Hubungan Pola Aktivitas Fisik dan Pola Makan dengan Status Gizi Pelajar putri SMA Kelas 1

6.3 Hubungan Pola Aktivitas Fisik dan Pola Makan dengan Status Gizi Pelajar putri SMA Kelas 1

Pada penelitian ini terdapat 12% status gizi pelajar putri SMA kelas 1 yang tidak normal (malnutrisi), baik status gizi kurang maupun lebih. Pelajar putri SMA kelas 1 mengalami gizi kurang akut sebanyak 4% dan KEK sejumlah 18,67%. Secara umum, kekurangan gizi menyebabkan beberapa gangguan dalam

proses pertumbuhan, mengurangi produktivitas kerja dan kemampuan berkonsentrasi, struktur dan fungsi otak, pertahanan tubuh, serta perilaku (Almatsier, 2009). Remaja awal yang mengalami gizi buruk dapat mengakibatkan intelegensia rendah dan memberikan dampak pada penurunan prestasi akademik. Bila masalah mengenai gizi buruk ini tidak mendapatkan perhatian secara khusus maka para remaja akan menemui kesulitan dalam pencapaiaan prestasi akademik yang baik dan secara tidak langsung akan mempengaruhi kualitas para remaja di kemudian hari pada khusunya dan kualitas masyarakat pada umumnya (Suryowati, 2005). Dampak yang lebih jauh, kekurangan asupan nutrisi juga dapat mengakibatkan gangguan sistem reproduksi, seperti kejadiaan anemia dan melahirkan bayi yang memiliki berat badan lahir rendah (BBLR) di kemudian hari. Masalah nutrisi ini terjadi karena ketidakseimbangan antara kebutuhan dan asupan nutrisi. Hal ini diperparah dengan adanya praktik pengontrolan berat badan yang banyak dilakukan remaja dalam pola makannya yang akan menyebabkan pemenuhan nutrisi yang kurang pada remaja. Pengontrolan berat badan dan pembatasan asupan nutrisi pada remaja dihubungkan dengan beberapa macam gejala diantaranya kelelahan, kegelisahan, periode menstruasi yang irregular, konsentrasi melemah, lesu, dan prestasi belajar rendah (Ryde et al., 2011).

Sementara itu, terdapat 8% pelajar putri SMA kelas 1 yang mengalami obesitas sentral yang ditandai nilai z-score IMT/U lebih dari +2SD dan lingkar perut >80 cm. Terdapat 29,33% pelajar putri SMA kelas 1 dalam penelitian ini yang mengalami sebaran lemak sentral yang ditandai dengan lingkar perut lebih

dari 80 cm yang merupakan resiko obesitas sentral. Gizi lebih (overweight) dapat menyebabkan penyakit yang berhubungan dengan pola makan (diet-related disease) seperti diabetes, penyakit jantung, hipertensi, stroke dan penyakit tidak menular lainnya (non-communicable disease) (Irianto, 2014; WHO, 2013b) yang dulu dianggap sebagai penyakit orang tua sekarang mulai terjadi pada usia produktif. Saat ini semua umur memiliki resiko yang sama, karena berdasarkan data yang ada sembilan juta kematian diakibatkan penyakit tidak menular (non- communicable disease) yang terjadi sebelum usia 60 tahun akibat pola nutrisi dan pola aktivitas fisik yang salah (WHO, 2013a). Hal ini yang menyebabkan penurunan kualitas hidup dan angka harapan hidup. Berdasarkan hasil penelitian, obesitas yang terjadi pada usia remaja cenderung berlanjut hingga dewasa (Moreno, 2007).

