yang durhaka kepada moranya akan dtimpa tujuh tahun padinya hampa. Begitulah tingginya rasa hormat pihak anak boru kepada mora. Ketika sudah mengetahui hal
tersebut dalam sistem pertuturan tadi maka biasanya suasana percakapan akan menjadi semakin mencair, sebab orang tersebut sudah dianggap sebagai keluarganya.
Apalagi, di Parsalakan hanya ada 3 marga yang dominan, yakni Harahap, Rambe, Hasibuan, dan ada sebagian kecil yang bermarga Ritonga dan Siregar. Hal
tersebut tentu semakin memudahkan masyarakat dalam mengklasifikasikan perannya masing-masing.
Selain itu, dalam hal kegiatan pernikahan yang memakai adat Angkola biasanya memakan waktu yang lama, bisa hingga satu minggu tergantung
kesanggupan keluarga yang membuat pernikahan tersebut.Dalam pesta adat Angkola biasanya bisa menghabiskan biaya hingga 100 juta untuk membiayai pesta. Seperti
telah disebutkan di dalam Bab 2, ada beberapa tradisi yang harus dilalu sebelum menikahkan kedua mempelai dan salah satunya yaitu Mangkobar boru, dimana dalam
tradisi Mangkobar boru ini memerlukan biaya yang banyak juga karena pihak yang hendak mengambil boru tersebut harus membayar semacam tuhor bagi anak gadis
tersebut. Dalam Mangkobar boru tersebut, uang yang harus dibayarkan perlu dibayar kepada pariban, na markahanggi, pihak suhut, pihak unjuk dan tulang, namuhut,
namboru dan neneknya tidak mendapat uang, tetapi gantinya adalah abit apus ilu kain sarung dan yang terakhir yaitu pembagian uang ingot-ingot. Sebab dalam pesta
tersebut harus mengundang sanak famili , membeli daging kerbau atau sapi untuk
misalnya 3 hari, selain itu menyewa gondang ataupun organ tunggal. Masyarakat Angkola tidak menghitung acara adat tersebut sebagai kerugian, tetapi mereka
menganggap hal tersebut sebagai suatu yang lumrah dan dianggap sebagai kebaikan. Sebab pada suatu waktu orang lain juga akan mendapat gilirannya masing-masing
dan mereka semua juga akan berada pada posisi tersebut. Seperti ada istilah Angkolanya yang mengatakan „ Songon na maridi di pancurmuda pahae
simanggurak, pahulu ma sitimpulon’ artinya seperti mandi di air pancuran, kalau kita membuat kebaikan kepada semua orang, tentu balasannya juga kebaikan
14
. Ada juga suatu aktivitas lainnya yang dikerjakan oleh masyarakat Parsalakan
yang bisa mengangkat status sosialnya di dalam masyarakat dan hal tersebut jelas dapat menjadi prestise baginya dalam masyarakat, yakni naik haji.
15
Dalam hukum Islam, seseorang diwajibkan untuk menunaikan ibadah haji jika yang bersangkutan
dirasa mampu.Ada beberapa petani salak yang setelah panen, menyimpan uangnya agar kelak dapat digunakan untuk naik haji. Berdasarkan Badan Pusat Statistik tahun
1980, banyaknya biaya yang diperlukan untuk ongkos naik haji berada di kisaran 800ribu-an
16
. Dengan penghasilan salak yang sudah memberi peningkatan bagi masyarakat dalam hal segi pemenuhan kebutuhan jasmaninya, maka masyarakat pun
mulai memikirkan untuk memenuhi kebutuhan rohaninya, yakni dengan naik haji sebab dengan penghasilan yang mereka peroleh pada masa itu, mereka mampu untuk
14
Parlaungan Ritonga dan Ridwan Azhar, Sistim Pertuturan Masyarakat Tapanuli Selatan, Medan, 2002,hal.3
15
Wawancara dengan Bapak Sadikin Ritonga tanggal 26 November 2014
16
Badan Pusat Statistik tahun 1980
menunaikan ibadah haji. Tidak perlu menunggu waktu yang lama untuk menabung biaya naik haji, dalam tempo waktu 5 tahun saja mereka sudah mampu untuk naik
haji. Hal tersebut menjadi prestise tersendiri bagi petani tersebut, sebab dengan begitu gelarnya pun bertambah dengan titel haji di depan namanya dan tentu saja akan
disegani dan dihormati di masyarakat. Selain itu, ada juga kebanggan tersendiri ketika mereka membuat nama depot mereka, misalnya ada seorang petani salak yang
membuat nama depotnya, yakni „ Parsalak Haji Ritonga‟ dengan harapan akan menarik pelanggan tentunya.
