Pembagian Harta Bersama Pasca Perceraian

Di sini harus dibedakan antara harta yang dibeli dari hasil penjualan harta pribadi dengan harta yang timbul dari harta pribadi. Dalam hal harta yang dibeli dari hasil penjualan harta pribadi, secara mutlak menjadi yurisdiksi harta pribadi. Begitu pula milik pribadi yang ditukar dengan barang lain, mutlak menjadi milik pribadi, tetapi hasil yang timbul dari harta pribadi itu jatuh menjadi harta bersama. 75 e. Segala penghasilan pribadi suami atau istri Patokan ini sesuai dengan Putusan M.A No. 454KSip1970, tanggal 11 Maret 1971 yang pada intinya menyatakan bahwa segala penghasilan suamiistri, baik yang diperoleh dari keuntungan melalui perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai pegawai menjadi yurisdiksi harta bersama suami atau istri. 76 Jadi sepanjang mengenai penghasilan pribadi suamiistri tidak terjadi pemisahan, bahkan dengan sendirinya terjadi penggabungan sebagai harta bersama. Penggabungan penghasilan pribadi suamiistri ini terjadi demi hukum, sepanjang suami atau istri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

2. Pembagian Harta Bersama Pasca Perceraian

UU Perkawinan, merupakan unifikasi hukum dalam bidang perkawinan bagi seluruh Warga Negara Indonesia. Sebagaimana diketahui sebelumnya di Indonesia 75 Ibid. 76 Ibid. Universitas Sumatera Utara terdapat pluralisme hukum perkawinan. Dalam Pasal 67 UU Perkawinan disebutkan bahwa: Ayat 1 : Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang pelaksanaanya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan peraturan pemerintah; Ayat 2 : Hal-hal dalam undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan, diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah Dalam Pasal 67 ayat 1 UU Perkawinan digunakan istilah “berlaku secara efektif” dalam UU Perkawinan mengandung makna ketentuan-ketentuan UU Perkawinan yang memerlukan peraturan pelaksanaan dan sudah ada peraturan pelaksanaanya, maka ketentuan-ketentuan UU Perkawinan dalam keadaan mulai berlaku dalam arti mulai dijalankan dan menimbulkan akibat hukum. 77 Ketentuan UU Perkawinan yang menyangkut Hukum Harta Kekayaan Perkawinan, termasuk dalam ketentuan yang membutuhkan peraturan pelaksanaan. Oleh karena sampai saat sekarang belum ada peraturan pelaksanaannya, maka ketentuan UU Perkawinan tentang harta kekayaan perkawinan belum berlaku secara efektif. 78 Namun demikian beberapa sarjana hukum memberikan pandangan yang berbeda. Pendapat Mahadi yang menyatakan bahwa, Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 UU Perkawinan merupakan bahan jadi dan siap untuk dipakai. 79 Masih berkaitan 77 Mochammad Djai’is, Hukum Harta Kekayaan Dalam Perkawinan, Semarang : Penerbit Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,2006, hal. 33. 78 Ibid. 79 Mahadi, Laporan Kajian Hukum Adat, BPHN, Jakarta, 1986, hal. 10. Universitas Sumatera Utara dengan hal di atas, Retno Wulan Sutantio mengatakan bahwa, hukum yang mengatur harta benda dalam perkawinan, tidak memerlukan peraturan pelaksanaan lagi dan dapat diterapkan, kemudian dikembangkan melalui yurisprudensi. 80 Mengenai pembagian harta bersama pasca perceraian, UU Perkawinan tidak mengatur secara tegas merumuskan hukum yang berlaku dalam pembagiannya karena diserahkan pembagian tersebut kepada hukum masing-masing. Hal ini tercantum dalam ketentuan Pasal 37 UU Perkawinan yang menyatakan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud hukum masing-masing ini ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya. Pembagian menurut hukum masing-masing ini yang akan menjadi benturan dalam penggunaan hukum yang berlaku yang dikenal dengan conflict of law karena pengaturan harta benda perkawinan dan pembagian harta bersama pasca perceraian menurut hukum agama dan hukum adat berbeda yang memiliki aturan masing-masing. 