Pengaruh permainan ice breaker terhadap self disclosure pada remaja pondok pesantren Daarul Rahman Jakarta Selatan

PENGARUH PERMAINAN ICE BREAKER
TERHADAP SELF DISCLOSURE PADA
REMAJA PONDOK PESANTREN
DAARUL RAHMAN JAKARTA SELATAN

Disusun oleh :

Kisma Fawzea
0071020110

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H/2008 M

ABSTRAKSI
(A) Fakultas Psikologi
(B) September 2008
(C) Kisma Fawzea
(D) 70 halaman+ lampiran

(E) Pengaruh Permainan Ice Breaker Terhadap Self Disclosure Pada
Remaja Pondok Pesantren Daarul Rahman Jakarta Selatan
(F) Permainan merupakan salah satu aspek penting dalam pelatihan
sumber daya manusia atau yang biasa disebut dengan training.
Ia menjadi sarana pembelajaran perilaku selain dari
mendengarkan ceramah dan mengamati perilaku. Salah satu
fungsi permainan dalam pelatihan sumber daya manusia adalah
sebagai pemecah kebekuan antar individu dalam pelatihan atau
disebut dengan ice breaker. Permainan ice breaker ini bertujuan
untuk mengurangi jurang komunikasi antar individu serta
menciptakan suasana hubungan yang hangat dan ramah. Agar
tercipta suasana tersebut, maka individu harus terlebih dulu ada
keterbukaan diri atau self disclosure kepada orang lain dengan
bersedia dikenal, saling berbagi pemikiran, perasaan, pendapat
dan sikap.
Penelitian ini ingin mengetahui pengaruh permainan ice breaker
terhadap self disclosure pada remaja pondok pesantren Daarul
Rahman Jakarta Selatan.
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen randomize One
Way ANOVAR. Penelitian ini dialkukan di Ponpok Pesantren

Daarul Rahman Jakarta Selatan dengan sampel sebanyak 20
orang dari populasi 94 orang. Metode pengambilan sampel
adalah random sampling. Dari 20 orang tersebut, dibagi menjadi
2 kelompok. Yang pertama kelompok eksperimen dan yang
kedua kelompok kontrol dengan masing-masing sebanyak 10
orang. Kelompok eksperimen diberi perlakuan pelatihan yang
bertemakan “Menjadi Manusia Pembelajar” dengan diselingi
sebuah permainan ice breaker bernama “Whose Is It?” dan
kelompok kontrol diberi pelatihan yang sama namun tidak
diselingi permainan ice breaker.
Dalam penelitian ini, hasil penelitian yang menggunakan hasil
signifikansi penghitungan statistik dengan program SPSS .12.
berhasil memperoleh angka 0.000 (p 0.05) .Hasil ini lebih kecil
dari taraf signifikansi 0.05. Namun, karena kedua kelompok yang
dibandingkan sama-sama berhasil memperoleh angka

signifikansi lebih rendah dari 0.05. berarti dapat diambil
kesimpulan bahwa H1 yang menyatakan bahwa tidak ada
pengaruh permainan ice breaker terhadap self disclosure
diterima.

(G) Daftar Bacaan 18 (1978-2007)

KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahiim

Alhamdulillaah wasyukrulillaah atas nikmat, rahmat, barokah dan cinta
sehingga meski penyelesaian skripsi ini menemui begitu banyak
kendala namun Dia dengan Maha PemurahNya meminjamkan sedikit
kekuatan dan kesabaran agar penulis dapat melalui berbagai macam
cobaan dan ujian.

Allahumma Shalli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa Alihi wa Shahbihi wa
Sallam, yang tanpa tauladannya takkan ada makna dakwah dan jihad fi
sabilillah.

Skripsi ini meneliti tentang pengaruh permainan ice breaker terhadap
self disclosure. Penulis berharap agar penelitian ini berguna bagi
masyarakat secara umum, bagi para mahasiswa, serta praktisi training
dan fasilitator.
Hanya sebuah doa sederhana, Jazaakumullah Khairal Jazaa’ yang

dapat penulis ucapkan kepada kedua pembimbing penelitian, Bapak
Bambang Suryadi,Ph.D dan Bapak Drs.Asep Haerul Gani,Psi atas
kesabarannya, perhatiannya, bimbingannya, nasehatnya yang tulus.
Juga kepada mereka yang telah membantu, mendukung, mendorong
dan memotivasi saya selama penulisan skripsi ini:


Ibu Dra.Hj.Netty Hartati,M.Si. beserta seluruh jajaran Dekanat,
staf pengajar yang telah memberi kami inspirasi untuk berkarya
serta staf administrasi Fakultas Psikologi atas segala bantuan
dan bimbingan yang diberikan.



Bapak Drs.Ahmad Baidun,M.Si. selaku dosen pembimbing
akademik



Mama tercinta, untuk cinta, keikhlasan, pengorbanan dan

doanya…dan Papa tersayang(Allah yarhamh) li kullil
hubb,aghlaa amaani wa ahlaa dzikrayaat…



Suami tercinta, Kak Iqbal, untuk segalanya.



