FALSAFAH INFAK DALAM PERSPEKTIF ALQURAN
4. Berinfak sesuai dengan kemampuan, tidak boros dan tidak kikir
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak
kepadanya. Allah kelak akan memberikan (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di
kelapangan sesudah kesulitan” (al-Thalaq [65]:7). tengah-tengah antara yang demikian.” (Q.S. al-
ِهِتَعَس ْنِم ٍةَعَس وُذ ْقِفْنُـيِل Furqân [25]: 67). (Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya).
Menurut al-Qurtuby, berinfak di luar ketaatan kepada Allah disebut فارسلاا, dan menahan infak (nafkah) dalam ketaatan kepada Allah disebut 43 al-Qurthuby, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Jilid 13, h. 73.
44 راتقلاا, sementara mengeluarkan nafkah di jalan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (
t.t: Dar al-Fikr, t. th), Cet.ke-2, Juz I, h. 129-130.
Rosmini: Falsafah Infak Dalam Perspektif Alquran
Maksudnya, pemberian seseorang hendaklah keduniaan. Ulama Ahlussunnah menanggapi disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki
rezeki adalah semua yang dapat dimanfaatkan si pemberi dan kebutuhan orang yang diberi.
oleh manusia baik itu halal maupun yang haram, “Kemampuan” yang dimaksud bukan hanya
sedangkan ulama Mu`tazilah menganggap harta berdasarkan ukuran kuantitas si pemberi, tapi
yang halal saja yang dapat digolongkan sebagai juga berdasarkan ukuran kualitas kemampuannya.
rezeki. 45 Jumhur ulama sepakat bahwa infak Dengan demikian, jumlah nominal infak yang
dalam ayat ini dimaksudkan di samping sebagai dikeluarkan oleh orang kaya dan orang miskin
nafkah wajib yang dikeluarkan oleh kepala rumah tidak mesti sama, karena kualitas kemampuannya
tangga kepada keluarganya, kaum kerabatnya, berbeda.
juga sebagai sedekah yang sifatnya sunnah karena ُهَّللا ُهاَتاَء اَِّم ْقِفْنُـيْلَـف ُهُقْزِر ِهْيَلَع َرِدُق ْنَمَو (Dan orang yang ayat ini turun sebelum kewajiban mengeluarkan disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari
zakat disyariatkan. 46
harta yang diberikan Allah kepadanya). Berdasarkan َنوُقِفْنُـي ْمُهاَنْـقَزَر اَِّمَو menunjukkan bahwa mengeluar- potongan ayat ini dipahami bahwa kewajiban dan
kan nafkah yang dianjurkan hanya menyangkut anjuran berinfak tidak hanya diperuntukkan kepada
sebagian dari harta yang dimiliki oleh seseorang, orang kaya, tetapi orang yang merasa tidak lapang
bukan keseluruhannya. Muhammad Abduh rezekinya juga dianjurkan untuk berinfak. Tentu
menjelaskan bahwa infak di jalan Allah, merupakan kadar infaknya disesuaikan dengan kemampuannya.
indikator keberimanan dan ketaqwaan kepada Karena Allah tidak ingin membebani hambaNya
Allah yang paling jelas. Karena banyak dijumpai sesuatu di luar kemampuannya termasuk di dalam
seseorang yang rajin beribadah jasadiah seperti berinfak. Allah tidak mengharuskan jumlah infak
salat dan puasa, namun ketika diminta hartanya yang dikeluarkan orang miskin sama dengan yang
untuk dipakai di jalan Allah, mereka menahan harta dikeluarkan orang kaya. Allah kemudian menutup
mereka sehingga tidak mau berinfak. Menurutnya, ayat ini dengan
اًرْسُي ٍرْسُع َدْعَـب ُهَّللا ُلَعْجَيَس, yang berarti infak yang dimaksud di sini adalah ekspresi bahwa setelah kesulitan Allah akan memberikan
keyakinan bahwa Allahlah yang memberinya kemudahan, setelah kesempitan Allah menjanjikan
rezeki, dan selanjutnya memanfaatkan rezeki kelapangan ( ةعس ةدشلا دعب نا).
itu untuk kemaslahatan umat manusia.