81 Mengenai hal ini M.Yahya Harahap 82 berkomentar, Barang kali sekurang- kurangnya pembuat Undang-Undang masih ragu-ragu tentang apa yang benar-benar hidup dalam soal perceraian dan pembagian harta kekayaan. Sebenarnya kalau terjadi keraguan dalam soal ini dirasa keraguan itu kurang tegas sebab kalau terdapat 80 Retno Wulan Sutantio, Masalah-Masalah Hukum Waris Pada Dewasa Ini, makalah diajukan pada Simposium Hukum Waris Tentang Perkembangan Hukum Waris Dalam Era Pembangunan, BPHN, Jakarta, Tanggal 1-2 Nopember 1989, hal. 6. 81 Wahjono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia , Jakarta : Badan Penerbit Hukum Universitas Indonesia,2004, hal. 123. 82 M. Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang- Undang No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 , Op.Cit, hal. 125. Universitas Sumatera Utara keraguan dalam cara pemecahannya tentu juga dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam meletakkan lembaga harta bersama itupun pembuat Undang-Undang kalau begitu masih ragu-ragu. Keraguan dalam menetapkan aturan hukum yang berlaku dalam bidang harta bersama ini tentu akan menimbulkan kesulitan dalam penyelesaiannya, apabila perkawinan itu putus baik karena perceraian maupun karena kematian. Untuk mengatasi kesulitan itu, Mahkamah Agung pada tanggal 20 Agustus 1975, mengeluarkan Surat Nomor M.APemb08071975 tentang Petunjuk-Petunjuk M.A. mengenai Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 dan PP Nomor 9 Tahun 1975, di mana pada sub 4 dikatakan bahwa tentang harta benda dalam perkawinan ternyata tidak diatur dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 karenanya belum dapat diperlakukan secara efektif dan dengan sendirinya untuk hal-hal itu masih diperlakukan ketentuan- ketentuan hukum dan perundang-undangan lama. 83 Sekalipun Surat Mahkamah Agung bukan merupakan ketentuan umum, paling tidak bukan dimaksudkan untuk mengikat umum, tetapi mengingat peraturan tersebut ditujukan kepada Pengadilan dan Pengadilan Tinggi, yang tidak lain adalah badan yang akan menampung masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan secara damai antara para pihak, dengan demikian secara tidak langsung Surat Mahkamah Agung 83 Runtung, Menuju Unifikasi Hukum Harta Perkawinan di Indonesia Toward a Legal Unification of Marriage Property in Indonesia , hal. 69. Universitas Sumatera Utara tersebut mempunyai daya mengikat umum dan karenanya patut untuk kita perhatikan. 84 Pada masyarakat yang tunduk kepada hukum adat, kedudukan harta bersama pada masyarakat patrilineal, matrilineal dan parental, pengaturannya masing-masing berbeda. Pada masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan parental pandangan mengenai harta yang diperoleh selama perkawinan merupakan harta bersama dari suami istri sudah dianut sejak lama. Harta gono gini dalam perkawinan cukup dibuktikan bahwa harta tersebut diperoleh dari hasil pencaharian suami danatau istri selama perkawinan, walaupun harta pencaharian itu hasil kegiatan suami saja atau istri saja. 85 Hal yang sama juga dinyatakan dalam kasus Suwarni binti Parto melawan Saikun bin Wongso, di Tebing Tinggi, Sumatera Utara, putusan Mahkamah Agung RI Nomor 120 KSip1960 tanggal 9 April 1960, bahwa sudah menjadi Yurisprudensi Mahkamah Agung RI bahwa harta pencaharian harus dibagi sama rata antara suami istri jika terjadi perceraian. 