Berdasarkan uraian di atas, terjadi beban ganda (double burden) masalah gizi pelajar putri SMA kelas 1. Angka ini merupakan hasil dari ketidakseimbangan asupan dan kebutuhan zat gizi dalam rentang waktu yang cukup lama (Sayogo, 2006). Fenomena ini membutuhkan perhatian khusus. Gizi kurang berakibat pada gangguan tumbuh kembang dan perkembangan intelektualnya dan lebih jauh lagi sebagai persiapan remaja tersebut menjadi ibu. Sedangkan gizi lebih berakibat pada penyakit-penyakit degeneratif. Ketidakseimbangan antara asupan kebutuhan atau kecukupan akan menimbulkan masalah gizi, baik itu masalah gizi lebih maupun gizi kurang (Almatsier, 2009; Riyadi, 1995). Gizi yang optimal dibutuhkan remaja untuk tumbuh kembangnya. Status gizi baik memungkinkan perkembangan otak, pertumbuhan fisik, Berdasarkan uraian di atas, terjadi beban ganda (double burden) masalah gizi pelajar putri SMA kelas 1. Angka ini merupakan hasil dari ketidakseimbangan asupan dan kebutuhan zat gizi dalam rentang waktu yang cukup lama (Sayogo, 2006). Fenomena ini membutuhkan perhatian khusus. Gizi kurang berakibat pada gangguan tumbuh kembang dan perkembangan intelektualnya dan lebih jauh lagi sebagai persiapan remaja tersebut menjadi ibu. Sedangkan gizi lebih berakibat pada penyakit-penyakit degeneratif. Ketidakseimbangan antara asupan kebutuhan atau kecukupan akan menimbulkan masalah gizi, baik itu masalah gizi lebih maupun gizi kurang (Almatsier, 2009; Riyadi, 1995). Gizi yang optimal dibutuhkan remaja untuk tumbuh kembangnya. Status gizi baik memungkinkan perkembangan otak, pertumbuhan fisik,

Selain dilakukan uji bivariat dalam penelitian ini juga dilakukan analisis multivariat dengan regresi linier. Pada uji bivariat, terdapat beberapa sub variabel yang berhubungan dengan status gizi di antaranya status tinggal dan pengontrolan berat badan, namun setelah dilakukan uji multivariat, hanya pengontrolan berat badan yang berpengaruh terhadap status gizi remaja putri secara signifikan berdasarkan ketiga indikator. Hasil uji multivariat akan didapatkan faktor yang memiliki hubungan secara independen terhadap status gizi. Tingkat kecukupan energi, protein, lemak dan karbohidrat tidak berkorelasi bermakna secara statistik, karena secara garis besar pola makan yang dinilai dalam penelitian ini memiliki nilai yang relatif sama di seluruh kategori status gizi sehingga saat dilakukan uji statistik multivariat tidak didapatkan korelasi yang bermakna.

Menurut Katahn (1987) dalam Novikasari (2003), kegiatan fisik cukup besar pengaruhnya terhadap kestabilan berat badan. Semakin aktif seseorang melakukan aktivitas fisik, energi yang diperlukan semakin banyak (Novikasari, 2003). Aktivitas fisik memerlukan energi di luar kebutuhan untuka metabolisme basal.

Selama melakukan aktivitas fisik, otot memerlukan energi untuk bergerak sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk mengedarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan mengeluarkan sisa- sisa dari tubuh. Banyaknya energi yang dibutuhkan tergantung pada banyaknya otot yang bergerak, waktu, dan berat pekerjaan yang dilakukan (Almatsier 2001). Semakin banyak aktivitas fisik yang dilakukan, maka semakin banyak energi yang dibutuhkan oleh tubuh sehingga asupan nutrisi yang dibutuhkan lebih banyak (Irianto, 2014).

Menurut Supariasa, status gizi dipengaruhi secara langsung oleh tingkat konsumsi energi yang diperoleh dari karbohidrat, protein dan lemak. Energi diperlukan untuk pertumbuhan, metabolisme, utilisasi bahan makanan dan aktivitas. Kebutuhan energi terutama dibentuk oleh karbohidrat dan lemak, sedangkan protein untuk menyediakan asam amino bagi sintesis protein sel dan hormon serta enzim untuk mengukur metabolisme (Supariasa, 2014). Pada penelitian ini keempat sub variabel ini tidak berhubungan secara statistik dengan status gizi, namun pada analisis stratifikasi dapat membuktikan bahwa sebernarnya zat gizi berpengaruh terhadap status gizi seperti pada teori dan penelitian sebelumnya. Pada penelitian ini setelah dilakukan analisis stratifikasi didapatkan hasil bahwa pada pelajar putri SMA dengan tingkat kecukupan energi kurang yaitu tingkat kecukupan energi <80% AKG didapatkan hubungan yang signifikan secara statistik dengan status gizi pada ketiga indikator, yang ditandai nilai p<0,05. Energi dibutuhkan oleh tubuh untuk mempertahankan hidup, menunjang pertumbuhan, dan melakukan aktivitas fisik (Kartosapoetra dan

