1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki wilayah perairan yang sangat luas. Wilayah perairan yang luas ini merupakan indikator
bahwa Indonesia mempunyai potensi kelautan yang sangat besar, baik potensi fisik maupun potensi sumber daya. Potensi fisik, yaitu 17.508 pulau, garis pantai
sepanjang 81.000 km. Potensi perikanan Indonesia mencapai 6,6 juta tontahun, namun yang dimanfaatkan hanya sekitar 1,4 juta tontahun BPS 2009.
Permintaan konsumen terhadap komoditas perikanan dalam bentuk hidup semakin besar dan berkembang, terutama untuk jenis-jenis ikan yang mempunyai
nilai ekonomis tinggi dan beberapa jenis ikan air tawar dan ikan hias. Peningkatan permintaan konsumen didasari oleh keinginan terhadap suatu komoditi perikanan
yang bermutu tinggi, spesifik, dan resiko terhadap kesehatan yang kecil. Penanganan dalam sistem transportasi diperlukan untuk menjaga tingkat kelulusan
hidup ikan tetap tinggi sampai tempat tujuan. Stres dan aktivitas fisik selama proses transportasi ikan dapat menyebabkan hilangnya kualitas produk, seperti
mengurangi kesegaran ikan, pelunakan tekstur otot dan menurunkan kualitas hasil fillet. Akibat yang dapat ditimbulkan dari stres ikan ini akan berdampak ekonomis
pada budidaya ikan Dobsikova et al. 2009. Transportasi ikan hidup adalah menempatkan ikan dalam lingkungan baru
yang terbatas dengan lingkungan asalnya disertai perubahan-perubahan sifat lingkungan yang sangat mendadak. Transportasi ikan hidup dibagi menjadi dua
cara, yaitu sistem basah dan sistem kering. Transportasi sistem basah menuntut media yang sama dengan tempat hidup ikan sebelumnya yaitu, air, oksigen, dan
cahaya. Pengangkutan sistem basah dapat dilakukan dengan cara tertutup dan terbuka. Pada cara tertutup ikan diangkut dalam wadah tertutup dengan semua
kebutuhan hidup ikan berada dalam kemasan pengangkutan. Wadah yang dipergunakan dapat berupa kantong plastik atau kemasan lain yang tertutup rapat.
Pada cara terbuka ikan diangkut dalam wadah terbuka dan suplai oksigen diberikan secara terus-menerus Muljanah et al. 1994. Transportasi sistem kering
pada umumnya dilakukan di mana ikan dibuat dalam kondisi pingsan imotil
dengan menggunakan bahan pemingsan untuk mengurangi proses metabolisme yang dilakukan oleh ikan.
Penggunaan bahan pemingsan anestetikum ini ditujukan untuk mencegah atau mengurangi terjadinya stres yang berujung kematian pada ikan selama proses
transportasi. Bahan anestetik kimia seperti tricaine MS-22 biasa digunakan sebagai zat pembius dalam transportasi induk ikan, benih dan ikan hias agar
tingkat kelulusan hidup ikan setinggi-tingginya sampai tempat tujuan. Akan tetapi bila digunakan untuk pembiusan ikan konsumsi, seperti kerapu meninggalkan
residu yang membahayakan terhadap keamanan produk Subasinghe 1997 diacu dalam Sukarsa 2005. Permasalahan lainnya adalah MS-222 tricaine harganya
relatif mahal dan susah untuk didapatkan, sehingga perlu dicari bahan kimia lain yang dapat digunakan sebagai anestetikum, salah satunya adalah dengan
menggunakan acepromazine. Acepromazine biasanya digunakan sebagai tranquilizer pada anjing dan
kucing. Termasuk golongan phenotiazine, cara kerjanya dengan mendepresi dopamin, metabolisme di hati dan diekskresikan melalui urin Forney 2004.
Menurut Mckelvey dan Hollingshead 2003, acepromazine dapat digunakan sebagai sedasi ketika transportasi hewan sehingga hewan merasa nyaman dan
seperti tertidur. Daya serap ikan terhadap anestetikum yang menyebabkan ikan dapat
pingsan sangat dipengaruhi oleh kondisi biologis ikan tersebut, salah satunya adalah perbedaan jenis kelamin antara ikan jantan dan ikan betina. Ikan betina
pada umumnya memiliki kandungan lemak yang lebih tinggi dibandingkan dengan ikan jantan, terutama pada saat ikan betina matang gonad. Acepromazine
memiliki sifat mudah terlarut atau terabsorbsi pada lemak Crowell-Davis dan Murray 2005, sehingga akan menyebabkan ikan yang mempunyai kandungan
lemak yang banyak akan lebih mudah teranestesi.
1.2 Tujuan