86 Kemajuan yang telah terjadi dalam masyarakat sebagai dampak positif dari proses pembangunan berkelanjutan, terutama di bidang pendidikan, teknologi transportasi dan komunikasi, ternyata juga mempengaruhi cara berpikir dan kesadaran hukum masyarakat. Termasuk kesadaran hukum tentang pengertian dan 84 J.Satrio, Op. Cit, hal. 10. 85 Runtung, Op.Cit, hal. 70-81. 86 Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia , Bandung : Penerbit CV. Mandar Maju,1992, hal. 206-213. Universitas Sumatera Utara kedudukan harta kekayaan keluarga yang diperoleh selama perkawinan kearah pengakuan bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama suami istri, seperti terjadi pada masyarakat Batak patrilineal di Sumatera Utara, perjuangan istri kearah pengakuan adanya harta bersama dalam keluarga sudah berlangsung dalam waktu yang cukup lama dan berhasil. 87 Keberhasilan perjuangan istri mendapatkan statusnya sebagai pemilik bersama atas semua harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan ditandai dengan keluarnya Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 100 KSip1967, tanggal 4 Januari 1968 jo putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 831965 tanggal 2 Nopember 1966 dalam kasus Tangsi Bukit lawan Pengidahen boru Meliala dan Mull boru Bukit. 88 Dalam kasus ini MARI menentukan dalam hal suaminya meninggal dunia, janda berhak mendapatkan separuh dari harta bersama, dan sisanya diwariskan kepada janda dan anak-anak pewaris dengan bagian yang sama besarnya. Pada masyarakat Minangkabau perkembangan ke arah pengakuan adanya harta bersama dalam perkawinan terjadi sejak tahun 1934, melalui putusan Raad van Justitie Padang tanggal 20 September 1934 T.142-205 yang menyatakan sebagai harta bersama suami istri, hanya dianggap sebagai harta yang diperoleh dengan usaha bersama yang nyata dari suami istri. Putusan ini menolak sesuatu yang khayal fictie yang menyatakan mengurus rumah tangga sebagaimana dilakukan istri dapat 87 Hilman Hadikusuma, Hukum Adat Dalam Yurisprudensi Hukum Kekeluargaan, Perkawinan, Pewarisan , Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,1993, hal. 151-153. 88 Ibid, hal. 297-298. Universitas Sumatera Utara dianggap sebagai kerja sama dengan suami. 89 Putusan ini menggambarkan bahwa untuk adanya suatu harta bersama dalam suatu perkawinan itu harus ada usaha bersama yang nyata antara suami dan istri dalam memperoleh harta tersebut. Jika tidak ada kerjasama yang nyata, maka harta pencaharian masing-masing suami dan istri selama ikatan perkawinan merupakan milik masing-masing yang memperolehnya. Pada periode berikutnya melalui putusan Raad van Justitie tanggal 23 Desember 1937 T.149-302 dinyatakan bahwa syarat adanya kerja sama suami dan istri itu adalah mutlak untuk daerah di luar kota besar dan dilingkungan para petani. Tetapi bagi mereka yang ambil bagian dalam perdagangan umum, seperti di kota-kota besar, di daerah pesisir dan para saudagar, maka adat yang berlaku ialah terhadap harta yang diperoleh semasa perkawinan, ketika perkawinan itu berakhir dibagi diantara suami dan istri dalam bagian yang sama, yang dikatakan harta pasuarangan itu tidak disyaratkan diperolehnya atas usaha bersama suami istri. 90 Seminar Hukum Adat Minangkabau di Padang dari tanggal 21 sampai dengan 25 Juni 1968 yang dihadiri oleh cendikiawan yang mewakili seluruh lapisan masyarakat Minangkabau pada bagian F.II dari keputusannya, antara lain menetapkan: 1. Harta pencaharian diwarisi oleh ahli waris menurut hukum Faraid; 89 Ibid, hal. 161. 