Marsetyo, 2005). Energi dalam tubuh manusia dapat timbul karena adanya pembakaran karbohidrat, protein, dan lemak, sehingga manusia membutuhkan zat-zat makanan yang cukup untuk memenuhi kecukupan energinya (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2010). Apabila asupan energi kurang dari kecukupan energi yang dibutuhkan maka cadangan energi yang terdapat di dalam tubuh yang disimpan dalam otot akan digunakan (Gibson, 2005). Kekurangan asupan energi ini apabila berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama maka akan mengakibatkan menurunnya berat badan dan keadaan kekurangan zat gizi yang lain (Gibney, 2007). Penurunan berat badan yang berlanjut akan menyebabkan keadaan gizi kurang yang akan berakibat terhambatnya proses tumbuh kembang (Irianto dan Waluyo, 2004). Dampak lain yang dapat timbul adalah tinggi badan yang tidak mencapai ukuran normal dan mudah terkena penyakit infeksi. Sedangkan konsumsi energi yang melebihi kecukupan dapat mengakibatkan kenaikan berat badan dan apabila terus berlanjut maka akan menyebabkan kegemukan dan resiko penyakit degeneratif (Soekirman, 2006). Hasil analisis stratifikasi dapat disimpulkan semakin meningkat tingkat kecukupan energi sebanyak 1% pada kelompok tingkat kecukupan energi kurang, maka IMT/U akan meningkat 0,03 mendekati status gizi normal, LILA akan meningkat 0,10 cm dan LP meningkat 0,22 cm. Namun hubungan ini tidak berlaku ketika tingkat kecukupan energi telah mencukupi atau lebih dari 80% AKG.

Selain itu, secara spesifik salah satu zat gizi makro yang berpengaruh dalam pembentukan energi adalah karbohidrat. Karbohidrat merupakan sumber energi