Tujuan Berinfak dalam Alquran
b. Menumbuhkan Solidaritas terhadap Sesama
a. Sebagai Pembuktian Ketaqwaan kepada
Manusia adalah makhluk sosial karena
Allah Swt.
merupakan kumpulan dari beberapa individu yang memiliki saling ketergantungan dan saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lain. Anjuran dan perintah berinfak dalam Alquran salah satu fungsinya untuk membantu manusia menjalankan fungsi sosialnya.
Anjuran berinfak mengisyaratkan pentingnya “Alif lam mim (1) Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada
posisi mâl/amwâl dalam kelangsungan kehidupan keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bermasyarakat. Dalam Alquran, kata mâl yang bertakwa (2), (yaitu) mereka yang beriman kepada
yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan berindikasi positif, selalu dinisbahkan kepada sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada
kelompok dan kepada Allah. Dengan kata mereka.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 3)”
lain, pemiliknya adalah kelompok. Misalnya amwâluhum (harta mereka), amwâlukum (harta
Dalam Tafsir al-Manar dijelaskan bahwa قزرلا kalian), amwâlukum (harta kami), atau mâlillah
adalah بيصنلا yakni bagian baik itu materil maupun non-materil, yang keduanya meliputi harta, anak, ilmu dan ketakwaan. Dalam konteks ayat ini, rezeki
45 Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar,
yang dimaksud adalah yang terkait dengan urusan
Juz I, h. 129-130.
46 Lihat Q.S. al-Hâqqah [69]: 28.
MADANIA Vol. 20, No. 1, Juni 2016
(harta Allah). Hal ini mengisyaratkan bahwa harta sangat jelas, yaitu yang sesuai dengan prinsip- harus ditujukan untuk kepentingan sosial orang
prinsip kebenaran, keadilan dan kepercayaan. banyak. Penggunaan al-mâl yang dinisbahkan
Harta bukanlah tujuan, tapi hanya alat untuk kepada individu hanya dijumpai sekali dalam
mencapai keadilan sosial sebagaimana yang Alquran. Ini pun dalam konteks negatif yakni
dicita-citakan oleh Islam. Harta benda sifatnya merekam ucapan seorang “pemilik” harta yang
netral. Kehendak manusia yang akan menentukan menyesali sikapnya dan kemudian dijerumuskan
apakah harta benda itu menjadi nikmat dan ke api neraka akibat sikap negatif tersebut: ma
rejeki, dan kehendak manusia jugalah yang akan aghna ‘anni mâliyah, yang artinya: tidak berguna
mengarahkan harta benda itu akan menjadi bagiku hartaku. 47 sumber azab dan kesengsaraan bagi manusia
itu sendiri. Masih terkait dengan fungsi sosial harta, 50 penggunaan kata al-mâl yang dinisbahkan kepada
c. Membentengi Diri Sendiri
pengganti nama berbentuk tunggal (mâluhu,
yang berarti hartanya), lima 48 dari enam kali
sebutan tersebut dalam Alquran menunjuk kepada kecaman, dan hanya sekali yang merupakan pujian. Pujian yang dimaksud ditujukan kepada seseorang yang memiliki harta dan menyerahkan seluruh hartanya kepada pihak lain dalam rangka
…Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan penyucian jiwanya. 49 (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu
Cukup banyak petunjuk dari kedua sumber sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu utama (Alquran dan sunnah Nabi) yang
melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa menegaskan fungsi sosial harta benda. Misalnya,
saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya secara eksplisit dapat dilihat dari ayat berikut:
kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan) (Q.S. al-Baqarah [2]: 272).
