D engan gugurnya Bhisma, padamlah semangat bala-

D engan gugurnya Bhisma, padamlah semangat bala-

tentara Kaurawa. Tetapi, begitu mendengar bahwa Karna sudah mendapat restu dari kesatria tua itu untuk memimpin mereka, semangat mereka untuk berperang kembali berkobar. Duryodhana senang sekali. Dipeluknya Karna dengan gembira. Segera ia berunding dengan Karna untuk menentukan siapa saja yang pantas dipilih menjadi mahasenapati.

Karna berpendapat bahwa setiap raja atau putra mah- kota serta kesatria yang bergabung dengan balatentara Kaurawa pantas diangkat menjadi mahasenapati. Alasannya, mereka semua mempunyai kekuatan, kecaka- pan, keberanian, ketangkasan, kewibawaan, keagungan dan kebijaksanaan yang setara. Tetapi, tentu saja tidak mungkin mengangkat beberapa mahasenapati sekaligus. Jika salah satu di antara mereka dipilih, yang lainnya mungkin akan merasa dihina, iri hati atau sakit hati. Aki- batnya, semua akan menderita. Menurut pikiran Karna, sebaiknya Drona yang diangkat sebagai mahasenapati, sebab ia adalah mahaguru dari hampir semua kesatria yang tergabung dalam pasukan Kaurawa. Dengan mantap Duryodhana menyetujui usul itu.

Kemudian Duryodhana pergi menghadap Mahaguru Drona. Di hadapan para senapati balatentara Kaurawa, ia dengan singkat mengumumkan pengangkatan Drona. Mula-mula kata-katanya ditujukan kepada mahaguru itu,

“Mahaguru yang kami hormati dan kami cintai, engkau orang yang tidak ada bandingnya dalam kewibawaan, ketu- runan, kecakapan, kebijaksanaan, keagungan, umur dan ilmu pengetahuan. Kami mohon, kiranya engkau sudi diangkat menjadi mahasenapati pasukan perang kita. Di bawah pimpinanmu, kita pasti menang.”

Kemudian Duryodhana berkata kepada para hadirin, “Saudara dan sahabatku sekalian, sesuai pilihan kami, Mahaguru Drona akan memimpin kita dalam pertempu- ran-pertempuran selanjutnya. Bersiaplah untuk menerima- nya sebagai pimpinan.”

Semua yang hadir menyambut ucapan Duryodhana dengan hangat dan meriah, sambil bersorak-sorai dan bertepuk tangan. Demikianlah, Drona dilantik menjadi Mahasenapati dalam upacara yang meriah, diiringi tambur, genderang dan trompet yang gegap gempita. Balatentara Kaurawa mendapat semangat baru dari pemimpin yang baru.

Pada hari pertama Drona memimpin, pasukan Kaurawa diatur dalam formasi bola. Karna yang selama sepuluh hari tidak muncul di medan perang, pada hari kesebelas itu tampak siap dengan keretanya yang kokoh dan megah. Banyak prajurit berbisik-bisik, membicarakan ketidakhadi- rannya selama sepuluh hari ini. Mereka berpendapat, Karna tidak mau ikut berperang karena Bhisma yang memegang pimpinan. Mereka juga berpendapat bahwa kekalahan yang mereka derita adalah kesalahan Bhisma. Hampir semua menyalahkan kesatria tua yang telah gugur itu dalam pertempuran itu. Sekarang, di bawah pimpinan Karna, mereka membayangkan kemenangan akan berpi- hak pada mereka dan Pandawa akan hancur.

Diam-diam Duryodhana berunding dengan Drona, Kar- na dan Duhsasana. Duryodhana mengemukakan maksud- nya untuk menangkap Yudhistira hidup-hidup. Ia berkata, “Aku tidak menginginkan apa-apa, tidak juga kemenangan, asalkan Yudhistira bisa ditangkap hidup-hidup. Kalau Mahaguru Drona bisa melakukan ini, kita semua akan Diam-diam Duryodhana berunding dengan Drona, Kar- na dan Duhsasana. Duryodhana mengemukakan maksud- nya untuk menangkap Yudhistira hidup-hidup. Ia berkata, “Aku tidak menginginkan apa-apa, tidak juga kemenangan, asalkan Yudhistira bisa ditangkap hidup-hidup. Kalau Mahaguru Drona bisa melakukan ini, kita semua akan

