Struktur Dan Komposisi Vegetasi Seedling Dan Sapling Di Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Leuser Desa Telagah Kabupaten Langkat
STRUKTUR DAN KOMPOSISI VEGETASI SEEDLING DAN SAPLING DI KAWASAN HUTAN TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER
DESA TELAGAH KABUPATEN LANGKAT
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains
ZULFAN ARICO 060805019
Disetujui oleh : Pembimbing
NIP. 19621214 199103 2 001 Prof.Dr.Retno Widhiastuti,.MS
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2010
(2)
PERSETUJUAN
Judul : STRUKTUR DAN KOMPOSISI VEGETASI
SEEDLING DAN SAPLING DI KAWASAN HUTAN TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER DESA TELAGAH KABUPATEN LANGKAT
Kategori : SKRIPSI
Nama : ZULFAN ARICO
Nomor Induk Mahasiswa : 060805019
Program studi : SARJANA S-1 BIOLOGI
Departemen : BIOLOGI
Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Diluluskan di
Medan, Desember 2010
Komisi Pembimbing :
Pembimbing
NIP. 19621214 199103 2 001 Prof.Dr. Retno Widhiastuti,.MS
Diketahui/Disetujui Oleh
Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,
NIP. 19640409 199403 1 003 Prof.Dr. Dwi Suryanto,.Msc
(3)
PERNYATAAN
STRUKTUR DAN KOMPOSISI VEGETASI SEEDLING DAN SAPLING DI KAWASAN HUTAN TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER
DESA TELAGAH KABUPATEN LANGKAT
SKRIPSI
Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan
sumbernya.
Medan, Desember 2010
Zulfan Arico 060805019
(4)
PENGHARGAAN
Puji dan syukur penulis sampaikan ke hadirat Allah S.W.T. Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas rahmat dan ridha-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “ Struktur dan Komposisi Vegetasi Seedling dan Sapling di Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Leuser Desa Telagah Kabupaten Langkat”. Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada baginda Rasul, Nabi Muhammad S.A.W. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Prof. Dr.Retno Widhiastuti,. MS dan Ibu Etti Sartina Siregar S.Si, M.Si selaku dosen pembimbing I dan II yang telah banyak memberikan bimbingan, motivasi, arahan, serta dukungannya hingga selesainya skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Riyanto Sinaga, S.Si, M.Si dan Ibu Mayang Sari Yeanny, S.Si, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.
Kepada Ibu Dr. Suci Rahayu, S.Si., M.Si. selaku dosen penasehat akademik. Bapak Prof. Dr. Dwi Suryanto M.Sc selaku ketua Departemen Biologi, Ibu Nunuk Priyani M.Sc selaku sekretaris Departemen Biologi. Bapak dan Ibu staf pengajar Departemen Biologi FMIPA USU. Ibu Roslina Ginting dan Bang Erwin selaku pegawai Departemen Biologi, serta Ibu Nurhasni Muluk selaku analis dan laboran di laboratorium Departemen Biologi yang telah memberikan bantuan kepada penulis. Kepada Bapak T. Alief Aththorick, S.Si, M.Si yang selama ini telah menjadi figur Bapak bagi penulis dan seluruh anak-anak beliau di Biologi, khususnya di Bidang Ekologi Tumbuhan, terima kasih atas segala bantuan beliau kepada penulis.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta (Suhardi dan Juningsih), kakanda Fazri Hamdillah, adinda Ilham, sahabat hatiku (Sri Jayanthi) yang telah sabar menemani penulis dan seluruh keluarga yang telah memberikan doa, perhatian, dukungan serta cinta dan kasih sayangnya kepada penulis.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan untuk Pak Iwan dan keluarga, pak Marbun, Bang berlin yang telah meluangkan waktunya untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dan teman-teman Bengkel Fotografi Sains (Ami, Nikmah, Jane, Rivo, Liya, Reni, Ncay, Affan, Maika, Irma, Resti, Dwi, Laura, Eka, Dini dan yang lain-lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Teman seperjuangan, Diah, indah, santi, Eva, Teti, Leni, Andri, Sutrisno, Dwi, Hilda, Sari, Adi, Tari, Dian, Ica, Zulfa, Frida, Lena, Jean, Helen, Desmina dan seluruh stambuk 2006 terima kasih untuk doa dan dukungannya. Kakak-kakak stambuk 2005, teman-teman Biologi Futsal Club ( Bang Rahmad, Bang Mahya, Bang Yopi, Bang David, Umri, Zuki, Kasbi, Rudi, Juju, Gilang, Surya) dan seluruh mahasiswa Biologi USU penulis ucapkan terima kasih atas semua bantuan dan dukungan dan semua pihak yang telah terlibat yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Demikianlah skripsi ini penulis sampaikan semoga bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Amin Ya Robbal ‘Alamin.
(5)
“ Struktur dan Komposisi Vegetasi Seedling dan Sapling di Kawasan
Hutan Taman Nasional Gunung Leuser Desa Telagah Kabupaten
Langkat”
ABSTRAK
Penelitian mengenai “Sruktur dan Komposisi Vegetasi Sapling dan Seedling di Kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser Desa Telagah Kabupaten Langkat” telah dilaksanakan pada bulan Mei – Agustus 2010. Lokasi penelitian ditentukan secara Purposive Sampling. Dari hasil penelitian diperoleh INP seedling sebesar 9.765 % untuk jenis Nauclea sp dari famili Rubiaceae. Untuk INP sapling sebesar 10.141 % untuk jenis Arthocarpus castaeicarpus THWALTES dari famili Moraceae . Pada Struktur vegetasi seedling secara vertikal oleh stratum E dengan jumlah 300 ind/0.3 Ha. Untuk vegetasi sapling secara vertikal oleh stratum C dengan jumlah 233 ind/0.6 Ha dan stratum D dengan jumlah 73 ind/0.6 Ha. Komposisi jenis seedling ditemukan 73 jenis yang termasuk kedalam 17 famili. Komposisi jenis sapling ditemukan 113 jenis yang termasuk kedalam 23 famili. Indeks keanekaragaman (H’) untuk seedling sebesar 4,242, sedangkan Indeks Keseragaman (E) menunjukan nilai 0.989. Indeks Keanekaragaman (H’) untuk sapling sebesar 4.606, untuk Indeks Keseragaman (E) menunjukan nilai 0.975.
(6)
"Structure and Composition of Seedling and Sapling Vegetation in Forest Area Gunung Leuser National Park Village Telagah Langkat"
ABSTRACT
Research on "Vegetation Structure and Composition of Sapling and Seedling in Forest area of the Gunung Leuser National Park Village Telagah Langkat" was held in May-August 2010. The research location is determined by purposive sampling. The results were obtained INP seedling of 9765% for this type of Rubiaceae is a
Nauclea sp. For INP Sapling at 10 141% for this type of family Moraceae is a Arthocarpus castaeicarpus THWALTES. On the vegetation structure by vertically
seedling stratum E with number 300 ind/0.3 Ha. For vertically Sapling vegetation stratum by C with the number 233 and ind/0.6 Ha stratum D with the number 73 ind/0.6 Ha. Seedling species composition was found 73 species belonging to 17 families. Sapling species composition found 113 species belonging to 23 families. The diversity index (H ') for the seedling of 4.242, while the uniformity index (E) show the value of 0989. Diversity Index (H ') for the Sapling of 4606, while the uniformity index (E) show the value of 0975.
Keyword: Structure, Composition, Seedling, Sapling, Leuser.
(7)
Halaman PERSETUJUAN
PERNYATAAN
ii iii
PENGHARGAAN iv
ABSTRAK v
ABSTRACT vi
DAFTAR ISI vii
DAFTAR TABEL viii
DAFTAR GAMBAR ix
DAFTAR LAMPIRAN x
I. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang
1.2 Permasalahan
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Manfaat
1 3 3 3 II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan
2.2 Hutan Pegunungan 2.3 Pengaruh Iklim
2.4 Analisis vegetasi 2.5 Seedling
2.6 Sapling
2.7 Struktur dan Komposisi Hutan
4 4 5 5 7 7 8 9 III. BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Deskripsi Area
3.2.1 Letak dan Luas
3.2.2 Topografi 3.2.3 Curah Hujan
3.2.4 Tipe Iklim
3.2.5 Vegetasi 3.3 Metode penelitian
3.4 Pelaksanaan Penelitian 3.4.1 Di Lapangan
3.4.2 Di Laboratorium 3.5 Analisis Data
3.5.1 Struktur Vegetasi Seedling dan Sapling 3.5.2 Komposisi Vegetasi Seedling dan Sapling 3.5.3 Indeks Keanekaragaman dan Keseragaman
12 12 12 12 13 13 13 13 14 14 14 15 15 15 17 17 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kekayaan Jenis Seedling dan Sapling 4.2 Komposisi Vegetasi Seedling dan Sapling
19 19 22
(8)
4.2.1 Komposisi Vegetasi Seedling 4.2.2 Komposisi Vegetasi Sapling
4.3 Luas Bidang Dasar Sapling Tertinggi di Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Leuser
4.4 Nilai Kerapatan Relatif, Frekuensi Relatif, Dominansi Relatif dan Indeks Nilai Penting Seedling dan Sapling di Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Leuser
4.4.1 Jenis Seedling Dengan Nilai Kerapatan Relatif, Frekuensi Relatif, Dominansi Relatif dan Indeks Nilai Penting 4.4.2 Jenis Sapling Dengan Nilai Kerapatan Relatif, Frekuensi
Relatif, Dominansi Relatif dan Indeks Nilai Penting 4.5 Struktur Vegetasi Seedling dan Sapling Secara Vertikal
4.6 Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman Seedling dan Sapling.
4.7 Data Faktor Fisik Kimia Lokasi penelitian
22 23 24 26 26 28 31 32 33 33 V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 5.2 Saran
34 34 36
DAFTAR PUSTAKA 37
(9)
DAFTAR TABEL
Tabel Judul Halaman
4.1. Kekayaan Jenis Seedling dan Sapling yang Terdapat di Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Leuser
19 4.2.1 Perbandingan Individu dan Jenis Seedling 22 4.2.2 Perbandingan Individu dan Jenis Sapling 23 4.4.1 Jenis Seedling Dengan Nilai KR, FR, DR, dan INP Pada Lokasi
Penelitian di Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Leuser.
26 4.4.2 Jenis Sapling Dengan Nilai KR, FR, DR, dan INP Pada Lokasi
Penelitian di Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Leuser.
28
4.6. Indeks Keanekaragaman dan Keseragaman Seedling dan Sapling pada Lokasi Penelitian
33
(10)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Judul Halaman
1 2
Luas Bidang Dasar Sapling di Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Leuser
Startifikasi Seedling dan Sapling Berdasarkan Ketinggian Pohon
25 32
(11)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Judul Halaman
Lampiran A Peta Lokasi penelitian Desa Perteguhan, Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Leuser
40
Lampiran B Plot Pengamatan 41
Lampiran C Tabel Pengamatan Jenis Seedling di Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Leuser
42 Lampiran D Tabel Pengamatan Jenis Sapling di Kawasan Hutan Taman
Nasional Gunung Leuser
44 Lampiran E Tabel Pengamatan Vegetasi Seedling di Kawasan Hutan
Taman Nasional Gunung Leuser
46 Lampiran F Tabel Pengamatan Vegetasi Sapling di Kawasan Hutan
Taman Nasional Gunung Leuser Desa Telagah Kabupaten Langkat
51
Lampiran G
Lampiran H
Tabel Analisis Vegetasi Seedling di Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Leuser Desa Telagah Kabupaten Langkat
Tabel Analisis Vegetasi Sapling di Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Leuser Desa Telagah Kabupaten Langkat
56
58
Lampiran I Contoh Perhitungan Nilai K, KR, F, FR, DR, INP, H’dan E 61
Lampiran J Hasil Identifikasi Spesimen 64
(12)
“ Struktur dan Komposisi Vegetasi Seedling dan Sapling di Kawasan
Hutan Taman Nasional Gunung Leuser Desa Telagah Kabupaten
Langkat”
ABSTRAK
Penelitian mengenai “Sruktur dan Komposisi Vegetasi Sapling dan Seedling di Kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser Desa Telagah Kabupaten Langkat” telah dilaksanakan pada bulan Mei – Agustus 2010. Lokasi penelitian ditentukan secara Purposive Sampling. Dari hasil penelitian diperoleh INP seedling sebesar 9.765 % untuk jenis Nauclea sp dari famili Rubiaceae. Untuk INP sapling sebesar 10.141 % untuk jenis Arthocarpus castaeicarpus THWALTES dari famili Moraceae . Pada Struktur vegetasi seedling secara vertikal oleh stratum E dengan jumlah 300 ind/0.3 Ha. Untuk vegetasi sapling secara vertikal oleh stratum C dengan jumlah 233 ind/0.6 Ha dan stratum D dengan jumlah 73 ind/0.6 Ha. Komposisi jenis seedling ditemukan 73 jenis yang termasuk kedalam 17 famili. Komposisi jenis sapling ditemukan 113 jenis yang termasuk kedalam 23 famili. Indeks keanekaragaman (H’) untuk seedling sebesar 4,242, sedangkan Indeks Keseragaman (E) menunjukan nilai 0.989. Indeks Keanekaragaman (H’) untuk sapling sebesar 4.606, untuk Indeks Keseragaman (E) menunjukan nilai 0.975.
