64
1 Hakim harus memeriksa dan meneliti secara seksama perkara yang diajukan kepadanya dan dilengkapi dengan bukti, sedangkan hakam tidak harus
demikian. 2 Wilayah dan wewenang hakim ditentukan oleh akad pengangkatannya dan
tidak tergantung kepada kerelaan dan persetujuan pihak-pihak yang diadilinya, sedangkan hakam mempunyai wewenang yang terbatas pada
kerelaan dan persetujuan pihak-pihak yang mengangkat dirinya sebagai hakam
. 3 Tergugat harus dihadirkan di hadapan hakim, sedangkan dalam tahkim
masing-masing pihak tidak dapat memaksa lawan perkaranya untuk hadir di majelis tahkim, kedatangan masing-masing pihak tersebut berdasarkan
kemauan masing-masin. 4 Putusan hakim mengikat dan dapat dipaksakan kepada kedua belah pihak
yang berperkara, sedangkan putusan hakam akan dilaksanakan berdasarkan kerelaan masing-masing pihak yang berperkara.
5 Di dalam tahkim ada beberapa masalah yang tidak boleh diselesaikan, yaitu kasus hudud dan qisas, sedangkan di dalam peradilan resminegara semua
persoalan dapat diperiksa dan diselesaikan diputus.
122
2. Penyelesaian sengketa hadhanah melalui lembangan peradilan menurut
Fiqih Islam Dalam sejarah peradilan Islam pada zaman Rasulullah penyelesaian konflik
biasanya langsung diserahkan kepada beliau sebagai Amiirul Mu ‟
minin sekaligus hakim. Hal ini didasarkan pada firman AllahQS. Al-Maa’idah ayat 29, artinya
berbunyi: “dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka”.
123
Tradisi ini kemudian dilanjutkan oleh Abu Bakar, karena pada waktu itu berkembang anggapan pada masyarakat bahwa khalifah adalah pengganti Rasul
dalam urusan pemerintahan, sedang tugas peradilan adalah sebagai salah satu tugas
122
Iman Jauhari, Asy-Syir’ah, Op.Cit. hlm.17.
123
Junus, Mahmud, Op.Cit.
Universitas Sumatera Utara
65
umum pemerintah. Ketika Abu Bakar meninggal, maka ia digantikan oleh Umar bin Khattab sebagai khalifah. Pada masa umar mulai terlihat adanya pendelegasian
wewenang dari khalifah kepada qadhi dalam perkara peradilan, serta lahirnya Risalatu al-Qada
yang memuat hukum secara peradilan agama. Dalam hukum Islam pengadilan dikenal dengan istilah al-qadhaa’.Al-qadhaa’
adalah memutuskan pertentangan yang terjadi dan mengakhiri persengketaan dengan menetapkan hukum syara’ bagi pihak yang bersengketa.Secara terminologi, kata al-
qaadhaa’ berarti
menangani sengketa
dan pertentangan.
124
Ulama Mazhab
Syafi’iyyah menerangkan bahwa yang dimaksud dengan al-qadhaan’ adalah memutuskan pertentangan yang terjadi diantara dua orang atau lebih yang
bersengketa dengan merujuk kepada hukum Allah.Dengan kata lain al-qadhaa’ adalah menetapkan hubungan syara’ dalam satu permasalahan.
Dikalangan ulama Fiqh istilah peradilan dikenal dengan istilah Al-Qadha yang secara etimologi mempunyai beberapa arti diantaranya Al-farag menyudahi,
menyelesaikan, Al-adha menunaikan, membayar Al-hukm memutuskan hukum, menetapkan hukum.
125
Keberadaan pengadilan sangatlah penting, bila kondisi pengadilan baik, maka kondisi umat juga akan baik. Begitu juga sebaliknya jika
pengadilan itu buruk dalam mengimplemetasikan keadilan sebagai upaya penegakkan hukum maka menjadi cermin yang buruk pula bagi masyarakat dan negara.Adapun
orang yang bertugas untuk mengambil keputusan dalam hukum Islam disebut qadhi
124
T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Op.Cit., hlm. 5
125
Salam Mazkur, Peradilan dalam Islam, Terjemahann Imron AM, cet ke-4 Surabaya: Bina Ilmu, 1993, hlm. 11.
