B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, masalah yang muncul dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apakah kebijakan leverage berpengaruh terhadap nilai perusahaan?
2. Apakah kebijakan dividen berpengaruh terhadap nilai perusahaan?
3. Apakah earnings per share berpengaruh terhadap nilai perusahaan?
4. Apakah kebijakan leverage, kebijakan dividen dan earnings per share
secara bersama – sama berpengaruh terhadap nilai perusahaan?
C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Untuk mengetahui pengaruh kebijakan leverage terhadap nilai perusahaan.
2. Untuk mengetahui pengaruh kebijakan dividen terhadap nilai
perusahaan. 3.
Untuk mengetahui pengaruh earnings per share terhadap nilai perusahaan.
4. Untuk mengetahui pengaruh kebijakan leverage, kebijakan dividen dan
earnings per share secara bersama – sama terhadap nilai perusahaan.
Universitas Sumatera Utara
D. MANFAAT PENELITIAN
Beberapa manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi peneliti, untuk menambah pengetahuan dan wawasan peneliti,
khususnya mengenai pengaruh kebijakan leverage, kebijakan dividen dan earnings per share terhadap nilai perusahaan.
2. Bagi perusahaan, dapat digunakan sebagai bahan referensi dan
informasi di dalam menerapkan kebijakan keuangannya dalam rangka meningkatkan nilai perusahaannya.
3. Bagi investor, sebagai bahan masukan di dalam mempertimbangkan
pemilihan investasi yang direncanakan. 4.
Bagi akademisi, diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi dalam penelitian – penelitian selanjutnya, khususnya yang
berkaitan dengan kebijakan leverage, kebijakan dividen dan earnings per share serta pengaruhnya terhadap nilai perusahaan.
Universitas Sumatera Utara
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. TINJAUAN TEORITIS
1. Kebijakan Leverage Leverage Policy
Menurut Brigham dan Houston 2001 : 14, leverage keuangan financial leverage merupakan suatu ukuran yang menunjukkan sampai sejauh mana
sekuritas berpenghasilan tetap utang dan saham preferen digunakan dalam stuktur modal perusahaan. Adapun stuktur modal capital structure adalah
bauran proporsi pendanaan permanen jangka panjang perusahaan yang ditunjukkan oleh utang, ekuitas saham preferen dan saham biasa Horne dan
Wachowicz, 1998: 475. Struktur modal yang baik dan tepat diharapkan mampu untuk memaksimalkan harga saham perusahaan. Pada umumnya ada dua jenis
leverage, yaitu leverage operasi operating leverage dan leverage keuangan financial leverage, yang dimaksud leverage dalam penelitian ini adalah leverage
keuangan financial leverage. Leverage keuangan menunjukkan proporsi atas penggunaan utang untuk membiayai investasinya. Apabila perusahaan tidak
mempunyai leverage atau leverage factor = 0, artinya perusahaan dalam beroperasi menggunakan sepenuhnya modal sendiri atau tanpa menggunakan
utang. Semakin rendah leverage factor maka semakin rendah resiko yang dihadapi perusahaan apabila kondisi ekonomi merosot.
Beberapa penelitian tentang struktur modal terhadap nilai perusahaan telah banyak dilakukan dan hasilnya saling kontradiksi. Secara singkat ada dua
Universitas Sumatera Utara
pandangan yang terus diperdebatkan oleh ahli-ahli keuangan di dunia. Pandangan pertama dikemukakan oleh Modigliani dan Miller yang mengatakan bahwa
struktur modal tidak mempengaruhi nilai perusahaan. Pandangan kedua dikenal dengan pandangan yang menyatakan bahwa struktur modal mempengaruhi nilai
perusahaan. Pandangan ini diwakili oleh dua teori yaitu Trade off Theory dan Pecking Order Theory.
a. Pendekatan Modigliani dan Miller
Dua ekonom ini berpendapat bahwa proses yang membuat harga saham atau nilai perusahaan bagi perusahaan yang tidak menggunakan utang maupun
yang menggunakan utang adalah sama saja Said dan Pudjiastuti, 1996 : 297. Dasar dari teori ini adalah bahwa nilai perusahaan tidak dipengaruhi oleh
bagaimana perusahaan itu dibiayai, tidak peduli apakah perusahaan dikembangkan dengan menjual saham atau utang, dan tidak peduli bagaimana
kebijakan dividen yang digunakan dengan asumsi tidak ada pajak, biaya kebangkrutan, asimetri informasi, dan di dalam pasar yang sempurna.
