Representasi Citra Perempuan Dalam Fotojurnalistik (Analisis Semiotika Foto Headline di Harian Tribun Medan)

(1)

Universitas Sumatera Utara

REPRESENTASI CITRA PEREMPUAN DALAM

FOTOJURNALISTIK

(ANALISIS SEMIOTIKA FOTO HEADLINE” DI HARIAN TRIBUN MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana program Strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

SURYADI (090904093)

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

Universitas Sumatera Utara

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh : Nama : Suryadi

NIM : 090904093

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul : REPRESENTASI CITRA PEREMPUAN DALAM

FOTOJURNALISTIK (Analisis Semiotika Foto Headline di Harian Tribun Medan)

Medan, Agustus 2013

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Drs. Nurbani, M,Si Dra. Fatmawardy Lubis, MA.

NIP. NIP.

Dekan

Prof.Dr. Badaruddin, MSi. NIP.


(3)

Universitas Sumatera Utara

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh ; Nama : Suryadi

NIM : 090904093

Departemen : Ilmu KOmunikasi

Judul Skripsi : REPRESENTASI CITRA PEREMPUAN DALAM FOTOJURNALISTIK (Analisis Semiotika Foto Headline di Harian Tribun Medan)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakulrtas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Ketua Penguji : ( ……… )

Penguji : ( ……… )

Penguji Utama : ( ……… )

Ditetapkan di :


(4)

Universitas Sumatera Utara

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah. Segala puji dan syukur penulis kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT yang senantiasa memberikan limpahan Rahmat-NYA, sehinga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Adapun judul skripsi ini adalah “Representasi Citra Perempuan dalam Fotojurnalistik (Analisis Semiotika Foto Headline di Harian Tribun Medan).

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orangtua penulis, Ayahanda Sarmin, ibunda Titir Panjaitan serta adik tersayang Puspawati dan (Almh) Sariyanti. Motivasi sekaligus motivator utama penulis dalam setiap proses hidup yang dijalani. Terimakasih untuk doa, setulusnya kasih sayang serta semua dukungan moral maupun materi.

Selain itu, penulis juga tak lupa mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof.Dr.Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, M.Si selaku ketua Departemen Ilmu Komunikasi.

3. Ibu Dr. Nurbani, M.Si selaku dosen pembimbing penulisan skripsi ini. Terimakasih atas arahan, motivasi serta kesabarannya selama bimbingan. 4. Bapak dan Ibu Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fisip USU. Terima

kasih atas semuanya, semoga bermanfaat. Kakanda Yovita Sitepu, terima kasih untuk diskusi dan koreksinya. Abangda Haris Wijaya, terima kasih untuk pinjaman bukunya.

5. Kak Maya, Kak Cut, Pak De dan seluruh staf pegawai FISIP USU.

6. Seluruh mas dan mbak di Keluarga Besar PPS MERPATI PUTIH USU, rumah kedua penulis. Hatur nuwun dan tetep semangat! untuk Shella, Nadrah, Aan, Ridho dkk.


(5)

Universitas Sumatera Utara

7. Para kru di Persma PIJAR dan P2KM. Kak Emil, Bang iqbal, Amir, Awi, Frydo, Putri dkk. Semoga senantiasa menjadi ‘Pelita’ yang ber’Pijar’ untuk almamater kita.

8. Sahabat-sahabat terbaik penulis, WinaSiWinwin, Kak SitiStronger, Dhana MenantuIdamanIbumu, SheilaPemadamGalau, DwiSimpleUwie, Tika AnggreniSortha, DedyInsanomnia, dan HandianSeinMaima. Semoga tercapai segala cita&cinta.

9. Para kru kos Cipta 15 dan Ganefo 32, Waldy, Alex, Angel, Rafyq, Samuel. Terimakasih untuk kebersamaannya. Hajar terus semua impian kita.

10.Seluruh kawan-kawan seperjuangan Ilmu Komunikasi stambuk 2009, serta adik-adik 2011 dan 2010.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis dengan senang hati atas kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak demi kebaikan di hari mendatang.

Medan, 1 Juli 2013


(6)

Universitas Sumatera Utara

PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip maupun rujukan telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika di kemudian

hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya bersedia diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.

Nama : Suryadi NIM : 090904093

Tanda Tangan : ……… Tanggal : ………..


(7)

Universitas Sumatera Utara

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Suryadi

NIM : 090904093

Departemen : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas : Universitas Sumatera Utara Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-Exclusive Royalty – Free Right) kepada Universitas Sumatera Utara atas karya ilmiah saya yang berjudul : REPRESENTASI CITRA PEREMPUAN DALAM FOTOJURNALISTIK (Analisis Semiotika Foto Headline di Harian Tribun Medan) beserta perangkat yang ada.

Dengan Hak Bebas Royalti Non Eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selam mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Medan, Agustus 2013


(8)

Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

Skripsi ini berisi penelitian mengenai representasi perempuan pada fotojurnalistik. Foto diambil dari foto headline di harian Tribun Medan. Penelitian ini memfokuskan pada penelitian kualitatif dengan analisis semiotika. Penelitian ini memakai paradigma konstruktivis sebagai pendekatan. Sedangkan pisau analisis atau instrumen analisa data, peneliti menggunakan semiotika Roland Barthes dan semiotika sosial MK.Halliday. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha meneliti apa makna gambar yang ditampilkan lewat foto berita, serta bagaimana praktik ideologi media tersebut. Peneliti meneliti 18 fotojurnalistik dari harian Tribun Medan edisi Desember 2012 sampai Februari 2013. Sesuai dengan perumusan masalah, yaitu “Apa makna dan bagaimanakah perempuan ditampilkan lewat fotojurnalistik pada foto Headline di Harian Tribun Medan“, peneliti mendapatkan hasil bahwa Tribun Medan mengkosntruksi perempuan sebagai sebuah kebutuhan media yang menginginkan konsep ringan dan enak dibaca. Perempuan digambarkan sebagai sosokyang menyukai kegiatan luar ruang dan memiliki kebebasan berekspresi. Sehingga pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa Tribun Medan melalui fotografernya menganut ideologi konsumerisme.

