KINERJA KEUANGAN BUMN PASCA PENERAPAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG) (PENGALAMAN PT. PLN (PERSERO) TAHUN 2003-2011)

(1)

KINERJA KEUANGAN BUMN PASCA PENERAPAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG) (Pengalaman PT. PLN (Persero) Tahun 2003-2011)

Oleh

INTAN SEPTIA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA ILMU ADMINISTRASI NEGARA

Pada

Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRACT

FINANCIAL PERFORMANCE OF PUBLIC ENTERPRISES AFTER THE IMPLEMENTATION OF GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG)

(THE EXPERIENCE OF PT. PLN (PERSERO) 2003-2011) By

Intan Septia

To improved health of Public Enterprise the Government of Indonesia issued a decree of the Minister of Number 117/KEP/M-MBU/2002 on the application of the practice of Good Corporate Governance in State-owned enterprises with the goal of keeping SOE in Indonesia in order to improve its performance. PT. PLN (Persero) is one of the SOE that are rated poorly in the financial performance section. So it is very important for PLN to implement GCG system within the company. In order to improve performance, especially in financial terms from PT. PLN (Persero).

The purpose of this research is to analyze the implementation of GCG in the PLN, as well as seeing the financial performance of PT. PLN (Persero) after the imposition of the GCG from 2003 to 2011. The method used descriptive qualitative study and historical. The technique of data used the documentation source because researchers apply research literature that is one of the historical research-type.

The results of this study are: (1) implementation of GCG within PT. PLN (Persero) was founded by five basic principles of GCG, i.e. transparency, accountability, responsibility, independence and fairness in applying the principle whereby each program respectively. The principle of transparency in PT. PLN (Persero) showed three programs, namely disclosure of company info periodically in public communication media, application of risk management, and a third also applied the principle of accountability classified in oversight and internal control; the principle of accountability was also followed by two other published implementation guidelines for Good Corporate Governance PT PLN (Persero) and the code of conduct (code of conduct) as well as the publication of code of Conduct; application of the third principle of responsibility which pertained in the application of a quality management system (ISO), Corporate Social Responsibility (CSR) and the latter the management aspects of environment, health and safety; in a reflection of the principle of independence was the preparation and implementation of the Code of Conduct (code of conduct) and the reflection of the application of the principle of equality or Equal treatment Treatmen to all stakeholders in a balanced and open access info all stakeholders


(3)

the still high rates of theft of electricity; (c) the delinquency still high power; (d) electric capacity installed is not adequate for the needs that exist; (e) added new customers continues to grow; and (f) there are still some factors that have supported the implementation of GCG in the body PT. PLN (Persero).


(4)

ABSTRAK

KINERJA KEUANGAN BUMN PASCA PENERAPAN

GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG) (PENGALAMAN PT. PLN (PERSERO)

TAHUN 2003-2011) Oleh.

Intan Septia

Dalam rangka perbaikan kesehatan BUMN pemerintah Indonesia mengeluarkan Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP/117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara dengan tujuan agar BUMN di Indonesia dapat memperbaiki kinerjanya masing-masing. PT. PLN (Persero) merupakan salah satu BUMN yang dinilai buruk dalam kinerja terutama bagian keuangan. Sehingga sangat penting bagi PLN untuk menerapkan sistem GCG di dalam perusahaan. Demi memperbaiki kinerja terutama dalam segi finansial dari PT. PLN (Persero).

Tujuan dari penelitian ini ialah untuk menganalisis penerapan GCG di lingkungan PLN, serta melihat kinerja keuangan PT. PLN (Persero) pasca diterapkannya GCG dari tahun 2003-2011. Metode yang digunakan ialah kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif dan historis. Teknik pengumpulan data melalui sumber dokumentasi dikarenakan peneliti menerapkan jenis penelitian literatur yang merupakan salah satu dari tipe penelitian historis.

Hasil penelitian ini yaitu: (1) penerapan GCG di lingkungan PT. PLN (Persero) didasarkan oleh lima prinsip dasar GCG yaitu transparency, accountability,

responsibility, independence, dan fairness dimana didalam tiap prinsip menerapkan programnya masing-masing. Dalam prinsip transparansi PT. PLN (Persero) telah mengimpelentasikan tiga program yaitu pengungkapan info perusahaan secara berkala dalam media komunikasi umum, penerapan manajemen risiko, dan ketiga yang juga diterapkan tergolong dalam prinsip akuntabilitas merupakan pengawasan dan pengendalian internal; prinsip akuntabilitas juga diikuti oleh dua pelaksanaan lain menerbitkan Pedoman Good Corporate Governance PT. PLN (Persero) dan Pedoman Perilaku (code of conduct) juga penerbitan Kode Etik Perilaku ; penerapan yang ketiga dimana tergolong dalam prinsip responsibilitas ialah penerapan Sistem Manajemen Mutu (ISO), Corporate Social Responsibility (CSR) dan yang terakhir pengelolaan aspek lingkungan, keselamatan dan kesehatan kerja; dalam pencerminan prinsip kemandirian


(5)

info seluruh stakeholder untuk memberi sumbang saran untuk kemajuan dan mutu dari layanan PT. PLN (Persero); (2) Hambatan dari penerapan GCG di tubuh PT. PLN (Persero) ialah (a) tingginya ketergantungan atas sumber energi tertentu, yaitu bahan bakar minyak (BBM); (b) masih tingginya tingkat pencurian arus listrik; (c) masih adanya tunggakan pembayaran listrik yang tinggi; (d) kapasitas listrik yang terpasang tidak memadai untuk kebutuhan yang ada; (e) pertambahan pelanggan baru yang terus bertambah; dan (f) masih terdapatnya beberapa faktor yang belum mendukung penerapan GCG di tubuh PT. PLN (Persero).


(6)

(7)

(8)

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Kerangka Pemikiran ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 14

A. Manajemen Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ... 14

B. Good Corporate Governance (GCG) di Tubuh BUMN... 27

C. Menilai Kinerja Keuangan BUMN ... 41

III. METODE PENELITAN ... 45

A. Pendekatan dan tipe penelitian ... 45

B. Waktu dan Tempat Penelitian ... 48

C. Teknik Pengumpulan Data ... 49

D. Teknik Pengolahan Data ... 50

E. Teknik Analisis Data ... 50

IV. SEJARAH MASUKNYA GCG DI PT. PLN (PERSERO) ... 53

A. Nasionalisasi Perusahaan Listrik Negara ... 53

B. Bad Corporate Governance Pada PT. PLN (Persero) ... 55

C. Masuknya GCG Dalam Lingkup PT. PLN (Persero) ... 60

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 64

A. Penerapan Good Corporate Governance di PT. PLN (Persero) ... 64


(10)

(BBM) ... 126

2. Masih Tingginya Tingkat Pencurian Arus Listrik ... 136

3. Masih Adanya Tunggakan Pembayaran Listrik yang Tinggi ... 138

4. Kapasitas Listrik yang Terpasang Tidak Memadai Untuk Kebutuhan yang Ada ... 139

5. Pertambahan Pelanggan Baru yang Terus Bertambah ... 141

6. Masih Adanya Beberapa Faktor yang Belum Mendukung Keberhasilan GCG ... 141

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 147

A. Kesimpulan ... 147

B. Saran ... 148

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel

1. Pendapatan BUMN Tahun 2002-2006 ... 2 2. Skor peringkat Good Governance di Asia ... 8 3. Penerapan GCG di Tubuh PT. PLN (Persero)... 88

4. Penilaian Penerapan GCG di PT PLN (Persero) pada tahun 2011

oleh BPKP... 91


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar


(13)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan perusahaan milik negara yang bergerak dalam produksi barang dan jasa. Modal yang didapat BUMN berasal dari keuangan negara, Karena dalam sistem perekonomian Indonesia BUMN memegang peranan yang cukup penting. Peranan BUMN dalam perekonomian Indonesia sangat besar dengan asset tahun 2012 terhitung mencapai Rp 3.522 triliun dengan laba bersih sebesar Rp 128 triliun.1 Aktivitas BUMN Indonesia

mempunyai potensi yang sangat besar jika dilihat dari aspek total pendapatan, total asset, volume produksi, sumber daya manusia, atau pelayanan yang telah terakumulasi selama puluhan tahun. Peranan BUMN yang penting, juga diungkapkan dalam Misi Kementrian BUMN (Kementrian BUMN, 2002),2 antara

lain (1) meningkatkan nilai perusahaan dengan melakukan restrukturisasi, privatisasi, dan kerja sama usaha antar BUMN berdasarkan prinsip-prinsip usaha yang sehat, (2) meningkatkan daya saing melalui inovasi dan peningkatan efisiensi untuk dapat menyediakan produk barang dan jasa yang berkualitas dengan harga yang kompetitif serta pelayanan yang bermutu tinggi, (3)

1

http://www.tempo.co/read/mews/2012/12/28/092450948/Target-Laba-BUMN-di-2012-Meleset

2

Zarkasyi, Moh. Wahyudin. 2008. Good Corporate Governance: Pada Perusahaan Manufaktur, Perbankan, dan Jasa Keuangan Lainnya. Bandung: Alfabeta. Hal: 2.


(14)

meningkatkan kontribusi BUMN kepada negara. Persoalan dan tantangan utama yang dihadapi BUMN pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu tantangan internal dan tantangan eksternal. Secara internal, persoalan dan tantangan yang dihadapi BUMN terungkap pada kurang memuaskannya kinerja BUMN. Sedangkan secara eksternal tantangan yang dihadapi BUMN tercermin dengan adanya globalisasi, yang berpengaruh terhadap berbagai aspek dalam perusahaan, seperti masalah-masalah persaingan, pendanaan, teknologi informasi, lingkungan hidup dan lainnya. Menurut Wahyudin, permasalahan internal BUMN adalah rendahnya kinerja yang dihasilkan oleh BUMN. Hal ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 1. Pendapatan BUMN Tahun 2002−2006

Jumlah BUMN Pendapatan Persentase dari Pendapatan 25 BUMN 39 BUMN 81 BUMN Rp 166.485.000.000,00 Rp 31.147.000.000,00 Rp 9.758.000.000,00 80% 15% 5% 145 BUMN Rp 207.309.000.000,00 100%

Sumber : Zarkasyi, Moh. Wahyudin. 2008. Good Corporate Governance: Pada Badan Usaha Manufaktur, Perbankan, dan Jasa Keuangan Lainnya.