“…..dan orang-orang yang dalam hartanya Dalam ayat di atas kata وُقِفْنُـت diulang sebanyak tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin)
tiga kali, yaitu (1) menyangkut objek infak, yakni yang meminta dan orang yang tidak mempunyai
ٍْيرَخ yang oleh sebagian mufassir termasuk al- apa-apa (yang tidak mau meminta).” (Q.S.. al-
Qurtuby diartikan sebagai harta (al-mâl). Selain Ma’ârij [70]: 24-25).
itu, وُقِفْنُـت di tampilan pertama juga menjelaskan Meskipun kata atau term infak secara eksplisit
tentang manfaat perilaku berinfak yaitu kembali tidak dijumpai dalam ayat di atas, namun secara
kepada diri sendiri (orang yang melakukan infak implisit dipahami ketentuan Alquran mengenai
itu); (2) menyangkut tujuan berinfak, yaitu َءاَغِتْبا infak di dalamnya, karena orang yang memiliki
هَّللا ِهْجَو, yakni untuk memperoleh ridha Allah; dan harta mempunyai kewajiban memberikan bagian
(3) menyangkut imbalan yang akan diperoleh tertentu dari hartanya kepada orang miskin,
orang berinfak, yaitu ْمُكْيَلِإ َّفَوُـي, yakni diberi pahala baik yang meminta bagian harta yang dimaksud
yang cukup.
maupun tidak memintanya. هَّللا ِهْجَو َءاَغِتْبا merupakan syarat utama agar Dengan mengutip pendapat Abd al-Rahim
imbalan infak itu dapat dirasakan orang yang Ibn Salamah, A. Rahman Zainuddin menjelaskan
berinfak, baik di dunia maupun di akhirat. Di bahwa dalam soal keuangan dan perekonomian,
ayat lain للها تاضرم ءاغتبا (Q.S. al-Baqarah (2): 265), Islam menentukan batas-batas dan kaedah yang
diumpamakan sebagai orang yang berkebun di dataran tinggi. Keberadaan kebun di dataran tinggi menjadikan pepohonan di kebun itu
47 Lihat Q.S. al-Hâqqah (69): 28.
dapat menerima benih yang dibawa angin
Lihat Q.S. al-Baqarah [2]:264; Q.S. Nûh (71):21; Q.S. al- Laîl (92): 11; Q.S. al-Humazah (104): 30; al-Lahab (111): 2. 49 Lihat Q.S al-Laîl (92): 18.
50 A. Rahman Zainuddin, “Zakat dan Implikasinya..., h. 436.
Rosmini: Falsafah Infak Dalam Perspektif Alquran
yang mengawinkan tumbuh-tumbuhan tanpa berinfak dengan tujuan mencari rida Allah Swt., terhalangi, sebagaimana terhalanginya kebun
berinfak tanpa disertai dengan celaan dan yang berada di dataran rendah. Demikian juga,
umpatan, berinfak dengan harta sendiri, harta kebun tersebut tidak selalu tergantung kepada
yang halal dan baik, dengan harta yang disukai, hujan lebat, tetapi hujan gerimispun sudah
berinfak sesuai dengan kemampuan, tidak boros cukup baginya. Sehingga tidak heran jika kebun
dan tidak kikir.
itu menghasilkan buah dua kali lipat. Demikian Sebagai bagian dari kewajiban agama, juga seorang yang bersedekah dengan tulus,
perintah berinfak tentu disertai dengan tujuan baik yang disumbangkannya sedikit maupun
mulia sebagaimana telah dipaparkan Alquran banyak, sedekahnya selalu berbuah dengan
di beberapa tempat. Di antaranya berinfak buah yang banyak dengan pahala yang berlipat
merupakan pembuktian ketakwaan kapada Allah ganda.
Swt, menumbuhkan solidaritas terhadap sesama, Di antara buah infak yang dapat dipetik
dan untuk membentengi diri sendiri terutama dari oleh orang yang menanamnya adalah mereka
mereka yang merasa kurang beruntung secara dapat terhindar dari gangguan orang-orang yang
ekonomi dalam menjalani kehidupan dunia. merasa tidak diuntungkan oleh ketimpangan
Perintah berinfak menegaskan bahwa harta dan kesenjangan ekonomi yang terjadi dalam
kekayaan seharusnya tidak terkonsentrasi pada masyarakat. Dengan infak yang tepat sasaran
segelintir kelompok kaya. Hal ini menunjukkan memungkinkan untuk meminimalisir tingkat
betapa kepedulian Islam atas terciptanya distribusi kriminalitas yang tentu mengganggu semua
kekayaan yang adil dalam masyarakat. Dengan kelompok, termasuk kelompok ekonomi
kata lain, anjuran Alquran untuk berinfak dengan masyarakat elit. Dengan kata lain, buah infak
segala macam bentuknya (zakat, sedekah, wakaf, tidak hanya didapatkan di akhirat saja, tetapi di
dll) dimaksudkan untuk mempersempit ruang dunia ini sudah dapat dipetik hasilnya. Demikian
pemisah antara golongan yang kaya dengan yang kemungkinan dimaksud dalam potongan
golongan yang lemah.