Dengan kata lain, utang atau leverage dari suatu perusahaan tidak mempengaruhi nilai perusahaan, sebab semakin besar penggunaan utang akan
semakin besar pula resikonya dan berarti biaya modal sendiri akan bertambah.
b. Trade Off Theory
Trade off theory dari struktur modal mengacu pada bagaimana sebuah perusahaan menentukan seberapa besar pendanaan dengan utang dan dengan
modal equity yang digunakan untuk menyeimbangkan biaya dan manfaat. Teori
Universitas Sumatera Utara
ini menyatakan bahwa perusahaan menyeimbangkan manfaat dari pendanaan dengan utang, dengan suku bunga dan biaya kebangkrutan yang tinggi Frank dan
Goyal, 2007 : 7. Teori ini juga menjelaskan bahwa peningkatan utang akan mampu meningkatkan nilai perusahaan, sebab pembayaran bunga yang dapat
dikurangkan dari perhitungan pajak tax deductable, selama posisi utang dalam struktur modal masih berada di bawah target struktur modal yang optimal.
Kebijakan struktur modal melibatkan perimbangan trade off antara risiko dan tingkat pengembalian, sebagaimana yang dikemukakan oleh Brigham dan
Houston 2001 : 5 yaitu : •
Menggunakan lebih banyak utang berarti memperbesar resiko yang ditanggung pemegang saham.
• Menggunakan lebih banyak utang juga memperbesar tingkat
pengembalian yang diharapkan. Hubungan empiris dari teori trade off telah seringkali dipertanyakan.
Menurut Miller 1977, jika teori trade off itu benar, maka perusahaan harus memiliki tingkat utang yang lebih tinggi dari kenyataannya. Kritikan terhadap
teori ini juga dikemukakan oleh Myers 1984, yang kemudian memberikan teori baru yang disebut pecking order theory.
c. Pecking Order Theory
Selain itu, teori yang juga mendasari keputusan pendanaan perusahaan adalah pecking order theory, yang dikembangkan oleh Stewart C. Myers dan
Nicolas Majluf pada tahun 1984. Myers dalam Frank dan Goyal 2007 : 17,
Universitas Sumatera Utara
mengemukakan bahwa adanya kecenderungan perusahaan untuk menentukan pemilihan sumber pendanaan atas dasar hierarki resiko pecking order. Pecking
order theory adalah salah satu resiko yang mendasarkan pada asimetri informasi, dimana akan mempengaruhi struktur modal perusahaan dengan cara membatasi
akses pada sumber pendanaan dari luar. Dengan kata lain, pecking order theory menyatakan bahwa perusahaan cenderung mempergunakan ekuitas internal
internal equity terlebih dahulu, dan apabila memerlukan pendanaan eksternal external finance, maka perusahaan akan mengeluarkan debt sebelum
menggunakan ekuitas eksternal external equity. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, semakin tinggi proporsi utang,
maka akan semakin tinggi harga saham, namun pada titik tertentu peningkatan utang akan menurunkan nilai perusahaan karena manfaat yang diperoleh dari
penggunaan utang lebih kecil daripada biaya yang ditimbulkannya. Hal ini disebabkan oleh tingkat leverage keuangan yang semakin tinggi akan memerlukan
tingkat laba yang semakin tinggi pula, sehingga meskipun leverage keuangan mungkin cukup baik dan mungkin meningkatkan laba per saham, tingkat laba
yang diperlukan untuk leverage tersebut akan semakin tinggi, yang dapat mendorong turunnya harga saham biasa. Biaya tak langsung karena jumlah utang
yang lebih banyak mungkin akan meningkatkan biaya permodalan, yang pada akhirnya akan menurunkan nilai perusahaan.
