GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

No. Penggunaan lahan Luash ha 1 Tegalladang 715.50 2 Pemukiman 112.50 3 Sawah tadah hujan 122.00 4 Tanah perkebunan rakyat 61.00 5 Tanah hutan: - Hutan konversi 193.00 - Hutan produksi 49.93 - Hutan lindung 30.00 6 Tanah fasilitas umum: - Kas desa 10.00 - Perkantoran pemerintah 8.00 - Lapangan 3.00 - Lainnya 29.00 Jumlah 1333.93 Sumber: Profil Desa Tahun 2007 Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa dan Kesejahteraan Sosial Kabupaten Tanah Laut 2007, data diolah.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Tanaman jati rakyat di Kabupaten Gunungkidul

5.1.1. Faktor-faktor Eksternal yang Mempengaruhi Sistem Pengusahaan Tanaman Jati Rakyat Seperti dilaporkan oleh berbagai penulis Filius 1997; Awang 2001; Sutarpan 2005, budaya penanaman jati Tectona grandis L.f. rakyat di Kabupaten Gunungkidul telah berkembang cukup lama, yaitu sejak sekitar tahun 1960an. Penuturan Bapak Somo Jamin dari Desa Katongan dan Bapak Wirorejo dari Desa Kedungkeris, Kecamatan Nglipar lihat catatan kaki no. 4 mengindikasikan bahwa budaya penanaman kayu di wilayah Kabupaten Gunungkidul dimotori oleh beberapa anggota masyarakat yang mempunyai perhatian khusus terhadap lingkungan dan berpandangan jauh ke depan visioner. Setelah kemudian ternyata kayu jati mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi, lebih banyak lagi anggota masyarakat yang meniru perilaku penanaman tersebut. Wilayah Gunungkidul pernah dikenal sebagai wilayah yang gersang, sulit air dan rata-rata penduduknya miskin Maarif Institute 2007, namun kondisi saat ini sangat jauh berbeda. Pengamatan langsung di lapangan menunjukkan bahwa wilayah Gunungkidul kini sudah hijau dan banyak ditutupi oleh hutan rakyat jati. Menurut Martawijaya et al. 2005 tanaman jati tumbuh baik terutama pada tanah yang mengandung kapur. Jenis ini cocok tumbuh pada daerah kering yang nyata dengan curah hujan antara 1200-2000 mm per tahun dan pada ketingian 0 sampai 700 m. Persyaratan tempat tumbuh tanaman jati tersebut cocok dengan kondisi wilayah di Kabupaten Gunungkidul, seperti telah dijelaskan di dalam Bab IV. Kayu jati mempunyai banyak kegunaan, baik untuk keperluan kontruksi bangunan, permebelan maupun sebagai bahan untuk barang kerajinan Martawijaya et al. 2005. Kayu jati juga memiliki corak yang indah sehingga digolongkan ke dalam kayu indah fancy wood yang banyak digemari oleh konsumen di dalam dan luar negeri. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat di Kabupaten Gunungkidul telah lama menggunakan kayu jati untuk keperluan sendiri, sebagai bahan bangunan rumah tinggal atau perabotan rumah tangga. Pohon jati juga menjadi komoditi ekonomi yang mudah dijual dan dapat diterima pasar pada berbagai ukuran. Harga rata-rata kayu bulat jati di tingkat penampungan kayu di desa berdasarkan hasil survey berkisar antara Rp 300,000 sampai Rp 2,600,000 per m3 tergantung kepada kelas diameternya lihat Tabel 7. Wilayah pemasaran kayu jati dari Kabupaten Gunungkidul adalah kabupaten- kabupaten di wilayah DIY dan Jawa Tengah, seperti Jepara, Klaten, Bantul, Boyolali dan Sukoharjo. Sebagian besar kayu bulat tersebut dijual ke para pedagang kayu yang menyediakan bahan baku kayu untuk berbagai industri seperti pertukangan dan mebel. Tabel 7 Harga kayu bulat jati di tingkat pedagang kayu desa pada berbagai kelas kualitas No. Kelas kualitas Diameter cm Harga di tempat penumpukan kayu di desa Rp 1,000m3 1 UGD 30 2,600 2 UD 22-28 1,600 3 UP 16-19 1,000 4 DL 8-15 500 5 Piton 7 300 Pemerintah Kabupaten Gunungkidul tergolong sangat aktif dalam melaksanakan kegiatan pembangunan di sektor kehutanan. Pengembangan tanaman kayu rakyat merupakan prioritas utama di dalam pembangunan di sektor kehutanan tersebut. Salah