Berdasarkan tabel 1 di atas dapat dijelaskan bahwa pencapaian laba BUMN antara tahun 2002−2006 tidak berjalan dengan baik. Banyak BUMN dari 81 BUMN masih memiliki kinerja yang rendah, yaitu dari 145 BUMN dengan total pendapatan Rp. 207.309 milyar, sebanyak 25 BUMN (17%) memberikan kontribusi pendapatan Rp. 166.485 milyar (80%), sebanyak 39 BUMN (27%) memberikan kontribusi pendapatan Rp. 31.147 milyar (15%) dan sebanyak 81 BUMN (56%) memberikan kontribusi pendapatan Rp. 9.758 milyar (5%), (Wahyudin, 2008).3

3


(15)

Disini terlihat adanya suatu fenomena, yaitu kesenjangan antara BUMN yang diharapkan memberikan pendapatan yang besar untuk sumber pemasukan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dengan kenyataan yang menunjukkan bahwa BUMN akan sulit mengejar target kinerja. PT. PLN (Persero) sebagai salah satu BUMN yang sangat berpengaruh di Indonesia kerap diberitakan mengenai kerugian-kerugian yang melanda perusahaan BUMN tersebut. Tidak sedikit berita yang memberitakan bahwa PT. PLN (Persero) ternyata merugi. Bahkan bersama Menteri BUMN dalam masanya menjabat sebagai Direktur Utama PT. PLN (Persero) yaitu bapak Dahlan Iskan yang akhir-akhir ini mengangkat nama perusahaan tersebut menjadi perlahan membaik tidak kunjung membawa PT. PLN (Persero) bersih dari berita mengenai kerugian dari perusahaan tersebut. Diberitakan bahwa laba bersih PLN di 2011 tergerus hingga 28,74 persen menjadi Rp 7,19 triliun dari 2010 sebesar 10,09 triliun.4 Selain itu

akhir-akhir ini banyak diberitakan bahwa di dalam PT. PLN terdapat korupsi yang telah membawa nama banyak petinggi terdahulu dari Perusahaan Listrik Negara tersebut turut masuk ke dalamnya, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kinerja pegawai dalam PT. PLN (Persero) masih belum membaik dan masih terdapat para pemimpin yang melakukan praktik KKN, sehingga masih terjadi kerugian dalam tubuh PT. PLN (Persero).

Kerugian yang terjadi tidak hanya terdapat pada PT. PLN (Persero), tetapi juga berasal dari BUMN-BUMN yang lain terutama semenjak terjadinya krisis perekonomian pada tahun 1997. Hal ini menyebabkan keuangan perusahaan-perusahaan tersebut terhitung merugi, sehingga mengharuskan BUMN melakukan

4

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/04/05 /m1zwvm-bersama-dahlan-iskan-pln-ternyata-merugi, diakses tanggal 25 mei 2012


(16)

perbaikan perekonomian. Dalam rangka perbaikan ekonomi, pemerintah Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) memperkenalkan dan mengintroduksir konsep Good Corporate Governnce (GCG) sebagai tata cara kelola perusahaan yang sehat. Sejak menadatangani latter of intent (LOI) dengan IMF, yang salah satu bagian pentingnya adalah pencantuman jadwal perbaikan pengelolaan, perusahaan-perusahaan di Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk menerapkan standar GCG yang telah diterapkan di tingkat internasional (YPPMI&SC, 2002). Sejalan dengan hal tersebut Komite Nasional Kebijakan

Corporate Governance (KNKCG) berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk menerapkan standard GCG yang telah diterapkan di tingkat internasional.5

Pada tahun 2002 dibuatlah Kepmen BUMN Nomor KEP-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance Pada BUMN, namun kemudian pada tahun 2011 telah dibuat kembali Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-01/MBU/2011 tentang penerapan GCG pada BUMN yang telah mewajibkan bagi setiap BUMN untuk wajib menerapkan GCG secara konsisten dan berkelanjutan dengan berpedoman pada Peraturan Menteri ini dengan tetap memperhatikan ketentuan, dan norma yang berlaku serta anggaran dasar BUMN.6

GCG pada dasarnya merupakan suatu sistem (input, proses, output) dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders) terutama dalam arti sempit hubungan antara pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan direksi demi tercapainya tujuan perusahaan. GCG dimasukkan untuk mengatur hubungan-hubungan ini dan

5

Sutedi, Adrian. 2011. Good Corporate Governance. Jakarta: Sinar Grafika. Hal: 3.

6


(17)

mencegah terjadinya kesalahan-kesalahan signifikan dalam strategi perusahaan dan untuk memastikan bahwa kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki dengan segera (Wahyudin, 2008).7 GCG diperlukan untuk mendorong terciptanya

pasar yang efisien, transparan, dan konsisten dengan peraturan perundangan.

Penerapan GCG perlu didukung oleh tiga pilar yang saling berhubungan, yaitu negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha. Prinsip yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pilar (Wahyudin, 2008)8 adalah (1) Negara dan

perangkatnya menciptakan peraturan perundang-undangan yang menunjang iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan, melaksanakan peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum secara konsisten (2) Dunia usaha sebagai pelaku pasar menerapkan GCG sebagai pedoman dasar pelaksanaan usaha (3) Masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha serta pihak yang terkena dari keberadaan perusahaan, menunjukan kepedulian dan melakukan kontrol sosial (social control) secara obyektif dan bertanggung jawab. Perusahaan selaku pelaku dunia usaha harus memastikan bahwa prinsip-prinsip GCG diterapkan pada setiap aspek bisnis dan di semua jajaran perusahaan. Menurut Purwadarmita dalam Wahyudin prinsip-prinsip GCG antara lain: (1) keterbukaan (transparency); (2) akuntabilitas (accountability); (3) tanggung jawab (responsibility); (4) kemandirian (independency); (5) kewajaran (fairness). Salah satu tujuan yang diharapkan dalam penerapan GCG adalah peningkatan kinerja yang ada pada semua BUMN yang ada.9

7

Zarkasyi, Moh. Wahyudin. 2008. Op.cit. Hal: 36.

8

Ibid. Hal: 36−37. 9


(18)

Pada tahun 2003 PT. PLN (Persero) resmi menerapkan GCG dengan dasar Kepmen BUMN Nomor KEP-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktek GCG Pada BUMN dan dengan dirativikasikan, merupakan persetujuan kepala negara atau pemerintah atas penandatanganan perjanjian internasional yang dilakukan oleh kuasa penuhnya yang di tunjuk sebagaimana mestinya mengenai undang undang BUMN dikeluarkanlah deklarasi komitmen GCG yang ditandatangani oleh komisaris dan direktur utama PT. PLN (Persero) yang menerangkan bahwa penerapan prinsip GCG merupakan kebutuhan dari PT. PLN (Persero) dalam penyelenggaraan korporasi demi meningkatkan nilai bagi pelanggan, pemegang saham dan perusahaan.10 PT. PLN (Persero) memiliki tujuan tersendiri dari

diterapkannya GCG. Tiga sasaran utama tersebut ialah, yang (1) untuk memaksimalkan kinerja perseroan melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik dan berkualitas, peningkatan efisiensi operasional serta peningkatan layanan kepada pemangku kepentingan; (2) untuk meningkatkan nilai perusahaan melalui peningkatan kinerja keuangan dan meminimalkan risiko keputusan investasi yang mengandung benturan kepentingan; (3) kemudian yang terakhir untuk meningkatkan kepercayaan pemegang saham serta kepuasan pemangku kepentingan karena meningkatnya nilai perusahaan.11

Sejalan dengan semua bentuk konsep dari GCG yang telah diterapkan, perubahan yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang diharapkan atau tidak signifikan. terdapat beberapa isu mengenai lemahnya praktek GCG di Indonesia. Tuntutan terhadap wujud GCG disetiap sektor (publik maupun swasta), kini semakin gencar. Tuntutan ini memang sangat wajar, mengingat banyak penelitian yang

10

Pedoman Good Corporate Governance PT. PLN (Persero). 2003. PT. PLN (Persero), Jakarta.

11


(19)

menunjukkan bahwa terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia, ternyata disebabkan oleh buruknya pengelolaan (bad governance) pada sebagian besar pelaku di Indonesia. Indikasi buruknya pengelolaan tersebut antara lain tercermin dari berbagai indikator berikut :

1. Tahun 1998, secara umum hasil survei Booz-Allen dan Hamilton bahwa belum efektifnya pelaksanaan GCG pada perusahaan di Indonesia adalah yang paling rendah di Asia Timur (2,88) dibandingkan dengan Malaysia (7,72), Thailand (4,89), Singapura (8,93), dan Jepang (9,17). Asian Development Bank juga mengemukakan bahwa fenomena yang sering dijumpai pada perusahaan-perusahaan di Indonesia antara lain belum melakukan pengelolaan perusahaan secara profesional, karena konsenterasi kepemilikan oleh pihak tertentu yang memungkinkan terjadinya afiliasi atau kerja sama antar pemilik, pengawas dan pengelola perusahaan, serta tidak berfungsinya Dewan Komisaris Perusahaan. 2. Tahun 1999, di sektor swasta, menurut hasil riset McKinsey & Company

yang melibatkan para investor di Asia, Eropa dan Amerika Serikat terhadap lima negara di Asia menyatakan bahwa Indonesia menempati tingkat terendah dalam pelaksanaan GCG, sedangkan menurut hasil survey

Political and Economic Risk Consultancy (PERC) terhadap pelaku bisnis asing di Asia ternyata Indonesia merupakan negara terburuk di bidang

corporate governance. Tabel berikut menunjukkan peringkat GCG di Asia, yang disajikan sebagai berikut.


(20)

Tabel 2. Skor Peringkat Good Governance di Asia

Negara Skor

Singapura Hongkong Jepang Philiphina Taiwan Malaysia Thailand Cina Indonesia Korea Selatan Vietnam 2,00 3,59 4,00 5,00 6,10 6,20 6,67 8,22 8,29 8,83 8,89

Keterangan : Semakin tinggi skor, semakin buruk Good Governance

Sumber : Media Akuntansi, No.17/TH. VII/April-Mei 2001

3. Tahun 2000, di sektor publik, birokrasi pemerintah Indonesia, termasuk yang terburuk di Asia. Menurut hasil survei yang dilakukan PERC terhadap para eksekutif bisnis asing, dengan memperoleh skor 8,0 dan tidak mengalami perbaikan dibanding tahun 1999.