90 Ibid, hal. 162. Universitas Sumatera Utara 2. Yang dimaksud dengan harta pencaharian ialah seperdua dari harta yang didapat oleh seseorang selama perkawinannya ditambah dengan harta bawaannya sendiri; 3. Seseorang dibenarkan berwasiat, baik kepada kemanakan maupun kepada yang lainnya, hanya sebanyak-banyaknya sampai sepertiga dari harta pencahariannya. Yang selanjutnya pada keputusan C.II.e.2 ditetapkan “Berhubung I.K.A.H.I Sumatera Barat ikut serta mengambil keputusan dalam seminar ini, maka seminar menyerukan kepada seluruh Hakim-hakim di Sumatera Barat dan Riau supaya memperhatikan ketetapan seminar ini. 91 Keputusan Seminar Hukum Adat Minangkabau ini telah memperjelas lagi bagaimana pergeseran kesadaran hukum, masyarakat Minangkabau kearah pengakuan bahwa harta yang diperoleh suami istri selama perkawinan menjadi harta bersama. Hak masing-masing suami istri atas harta bersama itu masing-masing setengah bagian. Hukum Islam tidak mengenal adanya harta bersama, dalam perkawinan sebagaimana diisyaratkan dalam Al- Qur’an Surat al Nisa 4: 32 yang artinya “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. Karena bagi orang laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan …”. 92 Terkecuali ada kerjasama yang nyata, antara suami dan 91 Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia , Op.Cit, hal. 289-290. 92 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia , Jakarta : Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, 1995, hal. 201-202. Universitas Sumatera Utara istri dalam memperoleh harta tersebut, yang dalam istilah muamalat dapat dikatagorikan sebagai syirkah atau join antara suami dan istri. 93 Ahmad Rofiq membagi syirkah ini dalam dua macam, yaitu syirkah al-abdan dan syirkah inan . Dalam syirkah al-abdan adanya kerjasama antara suami dan istri itu dilihat pada pembagian tugas antara keduanya dalam mengatur manajemen rumah tangga, di mana suami bertindak mencari nafkah untuk modal mengelola rumah tangga dan istri andil jasa dan tenaganya untuk mengatur manajemen ekonomi rumah tangga. Sedangkan pada syirkah inan , masing-masing suami dan istri mendatangkan modal dan di kelola bersama. 94 Dengan demikian untuk adanya harta bersama harus ada kerjasama yang nyata antara suami dan istri dalam memperoleh harta tersebut. Namun keadaan ini telah mengalami pergeseran, seiring dengan terjadinya perkembangan kesadaran hukum dalam masyarakat itu sendiri. Yakni salah satu pasal dalam Pasal 85 KHI yang mengatur mengenai harta benda dalam perkawinan menyatakan adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri. Berdasarkan pasal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat penggabungan hak milik menjadi harta bersama didalam perkawinan. Dan prinsip cara pembagian harta bersama diatur dalam Pasal 97 KHI yang berbunyi janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. 93 Ibid, hal. 200-201. 94 Ibid. Universitas Sumatera Utara Pembagian harta bersama menurut KUHPerdata, apabila perkawinannya dengan persatuan harta benda, maka menurut Pasal 232 pembagiannya harus dilakukan menurut cara-cara seperti tersebut dalam Bab Keenam. Pasal 128 KUHPerdata menentukan, bahwa harta benda kesatuan dibagi dua antara suami dan istri, dengan tidak memperdulikan dari pihak mana asalnya barang-barang tersebut. Keadaan ini akan memungkinkan orang yang tadinya miskin, mungkin akan mendadak jadi kaya raya setelah ia menikah dengan orang yang hartawan dan kemudian cerai dengannya. Akan tetapi Pasal 232 ayat 1 KUHPerdata menentukan, bahwa apabila kemudian terjadi kawin ulang antara keduanya, maka segala perhubungan antara mereka dikembalikan kepada keadaan sebelum ada perceraian perkawinan, dan dianggap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa antara mereka. Karena itu harta kekayaan yang diperoleh oleh pihak yang mendadak kaya karena perceraian tadi, tidak boleh diselewengkan dan harus dikembalikan pada harta perkawinan mereka kembali. 95