Penggunaan utang dalam struktur pembiayaan menyebabkan terjadinya leverage keuangan financial leverage atau biaya tetap yang konstan dan rutin
berupa beban bunga. Pembiayaan dengan utang leverage keuangan dimaksudkan
Universitas Sumatera Utara
untuk meningkatkan kekuatan perusahaan untuk membiayai investasinya, dan mempunyai tiga implikasi penting, yaitu :
1. Memperoleh dana melalui utang membuat pemegang saham dapat
mempertahankan pengendalian atas perusahaan dengan investasi yang terbatas.
2. Kreditur melihat ekuitas atau dana yang disetor pemilik untuk
memberikan marjin pengaman, sehingga jika pemegang saham hanya memberikan sebagian kecil dari total pembiayaan, maka
resiko perusahaan sebagian besar ada pada kreditor.
3. Jika perusahaan memperoleh pengembalian yang lebih besar atas
investasi yang dibiayai dengan dana pinjaman dibanding pembayaran bunga,maka pengembalian atas modal pemilik akan
lebih besar, atau “leveraged”.
Financial leverage merupakan rasio untuk mengukur seberapa besar aktiva perusahaan dibiayai dengan utang. Penggunaan financial leverage
dikatakan menguntungkan favourable financial leverage jika pendapatan yang diperoleh dari penggunaan dana tersebut lebih besar daripada beban tetapnya, dan
sebaliknya, financial leverage dikatakan merugikan jika perusahan tidak dapat memperoleh pendapatan sebesar beban tetap akibat bertambahnya utang tersebut.
Oleh sebab itu, ukuran financial leverage biasanya dilihat dengan rasio antara total utang dengan total ekuitas debt to equity ratio atau rasio antara total utang
dengan total asset debt to asset ratio, dan dalam penelitian ini, leverage
keuangan dihitung dengan debt to asset ratio atau leverage ratio .
2. Kebijakan Dividen Dividend Policy
Menurut Kieso et al 1998 : 634, “a dividend is a distribution by a corporation to its stakeholders on a pro rata proportional basis”. Menurut
Universitas Sumatera Utara
Sundjaja 2002 : 341, “kebijakan dividen perusahaan dividend policy adalah rencana tindakan yang harus diikuti dalam membuat keputusan dividen”.
Dikatakan bahwa kebijakan dividen harus diformulasikan dengan memperhatikan tujuan untuk memaksimalisasi kekayaan dari pemilik perusahaan dan untuk
pembiayaan yang cukup. Ketika sebuah perusahaan memperoleh laba bersih net income dan
tingkat arus kas pada suatu periode tertentu, manajemen dihadapkan pada keputusan pemanfaatan laba tersebut. Dua alternatif penggunaan utama laba
adalah : 1 dibagikan sebagai dividen, atau 2 ditahan sebagai laba ditahan retained earnings. Keputusan inilah yang dikenal sebagai kebijakan dividen,
yaitu menentukan seberapa besar atau proporsi laba yang akan dibagikan sebagai dividen.
Dalam Sundjaja 2002 : 341-344, ada tiga jenis kebijakan dividen yaitu: •
Kebijakan dividen rasio pembayaran konstan constant-payout- ratio dividend policy, yaitu bahwa pembayaran dividen didasarkan
dalam persentase tertentu dari pendapatan yang dibayarkan kepada pemilik setiap periode pembagian dividen. Salah satu indikator
kebijakan ini adalah dengan rasio pembayaran dividen dividend payout ratio, yang adalah persentase dari setiap rupiah yang
dihasilkan, yang dibagikan kepada pemilik saham dalam bentuk tunai ; dihitung dengan membagi dividen kas per saham dengan
laba per saham.
• Kebijakan dividen teratur regular dividend policy, yaitu
kebijakan dividen yang didasarkan atas pembayaran dividen dengan rupiah yang tetap dalam setiap periode. Kebijakan ini
digunakan dengan menggunakan target rasio pembayaran dividen target dividend-payout ratio.
• Kebijakan dividen rendah teratur dan ditambah ekstra low-
regular-and-extra dividend policy, yaitu kebijakan dividen yang didasarkan pada pembayaran dividen rendah yang teratur,
ditambah dividen ekstra jika ada jaminan pendapatan.