4. Tahun 2001, hasil survei dikembangkan oleh Credit Lyonnais Securuties

(CLSA) dengan tujuan ketegori, meliputi disiplin, transparansi, kemandirian, akuntabilitas, tanggung jawab, keadilan dan kesadaran nasional terhadap standar GCG pada 115 perusahaan di 25 negara berkembang menunjukkan bahwa skor total untuk perusahaan di Indonesia yang disurvei hanya 37,7 dari skala 0-100 (100 adalah tertinggi).

5. Tahun 2002, hasil survei yang dilakukan IMD sebagai sekolah terkemuka di Switzerland mengembangkan kepastian kepemimpinan. Penilaian meliputi 11 komponen, yaitu hak dan tanggung jawab terhadap

shareholder (pemegang saham), kredibilitas manajer, daya adaptasi, dewan perusahaan, nilai shareholder, insider trading, tanggung jawab sosial, hubungan antar pekerja, kepuasan pelanggan, aturan kompetisi, serta praktik-praktik etika.


(21)

6. Tahun 2003, hasil survei yang dilakukan oleh Utama, berkaitan dengan pelaksanaan GCG berkesimpulan bahwa terdapatnya konsenterasi kepemilikan dan kontrol yang meningkatkan informasi yang asimetris antara shareholder mayoritas dan shareholder minoritas, sehingga

shareholder minoritas sulit untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, dan juga dapat menyebabkan lemahnya proteksi hukum bagi

shareholder minoritas.12

Hal tersebut seharusnya tidak ditemui lagi, mengingat prinsip-prinsip GCG sejak tahun 2003 yang telah ditetapkan di dalam PT. PLN. Jika suatu BUMN dinyatakan sehat, maka akan berdampak pada naiknya harga jual dari BUMN tersebut yang sewaktu-waktu jika diperlukan oleh negara dapat dijual demi membayar hutang negara atau keperluan mendesak lainnya. Prinsip-prinsip dari GCG tersebut jika diimplementasikan dengan baik sesuai dengan ketentuan yang ada, maka akan memiliki dampak baik yang akan bertolak belakang dengan apa yang diberitakan selama ini. Untuk itu peneliti tertarik melihat permasalahan mengenai bagaimana penerapan Good Corporate Governance dan kinerja finansial pasca penerapan GCG di tubuh PT. PLN (Pesero) pada tahun 2003 sampai dengan tahun 2011 di samping isu-isu yang telah dijelaskan mengenai kerugian-kerugian di dalam tubuh PLN dan praktek korupsi yang sering terdengar, karena PLN merupakan perusahaan tunggal dalam penyediaan listrik dan merupakan salah satu BUMN yang merupakan penyumbang terbesar bagi APBN di Indonesia juga bisa sebagai dinilai menjadi suatu aset di dalam negara.

12


(22)

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana penerapan GCG di PT. PLN (Persero) dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2011?

2. Mengapa penerapan GCG di PT. PLN (Persero) tidak menunjukkan perubahan yang berarti terhadap kinerja keuangan PLN?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan penerapan Good Corporate Governance di Lingkungan PT. PLN (Persero).

2. Untuk menganalisis penyebab dari ketidak sinergisannya penerapan Good Corporate Governace terhadap kinerja keuangan di lingkungan PT. PLN (Persero).

D. Manfaat Penelitian

1. Secara akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan penambahan ilmu pengetahuan dalam khasanah Ilmu Administrasi Negara, khususnya dalam ranah Manajemen BUMN.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan atau referensi bagi tiap BUMN dalam menerapkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance.

3. Sebagai salah satu bahan acuan atau referensi penelitian lebih lanjut bagi pengembangan ide para peneliti dalam melakukan penelitian dengan tema atau masalah serupa.


(23)

E. Kerangka Pemikiran

Undang-Undang dasar 1945 mengamanatkan bahwa pelaku ekonomi nasional terdiri atas tiga bentuk usaha: swasta, BUMN dan koperasi.13 BUMN sebagai

salah satu pelaku utama perekonomian nasional bertujuan untuk mendukung keuangan negara dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang keberadaanya pada saat ini diatur dengan Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Menurut Faisal (2002) paling tidak ada lima faktor yang melatar belakangi keberadaan BUMN, yaitu bahwa BUMN diperlukan (1) Sebagai pelopor atau perintis usaha, dimana swasta tidak tertarik untuk menggelutinya, (2) Sebagai pengelola bidang-bidang usaha yang strategis dan pelaksana pelayanan publik (3) Sebagai penyeimbang kekuatan-kekuatan swasta besar (4) Sebagai sumber pendapatan negara.14

Di balik semua itu terdapat permasalahan-permasalahan yang menghambat alur BUMN untuk berjalan sesuai dengan fungsi utamanya. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain berupa kurang memuaskannya kinerja persaingan, pendanaan, teknologi informasi dan lingkungan hidup dari keberadaan BUMN terutama yang sangat terlihat ialah buruknya kinerja keuangan dari beberapa BUMN. Hal ini menyebabkan pencapaian laba tidak sejalan dengan perbaikan kesehatan BUMN terutama antara tahun 2002-2006, sehingga pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP/117/M-MBU/2002 tentang “Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara” dimana Good Corporate Governance itu sendiri merupakan

13

Anoraga, Pandji. 1995. BUMN Swasta dan Koperasi: Tiga Pelaku Ekonomi. Jakarta: Pustaka Jaya. Hal: 1


(24)

prinsip-prinsip yang mendasari suatu proses dan mekanisme pengelolaan perusahaan berlandaskan peraturan perundang-undangan dan etika berusaha demi memperbaiki kinerja dari masing-masing BUMN tersebut.15

PT. PLN (Persero) sebagai salah satu dari BUMN, turut menetapkan GCG sebagai suatu sistem yang mendasari proses dari mekanisme pengelolaan perusahaan tersebut, semenjak tahun 2003 yang didasari oleh Kepmen BUMN Nomor KEP/117/M-MBU/2002 tentang penerapan praktek GCG pada badan usaha milik negara. Sangatlah penting untuk melihat apakah praktik GCG sudah berjalan dengan baik atau tidak di lingkungan PT. PLN, mengingat bahwa masih terdapatnya kerugian yang dialami oleh PT. PLN (Persero). Berdasarkan hal tersebut peneliti akan melakukan penelitian untuk mengetahui dan menganalisis GCG di lingkungan PT. PLN (Persero) apakah sudah sesuai dengan prinsip yang ada berupa lima aspek yaitu transparency (transparansi); accountability

(akuntabilitas); responsibility (pertanggungjawaban); independence

(kemandirian); dan fairness (kewajaran), untuk lebih jelasnya mengenai penjabaran penjelasan pada kerangka pikir, maka peneliti menjabarkannya dalam alur kerangka pikir yang dapat dilihat pada gambar di berikut ini:

15

Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-01/MBU/2011 Tahun 2011 tentang penerapan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) pada badan usaha milik negara.


(25)

Gambar 1. Alur Kerangka Pikir

Sumber : Data diolah oleh peneliti.

Permasalahan di dalam lingkungan Badan Usaha Milik

Negara (BUMN)

Peran pemerintah melalui Kepmen BUMN Nomor

Kep-117/M-MBU/2002 untuk mengatasi permasalahan di dalam

lingkup BUMN

PT. PLN (Persero) sebagai salah satu BUMN diharuskan untuk

menerapkan GCG

Bagaimana Penerapan Good

Corporate Governance di lingkungan PT. PLN (Persero)

Mengapa penerapan GCG di PT. PLN (Persero) tidak menunjukkan perubahan yang berarti terhadap kinerja keuangan PLN

Kepmen BUMN Nomor Kep-117/M-MBU/2002 tentang

Penerapan Praktek Good

Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara

Penerapan GCG di lingkungan PT. PLN (Persero) dilakukan

sejak tahun 2003, yang didasarkan oleh Kempen BUMN Kep-117/M-MBU/2002

tentang Penerapan Praktek

Good Corporate Governance

pada Badan Usaha Milik Negara

Penerapan dinilai berdasarkan prinsip-prinsip yang tertera di dalam GCG (Wahyudin, 2008), yaitu : 1. Transparency 2. Accountibility 3. Responsibility 4. Independence 5. Fairness

Berdasarkan 11 syarat keberhasilan GCG: (1) Komitmen; (2) Sistem hukum; (3) Budaya perusahaan; (4) Sistem dalam Perusahaan yang Baik; (5) Peraturan dan kebijakan yang mendukung; (6) dukungan

stakeholder; (7) Contoh GCG yang baik; (9) Semangat anti korupsi; (10) Manjemen


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Manajemen Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa pelaku ekonomi nasional terdiri atas tiga bentuk usaha: swasta, BUMN dan koperasi. Artinya, konstitusi memaklumatkan bahwa di Indonesia terdapat perusahaan-perusahaan milik negara, atau Badan Usaha Milik Negara, disamping usaha swasta dan koperasi. Eksistensi BUMN di Indonesia dimulai dari nasonalisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang sekiranya dapat memperbaiki perekonomian Indonesia yang saat itu sedang mengalami keterpurukan.untuk itu dalam UUD 1945, BUMN dinilai sebagai salah satu pelaku ekonomi nasional. Sejak saat itu nasionalisasi mengakhiri dominasi ekonomi Belanda sekaligus menjadi titik awal pembentukan BUMN Indonesia. Menurut kepmen keuangan RI Nomor 740/KMK 00/1989 yang dimaksud BUMN ialah:

Badan Usaha yang seluruh modalnya dimiliki negara (Pasal 1 ayat 2a). Atau badan usaha yang tidak seluruh sahamnya dimiliki negara tetapi statusnya disamakan dengan BUMN yaitu (Pasal 1 Ayat 2b): 1) BUMN yang merupakan patungan antara pemerintah dengan pemerintah daerah; 2) BUMN yang merupakan patungan antara pemerintah dengan BUMN lainnya; 3) BUMN yang merupakan badan-badan usaha patungan dengan swasta nasional atau asing di mana negara memiliki saham mayoritas minimal 51%.1

1

Anoraga, Pandji. 1995. BUMN Swasta dan Koperasi: Tiga Pelaku Ekonomi. Jakarta: Pustaka Jaya. Hal: 1.