ayat ْمُكِسُفْـنَِلَف ٍْيرَخ ْنِم اوُقِفْنُـت اَمَو. Penjelasan ini didukung Dalam kehidupan sehari-hari, aktivitas oleh ayat lain اَهَلَـف ُْتْأَسَأ ْنِإَو ْمُكِسُفْـنَِل ْمُتْنَسْحَأ ْمُتْنَسْحَأ ْنِإ (Q.S.
“memberi” dan “menerima” sesuatu ke dan al-Isrâ´[17]: 7).
dari orang lain adalah sesuatu yang lumrah dan wajar karena antara sesama manusia pasti
Penutup
saling membutuhkan. Namun, kedua aktivitas Term Infak dalam Alquran dimaksudkan
ini boleh jadi tidak memiliki nilai “plus” di sisi sebagai aktivitas mengeluarkan harta kepada
Allah jika dilakukan tidak dengan memperhatikan orang-orang (individu atau kelompok/lembaga)
aturan-aturan syari dalam pelaksanaannya. yang membutuhkan dengan tujuan semata-mata
Sehingga memberi sesuatu kepada orang lain mencari rida Allah. Infak dalam konteks ayat
boleh jadi mendapat balasannya di dunia, tapi tertentu berimplikasi hukum sunah seperti
tidak mendapatkan balasannya di akhirat. Oleh sedekah dan juga berimplikasi wajib seperti
karena itu, yang ingin berinfak seharusnya zakat. Dengan demikian, konsep infak dalam
memperhatikan syarat-syarat infak yang telah Alquran lebih umum daripada konsep sedekah
digariskan Alquran agar amalannya mendapat dan konsep zakat. Dengan kata lain, infak
balasan yang telah dijanjikan Allah Swt. Larangan meliputi keduanya.
menyebut-nyebut pemberian apalagi mengumpat Sedemikian pentingnya persoalan berinfak,
orang yang diberi sesuatu menunjukkan betapa dalam Alquran ditegaskan baik secara eksplisit
dalam berinfak diperintahkan untuk senantiasa maupun implisit keterkaitan antara keberimanan
memperhatikan aspek “etika”. Hal ini karena kepada Allah dengan solidaritas sosial yang
dengan etika hubungan sesama manusia akan dimiliki oleh seseorang. Dengan dasar ini pula,
terjalin dengan baik dan langgeng sepanjang Alquran memberi rambu-rambu berinfak sebagai
masa, sebagaimana yang dikehendaki oleh syariat syarat diterima atau ditolaknya infak. Di antaranya
Islam.
MADANIA Vol. 20, No. 1, Juni 2016
Pustaka Acuan
Nasr, Seyyed Hossein. The Heart of Islam : Enduring Abduh, Muhammad dan Rasyid Ridha, Tafsir al-
Values for Humanity, terj. Nurasiah Fakih Manar, Kairo: Dâr al-Fikr, t.th, Cet. ke-2, Juz I.
Sutan Harahap, The Heart of Islam : Pesan- Boisard, Marcel A, L’ Humanisme De Islam, terj.
Pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan, M.Rasyidi, Humanisme Dalam Islam, Jakarta:
Bandung: Mizan, 2003, Cet. ke-1. PT. Bulan Bintang, 1980, Cet. ke-1.
Nawawi al-, Sahih Muslim bi Syarhi An-Na wawi, Dahlan, Abd. Aziz (ed), Ensiklopedi Hukum Islam,
Beirut: Dârul Fikr, 1981, Juz VII. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, Cet.