Tetapi, sebenarnya niat Duryodhana sama sekali lain dari yang dimengerti oleh Mahaguru Drona. Yang ada di benak Duryodhana adalah: Jika Yudhistira tewas dalam pertempuran, tidak sesuatu pun akan diperoleh dari keme- nangan itu karena hal itu justru akan membuat saudara- saudaranya semakin marah dan garang. Pertempuran akan semakin seru dan korban akan semakin banyak. Lebih penting dari itu, Duryodhana sadar bahwa kekalahan pasti ada di pihaknya. Lagi pula, jika pertempuran diteruskan sampai kedua pihak hancur lebur, Krishna masih akan tetap hidup. Dan, ia pasti akan mengangkat Draupadi atau Dewi Kunti untuk menduduki takhta kerajaan, sebagai pewaris sah Kerajaan Hastina. Jika demikian, apa gunanya membunuh Yudhistira? Karena itu, jalan yang terbaik adalah menangkap Yudhistira hidup-hidup dan segera menghentikan perang. Langkah kedua adalah meman- faatkan kebaikan hati Yudhistira untuk maksud-maksud selanjutnya, yaitu dengan mengundangnya untuk bermain dadu lagi. Duryodhana sudah memperhitungkan bahwa undangan main dadu itu pasti tidak akan ditolak.

Selanjutnya tidak ada soal lagi, sebab Sakuni tetap satu- satunya ahli siasat main dadu. Pandawa, yang pasti akan kalah, akan diusir lagi ke pengasingan selama tiga belas tahun.

Menurut kenyataan, selama sepuluh hari bertempur Kaurawa lebih sering kalah. Ini berarti, sulit bagi Duryo- dhana untuk meraih apa yang diinginkannya. Ketika Dur- yodhana mengungkapkan niatnya dengan terus terang, Mahaguru Drona merasa tertipu. Dalam hati ia mengutuk Duryodhana. Tetapi, apa pun niat Duryodhana, ada satu hal yang pasti, yaitu: ia tidak akan membunuh Yudhistira. Hal itu membuat Drona merasa agak lega.

Demikianlah, ia berjanji akan berusaha sekuat tenaga untuk menangkap Yudhistira hidup-hidup dan menyerah- kannya kepada Duryodhana. Tetapi, rencana itu sampai ke telinga Pandawa melalui mata-mata mereka. Karena itu, Pandawa semakin waspada dan selalu menugaskan bebe- rapa prajurit yang perkasa untuk mengawal Dharmaputra.

Pertempuran di hari kesebelas berlangsung dengan seru. Di bawah pimpinan Drona, pasukan Kaurawa ung- gul. Mereka berhasil membelah formasi pasukan Pandawa menjadi dua, menembus ke pusat formasi dan langsung berhadapan dengan Dristadyumna. Terjadilah pertarungan satu lawan satu di seluruh medan pertempuran. Sahadewa melawan Sakuni yang ahli siasat dan tipu muslihat di meja perjudian maupun di medan pertempuran. Di tempat lain, Bhimasena melawan Wiwimsati, Salya melawan Nakula, Kripa berhadapan dengan Dristaketu, Karna melawan Wirata, Satyaki berhadapan dengan Kritawarma, dan Pau- rawa melawan Abhimanyu.

Dalam situasi demikian, Drona memerintahkan pasu- kan Kaurawa untuk langsung menyerang dan menangkap Yudhistira. Alangkah gagahnya Drona dengan kereta emasnya yang ditarik empat kuda jantan dari lembah Sin- dhu. Yudhistira menyambut serangan Drona dengan tang- kas dan membalasnya dengan melepaskan anak panahnya yang bergerigi dan dihiasi kitir bulu burung garuda. Drona Dalam situasi demikian, Drona memerintahkan pasu- kan Kaurawa untuk langsung menyerang dan menangkap Yudhistira. Alangkah gagahnya Drona dengan kereta emasnya yang ditarik empat kuda jantan dari lembah Sin- dhu. Yudhistira menyambut serangan Drona dengan tang- kas dan membalasnya dengan melepaskan anak panahnya yang bergerigi dan dihiasi kitir bulu burung garuda. Drona

Mendengar teriakan itu, secepat kilat Arjuna meluncur mendekat dengan keretanya. Gemuruh keretanya yang melaju membelah udara. Ia berhasil memotong jalan kereta Drona yang sudah sangat dekat dengan kereta Yudhistira. Dari Gandiwanya menyembur ratusan anak panah susul- menyusul, membuat Drona mundur dan membatalkan niatnya.

