BAB II CORAPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY DALAM PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
A. Latar belakang CSR
1. Sejarah CSR
Corporate social responsibility merupakan suatu elemen yang penting dalam kerangka sustainability, yang mencakup aspek ekonomi, lingkungan dan sosial
budaya. Corporate social responsibility merupakan proses penting dalam pengelolaan biaya dan keuntungan kegiatan bisnis dengan stakeholders baik secara internal
pekerja, shareholders dan penanam modal maupun eksternal kelembagaan pengaturan umum, anggota-anggota masyarakat, kelompok masyarakat sipil dan
perusahaan lain, dimana tidak hanya terbatas pada konsep pemberian donor saja, tapi konsepnya sangat luas dan tidak bersifat statis dan pasif, akan tetapi merupakan hak
dan kewajiban yang dimiliki bersama antar stakeholders. Adapun alasan penting mengapa harus melakukan Corporate Social Responsibility, yaitu untuk mendapatkan
keuntungan sosial, mencegah konflik dan persaingan yang terjadi, kesinambungan usahabisnis, pengelolaan sumber daya alam serta pemberdayaan masyarakat dan
sebagai License to Operate. Jadi implementasi Corporate Social Responsibility CSR, perusahaan tidak hanya mendapatkan keuntungan ekonomi, tetapi juga secara
Universitas Sumatera Utara
sosial dan lingkungan alam bagi keberlanjutan perusahaan serta mencegah terjadinya konflik.
45
Isu CSR adalah suatu topik yang berkenaan dengan etika bisnis. Pada umumnya, implementasi dari etika bisnis yang berkembang sekarang ini diwujudkan
dalam bentuk CSR, yaitu suatu bentuk kepekaan, kepedulian dan tanggung jawab sosial perusahaan untuk ikut memberikan manfaat terhadap masyarakat dan
lingkungan dimana perusahaan itu beroperasi.
46
CSR adalah sebuah konsep yang tidak hadir secara instan. CSR merupakan hasil dari proses panjang dimana konsep dan aplikasi dari konsep CSR pada saat
sekarang ini telah mengalami banyak perkembangan dan perubahan dari konsep- konsep terdahulunya. di wilayah Asia, konsep CSR berkembang sejak tahu 1998,
tetapi pada waktu tersebut belum terdapat suatu pengertian maupun pemahaman yang baik tentang konsep CSR. Sementara itu, di Indonesia konsep CSR mulai menjadi isu
yang hangat sejak tahun 2001, dimana banyak perusahaan maupun instansi-instansi sudah mulai melirik CSR sebagai suatu konsep pemberdayaan masyarakat.
Perkembangan tentang konsep CSR pun pada dasarnya semakin meningkat lebih baik, ditinjau dari segi kualitas maupun kuantitas.
47
Buku karangan Bowmen yang berjudul Social Responsibility of Businesman dapat dianggap sebagai dari awal permulaan CSR modern. Dalam buku tersebut
45
Arif Budimanta, Corporate Social Responsibility : Realita dan Perkembangan http:www.megawati-institute.orgpemikirancorporate-social-responsibility-realita-dan-
perkembangan.html. Diakses tanggal 10 April 2012.
46
Implementasi CSR Untuk Pemberdayaan Masyarakat Miskin, http:lateralbandung.wordpress.com20070822implementasi-csr-untuk-pemberdayaan-masyarakat-
miskin, Diakses tanggal 10 April 2012.
47
Arif Budiman, Op. cit., hal. 1
Universitas Sumatera Utara
Bowmen memberikan defenisi awal dari CSR sebagai; ”... obligation of businessman to pursue these policies, to make those decision or to follow those line of action which
are diserable in term of objectives and valuses of our society”. Buku yang diterbitkan di Amerika Serikat itu menjadi buku terlaris dikalangan dunia usaha pada era 1950-
1960, atas prestasi tersebut pada saat itu Bowmen disebut sebagai bapak CSR. Sejak saat itu banyak refrensi ilmiah lain yang diterbitkan diberbagai negara yang mengacu
pada prinsip-prinsip tanggung jawab dunia usaha kepada masyarakat yang telah dijabarkan oleh Bowmen. Ide dasar yang dikemukan Bowmen adalah mengenai
“Kewajiban-kewajiban perusahaan menjalankan usahanya sejalan dengan nilai-nilai dan tujuan yang hendak dicapai masyarakat ditempat perusahaan tersebut
beroperasi”. Bowmen menggunakan istilah sejalan dalam konteks itu demi meyakinkan dunia usaha tentang perlunya mereka memiliki visi yang melampaui
urusana financial perusahaan.