(13)
"Structure and Composition of Seedling and Sapling Vegetation in Forest Area Gunung Leuser National Park Village Telagah Langkat"
ABSTRACT
Research on "Vegetation Structure and Composition of Sapling and Seedling in Forest area of the Gunung Leuser National Park Village Telagah Langkat" was held in May-August 2010. The research location is determined by purposive sampling. The results were obtained INP seedling of 9765% for this type of Rubiaceae is a
Nauclea sp. For INP Sapling at 10 141% for this type of family Moraceae is a Arthocarpus castaeicarpus THWALTES. On the vegetation structure by vertically
seedling stratum E with number 300 ind/0.3 Ha. For vertically Sapling vegetation stratum by C with the number 233 and ind/0.6 Ha stratum D with the number 73 ind/0.6 Ha. Seedling species composition was found 73 species belonging to 17 families. Sapling species composition found 113 species belonging to 23 families. The diversity index (H ') for the seedling of 4.242, while the uniformity index (E) show the value of 0989. Diversity Index (H ') for the Sapling of 4606, while the uniformity index (E) show the value of 0975.
Keyword: Structure, Composition, Seedling, Sapling, Leuser.
(14)
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Hutan Indonesia memiliki keanekaragaman flora yang sangat tinggi. Selanjutnya Barnes (1997), menyatakan bahwa hutan dianggap sebagai persekutuan antara tumbuhan dan binatang dalam suatu asosiasi biotis. Asosiasi ini bersama-sama dengan lingkungannya membentuk suatu sistem ekologis dimana organisme dan lingkungan saling berpengaruh di dalam suatu siklus energi yang kompleks.
Pulau Sumatera dikenal sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati yang memiliki kawasan hutan dengan keanekaragaman jenis tumbuhan yang tinggi. Menurut Resosoedarmo et al., (1989), karakteristik dari hutan hujan tropis adalah mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi dan hanya jenis tertentu saja yang dapat toleran dan mampu hidup pada habitat yang sangat ekstrim seperti tempat terbuka, cahaya matahari penuh, tekstur tanah padat dan keras, serta hara makanan.
Daniel et al., (1992), menjelaskan bahwa hutan memiliki beberapa fungsi bagi kehidupan manusia, antara lain : (1) pengembangan dan penyediaan atmosfer yang baik dengan komponen oksigen yang stabil, (2) produksi bahan bakar fosil (batu bara), (3) pengembangan dan proteksi lapisan tanah, (4) produksi air bersih dan proteksi daerah aliran sungai terhadap erosi, (5) penyediaan habitat dan makanan untuk binatang, serangga, ikan, dan burung, (6) penyediaan material bangunan, bahan bakar dan hasil hutan, (7) manfaat penting lainnya seperti nilai estetis, rekreasi, kondisi alam asli, dan taman. Semua manfaat tersebut kecuali produksi bahan bakar fosil, berhubungan dengan pengolahan hutan.
(15)
Menurut Indriyanto (2008), pada kondisi iklim dan edafik yang berbeda-beda akan dijumpai hutan dengan komposisi jenis vegetasi yang berbeda pula. Masing-masing pohon yang menyusun tegakan hutan tersebut menghendaki persyaratan tempat tumbuh tertentu. Di dalam hutan ada kelompok-kelompok pohon yang dapat dibedakan berdasarkan fase pertumbuhannya dari posisi tajuknya. Variabel lain yang perlu diperhatikan adalah komposisi jenis pohon yang menyusun tegakan hutan, struktur tegakan hutan, kerapatan tegakan hutan, faktor tempat tumbuh, dan sifat toleransi pohon yang berimplikasi terhadap kondisi tegakan hutan.
Untuk keperluan inventarisasi, pohon dibedakan menjadi stadium seedling, sapling, pole, dan pohon dewasa. Wyatt-Smith (1963) dalam Soerianegara & Indarwan (1978), membedakan sebagai berikut:
a. Seedling (semai) yaitu permudaan mulai kecambah sampai setinggi 1,5 m. b. Sapling (pancang, sapihan) yaitu permudaan yang tingginya 1,5 m dan lebih
sampai pohon-pohon muda yang berdiameter kurang dari 10 cm. c. Pole (tiang) yaitu pohon-pohon muda yang berdiameter 10-35 cm.
d. Pohon dewasa yaitu pohon yang berdiameter lebih dari 35 cm yang diukur 1,3 meter dari permukaan tanah.
Belta adalah anakan pohon yang berdiameter < 9,9 cm. Berdasarkan pembagian stadium pohon menurut Wyatt-Smith (1963) dalam Soerianegara & Indarwan (1978), maka belta dikategorikan sebagai seedling dan sapling.
Kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser Desa Telagah Kabupaten Langkat merupakan salah satu wilayah yang berada di kawasan “Buffer Zone” Taman Nasional Gunung Leuser. Fungsi ekologis kawasan lindung tersebut adalah sebagai tempat tangkapan air (Cacthment Area), perlindungan mata air serta mencegah terjadinya erosi.
Berdasarkan hasil penelitian Susilo (2004), Gunung Leuser merupakan salah satu tipe hutan pegunungan yang masih baik dan memiliki keanekaragaman jenis pohon yang tinggi. Namun dari hasil penelitian tersebut belum diketahui perbedaan
(16)
struktur dan komposisi seedling dan sapling di kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser Desa Telagah Kabupaten Langkat.
1.2 Permasalahan
Permasalahan dalam penelitian ini adalah belum adanya data mengenai struktur dan komposisi vegetasi seedling dan sapling yang terdapat di kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser desa Telagah Kabupaten Langkat.
1.3 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui mengetahui 1) struktur, 2) komposisi, 3) indeks keanekaragaman dan keseragaman vegetasi seedling dan sapling di kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser Desa Telagah Kabupaten Langkat.
1.4 Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai dasar penelitian lebih lanjut mengenai struktur dan komposisi vegetasi seedling dan sapling di kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser Desa Telagah Kabupaten Langkat untuk peneliti selanjutnya dan instansi-instansi terkait dalam rangka pengelolaan dan pengembangannya.
(17)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan
Hutan merupakan salah satu pusat keanekaragaman jenis tumbuhan yang belum banyak diketahui dan perlu terus untuk dikaji. Di kawasan hutan terdapat komunitas tumbuhan yang didominasi oleh pepohonan dan tumbuhan berkayu lainnya (Spurr dan Barnes, 1980). Pohon sebagai penyusun utama kawasan hutan berperan penting dalam pengaturan tata air, cadangan plasma nutfah, penyangga kehidupan, sumberdaya pembangunan dan sumber devisa negara (Desmann et al., 1977).
Hutan berfungsi secara alami sebagai penyumbang dan penyelaras kehidupan di atas permukaan bumi ini. Hutan di samping menghasilkan kayu, juga hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan. Hasil hutan non kayu berupa damar, rotan, bahan obat-obatan, dan lainnya, Sedangkan jasa lingkungan seperti menampung air, menahan banjir, mengurangi erosi dan sedimentasi, sumber keanekaragaman hayati dan menyerap karbon sehingga mengurangi pencemaran udara, serta sebagai tempat dan sumber kehidupan satwa dan makhluk hidup lainnya (Sudana & Wollenberg, 2001). Selanjutnya Ewusie (1990) menyatakan bahwa pepohonan yang tinggi sebagai komponen dasar dari hutan memegang peranan penting dalam menjaga kesuburan tanah dengan menghasilkan serasah sebagai sumber hara penting bagi vegetasi hutan.
(18)
2.2 Hutan Pegunungan
Anwar et al., (1984), menyatakan bahwa hutan pegunungan terbagi ke dalam zona-zona hutan, seiring dengan pertambahan ketinggian. Ketinggian rata-rata tempat dari berbagai tipe hutan pegunungan di Sumatera adalah sebagai berikut ;
0-1200 m dpl : Hutan dataran rendah 1200-2100 m dpl : Hutan pegunungan bawah 2100-3000 m dpl : Hutan pegunungan atas ≥ 3000 m dpl : Subalpin
Di hutan pegunungan terdapat zona-zona vegetasi, dengan jenis, struktur dan penampilan yang berbeda. Zona-zona vegetasi tersebut dapat dikenali di semua gunung di daerah tropis meskipun tidak ditentukan oleh ketinggian saja. Di gunung yang rendah, semua zona vegetasi lebih sempit, sedangkan di gunung yang tinggi, atau di bagian tengah suatu jajaran pegunungan, zona-zona itu lebih luas (MacKinnon
et al., 2000).
Bentuk suatu vegetasi merupakan hasil interaksi faktor-faktor lingkungan seperti: bahan induk, topografi, tanah, iklim, organisme-organisme hidup dan waktu. Waktu di sini dimaksudkan sebagai faktor sejarah pengelolaan atau umur dari lingkungan tersebut. Interaksi dari faktor-faktor lingkungan tersebut dapat digunakan sebagai indikator dari lingkungan atau komponen-komponen penduga sifat lingkungan yang bersangkutan. Vegetasi adalah faktor atau komponen lingkungan yang paling mudah digunakan untuk keperluan tersebut, sebab vegetasi dengan sifatnya yang inmobil sangat peka terhadap faktor-faktor lingkungan (Setiadi et al., 1989).
2.3 Pengaruh Iklim
Perbedaan fisik dan biologi antara hutan dataran rendah yang lembab dan panas dengan habitat pegunungan yang terbuka menentukan jenis-jenis yang terdapat disana. Semakin tinggi suatu tempat, iklim semakin sejuk dan lebih lembab (MacKinnon et
(19)
mempengaruhinya, terutama lingkungan. Faktor-faktor tersebut menentukan variasi tumbuhan hutan, di mana hal ini juga berhubungan dengan keadaan atmosfer yang ditentukan oleh sinar matahari, suhu, angin dan kelembaban. Di samping itu, suhu akan menurun mengikuti ketinggian tempat. Di daerah tropika misalnya suhu akan turun 0.40°C setiap kenaikan ketinggian tempat 100 meter, hal ini menyebabkan terjadi pembagian zona dan spesies yang berubah seperti pada daerah iklim sedang (Arief, 1994).
Indonesia berdasarkan letak garis lintangnya termasuk daerah beriklim tropis. Namun, posisinya di antara dua benua dan di antara dua samudera membuat iklim kepulauan ini lebih beragam (Irwanto, 2006). Berdasarkan perbandingan jumlah bulan kering terhadap jumlah bulan basah per tahun, Indonesia mencakup tiga daerah iklim, yaitu:
• Daerah tipe iklim A (sangat basah) yang puncak musim hujannya jatuh antara Oktober dan Januari, kadang hingga Februari. Daerah ini mencakup Pulau Sumatera; Kalimantan; bagian barat dan tengah Pulau Jawa; sisi barat Pulau Sulawesi.
• Daerah tipe iklim B (basah) yang puncak musim hujannya jatuh antara Mei dan Juli, serta Agustus atau September sebagai bulan terkering. Daerah ini mencakup bagian timur Pulau Sulawesi; Maluku; sebagian besar Papua.
• Daerah tipe iklim C (agak kering) yang lebih sedikit jumlah curah hujannya, sedangkan bulan terkeringnya lebih panjang. Daerah ini mencakup Jawa Timur; sebagian Pulau Madura; Pulau Bali; Nusa Tenggara; bagian paling ujung selatan Papua.