C. Kedudukan Hukum Harta Bersama Dalam Perceraian Antara Suami Istri Terhadap Pihak Ketiga

Dengan keputusan Pengadilan tentang pemecahan harta persatuan maka harta tersebut siap untuk dibagi antara suami dan istri. Antara waktu sesudah keputusan Pengadilan mengenai perpecahan dan pelaksanaan pembagian, persatuan harta 95 H.M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Jakarta : Penerbit Ghalia Indonesia, 1982, hal. 91-92. Universitas Sumatera Utara tersebut menjadi persatuan yang “mati”. 96 Dengan akibat bahwa karena persatuan tersebut sudah mati, maka suami istri sebagai yang berhak atas persatuan tersebut, tidak dapat lagi mengikatkan persatuan tersebut kepada pihak ketiga. Jika suami melakukan tindakan-tindakan atas nama persatuan tersebut, maka tindakannya tidak sah lagi dan karenanya hanya mengikat dirinya secara pribadi. Sesudah persatuan itu “mati”, sesudah ada pemecahan harta persatuan, istri memperoleh kembali hak beheernya . Pembagian harta persatuan dilakukan dengan membagi harta tersebut menjadi dua bagian yang sama, suami mendapat satu bagian 12 harta persatuan dan satu bagian yang lain untuk istri. Jika suami melakukan tindakan-tindakan atas nama persatuan tersebut, maka tindakannya tidak sah lagi, dan karenanya hanya mengikat dirinya secara pribadi. Karenanya pembagian juga tidak dilakukan dengan membagi tiap-tiap satuan harta menjadi 2 dua bagian. Yang benar adalah masing-masing suami istri, dalam hal harta persatuan dibagi jadi tidak atau bukan sepanjang masih berlangsung mempunyai hak atas ½ setengah nilai harta tersebut, tanpa memandang dari siapa harta tersebut berasal 97 . Perkecualiannya atas asas tersebut diatur dalam Pasal 129 KUHPerdata 98 . 96 J.G. Klaassen, J. Eggens, J.M. Polak, Huwelijkgoederen en Erfrecht, Handleiding bij de Studie en Praktijk , Tjeenk Willink, Zwolle, Cetakan kedelapan, 1956, hal. 44. 97 Pasal 128 KUHPerdata menyatakan bahwa : Ayat 1 : Setelah bubarnya persatuan maka harta benda kesatuan dibagi dua antara suami dan istri atau antara para ahli waris mereka masing-masing dengan tak memperdulikan soal dari pihak yang manakah barang-barang itu diperolehnya. Ayat 2 : Ketentuan-ketentuan tertera dalam bab tujuh belas buku ke dua mengenai pemisahan harta peninggalan berlaku terhadap pembagian harta benda persatuan menurut Undang-Undang. R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata , Jakarta : Penerbit PT. Pradnya Paramita, 1986, hal. 31 Universitas Sumatera Utara Kesemuanya dengan memperhitungkan harga atau niat barang-barang tersebut atas dasar perhitungan antara mereka sendiri atau dengan melalui taksiran ahli. 99 Karenanya pemecahan tersebut tidak menghilangkan kewajiban suami untuk bersama-sama istri memikul pengeluaran-pengeluaran rumah tangga dan pendidikan anak. Jika semua pengeluaran-pengeluaran sehari-hari bersama semula merupakan pengeluaran harta persatuan, jadi secara tidak langsung dipikul sama berat antara suami istri. 100 Maka sesudah dibaginya harta persatuan jadi sudah tak ada persatuan harta lagi, suami dan istri memikul pengeluaran tersebut menurut imbangan kekayaan mereka. 101 Pemecahan dan pembagian harta persatuan tidak menghapuskan kewajiban suami istri, agar mereka saling setia dan saling bantu membantu. 