Kata kunci :


(9)

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……… .i

LEMBAR PERSETUJUAN ……….... ii

LEMBAR PENGESAHAN ………... iii

KATA PENGANTAR ……….…... iv

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ………..… vi

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ………...… vii

ABSTRAK ………... viii

DAFTAR ISI ………...…... ix

DAFTAR GAMBAR …..………... x

BAB I PENDAHULUAN ………. 1

I.1 Konteks Masalah ……….. .1

I.2 Fokus Masalah ……….. 4

I.3 Tujuan Penelitian ……….. 4

I.4 Manfaat Penelitian ……… 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA ………..…. 6

II.1 Paradigma dan Perspektif Penelitian ……….. 6

II.1.1 Paradigma Konstruksionis ……… 6

II.1.2 Konstruksi Realitas Sosial Media Massa ..………. . 8

II.2 Uraian Teoritis ………...… 12

II.2.1 Fotografi Jurnalistik ……… 12

II.2.1.1 Tinjauan Historis Fotojurnalistik ……….……… 13

II.2.1.2 Karakteristik Fotojurnalistik ……….…...…… 14


(10)

Universitas Sumatera Utara

II.2.1.4 Nilai Berita Fotojurnalistik ……….………… 16

II.2.2 Represetasi Citra Perempuan ……….…… 18

II.2.2.1 Representasi ……… 18

II.2.2.2 Citra Perempuan dalam Media ……… 19

II.2.2.3 Tinjauan Tentang Daya Tarik ……….………… 20

II.2.3 Semiotika ………....… 21

II.2.3.1 Semiologi Barthes ………...…… 24

II.2.3.2 Semiotika MK.Halliday ……….…. 26

II.2.3.3 Foto Berita Sebagia Perangkat Ideologis ……….... 28

II.3 Model Teoritik ………...…… 29

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……… 30

III.1 Metodologi Penelitian ………..… 31

III.2 Objek Penelitian ………... 31

III.3 Subjek Penelitian ……….. 35

III.4 Kerangka Analisis ……… ... 36

III.5 Teknik Pengumpulan Data ………... 37

III.6 Teknik Analisis Data ……… ... 37

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……….. 40

IV.1 Hasil ……….……….... 41

IV.1.1 Analisis Foto 1 ………..… 41

IV.1.2 Analisis Foto 2 ………..… 43

IV.1.3 Analisis Foto 3 ………..… 46

IV.1.4 Analisis Foto 4 ………. 49

IV.1.5 Analisis Foto 5 ……….… 51


(11)

Universitas Sumatera Utara

IV.1.7 Analisis Foto 7 ………. .. 57

IV.1.8 Analisis Foto 8 ……… 60

IV.1.9 Analisis Foto 9 ……… 63

IV.1.10 Analisis Foto 10 ……… 66

IV.1.11 Analisis Foto 11 ……… 69

IV.1.12 Analisis Foto 12 ……… 71

IV.1.13 Analisis Foto 13 ……… 74

IV.1.14 Analisis Foto 14 ……… 79

IV.1.15 Analisis Foto 15 ……… 80

IV.1.16 Analisis Foto 16 ……… 81

IV.1.17 Analisis Foto 17 ……… 84

IV.1.18 Analisis Foto 18 ……… 87

IV.2 Pembahasan ……….………... 90

BAB V PENUTUP ……… 92

V.1 Kesimpulan ……….. 92

V.2 Saran ……….... 94

DAFTAR REFERENSI LAMPIRAN


(12)

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR GAMBAR

1. Reference of Influence ………..………... 9

2. Unsur Makna Pierce ………...……….... 22

3. Unsur Makna Saussure ………...…………...… 23

4. Peta Tanda Roland Barthes ………...………. 25

5. Skema Analisis Semiotika Sosial Halliday ………...………. 27

6. Bagan Model Teoritik Penelitian Representasi Citra Perempuan dalam Fotojurnalistik di Harian Tribun Medan ……… 29

7. Tabel Subjek Penelitian Representasi Citra Perempuan dalam Fotojurnalistik di Harian Tribun Medan ………. 35

8. Foto Headline Tribun Medan edisi Senin, 03 Desember 2012 ……….. 41

9. Foto Headline Tribun Medan edisi Rabu, 05 Desember 2012 ……….…….. 43

10. Foto Headline Tribun Medan edisi Rabu, 12 Desember 2012 …….……... 46

11. Foto Headline Tribun Medan edisi Kamis, 13 Desember 2012 …...……… 49

12. Foto Headline Tribun Medan edisi Minggu, 16 Desember 2012 ….……… 51

13. Foto Headline Tribun Medan edisi Sabtu, 12 Januari 2013 …….………… 54

14. Foto Headline Tribun Medan edisi Senin, 14 Januari 2013 …….…….……57

15. Foto Headline Tribun Medan edisi Selasa, 15 Januari 2013 .………...…… 60

16. Foto Headline Tribun Medan edisi Minggu, 20 Januari 2013 ……….. 63

17. Foto Headline Tribun Medan edisi Sabtu, 26 Januari 2013 ………….….... 66

18. Foto Headline Tribun Medan edisi Seelasa, 29 Januari 2013 ……...….….. 69

19. Foto Headline Tribun Medan edisi Jumat, 01 Februari 2013 …….………. 71

20. Foto Headline Tribun Medan edisi Senin, 04 Februari 2013…………...… 74

21. Foto Headline Tribun Medan edisi Senin, 11 Februari 2013………... 77

22. Foto Headline Tribun Medan edisi Selasa, 12 Februari 2013……….. 80

23. Foto Headline Tribun Medan edisi Senin, 18 Februari 2013………... 83

24. Foto Headline Tribun Medan edisi Senin, 25 Februari 2013………... 86


(13)

Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

Skripsi ini berisi penelitian mengenai representasi perempuan pada fotojurnalistik. Foto diambil dari foto headline di harian Tribun Medan. Penelitian ini memfokuskan pada penelitian kualitatif dengan analisis semiotika. Penelitian ini memakai paradigma konstruktivis sebagai pendekatan. Sedangkan pisau analisis atau instrumen analisa data, peneliti menggunakan semiotika Roland Barthes dan semiotika sosial MK.Halliday. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha meneliti apa makna gambar yang ditampilkan lewat foto berita, serta bagaimana praktik ideologi media tersebut. Peneliti meneliti 18 fotojurnalistik dari harian Tribun Medan edisi Desember 2012 sampai Februari 2013. Sesuai dengan perumusan masalah, yaitu “Apa makna dan bagaimanakah perempuan ditampilkan lewat fotojurnalistik pada foto Headline di Harian Tribun Medan“, peneliti mendapatkan hasil bahwa Tribun Medan mengkosntruksi perempuan sebagai sebuah kebutuhan media yang menginginkan konsep ringan dan enak dibaca. Perempuan digambarkan sebagai sosokyang menyukai kegiatan luar ruang dan memiliki kebebasan berekspresi. Sehingga pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa Tribun Medan melalui fotografernya menganut ideologi konsumerisme.

Kata kunci :


(14)

Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Konteks Masalah

Pada dasarnya, hakekat dan tujuan fotografi adalah komunikasi. Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi antara fotografer dengan penikmatnya, dimana fotografer sebagai perekam peristiwa untuk disajikan ke hadapan khalayak ramai.

Sementara itu, jurnalistik adalah suatu kegiatan pengelolaan laporan harian yang menarik minat khalayak mulai dari peliputan sampai penyebarannya kepada masyarakat (Effendy, 2005: 151). Dan pada praktiknya, kegiatan jurnalistik ini sangat berkaitan erat dengan instrumen fotografi terutama di media cetak, dimana berita dapat disampaikan dengan sajian visual melalui media foto.

Media foto pertama kali ditemukan oleh Joseph Nicephore Niepce, seorang berkebangsaan Perancis pada 1826 yang mampu membuat foto dengan media perekam plat logam yang dilapisi petrolium. Penggunaan foto dalam dunia jurnalistik berawal dari pemakaian gambar hasil karya Josep yang berjudul “view

from the window at le gras”. Penggunaan fotojurnalistik dalam surat kabar sendiri

mulai berkembang pada tahun 1930-an. Perkembangannya sangat cepat sehingga teknologi fotografi dapat mendorong perkembangan dunia jurnalistik saat ini.

Fotojurnalistik kemudian tumbuh menjadi suatu konsep dalam sistem komunikasi yang disebut dengan komunikasi foto (photographic communication). Bahkan komunikasi foto kini telah menempati kunci model dalam proses komunikasi massa, yaitu sebagai suatu lambang yang berdimensi visual, foto dan gambar mendeskripsikan sesuatu pesan yang tidak secara eksplisit tertuang dalam komunikasi kata, baik lisan maupun tulisan (Muhtadi, 1999:101).

Fotojurnalistik yang terdapat dalam sebuah media sebenarnya bukan sekadar selingan penyegar mata, apalagi hanya untuk mengisi ruang kosong. Melainkan menunjang tulisan yang menjelaskan berita secara lebih efektif. Pada saat yang sama foto juga mesti memenuhi standar tertentu dari media cetak yang memuatnya. Yaitu memiliki nilai berita serta memancing rasa ingin tahu pembaca, hingga kemudian bisa tergolong dalam istilah, “teks berita yang terbit tanpa foto,


(15)

Universitas Sumatera Utara

akan berkurang nilainya”. Oleh karena itu, kehadiran fotojurnalistik pada media cetak dapat memiliki fungsi ganda, pertama sebagai ilustrasi pendukung berita dan yang kedua sebagai ‘berita’ itu sendiri (Soedjono, 2007: 133).

Dalam fotografi jurnalistik, penting untuk dipahami bahwa pengaruh foto sangat besar terhadap media. Monni S. Manangka, yang melakukan penelitian tentang sumber foto terhadap harian Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, dan Suara Karya, menyatakan bahwa penggunaan foto berita yang serasi dan selaras dengan kepentingan masyarakat akan mempengaruhi penni pers (budaya membeli dan membaca) surat kabar yang pada akhirnya mempengaruhi sirkulasi peredaran surat kabar.

Industri media massa pun menjadi ajang persaingan satu sama lain dalam merebut perhatian khalayak. Media cetak, termasuk surat kabar, tidak terlepas dari fenomena ini. Surat kabar saat ini dituntut memberikan lebih banyak hal daripada sekadar melaporkan berita, sehingga merebut perhatian khalayak melalui sajian menarik media cetak menjadi tugas besar dari para pekerja media tersebut.

Dalam hal pemanfaatan karya fotografi, media tertentu memanfaatkan karya fotografi sebagai unsur pelengkap atau elemen penghias yang bersifat ilustratif. Media cetak banyak memanfaatkan karya fotografi jenis ini dengan berbagai bentuk yang memiliki daya tarik tertentu atau sebagai point of interest nya adalah jelas untuk tujuan komersil (foto iklan). Akan tetapi, menggunakan foto sebagai unsur visual pelengkap berita yang disebarluaskan kepada khalayak juga kemudian menjadi suatu upaya lain untuk meningkatkan daya tarik pembaca pada media tersebut.

Sehubungan dengan hal tersebut, industri media melihat peluang yang besar dalam memberitakan atau menampilkan hal-hal berwujud indah sebagai objek dalam media. Hal-hal berwujud indah tersebut antara lain adalah kecantikan perempuan. Melihat perjalanan dan perkembangan media, baik itu media cetak atau elektronik, perempuan memang lebih banyak menjadi ‘bahan’ di media. Sejalan dengan ini, kemunculan perempuan sebagai objek dalam media cetak seperti menjadi sebuah hal yang lumrah dan gambar/ foto perempuan kerap dijadikan sebagai objek penarik perhatian pembaca.


(16)

Universitas Sumatera Utara

Sebagai media pendatang baru, Harian Tribun Medan mencoba tampil dengan gaya relatif baru dan menarik. Harian Tribun Medan merupakan koran lokal untuk wilayah Medan dan mencakup Sumatera Utara secara keseluruhan.

Dalam eksistensinya, Harian Tribun Medan terlihat tampil sangat menarik lewat gambar/ foto berita yang disajikan. Hingga tak mengherankan jika surat kabar yang baru berusia tiga tahun ini dapat meraih penghargaan Hattrick sebagai koran terbaik Se-Sumatera versi IPMA (Indonesian Print Media Award) tiga kali berturut-turut yaitu tahun 2011, 2012 dan 2013 serta beberapa penghargaan lainnya untuk kategori fotojurnalistiknya.

Lewat pengamatan peneliti, koran yang merupakan anak perusahaan dari Kompas Media Group ini memposisikan diri sebagai agen penjual dari gambar/ foto yang menarik. Ini terlihat dari Harian Tribun yang lebih mengedepankan unsur atau nilai berita foto yang berkaitan dengan perempuan. Dengan menyajikan keindahan foto perempuan yang mendapat porsi yang lebih besar, diasumsikan bahwa hal ini sebagai sumber daya tarik pembaca.

Harian Tribun Medan hadir dengan menyajikan berita mulai dari peristiwa daerah, nasional sampai mancanegara. Ada yang dihadirkan dengan pemberitaan lengkap dengan visual gambar/foto, ada juga yang hanya teks tanpa visual gambar/foto, dan ada juga berita yang disajikan sebagai foto berita (Foto dengan

caption singkat, tanpa teks berita).

Harian Tribun Medan sering menyajikan foto berita yang hadir eksklusif dengan peristiwa yang berbeda dengan teks-teks yang disajikan, sebab foto berita ini berdiri sendiri. Dan lebih menarik lagi jika diperhatikan dengan seksama dari setiap edisinya, foto berita yang disajikan ini adalah foto berita yang menarik dan didominasi oleh gambar-gambar perempuan. Sebagian besar foto – foto tersebut cenderung akan ada unsur perempuan dalam hampir semua konteks beritanya, baik politik, ekonomi, budaya, sosial apalagi hiburan, padahal harian ini bukanlah termasuk ‘koran kuning’. Peneliti melihat ada sebuah fenomena fotojurnalistik di Harian Tribun Medan dan menarik untuk dikaji secara ilmiah.

Akan tetapi pada penelitian ini, peneliti akan berfokus pada foto-foto headline yang dimuat pada halaman depan koran. Karena foto yang ada pada halaman


(17)

Universitas Sumatera Utara

tersebut sekaligus diharapkan menjadi suatu stopping point bagi pembacanya. Dapat dikatakan bahwa foto Headline (HL) adalah foto terbaik dari keseluruhan foto yang terdapat pada cetakan edisi itu. Seperti pada majalah, yang sama penting dengan foto sampul muka / kover (Wijaya, 2011).

Berdasarkan pemaparan diatas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui makna apa yang dihadirkan lewat sajian foto-fotojurnalistik di Harian Tribun Medan, serta bagaimana media tersebut menggambarkan sosok perempuan. Sehingga peneliti ingin mengeksplorasinya lewat sebuah skripsi dengan judul “Representasi Citra Perempuan dalam Fotojurnalistik, suatu Analisis Semiotika pada foto Headline di Harian Tribun Medan”.

I.2 Fokus Masalah

Berdasarkan uraian konteks masalah diatas, peneliti merumuskan bahwa fokus masalah yaang akan diteliti lebih lanjut adalah : “Apa makna dan bagaimanakah perempuan ditampilkan lewat fotojurnalistik pada foto Headline di Harian Tribun Medan.”

I.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui makna dalam fotojurnalistik dengan objek perempuan pada Headline di Harian Tribun Medan.

2. Untuk mengetahui praktik ideologi dalam menampilkan perempuan melalui produksi gambar/ foto berita di Harian Tribun Medan.


(18)

Universitas Sumatera Utara

I.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Secara akademis, penelitian diharapkan dapat memperluas atau menambah khasanah penelitian komunikasi serta dapat dijadikan sumber bacaan mahasiswa FISIP USU khususnya Departemen Ilmu Komunikasi.

2. Secara teoritis, penelitian ini dapat memberi kontribusi di bidang Ilmu Komunikasi yang berkaitan dengan komunikasi massa dan analisis semiotik. 3. Secara praktis, penelitian ini untuk menerapkan ilmu yang diterima peneliti selama menjadi mahasiswa ilmu komunikasi sekaligus memberikan masukan kepada siapa saja yang tertarik terhadap fotojurnalistik dan studi perempuan.


(19)

Universitas Sumatera Utara

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

II.1 Paradigma dan Perspektif Kajian II.1.1 Paradigma Konstruksionis

Konsep mengenai konstruksionisme diperkenalkan oleh sosiolog interpretatif, Peter L Berger bersama Thomas Luckman. Tesis utama darii Berger adalah manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus menerus. Masyarakat tidak lain adalah produk manusia, namun secara terus-menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilnya. Sebaliknya manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat. Seseorang baru menjadi seorang pribadi yang beridentitas sejauh ia tetap tinggal di dalam masyarakatnya (Eriyanto, 2004: 14).

Berger dan Luckman menyatakan terjadi dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Berger menyebut proses dialektis tersebut sebagai momen. Ada tiga tahap peristiwa dalam proses tersebut yaitu; Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat di mana ia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses inilah dihasilkan suatu dunia─dengan kata lain, manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia.

Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif, misalnya budaya materil manusia menciptakan alat demi kemudahan hidupnya. Atau kebudayaan non-materiil dalam bentuk bahasa. Baik alat tadi maupun bahasa adalah kegiatan eksternalisasi manusia ketika berhadapan dengan dunia, ia adalah hasil dari kegiatan manusia. Bahkan ia dapat menghadapi manusia sebagai penghasil dari produk kebudayaan.


(20)

Universitas Sumatera Utara

Kebudayaan yang telah berstatus sebagai realitas objektif, ada di luar kesadaran manusia, ada “di sana” bagi setiap orang. Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif perorangan. Ia menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap orang.

Ketiga, internalisasi. Proses internalisasi lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebaga igejala realitas di luar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat. Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman seperti ini, realitas berwajah ganda/ plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksi masing-masing. Selain plural, komstruksi sosial itu juga bersifat dinamis (Eriyanto, 2004: 15).

Paradigma konstruksionis memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi hasil dari konstruksi. Karenanya, konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Dalam studi komunikasi, paradigma konstruksionis ini seringkali disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna (Eriyanto, 2004: 37).

Kalau melihat komunikasi sebagai proses penyebaran (pengiriman dan penerimaan) pesan, maka paradigma konstruksionis melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Yang menjadi titik perhatian bukan bagaimana orang mengirimkan pesan, tetapi bagaimana masing-masing pihak dalam lalu-lintas komunikasi saling memproduksi dan mempertukarkan makna. Pesan itu sendiri dibentuk secara bersama-sama antara pengirim dan penerima atau pihak yang berkomunikasi dan dihubungkan dengan konteks sosial di mana mereka berada (Eriyanto, 2004: 40).


(21)

Universitas Sumatera Utara

Pendekatan konstruksionis ini memandang kegiatan komunikasi sebagai proses yang dinamis. Pendekatan konstruksionis memeriksa bagaimana pembentukan pesan dari sisi komunikator, dan dalam sisi penerima ia memeriksa bagaimana konstruksi makna individu ketika menerima pesan. Pesan dipandang bukan sebagai mirror of reality yang menampilkan fakta apa adanya. Dalam menyampaikan pesan, seseorang menyusun citra tertentu atau merangkai ucapan tertentu dalam memberikan gambaran tentang realitas. Seorang komunikator dengan realitas yang ada akan menampilkan fakta tertentu kepada komunikan, memberikan pemaknaan tersendiri terhadap suatu peristiwa dalam konteks pengalaman, pengetahuannya sendiri (Eriyanto, 2004:41).

II.1.2 Konstruksi Realitas Sosial Media Massa

Bagi kaum konstruktivisme, realitas atau berita (dalam hal ini termasuk juga foto) itu hadir dalam keadaan subjektif. Secara singkat, manusialah yang membentuk imaji dunia. Teks dalam sebuah berita tidak dapat disamakan sebagai cerminan dari realitas, tetapi ia harus dipandang sebagai konstruksi atas realitas.

Realitas yang terkonstruksi itu juga membentuk opini massa, karena khalayak pada dasarnya menerima sebuah bentuk realitas yang dikonstruksi oleh media. Menurut Gebner dan kawan-kawan, dunia simbol media membentuk konsepsi khalayak tentang dunia nyata atau dengan kata lain media merupakan konstruksi realitas (Wibowo, 2011: 125).

Menurut perspektif ini tahapan-tahapan dalam proses konstruksi sosial media massa itu terjadi melalui: tahap menyiapkan materi konstruksi; tahap sebaran kostruksi; tahap pembentukan konstruksi; tahap konfirmasi (Bungin, 2008: 188-189). Penjelasannya adalah sebagai berikut:

1) Tahap menyiapkan materi konstruksi: Ada tiga hal penting dalam tahapan ini yakni: keberpihakan media massa kepada kapitalisme, keberpihakan semu kepada masyarakat, keberpihakan kepada kepentingan umum.


(22)

Universitas Sumatera Utara

2) Tahap sebaran konstruksi: prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada khalayak secara tepat berdasarkan agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media, menjadi penting pula bagi pemirsa atau pembaca.

3) Tahap pembentukan konstruksi realitas. Pembentukan konstruksi berlangsung melalui: konstruksi realitas pembenaran; kesediaan dikonstruksi oleh media massa; sebagai pilihan yang konsumtif.

4) Tahap konfirmasi. Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun penonton memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam pembentukan konstruksi.

Pada kenyataanya, realitas sosial itu berdiri sendiri tanpa kehadiran individu baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknai secara subjektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara objjektif. Individu mengkonstruksi realitas sosial dan merekonstruksinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosialnya.

Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese, meringkas berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan (Sudibyo,2001). Ada lima faktor yang mempengaruhi kebijakan redaksi, yaitu:

Gambar 1

Reference Of Influence


(23)

Universitas Sumatera Utara

1. Faktor Individual

Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Level ini melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Latar belakang individu seperti jenis kelamin, umur, atau agama, sedikit banyak mempengaruhi apa yang ditampilkan media. Aspek persona tersebut secara hipotetik mempengaruhi skema pemahaman pengelola media.

2. Level Rutinitas Media

Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung tiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk. Ketika ada sebuah peristiwa penting yang harus diliput, bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan siapa saja sebuah tulisan sebelum sampai ke proses cetak, siapa penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya. Sebagai mekanisme yang menjelaskan bagaimana berita diproduksi, rutinitas media karenanya mempengaruhi bagaimana wujud akhir sebuah berita.

3. Level Organisasi

Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Masing-masing komponen dalam organisasi media bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Setiap organisasi berita, selain mempunyai banyak elemen juga mempunyai tujuan dan filosofi organisasi sendiri. Berbagai elemen tersebut mempengaruhi bagaimana seharusnya wartawan bersikap, dan bagaimana juga seharusnya peristiwa disajikan dalam berita.


(24)

Universitas Sumatera Utara

4. Level Ekstramedia

Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Meskipun berada di luar organisasi media, hal-hal di luar organisasi media ini sedikit banyak dalam banyak kasus mempengaruhi pemberitaan media. Beberapa faktor yang termasuk dalam lingkungan di luar media yaitu sumber berita, sumber penghasil media, dan pihak eksternal seperti pemerintah dan lingkungan bisnis. Sumber berita disini dipandang bukanlah sebagai pihak yang netral yang memberikan informasi apa adanya. Ia juga mempunyai kepentingan untuk mempengaruhi media dengan berbagai alasan. Sumber penghasil media ini bisa berupa iklan, bisa juga berupa pelanggan/ pembeli media. Media harus survive, dan untuk bertahan hidup kadangkala media harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi mereka. Sementara, pengaruh pihak eksternal seperti pemerintah dan lingkungan bisnis sangat ditentukan oleh corak dari masing-masing lingkungan eksternal media.

5. Level Ideologi

Ideologi di sini diartikan sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Ideologi berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan berita. Pada level ini akan terlihat siapa yang berkuasa di masyarakat dan bagaimana media menentukan.

Melalui paradigma konstruksionis dan perspektifnya dalam media massa ini, dapat dijelaskan bagaimana media massa membuat gambaran tentang realitas sosial. Untuk itu, peneliti menggunakan paradigma dan perspektif iini sebagai dasar untuk melihat bagaimana Harian Tribun Medan memaknai dan kemudian merepresentasikan sosok perempuan melalui foto-fotojurnalistiknya.


(25)

Universitas Sumatera Utara

II.2 Uraian Teoritis

II.2.1 Fotografi Jurnalistik

Fotojurnalistik merupakan produk dari jurnalistik foto. Sementara itu, jurnalistik foto adalah cabang ilmu dari jurnalistik (komunikasi/ publisistik), sedangkan fotografi jurnalistik adalah keilmuan dari fotojurnalistik itu sendiri.

Secara sederhana fotojurnalsitik adalah foto yang bernilai berita atau foto yang menarik bagi pembaca, dan informasi tersebut disampaikan kepada masyarakat sesingkat mungkin (Wijaya, 2011).

Sementara itu, Yuyung abdi menyatakan bahwa fotojurnalistik adalah foto yang bersifat faktual dari suatu peristiwa atau kejadian. Faktual intinya sesuatu yang didasarkan fakta. Dalam sebuah fotojurnalistik ada suatu interaksi antara subjek dengan subjek, subjek dengan objek dan subjek dengan lingkungan. Interaksi ini dikemas dalam suatu frame. Sedangkan menurut Banning (2007), fotojurnalistik tidak harus identik dengan berita, tetapi harus ada aspek penting di dalamnya, yang mengandung unsur informatif dan mampu bercerita banyak. Banning juga menyatakan bahwa foto harusnya lebih berbicara. Daripada yang seolah sudah mengandung jawaban, seharusnya foto malah balik bertanya kepada masyarakat. Sehingga masyarakat berpikir, lebih kritis dan lebih cerdas.

Dari beberapa pengertian di atas, maka fotojurnalistik dapat diartikan sebagai suatu laporan peristiwa yang tersaji dalam bentuk foto, yang mengandung unsur informatif, faktual dan penting yang disampaikan dengan cepat serta dapat membuat masyarakat lebih cerdas.

James Nachtwey dalam buku fotografinya berjudul Inferno, menuliskan “sebuah foto dapat memasuki pikiran dan menjangkau hati dengan kekuatan kesegaran. Hal ini mempengaruhi bagian jiwa dimana makna hanya sedikit bergantung pada kata-kata dan membuat satu dampak mendalam, lebih mendasar dan lebih dekat”.


(26)

Universitas Sumatera Utara

II.2.1.1 Tinjauan Historis Fotojurnalistik

Media foto pertama kali ditemukan oleh Joseph Nicephore Niepce, seorang berkebangsaan Perancis, pada 1826 yang mampu membuat foto dengan media perekam plat logam yang dilapisi petrolium. Penggunaan foto dalam dunia jurnalistik berawal dari gambar hasil karya Josep yang berjudul “view from the

window at le gras”.

Embrio fotojurnalistik di media massa hadir pertama kali pada hari Senin, 16 April 1877, saat surat kabar harian The Daily Graphic di Newyork memuat gambar yang berisi berita kebakaran hotel dan salon pada halaman satu. Terbitan ini menjadi tonggak awal adanya fotojurnalistik pada media cetak yang saat itu masih hanya berupa sketsa.

Tahun 1891 surat kabar harian NewYork Morning Journal memelopori terbitan surat kabar dengan foto yang dicetak menggunakan halftone screen, perangkat yang mampu memindai titik-titik gambar ke dalam plat cetakan hingga mampu dicetak dengan cepat secara massal. Perkembangan fotojurnalistik pun sampai pada era fotojurnalistik modern yang dikenal dengan “golden age” pada tahun 1930-1950. Saat itu terbitan seperti Sports Illustrated, The Daily Mirror,

The New York Daily News, dan LIFE menunjukkan eksistensinya dengan tampilan

foto-foto yang menawan. Istilah fotojurnalistik sendiri dipopulerkan oleh Prof.Clifton Edom di AS tahun 1976 dengan bukunya “Photojournalism,

Principles and Practises” dan lewat mata kuliah yang diampunya di Universitas

Missouri.

Sejarah fotojurnalistik di Indonesia diwakili oleh agensi foto Indonesia

Press Photo Service (IPPHOS). Saat kedatangan Jepang pada 1942 dalam misi

penjajahan, muncul kantor berita Domei sebagai alat propaganda. Mendur dan Umbas bersaudara adalah fotografer yang merekam berbagai imaji pergerakan masyarakat pribumi dan situasi politiik saat itu untuk kantor berita milik Jepang tersebut. Itulah mengapa foto-foto IPHHOS banyak digunakan sebagai arsip yang menandai momen bersejarah Indonesia seperti Prokalamasi pada 17 Agustus 1945.


(27)

Universitas Sumatera Utara

Perkembangan fotojurnalistik di tanah air semakin konsisten dan berkelanjutan setelah kantor berita ANTARA mendirikan Galeri Foto Jurnalsitik Antara (GFJA) tahun 1992), sebuah galeri pertama yang berfokus pada fotojurnalistik. Spesialisasinya menjadi katalis lahirnya jurnalis-jurnalis foto muda yang memiliki minat dan wawasan jurnalsitik, bahkan menjadi pionir di Asia Tenggara. (Wijaya, 2011).

II.2.1.2 Karakteristik Fotojurnalistik

Wilson Hicks (editor foto majalah Life 1937-1950) dalam bukunya

Words and Pictures (Literature of Photography)”, menjabarkan tujuh

karateristik fotojurnalistik sebagai berikut :

1) Dasar fotojurnalistik adalah gabungan antara gambar dan kata. Keseimbangan data tertulis pada teks dan gambar adalah mutlak. Foto berita dapat mengungkapan cara pandang terhadap subjeknya, pesan yang disampaikan lebih penting dari pada sekedar ungkapan pribadi. Caption sangat membantu suatu gambaran bagi masyarakat. Bahkan foto esai pun memerlukan caption. Menurut Hicks, caption foto adalah unit atau bagian dasar dari fotojurnalisti yang pada bagian tersebut dapat dibentuk pendekatan.

2) Medium fotojurnalistik biasanya di media cetak, kantor berita, koran atau majalah, tanpa memperhatikan tirasnya. Berbeda sekali dengan keberadaan foto penerangan (public relation) yang muatanya adalah kisah sukses dan positif, maka informasi yang disebar dalam fotojurnalistik adalah sebagaimana adanya, disajikan sejujur-jujurnya. 3) Lingkup fotojunalistik adalah manusia. Itu sebabnya fotojurnalis harus

mempunyai kepentingan mutlak pada manusia. Posisinya berada puncak piramida sajian dan pesan visual. Merangkul manusia adalah pendekatan prioritas bagi fotojurnalis, karena kerja dengan subjek yang bernama manusia adalah segala-galanya dalam profesi tersebut.

4) Bentuk liputan fotojurnalistik adalah suatu upaya yang muncul dari kemampuan seseorang fotojurnalis yang bertujuan melaporkan beberapa aspek dari berita itu sendiri. Menurut Chick Harrity yang cukup lama bergabung dengan AP (Associated Press) dan “US News & Report”, Tugas fotojurnalis adalah melaporkan berita sehingga memberi kesan pada pembaca seolah-olah mereka hadir dalam peristiwa tersebut.”


(28)

Universitas Sumatera Utara

5) Fotojurnalistik adalah fotografi komunikasi, dimana komunikasi bisa diekspresikan seorang fotojurnalis melalui subjeknya. Objek pemotretan hendaknya mampu dibuat berperan aktif dalam gambar yang dihasilkannya sehingga lebih pantas menjadi subjek aktif.

6) Pesan yang disampaikan dari suatu hasil visual fotojurnalistik harus jelas dan segera dipahami seluruh lapisan masyarakat. Pendapat pribadi atau pengertian sendiri tidak dianjurkan dalam fotojurnalistik. Gaya pemotretan yang khas, Bahkan dengan polesan seni tidak menjadi batasan dalam berkarya. Yang penting pesan harus komunikatif bagi semua lapisan masyarakat.

7) Fotojurnalistik membutuhkan tenaga penyunting yang handal, berwawasan visual luas, populis, arif, jeli dalam menilai karya foto yang dihasilkan, serta mampu membina dan membantu mematangkan ide atau konsep sebelum memberi penugasan. Penyuntingan meliputi pemilihan gambar, saran-saran hingga meminta dilakukan suatu pengambilan gambar ulang jika kurang layak siar.

II.2.1.3 Kategori Fotojurnalistik

Kategori yang pernah dibuat tahun 2007 oleh Badan Fotojurnalistik Dunia

(World Press Photo Foundation) memberikan beberapa kategori fotojurnalsitik

yaitu:

a) Spot Photo

Adalah foto yang dibuat dari peristiwa yang tidak terjadwal atau tidak terduga yang diambil oleh si fotografer langsung di lokasi kejadian.

b) General News Photo

Adalah foto-foto yang diabadikan dari peristiwa yang terjadwal, rutin dan biasa. Temanya dapat dari peristiwa politik maupun ekonomi.

c) People in the News Photo

Adalah foto tentang orang atau masyarakat dalam suatu berita. Yang ditampilkan adalah pribadi atau sosok orang yang menjadi berita itu. Tokoh-tokoh pada foto people in the news bisa tokoh populer atau bisa tidak, tetapi kemudian menjadi populer setelah foto itu dpublikasikan.

d) Daily Life Photo

Adalah foto tentang kehidupan sehari-hari manusia dipandang dari segi kemanusiawiannya (human interest).


(29)

Universitas Sumatera Utara

e) Portrait

Adalah foto yang menampilkan wajah seseorang secara close up dan “mejeng”. Ditampilkan karena adanya kekhasan pada wajah yang dimiliki atau kekhasan lainnya.

f) Sport Photo

Adalah foto yang dibuat dari peristiwa olahraga. Karena olahraga berlangsung pada jarak tertentu antara atlet dengan penonton dan fotografer, dalam pembuatan foto olahraga dibutuhkan perlengkapan yang memadai.

g) Science and Technology Photo

Adalah foto yang diambil dari peristiwa-peristiwa yang ada kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

h) Art and Culture Photo

Adalah foto yang dibuat dari peristiwa seni dan budaya.

i) Social and Environment

Adalah foto-foto tentang kehidupan sosial masyarakat serta lingkungan hidupnya.

II.2.1.4 Nilai Berita Fotojurnalistik

Fotojurnalistik merupakan bagian dari karya jurnalistik, sehingga berita maupun fotojurnalistik (foto berita) tentunya mempunyai nilai-nilai tertentu agar layak dikatakan berita dan dapat disiarkan. Nilai-nilai berita tersebut terdiri atas :

Magnitude. Nilai ini menunjukkan besaran atau bobot dari sebuah peristiwa. Kejadian yang mengandung nilai magnitude layak untuk dijadikan berita. Misalnya, kapal laut tenggelam, pesawat terbang jatuh, tabrakan kereta api.

Timeliness. Nilai kesegaran atau kebaruan sangat penting. Hal yang baru, yang belum diketahui orang lain, yang belum dipublikasikan akan menarik banyak orang. Misalnya pengumuman Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 mendatang.

Proximity. Dekatnya kejadian dengan khalayak juga merupakan nilai yang penting (geografis dan psiko-grafis). Jarak geografis dapat diukur dengan kilometer atau mil. Psiko-grafis berhubungan dengan kejiwaan, psikologis,


(30)

Universitas Sumatera Utara

politik, kebudayaan, dan lain-lain. Peristiwa tenggelamnya kapal Costa Concordia dimana 170 orang WNI menjadi awak kapalnya. Peristiwa ini menjadi lebih dekat dengan warga Indonesia, meskipun secara geografis letak Pulau Isola del Giglio cukup jauh dari negeri kita, namun secara psikologis mereka tetap dekat dengan bangsa Indonesia.

Prominence. Sesuatu yang menonjol, atau bisa dikatakan aspek ketokohan. Misalnya, melekat pada seorang tokoh, menyangkut prestasinya, kecelakaannya, gaya hidupnya dan lain-lain.

Importance. Sesuatu apakah mempunyai arti penting ataukah tidak. Bila memang penting maka hal tersebut layak untuk diberitakan. Kenaikan SPP tentu menjadi hal yang penting bagi mahasiswa.

Impact atau Consequence. Akibat atau konsekuensi yang sangat luas dirasakan masyarakat tentulah merupakan nilai yang tinggi. Kenaikan BBM misalnya, menjadi isu yang sangat penting.

Conflict atau Controversy. Informasi yang mengandung konflik dan kontroversi jelas mempunyai nilai cukup tinggi. Konflik sosial di Papua dan Makassar sendiri selalu diberitakan media massa. Kontroversi fakta di lapangan menjadi perhatian banyak pihak.

Sensation. Peristiwa yang besar disebut sensasi atau menggemparkan tapi peristiwa kecil yang dibesar-besarkan dinamakan sensasional. Sensasional tidak dibenarkan karena bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya (tidak faktual). Peristiwa yang besar (mengandung juga nilai magnitude) biasa disebut

scoope.

Novelty, oddity, or the unusual. Ini adalah nilai yang menyangkut hal-hal baru, aneh, atau yang tidak lazim. Misalkan seekor sapi berkepala tiga, pohon pisang berbuah nenas.

Human Interest. Yaitu lebih pada kepentingan manusiawi, biasanya berukuran menarik untuk semua orang. Misalnya seoarang nenek yang membiayai kuliah cucunya dari pekerjaan sebagai buruh cuci.


(31)

Universitas Sumatera Utara Sex. Orang akan tertarik hal-hal yang berbau seks pada lawan jenisnya. Foto gadis seksi atau peristiwa perselingkuhan Bill Clinton dengan Monica Lewinsky juga menarik untuk diberitakan disamping faktor ketokohan Bill Clinton.

Crime. Peristiwa yang berbau kriminal memiliki magnet yang cukup besar bagi masyarakat. Seorang perempuan diperkosa di angkot oleh tujuh pemuda tentunya termasuk berita kriminal.

II.2.2 Represetasi Citra Perempuan II.2.2.1 Representasi

Ada beberapa definisi representasi menurut para ahli, antara lain ; 1) Menurut Nuraini Juliastuti (2002).

Representasi adalah konsep yang menunjuk baik pada proses maupun produk dari pemaknaan suatu tanda. Representasi juga bisa berarti proses perubahan konsep-konsep ideologi yang abstrak dalam bentuk-bentuk yang kongkret.

2) Menurut John Fiske (2004)

Representasi adalah sesuatu yang merujuk pada proses yang dengannya realitas disampaikan dalam komunikasi, via kata-kata, bunyi, citra, atau kombinasinya. 3) Menurut Stuart Hall

Menurut Stuart Hall (1997), representasi mempunyai dua pengertian, yaitu:

a. Representasi mental yaitu konsep tentang ‘sesuatu’ yang ada di kepala kita masing-masing (peta konseptual). Representasi mental ini berbentuk sesuatu yang abstrak.

b. Representasi bahasa. Representasi bahasa ini yang berperan penting dalam konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam bahasa yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu.


(32)

Universitas Sumatera Utara

Relasi antara ‘sesuatu’, ‘peta konseptual’ dan ‘bahasa atau simbol’ tersebut merupakan jantung dari produksi makna. Proses ini terjadi secara bersamaan dan inilah yang kita sebut dengan representasi.