satu kebijakan di lingkup kabupaten yang telah dilakukan adalah dengan membentuk Kelompok Kerja Hutan Rakyat Lestari Pokja HRL pada tahun 2005 SK Bupati Nomor 95Kpts2005 tanggal 20 September 2005. Pokja tersebut bekerja bersama berbagai pemangku kepentingan yang menaruh minat terhadap perkembangan hutan rakyat di Gunungkidul dengan anggota pokja yang berasal dari lintas instansi di lingkup kabupaten, kalangan akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat LSM dan sektor swasta. Di dalam pelaksanaan kegiatannya Pokja HRL menerapkan konsep pemberdayaan masyarakat melalui tiga kelola yaitu kelola lahan, kelola lembaga dan kelola usaha. Kelola lahan dilaksanakan dengan cara memberikan bimbingan teknis dalam rangka pemanfaatan lahan sesuai kondisi dan jenis tanah, pemilihan jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi wilayah, teknik budidaya tanaman dan teknik –teknik pemanfaatan lahan di bawah tegakan hutan. Kelola lembaga dilaksanaan melalui pemberian bimbingan dan pendampingan kepada masyarakat dalam membentuk dan mengembangkan kelembagaan kelompok yang kuat, sedangkan kelola usaha dilakukan dengan pemberian bimbingan kepada masyarakat agar dapat meningkatkan kemampuannya dalam membuka lapangan pekerjaan di sektor kehutanan, membuka peluang pasar dan industri yang berbasis kehutanan. Program-program pembangunan kehutanan yang berkaitan dengan pengembangan tanaman kayu rakyat di Kabupaten Gunungkidul menurut paparan Bupati Gunungkidul Soeharto 2008 meliputi antara lain : a. Pengelolaan hutan rakyat Pengembangan dan pengkayaan hutan rakyat dilakukan setiap tahun dengan menggunakan dana APBN maupun APBD. Kabupaten Gunungkidul telah memiliki 3 desa Desa Girisekar Kecamatan Panggang, Desa Dengok Kecamatan Paliyan dan Desa Kedungkeris Kecamatan Nglipar yang telah mendapatkan sertifikat pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari PHBML menurut skema Lembaga Ekolabel Indonesia LEI. b. Pengembangan Hutan Kemasyarakatan HKm Pada tahun 2003 Bupati Gunungkidul telah memberikan Surat Keputusan tentang Izin Pengelolaan HKm kepada 35 kelompok tani serta mengeluarkan SK Bupati Nomor 213Kpts2003 tentang Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan. Mulai saat itu pendampingan, pembinaan dan pemberdayaan terhadap kelompok tani HKm terus dilakukan secara intensif sampai akhirnya terbit SK Bupati Gunungkidul tentang Pemberian Izin Usaha Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan IUPHKm kepada 35 kelompok tani dengan luas lahan 1087,5 Ha selama 35 tahun. c. Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan GNRHLGERHAN Kegiatan GERHAN telah dilaksanakan dengan menanami sekitar 6,000 ha areal hutan rakyat dengan jumlah bibit yang telah didistribusikan sekitar 1.75 juta batang. Jenis-jenis yang dikembangkan meliputi jati, petai, mangga, melinjo dan sukun. d. Pembuatan Hutan Tanaman Rakyat HTR Pemerintah Kabupaten Gunungkidul telah mengalokasikan lahan seluas 500 Ha yang merupakan tanah AB Hutan Produksi Tetap untuk pengembangan HTR. Perkembangan terkini 2009 melaporkan bahwa kabupaten ini telah memperoleh SK Pencadangan HTR dari Menteri Kehutanan seluas 327.73 ha dan izin pengelolaan IUPHHK-HTR seluas 84.4 ha. e. Pembentukan dan Pembinaan Kelompok Tani Pemerintah kabupaten telah menetapkan kelompok tani hutan sejumlah 1,445 kelompok dan melaksanakan program pendampingan kelompok oleh para penyuluh kehutanan yang ditempatkan di desa-desa. 5.1.2. Praktek Pengusahaan Tanaman Jati Rakyat Petani di Gunungkidul memandang tanaman jati sebagai jenis kayu yang penting dalam kehidupan mereka. Hampir semua petani yang memiliki lahan di wilayah ini dapat dikatakan memiliki tanaman jati pada lahan-lahan mereka. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa masyarakat menanam pohon jati dengan pola tumpang sari pada berbagai tipe penggunaan lahan milik mereka, seperti pekarangan, tegalan dan kitren. Pekarangan adalah lahan yang bergabung dengan rumah tempat tinggal petani. Tegalan adalah lahan usaha tani yang terutama ditujukan untuk memproduksi tanaman pangan, sedangkan kitren adalah lahan yang didominasi tanaman kayu, khususnya jati. Ilustrasi penanaman jati rakyat pada ketiga pola penggunaan lahan tersebut terlihat pada Gambar 6. a Pekarangan b Tegalan c Kitren Gambar 6 Berbagai pola penanaman jati rakyat di Kabupaten Gunungkidul. Berdasarkan hasil inventarisasi yang dilakukan terhadap 227 petak lahan milik petani Lampiran 5, jumlah rata-rata tanaman jati per hektar adalah seperti terlihat pada Tabel 8. Kitren merupakan bentuk tipe penggunaan lahan dengan kerapatan pohon jati tertinggi, yaitu sebesar 485 pohon per ha. Pekarangan dan tegalan juga ditanami jati dengan kerapatan yang relatif lebih rendah, yaitu masing-masing 344 dan 435 pohon per ha. Tanaman jati bahkan juga dijumpai di lahan-lahan sawah, sekalipun hanya berupa tanaman batas dengan kerapatan tanaman sebesar 81 pohon per ha. Hasil inventarisasi lahan tersebut menunjukkan bahwa tanaman jati merupakan jenis yang dianggap penting di dalam sistem usaha tani petani di Kabupaten Gunungkidul. Tabel 8 Jumlah tanaman jati pada berbagai tipe penggunaan lahan petani di Kabupaten Gunungkidul Tipe penggunaan lahan Jumlah pohon jati per ha Tegalan 435 Pekarangan 344 Kitren 485 Sawah 81 Survey rumah tangga yang menanyakan langsung alasan petani dalam penanaman jati pada lahan milik mereka menyimpulkan dua alasan terbesar yang disampaikan responden petani, yaitu sebagai tabungan keluarga dan sumber uang tunai pada kondisi darurat 52; dan karena tanaman jati merupakan warisan orang tua dan sudah menjadi tradisiwarisan budaya 37, seperti terlihat pada Gambar 7. Alasan pertama apabila dirinci lebih jauh terdiri dari tujuan sebagai tabungan keluarga 40, yaitu untuk penyediaan biaya sekolah anak-anak mereka atau biaya untuk penyelenggaraan perhelatan keluarga seperti acara pernikahan anak; sedangkan untuk tujuan kondisi darurat 12, misalnya digunakan untuk membiayai anggota keluarga yang menderita sakit atau saat menghadapi masa paceklik karena gagal panen. Alasan tradisi terdiri dari kebiasaan menanam jati yang sudah menjadi tradisi keluarga 21 dan karena memperoleh warisan lahan dari orang tua yang sudah memiliki tanaman jati 16. Prosentase responden yang menyampaikan alasan karena pengaruh pasar seperti permintaan dan harga kayu yang tinggi ternyata hanya sekitar 5, sedangkan sisanya menanam kayu karena berbagai alasan lain 5 atau pengaruh lingkungan masyarakat di sekitarnya 2. Gambar 7 Alasan petani menanam jati berdasarkan hasil survey rumah tangga di Kabupaten Gunungkidul. Rumusan FGD yang telah dilakukan Lampiran 4 memperkuat hasil survey rumah tangga di atas. Alasan penanaman jati sebagai tabungan keluarga dan sumber uang tunai pada kondisi mendesak disampaikan oleh seluruh kelompok peserta diskusi. Alasan lainnya yang dikemukakan oleh peserta diskusi adalah karena tanaman jati baik untuk perbaikan lingkungan, seperti mencegah erosi, perbaikan iklim mikrotidak gersang, menggemburkan tanah, memperbaiki sumber air, disamping cocok untuk pemanfaatan lahan kosong yang kurang subur untuk komoditi pertanian. Para petani di Kabupaten Gunungkidul pada umumnya mengelola lahan usaha tani dengan luasan yang relatif sempit. Hasil survey rumah tangga menunjukkan bahwa kepemilikan lahan petani jati sebagian besar 62 berada di bawah luasan 1 ha per KK, bahkan sekitar 37 keluarga petani hanya memiliki lahan di bawah 0.5 ha Gambar 8. Luas kepemilikan lahan rata-rata dari seluruh responden adalah sebesar 1 ha per keluarga. 10 20

30 40

50 60 Tabungan keluarga dan sumber tunai pada kondisi darurat Tradisiwarisan budaya Pengaruh pasar Alasan lainnya Pengaruh lingkungan Gambar 8 Distribusi luas kepemilikan lahan petani jati rakyat di Kabupaten Gunungkidul. Produksi tanaman pangan merupakan prioritas pertama dalam sistem usaha tani petani. Para petani mengalokasikan rata-rata sebesar 66 dari lahan mereka untuk sistem tegalan yang memiliki tujuan utama untuk memproduksi tanaman pangan. Dengan kepemilikan lahan yang relatif rendah tersebut, para petani rata- rata masih mengalokasikan sekitar 9 lahan mereka untuk penanaman jati dalam bentuk kitren lihat Gambar 9. Fenomena tersebut juga mengindikasikan pentingnya tanaman jati di dalam sistem usaha tani masyarakat di Kabupaten Gunungkidul. Gambar 9 Alokasi penggunaan lahan petani jati rakyat di Kabupaten Gunungkidul. 37 25 16 10 6 1 5

0.5 ha .5 - 1.0 ha

1.0 - 1.5 ha 1.5 - 2.0 ha

2.0 - 2.5 ha 2.5 - 3.0 ha

3.0 ha

15 8 66 9 8 11 15 2 8 9 10 20

30 40

50 60 70 80 90 100

0.5 .5 - 1.0

1.0 - 1.5

1.5 - 2.0

2.0 - 2.5

2.5 - 3.0

3.0 Total Tanah kosong

Tanah hutan Kolam Kebun Kitren Tegalan Sawah Pekarangan Hasil survey rumah tangga menunjukkan bahwa total pendapatan keluarga petani dalam bentuk uang tunai sangat bervariasi dari keluarga yang nyaris tidak berpenghasilan sampai total pendapatan sekitar Rp 58 juta per tahun. Nilai rataan tingkat pendapatan keluarga petani adalah sekitar Rp 10 juta per tahun. Pendapatan rumah tangga tersebut berasal dari berbagai sumber seperti diperlihatkan pada Gambar 10. Pada gambar tersebut terlihat bahwa hasil pangan dan palawija memberikan kontribusi pendapatan terbesar, yaitu sekitar 26. Pendapatan dari non usaha tani seperti bekerja sebagai buruh, memberikan jasa, berdagang dan usaha rumah tangga lainnya bersama-sama memberikan kontribusi sekitar 59. Hasil penjualan kayu jati memberikan kontribusi sekitar 13 terhadap pendapatan keluarga, jauh di atas hasil penjualan ternak 2 yang diusahakan petani. Karakteristik budidaya tanaman jati rakyat bersifat tidak intensif. Data inventarisaisi lahan menunjukkan bahwa setengah dari tanaman jati rakyat berasal dari regenerasi alam khususnya pada areal kitren. Sebagian besar petani masih menggantungkan benih atau bibit jati dari anakan alam. Hanya sebagian kecil petani 12 yang telah menggunakan bibit jati unggul. Pada umumnya petani tidak menggunakan pupuk pada tanaman jati, terkecuali pada pohon-pohon jati yang ditanam pada areal tegalan di dalam sistem tumpangsari. Sebagian besar petani tidak menerapkan pola penjarangan dan pemangkasan cabang atas tegakan jati mereka untuk menghasilkan kualitas kayu yang baik. Penjarangan pada prakteknya dilakukan saat pemanenan kayu dengan pola tebang butuh. Pemangkasan cabang dilakukan terutama untuk memperoleh kayu bakar dan tidak untuk memperbaiki kualitas batang jati, sehingga sering dilakukan secara keliru dengan menyisakan sisa cabang yang akan menjadi cacat mata kayu Rohadi et al. 2011. Gambar 10 Struktur pendapatan petani jati rakyat di Kabupaten Gunungkidul. Analisa