Pertempuran antara Drona dan Arjuna tidak berlanjut karena saat itu matahari telah tenggelam.

Pertempuran hari kesebelas sudah berakhir. Rencana untuk menculik Yudhistira gagal. Drona melaporkan itu kepada Duryodhana. Ia mengalami kesulitan besar karena Arjuna masih hidup. Mereka harus mencari siasat lain untuk menculik Yudhistira.

Mendengar itu, Susarma, Raja Trigarta kemudian berga- bung dengan balatentara Kaurawa lalu berunding dengan Duryodhana dan saudara-saudaranya. Mereka mengucap- kan sumpah Samsaptaka hendak bertempur mati-matian melawan Arjuna. Mereka akan berusaha keras untuk memisahkan Dharmaputra dari Partha.

Demikianlah, sumpah itu diucapkan sesuai dengan tra- disi, yaitu dengan duduk mengelilingi api unggun agnihotra dan mengenakan pakaian yang terbuat dari rumput. Upacara ini diiringi korban mecaru, yaitu upacara yang menggambarkan mereka seolah-olah telah tewas. Upacara ini dilanjutkan dengan upacara sumpah,

“Kami tidak akan kembali sebelum membunuh Arjuna. Jika kami takut dan lari meninggalkan pertempuran, “Kami tidak akan kembali sebelum membunuh Arjuna. Jika kami takut dan lari meninggalkan pertempuran,

Melalui mata-mata Pandawa, Arjuna mengetahui ten- tang sumpah itu. Arjuna segera melaporkan hal itu kepada Dharmaputra. Sesuai adat para kesatria, Arjuna harus menghadapi tantangan itu secara kesatria. Yudhistira ter- nyata sudah tahu bahwa Drona berencana menangkap dirinya dan telah menjanjikan itu kepada Duryodhana. Kecuali itu, Susarma sebenarnya berniat mengubah stra- tegi perang mereka.

Yudhistira mengingatkan bahwa Drona adalah maha- guru yang tak terkalahkan, berani, kuat, dan pandai. Namun Arjuna berpegang teguh pada keputusannya. Ia berkata kepada Dharmaputra, “Tuanku Raja, Satyajit akan membela engkau. Selama ia tetap hidup dan ada di sisimu, tidak sesuatu pun bakal terjadi pada dirimu.”

Kemudian Arjuna merentangkan Gandiwanya dan mele- paskan anak panah sebagai tanda bahwa ia menerima tantangan sumpah Samsaptaka. Prajurit kedua pihak ber- sorak-sorak menyambut itu. Gemuruh suara mereka mem- buat langit bergetar. Kemudian Krishna melecut kudanya, langsung menyerang pasukan Trigarta yang dipimpin Susarma. Baru saja berhadapan dengan Arjuna, mereka buyar, takut tertimpa hujan anak panah yang menyembur dari Gandiwa Arjuna. Susarma terpaksa berteriak-teriak lantang mengingatkan sumpah mereka di hadapan Batara Agni.

Gandiwa Arjuna terus menyemburkan anak panah, menebarkan maut bagi pasukan Trigarta. Beratus-ratus mayat pasukan Susarma bergelimpangan di tanah; banyak di antaranya yang kepalanya terpenggal akibat amukan anak panah Arjuna. Sementara Partha sibuk menghadapi pasukan Susarma, Drona memerintahkan seluruh kekua- tan pasukan Kaurawa untuk memusatkan serangan mere- ka ke sasaran, yaitu di sekitar tempat Yudhistira berada.

Hal ini diketahui Dharmaputra yang segera memberi- tahu Dristadyumna yang lalu mendahului menggempur

Drona. Dengan tangkas Drona menghindari serangan Drista- dyumna dan dengan mudah mengobrak-abrik pasukan Pandawa. Tak terhitung banyaknya korban yang jatuh di pihak Pandawa. Satyajit membalas serangan Drona dengan berani. Ia dibantu Wrika, salah seorang putra Raja Pan- chala. Tetapi, kedua kesatria muda itu dapat ditewaskan oleh Drona.