Nayyira Fawwaza Muhammad, buah hati anugerah terindah
dari Allah SWT yang selalu mewarnai hari.



Adikku Emadeus dan Walied Ghali yang selalu ada untuk
membantu.



Ayah Ibu tercinta di Medan, Bang Endi&Kak Devi, adik-adikku

Ayu & Weny, Kharisma, keponakan tersayang Harik&Nada
untuk senyum indahnya dan semua keluarga besar di Jakarta
yang turut mendoakan.



Sahabat dan saudara seperjuangan tercinta , Ulfah dan
sepupuku Imam. Delviristanti dan Abang serta Dini Mayasari
yang selalu mendoakan.



Kawan-kawan seperjuangan yang telah membantu pelaksanaan
penelitian, Ahmad Subekti Mubarak, Jamali, Ki Agus, Lola,
Dendy, Ade dan Rena Latifa.



Al-Mukarrom Ustadz Drs.A.Qosim Susilo,M.Ag, Ustadz Sidup
dan Ustadzah Rahmah tercinta yang dengan tangan terbuka

membantu penulis dalam pelaksanan penelitian. Tidak lupa juga
untuk teman-teman santri dan santriwan Pondok Pesantren
Daarul Rahman Jakarta Selatan.



Kawan-kawan dan keluarga di Malaysia yang turut mendoakan.



Seluruh kawan, saudara, rekan, kerabat dan pihak yang tidak
dapat dicantumkan satu persatu. Semoga Allah memberikan
balasan yang jauh lebih besar atas segala bantuannya.

Dan terakhir untuk diri saya sendiri. This roller coaster journey in life is
only a beginning, there’s a lot more waiting for you ahead, but
remember that happiness is not a destination, it’s a method of life.
Jakarta, September 2008

Penulis


DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
DEDIKASI
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
BAB 1 PENDAHULUAN

1-13

1.1

Latar Belakang Masalah

1


1.2

Identifikasi Masalah

9

1.3

Pembatasan dan Perumusan Masalah

10

1.3.1 Pembatasan Masalah

10

1.3.2 Perumusan Masalah

11


Tujuan dan Manfaat Penelitian

11

1.4.1 Tujuan Penelitian

11

1.4.2 Manfaat Penelitian

12

Sistematika Penulisan

12

1.4

1.5


BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1.

Permainan Ice Breaker

14-47
14

2.1.1 Definisi

14

2.1.2 Fungsi Permainan Ice Breaker

16

2.1.3 Dugaan Pengaruh Permainan Ice Breaker
terhadap Self Disclosure

21

2.1.4 Training dalam Perspektif Islam

22

2.1.5 Permainan Ice Breaker dalam Perspektif Islam 28
2.2

Self Disclosure

30

2.2.1 Definisi

30

2.2.2 Pengaruh Self Disclosure

32

2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Self Disclosure37
2.2.4 Penelitian mengenai Self Disclosure

42

2.2.5 Self Disclosure dalam Perspektif Islam

43

2.3

Kerangka Berpikir

46

2.4

Hipotesa

47

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

48-59

3.1

3.2

Jenis Penelitian

48

3.1.1 Pendekatan Penelitian

48

3.1.2 Metode Penelitian

49

Variabel-variabel penelitian

51

3.2.1 Variabel bebas (Independent Variable)

51

3.2.2 Variabel Terikat (Dependent Variable)

51

3.2.3 Kontrol

52

`

3.3

Pengambilan Sampel

53

3.3.1 Populasi dan Sampel

53

3.3.2 Teknik Pengambilan Sampel

54

Teknik Pengumpulan Data

54

3.4.1 Instrumen Penelitian

54

3.5

Teknik Analisa Data

55

3.6

Prosedur Penelitian

55

3.4

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

60-63

4.1

Gambaran umum subyek penelitian

60

4.2

Hasil utama penelitian

63

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

64-68

5.1

Kesimpulan

64

5.2

Diskusi

64

5.3

Saran

68

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

DAFTAR GAMBAR
2.1

Gambar Kerangka Berfikir Penelitian

46

DAFTAR TABEL

2.1

Tabel Johari Window

34

3.1

Rancangan Eksperimen Randomized One Way Anovar Design50

3.2

Prosedur Penelitian

56

4.1

Distribusi frekuensi berdasarkan latar belakang

61

4.2

Perolehan nilai Mean dan SD kelompok eksperimen

62

4.3

Perolehan nilai Mean dan SD kelompok Kontrol

62

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Masalah

Dalam beberapa tahun belakangan ini, telah ada peningkatan dalam
penggunaan program-program pelatihan sumber daya manusia dengan
simulasi dan permainan sebagai intervensi dalam perlakuan (treatment)
secara klinis maupun sosial seperti pendekatan terhadap permasalahan
perilaku pada remaja atau sebagai salah satu metode dalam
pengembangan motivasi dan membangun kerjasama kelompok (Glass
& Benshoff, 2002).