(27)

Tidak jauh berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh menteri keuangan, berdasarkan Undang Undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang bentuk-bentuk usaha negara menjadi undang-undang, BUMN adalah seluruh bentuk usaha negara yang modal seluruhnya atau sebagian dimiliki oleh negara atau pemerintah dan dipisahkan dari kekayaan negara. Pengertian itu diperkuat juga oleh Undang Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN, dalam pasal 1 tentang ketentuan umum, yang dimaksud BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.2 Dari pendapat tersebut dapat

disimpulkan bahwa BUMN adalah badan usaha yang merupakan patungan swasta nasional atau asing di mana sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara yang memiliki saham mayoritas minimal 51% melalui penyertaan secara langsung berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan dengan negara. Pendirian BUMN di Indonesia menurut Ismangil (1984) juga memiliki tujuan masing-masing tergantung dari periode pendiriannya dan kebijaksanaan pemerintah pada saat itu. Beberapa BUMN merupakan kelanjutan dari perusahaan-perusahaan yang didirikan pada jaman sebelum kemerdekaan. Beberapa didirikan di jaman kemerdekaan, yaitu yang menonjol dalam hal ini adalah Central Trading Corporation (CTC) yang kemudian berkembang menjadi PT Pantja Niaga. Banyak pula yang didirikan sesuai tahun 1950 dengan motivasi yang bermacam.3

Pada seminar peranan BUMN dalam pelita IV yang diadakan di Jakarta pada tanggal 14 Maret 1984, Menteri Keuangan Republik Indonesia mengemukakan bahwa, seperti juga halnya dengan pelita I, II dan III, maka dalam pelita IV

2

Akadun. 2007. Administrasi Perusahaan Negara. Bandung: Alfabeta. Hal 24

3


(28)

BUMN tetap memegang peranan yang penting, terutama dibidang-bidang dimana hak swasta tidak tertarik karena berbagai pertimbangan. Sedangkan menurut Menteri keuangan (1989) mengemukakan bahwa BUMN diharapkan berperan terutama (1) sebagai sumber penerimaan negara dalam bentuk berbagai pajak serta balas jasa terhadap negara selaku pemilik; (2) untuk memprodusi berbagai barang dan jasa kebutuhan masyarakat sesuai dengan rencana-rencana yang tertuang dalam pelita IV, misalnya listrik, jasa telekomunikasi dan perhubungan dan perumahan rakyat; (3) sebagai sumber pendapatan devisa negara, misalnya perusahaan-perusahaan perkebunan dan pertambangan; (4) pembukaan lapangan kerja, terrutama pada sektor-sektor yang padat-karya, misalnya perusahaan perkebunan dan industri; (5) usaha-usaha untuk membantu golongan ekonomi lemah dan koperasi; (6) pengembangan wilayah di luar Jawa dengan berbagai proyek dibidang perkebunan dan industri juga (7) hal lain, misalnya pada bidang alih teknologi.4

Peranan BUMN dalam tata kelola ekonomi negara kita sering kali masih diwarnai keraguan dalam penilaian mengenai peranan dan kontribusinya. Dari satu pihak kita meletakkan harapan yang cukup besar mengenai apa yang dapat dilakukan oleh BUMN, dengan memberikan pelopor dan pembina perusahaan swasta, maupun sebagai pelaksana kebijaksanaan dalam pembangunan ekonomi, dilain pihak kita masih sering mendengar bahwa BUMN tidak efisien, prestasinya kurang memuaskan dan sebagainya. Menurut Riyanto (1992), fungsi dan peranan BUMN di negara kita agak unik; di satu pihak dituntut sebagai badan usaha pengemban kebijakan dan program-program pemerintah atau yang kita kenal

4


(29)

dengan kejutan sebagai agen pebangunan, dipihak lain harus tetap berfungsi sebagai unit usaha komersial biasa dan mampu berjalan dan beroprasi berdasarkan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Kedua fungsi ini sering kali tidak dapat berjalan seiring atau saling menunjang dan bahkan tidak jarang justru malah bertentangan.5 Selain itu peran BUMN yang penting, juga diungkapkan dalam

misi kementrian BUMN (Kementrian BUMN, Februari 2002), antara lain yaitu (1) meningkatkan nilai perusahaan dengan melakukan restrukturisasi, privatisasi dan kerjasama usaha antar BUMN berdasarkan prinsip-prinsip bisnis yang sehat, (2) meningkatkan daya saing melalui inovasi dan peningkatan efisiensi untuk dapat menyediakan produk barang dan jasa yang berkualitas tinggi dengan harga yang kompetitif serta pelayanan yang bermutu tinggi (3) meningkatkan kontribusi BUMN kepada negara. Ini berarti misi dari BUMN adalah mencari laba dan dengan demikian BUMN saat ini memiliki visi dan misi yang berorientasi pada laba sebagaimana halnya pada visi dan misi perusahaan swasta.6 Dari beberapa

pendapat yang telah dipaparkan dapat diambil kesimpulan bahwa peran BUMN selain sebagai sumber pendapatan negara yang juga meningkatkan devisa negara, BUMN juga berperan sebagai penyedia produk barang dan jasa yang berkualitas tinggi dengan harga yang kompetitif serta pelayanan yang bermutu tinggi terutama untuk membantu kalangan ekonomi rendah dan koperasi.

Peranan BUMN sebenarnya erat berkaitan dengan berbagai tujuan yang perlu dicapai BUMN, seperti yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Perusahaan

5

Ibid. Hal: 8.

6

Zarkasyi, Moh. Wahyudin. 2008. Good Corporate Governance: Pada Perusahaan Manufaktur, Perbankan, dan Jasa Keuangan Lainnya. Bandung: Alfabeta. Hal: 2.


(30)

jawata (Perjan), Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Perseroan. PP No. 3/1983 ini, yang meliputi ketiga BUMN, yaitu Perusahaan Perseroan (Persero), Perusahaan Umum (Perum), dan Perusahaan Jawatan (Perjan), menetapkan bahwa tujuan-tujuan BUMN adalah (1) Memberikan sumbangan bagi perkembangan ekonomi negara pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya; (2) mengadakan pemupukan keuntungan dan pendapatan; (3) menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa barang dan jasa bermutu dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak; (4) menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi; (5) menyelenggarakan kegiatan-kegiatan usaha yang bersifat melengkapi kegiatan swasta dan koperasi dan antara lain menyediakan kebutuhan masyarakat, baik dalam bentuk barang maupun bentuk jasa dengan memberikan pelayanan yang bermutu; (6) turut aktif memberikan bimbingan kepada sektor swasta, khususnya pengusaha golongan ekonomi lemah dan sektor koperasi; (7) turut aktif melaksanakan dan menunjang pelaksanaan program dan kebijaksanaan pemerintah dibidang ekonomi dan pembangunan pada umumnya.7

Menurut Hamid dan Anto dalam Akadun (2007), BUMN didesain untuk tujuan tertentu seperti menciptakan lapangan pekerjaan, pengembangan daerah, merintis sektor yang belum dimasuki swasta, menyediakan fasilitas semi publik, ringkasannya tujuan BUMN adalah memaksimumkan kesejahteraan masyarakat dan memaksimumkan tujuan tertentu termasuk kemungkinan memperoleh keuntungan maksimal.8 Sedangkan berdasarkan Undang Undang Nomor 19

Tahun 2003 pasal 2, maksud dan tujuan pendirian BUMN tidak lain ialah untuk

7

Anoraga, Pandji. 1995. Op. Cit. Hal 18−19

8


(31)

memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya; mengejar keuntungan; menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak; menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi; turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.9 Selain

tujuan-tujuan tersebut, ada beberapa arahan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah tahun 1983 tentang tujuan pembentukan BUMN, antara lain sebagai penyumbang perkembangan perekonomian nasional dan penerimaan negara; mampu berjalan baik dan menumpuk keuntungan, bermanfaat bagi umum terutama dalam memenuhi hajat hidup orang banyak; melaksanakan kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh swasta dan koperasi serta bersifat melengkapi terutama dalam menyediakan kebutuhan masyarakat luas; aktif memberi bimbingan kepada usaha ekonomi lemah dan koperasi; aktif menunjang pelaksanaan program pemerataan.10

Tujuan BUMN tentu tidak dapat terpisahkan dengan landasan pendiriannya. Latar belakang pendirian BUMN yaitu pembukaan UUD 1945 dan Pasal 33 UUD 1945, dari landasan tersebut bahwa tujuan pendirian umum BUMN adalah meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Namun demikian secara khusus tujuan pendirian BUMN menurut PP Nomor 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Perusahaan jawata (Perjan), Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Perseroan adalah (1) bertujuan komersial, yakni alat

9

Suryo Pratolo. 2007. Op.cit. Hal: 2.

10


(32)

pemupuk keuntungan; (2) bertujuan secara makro, yakni memberi sumbangan bagi perkembangan ekonomi atau pendapatan negara, perintis kegiatan usaha dan penunjang kebijakan pemerintah dibidang ekonomi dan pembangunan (3) bertujuan sosial politik, yakni melayani kepentingan umum dan memenuhi hajat hidup orang banyak serta membentuk golongan ekonomi lemah dan koperasi.11

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan BUMN tidak lain secara garis besar adalah sebagai penyumbang perekonomian nasional dan devisa negara yang tidak lain sebagai alat pemupuk keuntungan dan menyediakan juga memenuhi kepentingan, kebutuhan dan hajat hidup terutama golongan ekonomi lemah dan koperasi.

Pada sebuah BUMN sangat penting untuk menerapkan manajemen yang baik demi kelangsungan BUMN tersebut dalam mencapai tujuan utamanya. Istilah manajemen memiliki berbagai pengertian. Secara universal manajemen adalah penggunaan sumberdaya organisasi untuk mencapai sasaran dan kinerja yang tinggi dalam berbagai tipe organisasi, profit maupun non profit. Definisi manajemen yang dikemukakan oleh Daft (2003:4) menyatakan: “Management is the attainment of organizational goals in an effective and efficient manner through planning, organizing, leading, and controlling organizational

resources”. Pendapat tersebut kurang lebih mempunyai arti bahwa manajemen merupakan pencapaian tujuan organisasi dengan cara yang efektif dan efisien lewat perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan sumberdaya organisasi.12 Plunket dkk.(2005) mendefinisikan manajemen sebagai “One or

11 Akadun. 2007. Op.cit. Hal: 34. 12

Anastasia. 2005. Persepsi Manajemen Badan Usaha Milik Negara/Daerah Dan Badan Usaha Milik Swasta Di Jawa Timur Terhadap Management Audit Sebagai Strategi Untuk Mencegah Dan Mendeteksi Kecurangan Pada Fungsi Pembelian. Hal: 30−31. Diakses tanggal 17 Desember 2012.