finansial dengan menghitung biaya input dan output dari usaha tanaman jati rakyat menunjukkan bahwa usaha tanaman kayu jati dalam bentuk kitren sebenarnya memberikan marjin keuntungan yang lebih besar dari usaha tanaman pangan dalam bentuk tegalan lihat Tabel 9. Dalam satuan hektar usaha tani kitren lebih menguntungkan karena input biaya yang jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan usaha tani tegalan. Marjin keuntungan usaha tani kitren jauh lebih menguntungkan daripada usaha tani tegalan apabila dihitung per satuan hektar. Namun demikian pada kondisi kepemilikan lahan petani yang relatif kecil, marjin keuntungan tersebut tidak berbeda secara nyata. Pada Tabel 10 terlihat bahwa komponen biaya input terbesar dari sistem usaha tani, baik kitren maupun tegalan adalah curahan tenaga kerja. Komponen curahan tenaga kerja pada usaha tani tegalan lebih besar dari usaha tani kitren. Hal ini berarti bahwa usaha tani tegalan lebih banyak memberikan peluang pekerjaan bagi petani di lahan milik mereka. Pola pemanenan jati rakyat di Kabupaten Gunungkidul dikenal dengan istilah “tebang butuh” slash for cash. Pola pemanenan tersebut berarti bahwa petani tidak menerapkan umur rotasi tebang tertentu untuk tanaman jati mereka. Pohon jati ditebang pada saat petani membutuhkan uang tunai. Dengan pola pemanenan seperti itu, para petani umumnya akan memelihara pohon jati mereka sampai mencapai umur maksimal apabila mereka tidak mempunyai kepentingan akan uang tunai, atau apabila petani masih mempunyai aset keluarga lainnya yang dapat diuangkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, seperti dari penjualan hasil palawija atau hewan ternak. Tabel 9 Analisa finansial usaha tani rakyat berbasis tanaman jati No Komponen biaya Tipe penggunaan lahan Jumlah responden Nilai rataan Galat contoh 1 Pendapatan Rp per KK Kitren 1 29 2,827,976 704,386 Tegalan 2 27 3,751,204 785,370 Taraf nyata 0.067 2 Biaya input Rp per KK Kitren 29 530,720 113,089 Tegalan 29 1,938,056 243,799 Taraf nyata 0.007 3 Margin Rp per KK Kitren 29 2,297,256 670,834 Tegalan 27 1,698,369 663,655 Taraf nyata 0.062 4 Pendapatan per ha Rp Kitren 29 19,516,099 12,119,384 Tegalan 27 13,542,895 2,681,746 Taraf nyata 0.007 5 Biaya input per ha Rp Kitren 29 1,859,916 354,710 Tegalan 29 10,015,327 2,054,893 Taraf nyata 0.001 6 Margin per ha Rp Kitren 29 17,656,184 11,935,474 Tegalan 27 3,639,578 2,415,694 Taraf nyata 0.007 Keterangan: 1 Analisa biaya kitren didasarkan atas nilai rataan usaha kitren tahun 2003 sd 2007 2 Analisa biaya tegalan didasarkan atas nilai rataan usaha tegalan tahun 2007 3 = berbeda sangat nyata berdasarkan uji statistik t-student Tabel 10 Komponen biaya input dan pendapatan usaha tani kitren dan tegalan Komponen biaya input Kitren Tegalan Komponen pendapatan Kitren Tegalan Curahan tenaga kerja 58.1 61.6 Kayu jati 30.7 3.1 Bahan 22.7 31.1 Tanaman hutan non jati 17.6 1.4 Peralatan 12.8 2.5 Kayu bakar 33.5 3.6 Lain-lain 6.4 4.8 Hijauan Makanan Ternak HMT 13.5 6.5 Tanaman pangan 4.7 85.4 Total 100 100 Total 100 100