2.3 Sistem Mata Pencaharian Penduduk Desa Parsalakan
Mengandalkan potensi alam lingkungan merupakan ciri khas penduduk Parsalakan.Hal ini bisa dilihat dari bagaimana penduduk Parsalakan mengelola tanah
mereka.Menurut masyarakat setempat, mereka bertanam salak sudah sangat lama sekali.Tidak jelas sejak tahun berapa, yang jelas lahan salak milik orangtua mereka
diwariskan kepada anak-anaknya begitu seterusnya, sehingga sangat sulit untuk menelusuri siapa sebenarnya yang pertama kali menemukan dan menanam salak di
Desa Parsalakan.
10
Aktivitas sehari-hari dalam mata pencaharian bertani salak dilakukan secara bergotong
royong.Pada masyarakat
Parsalakan dikenal
dengan istilah
Marsialapari.Marsialapari yaitu melakukan pekerjaan secara bersama-sama keladang.Sistem Marsialapari ini dikerjakan secara bersama-sama oleh 3-4
keluarga.Keluarga tersebut biasanya keluarga yang satu marga, maka secara bergiliran mereka mengerjakan ladang berdasarkan urutan yang telah mereka
tentukan sendiri.Dalam mengerjakan ladang tersebut, bukan hanya si ayah atau yang laki-laki saja yang pergi ke ladang salak, tapi ibu beserta anak perempuannya juga
turut serta dibawa ke ladang salak.Keluarga-keluarga tersebut biasanya pergi ke ladang setelah mereka sarapan pagi dan menyiapkan bekal untuk dibawa ke
ladang.Dalam kebiasaan masyarakat Parsalakan, biasanya yang menyiapkan bekal adalah keluarga yang pada minggu tersebut ladangnya hendak dikerjakan. Bekal yang
10
Wawancara dengan Bapak Arpan Harahap tanggal 3 Januari 2015
disediakan tergantung kemampuan keluarga tersebut untuk menyediakannya, jika dirasa mampu maka keluarga tersebut kadang-kadang akan memasak ayam untuk
bekal, tetapi kalaupun tidak mampu juga tidak menjadi masalah yang berarti, sebab ladang tersebut juga tetap akan dikerjakan, dan bagi keluarga yang lain juga itu
adalah hal yang lumrah karena keluarga tersebut masih satu keluargamarga dengan mereka. Dalam pengerjaannya di ladang tersebut, pekerjaan yang laki-laki dan
perempuan tentunya berbeda. Para pihak ayah dan anak laki-lakinya akan mengerjakan pekerjaan yang berat seperti, membuka lahan salak, menanam biji,
memotong pelepah salak, dan memanen salak. Dalam memotong salak yang hendak dipanen, ada suatu parang khusus yang yang biasanya digunakan yaitu parang yang
ujungnya makin melebar ke ujungnya. Sedangkan para ibu-ibu dan anak-anaknya yang perempuan, akan membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar
pohon salak, selain itu mereka juga yang akan mempersiapkan makanan ke piring untuk disantap bersama-sama dengan keluarga yang lain ketika waktunya untuk
makan siang. Pada waktu panen tiba, keluarga-keluarga tersebut juga menjual hasil panen
salak mereka secara bersama-sama juga.Pada waktu itu jalan dari ladang salak ke jalan yang menjadi jalan utama di Desa Parsalakan belum semulus sekarang.Untuk
masuk ke ladangsalak, misalnya dari Desa Hutalambung jalan belum dibuka.Oleh karena itu transportasi yang mereka pakai yaitu menggunakan kuda untuk
mengangkut hasil salak dari ladang ke jalan utama Parsalakan.Hasil panen salak
tersebut mereka letakkan diatas kuda.Pada kuda tersebut dipasangi dua kantung yang berada pada dua sisi kuda tersebut.Ketika kuda tersebut telah sampai ke jalan utama
yang ada di Parsalakan, maka hasil panen salak tersebut kemudian dipindahkan ke atas gerobak pedati yang ditarik oleh sapi atau kerbau.Hasil panen yang telah
dipindahkan tersebut biasanya dijual ke Sibolga.Dalam perjalanannya ke Sibolga, keluarga-keluarga yang Marsialapari tadi juga menjual hasil salak mereka juga
bersama-sama. Mereka menjualnya bersama-sama karena takut akan bahaya yang akan mereka dapati di sepanjang perjalanan, misalnya seperti ancaman dari binatang
liar seperti harimau ataupun perompak-perompak yang kadang-kadang beraksi di sepanjang jalan Parsalakan-Sibolga. Ketika mereka telah sampai di Sibolga, para
petani salak tadi menjual salak mereka dengan pedagang-pedagang yang ada di Sibolga dengan menggunakan sistim barter. Petani salak tadi membarter salaknya
dengan kebutuhan pokok sehari-hari yang mereka butuhkan yaitu dengan beras, ikan, sayuran, dan lainnya tergantung kebutuhan dari petani-petani salak yang menjual
tersebut.Selain ke Sibolga, para petani juga ada yang menjual salaknya ke Sidimpuan meskipun dalam jumlah yang kecil.