(33)

more managers individually and collectively setting and achieving goals by exercising related functions (planning, organizing, staffing, leading, and controlling) and coordinating various resources (information, materials, money, and people)”. Pendapat tersebut kurang lebih mempunyai arti bahwa manajemen

merupakan satu atau lebih manajer yang secara individu maupun bersama-sama menyusun dan mencapai tujuan organisasi dengan melakukan fungsi-fungsi terkait (perencanaan, pengorgnisasian, penyusunan staf, pengarahan dan pengawasan) dan mengkoordinasi berbagai sumber daya (informasi, material, uang dan orang).13 Dapat disimpulkan bahwa manajemen merupakan penggunaan

sumber daya organisasi untuk mencapai sasaran dan kinerja yang tinggi dengan cara yang efektif dan efisien lewat perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengawasan dan mengkoordinasi berbagai sumber daya organisasi.

Manajemen mempunyai fungsi tersendiri bagi organisasi yang memakai manajemen dia dalamnya. Berikut adalah lima fungsi manajemen yang paling penting menurut Handoko (2000) yang berasal dari klasifikasi paling awal dari fungsi-fungsi manajerial menurut Henri Fayol, yaitu:

1. Planning atau perencanaan merupakan pemilihan atau penetapan tujuan-tujuan organisasi dan penentuan strategi, kebijaksanaan, proyek, program, prosedur, metode, sistem anggaran dan standar yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan.

2. Organizing atau pengorganisasian ini meliputi (a) Penentuan sumberdaya-sumberdaya dan kegiatan-kegiatan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan organisasi; (b) Perancangan dan pengembangan suatu organisasi atau


(34)

kelompok kerja yang akan dapat membawa hal-hal tersebut ke arah tujuan; (c) Penugasan tanggung jawab tertentu; (d) Pendelegasian wewenang yang diperlukan kepada individu-individu untuk melaksanakan tugasnya.

3. Staffing atau penyusunan personalia adalah penarikan (recruitment), latihan dan pengembangan, serta penempatan dan pemberian orientasi pada karyawan dalam lingkungan kerja yang menguntungkan dan produktif.

4. Leading atau fungsi pengarahan adalah bagaimana membuat atau mendapatkan para karyawan melakukan apa yang diinginkan dan harus mereka lakukan.

5. Controlling atau pengawasan adalah penemuan dan penerapan cara dan alat untuk menjamin bahwa rencana telah dilaksanakan sesuai dengan yang telah ditetapkan.14

Berbagai pengembangan menimbulkan beberapa pendekatan utama terhadap manajemen. sering juga disebut sebagai teori-teori manajemen atau “kelompok paham manajemen”; beberapa diantaranya telah menjadi pionir untuk bidang -bidang yang baru sekali, sedangkan beberapa lainnya merupakan modifikasi atau fusi dari konsep-konsep manajemen terdahulu. Suatu subyek sevital manajemen mencangkup masalah yang berpengaruh terhadap manusia, nilai-nilai keinginan dan teknologi sehingga menarik perhatian dan para pelaksana manajemen di berbagai bidang seperti ekonomi, pisikologi, sosiologi, ilmu politik dan matematika.Pengetahuan tentang pendekatan utama sangat membantu dalam studi manajemen dan dalam menetapkan pengembangan serta manfaatnya.

14


(35)

Terdapat lima pendekatan utama yakni pertama, pendekatan menurut proses atau operasional dimana manajemen dianalisa dari arah pandangan mengenai hal-hal yang perlu dilaksanakan oleh manajer supaya ia dinyatakan mampu. Kegiatan atau fungsi-fungsi dasar manajemen tersebut membentuk suatu proses yang disebut proses manajemen yang bersifat operasional dan yang menetapkan konsepsi kerangka kerja untuk studi manajemen. Pendekatan menurut proses banyak dipakai karena sangat membantu dalam pengembagan paham manajemen dan membantu memberi ciri pada manajemen untuk mudah di mengerti istilah-istilahnya. Setiap usaha dari seorang manajer untuk mempelajarinya, dapat diklarifikasi sebagai usaha untuk memahami proses dasarnya. Dapat ditemukan dari jawaban-jawaban atas pertanyaan seperti berikut ini (a) apakah tujuan dan sifat dari aktivitasnya, (b) apakah yang dijelaskan oleh struktur dan operasi kegiatannya. Para pengikut dari pendekatan tersebut menganggap manajemen sebagai suatu proses yang universal, tanpa memandang jenis atau tingkatan perusahaan yang bersangkutan; tetapi mereka juga mengakui bahwa baik lingkungan dalam dan lingkungan luar dimana proses manajemen tersebut dilaksanakan sangat berbeda di antara perusahaan dan tingkatan-tingkatannya.

Kedua mengenai pendekatan menurut tingkah laku manusianya. Pokok dari pendekatan tersebut ialah tingkah laku manusia dan manusia-manusianya. Pendekatan tersebut mambawa manajemen kepada metode dan konsep pengetahuan sosial yang relevan, terutama pisikologi dan antropologi dari dinamika pribadi individu-individu hingga hubungan-hubungannya dengan kebudayaan. Ditekankan kepada hubungan antar dan intra-pribadi dan pengeruhnya terhadap manajemen. Individu dianggap sebagai makhluk


(36)

sosiopsykologi15. Seni dari manajemen ditekankan kepada dan seluruh alam

hubungan antara manusia dilihat dari kondisi-kondisi manajemen. Ada sementara pihak yang menganggap manajer sebagai pimpinan dan memperlakukan seluruh kegiatan diarahkannya sebagai situasi-situasi mmanagerial. Pengaruh lingkungan dan motivasi terhadap tingkah laku manusia dibahas seluruhnya dalam studi ini. Berhubung tidak ada pertanyaan apakah managing termasuk pengedalian tigkah laku manusia dan interaksi dari manusia, maka sasaran-sasaran dari kelompok paham ini tidak diragukan, bahkan memberi manfaat kepada studi manajemen.

Ketiga merupakan pendekatan dari sistem sosial. Pendukung dari pendekatan ini melihat manajemen sebagai sistem sosial dan sebagai suatu sistem interrelasi16

budaya. Pendekatan tersebut berorientasi kepada ilmu sosiologi, meneliti berbagi kelompok sosial dan hubungan kultural mereka dan ada usaha-usaha untuk mengintegrasikan kelompok-kelompok tersebut terhadap sistem sosial. Suatu perusahaan dianggap sebagai suatu organisme sosial didasarkan pada seluruh permasalahan dan interaksi dari para anggotanya. Pendekatan tersebut memperhatikan kondisi rawan, arti penting dan fungsi dari “organisasi informal” yang terlihat awal eksistensinya terutama sebagai akibat dari kekuatan-kekuatan sosial. Hasil akhir dari pendekatan sistem sosial ialah untuk memperkuat pengertian sosiologis terhadap studi dan teori manajemen.

Keempat mengenai pendekatan dari sistem (system approach). Sistem merupakan bagian fokus dan lingkaran di luarnya merupakan tempat pengembangan dari pengembangan tersebut. Konsepsi, teori dan prakteknya mirip dengan system

15

Psikologi sosial adalah suatu studi tentang hubungan antara manusia dan kelompok.

16


(37)

approach tersebut dan sangat membantu di dalam pengembangan ilmu-ilmu fisika. Suatu sistem dapat dilihat sebagai suatu himpunan dari dua atau beberapa komponen yang saling berhubungan dengan jelas dan jika terjadi suatu aksi terhadap komponen yang akan menimbulkan reaksi kepada komponen yang lain. Sebuah sistem merupakan interrelasi dari komponen-komponen yang mengadakan interaksi. Sistem-sistem merupakan dasar bagi sebagian besar kegiatan. Yang dianggap sebagai kegiatan, dalam kenyataan mungkin dihasilkan oleh berbagai sub-kegiatan dan selanjutnya dihasilkan oleh sub-kegiatannya. Jika kita berfikir seperti sebuah sistem, maka cara tersebut akan menyederhanakan dan menyatukan konsepsi dari berbagai macam kegiatan yang digunakan oleh seorang manajer dalam menjalankan pekerjaannya. Suatu rencana manajemen misalnya, dapat dinyatakan sebagai suatu sistem dengan manusia, uang, mesin, material, informasi dan wewenang sebagai komponen-komponennya. Kepatuhan terhadap system approach tersebut, bertujuan untuk mengembangkan suatu kerangka kerja yang sistematis untuk menguraikan hubungan di antara kegiatan-kegiatan tersebut. Dengan system approach dapat terlihat dengan jelas variabel-variabel keterbatasan dan interaksi yang kritis.

Dan yang terkahir ialah pendekatan kuantitatif. Fokusnya terletak pada penggunaan model dan proses matematis hubungan dan data yang dapat diukur. Pendekatan tersebut telah memperhatikan manfaat managerial yang besar. Manajemen dilihat sebagai unsur yang logis yang dinyatakan dan dihubungkan dengan cara kuantitatif diproses oleh suatu metode dan menghasilkan jawaban terhadap permasalahan manajerial. Pendekatan tersebut memaksa pemakainya untuk memberikan batasan-batasan yang tepat tentang tujuan, problema dan


(38)

hubungan dalam bentuk data yang dapat diukur. Selanjutnya, pengetahuan terhadap keterbatasan dan penggunaan proses-proses logis memberi kepada manajer suatu cara atau alat yang mampu untuk memecahkan problema-problema manajemen yang kompleks. Berhubungan pendekatan tersebut sangat memperhatikan proses pengambilan keputusan, maka menjadi sangat efektif jika diaplikasikan pada objek-objek fisik seperti barang-barang persediaan, jarak transportasi dan pembauran produk.17

Dari dari penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya manajemen dan BUMN memiliki arti sendiri dimana jika dapat ditarik kesimbulan manajemen BUMN merupkan satu sistem yang terdiri dari fungsi-fungsi manajemen (planning, organizing, actuating, controling) yang digunakan untuk mengelola perusahaan negara agar dapat mencapai tujuan perusahaan dengan meningkatkan pendapatan perusahaan yang akan berimplikasi bagi perusahaan negara. BUMN merupakan salah satu alat penyumbang terbesar bagi APBN, untuk itu sangat penting untuk menjadikan BUMN tersebut sehat agar menambah masukan pendapatan bagi negara. Manajemen yang baik merupakan salah satu kunci bagi BUMN untuk mengantarkannya menuju ketujuan utama yaitu membantu dalam perekonomian Indonesia, dengan demikian sangat penting bagi tiap-tiap BUMN untuk menerapkan konsep manajemen di dalamnya demi mencapai tujuan utamanya pada dasarnya menajemen BUMN merupakan suatu upaya perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan sumberdaya organisasi untuk mencapai tujuan bagi BUMN tersebut.