48
Dalam dekade 1960- an pemikiran Bowmen terus dikembangkan oleh bebagai ahli sosiologi bisnis lainnya seperti Keith Davis yang memperkenalkan konsep Iron
Law of Social Responsibility. Keith mengungkapakn bahwa penekanan tanggung jawab sosial perusahaan memiliki koneksi positif dengan ukuran atau besarnya
perusahaan. Studi ilmiah yang dilakukan Keith menemukan bahwa semakin tinggi dampak suartu perusahaan terhadap masyarakat sekitarnya, maka semakin tinggi pula
bobot tanggung jawab yang harus dipertahankan perusahaan iu pada masyarakat. Dalam periode 1970-1980, defenisi CSR lebih diperluas lagi oleh Archi Carrol yang
48
Hendrik Budi Untung, Corporate Social Responsibility, Jakarta : Sinar Grafika, 2008, hal. 37.
Universitas Sumatera Utara
sebelumnya telah merilis bukunya tentang perlunya dunia usaha meningkatkan kualitas hidup masyarakat agar menjadi penunjang eksistensi perusahaan.
49
Pada dekade ini juga makin banyak perusahaan mulai mengeser konsep filantropisnya kearah Community Development CD yang mana inti kegiatan
kedermawanaan yang sebelumnya kental dengan pola kedermawanan ala Robin Hood makin berkembang ke arah pemberdayaan masyarakat semisal pengembangan kerja
sama, memberikan ketrampilan, pembukaan akses pasar, dan sebagainya.
50
Gagasan Community Development CD dapat ditelusuri sejak sekitar tahun 1925. Ketika itu pernah berhasil dipraktekkan oleh Inggris di beberapa negeri
jajahannya sampai tahun 1948. Bila ditelusur lebih lanjut ke masa sebelumnya, sebenarnya sejak akhir dekade tahun 1870-an di Amerika Serikat juga telah ada
implementasi gagasan senada,. Selanjutnya lebih berkembang sejak Undang-undang Smith Lever diundangkan tahun 1914. Di Uni Soviet, sesuai dengan asas komunisme,
menyelenggarakan pembangunan dengan perencanaan dan pengendalian yang sentralistik sejak tahun 1920.
51
Perkembangan CD menjadi CSR didasari oleh adanya kesadaran terhadap situasi dan waktu yang telah berubah. Perusahaan bukan lagi merupakan kesatuan
yang independen dan terisolasi, sehingga manajer tidak hanya bertanggung jawab kepada pemilik tetapi juga kepada kepentingan yang lebih luas yang membentuk dan
mendukungnya. Dalam mengejar tujuan ekonomisnya, perusahaan menimbulkan
49
Ibid.
50
Yusuf Wibisono, Op. cit,. hal. 6.
51
Sumardjo, Sejarah, Perkembangan dan Alternatif Pendekatan Comdev di Indonesia. http:www.create.or.id?module=articlesaction=detailid=11 Diakses tanggal 10 April 2012.
Universitas Sumatera Utara
berbagai konsekuensi sosial lainnya, baik kemanfaatan maupun biaya sosial. Keamanan, kenyamanan, dan kemakmuran bagi masyarakat merupakan kemanfaatan
sosial ,sedangkan degradasi potensi sumberdaya lingkungan limbah dan pencemaran membawa biaya sosial. Salah satu kesalahan dari pandangan lama pandangan
ekonomis adalah tentang waktu yaitu mereka hanya memikirkan perolehan laba perusahaan dalam jangka pendek, sehingga tidak peduli terhadap dampak sosial
lingkungannya. Akibatnya tidak sedikit perusahaan menjadi tidak aman karena respon masyarakat terhadap dampak negatif yang dialami akibat keberadaan suatu
perusahaan. Dalam jangka panjang ternyata perusahaan yang memperhatikan kepentingan sosial, seperti memberi beasiswa kepada anak-anak tidak mampu,
membangun sekolah dan tempat ibadah, memasang peralatan penyaring udara dan atau pembersih limbah, serta menerapkan program-program pengembangan
masyarakat, ternyata menunjukkan eksistensi yang semakin mengemuka. Hal ini terjadi karena tanggung jawab sosial perusahaan tersebut menciptakan citra dan
simpati bagi perusahaan dari masyarakat luas.
52
Dekade 1990 adalah merupakan periode dimana CSR mendapat pengembangan makna dan jangkauan. Banyak bermunculan model CSR seperti
Corporate Social Performance CSP, Business ethics Theory BET, dan Corporate Citizenship. Pada periode ini CSR telah menjadi tradisi baru dalam dunia usaha.