102 Kedudukan hukum harta bersama dalam suatu perkawinan yang diakhiri dengan perceraian suami istri mempunyai akibat hukum terhadap pemecahan harta persatuan dalam perkawinan tersebut. Akibat hukumnya meliputi : 98 Pasal 129 KUHPerdata menyatakan bahwa Pakaian-pakaian, perhiasan-perhiasan dan perkakas termasuk dalam mata pencaharian salah satu dari suami istri, seperti pun perpustakaan dan himpunan-himpunan barang-barang kesenian dan keilmuan dan akhirnya pun surat-surat atau tanda- tanda peringatan keturunan salah satu dari suami istri boleh diminta kembali oleh pihak asalnya semula dengan pembayaran akan harganya yang harus ditaksir secara damai atau oleh ahli-ahli. Ibid, hal. 31- 32 99 J.G. Klaassen, J. Eggens, J.M. Polak, Op.Cit, hal. 45. 100 Dikatakan secara tidak langsung, karena selama harta persatuan masih utuh, kita belum dapat mengatakan berapa besar hak bagian masing-masing atas harta tersebut. Baru sesudah ada pemecahan dan pembagian harta, kita dapat menyatakan bahwa sesuai dengan hak bagiannya separuh mereka sebenarnya masing-masing memikul ½ pengeluaran persatuan rumah tangga. 101 Pasal 193 KUHPerdata menyatakan bahwa : Ayat 1 : Kendati adanya pemisahan harta kekayaan, si istri adalah berwajib, dalam keseimbangan kekayaannya dengan kekayaan si suami, memberikan sumbangan guna membiayai rumah tangga dan pendidikan anak-anak yang dilahirkan olehnya karena si suami. Ayat 2 : Dalam hal ketakmampuan si suami biaya-biaya itu harus dipikul oleh istri sendiri. R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Op.Cit, hal. 45 102 Pasal 103 KUHPerdata menyatakan bahwa Suami dan istri, mereka harus setia mensetiai, tolong menolong dan Bantu membantu. Ibid, hal. 26 Universitas Sumatera Utara a. Hutang Persatuan 103 Pihak ketiga, yang mempunyai kepentingan terhadap perubahan-perubahan atas harta suami istri adalah kreditur. Prinsipnya adalah suami istri masing- masing tetap bertanggung jawab atas hutang-hutang persatuan yang dibuat olehnya. Ketentuan ini sebenarnya logis sekali, karena kreditur dahulu pada waktu mengadakan perjanjian berhadapan dengan suami atau istri. Pada waktu ia akan meminta pelunasannya tentunya ia datang pada orang yang dahulu membuat perjanjian dengannya. Apalagi antara suami dan istri sekarang tidak ada persatuan harta lagi. Suami atau istri menanggung hutang tersebut dengan harta pribadinya, harta persatuan telah pecah dan dibagi yang sekarang terdiri dari harta pribadi aslinya ditambah setengah hak bagiannya dalam harta persatuan. Terhadap suami, pihak ketiga dapat menagih untuk seluruh hutang persatuan walaupun suami nantinya dari pembagian harta persatuan hanya menerima setengah dari harta tersebut termasuk jika hutang tersebut dahulu dibuat oleh istri. Sedangkan istri hanya dapat ditagih oleh pihak ketiga untuk setengah hutang persatuan yang dibuat oleh suaminya Pasal 130 BW. Sebagai dasarnya ditunjukkan pada Pasal 130 BW. Disana ditetapkan bahwa istri memikul setengah hutang persatuan, karenanya sesudah pecahnya atau putusnya persatuan harta adalah pantas jika ia pun si istri bertanggung jawab untuk setengah hutang 103 J. Satrio, Op.Cit, hal. 117-119. Universitas Sumatera Utara persatuan yang dibuat oleh suami, sedang untuk hutang-hutang yang dibuat olehnya sendiri, ia bertanggung jawab untuk 100. Atas hutang-hutang yang dibuat oleh istri, ia tetap dapat diminta pertanggungjawabkan penuh. Jika suami membayar seluruh hutang persatuan ia dapat melakukan perhitungan intern contribution dengan istrinya, dimana si istri wajib menanggung setengahnya. Prinsipnya tetap hutang persatuan ditanggung bersama dan sama berat. Jika istri telah membayar seluruh hutang persatuan yang dibuat olehnya maka ia dapat menagih setengahnya dari suami. Seandainya jumlah pasiva harta persatuan lebih besar dari aktivanya maka kekurangan harus diambil dari harta pribadi. Di dalam praktek perhitungan intern jarang sekali, karena pada umumnya sebelum pembagian, hutang-hutang diberesi lebih dahulu dan kalau ada hutang yang belum dibayar maka pada waktu pembagian, hutang tersebut dikompensir dengan pembagiannya dalam aktiva. 