Satanika, putra Raja Wirata, melecut kudanya dan memacu keretanya siap menggempur Drona. Tetapi, ia tewas di tangan Drona. Kemudian Raja Katama maju ber- tempur melawan Drona. Ia juga tewas di tangan Maha- senapati itu. Washudana menyerbu, membalaskan kema- tian Katama, tetapi ia gugur terkena senjata Drona.

Yudhamanyu, Uttamaujas, Satyaki dan Srikandi mele- cut kereta mereka dengan kencangnya, memotong arah kereta Drona yang melaju bagai angin kencang ke arah Yudhistira berada. Tetapi, semua serangan Pandawa yang bagaimanapun dahsyatnya dapat digagalkan oleh Drona. Mahasenapati itu semakin mendekati Dharmaputra. Pada saat yang sama, Panchala, adik Draupadi dan Drista- dyumna, menyerang Drona seperti singa kelaparan me- nyergap mangsa. Tetapi Panchala dan keretanya dapat diremukkan oleh Drona. Mereka jatuh terguling ke tanah dan tewas seketika.

Melihat keperkasaan dan kemenangan mahasenapati- nya, Duryodhana senang sekali. Ia berkata kepada Karna, bahwa tidak lama lagi Pandawa pasti menyerah kalah.

Karna menggeleng dan menjawab dengan tajam, “Pan- dawa tidak akan semudah itu menyerah kalah. Pengala- man pahit mereka membuktikan bahwa mereka semua ulet dan tangguh. Mereka takkan melupakan pengalaman buruk mereka di masa lalu.

“Ingat, ketika engkau mencoba meracuni mereka dan ketika engkau mencoba membakar mereka hidup-hidup! Engkau pernah menghina mereka dalam permainan dadu, kemudian engkau buang mereka ke hutan, kaupaksa “Ingat, ketika engkau mencoba meracuni mereka dan ketika engkau mencoba membakar mereka hidup-hidup! Engkau pernah menghina mereka dalam permainan dadu, kemudian engkau buang mereka ke hutan, kaupaksa

Ketika mereka gagal menghentikan laju kereta Drona, Bhimasena datang. Bagaikan angin puyuh, ia menghalang- halangi majunya Drona ke arah Yudhistira. Serangan Bhi- ma disusul serangan Satyaki, Yudhamanyu, Kesatradhar- ma, Nakula, Uttamaujas, Drupa, Wirata, Srikandi, Drista- ketu, dan para kesatria lainnya yang memihak Pandawa.

Melihat itu, Karna mendesak Duryodhana agar mengi- rim bantuan untuk menolong Drona.

Sementara itu, Duryodhana berpendapat bahwa untuk menaklukkan Bhimasena perhatian kesatria itu harus dialihkan ke gelanggang lain. Ia akan memimpin dan mengerahkan pasukan gajah secara besar-besaran. Sewaktu berhadapan dengan Duryodhana, Bhimasena mempertahankan diri dengan gagah. Bhima melemparkan tombaknya yang berujung pisau bulan sabit, tepat mengenai busur dan panji-panji Duryodhana yang lang- sung rontok ke tanah. Akhirnya Duryodhana dibantu Raja Angga dalam memimpin pasukan gajah.

Bhimasena terus-menerus melontarkan tombak sakti- nya ke arah Raja Angga. Salah satu tombaknya mengenai gajah yang ditunggangi raja itu, sementara tombak yang lain mengenai tubuhnya. Seketika itu juga, tewaslah Raja Angga bersama gajahnya.

Melihat itu, balatentara Kaurawa menjadi bingung. Mereka berlarian ke sana kemari, simpang siur tak tentu arah. Mereka membuat gajah-gajah yang lain panik dan kalang kabut berlarian. Tak sedikit prajurit yang mati terinjak-injak.