Pelatihan sumber daya manusia ini atau yang biasa disebut dengan
training ini dirancang dan disusun sesuai tujuan pelaksanaannya. Selain
daripada intervensi dalam menangani permasalahan-permasalahan
perilaku individu, pelatihan-pelatihan ini juga dapat diaplikasikan untuk
tujuan yang berbeda. Diantaranya peningkatan spiritual inidvidu,
peningkatan skill, perbaikan peran dalam masyarakat, penambahan
produktivitas dalam pekerjaan dan lain sebagainya (Bid.Diklat DPP
PKS, 2007)

Menurut Kirby (1992) prinsip yang mendasari dilaksanakannya
pelatihan-pelatihan yang melibatkan permainan-permainan adalah
bahwa peserta dapat belajar lebih baik dengan melakukan(doing)
daripada (hanya) dengan membaca, mendengarkan atau mengamati.

Selain materi pelatihan yang disampaikan, seperti materi motivasi,
kemampuan berkomunikasi, kecakapan berpresentasi, dalam banyak
pelatihan sumber daya manusia yang seringkali dilaksanakan oleh
lembaga-lembaga pelatihan di Indonesia seperti lembaga Trustco, ESQ,
Manajemen Qolbu, atau lembaga-lembaga training lainnya ,adalah
melakukan sebuah permainan ”ice breaker” atau ”pemecah kebekuan”.

Permainan ice breaker ini bisa jadi hanya sebuah permainan sederhana
seperti bermain menjadi patung, permainan refleks atau lain
sebagainya. Namun permainan-permainan ice breaker ini tidak bisa
dianggap sepele, karena ia juga sebagai salah satu aspek penting
dalam pelatihan (Wilderdom,2007).

Menurut website Wlderdom (2007), sebuah website untuk komunitas
pecinta pelatihan-pelatihan sumber daya manusia yang juga sebuah
lembaga pelatihan di Amerika Serikat, permainan ice breaker mampu
memuaskan kebutuhan peserta pelatihan agar dapat terjalin hubungan
sosial yang baik dengan peserta lain atau dengan fasilitator pelatihan,

menciptakan suasana kelompok yang positif, menghilangkan sekatsekat komunikasi diantara peserta, memberi semangat dan memotivasi
peserta, membantu peserta untuk saling mengenal satu sama lain, serta
mampu membuat para peserta relaks dan tidak lagi tegang selama
pelatihan berlangsung.

Selama ini permainan ice breaker dilaksanakan dalam agenda
pelatihan-pelatihan atau semacamnya karena dianggap sebagai sebuah
kegiatan yang menyenangkan dan sebuah sarana untuk relaksasi.
Karena permainan ice breaker dirancang sederhana dan tidak butuh
persiapan yang rumit, maka pelaksanaannya ditengah kegiatan acara
yang melelahkan dan membosankan dianggap sebagai suatu sarana
bersenang-senang dan bermain-main antar sesama peserta.

Namun, meskipun sederhana dan menjadi sarana untuk relaksasi
peserta, permainan ice breaker dan permainan-permainan lainnya yang
dilaksanakan untuk kepentingan pelatihan bukanlah sebuah permainan
belaka. Permainan-permainan tersebut disusun dan dirancang dengan
prinsip Experiential Learning Theory (ELT). Sebuah strategi
pembelajaran yang diperkenalkan oleh David Kolb sebagaimana yang
dikutip oleh Kelly (1997) ini memakai prinsip pengalaman sebagai
sebuah proses dalam penghayatan, untuk kemudian diujicobakan
kembali pembelajaran tersebut dengan mengalami pengalaman

tersebut kembali. Permainan ice breaker adalah salah satu strategi
pembelajaran yang menggunakan prinsip ini.

Teorinya yang disebut dengan Experiential Learning Theory (ELT) itulah
yang kini banyak dijadikan sebagai dasar dalam pelaksanaan pelatihan
yang menggunakan media permainan atau simulasi sebagai sarana
pembelajaran (Kirby,1992).Dalam model pembelajaran dalam ELT ini,
Kolb sebagaimana yang dikuti oleh Kirby (1992) menjelaskan bahwa
agar sebuah perilaku atau hal baru dapat dipelajari dan diterapkan
dengan cara yang efektif, maka dalam proses pembelajarannya harus
dibuat berkesan secara emosional.

Berbagai macam latihan dan permainan yang dilakukan selama proses
pembelajaran dalam pelatihan yang memakai prinsip ELT adalah dibuat
secara struktur dan ditentukan agar individu yang menjalankannya
dapat bereksperimen dengan perilaku, mencoba berbagai macam hal,
melihatnya apakah berhasil, membangun skill untuk kemudian
mengembangkan teori tindakan berdasarkan apa yang telah dialami
(Johnson&Johnson,1994).

Experiential Learning yang asal katanya adalah experience
(pengalaman) menekankan adanya unsur pengalaman atau mengalami
sebuah situasi untuk bisa belajar mengatasi masalah dalam situasi

tersebut. Tidak cukup hanya sampai disitu, karena kemudian proses
yang harus dilewati adalah mengambil kesimpulan dari apa yang sudah
dipahami, membangun pola pikir dan kemudian mencoba perilaku
tersebut kembali (Johnson&Johnson, 1994).