Perubahan lain dari pertanian salak terhadap kehidupan sosial masyarakat Desa Parsalakan adalah semakin menghilangnya tradisi Marsialapari. Dimana
dijelaskan di bab sebelumnya, dalam mengelola lahan salak mereka dikerjakan secara bersama-sama dari 2 hingga 3 keluarga yang masih ada ikatan kekerabatan. Tetapi
memasuki periode akhir tahun 90-an sistim tersebut lambat laun semakin memudar. Hal ini dikarenakan dampak ekonomi dari pertanian salak itu telah memberi
kesejahteraan bagi masyarakat. Ketika permintaan akan produksi salak yang semakin banyak tiap tahunnya dan dibarengi dengan harga jualnya yang meningkat maka
masyarakat pun mengalihkan sistim Marsialapari tadi dengan menyewa tenaga kerja, dan biasanya pekerjanya adalah pemuda-pemuda setempat yang kebetulan sedang
tidak bekerja. Dengan menyewa tenaga kerja maka semakin memudahkan petani salak tersebut dalam mengelola salaknya, karena fokusnya ditujukan hanya untuk
lahan salaknya, tidak lagi lahan salak milik orang lain.
4.3 Pendidikan
Sebagaimana telah menjadi tradisi dalam masyarakat, setiap anak dalam keluarga harus dilibatkan untuk bekerja di ladang, dengan maksud untuk membantu
para orangtua dalam memelihara ladangnya dan juga dalam rangka mengajari si anak bagaimana cara untuk bertanam salak, sebab kelak anak-anak tersebut yang akan
mewarisi ladang salak mereka. Pola berpikir masyarakat ini berlangsung cukup lama pada waktu itu, belum lagi ditambah timbul sebuah pemahaman di dalam masyarakat,
bahwa hasil dari bertanam salak lebih tinggi dari gaji PNS, dan mereka menganggap kalau sudah tamat sekolah kalau hanya menjadi PNS lebih baik bertanam salak
saja.Akan tetapi pola pikir masyarakat seperti itu perlahan-lahan mulai terkikis seturut dengan berkembangnya zaman. Mula-mula sebuah keluarga tidak punya niat
untuk menyekolahkan anaknya, akan tetapi ketika melihat tetangganya yang menyekolahkan anaknya hingga jenjang yang lebih tinggi lagi dan berhasil
memperoleh pekerjaan yang layak di daerah tempat si anak berdomisili menimbulkan aroma kecemburuan dari keluarga tersebut, sehingga timbul perasaan ingin mengikuti
keluarga tersebut. Hal tersebut memjadi motivasi bagi keluarga tersebut untuk menyekolahkan anaknya. Meskipun pada awalnya begitu, manfaat pendidikan mulai
terasa bagi masyarakat, sebab dalam proses belajar mengajar si anak akan memperoleh pengetahuan dalam hal membaca, menulis dan berhitung, sehingga hal
tersebut dapat mengurangi masyarakat yang melek huruf.
Dalam hal menyekolahkan anaknya, orang-orang Parsalakan ingin anaknya bersekolah di tempat yang baik. Menurut salah seorang informan, ia tidak ingin
menyekolahkan anaknya di Parsalakan melainkan di Padangsidimpuan, sebab ia menganggap sekolah yang ada di Padangsidimpuan lebih baik karena berada di kota
sedangkan Parsalakan ataupun Sitinjak ia merasa belum yakin akan kualitas dari sekolah tersebut. Selain itu dari segi sarana fasilitas yang didapatkan lebih menunjang
dan lebih baik daripada yang ada di Parsalakan.Oleh karena itu mereka pun tidak segan-segan untuk menyekolahkan anaknya, sebab jarak antara Parsalakan dan
Padangsidimpuan dapat ditempuh hanya dalam waktu kurang dari 1 jam, selain itu ada angkutan umum yang memang memiliki trayek Padangsidimpuan-Parsalakan
sehingga memudahkan anak-anak mereka tersebut dapat bersekolah.Untuk ke jenjang yang lebih tinggi yakni ke perguruan tinggi, para petani salak tersebut juga tidak
segan-segan untuk menyekolahkan anaknya sekalipun harus merantau ke luar dari Padangsidimpuan, misalnya ke Medan atau Padang.Mereka menginginkan anaknya
bersekolah tinggi karena dengan bersekolah yang tinggi hal tersebut menjadi prestise sendiri bagi mereka.Bahkan ada anggapan yang berkembang dalam masyarakat
Parsalakan pada masa kini yakni, „cukuplah kami sebagai orangtua yang menjadi petani, tetapi kelak anak-anak kami harus menjadi sarjana pertanian
17
’.