17


(39)

B. Good Corporate Governance (GCG) di Tubuh BUMN

BUMN sebagai salah satu pelaku utama perekonomian nasional bertujuan untuk mendukung keuangan negara dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang keberadaanya pada saat ini diatur dengan Undang Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Menurut Faisal (2002) paling tidak ada lima faktor yang melatar belakangi keberadaan BUMN, yaitu bahwa BUMN diperlukan sebagai pelopor atau perintis usaha, dimana swasta tidak tertarik untuk menggelutinya, juga sebagai pengelola bidang-bidang usaha yang strategis dan pelaksana pelayanan publik, sebagai penyeimbang kekuatan-kekuatan swasta besar dan sebagai sumber pendapatan negara.18 Mengingat pentingnya peran BUMN dalam perekonomian

semua pihak sepakat untuk dapat bangkit dari keterpurukan yang terjadi akibat krisis keuangan pada tahun 1997, dimana Indonesia harus memulai dengan GCG sebagai sebuah sistem yang mengatur manajemen dalam perusahaan, baik dari pemerintah, perusahaan pemerintah dan swasta.

Syakhroza (2000) menyatakan bahwa terdapat dua penyebab pemicu munculnya isu corporate governance muncul. Pertama, perubahan lingkungan yang sangat cepat yang berdampak pada perubahan peta kompetisi pasar global. Kedua, semakin banyak dan kompleksnya pihak-pihak yang berkepentingan dengan perusahaan, termaksud kompleksnya pola ownership structures (struktur kepemilikan), sehingga berimplikasi terhadap manajemen stakeholder.19 Sejak krisis ekonomi tahun 1997 pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik, atau lebih dikenal dengan Good Corporate Governance (GCG) menjadi isu yang

18

Suryo Pratolo. 2007. Good Corporate Governance dan Kinerja BUMN di Indonesia. Hal: 2. Diakses tanggal 18 November 2012.

19


(40)

mengemuka di Indonesia. Kondisi dan kinerja perusahaan Indonesia dalam menghadapi hiperkompetisi atau kompetisi yang tinggi di era globalisasi memacu beberapa pihak untuk mendorong penggunaan GCG dalam pengelolaan perusahaan termasuk BUMN. Wahyudin (2008) dalam bukunya menjelaskan bahwa, dalam rangka menyehatkan dan mengamankan aset pengelolaan BUMN, penerapan GCG merupakan alternatif penting yang diharapkan mampu mengatasi berbagai masalah inkonsistensi atau ketidaktaatasasannya akibat benturan kepentingan atara pihak yang terkait. Sebagaimana yang dipahami secara luas. GCG adalah suatu sistem, proses, dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholder), oleh karena itu sangat logis bila diperlukan sebuah aturan dan ketentuan-ketentuan dalam rangka mendorong penerapan GCG di BUMN.20

Terdapat beberapa pendapat mengenai GCG. Salah satunya dikemukakan oleh organisasi internasional yaitu Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 2003, bahwa tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) merupakan struktur yang oleh stakeholder, pemegang saham, komisaris dan manager menyusun tujuan perusahaan dan sarana untuk mencapai tujuan tersebut dan mengawasi kinerja.21 Bank Dunia (World Bank) mendefinisikan good corporate governance (GCG) sebagai kumpulan hukum, peraturan, dan kaidah yang wajib dipenuhi, yang dapat mendorong kinerja sumber-sumber perusahaan untuk berfungsi secara efisien guna menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham

20 Zarkasyi, Moh. Wahyudin. 2008. Op.cit. Hal: 6−7. 21 Ibid. Hal 35.


(41)

maupun masyarakat sekitar secara keseluruhan.22 Pada pasal 1 Peraturan Menteri

BUMN Nomor PER-01/MBU/2011 Tahun 2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara menyatakan bahwa Tata Kelola Perusahaan yang Baik, yang selanjutnya disebut GCG adalah prinsip-prinsip yang mendasari suatu proses dan mekanisme pengelolaan perusahaan berlandaskan peraturan perundang-undangan dan etika perusahaan.23

Menurut para ahli, yang pertama menurut Turnbull Report di Inggris dalam Effendi (2009) yang dikutip oleh Tsuguoki Fujinuma, corporate governance

didefinisikan sebagai suatu sistem pengendalian internal perusahaan yang memiliki tujuan utama mengelola resiko yang signifikan guna memenuhi tujuan bisnisnya melalui pengamanan aset perusahaan dan meningkatkan nilai investasi pemegang saham dalam jangka panjang.24 Moeljono (2005) mengatakan, “GCG merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder”. Terdapat dua

hal yang ditekankan di dalam konsep ini, pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar (akurat) dan tepat pada waktunya, dan kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu dan transparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan dan stakeholder.25

22

Effandi, Arief. 2009. The Power of Good Corporate Governance: Teori dan Implementasi.

Jakarta:Salemba. Hal: 1-2.

23

Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-01/MBU/2011 Tahun 2011 tentang penerapan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) pada badan usaha milik negara.

24

Effandi, 2009. Op.cit. Hal: 1

25


(42)

Terakhir dikutip dari jurnal asing Corporate governance is, “the framework of

rules, relationships, systems and processes within and by which authority is

exercised and controlled in corporations.” It encompasses the mechanisms by

which companies, and those in control, are held to account. Dimana dijelaskan bahwa Tata kelola perusahaan adalah, "kerangka aturan, hubungan, sistem dan proses dalam dan oleh otoritas yang dilaksanakan dan dikendalikan dalam perusahaan." Ini meliputi mekanisme yang perusahaan, dan mereka memegang kendali, yang dimintai pertanggungjawaban. Tata kelola perusahaan mempengaruhi bagaimana tujuan perusahaan ditetapkan dan dicapai, bagaimana resiko dipantau dan dinilai, dan bagaimana kinerja dioptimalkan. Baik struktur tata kelola perusahaan mendorong perusahaan untuk menciptakan nilai (melalui wirausaha, pengembangan inovasi, dan eksplorasi) dan menyediakan sistem akuntabilitas dan kontrol sebanding dengan risiko yang terlibat.26 Dapat

disimpulkan berdasarkan beberapa pengertian tersebut, GCG secara singkat dapat diartikan sebagai seperangkat sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah (value added) bagi para pemangku kepentingan.

Terdapat prinsip-prinsip yang merupakan dasar dari suatu GCG. Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) telah mengembangkan The OECD Principles of Corporate Governance pada bulan April 1998. Prinsip-prinsip corporate governance yang telah dikembangkan oleh OECD tersebut mencangkup lima hal berikut: (1) Perlindungan terhadap pemegang saham (the

26

ASX Corporate Governance Council: Exposure Draft of Change. 2006. “Principles of Good

Corporate Governance and Good Practice Recommendation”. Hal: 4. Diakses tanggal 12 November 2012.


(43)

rights of stakeholders). Kerangka yang dibangun dalam corporate governance

harus mampu melindungi hak-hak para pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas. (2) Perlakuan yang setara terhadap seluruh pemegang saham (the equitable treatment of shareholders). Kerangka yang dibangun dalam

coporate governance haruslah menjamin prilaku yang setara terhadap seluruh pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas dan asing. (3) Peran pemangku kepentingan berkaitan dengan perusahaan (the role of stakeholders).

Kerangka yang dibangun dalam corporate governance harus memberikan pengakuan terhadap hak-hak pemangku kepentingan, sebagaimana ditentukan oleh undang-undang dan mendorong kerjasama yang aktif antara perusahaan dengan pemangku kepentingan dalam rangka menciptakan lapangan kerja, kesejahteraan, serta kesinambungan usaha. (4) Pengungkapan dan transparansi (disclosura and transparency). Kerangka yang dibangun dalam corporate governance harus menjamin adanya pengungkapan yang tepat waktu dan akurat untuk setiap permasalahan berkaitan dengan perusahaan. (5) Tanggung jawab dewan komisaris atau direksi (the responsibilities of the board). Kerangka yang dibangun dalam corporate governance harus menjamin adanya pedoman strategis perusahaan, pengawasan yang efektif terhadap manajemen oleh pihak komisaris, dan pertanggung jawaban dewan komisaris terhadap perusahaan dan pemegang saham.27

Prinsip-prinsip GCG lain dijelaskankan dalam pasal 3 Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan GCG Pada BUMN, yaitu Transparansi (transparancy), merupakan keterbukaan dalam melaksanakan proses

27


(44)

pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai perusahaan; Akuntabilitas (accountability), merupakan kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggung jawaban organ sehingga pengelola perusahaan terlaksana secara efektif; Pertanggungjawaban (responsibility), merupakan kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat; Kemandirian (independence), merupakan keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undang dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat; Kewajaran (fairness), merupakan keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak pemangku kepentingan yang timbul sebagai akibat dari perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.28

Sama seperti prinsip GCG pada Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan GCG Pada BUMN Wahyudin (2008) dalam bukunya menjelaskan bahwa terdapat lima prinsip dasar GCG, yaitu :

1) Transparasi (Transparaency), berarti bahwa untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh

stakeholder (pemangku kepentingan). Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang diisyaratkan oleh peraturan perundangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.

28

Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-01/MBU/2011 Tahun 2011 tentang Penerapan Praktek


(45)

2) Akuntabilitas (accountability), berarti bahwa dimana perusahaan harus dapat mempertanggung jawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan. 3) Responsibilitas (responsibility), berarti bahwa dimana perusahaan harus

mematuhi peraturan perundangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen29.

4) Independensi (independency), berarti bahwa untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan tersebut harus dikelola secara independen sehingga massing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi dengan pihak lain.

5) Kesetaraan dan Kewajaran (fairness), berarti bahwa dimana dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kesetaraan dan kewajaran.