Oleh karena itu, dalam pelatihan-pelatihan yang menggunakan dasar
prinsip ELT, setiap latihan dan permainan yang digunakan, walaupun
sederhana, namun telah direncanakan dengan baik agar dapat menjadi
sarana yang tepat untuk belajar. Permainan-permainan dan simulasi
yang digunakan dapat digunakan untuk fungsi yang berbeda.

Sesuai dengan skill yang ingin dipelajari, maka pemilihan permainan
menjadi sangat penting, tidak dilupakan juga perencanaan dan prosedur
pelaksaannya. Dari berbagai fungsi permainan, selain untuk belajar,
juga ada yang disebut dengan ice breaker, atau dalam istilah
pelatihannya disebut sebagai pemecah kebekuan (Wilderdom,2007).

Yang dimaksud dengan pemecah kebekuan disini adalah fungsi
permainan sebagai sarana agar para peserta dalam pelatihan atau
orang-orang yang terlibat didalamnya tidak lagi menjaga jarak dan
dibatasi oleh ”tembok” yang menghalangi proses komunikasi dan
sosialisasi (Wilderdom, 2007).

Dalam sebuah situasi seperti pelatihan, pola interaksi antar pesertanya
sangat penting (Scannell,1995). Karena selama proses pelatihan
tersebut, pengalaman dan pelajaran bukan hanya diperoleh dari pelatih
atau fasilitator dalam pelatihan tersebut, akan tetapi seluruh proses
pelatihan dari hal terkecil seperti pembentukan kelompok, kerjasama,
kedisiplinan dan pola komunikasi antar peserta juga menjadi
pembelajaran tersendiri (Wilderdom,2007).

Dalam beberapa pelatihan, sesuai dengan tujuan pelaksanaannya,
beberapa materi seperti pengembangan kemampuan komunikasi, atau
team building, penting adanya interaksi antar peserta yang dinamis. Hal
itu dapat terjadi, jika antar peserta adanya keterbukaan dan
pengungkapan perasaan, pemikiran dan ide-ide (Scannell, 1995).

Memang, untuk mengungkapkan atau tidak mengungkapkan adalah
sebuah dilema yang dialami oleh sebagian besar individu. Apalagi jika
hal yang ingin diungkapkan adalah sesuatu yang bersifat pribadi.
Ungkapan seseorang mengenai pemikirannya, perasaannya,
pengalaman terdahulunya atau sikapnya dapat mempengaruhi
kehidupan sosialisasinya. Bahkan dapat pula mempengaruhi hubungan
interpersonalnya dengan pasangannya (Tong,1998).

Ungkapan verbal seseorang mengenai pemikirannya, sikapnya,
perasaannya atau hal-hal pribadi mengenai dirinya tersebut dinamakan
dengan self disclosure (Higgins,1982). Self artinya diri dan disclosure
berarti tidak tertutup. Disebut self disclosure karena menunjukkan
adanya keterbukaan informasi mengenai diri pribadi kepada orang lain.

Self disclosure hanya salah satu cara dalam meningkatkan sensifitas
mengenai keadaan orang lain (Higgins,1982). Seperti halnya human
relations skill yang lain, self disclosure adalah alat penting dalam
berhubungan dengan orang lain. Ia digunakan untuk mencoba
mengenal orang lain dan membina hubungan secara interpersonal.

Dalam berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh Wei,Russel dan
Zakalik (2005), kemampuan seseorang untuk mengungkapkan
perasaannya atau pemikirannya kepada orang lain akan mengurangi
perasaan teralienasi atau kesepian pada diri orang tersebut.
Sependapat dengan penjelasan diatas, Leung (dalam Lurding,2005)
juga menyatakan bahwa self disclosure merupakan esensi penting
dalam membina sebuah hubungan akrab dengan individu lain. Mereka
yang memiliki masalah dalam membuka dirinya atau informasi dirinya
kepada orang lain akan menemui masalah dan menjadi orang yang
kemudian kesepian karena tidak memiliki seseorang untuk berbagi dan
akrab dengan mereka.

Self disclosure mampu mempengaruhi individu dengan berbagai
macam cara. Orang-orang yang memiliki masalah dalam membuka
informasi mengenai dirinya kepada orang lain bisa menemui berbagai
macam kesulitan dalam membina hubungan yang akrab dengan orang
lain. Karena ada fenomena dua arah dalam self disclosure, ini berarti
self disclosure tergantung pada disclosure individu dan juga disclosure
pasangan bicaranya (dalam Lurding, 2005).

Sesuai dengan definisi sederhananya, self disclosure adalah sebuah
bentuk komunikasi verbal yang berkaitan dengan diri orang tersebut
baik emosional, pemikiran dan sikap (Harper&Harper, 2006).Ia banyak
digunakan dalam proses therapeutic seperti dalam konseling
(Hansen,1978), dalam proses pengajaran dan pembelajaran yang
dianggap sebagai aspek komunikasi yang paling dasar dalam ruang
kelas (Harper&Harper,2006), dalam sistem komunikasi (Matthews,1986)
dan juga dalam dunia medis dan keperawatan (Ashmore&Banks,2001).