Qurthuby, al-, al-Jami’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Al- ke-1, Juz. III.
Qâhirah: Dar al-Sya’b, t.th, Jilid III. Departemen Agama, Ensiklopedi Islam di Indonesia,
Rahman, Fazlur, The Mayor Themes of The Qur’ân, Jakarta: Anda Utama, 1992-1993, Jilid II.
terj. Anas Mahyuddin, Tema-Tema Pokok Alquran, Bandung: Pustaka, 1996, Cet. ke-2.
Ibn Faris, Abu al-Husain Ahmad Zakariya, Mu´jam Samarqandi, Alau al-Din al-, Tuhfat al-Fuqahâ, al-Maqayis fî al-Lughah, Beirut-Libanon: Dâr Damascus: Universitas Damaskus, 1958, jilid III.
al-Fikr, 1998, Cet. ke.2. Sabiq, Sayyid, al-, Fiqhu al-Sunnah, Beirut: Dârul Ishfahâny, al-,Raghib, al-, Mu´jam Mufradat al-Fâz
Fikr, 1992, Juz I.
al-Qur`ân, Beirut: Dar al-Ma`rifah, t. th. Shihab, Alwi, Islam Inklusif : Menuju Sikap Terbuka
Jurjani, al-, Al-Ta’rifat, Beirut: Dar al-Ma`rifah, t. th. dalam Beragama, Bandung: Mizan, 1997, Cet.
Kaelan, “Kajian Makna Alquran: Suatu Pendekatan
ke-1.
Analitika Bahasa”dalam Sahiron Syamsuddin, Shihab,M. Quraish, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dkk (ed), Hermeneutika Alquran Mazhab,
dan Keserasian Alquran, Jakarta: Lentera Hati, Yogyakarta: ISLAMIKA, 2003, Cet. ke-1.
2000, volume I, Cet. ke-1. Katsir, Ibnu, Tafsir al-Qur`ân Al Adzim, Beirut:
Usman, Muhlish, Kaidah-Kaidah Ushûliyah dan Dârul Ma´rifah, 1989, Cet. ke-3,Juz II.
Fiqhiyah, Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, Khaldun, Ibnu. The Muqaddimah : An Introduction
1996, Cet. ke-1.
to History. Franz Risenthal (terj.) New York: Yunus, Mahmud, Al-Fiqhul Wâdhih, Padang : Bollingen Foundation, 1958.
Maktabah As Sa’diyah Putra, 1936, Juz II. Ma’luf, Louis. Munjid fî al-Lughah wa al-‘A`lam.;
Zaibari, Amir Sa’id al-, Kiat Menjadi Pakar Fiqih, Beirut: Dâr al-Masyriq, 1986, Cet. ke-28
Bandung: Gema Risalah Press, 1998. Moleong, Lexy. J. Metode Penelitian Kualitatif,
Zainuddin, A. Rahman, “Zakat dan Implikasinya pada Bandung: Rosdakarya, 2001.
Pemerataan” dalam Budhy Munawar Rahman Mushtafa, Ibrahim. Mu’jam al-Washîth, Istambul-
(ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Turki: al-Maktabah al-Islamiyah, 1972, Cet.
Sejarah, Jakarta: PARAMADINA, 1994, Cet. ke-1. ke-2, Juz I.
Zallum, Abdul Qadim, Al-Amwâl fî al-Daulah al- Muthahari, Murtadha, Society and History, terj.
Khilâfah, Beirut: Dârul ´Ilmi lil Malayin, 1983, M.Hashem, Masyarakat dan Sejarah:Kritik
Cet. ke-1.
Islam atas Marxisme dan Teori Lainnya, Zamakhsyary, al-,Tafsir al-Kassyaf, Beirut-Libanon:
Bandung: Mizan, 1998, Cet. ke-6. Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995, Cet. ke-1, Jilid II. Zuhaili, Wahbah al-, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu,
Nabhani, Taqiyyudin al-, Asy Syakhshiyah Al Damaskus: Darul Fikr, 1996, Juz II. Islâmiyah, tt: Al Quds, 1953, Cet.ke-2, Juz III.
| 84