17
Wawancara dengan Bapak Arpan Harahap tanggal 2 Januari 2015
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Desa Parsalakan pada mulanya merupakan gabungan dari 6 desa yang terdiri dari Desa Hutalambung, Huta Tonga, Huta Koje, Huta Tunggal, Aek Lubuk, dan
Lobu Jelok. Masyarakat dari ke 6 desa tersebut bermatapencaharian yang sama yakni mengandalkan bertani salak. Hal tersebut dikarenakan kondisi alam dan topografinya
yang mendukung bagi masyarakat tersebut untuk bertanam salak.Oleh karena itu, ketika melintasi Desa Parsalakan akan nampak panorama perkebunan salak di
sepanjang jalan lintas desa tersebut. Pada mulanya salak yang ada di Parsalakan belum dikembangkan dengan baik
seperti yang terjadi pada masa kini.Salak memiliki nilai ekonomisnya ketika masyarakat Parsalakan melihat bahwa salak ternyata digemari oleh tempat dimana
mereka hendak menjualnya, seperti desa tetangga dan kota-kota yang menjadi destinasi pemasaran salak tersebut. Melihat permintaan yang semakin meningkat,
membuat petani salak pun mulai memperbaiki cara bertanam salak mereka, mulai dari hal-hal yang kecil seperti membersihkan rumput-rumput disekitar pohon salak,
memilih biji-biji dari salak yang manis, dan sebagainya. Berkembangnya pertanian salak di Desa Parsalakan membawa pengaruh yang
besar bagi masyarakat tersebut. Dengan semakin meningkatnya permintaan akansalak
setiap tahunnya membuat masyarakat pun mulai membuka lahan-lahan mereka untuk ditanami salak. Tidak hanya masyarakat Parsalakan saja yang tertarik untuk bertanam
salak, desa tersebut juga banyak didatangi baik dari desa tetangganya ataupun dari luar Parsalakan meskipun dalam jumlah kecil untuk bertanam salak.Selain itu, dalam
bertanam salak juga pada waktu itu tidak terlalu membutuhkan modal yang besar untuk bertanam salak, sebab hanya membutuhkan biji-biji salak yang bisa diperoleh
dari salak-salak yang sudah dimakan dan bijinya yang tidak langsung dibuang melainkan disimpan untuk bakal jadi bibit salak.Untuk pemeliharaan bibit tersebut
juga tidak terlalu sulit sebab curah hujan yang ada di Desa Parsalakan cukup merata sepanjang tahun sehingga memudahkan petani salak dalam bertanam salak.
Peningkatan hasil produksi yang semakin meningkat sepanjang tahun tentu membawa perubahan tersendiri bagi masyarakat Desa Parsalakan. Hal tersebut dapat
dilihat dari cara mereka mengelola uang mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari baik, primer, sekunder bahkan primer. Selain pemenuhan kebutuhannya, terjadi
peningkatan dalam kehidupan sosial masyarakat tersebut, terutama dalam adat dimana mereka mampu membiayai pernikahan secara adat Angkola yang dalam
kegiatannya membutuhkan biaya yang sangat besar. Selain itu, masyarakat Parsalakan dikenal oleh penduduk yang ada di Padangsidimpuan sebagai kumpulan
orang-orang yang kaya, dikarenakan seringnya orang-orang Parsalakan yang turun ke Padangsidimpuan untuk membeli kebutuhan-kebutuhan mereka, baik primer ataupun
sekunder. Dalam pola pikir masyarakat juga sudah mengalami kemajuan terutama
ketika mereka sudah berani menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang yang lebih tinggi, sehingga dengan begitu mereka mengharapkan kelak anaknya bisa mempunyai
kehidupan yang lebih baik dari mereka. Masyarakat Parsalakan juga sudah mempunyai perencanaan untuk masa depan mereka, yakni dengan mulai berinvestai
pada emas dan tanah. Secara umum perubahan-perubahan yang dialami masyarakat membawa perubahan kearah yang positif sehingga mereka bisa bertahan hidup dan
mendapat kesejahteraan dari hasil pertanian salak.
5.2 Saran
Adapun saran-saran yang dapat diajukan oleh penulis berdasarkan kesimpulan yang diatas demi perbaikan ke depan adalah sebagai berikut :
Diharapkan agar pemerintah dapat memperbaiki jalan aspal agar proses distribusi hasil pertanian salak dalam pemasaranannya semakin
lancer dan terorganisir. Perlunya diadakan penyuluhan bagi masyarakat petani salak di
Parsalakan agar kualitas produksi salak yang dihasilkan buahnya memang yang terbaik.
Perlu diadakan studi banding ke Yogyakarta, untuk mengetahui cara bertanam salak yang baik dari cara masyarakat tersebut dalam hal