Berbeda dari prinsip-prinsip yang terdapat di Indonesia dalam jurnal asing mengenai Principles of Good Corporate Governance and Good Practice Recommendation yang dikemukakan oleh ASX Corporate Governance Council

bahwa Fundamental untuk setiap struktur tata kelola perusahaan adalah (1)

29


(46)

Membangun peran eksekutif senior dan dewan; (2) Membangun dengan saldo keterampilan, pengalaman dan kemandirian di papan sesuai dengan sifat dan tingkat operasi perusahaan; (3) Kebutuhan dasar bagi integritas di antara mereka yang dapat mempengaruhi strategi perusahaan dan kinerja keuangan, bersama dengan bertanggung jawab dan etika pengambilan keputusan yang memperhitungkan tidak hanya kewajiban hukum tetapi juga kepentingan

stakeholders; (4) Memenuhi kebutuhan informasi dari suatu komunitas investasi modern juga penting dalam hal akuntabilitas dan menarik modal. Menyajikan posisi perusahaan keuangan dan non-keuangan memerlukan proses yang melindungi, baik internal maupun eksternal, integritas pelaporan perusahaan; (5) Memberikan gambaran yang tepat waktu dan seimbang dari semua hal yang material; (6) Hak-hak pemilik perusahaan, yaitu pemegang saham, harus jelas diakui dan ditegakkan; (7) Setiap keputusan bisnis memiliki unsur ketidakpastian dan membawa risiko yang bisa dikelola melalui pengawasan yang efektif dan pengendalian internal; (8) Penghargaan juga diperlukan untuk menarik keterampilan yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang diharapkan oleh pemegang saham.30

Wahyudi (2008) dalam bukunya menjelaskan bahwa terdapat pedoman pokok bagi tiap-tiap prinsip dalam pelaksanaannya. Pada prinsip transparansi terdapat empat pedoman pokok pelaksanaan, yaitu: (1) perusahaan harus menyediakan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh pemangku kepentingan sesuai dengan haknya; (2) informasi yang harus diungkapkan meliputi tetapi tidak terbatas pada visi, misi,

30

ASX Corporate Governance Council: Exposure Draft of Change. 2006. “Principles of Good


(47)

sasaran usaha dan strategi perusahaan, kondisi keuangan, susunan dan kompensasi pengurus, pemegang saham dan pengendali, kepemilikan saham oleh anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris beserta anggota keluarganya dalam perusahaan dan perusahaan lainnya yang memiliki benturan kepentingan, sistem manajemen risiko, sistem pengawasan dan pengendalian internal, sistem pelaksanaan GCG serta tingkat kepatuhannya, dan kejadian penting yang dapat mempengaruhi kondisi perusahaan; (3) prinsip keterbukaan yang dianut oleh perusahaan tidak mengurangi kewajiban untuk memenuhi ketentuan kerahasiaan perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan rahasia jabatan, dan hak-hak pribadi; (4) kebijakan perusahaan harus tertulis dan secara proporsional dikomunikasikan kepada pemangku kepentingan.

Dalam prinsip akuntabilitas terdapat lima pedoman pokok pelaksanaan, yaitu: (1) perusahaan harus menetapkan rincian tugas dan tanggung jawab masing-masing organ perusahaan dan semua karyawan secara jelas dan selaras dengan visi, misi, sasaran usaha dan strategi perusahaanl; (2) perusahaan harus meyakini bahwa semua organ perusahaan dan semua karyawan mempunyai kompetensi sesuai dengan tugas, tanggung jawab dan perannya terhadap GCG; (3) perusahaan harus memastikan adanya sistem pengendalian internal yang efektif dalam pengelolaan perusahaan; (4) perusahaan harus memiliki ukuran kinerja untuk semua jajaran perusahaan yang konsisten dengan nilai-nilai perusahaan, sasaran utama dan strategi perusahaan, serta memiliki sistem penghargaan dan sanksi (reward and punishment system); (5) dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, setiap organ perusahaan dan karyawan harus berpegang pada etika bisnis dan pedoman prilaku (code of conduct) yang telah disepakati.


(48)

Dalam prinsip responsibilitas terdapat dua pedoman pokok pelaksanaan, yaitu: (1) organ perusahaan harus berpegang pada prinsip kehati-hatian dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, anggaran dasar dan peraturan perusahaan (by laws); (2) perusahaan harus melaksanakan tanggung jawab sosial dengan antara lain peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama disekitar perusahaan dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan yang memadai. Dalam prinsip kemandirian terdapat dua pedoman pokok pelaksanaan, pertama ialah, masing-masing organ perusahaan harus menghindari terjadinya dominasi oleh pihak manapun, tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu, bebas dari benturan kepentingan dan dari segala pengaruh atau tekanan, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara obyektif; Kedua, masing-masing organ perusahaan harus melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan, tidak saling mendominasi dan atau melempar tanggung jawab antar satu dengan yang lain sehingga terwujud sistem pengendalian internal yang efektif.

Pada prinsip yang terakhir yaitu kesetaraan dan kewajaran terdapat tiga pedoman pokok perusahaan dalam prinsip yaitu, (1) perusahaan harus memberikan kesempatan pada pemangku kepentingan untuk memberikan masukan dan menyampaikan pendapat bagi kepentingan perusahaan serta membuka akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip transparansi dalam lingkungan kedudukan masing-masing; (2) perusahaan harus memberikan perlakuaan yang setara dan wajar terhadap pemangku kepentingan sesuai dengan manfaat dan kontribusi yang diberikan kepada perusahaan; (3) perusahaan harus memberikan kesempatan yang sama dalam penerimaan karyawan, berkarir dan melaksanakan


(49)

tugasnya secara profesional tanpa membedakan suku, agama, ras, gender dan kondisi fisik. Masing-masing perusahaan dalam menerapkan GCG dapat menerapkan acuan penerapan GCG tersebut agar penerapan GCG di dalam perusahaan dapat berjalan dengan baik sesuai dengan prinsip dasar GCG.

Perusahaan-perusahaan di Indonesia tergolong belum cukup mampu melaksanakan corporate governance dengan sungguh-sungguh sehingga perusahaan mampu mewujudkan prinsip-prinsip good corporate governance

dengan baik. Hal ini disebabkan oleh adanya sejumlah kendala yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan tersebut pada saat perusahaan berupaya melaksanakan

corporate governance demi terwujudnya prinsip-prinsip good corporate governance dengan baik. Djamitko (2004) menyatakan bahwa kendala dapat dikelompokkan tiga, yaitu kendala internal, kendala eksternal, dan kendala yang berasal dari struktur kepemilikan. Kendala internal meliputi kurangnya komitmen dari pimpinan dan karyawan perusahaan, rendahnya tingkat pemahaman dari pimpinan dan karyawan perusahaan tentang prinsip-prinsip good corporate governance, kurangnya panutan atau teladan yang diberikan oleh pimpinan, belum adanya budaya perusahaan yang mendukung terwujudnya prinsip-prinsip good corporate governance, serta belum efektifnya sistem pengendalian internal. Kendala eksternal dalam pelaksanaan corporate governance terkait dengan perangkat hukum, aturan dan penegakan hukum (law-enforcement). Indonesia tidak kekurangan produk hukum. Secara implicit ketentuan-ketentuan mengenai GCG telah ada tersebar dalam UUPT, Undang-undang dan Peraturan Perbankan, Undang-undang Pasar Modal dan lain-lain. Namun penegakannya oleh pemegang otoritas, seperti Bank Indonesia, Bapepam, BPPN, Kementerian Keuangan,


(50)

BUMN, bahkan pengadilan sangat lemah. Oleh karena itu diperlukan test-case atau kasus preseden untuk membiasakan proses, baik yang yudisial maupun quasi-yudisial dalam menyelesaikan praktik-praktik pelanggaran hukum perusahaan atau GCG.

Baik kendala internal maupun kendala eksternal sama-sama penting bagi perusahaan, namun demikian, jika kendala internal bisa dipecahkan maka kendala eksternal akan lebih mudah diatasi. Kendala yang ketiga adalah kendala yang berasal dari struktur kepemilikan. Berdasarkan persentasi kepemilikan dalam saham, kepemilikan terhadap perusahaan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kepemilikan yang terkonsentrasi dan kepemilikan yang menyebar. Kepemilikan yang terkonsentrasi terjadi pada saat suatu perusahaan dimiliki secara dominan oleh seseorang atau sekelompok orang saja (40,00% atau lebih). Kepemilikan yang menyebar terjadi pada saat suatu perusahaan dimiliki oleh pemegang saham yang banyak dengan jumlah saham yang kecil (satu pemegang saham hanya memiliki saham sebesar 5% atau kurang).31

Keberhasilan penerapan good corporate governance juga memiliki prasyarat tersendiri. Terdapat dua faktor yang memegang peranan, antara lain:

1. Faktor Eksternal. Yang dimaksud faktor eksternal adalah beberapa faktor yang berasal dari luar perusahaan yang sangat mempengaruhi keberhasilan penerapan good corporate governance, diantaranya:

a. Terdapatnya sistem hukum yang baik sehingga mampu menjamin berlakunya supremasi hukum yang konsisten dan efektif.

31

http://faith1991.blogspot.com/2013/06/latar-belakang-corporate-governance-dan.html, diakses tanggal 15 September 2013.


(51)

b. Dukungan pelaksanaan good corporate governance dari sektor publik/lembaga pemerintahan yang diharapkan dapat pula melaksanakan

good governance dan clean governance yang sebenarnya.

c. Terdapatnya contoh pelaksanaan good corporate governance yang tepat

(best practices) dapat menjadi standar pelaksanaan good corporate governance yang efektif dan professional. Dengan kata lain semacam

brenchmark (acuan)

d. Terbangunnya sistem tata nilai sosial yang mendukung penerapan good corporate governance di masyarakat. Ini penting karena melalui sistem ini diharapkan timbul partisipasi aktif berbagai kalangan masyarakat untuk mendukung aplikasi serta sosialisasi good corporate governance

secara sukarela.

e. Hal lain yang tidak kalah pentingnya sebagai prasyarat keberhasilan implementasi good corporate governance terutama di Indonesia adalah adanya semangat anti korupsi yang berkembang di lingkungan publik dimana perusahaan beroperasi disertai perbaikan masalah kualitas pendidikan dan perluasan peluang kerja. Bahkan dapat dikatakan bahwa perbaikan lingkungan publik sangat mempengaruhi kualitas dan rating perusahaan dalam implementasi good corporate governance.