Bhagadatta, raja Negeri Pragjotisa, mempunyai seekor gajah bernama Supratika yang termashyur di seluruh dunia. Gajah perkasa itu menerjang Bhimasena dan Bhagadatta, raja Negeri Pragjotisa, mempunyai seekor gajah bernama Supratika yang termashyur di seluruh dunia. Gajah perkasa itu menerjang Bhimasena dan

Pada waktu jatuh, Bhimasena dapat menguasai diri dan dengan cepat berhasil menyelinap ke bawah binatang itu. Bhima tahu betul bagaimana caranya menghadapi gajah yang sedang mengamuk dan tahu benar bagian-bagian lemah badan seekor gajah. Sambil bergayut pada salah satu kaki gajah itu, Bhima menusuk-nusuk titik-titik lemah di tubuh Supratika hingga gajah itu melengking kesakitan. Dengan belalainya, Supratika mencoba mele- paskan Bhima dari kakinya, tetapi parang tajam Bhima menebasnya. Dengan belalai yang tertebas, Supratika semakin ganas mengamuk karena kesakitan. Semua yang ada di dekatnya hancur. Tetapi Bhimasena tetap bergayut pada kakinya dan terus menusuk-nusuk perut gajah itu. Ibarat jengkerik digelitik, gajah itu mengamuk kalang kabut.

Ketika Bhimasena tidak muncul-muncul dari bawah tubuh si gajah, anak buahnya berteriak-teriak mengatakan Bhima tewas diinjak-injak Supratika. Yudhistira mende- ngar teriakan itu, kemudian memberi isyarat kepada Raja Dasarma yang juga menunggang gajah. Dasarma lalu menggempur Bhagadatta. Kedua gajah itu bertarung sengit. Tetapi Supratika memang gajah paling unggul. Keti- ka mereka sedang seru-serunya berkelahi, Bhima menyeli- nap keluar dari kaki Supratika. Ia selamat.

Satyaki maju menyerang Bhagadatta. Meskipun sudah lanjut usianya, rambutnya sudah putih, dahinya penuh kerutan, alisnya jatuh menutupi mata, punggungnya sudah bungkuk, dan kulitnya sudah kisut, Bhagadatta bertarung dengan perkasa. Setapak pun ia tidak mau mundur. Dengan penuh semangat ia menggempur Panda- wa, bagaikan Bhatara Indra yang mengendarai Airawata melawan balatentara raksasa. Satyaki yang menyerang diterjangnya, kereta dan kudanya diterjang gajah Supra- tika sampai remuk.

Bhimasena dan Satyaki yang dapat menyelamatkan diri segera mempersenjatai diri dan bersiap untuk bertarung lagi dengan Bhagadatta. Kesatria tua itu sungguh sangat mengagumkan. Supratika, gajahnya, telah dilatih sejak kecil dan sangat mahir menggunakan belalainya. Supratika menyemburkan cairan beracun dari belalainya. Siapa pun, kuda atau gajah, yang berani mendekatinya pasti mati terkena racunnya.

Seluruh medan Kurukshetra panik karena amukan Supratika. Pasukan Pandawa terpaksa lari menyelamatkan diri. Gajah dan kuda menjadi liar, berlarian ke sana kemari, saling bertumbukan. Medan pertempuan menjadi redup dan keruh, penuh debu beterbangan. Derap langkah kaki-kaki gajah membahana, debu mengepul tinggi ke angkasa.

Saat itu Arjuna sedang menghadapi pasukan Susarma yang telah bersumpah, “Arjuna harus mati atau mereka yang hancur.” Melihat kepanikan yang ditimbulkan Bhaga- datta dan gajah Supratika, Arjuna menyuruh sais kereta- nya untuk memutar haluan dan memacu kereta ke arah Bhagadatta. Kesatria tua dan gajahnya itu sungguh sakti tiada bandingnya dan jika dibiarkan tanpa perlawanan pasti akan menghancurkan semangat Pandawa.

Ketika Krishna membelokkan kereta Arjuna, Susarma dan saudara-saudaranya berteriak-teriak, menyumpahi dan mengatai Arjuna pengecut. Mereka terus berteriak- teriak sambil menyerang Arjuna dari belakang, “Dasar pengecut! Kau bukan kesatria! Kau tak berani menantang sumpah Samsaptaka!”