utama bagi tubuh sehingga digolongkan sebagai makanan pokok. Sumber karbohidrat utama dalam pola makanan Indonesia adalah beras (Irianto, 2014). Karbohidrat merupakan salah satu penyumbang energi terbesar dalam tubuh (Sediaoetama, 2010) dan nasi merupakan sumber karbohidrat yang paling banyak dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia (Paath et al., 2004). Sama halnya pada penelitian ini, nasi merupakan sumber karbohidrat utama yang paling sering dikonsumsi pelajar putri SMA. Konsumsi karbohidrat dapat mempengaruhi status gizi karena karbohidrat berlebih akan disimpan dalam bentuk glikogen dalam jaringan otot dan juga dalam bentuk lemak yang akan disimpan dalam jaringan-jaringan adipose seperti perut, bagian bawah kulit (Nazari, 2011). Penelitian sebelumnya di Kota Bengkulu juga didapatkan hasil ada hubungan yang signifikan antara asupan total energi, asupan protein, asupan lemak, dan asupan karbohidrat dengan status gizi (Wuryani, 2008). Analisis lanjutan juga dilakukan terhadap tingkat kecukupan karbohidrat. Saat tingkat kecukupan karbohidrat diuji statistik baik bivariat maupun multivariat tidak didapatkan hasil yang bermakna signifikan secara statistik karena hubungan antara tingkat kecukupan karbohidrat dengan status gizi hanya terjadi pada kelompok tingkat kecukupan karbohidrat kurang (<80% AKG). Pada tingkat kecukupan karbohidrat kurang, semakin meningkat tingkat kecukupan karbohidrat sebanyak 1% maka IMT/U akan meningkat 0,04 mendekati status gizi normal, LILA meningkat 0,12 cm, dan LP meningkat 0,25 cm. Namun hubungan ini tidak terjadi ketika tingkat kecukupan karbohidrat di atas 80%. Hasil analisis lanjutan ini membuktikan adanya hubungan setelah dilakukan analisis stratifikasi sehingga utama bagi tubuh sehingga digolongkan sebagai makanan pokok. Sumber karbohidrat utama dalam pola makanan Indonesia adalah beras (Irianto, 2014). Karbohidrat merupakan salah satu penyumbang energi terbesar dalam tubuh (Sediaoetama, 2010) dan nasi merupakan sumber karbohidrat yang paling banyak dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia (Paath et al., 2004). Sama halnya pada penelitian ini, nasi merupakan sumber karbohidrat utama yang paling sering dikonsumsi pelajar putri SMA. Konsumsi karbohidrat dapat mempengaruhi status gizi karena karbohidrat berlebih akan disimpan dalam bentuk glikogen dalam jaringan otot dan juga dalam bentuk lemak yang akan disimpan dalam jaringan-jaringan adipose seperti perut, bagian bawah kulit (Nazari, 2011). Penelitian sebelumnya di Kota Bengkulu juga didapatkan hasil ada hubungan yang signifikan antara asupan total energi, asupan protein, asupan lemak, dan asupan karbohidrat dengan status gizi (Wuryani, 2008). Analisis lanjutan juga dilakukan terhadap tingkat kecukupan karbohidrat. Saat tingkat kecukupan karbohidrat diuji statistik baik bivariat maupun multivariat tidak didapatkan hasil yang bermakna signifikan secara statistik karena hubungan antara tingkat kecukupan karbohidrat dengan status gizi hanya terjadi pada kelompok tingkat kecukupan karbohidrat kurang (<80% AKG). Pada tingkat kecukupan karbohidrat kurang, semakin meningkat tingkat kecukupan karbohidrat sebanyak 1% maka IMT/U akan meningkat 0,04 mendekati status gizi normal, LILA meningkat 0,12 cm, dan LP meningkat 0,25 cm. Namun hubungan ini tidak terjadi ketika tingkat kecukupan karbohidrat di atas 80%. Hasil analisis lanjutan ini membuktikan adanya hubungan setelah dilakukan analisis stratifikasi sehingga

Variabel lain yang juga berpengaruh terhadap status gizi pada saat diuji multivariat adalah pengontrolan berat badan. Rentang usia remaja putri menyebabkan secara psikologis, penampilan menjadi faktor penting bagi remaja sehingga mereka berusaha untuk meningkatkan perhatian terhadap bentuk tubuhnya dengan melakukan sesuatu agar penampilan fisiknya terlihat lebih baik (Tarwoto et al., 2010). Remaja putri biasanya lebih mementingkan penampilan, mereka tidak ingin menjadi gemuk sehingga membatasi diri dengan memilih makanan yang tidak mengandung banyak energi dan tidak mau makan pagi (Ambarwati, 2012). Remaja putri umumnya menginginkan bentuk tubuh yang langsing dan menginginkan tubuh yang ideal sehingga remaja mulai menyibukkan dirinya untuk lebih memperhatikan bentuk tubuh khususnya terjadi pada remaja putri (Boschi et al., 2003; Kusumajaya, et al., 2008; Santy, 2006). Dibandingkan segmen usia yang lain pengontrolan berat badan yang tidak adekuat adalah masalah yang paling umum dialami oleh remaja putri khususnya siswi SMA (Irianto, 2014; Stang dan Story, 2005). Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, remaja putri lebih mudah terpengaruh untuk melakukan prakitik penurunan berat badan yang tidak sehat yang berujung pada penurunan status gizi (Marita et al., 2001; Nan Sook, 2011).

Keadaan status gizi remaja pada umumnya dipengaruhi oleh kebiasaan makan (Thamrin et al., 2008). Pada penelitian ini didapatkan 29,3% remaja putri melakukan pengontrolan berat badan dengan membatasi asupan makanan.