2. Faktor Internal. Maksud faktor internal adalah pendorong keberhasilan pelaksanan praktek good corporate governance yang berasal dari dalam perusahaan. Beberapa faktor yang dimaksud antara lain: (a) Terdapatnya budaya perusahaan (corporate culture) yang mendukung penerapan good corporate governance dalam mekanisme serta sistem kerja manajemen di


(52)

perusahaan; (b) Berbagai peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan perusahaan mengacu pada penerapan nilai-nilai good corporate governance; (c) Manajemen pengendalian risiko perusahaan juga didasarkan pada kaidah-kaidah standar good corporate governance; (d) Terdapatnya sistem audit (pemeriksaan) yang efektif dalam perusahaan untuk menghindari setiap penyimpangan yang mungkin akan terjadi.32

Sedangkan Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (2009), keberhasilan pelaksanaan GCG pada perusahaan ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) Komitmen dari organ perusahaan yang dilandasi oleh itikad baik untuk menerapkan GCG secara sistematis, konsisten dan berkelanjutan; (2) Penciptaan sistem pelaksanaan GCG di semua lapisan serta melakukan deseminasi dan sosialisasi secara sistematis, konsisten dan berkelanjutan dengan mengikutsertakan semua pihak yang ada dalam perusahaan dan pemangku kepentingan lainnya; (3) Penyesuaian peraturan dan kebijakan perusahaan dengan sistem pelaksanaan GCG; (4) Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab seluruh jajaran perusahaan yang mengacu pada pedoman perilaku (code of conduct); (5) Dukungan dari pihak stakeholders; (6) Evaluasi pelaksanaan GCG yang dilakukan berkala oleh perusahaan sendiri maupun dengan menunjuk pihak lain yang kompeten dan independen.33

Dapat disimpulkan dari ketiga pendapat di atas baik dari kendala saat penerapan GCG saat pelaksanaan, juga syarat keberhasilan penerapan GCG. Maka pelaksanaan GCG dapat berhasil jika telah melaksanakan, menerapkan juga

32

Arbaina, Endang Siti. Penerapan Good Corporate Governance Pada Perbankan Indonesia. http://id.scribd.com/doc/118556068/Untitled#download, diakses tanggal 15 September 2013.

33


(53)

memperoleh faktor-faktor baik internal maupun eksternal, sebagai berikut: (1) komitmen dari masing-masing organ perusahaan terhadap prinsip GCG; (2) sistem hukum yang baik, terkait perangkat, aturan dan penegakan hukum berkaitan dengan GCG; (3) adanya budaya perusahaan yang mendukung; (4) terkait sistem perusahaan, baik dalam segi pengendalian, pelaksanaan, maupun audit (pemeriksaan); (5) peraturan dan kebijakan perusahaan yang mendukung; (6) dukungan dari stakeholder, dimana terbangunnya sistem tata nilai yang mendukung penerapan GCG di masyarakat; (7) contoh dari penerapan GCG yang sudah terbukti berhasil sehingga meningkatkan pemahaman karyawan terhadap perlakasanaan tiap-tiap prinsip GCG; (8) dukungan dari sektor publik; (9) semangat anti korupsi dari luar maupun dalam perusahaan; (10) terdapatnya manajemen pengendalian risiko; (11) adanya evaluasi pelaksanaan. Jika perusahaan mampu menerapkan kesebelas dari faktor tersebut, maka pelaksanaan GCG dinyatakan berhasil.

C. Menilai Kinerja Keuangan BUMN

Latar belakang berdirinya BUMN yaitu berdasarkan pembukaan UUD 1945 dan Pasal 33 UUD 1945. Berdasarkan landasan tersebut, tujuan pendirian umum BUMN adalah meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Latar belakang berdirinya BUMN tersebut dapat terlaksana dengan adanya kinerja keuangan yang baik dari dalam tubuh BUMN itu sendiri. Untuk dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sesuai dengan tujuan awal didirikannya BUMN, maka suatu BUMN dinyatakan berhasil jika sudah dapat meningkatkan kemakmuran rakyat dengan cara meningkatkan kinerja perusahaan.


(54)

Berry dan Houston (1993) menjelaskan bahwa kinerja merupakan kombinasi antara kemampuan dan usaha untuk menghasilkan sesuatu dari apa yang dikerjakan. Agar menghasilkan kinerja yang baik, seseorang harus memiliki kemampuan, mempunyai kemauan, usaha, serta kegiatan yang dilaksanakan, agar tidak mengalami hambatan yang berat dalam lingkungannya. Kemauan dan usaha dapat menghasilkan motivasi sehingga menimbulkan sebuah kegiatan.34

Sedangkan definisi kinerja menurut Mc Cloy dkk (1994) adalah kelakuan atau kegiatan yang berhubungan dengan tujuan organisasi. Organisasi tersebut merupakan keputusan dari pimpinan. Dikatakan bahwa kinerja bukan outcome,

konsekuensi atau hasil dari perilaku atau perbuatan. Disisi lain kinerja adalah perbuatan atau aksi itu sendiri. Kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya mencapai tujuan organisasi. (Prawirosentono, 1999). Terdapat hubungan erat antara kinerja perorangan dengan kinerja organisasi, dengan kata lain bila kinerja karyawan baik maka kemungkinan besar kinerja organisasi baik.35 Sedangkan Handoko (1995)

mengistilahkan kinerja (performance) dengan prestasi kinerja yaitu proses melalui mana organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan. Selanjutnya As’ad (2000) menyatakan penampilan kinerja (job performance) sebagai hasil kerja adalah menyangkut yang dihasilkan seseorang dari perilaku kerjanya. Tingkat sejauh mana seseorang berhasil menyelesaikan tugasnya disebut tingkat

34

Iswari, Ratih. 2011. Penilaian Kinerja Aspek Finansial dan Non-Finansial Perusahaan Daerah Pasar Kota Denpasar. Hal: 35-36. Diakses tanggal 22 mei 2013.

35


(55)

prestasi (level of performance).36 Dengan demikian kinerja merupakan kombinasi antara kemampuan dan usaha dari hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi yang berhubungan dengan pencapaian tujuan dari organisasi tersebut.

Terdapat beberapa golongan kinerja, salah satunya merupakan kinerja keuangan. Kinerja keuangan suatu perusahaan dapat diartikan sebagai prospek atau masa depan, pertumbuhan,dan potensi perkembangan yang baik bagi perusahaan. Informasi kinerja keuangan diperlukan untuk menilai perubahan potensial sumber daya ekonomi, yang mungkin dikendalikan di masa depan dan untuk memprediksi kapasitas produksi dari sumber daya yang ada (Barlian, 2003). Pimpinan perusahaan atau manajemen sangat berkepentingan terhadap laporan keuangan yang telah di analisis, karena hasil tersebut dapat dijadikan sebagai alat dalam pengambilan keputusan lebih lanjut untuk masa yang akan datang.37

Kinerja Keuangan dapat dinilai dengan beberapa alat analisis. Menurut Jumingan (2006), berdasarkan tekniknya analisis keuangan dapat dibedakan menjadi 8 macam, yaitu: (a) Analisis perbandingan Laporan Keuangan, merupakan teknik analisis dengan cara membandingkan laporan keuangan dua periode atau lebih dengan menunjukkan perubahan, baik dalam jumlah (absolut) maupun dalam persentase (relatif). (b) Analisis Tren (tendensi posisi), merupakan teknik analisis untuk mengetahui tendensi keadaan keuangan apakah menunjukkan kenaikan atau penurunan. (c) Analisis Persentase per Komponen (common size), merupakan

36

Ibid. Hal: 36.

37

Meta, Anisa. 2009. Analisa Manajemen Laba dan Kinerja Keuangan Perusahaan Pengakuisi Sebelun dan Sesudah Mengerjakan dan Akuisi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Hal: 10. Diakses tanggal 22 mei 2013.


(56)

teknik analisis untuk mengetahui persentase investasi pada masing-masing aktiva terhadap keseluruhan atau total aktiva maupun utang. (d) Analisis Sumber dan Penggunaan Modal Kerja, merupakan teknik analisis untuk mengetahui besarnya sumber dan penggunaan modal kerja melalui dua periode waktu yang dibandingkan. (e) Analisis Sumber dan Penggunaan Kas, merupakan teknik analisis untuk mengetahui kondisi kas disertai sebab terjadinya perubahan kas pada suatu periode waktu tertentu. (f) Analisis Rasio Keuangan, merupakan teknik analisis keuangan untuk mengetahui hubungan di antara pos tertentu dalam neraca maupun laporan laba rugi baik secara individu maupun secara simultan. (g) Analisis Perubahan Laba Kotor, merupakan teknik analisis untuk mengetahui posisi laba dan sebab-sebab terjadinya perubahan laba. (h) Analisis Break Even, merupakan teknik analisis untuk mengetahui tingkat penjualan yang harus dicapai agar perusahaan tidak mengalami kerugian.38

38

Agung, Gunawan. 2012. Analisis Rasio Keuangan Untuk Menilai Kinerja Keuangan PT. Fajar Surya Wisesa Tbk. Periode Tahun 2009, 2010 dan 2011. http://eprints.uny.ac.id/7632/, diakses tanggal 22 Juli, 2013.


(57)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Tipe Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memahami fenomena yang terjadi di dalam tubuh BUMN yaitu PT. PLN (Persero) dengan mendeskripsikan dan menganalisis penerapan GCG dan kinerja keuangan pasca penerapan GCG pada PT. PLN (Persero) dalam konteks nasional dengan berlandaskan teori terkait, sehingga penelitian ini tergolong pada metode penelitian kualitatif deduktif dengan tipe penelitian deskriptif dan historis. Metode penelitian deduktif itu sendiri menurut Babie (1998) menjelaskan bahwa penelitian deduktif adalah penelitian yang dimulai dengan teori-teori umum, lalu berlanjut dengan observasi untuk menguji validitas keberlakuan teori tersebut.1 Jenis penelitian ini berupaya

menggambarkan kejadian atau fenomena sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan, dimana data yang dihasilkan berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Taylor).2 Data yang

dikumpulkan tersebut berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Dengan kata lain tipe penelitian deskriptif bertujuan melakukan representasi objektif mengenai gejala yang terdapat di dalam masalah penelitian. Representasi dilakukan dengan mendeskripsikan gejala-gejala sebagai data atau fakta.

1 http://carol-sinambela.blogspot.com/2008/08/pnelitian-deduktif.html, diakses tanggal 1 Oktober 2013. 2


(1)

Company Overview PT. PLN (Persero) Tahun 2006


(2)

Company Overview PT. PLN (Persero) Tahun 2007


(3)

Company Overview PT. PLN (Persero) Tahun 2008


(4)

Company Overview PT. PLN (Persero) Tahun 2009


(5)

Company Overview PT. PLN (Persero) Tahun 2010


(6)

Company Overview PT. PLN (Persero) Tahun 2011