Tanaman salak tidak hanya tanaman yang berkembang di Parsalakan. Di samping salak, masyarakat juga menanam tanaman lain seperti karet, pisang, durian,
jambu dan kelapa. Tanaman karet cukup berkembang di Parsalakan, karena tanaman salak membutuhkan pohon naunganpelindung yang cukup rimbun pada masa awal
pertumbuhannya.Jika hendak menanam salak, maka pertama sekali harus menyiapkan
pohon naungan tersebut terlebih dahulu. Naungan yang paling baik untuk pertumbuhan awal tanaman salak adalah tanaman pisang. Tanaman pisang hanya
digunakan sebagai naungan sementara, sedangkan untuk naungan tetap digunakan tanaman tahunan seperti kelapa, karet, durian, petai, lamtoro, mangga, sirsak, jambu,
sawo, dan sebagainya.Sehingga tak jarang dijumpai pohon-pohon seperti pisang, karet, petai dan sebagainya di samping pohon salak. Tanaman salak mutlak
memerlukan pohon pelindung, jika tidak ada pohon pelindung, pertumbuhan tanaman salak akan terhambat. Tanaman salak yang yang daunnya tidak terlindung, sering
terdapat bercak-bercak terbakar sinar matahari dan bercak-bercak serangan penyakit bercak daun. Di samping itu buahnya juga akan menjadi kecil-kecil, warnanya kusam
dan penampakannya tidak menarik. Pohon pelindung tanaman salak dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu pohon pelindung sementara dan pohon pelindung
permanen, dan tanaman karet tergolong ke kategori pohon pelindung permanen. Tanaman karet, cukup banyak ditanami oleh penduduk Parsalakan, meskipun
bukan menjadi komoditas utama. Memang ada sedikit perhatian dari masyarakat yang menanam karet dan hal tersebut dilihat dari aktivitas manderes bacamenderes yaitu
dilakukan dengan cara menyayat kulit batang karet dari kiri ke kanan bawah dengan pisau sadap. Selain itu yang menjadi penghambat bagi penduduk Parsalakan untuk
memproduksi karet dalam jumlah yang lebih banyak lagi adalah karena faktor geografis di Parsalakan sendiri.Tanaman karet tumbuh optimal di dataran rendah,
yakni pada ketinggian sampai 200 meter diatas permukaan laut.Makin tinggi letak
tempat, pertumbuhannya makin lambat dan hasilnya secara kualitas lebih rendah.Ketinggian lebih dari 600 meter dari permukaan laut tidak cocok lagi untuk
tanaman karet, sementara daerah Parsalakan berada di daerah dataran tinggi dan topografinya juga berbukit-bukit. Selain itu curah hujan juga menjadi faktor
penghambat lainnya, karena Parsalakan termasuk memiliki curah hujan yang cukup tinggi yaitu kira-kira antara 2000-4000 mmtahun, sedangkan curah hujan yang cocok
untuk pertumbuhan tanaman karet tidak kurang dari 2000 mmtahun. Faktor pendistribusian juga menjadi masalah yang pelik yang dihadapi jika hendak menanam
karet, dikarenakan daerah pendistribusiannya cukup jauh yaitu di daerah Panompuan ada sebuah perusahaan karet yang berada di Kabupaten Padang Lawas dan PT.
Sihitang Raya yang berada di pinggiran Kota Padangsidimpuan. Jika menghitung biaya yang dihabiskan untuk memproduksi dan mendistribusikannya maka tidak
sebanding dengan keuntungan yang didapatkan, apalagi lahan untuk menanam karet tidak sebanyak lahan untuk menanam salak.Jika dibandingkan dengan tanaman salak
yang tidak membutuhkan perhatian yang lebih dari tanaman karet, membuat masyarakat lambat laun hanya menganggap karet sebagai pohon penaung saja.Dari
segi hasil produksi juga, salak lebih menjanjikan karena tanaman salak dapat berbuah sepanjang tahun sedangkan karet membutuhkan waktu sekitar 5 tahun untuk dapat
memproduksi getah. Selain itu dalam menderes juga diperlukan waktu yang tepat yaitu sepagi mungkin agar diperoleh hasil lateks yang tinggi, karena turgor pembuluh
lateks masih tinggi sehingga keluarnya lateks dari pembuluh lateks yang terpotong