Meskipun banyak terdapat istilah atau model-model CSR pada saat itu, pada dasarnya keseluruhan konsep CSR tersebut dapat diklasifikasikan kedalam 2 konsep dasar
yaitu Cause Branding dan Venture Philantrophy. Cause Branding adalah pendekatan
52
Ibid
Universitas Sumatera Utara
secara top-down, artinya perusahaan menentukan masalah sosial apa yang perlu dibenahi oleh perusahaan. Branding mendesain program sosial yang berkaitan dengan
branding product yang tujuannya membuat masyarakat lebih akrab dengan merek dagang, untuk jangka panjang model ini bermanfaat bagi perusahaan membenahi diri
untuk memperkuat eksistensi. Sedangkan Venture Philantrophy merupakan pendekatan bottom-up, dimana perusahaan membantu pihak-pihak non-profit dalam
masyarakat. Perusahaan membantu masyarakat untuk menciptakan sendiri sumber- sumber penghidupan baru dan tidak sekedar menyalurkan bantuan sosial atau
financial kepada masyarakat.
53
Pada saat sekarang ini, CSR tidak hanya menjadi suatu tradisi yang dilaksanakan oleh perusahaan. Konsep dan eksistensi CSR telah mulai diangkat
kedalam posisi yang lebih tinggi, tidak hanya di ruang lingkup privat perusahaan tetapi juga telah menjadi perhatian oleh sektor publik yakni pemerintah. Hal ini dapat
dicermati dari adanya isu hangat dunia mengenai pentingnya kontribusi perusahaan dan pemerintah dalam perbaikan, pengembangan dan perlindungan terhadap
lingkungan dan masyarakat yang dicetuskan dalam World Summit on Sustainable Development WSSD di Johannesburg, Afrika Selatan pada tahun 2002 yang
menekankan pentingnya tanggung jawab sosial perusahaan. Perkembangan CSR pada dekade ini pun diikuti dengan diperkuatnya eksistensi CSR tersebut kedalam
kewajiban yang bersifat normatif diberbagai negara. Meskipun baru hanya beberapa negara yang berani untuk mengambil tindakan tersebut dimana Indonesia termasuk
53
Hendrik Budi Untung, Op. cit., hal. 38
Universitas Sumatera Utara
salah satu negara didalamnya, hasil ini merupakan perkembangan yang sangat positif bagi CSR itu sendiri.
2. Pertimbangan hukum CSR dalam Perundang-Undangan
Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53PUU-VI2008 atas Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas tanggal 15 April 2009, dengan pemohon Muhamad Sulaiman Hidayat,dkk yang mengajukan uji materil dan formil Pasal 74 ayat 1,2,3, yang dianggap oleh
pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1, Pasal 28I ayat 2 dan Pasal 33 ayat 4 UUD 1945.
54
Dengan demikian berdasarkan putusan hakim setelah melakukan pengkajian dan proses persidangan maka hakim memutuskan dengan Amar putusan:
1. Menyatakan permohonan Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon III tidak
dapat diterima; 2.
Menyatakan permohonan pengujian formil Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI terhadap Pasal 74 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas beserta penjelasannya Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756 ditolak; 3.
Menyatakan menolak permohonan pengujian materiil Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI untuk seluruhnya;
54
Agus Pranki Pasaribu, S.H, Studi komparatif antara uu no. 1 tahun 1995 dengan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dalam Dimensi Hukum Perusahaan, diakses pada tanggal
30 Mei 2012
Universitas Sumatera Utara
4. Menyatakan Pasal 74 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas beserta penjelasannya Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4756 tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1, Pasal 28I ayat 2, dan Pasal 33 ayat 4 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi antara lain:
55
1. Bahwa Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon III tidak dirugikan secara
langsung oleh berlakunya Pasal 74 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas beserta
penjelasannya karena para Pemohon hanya merupakan wadah dan himpunan pengusaha sedangkan subjek hukum yang diatur dalam Pasal 74 ayat 1
adalah perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang danatau berkaitan dengan sumber daya alam.
2. Bahwa Pasal 74 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 beserta Penjelasannya UU
402007 menimbulkan ketidakpastian hukum, karena rumusan TJSL dalam Pasal a quo yang menjadi kewajiban hukum legal obligation tidak sejalan
dengan prinsip CSR yang bersifat etis, moral, dan sukarela voluntary. TJSL dalam Pasal a quo dapat dikualifikasikan sebagai pemungutan ganda yang
harus ditanggung perusahaan di samping pajak, dan TJSL secara implisit telah diatur dalam peraturan perundang-undangan sektoral dengan sanksi yang
55
Ibid
Universitas Sumatera Utara
cukup ketat. Oleh karena itu pengaturan TJSL dalam UU 402007 dengan kewajiban hukum adalah bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945;
3. Bahwa harus dibedakan antara pungutan pajak oleh negara dan dana
perusahaan untuk TJSL. Uang pungutan pajak digunakan untuk pembangunan secara nasional, sedangkan dana TJSL dipergunakan bagi masyarakat sekitar
perusahaan dan pemulihan lingkungan dimana perusahaan berada, sehingga terhadap kedua hal tersebut tidak dapat digeneralisir. Bahwa TJSL menurut
ketentuan Pasal 74 ayat 2 UU 402007 merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan “yang
pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran”. Dengan demikian tidak memungkinkan terjadinya pungutan ganda sebab
biaya yang dikeluarkan untuk TJSL akan diperhitungkan sebagai biaya perseroan dan pelaksanaannya didasari oleh kemampuan perusahaan, dimana
TJSL dalam pelaksanaan operasionalnya diatur dengan Peraturan Pemerintah;Bahwa dengan telah diatur TJSL berdasarkan Pasal 74 ayat 4
UU No 402007 maka sudah jelas pemerintah daerah tidak dapat mengeluarkan Peraturan Daerah yang berkenaan dengan JSL, sebab perintah
Undang-Undang berdasarkan Pasal 74 ayat 94 bersifat imperative yaitu hanya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
4. Bahwa dengan telah diatur TJSL berdasarkan Pasal 74 ayat 4 UU 402007
maka sudah jelas pemerintah daerah tidak dapat mengeluarkan Peraturan Daerah yang berkenaan dengan TJSL, sebab perintah Undang-Undang
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan Pasal 74 ayat 4 bersifat imperatif yaitu hanya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
5. Penerapan kewajiban TJSL kepada perseroan yang menjalankan kegiatan
usaha di bidang danatau berkaitan dengan sumber daya alam tidak dapat dianggap sebagai perlakuan diskriminatif karena berkaitan dengan Pasal 33
ayat 3 UUD 1945 sehingga Negara berhak untuk mengatur secara berbeda. 6.
Mahkamah berpendapat prinsip dasar perekonomian di Indonesia adalah bersifat kerakyatan. Pengaturan CSR dengan suatu kewajiban hukum
merupakan suatu cara Pemerintah untuk mendorong perusahaan ikut serta dalam pembangunan ekonomi masyarakat sehingga penormaan CSR dengan
kewajiban hokum telah sejalan dan tidak bertentangan dengan Pasal 33 ayat 4 UUD 1945 khususnya pada frasa efisiensi berkeadilan.
Terhadap putusan tersebut, terdapat tiga hakim yang mempunyai alasan berbeda dissenting opinions yaitu Maria Farida Indrati, Maruarar Siahaan, dan M. Arsyad
Sanusi, yang pada pokoknya menyatakan:
56
1. Bahwa pengaturan CSR menjadi suatu kewajiban akan berdampak pada tidak
maksimalnya penerapan CSR di masyarakat. Penerapan CSR tidak dapat dibakukan dalam suatu Undang-Undang, karena permasalahan dan kebutuhan
tiap daerah berbeda-beda. Dalam kenyataannya CSR di Indonesia telah berlangsung lama dan bersifat sukarela, karena merupakan tradisi dimana
taggung jawab sosial merupakan tanggung jawab semua unsur masyarakat,
56
Ibid
Universitas Sumatera Utara
sektor swasta dan Pemerintah. CSR merupakan kegiatan komplementer dan bukan menggantikan kewajiban Pemerintah.
2. Bahwa ketentuan dalam Pasal 74 ayat 3 yang menyatakan ”dikenai sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”, adalah rumusan yang tidak pasti masih umum dan tidak menunjuk pada peraturan
perundang-undangan yang dimaksud, sehingga pengenaan sanksi tersebut dapat dilaksanakan secara membabi-buta. Ketentuan dalam ayat 3 ini juga
dapat menjadi tidak terbatas, karena dalam Penjelasan ayatnya dirumuskan bahwa ”yang dimaksud dengan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan” adalah dikenai segala bentuk sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait”.
Dalil hukum di atas Mahkamah Konstitusi MK berpendapat berbeda sehingga, MK menolak permohonan uji materiil tersebut dan menyatakan bahwa Pasal 74 UU PT
tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 jo Pasal 28I ayat 2 jo Pasal 33 ayat 4 UUD 1945.
57
57
Mahkamah Konstitusi, above no.4, bagian Amar Putusan
Dikatakan oleh para hakim MK bahwa, pertama, menjadikan TJSL sebagai suatu kewajiban hukum melalui rumusan Pasal 74 merupakan kebijakan
hukum dari pembentuk UU untuk mengatur dan menerapkan TJSL dengan suatu sanksi, dan hal ini adalah benar, karena:
Universitas Sumatera Utara
1. Secara faktual, kondisi sosial dan lingkungan telah rusak di masa lalu ketika
perusahaan mengabaikan aspek sosial dan lingkungan sehingga merugikan masyarakat sekitar dan lingkungan pada umumnya.
58
2. Budaya hukum di Indonesia tidak sama dengan budaya hukum negara lain,
utamanya negara industri maju tempat konsep CSR pertama kali diperkenalkan di mana CSR bukan hanya merupakan tuntutan bagi
perusahaan kepada masyarakat dan lingkungannya tetapi juga telah dijadikan sebagai salah satu indikator kinerja perusahaan dan syarat bagi perusahaan
yang akan go public. Dengan kata lain, MK tampaknya berpendapat bahwa sesuai kultur hukum Indonesia, penormaan TJSL sebagai norma hukum yang
diancam dengan sanksi hukum merupakan suatu keharusan demi tegaknya TJSL atau CSR.
59
3. Menjadikan TJSL sebagai kewajiban hukum dinilai oleh MK justru untuk
memberikan kepastian hukum sebab dapat menghindari terjadinya penafsiran yang berbeda-beda tentang TJSL oleh perseroan sebagaimana dapat terjadi
bila TJSL dibiarkan bersifat sukarela. Hanya dengan cara memaksa tersebut akan dapat diharapkan adanya kontribusi perusahaan untuk ikut meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
60
Kedua, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 74 tidak menjatuhkan pungutan ganda kepada perseroan sebab biaya perseroan untuk melaksanakan TJSL
58
Mahkamah Konstitusi, above no.4, Bagian 3. Pertimbangan Hukum, subbagian Pendapat Mahkamah, nomor 3.19, hal. 91.
59
Ibid hal. 92
60
Ibid, hal. 93
Universitas Sumatera Utara
berbeda dengan pajak.
61
Demikian pula tentang sanksi bagi perseroan yang tidak melaksanakan TJSL, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 74 ayat 3 yang merujuk pada sanksi
hukum yang terdapat pada perundang-undangan sektoral merupakan rumusan yang tepat dan justru memberikan kepastian hukum, bila dibandingkan kalau UU PT
menetapkan sanksi tersendiri. Lebih jauh, disebutkan oleh MK bahwa pelaksanaan TJSL
didasari oleh kemampuan perusahaan, dengan memerhatikan kepatutan dan kewajaran, yang pada akhirnya akan diatur lebih lanjut oleh PP.
62
Ketiga, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa norma hukum yang mewajibkan pelaksanaan TJSL oleh perusahaan tidak berarti meniadakan konsep demokrasi
ekonomi yang berintikan pada efisiensi berkeadilan seperti diatur dalam Pasal 33 ayat 4 UUD 1945 dan tidak akan membuat TJSL sekedar formalitas perusahaan saja,
sebab: Jadi, Mahkamah Konstitusi tidak sependapat dengan
para pemohon yang mengatakan adanya berbagai pasal dalam perundang-undangan yang juga mengatur tentang TJSL mengakibatkan ketidak-pastian hukum dan
tumpang tindih sehingga tidak dapat mewujudkan TJSL yang efisien berkeadilan.
1. prinsip demokrasi ekonomi memberi kewenangan kepada Negara untuk tidak
hanya menguasai dan mengatur sepenuhnya kepemilikan dan pemanfaatan bumi, air, dan kekayaan alam, serta untuk memungut pajak semata, melainkan
61
Ibid, hal. 94
62
Ibid, hal. 95
Universitas Sumatera Utara
juga kewenangan untuk mengatur pelaku usaha agar mempunyai kepedulian terhadap lingkungan.
2. Pelaksanaan TJSL menurut Pasal 74 tetap akan dilakukan oleh perseroan
sendiri sesuai prinsip kepatutan dan kewajaran, Pemerintah hanya berperan sebagai pemantau. Dengan demikian, tak perlu dikhawatirkan akan terjadi
penyalahgunaan dana TJSL ataupun membuat perseroan melaksanakan TJSL hanya sebagai formalitas belaka.
Pengaturan TJSL dalam bentuk norma hukum merupakan suatu cara Pemerintah untuk mendorong perusahaan ikut serta dalam pembangunan ekonomi rakyat.
B. Pergeseran Paradigma Tanggung Jawab Perusahaan