Ketidakpuasan body image pada remaja putri terjadi karena ketidaksesuaian bentuk tubuhya dengan bentuk tubuh yang diinginkan. Masa pubertas pada remaja putri diikuti dengan peningkatan lemak tubuh. Akibat adanya perubahan komposisi tubuh menyebabkan remaja sering merasa tidak puas dengan bentuk tubuhnya (Grogan, 2008). Ketidakpuasan terhadap bentuk badan ini dapat mengarahkan remaja perempuan untuk melakukan praktik penurunan berat badan yang tidak sehat dan melakukan pembatasan terhadap konsumsi makanannya, bahkan melakukan pengontrolan berat badan yang ketat tanpa nasehat atau pengawasan dari seorang ahli gizi atau ahli kesehatan. Akibatnya, asupan gizi secara kuantitas dan kualitas tidak sesuai dengan AKG yang dianjurkan, sehingga dapat berakibat pada penurunan status gizi (Kusumajaya et al., 2008; McMurray, 2003; Sarwono, 2010; Sayogo, 2011; Thøgersen-ntoumani et al., 2011) .

Hasil penelitian oleh Sivert dan Sinanovic yang menyatakan bahwa ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh lebih sering terjadi pada remsaja, khususnya remaja putri, dibandingkan wanita dewasa. Hal tersebut dikarenakan remaja lebih mudah dipengaruhi oleh media dan tren saat ini (Sivert et al., 2008). Remaja cenderung melakukan praktik penurunan berat badan yang demi mendapatkan tubuh ideal yang di tampilkan di berbagai media (Tucci dan Peters, 2008; Vonderen, 2012) dan tekanan teman sebaya (Ryde et al., 2011). Pada diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat. Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang memadai untuk menentukan tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok teman sebaya. Faktor yang Hasil penelitian oleh Sivert dan Sinanovic yang menyatakan bahwa ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh lebih sering terjadi pada remsaja, khususnya remaja putri, dibandingkan wanita dewasa. Hal tersebut dikarenakan remaja lebih mudah dipengaruhi oleh media dan tren saat ini (Sivert et al., 2008). Remaja cenderung melakukan praktik penurunan berat badan yang demi mendapatkan tubuh ideal yang di tampilkan di berbagai media (Tucci dan Peters, 2008; Vonderen, 2012) dan tekanan teman sebaya (Ryde et al., 2011). Pada diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat. Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang memadai untuk menentukan tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok teman sebaya. Faktor yang

Hasil penelitian ini menunjukkan pengontrolan berat badan memiliki korelasi yang bermakna secara statistik dimana setiap remaja yang melakukan pengontrolan berat badan maka z-score IMT/U remaja tersebut akan berkurang 1,58 mendekati z-score normal, LILA turun 4,2 cm dan LP turun 10,4 cm, namun belum diketahui lebih jauh frekuensi, durasi dan derajat pengontrolan berat badan yang dilakukan remaja putri sehingga dapat memberikan dampak pada nilai status gizi pelajar putri SMA kelas 1. Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian lebih lanjut tentang praktik pengontrolan berat badan pada remaja.

Pada dasarnya sangat penting bagi individu untuk mempertahankan berat badan ideal karena dengan berat badan yang ideal, status kesehatan akan optimal. Pemantauan berat badan secara berkala akan menjadi tindakan preventif terhadap obesitas maupun KEK (Nurhaedar, 2012). Namun perlu diperhatikan cara pengontrolan berat badan, pola konsumsi yang benar dan sehat, pola aktivitas yang menunjang status gizi yang ideal, serta berat badan ideal berdasarkan tinggi badan dan umur. Pada penelitian ini, sebagian besar remaja putri dengan status gizi lebih melakukan pengontrolan berat badan (83,33%) namun beberapa remaja Pada dasarnya sangat penting bagi individu untuk mempertahankan berat badan ideal karena dengan berat badan yang ideal, status kesehatan akan optimal. Pemantauan berat badan secara berkala akan menjadi tindakan preventif terhadap obesitas maupun KEK (Nurhaedar, 2012). Namun perlu diperhatikan cara pengontrolan berat badan, pola konsumsi yang benar dan sehat, pola aktivitas yang menunjang status gizi yang ideal, serta berat badan ideal berdasarkan tinggi badan dan umur. Pada penelitian ini, sebagian besar remaja putri dengan status gizi lebih melakukan pengontrolan berat badan (83,33%) namun beberapa remaja