Selain faktor suhu di atas hutan pegungan juga dipengaruhi oleh oleh keawanan, kelembapan nisbi, embun beku, dan radiasi ultra violet. Telah diduga bahwa radiasi ultra violet pada gunung-gunung di daerah tropik adalah yang paling kuat dibandingkan dengan daerah manapun di atas permukaan bumi. Hal tersebut disebabkan oleh rendahnya kadar lapisan ozon pada lapisan stratosfer (yang menyerap sinar ultra violet) dekat khatulistiwa, dan atmosfer pada ketinggian rendah yang lebih
(20)
keruh dan lebih padat sehingga lebih mampu untuk menyerap dan memantulkan radiasi (Damanik et al., 1992).
2.4 Analisis Vegetasi
Vegetasi adalah kumpulan dari beberapa jenis tumbuh-tumbuhan yang tumbuh bersama-sama pada satu tempat di mana antara individu-individu penyusunnya terdapat interaksi yang erat, baik diantara tumbuh-tumbuhan maupun dengan hewan-hewan yang hidup dalam vegetasi dan lingkungan tersebut. Dengan kata lain, vegetasi tidak hanya kumpulan dari individu-individu tumbuhan melainkan membentuk suatu kesatuan dimana individunya saling tergantung satu sama lain, yang disebut sebagai satu komunitas tumbuh-tumbuhan (Ruslan, 1986).
Menurut Soerianegara & Indarwan (1978), yang dimaksud analisis vegetasi atau studi komunitas adalah suatu cara yang mempelajari susunan (komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Cain & castro (1959) dalam Soerianegara & Indarwan (1978) mengatakan bahwa penelitian yang mengarah pada analisis vegetasi, titik berat penganalisisan terletak pada komposisi jenis atau jenis. Struktur masyarakat hutan dapat dipelajari dengan mengetahui sejumlah karakteristik tertentu di antaranya, kepadatan, frekuensi, dominansi dan nilai penting.
2.5 Seedling
Menurut Kusmana (1996), umumnya para peneliti di bidang ekologi hutan membedakan pohon kedalam beberapa tingkat pertumbuhan, yaitu : semai (seedling) yaitu permudaan tingkat kecambah sampai setinggi < 1,5 m, pancang yaitu permudaan dengan > 1,5 m sampai pohon muda yang berdiameter < 10 cm), tiang atau pohon muda yang berdiameter 10 s/d 20 cm, dan pohon dewasa yaitu yang berdiameter > 20 cm.
(21)
Komposisi dari keanekaragaman vegetasi bawah, sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti cahaya, kelembaban, pH tanah, tutupan tajuk dari pohon di sekitarnya, dan tingkat kompetisi dari masing-masing jenis. Pada komunitas hutan hujan, penetrasi cahaya yang sampai pada lantai hutan umumnya sedikit sekali. Hal ini disebabkan terhalangnya cahaya yang masuk ke dasar hutan oleh lapisan tajuk pohon disekitarnya. Ini menyebabkan tumbuhan bawah pengisi lantai hutan kurang mendapat sinar, sedangkan sinar matahari sangat dibutuhkan untuk perkembangan dan pertumbuhan (Gusmalyna, 1983).
Tumbuhan bawah berfungsi sebagai penutup tanah yang menjaga kelembaban sehingga proses dekomposisi dapat berlangsung lebih cepat, proses dekomposisi yang cepat dapat menyediakan unsur hara untuk tanaman pokok, siklus hara dapat berlangsung sempurna dan guguran daun yang jatuh sebagai serasah akan dikembalikan lagi ke pohon dalam bentuk unsur hara yang sudah diuraikan oleh bakteri (Irwanto, 2006).
2.6 Sapling
Menurut Kadri et al., (1992) dalam Indriyanto (2008), sapihan atau pancang (saplings), yaitu pohon yang tingginya lebih dari 1,5 meter dengan diameter batang kurang dari 10 cm.
Kelimpahan vegetasi bawah di hutan pegunungan berbeda seiring bertambahnya ketinggian. Hal ini dipengaruhi oleh perubahan struktur pohon pembentuk tajuk yang semakin ke atas akan semakin pendek, tajuk rata, batang dan cabang berlekuk, daun tebal dan kecil. Selain itu dengan bertambahnya ketinggian, terjadi perubahan suhu yang drastis pula. Arus angin yang menuju ke arah pegunungan menyebabkan terjadinya pengembunan sehingga suhu di pegunungan akan turun (Anwar et al., 1984).
(22)
2.7 Struktur dan Komposisi Hutan
Irwanto (2006) membagi struktur vegetasi menjadi lima berdasarkan tingkatannya, yaitu: fisiognomi vegetasi, struktur biomassa, struktur bentuk hidup, struktur floristik, struktur tegakan.
Komposisi hutan merupakan penyusun suatu tegakan atau hutan yang meliputi jumlah jenis ataupun banyaknya individu dari suatu jenis tumbuhan (Wirakusuma, 1980). Komposisi hutan sangat ditentukan oleh faktor-faktor kebetulan, terutama waktu-waktu pemancaran buah dan perkembangan bibit. Pada daerah tertentu komosisi hutan berkaitan erat dengan ciri habitat dan topografi (Damanik et al., 1992).
Menurut Irwanto (2006), struktur vegetasi terdiri dari 3 komponen, yaitu: 1. Stuktur vegetasi berupa vegetasi secara vertikal yang merupakan diagram profil
yang melukiskan lapisan pohon, tiang, sapihan, semai, dan herba penyusun vegetasi diatas.
2. Sebaran, horizontal jenis-jenis penyusun yang menggambarkan letak dari suatu individu terhadap individu lain
3. Kelimpahan (abudance) setiap jenis dalam suatu komunitas.
Pada ketinggian sekitar 2.000 meter mulai terlihat perubahan tajuk semakin rendah. Pohon yang menjulang di atas lapisan tajuk jadi menjarang dan diameter batang pohonnya makin mengecil (Rifai, 1993). Serta ketinggian pohon berkurang mulai dari kaki gunung sampai hutan pegunungan bawah dan hutan pegunungan atas. Dalam hutan berikutnya, pohon-pohon menjadi kecil dan biasanya banyak terdapat epifit. Hutan ini selanjutnya diikuti oleh hutan kerdil atau hutan lumut yang rapat dan pohon-pohon banyak ditumbuhi oleh lumut-lumut kerak. Hutan kerdil ini kemudian menjadi lebih rendah lagi dan diikuti oleh padang rumput pegunungan tinggi (Resosoedarmo et al., 1992).
Pada hutan tropis terdapat pepohonan yang tumbuh membentuk beberapa stratum tajuk. Stratifikasi yang terdapat pada hutan hujan tropis dapat dibagi menjadi lima stratum berurutan dari atas ke bawah, yaitu stratum A, Stratum B, stratum C,
(23)
stratum D, dan stratum E (Arief, 1994; Ewusie, 1990; Soerianegara dan Indarwan, 1982). Masing-masing stratum diuraikan sebagai berikut:
1. Stratum A (A-storey), yaitu lapisan tajuk (kanopi) hutan paling atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya lebih dari 30 m. Pada umumnya tajuk pohon pada stratum tersebut lebar, tidak bersentuhan kearah horizontal dengan tajuk pohon lainnya dalam stratum yang sama, sehinga stratum tajuk itu berbentuk lapisan diskontinu. Pohon pada stratum A umumnya berbatang lurus, batang bebas cabang tinggi, dan bersifat intoleran (tidak tahan naungan). Menurut Ewusie (1984), sifat khas bentuk-bentuk tajuk pohon tersebut sering digunakan untuk identifikasi spesies pohon dalam suatu daerah.
2. Stratum B (B-storey), yaitu lapisan tajuk kedua dari atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya 20-30 m. Bentuk tajuk pohon pada stratum B membulat atau memanjang dan tidak melebar seperti pada tajuk pohon di stratum A. Jarak antar pohon lebih dekat, sehingga tajuk-tajuk pohonnya cenderung membentuk lapisan tajuk yang kontinu. Spesies pohon yang ada, bersifat toleran (tahan naungan) atau kurang memerlukan cahaya. Batang pohon banyak cabangnya dengan batang bebas cabang tidak begitu tinggi. 3. Stratum C (C-storey), yaitu lapisan tajuk ketiga dari atas yang dibentuk oleh
pepohonan yang tingginya 4-20 m. Pepohonan pada stratum C mempunyai bentuk tajuk yang berubah-ubah tetapi membentuk suatu lapisan tajuk yang tebal. Selain itu, pepohonannya memiliki banyak percabangan yang tersusun dengan rapat, sehingga tajuk pohon menjadi padat. Pada stratum C, pepohonan juga berasosiasi dengan berbagai populasi epifit, tumbuhan memanjat, dan parasit (Vickery, 1984).
4. Stratum D (D-storey), yaitu tajuk paling bawah (lapisan kelima dari atas) yang dibentuk oleh spesies tumbuhan semak dan perdu yang tingginya 1-4 m. Pada stratum itu juga terdapat dan dibentuk oleh spesies pohon yang masih muda atau dalam fase anakan (seedling), terdapat palma-palma kecil, herba besar, dan paku-pakuan besar.
5. Stratum E (E-storey), yaitu tajuk paling bawah (lapisan kelima dari atas) yang dibentuk oleh spesies-spesies tumbuhan penutup tanah (Ground Cover) yang tingginya 0-1 m. Keanekaragaman spesies pada stratum E lebih sedikit dibandingkan dengan stratum lainnya. Meskipun demikian, spesies-spesies
(24)
tumbuhan bawah yang sering ada, yaitu anggota family Commeliaceae, Zingiberaceae, Acanthaceae, Araceae, dan Marantaceae. Pada stratum ini, tumbuhan paku dan Selaginella juga sangat dominan, rerumputan hampir tidak ada tetapi beberapa spesies yang berdaun lebar kadang-kadang ada, misalnya spesies Olyra latifolia, Leptaspis cochleata, Mapania spp., dan Hypolytrum spp.
(25)
BAB 3
BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Agustus 2010 di kawasan hutan Telagah Taman Nasional Gunung Leuser. Lokasi penelitian ditetapkan dengan metode Purposive Sampling. Metode ini merupakan metode penentuan lokasi penelitian secara sengaja yang dianggap representatif.
3.2 Deskripsi Area 3.2.1 Letak dan Luas
Di Taman Nasional Gunung Leuser termasuk iklim tipe A. Temperatur rata-rata minimum 21,10C dan maksimum 27,50C. Dengan curah hujan rata-rata berkisar antara 1300–4600 mm/tahun, pada musim kemarau curah hujan tidak pernah berkurang dari 100 mm/bulan, dengan kelembaban nisbi 80 – 100 %.
Kawasan hutan Telagah Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) memiliki luas area 5000 Ha. Secara administratif hutan Telagah terletak di Desa Telagah dan termasuk Kecamatan Sei Bingei, Kabupaten Langkat. Secara geografis terletak pada 03014”-04013” BT dan 97052”-98045” LU, terletak pada ketinggian 700-910 mdpl. Berjarak ± 90 km dari kota Medan.
Kawasan hutan Telagah Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL): a. Sebelah Utara : Desa Rumah Galoh
(26)
b. Sebelah Selatan : Kawasan ekosistem Leuser c. Sebelah Barat : Kawasan Ekosistem Leuser d. Sebelah Timur : Desa Tanjung Gunung
3.2.2 Topografi
Berdasarkan pengamatan di lapangan, pada umumnya memiliki topografi relatif rata sampai dengan curam serta memiliki kemiringan sekitar 350 yang rawan akan bahaya erosi.
3.2.3 Curah Hujan
Berdasarkan informasi dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) terdekat di Kecamatan Sei Bingei, diperoleh data curah hujan kawasan hutan Telagah Taman Nasional Gunung Leuser adalah rata-rata 2674 mm pertahunnya.
3.2.4 Tipe Iklim
Tipe iklim di kawasan hutan Telagah Taman Nasional Gunung Leuser adalah tipe B dengan rata-rata curah hujan bulanan di Desa Telagah sekitar 105-406 mm dan jumlah hari hujan setiap tahunnya berkisar 170-210 hari serta penyebaran hujan bulanan hampir merata setiap tahun.
3.2.5 Vegetasi
Berdasarkan pengamatan di sekitar areal penelitian, vegetasi yang umum ditemukan yaitu dari famili Euphorbiaceae, Moraceae, Rubiaceae, Myrtaceae, Lauraceae, Fagaceae, Meliaceae, Theaceae, Urticaceae dan Myrsinaceae
(27)
3.3 Metode Penelitian
Penentuan areal lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan metode Purposive Sampling. Pengambilan data pada areal penelitian dilakukan dengan menggunakan Metode Kwadrat pada plot-plot 5 x 5 m dan 2 x 2 m.
3.4 Pelaksanaan Penelitian 3.4.1 Di Lapangan
Pada lokasi penelitian dibuat petak pengamatan dengan ukuran 40 x 300 m dengan menggunakan metode Purposive Sampling , kemudian di dalam petak pengamatan tersebut tersebut dibuat plot dengan ukuran 5x5 m untuk sapling, dan subplot 2x2 m untuk seedling dengan menggunakan metode kwadarat, sehingga terdapat 120 subplot untuk seedling dan 120 plot untuk sapling pada lokasi penelitian. Pada setiap plot dilakukan pengamatan pada seluruh pohon yang berdiameter < 10 cm dengan mengukur diameter batang setinggi dada (1.5 m), dan mulai dari kecambah sampai ketinggian < 1, 5 m, memberi nomor (tagging) pada semua pohon yang diukur tersebut, mencatat jenis seedling dan sapling, serta jumlah individu dari setiap jenis seedling dan sapling yang dijumpai pada lokasi pengamatan.
Spesimen dari seluruh individu diberi tanda (tagging), dikoleksi dan diberi label gantung setelah lebih dahulu mencatat ciri-ciri morfologinya. Kemudian dilakukan pengawetan spesimen yaitu spesimen disusun dan dibungkus dengan kertas koran dan dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi alkohol 70%. Udara dalam kantong plastik dikeluarkan dan kantong plastik ditutup dengan lakban. Selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dikeringkan.
Faktor abiotik yang diukur meliputi suhu udara dengan termometer, kelembaban udara dengan higrometer, kelembaban dan pH tanah dengan soiltester, suhu tanah dengan soil termometer, intensitas cahaya dengan luxmeter, dan ketinggian dengan altimeter.
(28)
3.4.2 Di Laboratorium
Spesimen yang berasal dari lapangan dikeringkan dengan menggunakan oven yang selanjutnya diidentifikasi dengan menggunakan buku-buku acuan antara lain :
a. Malayan Wild Flowers Dicotyledon (Henderson, 1959)
b. Tree Flora of Malaya. A Manual for Foresters Volume 1 (Whitmore, 1972) c. Tree Flora of Malaya. A Manual for Foresters Volume 2 (Whitmore, 1973) d. Tree Flora of Malaya. A Manual for Foresters Volume 3 (Phil, 1978) e. A Field Guide to Common Sumatran Trees (Draft & Wulf, 1978)
f. Latihan Mengenal Pohon Hutan : Kunci Identifikasi dan Fakta Jenis (Sutarno & Soedarsono, 1997)
g. Malesian Seed Plants Volume 1 – Spot-Characters An Aid for Identification of Families and Genera. (Balgooy, 1997).
h. Malesian Seed Plants Volume 2 – Portraits of Tree Families (Balgooy, 1998). i. Collection Of Illustrated Tropical Plant, Oleh E. J. H. Corner and Prof. Dr.
Watanabe.
j. Taxonomy Of Vascular Plants. (Lawrence, 1958). k. Flora (Dr. C. G. G. J. Van Steenis, 1987).
l. Plant Classification. (L. Berson , 1957).
3.5 Analisis Data
3.5.1 Struktur Vegetasi Seedling dan Sapling
Struktur vegetasi seedling dan sapling dianalisis secara horizontal dan vertikal menurut Irwanto (2006) dalam Indriyanto (2008). Struktur vegetasi seedling secara horizontal dianalisis berdasarkan besarnya Indeks Nilai Penting, sedangkan sapling dihitung berdasarkan besarnya luas bidang dasar dan besarnya Nilai Indeks Penting yang didalamnya meliputi Kerapatan Relatif (KR), Dominansi Relatif (DR), Indeks Nilai Penting (INP), Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman dari masing-masing lokasi. Struktur vegetasi seedling dan sapling secara vertikal dianalisis berdasarkan ketinggian pohon, untuk keperluan analisis struktur vegetasi digunakan rumus sebagai berikut:
(29)
a. Kerapatan
Kerapatan Mutlak (KM) =
Kerapatan Relatif (KR) = x100%
b. Frekuensi
Frekuensi Mutlak (FM) =
Frekuensi Relatif (FR) = x 100 %
c. Luas Basal Area
Luas Basal Area = π r2 atau π d2 (π = 3,14)
d. Dominasi
Dominansi Mutlak (DM) =
Dominansi Relatif (DR) = x 100 %
Kerapatan mutlak suatu jenis Jumlah total kerapatan mutlak
Seluruh jenis
Frekuensi suatu jenis Frekuensi total seluruh jenis
Jumlah dominansi suatu jenis Jumlah dominansi seluruh jenis
Jumlah individu suatu jenis Luas Plot contoh / Plot pengamatan
Jumlah plot yang ditempati suatu jenis Jumlah seluruh plot pengamatan
Luas basal area suatu jenis Luas area penelitian
1
(30)
e. Indeks Nilai Penting
INP = KR + FR + DRs
3.5.2 Komposisi Vegetasi Seedling dan Sapling
Komposisi jenis seedling dan sapling diamati berdasarkan kelimpahan individu, jenis, dan famili yang menyusun komunitas seedling dan sapling.
3.5.3 Indeks Keanekaragaman dan Keseragaman
Untuk mengetahui besarnya beda suatu jenis dilakukan uji beda Indeks keanekaragaman, untuk mengetahui besarnya jenis pada lokasi penelitian dilakukan uji Indeks Keseragaman menurut Magurran (1983):
a. Indeks Keanekaragaman
H1 = -Σpi ln pi pi =
dengan :
ni = jumlah individu suatu jenis
N = jumlah total individu seluruh jenis ni
(31)
b. Indeks Keseragaman H’
E =
H maks
Keterangan : E = Indeks keseragaman ; H’= indeks keragaman H maks = Indeks keragaman maksimum, sebesar Ln S S = jumlah Genus/ jenis.
(32)
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kekayaan Jenis Seedling dan Sapling
Dari penelitian yang dilakukan di kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser ditemukan seedling dengan 73 jenis yang termasuk kedalam 17 famili dengan jumlah individu 300 ind/0.3 Ha atau sebesar 1000 ind/Ha, sedangkan jenis sapling ditemuka n 113 jenis yang termasuk kedalam 23 famili dengan jumlah individu sebanyak 306 ind/0.6 Ha atau sebesar 510 ind/Ha (Tabel 1).
Tabel 4.1. Kekayaan Jenis Seedling dan Sapling yang Terdapat di Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Leuser
No Famili Spesies Seedling Sapling
1 Acanthaceae Ruellia sp − √
2 Anacardiaceae Bouea macrophylla GRIFF. − √
Bouea sp. − √
Buchanaria sp. − √
Pentasfadon sp − √
Semecarpus sp. √ −
3 Apocynaceae Ervatamia malaccensis − √
Kapsia sp. √ −
4 Araliaceae Arthrophyllum diversifolium BL. − √
Arthrophyllum sp. √ √
Brassaia actinophylla MUELL. − √
Brassaia sp. − √
Eusideroxylon sp. √ −
5 Burseraceae Cannarium sp. − √
6 Clusiaceae Garcinia dulcis KURZ √ −
Garcinia sp. √ √
Garcinia sp. 1 √ √
7 Ebenaceae Diospyras sp. − √
8 Euphorbiaceae Acroaychia laurifolia BL. − √
Antidesma sp. − √
Antidesma sp. 1 − √
Antidesma sp. 2 − √
Antidesma sp. 3 − √
Aporosa praniana KING. √ -
Aporosa sp. √ √
Aporosa sp. 1 √ √
Aporosa sp. 2 − √
Aporosa sp. 3 − √
Aporosa sp . 4 − √
Aporosa sp. 5 − √
Aporosa sp. 6 − √
Aporosa sp. 7 − √
(33)
Baccaurea sp. √ −
Boischofia javanica BL. √ −
Erioglossum rabigionosum BL. √ −
Exoecaria guadrangularis MUELL. ARG √ −
9 Fagaceae Castanopsis inermis BEN. Et, HOOK., F √ −
Castanopsis malaccensis GAMBLE. √ −
Castanopsis sp. √ −
Castanopsis sp. 1 √ √
Quercus lucida ROXB. − √
10 Lauraceae Beilchmiedia paHangensis GAMBLE √ √
Beilchmiedia sp. − √
Cinchona Succirutra − √
Cinnamomum sp. √ √
Cinnamomum sp. 1 √ √
Cinnamomum sp. 2 − √
Cinnamomum sp. 3 − √
Eusideroxylon sp. − √
Lindera glauca BL. − √
Litsea amara BL. − √
Litsea sp. √ √
LItsea sp. 1 √ √
Litsea sp. 2 √ √
Litsea sp. 3 √ √
Litsea sp. 4 − √
Litsea sp. 5 − √
11 Leguminaceae Bauhinia sp. √ -
12 Magnoliaceae Talauma sp. − √
13 Meliaceae Aglaia sp. √ √
Aglaia sp. 1 √ √
Dysoxylum sp. √ -
Melia exelsa JACK. − √
Melia sp. − √
Swietenia sp. √ −
14 Moraceae Arthocarpus castaeicarpus THWALTES. − √
Arthocarpus rigidus BL. − √
Arthocarpus sp. √ √
Arthocarpus sp. 1 √ √
Ficus Parietalis BL. − √
Ficus sagittata VAHL. − √
Ficus sp. √ √
Ficus sp. 1 √ √
Ficus sp. 2 √ √
Ficus sp. 3 √ √
Ficus sp. 4 − √
Ficus sp. 5 − √
Ficus sp. 6 − √
Ficus sp. 7 − √
Ficus sp. 8 − √
Streblus elongates (MIQ) CORNER. − √
15 Myristicaceae Myristica crassa KING. − √
Myristica sp. √ −
Myristica sp. 1 √ −
Myristica sp. 2 √ −
16 Myrsinaceae Ardisia sp. √ √
Ardisia sp. 1 − √
Ardisia sp. 2 − √
Ardisia sp. 3 − √
Maesa blumei DON √ −
Maesa sp. − √
17 Myrtaceae Eucalyptus sp − √
Shyzigium filiformis − √
Shyzigium polyantHa WIGHT. − √
Shyzigium pseudosubtilis KING. − √
Shyzigium sp. √ √
Shyzigium sp. 1 √ √
Shyzigium sp. 2 √ √
Shyzigium sp. 3 √ √
Shyzigium sp. 4 √ √
Shyzigium sp. 5 √ √
(34)
Shyzigium sp. 7 √ √
Shyzigium sp. 8 √ √
18 Rubiaceae Anthocephalus sp. √ −
Chasalia sp. √ √
Chasalia sp. 1 √ −
Chasalia sp. 2 √ −
Cinchona sp. − √
Cinchona sp.1 − √
Coffea sp. √ −
Coffea sp. 1 √ −
Genipa sp. − √
Hedyotis sp. − √
Ixora sp. √ √
Morinda sp. − √
Nauclea Subdita MERR √ −
Nauclea sp. √ −
Pavetta indica L. √ −
Petunga sp. √ −
Psychotria sp − √
Psychotria sp. 1 − √
Randia exallata GRIFF. − √
Randia sp. − √
Randia sp. 1 − √
Sarchochephalus sp − √
Uncaria sp. √ √
Uncaria sp. 1 √ −
Urophyllum sp. √ √
19 Rutaceae Actephila exelsa MUELL. ARG. − √
20 Sapindaceae Allophyllus sp. − √
21 Sapotaceae Palaqium sp. − √
Palaqium sp. 1 − √
Palaqium sp. 2 − √
22 Theaceae Adinandra dumosu JACK √ −
Adinandra sp. − √
Adinandra sp. 1 − √
Colophyllum sp. √ −
Eurya acuminata DC. √ −
Plotarium giternifolium (MELCIOR) √ −
Terstroemia sp. √ −
23 Ulmaceae Gironniera sp. √ √
Gironniera sp. 1 − √
24 Urticaceae Boehmeria glamerulifera. − √
Boehmeria sp. √ √
Helicia cochinchinensis LOUR. √ −
Pilea sp. √ −
Jumlah Famili 73 113
Jumlah Jenis 17 23
Keterangan: √ = Ditemukan − = Tidak Ditemukan
Dari Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa di kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser terdapat 24 famili yang terdiri dari 73 jenis seedling dan 113 jenis sapling serta 36 jenis yang termasuk kedalam jenis keduanya (seedling dan sapling). Hal ini diakibatkan karena faktor eksternal yang menghambat pertumbuhan seedling seperti faktor lingkungan. Hal ini dapat terjadi pada tahap integrasi lambat ketika tempat tumbuh mula-mula sangat keras sehingga sedikit tumbuhan dapat tumbuh, atau suksesi tersebut dapat terjadi sangat cepat ketika suatu komunitas dirusak oleh suatu faktor seperti api, banjir, atau epidemi serangga dan diganti oleh yang lain. Menurut Daniel, et al, (1992), pertumbuhan juga dipengaruhi oleh faktor tanah, iklim,
(35)
mikroorganisme, kompetisi dengan organisme lainnya dan juga oleh zat-zat organik yang tersedia, kelembaban dan sinar matahari. Selain kondisi lingkungan, jenis tumbuhan menjadi dominan juga dipengaruhi oleh penyebaran organ generatif (buah dan biji) dari organisme tersebut, buah dari tumbuhan tersebut dibawa oleh angin.
4.2 Komposisi Vegetasi Seedling dan Sapling 4.2.1 Komposisi vegetasi Seedling
Komposisi merupakan penyusun suatu tegakan yang meliputi jumlah jenis/famili ataupun banyaknya individu dari suatu jenis pohon. Pada lokasi penelitian didapat 17 famili dengan 73 jenis pada tingkatan seedling. Perbandingan jumlah individu dan jumlah jenis seedling dapat dilihat pada Tabel 4.2.1
Tabel 4.2.1 Perbandingan Individu dan Jenis Pada Seedling No Famili Jumlah Individu Persentase
(%)
Jumlah Jenis Persentase (%) (0.3 Ha) (Ha) (0.3 Ha) (Ha)
1 Anacardiaceae 7 23 2.333 1 3 1.370
2 Araliaceae 6 20 2.000 2 7 2.740
3 Apocynaceae 3 10 1.000 1 3 1.370
4 Clusiaceae 13 43 4.333 3 10 4.110
5 Euphorbiaceae 32 107 10.667 8 27 10.959
6 Fagaceae 16 53 5.333 4 13 5.479
7 Lauraceae 31 103 10.333 7 23 9.589
8 Leguminaceae 2 7 0.667 1 3 1.370
9 Meliaceae 15 50 5.000 4 13 5.479
10 Moraceae 21 70 7.000 6 20 8.219
11 Myristicaceae 11 34 3.667 3 10 4.110
12 Myrsinaceae 10 33 3.333 2 7 2.740
13 Myrtaceae 35 117 11.667 7 23 9.589
14 Rubiaceae 59 197 19.667 14 47 19.178
15 Theaceae 15 50 5.000 5 17 6.849
16 Ulmaceae 9 30 3.000 2 7 2.740
17 Urticaceae 15 50 5.000 3 10 4.110
TOTAL 300 73
Dari Tabel 4.2.1 dapat dilihat bahwa jumlah individu terbanyak terdapat pada famili Rubiaceae dengan 59 ind/0.3 Ha atau sebesar 197 ind/Ha dengan 19.667%, sedangkan untuk jumlah individu terendah yaitu famili Leguminaceae dengan 2 ind/0.3 Ha atau sebesar 1 ind/Ha dengan 0.667%.
Untuk jumlah jenis tertinggi terdapat pada famili Rubiaceae dengan 14 ind/0.3 Ha atau sebesar 47 jenis/Ha dengan 19.178 %. Untuk jumlah jenis terendah terdapat
(36)
pada famili Anacardiaceae, Apocynaceae dan Leguminaceae dengan 1 ind/0.3 Ha atau sebesar 3 jenis/Ha dengan 1.370 %.
Famili Rubiaceae memiliki jumlah individu dan jumlah jenis paling tinggi. Ini dikarenakan famili Rubiaceae dapat beradaptasi dengan baik di lingkungannya. Menurut Soerianegara dan indrawan (1978), menyatakan bahwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai adaptasi yang tinggilah yang bisa hidup sukses di suatu daerah. Selain itu juga dipengaruhi oleh pertumbuhan dari bibit atau kecambah dari suatu jenis dimana kecambah yang duluan tumbuh dapat menguasai tutupan tajuk nantinya, yang nantinya berpengaruh terhadap kecambah yang lambat tumbuh karena daya toleransinya terhadap naungan.
4.2.2 Komposisi Vegetasi Sapling
Pada sapling ditemukan 23 famili dengan 113 jenis, perbandingan antara jumlah individu dan jumlah jenisnya dapat dilihat pada Tabel 4.2.2
Tabel 4.2.2. Perbandingan Jumlah Individu dan Jumlah Jenis Sapling NO Famili
Jumlah Individu Persentase (%)
Jumlah Jenis Persentase (%) (0.6 Ha) (Ha) (0.6 Ha) Ha)
1 Acanthaceae 1 2 0.327 1 2 0.935
2 Anacardiaceae 9 15 2.941 4 7 3.738
3 Apocynaceae 3 5 0.980 1 2 0.935
4 Araliaceae 10 17 3.268 4 7 3.738
5 Burseraceae 2 3 0.654 1 2 0.935
6 Clusiaceae 3 5 0.980 2 3 1.869
7 Ebenaceae 3 5 0.980 1 2 0.935
8 Euphorbiaceae 46 77 15.033 14 23 13.084
9 Fagaceae 6 10 1.961 2 3 1.869
10 Lauraceae 42 70 13.725 16 27 11.215
11 Magnoliaceae 5 8 1.634 1 2 0.935
12 Meliaceae 9 15 2.941 4 7 3.738
13 Moraceae 44 73 14.379 16 27 14.953
14 Myristicaceae 3 5 0.980 1 2 0.935
15 Myrsinaceae 14 23 4.575 5 8 4.673
16 Myrtaceae 30 50 9.804 13 22 12.150
17 Rubiaceae 43 72 14.052 15 25 14.019
18 Rutaceae 7 12 2.288 1 2 0.935
19 Sapindaceae 3 5 0.980 1 2 0.935
20 Sapotaceae 7 12 2.288 3 5 2.804
21 Theaceae 6 10 1.961 2 3 1.869
22 Ulmaceae 2 3 0.654 2 3 0.935
23 Urticaceae 8 13 2.614 2 3 1.869
(37)
Pada Tabel 4.2.2 dapat dilihat bahwa jumlah individu terbanyak terdapat pada famili Euphorbiaceae dengan 46 ind/0.6 Ha atau sebesar 77 ind/Ha dengan 15.033. Untuk jumlah individu terendah terdapat pada famili Acanthaceae dengan ind/0.6 Ha atau 2 ind/Ha dengan 0.327 %.
Adapun untuk jumlah jenis tertinggi yaitu Moraceae dengan 16 ind/0.6 Ha atau 27 jenis/Ha sebesar 14.953 %. Sedangkan jumlah individu terendah terdapat pada famili Acanthaceae, Apocynaceae, Burseraceae, Ebenaceae, Magnoliaceae, Myristicaceae, Rutaceae, serta Sapindaceae dengan 1 ind/0.6 Ha atau 2 jenis/Ha sebesar 0,935%. Kemampuan beradaptasi dan lingkungan merupakan faktor yang paling penting dalam menentukan banyak tidaknya suatu jenis tumbuhan dalam suatu hutan.
Menurut Soerianegara dan indrawan (1978), menyatakan bahwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai adaptasi yang tinggilah yang bisa hidup sukses di suatu daerah. Selain itu juga dipengaruhi oleh pertumbuhan dari bibit atau kecambah dari suatu jenis dimana kecambah yang duluan tumbuh dapat menguasai tutupan tajuk nantinya, yang nantinya berpengaruh terhadap kecambah yang lambat tumbuh karena daya toleransinya / intoleran terhadap naungan. Soerianegara dan Indrawan (1978), menyatakan jika keadaan hutan terlalu rapat dan gelap, maka ada kemungkinan cahaya atau bayangan (naungan) mengandung banyak cahaya infra merah yang tidak baik bagi perkecambahan jenis-jenis pohon tertentu.
(38)
4.3 Luas Bidang Dasar Sapling di Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Leuser
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan 5 jenis sapling dengan luas bidang dasar tertinggi seperti gambar di bawah:
Gambar 1. Luas Bidang Dasar Sapling di Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Leuser
Dari gambar 1 dapat dilihat bahwa Luas Bidang Dasar tertitinggi ialah
Actephila sp sebesar 0.0738 m dan yang terendah pada jenis Aporosa sp. sebesar
0.0484 m. Besarnya luas basal area suatu jenis pohon sangat berpengaruh pada jenis tanaman dan faktor unsur hara yang terdapat di dalam tanah.
Hortson (1976) dalam Yefri (1987), menyatakan bahwa yang paling berpengaruh dalam menentukan diameter batang adalah jenis dan umur pohon. Menurut Soerianegara dan indrawan (1978), menyatakan bahwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai adaptasi yang tinggilah yang bisa hidup sukses di suatu daerah. Selain itu juga dipengaruhi oleh pertumbuhan dari bibit atau kecambah dari suatu jenis dimana kecambah yang duluan tumbuh dapat menguasai tutupan tajuk nantinya, yang nantinya berpengaruh terhadap kecambah yang lambat tumbuh karena daya toleransinya terhadap naungan. Keadaan hutan terlalu rapat dan gelap, maka ada kemungkinan cahaya atau bayangan (naungan) mengandung banyak cahaya infra merah yang tidak baik bagi perkecambahan jenis-jenis pohon tertentu.
(39)
4.4 Nilai Kerapatan Relatif, Frekuensi Relatif, Dominansi Relatif, dan Indeks Nilai Penting Seedling dan Sapling di Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Leuser
4.4.1 Jenis Seedling Dengan Nilai KR, FR, DR, dan INP Pada Lokasi Penelitian di Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Leuser.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan adapun nilai KR, FR, DR dan INP untuk seedling dapat dilihat dari Tabel 4.4.1.
Tabel 4.4.1 Jenis Seedling Dengan Nilai KR, FR, DR, dan INP Pada Lokasi Penelitian di Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Leuser.