Universitas Sumatera Utara
Dalam dunia keuangan, pada dasarnya terdapat tiga konsep tentang kebijakan dividen, yaitu :
a. Teori Irrelevansi Dividen Irrelevance Theory
Brigham dan Houston 2001 : 66 menuliskan bahwa “beberapa kalangan berpendapat bahwa kebijakan dividen tidak mempunyai pengaruh terhadap harga
saham perusahaan ataupun nilai perusahaan.” Oleh karena kebijakan dividen tidak mempunyai pengaruh yang signifikan, maka dikatakan bahwa kebijakan
dividen tidak relevan. Pendukung utama teori irrelevansi dividen dividend irrelevance theory ini adalah Merton H.Miller dan Franco Modigliani, sehingga
teori ini juga biasa disebut sebagai teori MM. Teori MM, menunjukkan bahwa dalam dunia yang sempurna ada kepastian, tidak ada pajak, tidak ada biaya
transaksi dan tidak ada pasar lain yang sempurna, dikatakan bahwa nilai dari suatu perusahaan tidak dipengaruhi oleh distribusi dividen. Menurut teori ini,
seperti yang dikutip dari Sundjaja 2002 : 337 bahwa nilai perusahaan ditentukan oleh kemampuan menghasilkan laba dan resiko dari aktiva investasi dan cara ini
memisahkan antara dividen dan dana internal yang ditahan yang tidak mempengaruhi nilai perusahaan.
Sesuai dengan teori ini, maka perusahaan tidak harus menerapkan kebijakan dividen.
b. Teori Relevansi Dividen Bird-in-the-hand Theory
Teori MM mendapatkan pertentangan di kalangan akademik. Khususnya, Myron J.Gordon dan John Lintner, yang berpendapat dalam Brigham dan Houston
Universitas Sumatera Utara
2001 : 67 bahwa ”nilai perusahaan dapat dimaksimalkan dengan menentukan pembagian dividen yang tinggi.” Teori relevansi dividen oleh Gordon dan Lintner
ini dikenal dengan teori bird-in-the-hand. Dikatakan bahwa pemegang saham menyukai dividen sekarang dan ada hubungan langsung antara kebijakan dividen
dan nilai pasarnya. Dasar pemikirannya adalah bahwa investor umumnya menghindari resiko dan dividen yang diterima sekarang memiliki resiko yang jauh
lebih kecil daripada dividen yang diterima dimasa yang akan datang. Pembayaran dividen sekarang dipercaya dapat mengurangi ketidakpastian investor.
Sebaliknya, jika dividen dikurangi atau tidak dibayarkan, tingkat ketidakpastian investor akan meningkat dan menyebabkan peningkatan pengembalian yang
diinginkan serta mengurangi nilai saham. Karenanya, sesuai dengan teori ini, maka setiap perusahaan harus mengembangkan kebijakan dividennya untuk dapat
memaksimalkan nilai perusahaannya.
c. Tax Preference Theory
Menurut teori ini, investor lebih menyukai pembagian dividen yang rendah daripada yang tinggi. Para investor mungkin lebih suka perusahaan menahan
sebagian besar laba perusahaan. Jika demikian para investor akan mau membayar lebih tinggi untuk perusahaan yang pembagian dividennya rendah daripada untuk
perusahaan sejenis yang pembagian dividennya tinggi. Brigham dan Houston, 2001 : 68.
Meskipun tiga konsep tersebut dianggap sebagai teori-teori utama mengenai kebijakan dividen, perkembangan ilmu keuangan modern memunculkan
Universitas Sumatera Utara
pendekatan baru yang lebih relevan dan lebih mampu menjelaskan kebijakan dividen dalam dunia bisnis, yaitu signalling theory. Pengumuman dividen
diyakini mempunyai informasi dan membawa sinyal tentang laba bersih saat ini dan potensi perusahaan di masa mendatang. Model signaling dibangun sebagai
upaya memaksimumkan nilai perusahaan lewat pembayaran dividen dengan asumsi ada asymmetric information antara manajer dan pemegang saham. Model
ini muncul berdasarkan pada ide bahwa manajer perusahaan yang prospek keuangannya benar-benar bagus tidak dapat menyampaikan informasi yang
handal kepada uninformed investors dengan ‘tanpa biaya’, karena penyampaian informasi tanpa biaya dari perusahaan bagus akan dapat ditiru oleh perusahaan
yang prospeknya tidak bagus. Penggagas awal teori sinyal dan asymmetric information yaitu Ackerlof, Spence dan Stiglitz Arifin, 2005:13.