104 Ketentuan-ketentuan tersebut diatas ternyata mengandung unsur perlindungan terhadap pihak ketiga, karena jika diperhatikan prinsip tanggung jawab suami istri terhadap pihak ketiga-kreditur ternyata posisi kreditur sesudah pembagian harta tidak selalu lebih jelek dari semula. b. Kedudukan kreditur sebelum dan sesudah pemecahan harta persatuan 105 104 A. Pitlo, Het Zakenrecht Na ar Het Nederlands Burgerlijk Wetboek, HD Tjeenk Willink Zoon, Haarlem, 1949, hal. 187. 105 J. Satrio, Op.Cit, hal. 120-122. Universitas Sumatera Utara Sebelum diadakan pemecahan harta persatuan, atas hutang-hutang yang dibuat suami, para kreditur dapat dibedakan menjadi 2 dua golongan, yaitu : 1 Kreditur persatuan, yakni piutangnya dijamin pelunasanya dengan harta persatuan dan harta pribadi suami; 2 Kreditur pribadi suami, yakni piutang dapat mengambil pelunasan dari harta pribadi suami dan harta persatuan. Sesudah pemecahan harta persatuan, para krediturnya dapat dibedakan menjadi 2 dua golongan, yaitu : 1. Kreditur persatuan Kreditur persatuan mempunyai hak pelunasan atas harta pribadi suami, di dalam harta mana sekarang terdiri dari setengah harta persatuan yang menjadi hak bagian suami ditambah jika ada harta pribadi asal milik suami, sedangkan yang setengahnya lagi setengah hutang dapat ditagih dari harta sekarang pribadi istri yang juga terdiri dari ½ harta persatuan ditambah harta pribadi asal istri. Di sini kedudukan istri menjadi lebih jelek dari semula, karena sebelum pemecahan, harta pribadi istri tidak dipertanggung jawabkan terhadap hutang persatuan yang dibuat suami. Apakah dengan bertambah jeleknya kedudukan istri seperti tersebut diatas, kreditur menjadi lebih terjamin? Belum tentu. Dalam hal harta persatuan sudah terkuras habis, maka kedudukan kreditur menjadi lebih baik, karena kalau semula ia hanya dapat mengambil pelunasan dari harta persatuan yang Universitas Sumatera Utara keadaannya sudah terkuras habis dan dari harta pribadi suami atau dengan perkataan lain kalau semula rielnya hanya ditanggung dengan harta pribadi suami harta persatuan sudah habis maka sekarang sesudah harta persatuan yang isinya sebenarnya sudah nihil, dipecah ia masih dapat tambahan jaminan untuk setengah piutangnya yaitu dari harta pribadi istri. Kedudukan istri qua tanggung jawab memang lebih jelek, tetapi qua financieel belum tentu. Kalau harta persatuan isinya masih banyak, sehingga setengah daripadanya masih lebih besar daripada hutang tersebut, maka lebih besar daripada hutang tersebut, maka perubahan prinsip tanggung jawab hutang-hutang persatuan sesudah harta persatuan dipecah, tidak merugikan istri. Namun seperti dikatakan di depan, biasanya harta persatuan baru berhasil dipecah, kalau keadaannya sudah “berbahaya”. Hendaknya diingat bahwa adanya istri diwajibkan untuk menanggung setengah dari hutang persatuan adalah merupakan konsekuensi daripada dibaginya harta persatuan. Istri dengan pembagian tersebut tidak hanya menerima setengah aktivanya saja, tetapi harus memikul setengah dari pasivanya.Bukankah harta persatuan meliputi baik aktiva maupun pasiva suami istri, baik yang didapat sebelum maupun sepanjang perkawinan? 2. Kreditur prive Kreditur prive mendapat jaminan pelunasannya dari harta pribadi suami yang sekarang terdiri dari harta pribadi aslinya asal ditambah setengah harta Universitas Sumatera Utara persatuan yang jatuh pada suami yang kedua kelompok harta tersebut sekarang disebut harta pribadi. 106 Di sini kedudukan kreditur bisa menjadi lebih jelek, karena kalau semula kreditur ditanggung oleh harta pribadi suami dan harta persatuan, jika hutang tersebut berupa hutang pribadi suami, maka sekarang kreditur tersebut hanya dijamin dengan harta pribadi suami, yang terdiri dari harta pribadinya ditambah setengah haknya dalam harta persatuan. 107 Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kreditur suami sebelum pemecahan harta persatuan tidak berkepentingan untuk mengetahui apakah piutangnya merupakan hutang pribadi atau hutang persatuan bagi si suami, karena kedua jenis hutang tersebut sama-sama dijamin dengan harta persatuan dan harta pribadinya. Sesudah pemecahan harta persatuan, para kreditur memang berkepentingan untuk tahu, apakah kreditur prive atau kreditur persatuan, sebab jaminan pelunasannya berlainan. Dalam hal ia kreditur suami, selain kreditur dapat mengambil pelunasan dari harta pribadi suami, di dalam mana sekarang ada setengah harta persatuan yang menjadi hak bagian suami, kreditur masih mendapat jaminan hutangnya dari sekarang telah menjadi dan disebut harta pribadi si istri untuk setengah hutang persatuan. 108 106 A. Pitlo, Op.Cit, hal. 186. 107 J. Satrio, Op.Cit, hal. 122-123. 108 A. Pitlo, Op.Cit, hal. 187. Universitas Sumatera Utara

BAB III KETENTUAN HUKUM POSITIP TENTANG SITA MARITAL DALAM

PERKARA PEMBAGIAN HARTA BERSAMA APABILA TERJADI PERCERAIAN SUAMI ISTRI

A. Sita Marital Pada Umumnya

1. Pengertian Sita Marital dan Tujuan Sita Marital

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Terhadap Sita Marital Atas Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

10 140 156

Aspek Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Perspektif Undang- Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam

0 85 104

AKIBAT HUKUM PUTUSNYA PERKAWINAN TERHADAP HARTA BERSAMA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

3 199 18

AKIBAT HUKUM PUTUSNYA PERKAWINAN TERHADAP HARTA BERSAMA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

0 7 18

KEDUDUKAN HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

0 3 17

View of Harta Bersama dalam Perkawinan Poligami Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam

0 2 20

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN A. PERKAWINAN 1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan - Tinjauan Yuridis Terhadap Sita Marital Atas Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kitab Undang-Un

0 0 47

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Terhadap Sita Marital Atas Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

1 0 21

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SITA MARITAL ATAS SENGKETA HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA SKRIPSI

0 0 10

TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN SITA MARITAL TERHADAP HARTA BERSAMA KARENA PERCERAIAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN - Unissula Repository

0 1 15