Mendengar teriakan dan caci-maki mereka, Arjuna men- jadi bingung. Apakah akan terus menyerang Bhagadatta yang sedang mengamuk, atau menghadapi sisa-sisa pasu- kan Trigarta. Tepat ketika Arjuna ragu-ragu dan lengah, Susarma melontarkan dua butir bola besi, satu mengenai Arjuna, satunya mengenai Krishna. Mereka terluka. Untunglah lukanya tidak parah. Segera Arjuna membalas dengan lontaran tiga bola besi. Tiga-tiganya tepat mengenai

Susarma. Melihat itu, saudara-saudara dan anak buah Susarma langsung lari terbirit-birit.

Kesempatan itu digunakan Krishna untuk melarikan keretanya menuju ke tempat Bhagadatta. Kesatria tua itu tak kenal lelah, terus mengamuk bersama gajahnya, Supratika.

Arjuna dan Bhagadatta saling menyerang dengan panah. Arjuna berhasil menghancurkan perisai gajah Supratika hingga remuk. Gajah itu jatuh terjerembap, mukanya membentur tanah dengan keras dan kepalanya hancur berkeping-keping. Sebaliknya, tombak Bhagadatta tepat mengenai ketopong Arjuna, membuat ketopong itu terlontar jatuh.

Setelah memusatkan hati dan berdoa sebentar, Arjuna menantang Bhagadatta, “Wahai Bhagadatta, kesatria lanjut usia. Pandanglah dunia ini sekali lagi dan bersiaplah untuk mati!”

Setelah berkata demikian, Arjuna membidikkan bola besinya, tepat mengenai busur Bhagadatta yang dipegang dengan tangannya. Kemudian, sebuah anak panah dilepaskan Partha, tepat mengenai ikat kepala Bhagadatta yang berwarna merah dan berguna untuk menahan alisnya yang menjuntai agar tidak menutupi matanya. Karena ikat kepalanya jatuh dan alisnya terjurai menutupi matanya, Bhagadatta sulit melihat ke depan. Arjuna tahu benar kelemahan kesatria tua itu. Setelah tak ada lagi senjata di tangannya dan ia sulit melihat ke depan, akhirnya Bhagadatta memecut Arjuna dengan cemetinya yang sakti sambil mengucapkan mantra Waishnawa. Arjuna nyaris tewas kena cemeti itu. Untunglah Krishna berhasil menge- lakkan Arjuna dengan mantra Batara Wishnu. Cemeti itu jatuh lemas di pundak Arjuna. Lalu sambil bergurau Krishna mengalungkan cemeti itu ke lehernya, bagaikan kalung bunga melati.

Sekarang Arjuna tinggal membunuh Supratika. Ia mele- paskan anak panah berbentuk ular, tepat menembus mulut gajah perkasa itu. Sesaat gajah itu tertegak kaku, Sekarang Arjuna tinggal membunuh Supratika. Ia mele- paskan anak panah berbentuk ular, tepat menembus mulut gajah perkasa itu. Sesaat gajah itu tertegak kaku,

Dengan tewasnya Bhagadatta, pasukan Kaurawa menja- di panik. Sakuni berusaha mengirimkan saudara-sauda- ranya, Wrisna dan Achala, untuk membantu Bhagadatta dengan menyerang Arjuna dari belakang dan dari samping. Tetapi serangan mereka dapat ditangkis dan dibalas oleh Arjuna. Mereka bahkan menemui ajal di tangan kesatria Pandawa itu. Alangkah gagah dan tampannya wajah dua kesatria yang mati muda itu. Keberanian mereka menan- tang bahaya membuat hati Arjuna menjadi gundah.

Sakuni marah melihat kedua saudaranya gugur serentak. Ia bertekad membalas. Dengan senjata tipuan, diserangnya Arjuna habis-habisan. Tetapi tipu muslihat dalam permainan judi dengan dadu tidak bisa disamakan dengan tipuan senjata perang dalam pertempuran. Arjuna tahu bagaimana caranya menangkis senjata-senjata gaib itu. Tidak sia-sia ia mendaki Gunung Himalaya dan men- dapat ilmu untuk menangkal segala macam tipuan sewaktu mengembara dalam pengasingan. Dibalasnya serangan Sakuni dengan senjata-senjata serupa. Akibat- nya, ahli siasat dan tipu daya itu lari terbirit-birit.

Demikianlah pertempuran hari kedua belas itu ber- akhir. Rencana Duryodhana dan Drona untuk menculik Yudhistira dapat digagalkan.