3. Laba per saham Earnings Per Share
Laba per saham earnings per share merupakan rasio yang menunjukkan bagian laba untuk setiap saham. Earnings per share menggambarkan
profitabilitas perusahaan yang tergambar pada setiap lembar saham. Data earnings per share biasanya digunakan oleh pemegang saham dan investor yang
potensial untuk mengevaluasi profitabilitas dari suatu perusahaan. Semakin tinggi nilai earnings per share tentu saja menyebabkan semakin besar laba dan
kemungkinan peningkatan jumlah dividen yang diterima pemegang saham. Earnings per share merupakan salah satu indikator yang dapat
menunjukkan kinerja perusahaan, karena besar kecilnya earnings per share
Universitas Sumatera Utara
ditentukan oleh laba. Dalam Kieso 1998 :153 dikatakan bahwa earnings per share hanya dilaporkan untuk saham biasa.
Berdasarkan penelitian terdahulu diperoleh hasil bahwa earnings per share berpengaruh signifikan terhadap harga saham Taranika, 2009, yang berarti
bahwa para investor akan menilai suatu saham dari tingkat profitabilitas setiap sahamnya. Perusahaan akan menilai lebih perusahaan yang memiliki earnings per
share yang tinggi.
4. Nilai Perusahaan Firm Value
Salah satu tujuan perusahaan adalah untuk memaksimalisasi nilai perusahaannya. Nilai perusahaan yang tinggi menjadi keinginan para pemilik
perusahaan atau pemegang saham, sebab dengan nilai yang tinggi berarti menunjukkan kemakmuran pemegang saham juga tinggi. Nilai perusahaan dapat
tercermin melalui harga saham. Semakin tinggi harga saham berarti kemakmuran pemegang saham akan meningkat. Harga pasar saham juga menunjukkan nilai
perusahaan. Pada dasarnya harga saham dihitung dari nilai sekarang dividen yang akan diterima, jadi semakin tinggi harga saham berarti semakin tinggi tingkat
pengembalian kepada investor dan itu berarti semakin tinggi juga nilai perusahaan terkait dengan tujuan dari perusahaan itu sendiri, yaitu untuk memaksimalkan
kemakmuran pemegang saham. Dalam penelitian Sugihen 2003, dikatakan bahwa “nilai perusahaan
adalah ekspektasi nilai investasi pemegang saham harga pasar ekuitas dan atau
Universitas Sumatera Utara
ekspektasi nilai total perusahaan harga pasar ditambah dengan nilai pasar utang, atau sama dengan ekspektasi harga pasar aktiva.”
Nilai perusahaan mencerminkan kemampuan manajemen pendanaan dalam menentukan target struktur modal aktivitas pendanaan, kemampuan
manajemen investasi dalam mengefektifkan penggunaan aktiva aktivitas investasi dan kemampuan manajemen operasi dalam mengefisienkan proses
produksi dan distribusi aktivitas operasi perusahaan. Dalam penelitian ini, nilai perusahaan diukur dengan rasio Tobin’s Q Q
ratio. Rasio ini dikembangkan oleh James Tobins 1969 dari Yale University, penerima Nobel di bidang ekonomi, yang memberikan hipotesa bahwa kombinasi
dari nilai pasar seluruh perusahaan dalam pasar modal harus sama dengan biaya penggantinya replacement costs. Q ratio merupakan rasio yang membandingkan
nilai pasar saham perusahaan dengan nilai bukunya. Rasio ini dihitung dengan membagi nilai pasar market value perusahaan dengan nilai pengganti dari asset
perusahaan replacement value of firm’s asssets. Sebagai contoh, Q yang rendah antara 0 dan 1 berarti bahwa biaya
pengganti dari suatu asset perusahaan adalah lebih besar dibandingkan dengan nilai dari harga sahamnya. Ini mengimplikasikan bahwa saham tersebut dinilai
rendah undervalued, sedangkan Q yang tinggi lebih dari 1 mengimplikasikan bahwa saham perusahaan jauh lebih mahal dari biaya pengganti asset perusahaan
tersebut, yang mengimplikasikan bahwa saham dinilai lebih overvalued. Pengukuran dari penilaian saham ini adalah faktor pendorong di balik
Universitas Sumatera Utara
pengambilan keputusan investasi dalam model Tobin’Q http:www.investopedia.comtermsqqratio.asp?viewed=1.