Dapat disimpulkan secara garis besar pola aktivitas fisik dan pola makan remaja putri pada penelitian ini relatif hampir sama sehingga sulit dilihat hubungannya pada uji statistik. Hal ini dikarenakan remaja memiliki karakteristik yang sama. Perubahan psikis menyebabkan remaja sangat mudah terpengaruh oleh teman sebaya. Remaja berusaha untuk menampilkan dirinya sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh kelompok sebayanya. Kelompok teman sebaya mempengaruhi seorang remaja dalam berperilaku karena kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi utama bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya hidup (Papalia et al, 2001). Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian selanjutnya dengan stratifikasi yang lebih jelas saat pengambilan sampling agar hubungan antar variabel lebih bermakna secara statistik.

Model analisis pada penelitian ini menunjukkan 37,6% variasi nilai status gizi berdasarkan IMT/U dipengaruhi variabel status tinggal, tingkat kecukupan lemak, dan pengontrolan berat badan dan 62,4% dipengaruhi oleh faktor lain. Sedangkan 34,6% variasi nilai status gizi pelajar putri SMA kelas 1 berdasarkan LILA dipengaruhi variabel status tinggal, tingkat kecukupan energi, protein, lemak, pengontrolan berat badan dan 65,4% dipengaruhi oleh faktor lain. Terdapat 28,8% variasi nilai status gizi berdasarkan LP dipengaruhi variabel status gizi berdasarkan LP dipengaruhi variabel status tinggal, pengontrolan berat badan dan 71,2% dipengaruhi oleh faktor lain.

Faktor lain inilah di antaranya adalah residual confounder yang tidak turut di teliti dalam penelitian ini, namun sebernarnya memiliki kontribusi yang besar dalam mempengaruhi status gizi pelajar SMA putri, misalnya faktor sosial ekonomi (pendapatan orang tua dan uang saku remaja putri), faktor genetik, dan metabolisme makanan yang turut mempengaruhi status gizi remaja putri. Konsumsi energi dan zat gizi dipengaruhi oleh umur, berat badan, tinggi badan, pola dan kebiasaan makan, serta pendapatan (Kartosapoetra dan Marsetyo, 2005). Pendapatan orang tua berhubungan dengan uang saku remaja putri dan daya belinya terhadap makanan selama di luar rumah. Selain itu, kebiasaan hanya menyukai satu jenis makanan tertentu, jarang sarapan pagi, lebih suka jajan, merupakan kebiasaan tidak sehat yang sering dilakukan oleh remaja (Kurniasih, 2010; Soekirman, 2006). Lebih dari 50% faktor lain tidak diteliti dalam penelitian ini berdasarkan ketiga indikator, sehingga dapat diteliti lebih lanjut.

Seiring dengan meningkatnya populasi remaja di Indonesia, masalah gizi remaja perlu mendapatkan perhatian khusus karena berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tubuh serta dampaknya pada masalah gizi dewasa (Nursari, 2010; Pudjiadi, 2005). Pembangunan nasional memerlukan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dengan penerapan gizi seimbang (Depkes RI, 2005). Gizi yang baik akan menghasilkan SDM yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Perbaikan gizi diperlukan pada seluruh siklus kehidupan, mulai sejak masa kehamilan, bayi dan anak balita, pra sekolah, anak SD, remaja dan dewasa sampai usia lanjut (Heath et al., 2005). Upaya peningkatan status gizi untuk pembangunan SDM yang berkualitas harus dimulai Seiring dengan meningkatnya populasi remaja di Indonesia, masalah gizi remaja perlu mendapatkan perhatian khusus karena berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tubuh serta dampaknya pada masalah gizi dewasa (Nursari, 2010; Pudjiadi, 2005). Pembangunan nasional memerlukan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dengan penerapan gizi seimbang (Depkes RI, 2005). Gizi yang baik akan menghasilkan SDM yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Perbaikan gizi diperlukan pada seluruh siklus kehidupan, mulai sejak masa kehamilan, bayi dan anak balita, pra sekolah, anak SD, remaja dan dewasa sampai usia lanjut (Heath et al., 2005). Upaya peningkatan status gizi untuk pembangunan SDM yang berkualitas harus dimulai