Tak hanya itu, self disclosure juga merupakan sebuah indikator
kepuasan dalam hubungan romantis. Dan hal tersebut berkait erat
dengan perkembangan hubungan romantis pasangan tersebut (dalam
Lurding,2005).

Bahkan dalam beberapa penelitian, self disclosure adalah sesuatu yang
sangat vital dalam hubungannya dengan intimacy (keakraban). Semakin
dia melakukan proses self disclose yang mendalam mengenai dirinya
kepada pasangannya, semakin dalam pula hubungan itu
(Lurding,2005).

Dari berbagai macam jenis bakat hubungan manusia(human relations
skill), self disclosure merupakan salah satu yang dianggap penting.
Perilaku self disclosure mempengaruhi berbagai macam aspek dalam
hubungan interpersonal dan juga dipengaruhi oleh berbagai macam hal
(Higgins,1982). Karena self disclosure merupakan sebuah
perilaku(behavior), maka perilaku self disclosing dapat dipelajari
(Hansen, 1976). Melalui proses pembelajaran (learning) maka
kemampuan self disclosure dapat dimiliki (Johnson&Johnson, 1994).

1.2

Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian dalam atar beakang masalah, maka pertanyaanpertanyaan dalam peneltiian ini adalah:
1. Apakah permainan ice breaker ”Whose Is It” dapat mempengaruhi
self disclosure pada remaja pondok pesantren Daarul Rahman Jakarta
Selatan?

2. Apakah ada perbedaan tingkat self discosure berdasarkan jenis
kelamin laki-laki dan perempuan?
3. Apakah ada perbedaan tingkat self disclosure berdasarkan suku?
4. Apakah ada perbedaan tingkat self disclosure berdasarkan usia?

1.3.

Pembatasan dan Perumusan Masalah

1.3.1 Pembatasan Masalah
Yang dimaksud dengan permainan ice breaker disini adalah sebuah
aktifitas dalam pelatihan yang terstruktur dengan tujuan proses
pengenalan antar peserta dan membina komunikasi yang positif dalam
kelompok. Ia merupakan permainan sederhana yang melibatkan 2
orang, atau lebih yang bertujuan untuk membuat suasana sebuah forum
tertentu, dalam hal ini adalah pelatihan, menjadi lebih akrab dan tidak
terlalu kaku.

Adapun permainan ice breaker yang digunakan dalam penelitian ini
adalah permainan ”Whose is It Game” dimana masing-masing peserta
menulis jawaban dari 5 pertanyaan yang sebelumnya dikemukakan oleh
si pelatih, kemudian dikumpulkan, dibagikan secara acak kepada
pesertanya kembali dengan memastikan tidak ada yang mendapatkan
kertas yang telah ditulisnya sendiri, kemudian mencari siapa yang
memiliki kertas tersebut. Setiap peserta diharuskan ”menginterogasi”

sesama peserta tanpa menanyakan pertanyaan ”ini milik kamu ya?”
atau ”kertas ini kamu yang tulis ya?” atau sejenisnya.

Self disclosure yang dimaksud disini adalah keterbukaan individu untuk
mau mengenal orang lain dan dikenal orang lain dengan secara
sukarela menanyakan atau sekedar menyapa orang lain yang belum
dikenalnya atau berbagi pemikiran, perasaan dan ide-ide pribadinya
dengan orang lain.

1.3.2 Perumusan Masalah
Maka dari uraian latar belakang penelitian di atas, timbul pertanyaan
untuk merumuskan masalah penelitian, yaitu ”apakah ada pengaruh
permainan ice breaker terhadap self disclosure pada remaja
pondok pesantren Daarul Rahman Jakarta Selatan?”

1.4.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh permainan ice
breaker terhadap self disclosure pada remaja pondok pesantren Daarul
Rahman Jakarta Selatan.

1.4.2. Manfaat penelitian
Manfaat yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

A. Manfaat Teoritis
Pada tataran teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi intelektual bagi ilmu psikologi, khususnya psikologi industri
dan organisasi, psikologi pendidikan dan psikologi sosial.

B. Manfaat Praktis
Pada tataran praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
untuk memberikan masukan bagi masyarakat pada umumnya dan
organisasi-organisasi, perusahaan-perusahaan, instansi pendidikan,
serta lembaga-lembaga pelatihan dan pengembangan diri, untuk
menguji coba efektifitas permainan ice breaker terhadap komunikasi
dan sosialisasi peserta pelatihannya.

1.5 Sistematika Penulisan
Untuk memperjelas dan menggambarkan secara singkat dari skripsi ini,
maka penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab 1 : Pendahuluan
Berisi pendahuluan yang membahas latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan, dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
Bab 2 : Landasan Teori

Berisi kajian teori yang membahas mengenai definisi permainan
ice breaker, fungsi permainan ice breaker, dugaan pengaruh
permainan ice breaker terhadap self disclosure, definisi self
disclosure, pengaruh self disclosure, faktor-faktor yang
mempengaruhi self disclosure serta penelitian mengenai self
disclosure.
Bab 3 : Metodologi Penelitian
Bab ini akan membahas metodologi penelitian yang terdiri dari
jenis penelitian, pendekatan penelitian, subjek penelitian, metode
penelitian, variabel-variabel penelitian, kontrol variabel,
pengambilan sampel, populasi dan sampel, teknik pengambilan
sampel, teknik pengumpulan data, teknik analisa data, serta
prosedur penelitian.
Bab 4 : Hasil Penelitian dan Pembahasan
Bab ini berisi mengenai gambaran umum penelitian dan serta
hasil utama penelitian.
Bab 5 : Kesimpulan, Diskusi dan Saran
Bab ini akan membahas mengenai kesimpulan , diskusi dan
saran.

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1. Permainan Ice Breaker
2.1.1 Definisi
Istilah “permainan” memiliki beberapa pengertian berbeda. Meski tidak
dapat dengan mudah didefinisikan, pada dasarnya permainan adalah
sebuah aktifitas spontan yang tidak memiliki tujuan yang tertentu dan
dimotivasi oleh keinginan untuk bersenang-senang (Schaefer&Reud,
1986).

Tidak ada definisi jelas mengenai permainan ice breaker, namun
menurut Kirby (1992) permainan yang digunakan dalam training sendiri
berarti a structured training activity with a content or process learning
objective other than the completion of the activity itself. Jika memang
permainan ice breaker yang digunakan dalam training bertujuan untuk
menciptakan suasana komunikasi yang positif antar peserta maka
definisinya berarti sebuah aktifitas dalam pelatihan yang terstruktur
dengan tujuan proses pengenalan antar peserta dan membina
komunikasi yang positif dalam kelompok.

Menurut Kirk dan Kirk (1995) istilah permainan mengarah pada sebuah
aktifitas yang membutuhkan pelaksanaan sebuah tugas, memainkan
sebuah peran, mengikuti aturan-aturan didalamnya dan berusaha untuk
mencapai sebuah tujuan. Bagi sebagian orang, memainkan permainan,
apapun itu, sangat menyenangkan dan memberinya semangat.
Tantangan yang mereka hadapi selama permainan berlangsung
membuat jantung mereka berdetak kencang, darah berdesir cepat, dan
adrenalin terpompa.

Bermain sebuah permainan adalah sebuah aktifitas yang membutuhkan
setidaknya dua elemen penting dalam permainan, yaitu bertujuan untuk
bersenang-senang dan melibatkan pengalaman fantasi. Namun,
permainan apapun itu memiliki aturan-aturan didalamnya, peraturan tiu
akan memperjelas peran yang akan mereka mainkan, batasan-batasan
dan harapan-harapan perilaku, serta bagaimana alur permainan
tersebut. Elemen penting lain dari sebuah permainan adalah adanya
interaksi interpersonal diantara pemainnya (Schaefer&Reud,1986).

Permainan biasanya melibatkan dua atau lebih orang untuk bermain.
Dan dalam sebagian besar permainan, pola interaksi pemain dalam
permainan antara satu dengan yang lain adalah saling ketergantungan.
Oleh karena itu, bermain dapat dikatakan sebagai salah satu aktifitas

sosial karena dapat terlaksana dengan kehadiran setidaknya dua orang
(Schaefer&Reud, 1986).

Istilah permainan ice breaker timbul karena nuansa yang diberikan
selama melaksanakan permainan ini adalah memecah kebekuan dan
kekakuan antar peserta. Sehingga permainan apapun bisa disebut
sebagai pemainan ice breaker selagi ia memberikan kemeriahan dan
menghangatkan suasana dalam memainkannya (Wilderdom,2007).

2.1.2. Fungsi Permainan Ice Breaker
Berdasarkan pendapat Kirby (1992) yang menyatakan bahwa
permainan berarti sebuah aktivitas dalam pelatihan yang terstruktur
dengan tujuan pembelajaran isi permainan dan proses permainan,
maka fungsi permainan ice breaker adalah bertujuan untuk menciptakan
suasana komunikasi yang positif antar peserta dan menghilangkan
“tembok penghalang” komunikasi.

Menurut Kirby (1992) prinsip yang mendasari dilaksanakannya
pelatihan-pelatihan yang melibatkan permainan-permainan adalah
bahwa peserta dapat belajar lebih baik dengan melakukan(doing)
daripada (hanya) dengan membaca, mendengarkan atau mengamati.

Selain materi pelatihan yang disampaikan, seperti materi motivasi,
kemampuan berkomunikasi, kecakapan berpresentasi, dalam banyak
pelatihan sumber daya manusia yang seringkali dilaksanakan oleh
lembaga-lembaga pelatihan di Indonesia seperti lembaga Trustco, ESQ,
Manajemen Qolbu, atau lembaga-lembaga training lainnya ,adalah
melakukan sebuah permainan ”ice breaker” atau ”pemecah kebekuan”.

Permainan ice breaker mampu memuaskan kebutuhan peserta
pelatihan agar dapat terjalin hubungan sosial yang baik dengan peserta
lain atau dengan fasilitator pelatihan, menciptakan suasana kelompok
yang positif, menghilangkan sekat-sekat komunikasi diantara peserta,
memberi semangat dan memotivasi peserta, membantu peserta untuk
saling mengenal satu sama lain, serta mampu membuat para peserta
relaks dan tidak lagi tegang selama pelatihan berlangsung(Wilderdom,
2007).

Selama ini permainan ice breaker dilaksanakan karena dianggap
sebagai sebuah kegiatan yang menyenangkan dan sebuah sarana
untuk relaksasi. Karena permainan ice breaker dirancang sederhana
dan tidak butuh persiapan yang rumit, maka pelaksanaannya ditengah
kegiatan acara yang melelahkan dan membosankan dianggap sebagai
suatu sarana bersenang-senang dan bermain-main antar sesama
peserta.

Namun, meskipun sederhana dan menjadi sarana untuk relaksasi
peserta, permainan ice breaker dan permainan-permainan lainnya yang
dilaksanakan untuk kepentingan pelatihan bukanlah sebuah permainan
belaka. Permainan-permainan tersebut disusun dan dirancang dengan
prinsip Experiential Learning Theory (ELT). Sebuah strategi
pembelajaran yang diperkenalkan oleh David Kolb sebagaimana yang
dikutip oleh Kelly (1997) ini memakai prinsip pengalaman sebagai
sebuah proses dalam penghayatan, untuk kemudian diujicobakan
kembali pembelajaran tersebut dengan mengalami pengalaman
tersebut kembali. Permainan ice breaker adalah salah satu strategi
pembelajaran yang menggunakan prinsip ini.

Teorinya yang disebut dengan Experiential Learning Theory (ELT) itulah
yang kini banyak dijadikan sebagai dasar dalam pelaksanaan pelatihan
yang menggunakan media permainan atau simulasi sebagai sarana
pembelajaran (Kirby,1992).Dalam model pembelajaran dalam ELT ini,
Kolb sebagaimana yang dikuti oleh Kirby (1992) menjelaskan bahwa
agar sebuah perilaku atau hal baru dapat dipelajari dan diterapkan
dengan cara yang efektif, maka dalam proses pembelajarannya harus
dibuat berkesan secara emosional.

Berbagai macam latihan dan permainan yang dilakukan selama proses
pembelajaran dalam pelatihan yang memakai prinsip ELT adalah dibuat
secara struktur dan ditentukan agar individu yang menjalankannya
dapat bereksperimen dengan perilaku, mencoba berbagai macam hal,
melihatnya apakah berhasil, membangun skill untuk kemudian
mengembangkan teori tindakan berdasarkan apa yang telah dialami
(Johnson&Johnson,1994).

Experiential Learning yang asal katanya adalah experience
(pengalaman) menekankan adanya unsur pengalaman atau mengalami
sebuah situasi untuk bisa belajar mengatasi masalah dalam situasi
tersebut. Tidak cukup hanya sampai disitu, karena kemudian proses
yang harus dilewati adalah mengambil kesimpulan dari apa yang sudah
dipahami, membangun pola pikir dan kemudian mencoba perilaku
tersebut kembali (Johnson&Johnson, 1994).

Oleh karena itu, dalam pelatihan-pelatihan yang menggunakan dasar
prinsip ELT, setiap latihan dan permainan yang digunakan, walaupun
sederhana, namun telah direncanakan dengan baik agar dapat menjadi
sarana yang tepat untuk belajar. Permainan-permainan dan simulasi
yang digunakan dapat digunakan untuk fungsi yang berbeda.

Sesuai dengan skill yang ingin dipelajari, maka pemilihan permainan
menjadi sangat penting, tidak dilupakan juga perencanaan dan prosedur
pelaksaannya. Dari berbagai fungsi permainan, selain untuk belajar,
juga ada yang disebut dengan ice breaker, atau dalam istilah
pelatihannya disebut sebagai pemecah kebekuan (Wilderdom,2007).

Yang dimaksud dengan pemecah kebekuan disini adalah fungsi
permainan sebagai sarana agar para peserta dalam pelatihan atau
orang-orang yang terlibat didalamnya tidak lagi menjaga jarak dan
dibatasi oleh ”tembok” yang menghalangi proses komunikasi dan
sosialisasi (Wilderdom, 2007).

Sesuai dengan namanya, fungsi sebuah permainan ice breaker atau
”pemecah kebekuan” dianggap mampu memuaskan kebutuhan
peserta pelatihan agar dapat terjalin hubungan sosial yang baik dengan
peserta lain atau dengan fasilitator pelatihan (Glass&Benshoff, 2002).
Sedangkan menurut website wilderdom.com (2007) diantara fungsi
permainan ice breaker adalah:
1. menciptakan suasana kelompok yang positif
2. membantu individu menjadi lebih relaks
3. meruntuhkan penghalang sosial
4. memompa energi dan memotivasi
5. membantu orang untuk berfikir lebih luas (think outside the box)

6. membantu peserta untuk saling mengenal satu sama lain

Dalam pelaksanaan permainan ice breaker harus menyenangkan,
relaks serta terbuka. Selama permainan berlangsung, setiap peserta
diharuskan membebaskan ekspresi dirinya agar tidak ada lagi kekakuan
dan benteng diri daripada berkomunikasi dengan orang lain.

Ada begitu banyak jenis permainan ice breaker yang dapat dicari
melalui artikel maupun lembar aktifitas yang banyak tersedia di websitewebsite yang membahas group facilitation. Diantara website tersebut
adalah www.funnatic.com, www.wilderdom.com, www.albany.edu,
www.firststeptraining.com, www.funAttic.com,
www.residentAssistant.com dan banyak website lain.

2.1.3. Dugaan Pengaruh Permainan Ice Breaker terhadap Self
Disclosure
Cox (dalam Tong, 1998) berpendapat bahwa ada tiga dimensi dalam
self disclosure: time, depth dan mutuality. Maka dimensi terakhir yaitu
mutuality (hubungan timbal balik)adalah komposisi yang sangat
berperan karena ”keterbukaan seseorang akan menghasilkan
keterbukaan pasangannya”. Dalam permainan ice breaker, upaya
keterbukaan seseorang ”dipaksakan” selama permainan berlangsung,
karena terkait dengan

peraturan dan tata cara permainan, maka seseorang harus berupaya
membuka diri kepada peserta lain.

Dalam penelitian ini, sebuah upaya untuk membuka diri dilakukan
selama proses permainan ice breaker yaitu dengan mencoba
menanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti ”binatang kesukaanmu
kelinci ya?” atau memulai menyapa terlebih dahulu kepada sesama
peserta agar terjadi ”openness” yang menghasilkan ”openness” oleh
yang lainnya.Tanpa dibatasi waktu dan tempatnya maka diduga proses
disclose sesama peserta akan semakin kecil dan lambat. Permainan ice
breaker ini merupakan penyempitan waktu, agar proses self disclosure
dapat teramati.

2.1.4 Training dalam Perspektif Islam
Diantara para trainer kepemimpinan muslimin, istilah training atau
pelatihan digunakan untuk menyebut sebuah kumpulan kegiatan yang
mendidik, memperkaya wawasan, memotivasi dan meningkatkan
potensi mereka secara spiritual, serta mengembangkan bakat-bakat
kepemimpinan dalam diri peserta pelatihan sebagai pengemban
dakwah dimuka bumi (Altalib, 1991).

Dalam program-program pelatihan yang Islami, terdapat penekanan
dalam hal komitmen keislaman peserta, pemahaman ajaran Islam,

kesadaran, kepedulian serta membangun dan memupuk kesadaran
tersebut.metode dalam program-program semacam itu didasari oleh
tujuan yang akan dicapai, perilaku yang ingin diperoleh serta hubungan
manusia dengan Penciptanya yaitu Allah.

Program-program pelatihan yang memiliki tujuan-tujuan seperti yang
telah disebut diatas adalah berdasarkan prinsip bahwa seorang muslim
bukanlah yang memerangi syaitan serta hamba-hambanya dengan
pedangnya untuk kemudian dapat segera masuk jannah dengan
pedangnya itu, melainkan seorang muslim adalah yang secara aktif
berperan dan berinteraksi dalam masyakat serta berkontribusi
memberikan perubahan yang positif dan bermanfaat bagi ummah
(Altalib, 1991). Allah berfirman:

#$ !"

‫ی‬
!-

% &' ()*+ ' ,'*+‫ی‬

“ Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang
telah diusahakannya. Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan
diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya
dengan balasan yang paling sempurna.” (53:39-41)

Rasulullah SAW bersabda:

( . ' /% 0 #1.2 ‫ ی‬34&' /% 0 ' .24
“ Sayangilah apa yang ada diatas bumi, niscaya Yang diLangit akan
Menyayangimu.”(Hadis riwayat Tirmidzi)

Dari hadis ini dapat disimpulkan, bahwa tugas seorang muslim bukan
hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri, melainkan berpikir
sebagai satu bagian dari jama’ah Muslimin yang saling tolong
menolong, menyayangi, saling peduli dan menjadi individu yang
bermanfaat bagi kesejahteraan ummah secara duniawi maupun
ukhrawi. Namun seorang muslim tidak dapat melaksanakan tugasnya
dengan optimal untuk berkontribusi kepada masyarakat jika pribadinya
sendiri tidak dilatih dan dibekali untuk tujuan tersebut. Maka penting
adanya pelatihan-pelatihan pengembangan diri sebagai salah satu
sarana pencapaiannya (Altalib, 1991).

Dalam konsep pelatihan yang islami, terdapat empat dasar utama
pelaksanaan pelatihan. Yang pertama adalah penciptaan manusia
sebagai Khalifah di bumi Allah. Allah berfirman:

5 % 6 +7 ' 8 9:;