Leverage keuangan dikatakan berpengaruh terhadap nilai perusahaan, semakin tinggi proporsi utang, maka akan semakin tinggi harga saham, namun
pada titik tertentu peningkatan utang akan menurunkan nilai perusahaan karena manfaat yang diperoleh dari penggunaan utang lebih kecil daripada biaya yang
ditimbulkannya Taswan, 2002. Kebijakan dividen juga dapat mempengaruhi harga saham, karena kecenderungan para investor yang menganggap bahwa
pembayaran dividen adalah sebagai suatu sinyal bahwa perusahaan optimis terhadap kinerjanya di masa yang akan datang.
B. TINJAUAN PENELITIAN TERDAHULU
Beberapa penelitian terdahulu terkait dengan judul penelitian ini adalah sebagai berikut :
Peneliti Judul
Tahun Variabel yang
Diteliti Hasil Penelitian
Euis Soliha
Taswan Pengaruh Kebijakan
Utang terhadap Nilai Perusahaan serta
Beberapa Faktor yang
Mempengaruhinya 2002
Variabel Dependen : nilai
perusahaan. Variabel
Independen : kebijakan utang
dan insider ownership
Kebijakan utang berpengaruh
positif namun tidak signifikan
terhadap nilai perusahaan
Price Book Value.
Taswan Analisis Pengaruh
Insider Ownership, Kebijakan Utang dan
Kebijakan Dividen terhadap Nilai
Perusahaan serta Faktor-Faktor yang
Mempengaruhinya 2003
Variabel Dependen : nilai
perusahaan, kebijakan
dividen, insider ownership,
kebijakan utang. Variabel
Kebijakan dividen
berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap nilai
perusahaan. Kebijakan utang
Universitas Sumatera Utara
Independen : insider
ownership, kebijakan
dividen, risk, profit, growth,
size, kebijakan utang.
berpengaruh positif dan
signifikan terhadap nilai
perusahaan Price Book
Value.
Untung Wahyudi
Hartini Pawestri
Implikasi Struktur Kepemilikan
Terhadap Nilai Perusahaan
Perusahaan dengan Keputusan Keuangan
Sebagai Variabel Intervening
2007 Variabel
Dependen : nilai perusahaan.
Variabel Independen :
struktur kepemilikan
manajerial, struktur
kepemilikan institusional,
keputusan investasi,
keputusan pendanaan dan
kebijakan dividen.
Pengaruh kebijakan
dividen terhadap nilai perusahaan
tidak signifikan, sehingga hasil
penelitian ini sejalan dengan
teori irrelevansi dividen yang
dikemukakan oleh MM 1961.
Taranika Intan
Pengaruh Dividend Per Share dan
Earnings Per Share Terhadap Harga
Saham pada Perusahaan Go
Publik di Bursa Efek Indonesia
2009 Variabel
Dependen : harga saham
Variabel Independen :
EPS dan DPS Pengujian
terhadap sampel memperoleh
kesimpulan bahwa EPS
berpengaruh signifikan
terhadap harga saham
Penelitian ini merupakan penelitian replikasi karena hasil penelitian yang diperoleh masih saja berbeda-beda dan tidak konsisten satu sama lain. Penelitian
ini menggunakan indikator penilaian yang berbeda dalam pengukuran variabel yang akan diteliti. Apabila penelitian sebelumnya menggunakan Debt to Equity
Ratio untuk mengukur utang dan menggunakan Price Book Value PBV serta
Universitas Sumatera Utara
Market to Book Value Ratio MBVR untuk mengukur nilai perusahaan, maka dalam penelitian ini utang diukur dengan menggunakan Leverage Ratio dan nilai
perusahaan diukur dengan menggunakan rasio Tobin’s Q Q ratio.
C. KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS