Asas Taman Siswa
b. Asas Taman Siswa
Asas Tamansiswa 1922 yang pertama alinea pertama menegaskan bahwa adalah hak seseorang untuk mengatur dirinya sendiri dengan mengingati tertib damainya kehidupan bersama (Suratman, 1990).
Tujuh Asas Taman Siswa (Beginsel Verklaring= Asas Taman Siswa) secara ringkas menurut Ki Hajar Dewantara sebagai berikut: Pertama , memerdekakan manusia untuk memerdekakan dan
mengurus hidupnya sendiri, dengan mewajibkan padanya untuk menuju ke arah tertib damainya keadaan umum; kedua, asas kita menetapkan bahwa pengajaran harus memberi pengetahuan yang berfaedah, dalam arti lahir dan batin sehingga dapat memerdekakan diri; ketiga, harus berdasarkan kebangsaan dan menuju ke arah peri kemanusiaan; keempat, mementingkan tersebarnya pengajaran bagi rakyat umum; kelima, tidak boleh menerima bantuan yang mengikat lahir atau batin; keenam, harus berhemat dan menggunakan kekuatan sendiri; ketujuh, dengan suci hati mendidik anak didik dengan Among system (Yusuf, 1989: 55).
Hak kemerdekaan diri dicantumkan sebagai asas Taman Siswa yang utama dan pertama, menjadi dasar mencapai cita-cita hidup bahagia dan masyarakat tertib damai. Ki Hajar Dewantara meletakkan dasar kemerdekaan sebagai dasar pendidikan anak-anak Indonesia, mengisi jiwa merdeka pada anak-anak jajahan berarti mempersenjatai bangsa dengan senjata keberanian berjuang, menanamkan rasa harga diri pada bangsa yang dijajah untuk mencapai kemerdekaannya (Tauchid, 1963).
Pasal dua memaparkan suatu metodik dalam kaitannya dengan sistem among. Dalam sistem ini maka pelajaran berarti mendidik anak-anak akan menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka fikirannya dan merdeka tenaganya. Pada pasal dua ini menekankan para pendidik untuk mendidik siswanya menjadi manusia yang tidak menggantungkan hidupnya kepada orang lain. Guru jangan hanya memberi pengetahuan yang perlu dan
commit to user
dan memanfaatkannya untuk kepentingan umum (Koesmani, 1989).
Taman Siswa yang lahir dalam penjajahan, memang ingin berjuang untuk menanggulangi kebodohan bangsanya dalam rangka mencapai kemerdekaan nasional. Orang-orang Taman Siswa yang sebagian besar memang tokoh-tokoh pergerakan nasional, ingin berjuang dalam bidang politik dan pendidikan. Maka tidak mustahil apabila penjajah Belanda (pemerintah Hindia-Belanda) selalu berupaya untuk mematikan Taman Siswa atau setidak-tidaknya melemahkan semangat hidup bebas dan merdeka yang diidam-idamkan oleh para pendiri dan penganut Taman Siswa (Probohening, 1987).
Pasal tiga diterangkan bahwa kita harus kembali ke kepribadian bangsa sendiri berarti, kembali ke kebudayaan bangsa, kembali ke kodrat alam Indonesia. Ke kodrat alam dan budaya bangsa berarti kembali ke cara hidup kita sendiri, dan ini semua memerlukan latihan sejak dini, maka dari itu diperlukan pendidikan anak sejak kecil hingga dewasa didasarkan kepada pada budaya bangsa dan garis hidupnya menuju cita-cita pembangunan bangsa (Koesmani, 1989).
Pasal empat diterangkan bahwa mengingat sebagian besar bangsa Indonesia masih bodoh diperlukan perluasan pendidikan yang merupakan program utama tuntutan kita, agar semakin banyak rakyat Indonesia yang mengenyam pendidikan. Pasal lima menunjukkan sikap yang mengandung prinsip, yang mengungkapkan sikap pribadi yang mantap menghadapi segala kemungkinan, sebagai akibat dari tindakan ataupun niatnya. Bantuan orang lain yang dapat mengurangi kebebasan harus ditolak. Pasal enam diterangkan bahwa kita harus hidup sederhana. Kemudian pasal terakhir yaitu pasal tujuh merupakan suatu janji atau sumpah orang Taman Siswa sebelum terjun dalam dunia masyarakat. Kebulatan tekad yang kemudian terbentuk oleh sumpah itulah yang membekali insan Taman Siswa untuk terjun dalam perjuangan yang penuh dengan rintangan dan kesulitan (Koesmani, 1989).
commit to user
Taman Siswa tahun 1976 telah dimasukkan dalam kurikulum pendidikan Taman Siswa yang diajarkan di semua tingkat perguruan sejak Taman Indria sampai Perguruan Tinggi Taman Siswa. Ilmu yang diajarkan itu disebut dengan istilah KETAMANSISWAAN. Diajarkannya Ketamansiswaan sebagai pendidikan formal di Taman Siswa sejalan dengan salah satu keputusan Kongres XII yang menyebutkan bahwa sejak tahun ajaran 1976- 1977 Perguruan Taman Siswa sepenuhnya menggunakan kurikulum Negeri ditambah dengan Ketamansiswaan sebagai kekhususan pendidikannya (Wiryosentono, 1989).
Taman Siswa merupakan perguruan milik bangsa Indonesia sehingga apa yang dilaksanakan dalam Taman Siswa tujuannya untuk kepentingan bangsa Indonesia. Sagimun (1983) berpendapat, “cita-cita Taman Siswa untuk mendidik anak-anak Indonesia agar berjiwa merdeka harus dilakukan oleh guru-guru bangsa Indonesia sendiri. Guru-guru itu harus berjiwa kebangsaan dan bersemangat merdeka” (hlm. 22).
Tujuh pasal asas Taman Siswa, dilengkapi dengan sistem dan cara pendidikan serta tata pergaulan hidup dalam dunia Taman Siswa, merupakan konsepsi kehidupan manusia baru, masyarakat tertib damai. Taman Siswa adalah wadah dan wujud ajaran hidup Ki Hajar Dewantara, berupa asas, sendi organisasi, sistem pendidikan dan cara-cara kebiasaan hidup, sebagai syarat pelaksanaan dan perwujudan cita-cita kehidupan Taman Siswa (Tauchid, 1963).
Pendidikan Taman Siswa dilaksanakan menurut “sistem among”, yaitu suatu sistem yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan dua dasar:
Pertama, Kodrat alam, sebagai syarat untuk mencapai kemajuan dengan secepatnya dan sebaiknya; Kedua, kemerdekaan, sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir batin anak agar dapat memiliki pribadi yang kuat dan dapat berfikir serta bertindak merdeka. Sistem tersebut menurut berlakunya juga disebut sistem Tutwuri handayani (Suratman, 1980).
commit to user
tidak mungkin mendidik anaknya di luar atau bertentangan dengan kodrat alamnya. Suratman (1989) menjelaskan mengenai pentingnya sendi kodrat alam dan kemerdekaan dalam sistem among, yaitu:
Kodrat alam merupakan batas sejauh mana pendidikan mampu mengembangkan seluruh potensi kodrati dan kepribadian anak. Dasar
bagi proses mengembangkan seluruh potensi anak tersebut. Perkembangan dalam suasana kemerdekaan tanpa adanya hambatan, yang berwujud tekanan, akan memberi keleluasaan tumbuh secara wajar. Anak didik yang mengalami perkembangan demikian akan tumbuh sebagai pribadi yang berjiwa merdeka, sebagai modal bertumbuhnya jiwa, sikap dan perilaku demokratis (hlm. 4).