, untuk membedakan dengan sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda maupun oleh bangsa Indonesia sebagai sekolah swasta (Tauchid, 1979).
Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa adalah satu kesatuan, Sagimun (1983) berpendapat, “Ki Hajar Dewantara berusaha membina jiwa kemerdekaan bangsa Indonesia melalui Taman Siswa. Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa merupakan dwi tunggal. Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa tidak bisa dipisahkan. Modal pertama Taman Siswa adalah berupa murid dan bangku sekolah yang diterima Ki Hajar Dewantara dari sekolah Adhidharma” (hlm. 18).
Taman Siswa itu perguruan yang bersikap non-cooperation (tidak mau kerjasama dengan pemerintah penjajahan). Bantuan ataupun segala subsidi yang diberikan oleh penjajah ditolak mentah-mentah, karena Ki Hajar tahu bahwa bantuan atau subsidi tersebut, bersifat mengikat. Padahal Taman Siswa ingin bebas merdeka, berupaya menciptakan pendidikan nasional yang tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak asasi manusia (Probohening, 1987).
Didirikannya Taman Siswa yaitu untuk membentuk manusia yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa, seperti diungkapkan Tauchid (1963) yaitu:
Perguruan Taman Siswa, yang dengan tegas menamakan dirinya perguruan nasional di tengah-tengah alam dan kekuasaan kolonial, diciptakan Ki Hajar Dewantara untuk tempat membangun manusia
commit to user
pembela kemanusiaan, dan kebenaran, tempat menempa jiwa anak- anak Indonesia dengan semangat merdeka dan jiwa kebangsaan. Di tengah-tengah kekuasaan dan alam kolonial Taman Siswa menentang dan melawan kolonialisme (hlm. 30).
Setiap perbuatan yang baik, terkadang memang banyak yang merintangi, begitu juga usaha Ki Hajar Dewantara dalam mendirikan Taman Siswa. Sagimun (1983) menyatakan:
Ki Hajar Dewantara dalam mendirikan Taman Siswa awalnya memang mendapat kecaman dan celaan. Bahkan ada yang mencemooh serta menghina cita-cita luhur Ki Hajar Dewantara. Ada yang mengatakan bahwa Ki Hajar Dewantara tidak memajukan tetapi sebaliknya akan memundurkan pendidikan bangsa Indonesia. Ki Hajar Dewantara yakin akan kebenaran dan kesucian cita-citanya, sehingga Ki Hajar berjalan terus tanpa menghiraukan kata-kata yang ditujukan pada Ki Hajar dan mempunyai maksud menghalangi cita- cita Ki Hajar Dewantara (hlm. 18).
Taman Siswa diciptakan Ki Hajar Dewantara sebagai “paguron”, basa diterjemahkan dengan kata “perguruan”, tempat orang-orang maguru (belajar hidup), bukan hanya rumah sekolah tempat pemberian pengetahuan, tetapi tempat belajar hidup, tempat memperjuangkan dan mewujudkan cita- cita hidup, dan tempat orang-orang penganut ajaran Taman Siswa bersama- sama mewujudkan satu pergaulan hidup (Tauchid, 1963).
Di dalam perguruan, belajar menuntut ilmu pengetahuan itu dinomor duakan, tapi bukannya terus dilupakan, yang terpenting yaitu pembentukan watak, karakter vorming, taqwa kepada Tuhan tetapi bukan berarti Perguruan mengabaikan pengajaran. Perguruan mengutamakan pembentukan watak dan latihan kemauan luhur, dengan contoh teladan pribadi guru sebagai pemberi tuntunan hidup (Tauchid, 1979).
Ki Hajar Dewantara dalam memimpin Taman Siswa mengalami banyak rintangan dan kesulitan akan tetapi Ki Hajar Dewantara tetap konsekuen. Ki Hajar Dewantara pernah mengatakan bahwa jangan suka menerima bantuan yang dapat mengikat secara lahir dan batin, untuk dapat terus hidup harus berani hidup di atas kekuatan dan kemampuan sendiri,
commit to user
Siswa tidak pernah memohon bantuan dan tetap konsekuen ingin berdiri di atas kekuatan sendiri (Sagimun, 1983).