No
Spesies Famili KR (%) FR (%) DR (%) INP (%)
1 Actephila exelsa MUELL. ARG. Euphorbiaceae 1.338 1.338 1.721 4.396 2 Adinandra dumosu JACK. Theaceae 1.338 1.338 0.680 3.356
3 Aglaia sp. Meliaceae 0.669 0.669 0.667 2.005
4 Aglaia sp. 1 Meliaceae 1.003 1.003 1.826 3.832
5 Anthocephalus sp. Rubiaceae 0.669 0.669 0.154 1.492 6 Aporosa praniana KING. Euphorbiaceae 2.007 2.006 2.773 6.786
7 Aporosa sp. Euphorbiaceae 1.338 1.338 1.483 4.158
8 Aporosa sp. 1 Euphorbiaceae 1.003 1.003 1.227 3.233
9 Ardisia sp Myrsinaceae 1.338 1.338 0.964 3.640
10 Arthocarpus sp. Moraceae 1.003 1.003 0.995 3.002
11 Arthocarpus sp. 1 Moraceae 1.003 1.003 0.277 2.284
12 Arthrophyllum sp. Araliaceae 0.669 0.669 0.680 2.018 13 Baccaurea sp. Euphorbiaceae 1.672 1.672 1.521 4.865
14 Bauhinia sp. Leguminaceae 0.669 0.669 0.747 2.084
15 Beilchmiedia pahangensis GAMBLE Lauraceae 1.672 1.672 2.644 5.988 16 Boischofia javanica BL. Euphorbiaceae 1.003 1.003 0.918 2.925
17 Boehmeria sp. Urticaceae 1.672 1.672 1.352 4.696
18 Castanopsis inermisBEN. Et, HOOK., F Fagaceae 1.672 1.672 2.044 5.388 19 Castanopsis malaccensis GAMBLE. Fagaceae 1.672 1.672 1.158 4.502
20 Castanopsis sp. Fagaceae 1.003 1.003 1.262 3.268
21 Castanopsis sp. 1 Fagaceae 1.003 1.003 1.075 3.082
22 Chasalia sp. Rubiaceae 1.338 1.338 1.333 4.009
23 Chasalia sp. 1 Rubiaceae 1.672 1.672 2.158 5.502
24 Chasalia sp. 2 Rubiaceae 1.672 1.672 2.593 5.937
25 Cinnamomum sp. Lauraceae 0.669 0.669 0.311 1.649
26 Cinnamomum sp. 1 Lauraceae 2.341 2.341 0.964 5.646
27 Coffea sp. Rubiaceae 1.672 1.672 1.639 4.984
28 Coffea sp. 1 Rubiaceae 1.003 1.003 0.545 2.552
29 Colophyllum sp. Theaceae 1.003 1.003 1.108 3.115
30 Dysoxylum sp. Meliaceae 1.003 1.003 0.934 2.940
31 Erioglossum rabigionosum BL. Euphorbiaceae 1.338 1.338 1.244 3.920 32 Eurya acuminata DC. Theaceae 1.003 1.003 0.667 2.674 33 Eusideroxylon sp. Araliaceae 1.338 1.338 0.980 3.655 34 Exoecaria guadrangularis MUELL. ARG. Euphorbiaceae 1.003 1.003 1.502 3.508
35 Ficus sp. Moraceae 1.003 1.003 0.859 2.866
36 Ficus sp. 1 Moraceae 1.338 1.338 1.059 3.734
37 Ficus sp. 2 Moraceae 1.672 1.672 1.227 4.571
38 Ficus sp. 3 Moraceae 1.003 1.003 1.370 3.377
39 Garcinia dulcis KURZ Clusiaceae 1.672 1.672 0.446 3.790
40 Garcinia sp. Clusiaceae 1.003 1.003 2.593 4.600
41 Garcinia sp. 1 Clusiaceae 1.672 1.672 0.642 3.986
(40)
43 Gironniera sp. 1 Ulmaceae 1.672 1.672 1.370 4.714 44 Helicia cochinchinensis LOUR. Urticaceae 2.007 2.006 3.525 7.538
45 Ixora sp. Rubiaceae 1.003 1.003 0.534 2.540
46 Kapsia sp. Apocynaceae 1.003 1.003 0.511 2.518
47 Litsea sp. Lauraceae 1.338 1.338 0.964 3.640
48 LItsea sp. 1 Lauraceae 1.672 1.672 1.502 4.846
49 Litsea sp. 2 Lauraceae 1.338 1.338 1.280 3.955
50 Litsea sp. 3 Lauraceae 1.338 1.338 1.227 3.902
51 Maesa blumei. DON Myrsinaceae 2.007 2.006 1.826 5.839 52 Myristica sp. Myristicaceae 1.672 1.672 0.733 4.077 53 Myristica sp. 1 Myristicaceae 1.338 1.338 1.731 4.407 54 Myristica sp. 2 Myristicaceae 0.669 0.669 0.733 2.071 55 Nauclea Subdita MERR Rubiaceae 1.672 1.672 1.125 4.469
56 Nauclea sp. Rubiaceae 2.341 2.341 5.083 9.765
57 Pavetta indica L. Rubiaceae 1.338 1.338 1.075 3.751
58 Petunga sp. Rubiaceae 1.003 1.003 1.721 3.728
59 Pilea sp. Urticaceae 1.338 1.338 0.581 3.256
60 Plotarium giternifolium (MELCIOR) Theaceae 1.003 1.003 0.511 2.518
61 Shyzigium sp. Myrtaceae 1.672 1.672 2.251 5.595
62 Shyzigium sp. 1 Myrtaceae 1.338 1.338 1.227 3.902
63 Shyzigium sp. 2 Myrtaceae 1.672 1.672 1.125 4.469
64 Shyzigium sp. 3 Myrtaceae 2.007 2.006 2.644 6.657
65 Shyzigium sp. 4 Myrtaceae 1.672 1.672 1.783 5.128
66 Shyzigium sp. 5 Myrtaceae 1.338 1.338 0.511 3.186
67 Shyzigium sp. 6 Myrtaceae 2.007 2.006 1.804 5.817
68 Semecarpus sp. Anacardiaceae 2.007 2.006 2.468 6.481
69 Swietenia sp. Meliaceae 2.341 2.341 4.139 8.821
70 Terstroemia sp. Theaceae 0.669 0.669 0.557 1.895
71 Uncaria sp. Rubiaceae 1.338 1.338 0.802 3.477
72 Uncaria sp. 1 Rubiaceae 1.672 1.672 0.964 4.308
73 Urophyllum sp. Rubiaceae 1.672 1.672 2.158 5.502
Untuk Nilai Kerapatan Relatif dan Frekuensi Relatif tertinggi terdapat pada jenis Cinnamomum sp. 1., Nauclea sp., Swietenia sp. sebesar 2.341 %, sedangkan Nilai Kerapatan Relatif dan Frekuensi Relatif terendah terdapat pada jenis Aglaia sp.,
Anthocephalus sp., Arthrophyllum sp., Bauhinia sp., Cinnamomum sp., Myristica Sp.
2 dan Terstroemia sp sebesar 0.669 %.
Nilai Dominansi Relatif yang tertinggi pada jenis Nauclea sp. sebesar 5.083 %. Nilai Dominansi Relatif terendah terdapat pada jenis Arthocarpus sp. 1 sebesar 0.277 %. Pada INP sendiri nilai tertinggi terdapat pada terdapat pada jenis Nauclea sp. dengan 9.765 %. Sedangkan Indeks Nilai Penting terendah terdapat pada jenis
Anthocephalus sp. dengan 1.492 %.
Besarnya nilai DR dan INP menunjukkan bahwa jenis tertentu dapat beradaptasi pada lokasi ini tepatnya di bawah naungan jenis-jenis pohon yang terdapat pada lokasi tersebut, terutama jenis yang dominan. Besarnya nilai ini
(41)
menunjukkan jenis seedling tersebut dapat bersaing dengan pohon-pohon dominan tersebut, dalam hal ini terjadi persaingan (kompetisi) interspesifik berlainan jenis.
Menurut Rososoedarmo et al., (1989), karakteristik dari hutan hujan tropis adalah mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi dan hanya jenis tertentu saja yang dapat toleran dan mampu hidup pada habitat yang sangat ekstrim seperti, tempat terbuka, cahaya matahari penuh, selain itu menurut Loveless (1989), sebagian tumbuhan dapat berhasil tumbuh dalam kondisi lingkungan yang beraneka ragam sehingga tumbuhan tersebut cenderung tersebar luas. Monk et al., (2000), menyatakan pohon-pohon yang tumbuh di bawah ketinggian optimum, umumnya mengandalkan pasokan bijinya dari pohon-pohon di ketinggian atasnya.
4.4.2 Jenis Sapling Dengan Nilai KR, FR, DR, dan INP Pada Lokasi Penelitian di Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Leuser.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan adapun nilai KR, FR, DR dan INP untuk sapling dapat dilihat dari Tabel 4.4.2.
Tabel 4.4.2 Jenis Sapling Dengan Nilai KR, FR, DR, dan INP Pada Lokasi Penelitian di Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Leuser.
No Spesies Family KR (%) FR DR INP
(%) (%) (%) 1 Acroaychia laurifolia BL. Euphorbiaceae 0.654 0.658 0.864 2.176
2 Actephila sp. Rutaceae 2.288 1.974 5.402 9.99
3 Adinandra sp. Theaceae 0.654 0.658 0.920 2.231
4 Adinandra sp. 1 Theaceae 1.307 1.316 2.529 5.152
5 Aglaia sp. Meliaceae 0.987 0.987 0.621 2.588
6 Aglaia sp. 1 Meliaceae 0.654 0.658 1.379 2.691
7 Allophyllus sp. Sapindaceae 0.987 0.987 0.362 2.330
8 Antidesma sp. Euphorbiaceae 0.654 0.658 0.469 1.781
9 Antidesma sp. 1 Euphorbiaceae 1.307 1.316 5.379 8.002 10 Antidesma sp. 2 Euphorbiaceae 0.987 0.987 2.825 4.792 11 Antidesma sp. 3 Euphorbiaceae 1.307 1.316 1.283 3.906
12 Aporosa sp. Euphorbiaceae 1.307 1.316 0.535 3.158
13 Aporosa sp. 1 Euphorbiaceae 0.654 0.658 0.440 1.751
14 Aporosa sp. 2 Euphorbiaceae 1.634 1.645 3.641 6.920
15 Aporosa sp. 3 Euphorbiaceae 1.307 1.316 1.837 4.460
16 Aporosa sp . 4 Euphorbiaceae 1.307 1.316 2.413 5.037
17 Aporosa sp. 5 Euphorbiaceae 1.961 1.974 3.632 7.567
(42)
19 Aporosa sp. 7 Euphorbiaceae 0.654 0.658 0.644 1.955
20 Aporosa sp 8 Euphorbiaceae 0.654 0.658 0.887 2.199
21 Ardisia sp. Myrsinaceae 2.288 2.303 5.390 9.981
22 Ardisia sp. 1 Myrsinaceae 0.654 0.658 0.181 1.493
23 Ardisia sp. 2 Myrsinaceae 0.327 0.329 0.216 0.872
24 Ardisia sp. 3 Myrsinaceae 0.654 0.658 0.819 2.131
25 Arthocarpus castaeicarpus THWALTES. Moraceae 2.614 2.303 5.551 10.141 26 Arthocarpus rigidus BL. Moraceae 0.654 0.658 0.181 1.493
27 Arthocarpus sp. Moraceae 1.307 1.316 0.402 3.025
28 Arthocarpus sp. 1 Moraceae 0.987 0.987 0.042 2.010
29 Arthrophyllum diversifolium BL. Araliaceae 1.307 1.316 0.254 2.877 30 Arthrophyllum sp. Araliaceae 0.327 0.329 0.181 0.837 31 Beilchmiedia paHangensis GAMBLE. Lauraceae 0.987 0.987 0.244 2.212
32 Beilchmiedia sp. lauraceae 0.987 0.987 0.060 2.027
33 Boehmeria glamerulifera. Urticaceae 0.987 0.987 0.088 2.055
34 Boehmeria sp. Urticaceae 1.634 1.645 0.282 3.561
35 Bouea macrophylla GRIFF. Anacardiaceae 0.654 0.658 0.239 1.551
36 Bouea sp. Anacardiaceae 1.307 0.987 1.228 3.522
37 Brassaia actinophylla MUELL. Araliaceae 0.987 0.987 0.583 2.55
38 Brassaia sp. Araliaceae 0.654 0.658 1.056 2.367
39 Buchanaria sp. Anacardiaceae 0.654 0.658 0.086 1.398
40 Cannarium sp. Burseraceae 1.307 1.316 0.153 2.776
41 Castanopsis sp. Rubiaceae 0.987 0.987 0.054 2.021
42 Chasalia sp. Rubiaceae 1.634 1.645 0.433 3.712
43 Cinchona sp. Rubiaceae 2.288 2.303 1.328 5.918
44 Cinchona sp.1 Rubiaceae 0.654 0.658 0.221 1.532
45 Cinchona Succirutra Lauraceae 1.307 1.316 0.405 3.028
46 Cinnamomum sp. Lauraceae 0.654 0.658 0.733 2.045
47 Cinnamomum sp .1 Lauraceae 0.987 0.987 0.183 2.151
48 Cinnamomum sp. 3 Burseraceae 0.654 0.658 0.029 1.341
49 Diospyras sp. Ebenaceae 0.987 0.987 0.040 2.008
50 Ervatamia malaccensis Apocynaceae 0.987 0.987 1.107 3.074
51 Eucalyptus sp Myrtaceae 0.987 0.987 0.351 2.318
52 Eusideroxylon sp. Lauraceae 0.987 0.987 0.014 1.982
53 Ficus Parietalis BL. Moraceae 0.654 0.658 1.191 2.502 54 Ficus sagittata VAHL. Moraceae 0.987 0.987 0.239 2.207
55 Ficus sp. Moraceae 0.654 0.658 1.266 2.578
56 Ficus sp. 1 Moraceae 0.654 0.658 0.359 1.671
57 Ficus sp. 2 Moraceae 0.987 0.987 0.138 2.106
58 Ficus sp. 3 Moraceae 0.654 0.658 0.054 1.366
59 Ficus sp. 4 Moraceae 0.987 0.987 0.784 2.752
60 Ficus sp. 5 Moraceae 0.327 0.329 0.103 0.759
61 Ficus sp. 6 Moraceae 0.327 0.329 0.038 0.694
62 Ficus sp. 7 Moraceae 1.307 1.316 1.890 4.514
63 Ficus sp. 8 Moraceae 0.327 0.329 0.216 0.872
64 Garcinia sp. Clusiaceae 0.327 0.329 0.117 0.773
65 Garcinia sp. 1 Clusiaceae 0.654 0.658 0.322 1.634
66 Genipa sp. Rubiaceae 0.654 0.658 0.967 2.279
67 Gironiera sp. Ulmaceae 0.654 0.658 0.486 1.798
68 Hedyotis sp. Rubiaceae 1.307 1.316 4.123 6.746
69 Ixora sp. Rubiaceae 0.327 0.329 0.038 0.694
70 Lansium Sp. Meliaceae 0.327 0.329 0.101 0.757
71 Lindera glauca BL. Lauraceae 0.654 0.658 0.982 2.293
72 Litsea amara BL. Lauraceae 0.987 0.987 0.824 2.791
73 Litsea sp. Lauraceae 0.987 0.987 0.575 2.543
74 Litsea sp. 1 Lauraceae 0.654 0.658 0.864 2.176
75 Litsea sp. 2 Lauraceae 1.634 1.645 1.575 4.854
76 Litsea sp. 3 Lauraceae 0.987 0.987 1.317 3.284
(43)
Pada Tabel 4.4.2 dapat dilihat bahwa nilai Kerapatan Relatif dan Frekuensi Relatif tertinggi adalah Arthocarpus castaeicarpus THWALTES. dari famili Moraceae sebesar 2.614 %. Sedangkan Kerapatan Relatif dan Frekuensi Relatif terendah adalah Ardisia sp. 2, Arthrophyllum sp., Ficus sp. 5., Ficus Sp. 6., Ficus sp. 8, Garcinia Sp., Ixora Sp., Lansium sp., Litsea sp. 4, Melia sp., Morinda sp., Nauclea sp., Palaqium sp., Pentasfadon sp., Ruellia sp., Shizigium sp. 1 serta Shizigium sp. 3 sebesar 0.327 %.
Nilai Dominansi Relatif tertinggi adalah jenis Arthocarpus castaeicarpus THWALTES. sebesar 5.551 %, sedangkan nilai Dominansi Relatif terendah yaitu jenis Eusideroxylon sp sebesar 0.014 %.
78 Litsea sp. 5 Lauraceae 0.654 0.658 0.539 1.850
79 Maesa sp. Myrsinaceae 0.654 0.658 0.479 1.791
80 Melia exelsa JACK. Meliaceae 0.654 0.658 0.167 1.479
81 Melia sp. Meliaceae 0.327 0.329 0.153 0.809
82 Morinda sp. Rubiaceae 0.327 0.329 0.117 0.773
83 Myristica crassa KING. Myristicaceae 0.987 0.987 0.910 2.878
84 Nauclea sp. Rubiaceae 0.327 0.329 0.169 0.825
85 Palaqium sp. Sapotaceae 0.327 0.329 0.216 0.872
86 Palaqium sp. 1 Sapotaceae 0.987 0.987 1.294 3.262
87 Palaqium sp. 2 Sapotaceae 0.987 0.987 1.159 3.126
88 Pentasfadon sp Anacardiaceae 0.327 0.329 1.081 1.737
89 Persea sp Lauraceae 0.987 0.987 0.317 2.284
90 Psychotria sp Rubiaceae 0.654 0.658 0.144 1.455
91 Psychotria sp. 1 Rubiaceae 0.654 0.658 1.239 2.551
92 Quercus lucida ROXB. Fagaceae 0.654 0.658 0.183 1.495 93 Randia exallata GRIFF. Rubiaceae 0.654 0.658 0.542 1.854
94 Randia sp. Rubiaceae 0.327 0.329 0.345 1.001
95 Randia sp. 1 Rubiaceae 0.654 0.658 0.473 1.784
96 Ruellia sp Acanthaceae 0.327 0.329 0.038 0.694
97 Sarchochephalus sp. Rubiaceae 0.987 0.987 1.159 3.126 98 Shyzigium filiformis Myrtaceae 0.654 0.658 0.828 2.140 99 Shyzigium polyantha WIGHT. Myrtaceae 0.654 0.658 0.252 1.563 100 Shyzigium pseudosubtilis KING. Myrtaceae 0.987 0.987 1.844 3.811
101 Shyzigium sp. Myrtaceae 0.654 0.658 0.048 1.360
102 Shyzigium sp. 1 Myrtaceae 0.327 0.329 0.095 0.751
103 Shyzigium sp. 2 Myrtaceae 1.307 1.316 2.544 5.168
104 Shyzigium sp. 3 Myrtaceae 0.327 0.329 0.06 0.716
105 Shyzigium sp. 4 Myrtaceae 0.654 0.658 0.153 1.465
106 Shyzigium sp. 5 Myrtaceae 0.654 0.658 0.101 1.413
107 Shyzigium sp. 6 Myrtaceae 0.654 0.658 0.038 1.350
108 Shyzigium sp. 7 Myrtaceae 0.987 0.987 0.594 2.561
109 Shyzigium sp. 8 Myrtaceae 0.987 0.987 1.472 3.440
110 Streblus elongates (MIQ) CORNER. Moraceae 0.987 0.987 1.322 3.290
111 Talauma sp. Magnoliaceae 1.634 1.645 1.778 5.057
112 Urophyllum sp. Rubiaceae 0.654 0.658 0.06 1.371
(44)
Untuk Indeks Nilai Penting dari berkisar antara 10.141 – 0.694. Indeks Nilai Penting tertinggi terdapat pada jenis Arthocarpus castaeicarpus THWALTES. dari famili Moraceae sebesar 10.141 %. Sedangkan Indeks Nilai Penting terendah terdapat pada jenis Ruellia Sp dari famili Acanthaceae sebesar 0.694 %.
Tingginya nilai K, KR, FR dan INP dari jenis Arthocarpus castaeicarpus THWALTES menunjukkan banyaknya jenis tersebut pada hutan pegunungan Leuser. Dan Nilai tersebut dapat menggambarkan proporsi antara jumlah pohon dalam suatu jenis dengan jumlah jenis lainnya didalam komunitas serta dapat menggambarkan penyebaran individu didalam komunitas. Beragamnya nilai ini mungkin disebabkan karena kondisi hutan pegunungan Leuser yang memiliki variasi lingkungan yang tinggi. Dari hasil terendah menunjukkan bahwa jenis-jenis dari famili tersebut mempunyai jumlah paling sedikit didapatkan. Ini juga diduga karena faktor lingkungan yang kurang cocok dengan syarat tumbuh dari jenis-jenis tersebut.
Menurut Pramono (1992), menyatakan bahwa pertumbuhan dipengaruhi lingkungan terdiri dari faktor tanah, iklim, mikroorganisme, kompetisi dengan organisme lain. Lebih lanjut Daniel et al., (1992), menambahkan bahwa pertumbuhan tumbuhan juga dipengaruhi oleh zat-zat organik yang tersedia, kelembaban, sinar matahari, tersedianya air dalam tanah dan proses fisiologi tumbuhan tersebut.
Menurut Resosoedarmo et al., (1989), dalam suatu komunitas pengendali kehadiran jenis-jenis dapat berupa satu atau beberapa jenis tertentu atau dapat pula sifat-sifat fisik habitat. Meskipun demikian tidak ada batas yang nyata antara keduanya sebab keduanya dapat saja beroperasi secara bersama-sama atau saling mempengaruhi, misalnya saja kondisi tanah, topografi, elevasi dan iklim. Selain itu menurut Odum (1971), jenis yang dominan mempunyai produktivitas yang besar, dan dalam menentukan suatu jenis vegetasi dominan yang perlu diketahui adalah diameter batangnya.
(45)
4.5 Struktur Vegetasi Seedling dan Sapling Secara Vertikal
Stuktur vegetasi seedling dan sapling secara vertikal yang merupakan stratum berdasarkan ketinggian dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Stratifikasi Seedling dan Sapling Berdasarkan Ketinggian Pohon
Berdasarkan gambar 2 dapat diketahui bahwa di hutan Taman Nasional Gunung Leuser sapling didominasi oleh Stratum C sebesar 233 ind/0.6 Ha atau 388 ind/Ha dan masuk kedalam Stratum D dengan jumlah 73 ind/0.6 Ha atau sebesar 122 ind/Ha. Untuk seedling seluruhnya masuk ke dalam Stratum E dengan 300 ind/0.3 Ha atau sebesar 1000 ind/Ha (Lampiran E). Ketinggian suatu pohon sangat dipengaruhi oleh faktor internal seperti keadaan pohon itu sendiri dan fakor eksternal berupa lingkungan serta berhasilnya suatu pohon dalam berkompetisi.
Menurut Kramer dan Kozlowski (1979) dalam Irwanto (2008), pertumbuhan merupakan hasil akhir interaksi dari berbagai proses fisiologis, dan untuk mengetahui mengapa pertumbuhan pohon berbeda pada berbagai variasi keadaan lingkungan dan perlakuan, diperlukan bagaimana proses fisiologis dipengaruhi oleh lingkungan.
Daniel et al., (1992), menyatakan bahwa pertumbuhan tumbuhan dipengaruhi oleh faktor tanah, iklim, mikroorganisme, kompetisi dengan organisme lainnya dan Individu
(46)
juga dipengaruhi oleh zat-zat organik yang tersedia, kelembaban dan sinar matahari. Kondisi faktor fisik lingkungan mengalami perubahan terutama pada intensitas cahaya. Faktor-faktor lingkungan seperti suhu udara, suhu tanah, kelembaban dan intensitas cahaya sangat mempengaruhi pertumbuhan jenis tumbuhan bawah.
4.6 Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman Seedling dan Sapling Untuk mengetahui Indeks keanekaragaman dan Indeks Keseragaman pada sapling dan seedling yang telah dilakukan didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 4.6. Indeks Keanekeragaman dan Keseragaman Seedling dan Sapling Pada Lokasi Penelitian
H’ E
Seedling 4.242 0.989
Sapling 4.606 0.975
Dari Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa indeks kenakeragaman untuk sapling (4.606) lebih tinggi dari pada seedling (4.242). Untuk indeks keseragaman nilai seedling (0.989) lebih tinggi dari pada sapling (0.975). Hal ini menunjukkan tingginya keanekaragaman dan keseragaman pada seedling dan sapling yang dipengaruhi oleh faktor habitat dan tempat tumbuh. Ini memperlihatkan bahwa lokasi tersebut merupakan habitat yang sesuai dengan jumlah nutrisi yang dibutuhkan serta masih memungkinkannya untuk hidup. Menurut Irwanto (2008), ketersediaan nutrisi dan pemanfaatan nutrisi yang berbeda menyebabkan nilai keanekaragaman dan nilai Indeks keseragaman bervariasi.
4.7 Faktor Fisik kimia Lokasi Penelitian
Dari lokasi penelitian didapatkan data faktor fisik kimia seperti suhu udara menunjukan angka 29°C, pH tanah 5.7, kelembaban udara 90% mmHg, intensitas cahaya 6800 lux dan untuk suhu tanah sebesar 26°C.
