87 diberikan untuk merubah sikap ibu terhadap penolong persalinan. Kemitraan
antara tenaga kesehatan dan penolong persalinan tradisional juga perlu ditingkatkan, mengingat masih tingginya ibu dengan paritas tinggi yang
menggunakan menggunakan bukan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinannya.
6.3.3 Status Perkawinan
Status perkawinan mempunyai pengaruh terhadap keputusan ibu untuk menggunakan penolong persalinan. Status perkawinan ibu menunjukkan
dukungan suami atau pasangan dalam memilih penolong persalinan. Berdasarkan data SDKI 2012 diketahui bahwa sebanyak 23,9 ayah di
Provinsi Papua turut berperan mendiskusikan penolong persalinan dalam persiapan kelahiran. Berdasarkan uji statistik didapat Pvalue sebesar 0,000
yang artinya terdapat hubungan antara status perkawinan dengan penggunaan penolong persalinan.
Hubungan status perkawinan merupakan sumber utama dukungan untuk para orang dewasa Gallo,dkk., 2003. Berdasarkan hasil penelitian diketahui
bahwa sebesar 45,9 ibu yang menikah menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinannya. Angka ini lebih tinggi dibandingkan ibu yang
memiliki status tidak menikah. Hal ini dapat disebabkan karena ibu yang menikah memiliki dukungan sosial dari suami dan keluarga lainnya.
Dukungan yang diberikan suami dalam penggunaan penolong persalinan dapat melalui pendampingan suami pada saat melakukan pemeriksaan
88 kehamilan, mendiskusikan kesehatan ibu dengan tenaga kesehatan, dan
mempersiapkan rencana kelahiran BPS, 2013. Selain ibu yang menikah, ibu yang hidup bersama dengan pasangan juga menggunakan tenaga kesehatan
sebagai penolong persalinan tinggi yaitu sebesar 43,3. Hal ini juga dapat disebabkan adanya dukungan dari pasangan ibu untuk menggunakan tenaga
kesehatan. Dukungan sosial yang positif terhadap pelayanan kesehatan, akan
mendukung keputusan yang positif dalam menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinannya. Akan tetapi, dalam penelitian ini diketahui
bahwa ibu dengan status menikah dan hidup bersama tinggi dalam penggunaan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan yaitu sebesar
52,4 dan 53,3. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa kelompok ibu menikah dan hidup bersama pasangan juga memiliki angka persalinan
tanpa penolong lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang tidak mempunyai status perkawinan. Hal ini dapat disebabkan kurangnya pengetahuan
suamipasangan dan keluarga ibu tentang persalinan yang aman oleh tenaga kesehatan. Pengetahuan
suamipasangan yang kurang tentang tenaga kesehatan akan berdampak pada dukungan suamipasangan dalam
menggunakan penolong persalinan. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa ibu yang bercerai atau berpisah
hidup menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinannya. Hal ini dapat disebabkan masih adanya dukungan dari suami meski sudah bercerai
atau berpisah dibandingkan dengan
ibu yang bercerai mati. Hasil
89 menunjukkan bahwa ibu yang bercerai mati menggunakan penolong
persalinan bukan tenaga kesehatan sebesar 71,4. Hal ini dapat disebabkan tidak adanya dukungan dari suami yang membantu ibu untuk menentukan
penggunaan penolong persalinan. Dukungan yang diberikan suami dapat bersifat emosional atau finansial.
Dukungan yang diberikan suami dapat berupa pendampingan suami saat ibu melakukan pemeriksaan kehamilan, mendiskusikan kesehatan ibu hamil
dengan tenaga kesehatan untuk membantu menjaga kesehatan ibu dan melakukan perencanaan persalinan yang termasuk didalamnya penentuan
penolong persalinan, transportasi, tempat persalinan, biaya persalinan dan lain-lain BPS, 2013. Ibu yang memiliki suamipasangan lebih mendapatkan
bantuan untuk mengakses tenaga kesehatan terutama dalam pengeluaran untuk biaya persalinan. Biaya persalinan yang tinggi akan berdampak negatif bagi
ibu untuk mengakses tenaga kesehatan terutama pada ibu yang miskin. Ketiadaan suami dapat menghambat ibu untuk mengkases pelayanan
kesehatan. Berdasarkan SDKI 2012 salah satu penghambat ibu untuk mengakses pelayanan kesehatan di Provinsi Papua adalah ibu tidak berani
untuk pergi sendiri kepelayanan kesehatan 26,8 BPS, 2013. Oleh karena itu, keberadaan suamipasangan dapat mendukung ibu untuk mengakses
pelayanan kesehatan. Suami atau pasangan mempunyai peran penting dalam pengambilan
keputusan, meski sebagian besar ibu yang memutuskan untuk memilih penolong persalinannya, namun masih banyak ibu yang patuh terhadap
90 keputusan suami hal ini berkaitan dengan kedudukan suami didalam keluarga.
Hal ini dikarenakan masyarakat Papua yang masih menganut budaya patriarki, yaitu laki-laki merupakan pemegang keputusan dalam rumah tangga atau
masyarakat. Selain itu, ada istilah yang mengatakan bahwa perempuan yang menikah merupakan milik bersama, artinya perempuan yang sudah menikah
tidak hanya milik suami melainkan milik seluruh kerabatnya Goo,2012. Hal ini juga dapat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan ibu untuk
menggunakan penolong persalinan yang juga akan dipengaruhi oleh keluarga suami salah satunya yaitu ibu mertua.
Kentalnya budaya yang melekat dalam kehidupan masyarakat Papua, maka besar kemungkinan bahwa terlihat perbedaan antara kedudukan suami
dan isteri dalam keluarga. Penelitian yang dilakukan Alwi 2001
menyebutkan bahwa masih terdapat ibu yang tidak akan melakukan persalinan ke pelayanan kesehatan sebelum mendapatkan ijin suami. Kepercayaan
terhadap adat setempat juga dapat memperngaruhi keputusan ibu untuk menggunkan tenaga penolong persalinan. Di Provinsi Papua masih banyak
terdapat masyarakat yang masih sangat patuh terhadap kepercayaan terhadap leluhur, sehingga apabila melanggar akan diberi hukuman. Hal ini dapat juga
mengakibatkan tingginya ibu melahirkan tanpa menggunakan penolong persalinan dan persalinan dengan bukan tenaga kesehatan.
91
6.3.4 Tingkat Pendidikan Ibu