Universitas Sumatera Utara
66
yang artinya hakim. Adapun syarat-syarat dan kriteria qadhi menurut para fuqaha yaitu
126
: a. Baligh dan berakal
Artinya jika qadhi tersebut adalah orang yang baligh dewasa dan berakal maka ucapan dan tindakkannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan
adanya kemampuan mengeluarkan putusan hukum dalam kasus persengketaan yang diproses.Namun menurut Al-Mawardi tidak cukup dengan berakal saja
tapi seorang qadhi haruslah memiliki kemampuan membedakan secara akurat dan cermat serta memiliki kecerdasan dan tidak pikun ada penyakit lupa
sehingga mampu menyelesaikan perkara yang diajukan dihadapnya.
b. Berstatus merdeka Artinya bahwa seorang budak tidak memiliki wewenang dan otoritas atas diri
orang merdeka
karena budak
memiliki kekurangan
yang mencegah
terbentuknya wewenang dan otoritas untuk dirinya atas orang lain. c. Beragama Islam muslim
Diharuskan seorang qadhi haruslah beragama Islam, karena non muslim tidak memiliki kekuasaan atas orang muslim. Oleh karena itu kesaksian non muslim
atas orang muslim tidak dapat diterima. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. An-Nisaa ayat 141.
d. Memiliki indra pendengaran, penglihatan dan lisan yang normal. Untuk menjalankan fungsi sebagai seorang qadhi dalam menyelesaikan perkara
maka seorang qadhi juga harus dapat mengunakan panca indranya untuk dapat mengetahui dan menganalisis manakan pihak yang benar dan yang salah.
e. Memiliki ilmu tentang hukum-hukum syara’ Yaitu memilki pengetahuan dan wawasan tentang cabang-cabang hukum syara’
sehingga ia bisa melakukan proses peradilan dengan ketentuan yang ada. Selain tersebut di atas para ulama sepakat bahwa bukti al-bayyinah bisa
dijadikan dasar untuk menetapkan putusan oleh seorang qadhi yaitu
127
: a. saksi-saksi, b. ikrar atau pengakuan dari pihak-pihak, c. sumpah, d. tulisan, e. qarinah indicator
petunjukpraduga. f. pengetahuan hakim, g. al-khibrah dan al-muaayanah
126
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jihad, Pengadilan, Mekanisme Mengambil Keputusan dan Pemerintahan Dalam Islam Jilid 8,
Terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta:Darul fikir, 2011.hlm. 361-362.
127
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
67
keterangan para ahli dan hasil pengamatan, penyelidikkan dan eksisiminasi terhadap objek sengketa, h. surat qadhi kepada qadhi lain.
Seorang qadhi tidak dibenarkan untuk membuat keputusan untuk dirinya sendiri atau menjadi saksi untuk keluarganya seperti ayahnya, anaknya, istrinya dan
musuhnya karena keadaan demikian bisa menimbulkan ketidakkan komporatif dan dapat menghasilkan keputusan yang tidak adil.
128
B. Cara Penyelesaian Sengketa Hadhanah Menurut Kompilasi Hukum Islam
Pada dasarnya Kompilasi Hukum Islam merupakan hukum materiil bagi lingkungan Peradilan Agama, yakni baik itu terhadap Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan salah satu kewenangan pengadilan agama adalah perkara
hadhanah , menetapkan hadhanah anak ketika kedua orang tuanya bercerai. Namun di
Provinsi Aceh Peradilan Agama disebut Mahkamah Syar’iyah, hal diatur dalam Keputusan Presiden RI Nomor 11 tahun 2003 Tentang Mahkamah Sya’iyah dan
Mahkamah Sya’iyah Provinsi di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Qanun Nomor 10 tahun 2002
tentang Peradilan Syariat Islam. Adapun Kewenangan
Mahkamah Syar’iyah diatur dalam Pasal 49, yang menentukan Mahkamah Syar’iyah bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara
pada tingkat pertama, dalam bidang :
128
Saleh Al- Fauzan, Fiqih Sehari-hari, Terjemahan Abdul Hayyie Al-Kattani, Jakarta: Gema Insani, 2006, hlm.916.
Universitas Sumatera Utara
68
a. Ahwal al-syakhshiyah; b. Mu’amalah; dan
c. Jinayah. Selanjutnya perkarahadhanah dapat diajukan tersendiri dan dapat pula diajukan
bersama-sama dengan perkara perceraian, namun saat ini perkara hadhanah haruslah diajukan secara terpisah dengan perkara perceraian, hal ini dikarena perkara
hadhanah yang begitu lama untuk memperoleh putusan hakim yang berkekuatan
hukum tetap, apalagi ada upaya hukum yang lakukan oleh pihak yang tidak memperoleh hak hadhanah sementara perkara perceraian sebagai gugat pokoknya
telah diputuskan oleh hakim
129
. Secara umum pengadilan dalam pertimbangan hukumnya
selalu mengaitkan
ketentuan syar’iat
untuk menetapkan
hak hadhanah.
Adapun penyelesai sengketa hadhanah menurut Kompilasi Hukum Islam diantaranya:
1. Mediasi