Variasi dan keberadaan jenis pada tiap lokasi tidak terlepas dari adanya pengaruh faktor lingkungan, iklim dan faktor tanah dan kompetisi akan nutrisi yang
(47)
sedikit pada hutan pegunungan. Daniel et al., (1992), menyatakan bahwa pertumbuhan tumbuhan dipengaruhi oleh faktor tanah, iklim, mikroorganisme, kompetisi dengan organisme lainnya dan juga dipengaruhi oleh zat-zat organik yang tersedia, kelembaban dan sinar matahari. Kondisi faktor fisik lingkungan mengalami perubahan terutama pada intensitas cahaya. Faktor-faktor lingkungan seperti suhu udara, suhu tanah, kelembaban dan intensitas cahaya sangat mempengaruhi pertumbuhan jenis tumbuhan bawah
Krebs (1985) menyatakan hutan pegunungan sangat dipengaruhi oleh suhu, selanjutnya keadaan hutan tersebut juga dipengaruhi oleh batuan yang menyusun lapisan tanah dimana kebanyakan lapisan tanah pegunungan merupakan turunan dari batuan vulkanik yang sangat asam dan kurang akan posfor dan nitrogen. Krebs (1985) juga menyatakan bahwa kelembaban tanah mempengaruhi penyebaran geografi pada sebagian besar pohon pada hutan pegunungan dan mempengaruhi kandungan atau ketersediaan air tanah, dimana hubungannya dengan temperatur dapat mempengaruhi keseimbangan air tumbuhan. Lebih lanjut ia juga menyatakan angin mempengaruhi kelembaban udara dan penyebaran biji tumbuhan pada hutan pegunungan.
(48)
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari penelitian Struktur dan Komposisi Vegetasi Seedling dan Sapling di Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Leuser Desa Telagah Kabupaten Langkat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. a. Struktur vegetasi seedling didominasi oleh Nauclea sp dari famili Rubiaceae dengan Indeks Nilai Penting sebesar 9.675 %, sedangkan Indeks Nilai Penting terendah terdapat pada jenis Anthocephalus sp. sebesar 1.492 %.
b. Struktur vegetasi sapling didominasi oleh Arthocarpus castaeicarpus THWALTES dari famili Moraceae dengan Indeks Nilai penting sebesar 10.141 %, sedangkan Indeks Nilai Penting terendah terdapat pada jenis Ruellia Sp dari famili Acanthaceae sebesar 0.694 %.
c. Struktur vegetasi seedling secara vertikal adalah stratum E dengan jumlah 300 ind/0.3 Ha atau sebesar 1000 ind/Ha, untuk vegetasi sapling secara vertikal adalah stratum C dengan jumlah 233 ind/0.6 Ha atau sebesar 388 ind/Ha dan stratum D dengan jumlah 73 ind/0.6 Ha atau sebesar 122 ind/Ha.
2. a. Komposisi jenis seedling ditemukan 73 jenis dengan17 famili. b. Komposisi jenis sapling ditemukan 113 jenis dengan 23 famili.
3. a.Indeks keanekaragaman (H’) seedling sebesar 4,242, sedangkan Indeks keseragaman (E) sebesar 0.989.
(49)
b. Indeks Keanekaragaman (H’) untuk sapling sebesar 4.606, sedangkan Indeks keseragaman (E) sebesar 0.975.
5.2 Saran
Penelitian ini merupakan studi awal, sehingga perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut mengenai karbon tersimpan di kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser Desa Telagah Kabupaten langkat.
(50)
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, J., J. Damanik. N Hisyam & A. J. Whitten. 1984. Ekologi Ekosistem
Sumatera. Yogyakarta: UGM Press. hlm. 317-318, 419-421, 424.
Arief, A. 1994. Hutan, Hakikat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan. Edisi I. Cetakan 1. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hlm. 4, 100.
Barnes,B.V.DR.Zak.,S.R Denton., S.H.Spurr .1997. Forest Ecology. Fourt Edition.John wiley & Sons Inc. New York. p. 590,665-666.
Damanik, J. S., J, Anwar., N. Hisyam., A. Whitten. 1992, Ekologi Ekosistem
Sumatera., Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hlm. 417-443.
Daniel, T. W., J. A. Helms, & F. S. Baker. 1992. Prinsip-prinsip Silvinatural. Yogyakarta: UGM Press. hlm. 46-50.
Desmann, R.F., J.P.Milton, dan P.H. Freeman 1977. Prinsip Ekologi untuk
Pembangunan Ekonomi. Penerjemah: Sumarwoto, O. Jakarta: P.T.
Gramedia.
Ewusie, J. Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Penerjemah Usman Tanuwijaya. Bandung. Penerbit ITB. hlm. 251.
Gusmalyna. 1983. Analisis Vegetasi Dasar di Hutan Setia Mulia Ladang Padi
Padang. Tesis Sarjana Biologi (tidak dipublikasi) FMIPA Universitas
Andalas.
Haeruman, H. 1980. Hutan Sebagai Lingkungan Hidup. Kantor Menteri Negara
Pengawasan Pembangunan dan lingkungan Hidup. Jakarta. hlm. 11-13.
Harris, W. R. 1979. Arboruculture Cera of tress, shurbs and Vines In The Landscape. New Jersey: Prentice hall. Hlm: 440-444.
Ihsan, M. 2008. Struktur Dan Komposisi Vegetasi Pohon Dan Belta Hutan
Pegunungan Bawah Gunung Sinabung kabupaten Karo. Skripsi Sarjana
Biologi (tidak dipublikasi). Medan : FMPA-USU, hlm. 26. Indriyanto,Ir. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta : PT. Bumi Aksara. hlm.120.
(1)
77 ZA 107 Litsea sp. 4 Lauraceae
78 ZA 93 Litsea sp. 5 Lauraceae
79 ZA 130 Maesa sp. Myrsinaceae
80 ZA 160 Melia exelsa JACK. Meliaceae
81 ZA 63 Melia sp. meliaceae
82 ZA 30 Morinda sp. Rubiaceae
83 ZA 58 Myristica crassa KING. Myristicaceae
84 ZA 66 Nauclea sp. Rubiaceae
85 ZA 69 Palaqium sp. Sapotaceae
86 ZA 75 Palaqium sp. 1 Sapotaceae
87 ZA 51 Palaqium sp. 2 Sapotaceae
88 ZA 153 Pentasfadon sp Anacardiaceae
89 ZA 85 Persea sp lauraceae
90 ZA 185 Psychotria sp Rubiaceae
91 ZA 126 Psychotria sp. 1 Rubiaceae
92 ZA 256 Quercus lucida ROXB. Fagaceae
93 ZA 150 Randia exallata GRIFF. Rubiaceae
94 ZA 110 Randia sp. Rubiaceae
95 ZA 253 Randia sp. 1 Rubiaceae
96 ZA 33 Ruellia sp Acanthaceae
97 ZA 61 Sarchochephalus sp Rubiaceae
98 ZA 135 Shyzigium filiformis Myrtaceae
99 ZA 101 Shyzigium polyantha WIGHT. Myrtaceae 100 ZA 110 Shyzigium pseudosubtilis KING. Myrtaceae
101 ZA 112 Shyzigium sp. Myrtaceae
102 ZA 242 Shyzigium sp. 1 Myrtaceae
103 ZA 114 Shyzigium sp. 2 Myrtaceae
104 ZA 232 Shyzigium sp. 3 Myrtaceae
(2)
106 ZA 87 Shyzigium sp. 5 Myrtaceae
107 ZA 72 Shyzigium sp. 6 Myrtaceae
118 ZA 52 Shyzigium sp. 7 Myrtaceae
119 ZA 43 Shyzigium sp. 8 Myrtaceae
110 ZA 125 Streblus elongates (MIQ) CORNER. Moraceae
111 ZA 50 Talauma sp. Magnoliaceae
112 ZA 109 Urophyllum sp. Rubiaceae
113 ZA 32 Uncaria sp. Rubiaceae
114 SP 68 Actephila exelsa MUELL. ARG. Euphorbiaceae
115 SP 1 Adinandra dumosu JACK. Theaceae
116 SP 33 Aglaia sp. Meliaceae
117 SP 9 Aglaia sp. 1 Meliaceae
118 SP 11 Anthocephalus sp. Rubiaceae
119 SP 24 Aporosa praniana KING. Euphorbiaceae
120 SP 14 Aporosa sp. Euphorbiaceae
121 SP 76 Aporosa sp. 1 Euphorbiaceae
122 SP 63 Ardisia sp Myrsinaceae
123 SP 122 Arthocarpus sp. Moraceae
124 SP 147 Arthocarpus sp. 1 Moraceae
125 SP 37 Arthrophyllum sp. Araliaceae
126 SP 113 Baccaurea sp. Euphorbiaceae
127 SP 16 Bauhinia sp. Leguminaceae
128 SP 45 Beilchmiedia pahangensis GAMBLE Lauraceae 129 SP 50 Boischofia javanica BL. Euphorbiaceae
130 SP 4 Boehmeria sp. Urticaceae
131 SP 35 Castanopsis inermis BEN. Et, HOOK., F Fagaceae 132 SP 54 Castanopsis malaccensis GAMBLE. Fagaceae
133 SP 88 Castanopsis sp. Fagaceae
(3)
135 SP 28 Chasalia sp. Rubiaceae
136 SP 132 Chasalia sp. 1 Rubiaceae
137 SP 43 Chasalia sp. 2 Rubiaceae
138 SP 34 Cinnamomum sp. Lauraceae
139 SP 93 Cinnamomum sp. 1 Lauraceae
140 SP 2 Coffea sp. Rubiaceae
141 SP 44 Coffea sp. 1 Rubiaceae
142 SP 62 Colophyllum sp. Theaceae
143 SP 25 Dysoxylum sp. Meliaceae
144 SP 51 Erioglossum rabigionosum BL. Euphorbiaceae
145 SP 40 Eurya acuminata DC. Theaceae
146 SP 38 Eusideroxylon sp. Araliaceae
147 SP 181 Exoecaria guadrangularis MUELL. ARG. Euphorbiaceae
148 SP 89 Ficus sp. Moraceae
149 SP 101 Ficus sp. 1 Moraceae
150 SP 10 Ficus sp. 2 Moraceae
151 SP 106 Ficus sp. 3 Moraceae
152 SP 339 Garcinia dulcis KURZ. Clusiaceae
153 SP 49 Garcinia sp. Clusiaceae
154 SP 234 Garcinia sp. 1 Clusiaceae
155 SP 243 Gironniera sp. Ulmaceae
156 SP 5 Gironniera sp. 1 Ulmaceae
157 SP 31 Helicia cochinchinensis LOUR. Urticaceae
158 SP 46 Ixora sp. Rubiaceae
159 SP 42 Kapsia sp. Apocynaceae
160 SP 21 Litsea sp. Lauraceae
161 SP 148 LItsea sp. 1 Lauraceae
162 SP 131 Litsea sp. 2 Lauraceae
(4)
164 SP 3 Maesa blumei. DON Myrsinaceae
165 SP 90 Myristica sp. Myristicaceae
166 SP 175 Myristica sp. 1 Myristicaceae
167 SP 134 Myristica sp. 2 Myristicaceae
168 SP 6 Nauclea Subdita MERR Rubiaceae
169 SP 26 Nauclea sp. Rubiaceae
170 SP 71 Pavetta indica L. Rubiaceae
171 SP 67 Petunga sp. Rubiaceae
172 SP 32 Pilea sp. Urticaceae
173 SP 109 Plotarium giternifolium (MELCIOR) Theaceae
174 SP 95 Shyzigium sp. Myrtaceae
175 SP 181 Shyzigium sp. 1 Myrtaceae
176 SP 60 Shyzigium sp. 2 Myrtaceae
177 SP 118 Shyzigium sp. 3 Myrtaceae
178 SP 23 Shyzigium sp. 4 Myrtaceae
179 SP 150 Shyzigium sp. 5 Myrtaceae
180 SP 48 Shyzigium sp. 6 Myrtaceae
181 SP 119 Semecarpus sp. Anacardiaceae
182 SP 83 Swietenia sp. Meliaceae
183 SP 13 Terstroemia sp. Theaceae
184 SP 115 Uncaria sp. Rubiaceae
185 SP 78 Uncaria sp. 1 Rubiaceae
186 SP 65 Urophyllum sp. Rubiaceae
a/n Kepala Laboratorium Taksonomi Tumbuhan.
Kaniwa Berliani S.Si, M.Si NIP.1974408082008122002
(5)
Lampiran K. Foto-Foto Pelaksanaan Penelitian
a. Gambar Lokasi Penelitian
(6)
c. Koleksi Sampel Tumbuhan