John Fiske menjelaskan bahwa untuk menampilkan representasi tersebut paling tidak ada tiga proses yang meliputinya. Level pertama, peristiwa yang ditandakan yaitu saat kita menganggap dan mengkonstruksi peristiwa tersebut sebagai sebuah realitas. Level kedua, saat kita memandang sesuatu sebagai realitas, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana realitas itu digambarkan. Dalam level ini digunakanlah alat berupa kata, kalimat, grafik dan sebagainya. Pemakaian kata, kalimat, atau grafik tertentu akan membawa makna tertentu pula ketika diterima khalayak. Level ketiga, bagaimana kode-kode representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koherensi sosial seperti kelas social, kepercayaan dominan dan sebagainya yang ada dalam masyarakat (Eriyanto, 2001:14).

II.2.2.2 Citra Perempuan dalam Media

Altenbernd mengatakan mengenai citraan yaitu gambar-gambar angan atau pilkiran, sedangkan setiap gambar pikiran disebut citra atau imaji. Sementara citra perempuan adalah gambaran yang dimiliki setiap individu mengenai pribadi perempuan. Yaitu berupa semua wujud gambaran mental dan tingkah laku yang diekspresikan oleh tokoh perempuan. Wujud citra perempuan ini dapat digabungkan dengan aspek fisis, psikis, dan sosial budaya dalam kehidupan perempuan yang melatarbelakangi terbentuknya wujud citra perempuan (Sugihastuti 2000:43).

Kebebasan dalam mengaktualisasikan diri memang merupakan hak semua orang, sudah menjadi naluri yang alamiah jika manusia merupakan makhluk yang ingin diakui keberadaannya dan tidak ada strata baik gender ataupun status sosial dalam hal ini. Akan tetapi keindahan sosok perempuan sering kali dijadikan objek yang sangat menguntungkan bagi pelaku media. Sehingga posisi perempuan sangat potensial untuk dieksploitasi menjadi konsumsi masyarakat dalam media masa.


(33)

Universitas Sumatera Utara

Dalam Tomogola (1998), citra perempuan yang berhasil dibentuk dalam media massa tersebut antara lain yaitu:

 Citra Pigura : Perempuan sebagai sosok sempurna dengan bentuk tubuh ideal.

 Citra Pilar : Perempuan sebagai penyangga keutuhan dan penata rumah tangga.

 Citra Peraduan : Perempuan sebagai objek seksual

 Citra Pinggan : Perempuan sebagai sosok yang identik dengan dunia dapur.

 Citra Pergaulan : Perempuan sebagai sosok yang kurang aktif dalam bergaul.

II.2.2.3 Tinjauan tentang daya tarik

Daya tarik menurut Onong Uchjana Effendy adalah kekuatan atau penampilan komunikator yang dapat memikat perhatian komunikan (Onong, 1989: 33). Sedangkan menurut Kotler dalam Sindoro (1996) adalah: Daya tarik isi pesan sebuah tayangan meliputi daya tarik rasional, emosional dan moral. Daya tarik rasional menunjukan bahwa kegiatan tersebut menghasilkan manfaat, sedangkan daya tarik emosional mencoba membangkitkan motivasi terhadap suatu kegiatan atau produk, dan daya tarik moral diarahkan pada perasaan seseorang sehingga sering digunakan untuk mendorong orang mendukung masalah-masalah sosial.

Berdasarkan dari dua definisi mengenai daya tarik diatas, maka peneliti mengambil kesimpulan bahwa daya tarik merupakan kekuatan yang dapat memikat perhatian, sehingga seseorang mampu mengungkapkan kembali pesan yang ia peroleh dari media komunikasi. Selain itu, daya tarik merupakan kekuatan mutlak yang harus diperhatikan, karena berhubungan dengan kemampuan komunikator dalam hal menyita perhatian komunikan sebagai langkah awal dalam menyampaikan pesan.

Daya tarik dapat menjadi suatu proses psikologis yang dapat berkembang menjadi pemberian respon positif maupun respon negatif terhadap pesan komunikasi yang diberikan.


(34)

Universitas Sumatera Utara

Daya tarik adalah proses awal terhadap kesan dari suatu bentuk komunikasi dan sangat berperan dalam membentuk animo komunikan (Buchori, 1988: 135).

Oscar Matuloh, salah seorang ikon fotografi jurnalistik Indonesia dalam sebuah wawancara dengan majalah fotografi The Light Magazine mengatakan, “Ketika seseorang membaca koran, yang membuat berita jadi menarik dibaca selain tulisannya adalah fotonya. Dan memang itu tugas fotografer jurnalis, yaitu menarik perhatian pembaca untuk membaca lebih jauh lagi. Untuk itu hal paling penting dalam fotojurnalistik adalah eye catching. Semakin foto tersebut eye

catching semakin ia berhasil menjalankan tugasnya”.

II.2.3 Semiotika

Secara etimologis, semiotika berasal dari kata yunani, “semeion” yang berarti tanda dan secara terminologis, semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan seggala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda (Sobur, 2004:15).

Alex Sobur mengemukakan pendapatnya mengenai semiotika yang dalam pandangannya adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Dengan ungkapan lain, semiotika berperan untuk melakukan interogasi terhadap kode-kode yang ada agar pembaca bisa memasuki bilik-bilik makna yang tersimpan.

Dalam semiotika, pesan merupakan suatu konstruksi tanda yang melalui interaksinya dengan penerima, menghasilkan makna. Dan membaca adalah proses menemukan makna yang terjadi ketika pembaca berinteraksi atau bernegosiasi dengan teks. Negosiassi terjadi karena pembaca membawa aspek-aspek pengalaman budayanya untuk berhubungan dengan tanda yang menyusun teks (Fiske, 2007).

Fisske (dalam Bungin, 2007:167) membagi tiga bidang utama dari semiotika yaitu ;

1) Tanda itu sendiri. Yaitu studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda yang berbeda dalam menyampaikan makna, dan cara tanda terkait dengan manusia yang menggunakannya.


(35)

Universitas Sumatera Utara

Tand a merupakan konstruksi manusia, makanya bias dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.

2) Kode atau Sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini meliputi bagaimana berbagai kode dikembangkan dalam memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya untuk mengekpolitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mengirimkannya.

3) Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Bergantung bagaimana kode-kode dan tanda-tanda itu digunakan untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.

Ada dua pendekatan penting terhadap tanda-tanda yang biasanya dijadikan rujukan para ahli. Yang pertama adalah pendekatan tanda yang didasarkan pada pandangan Charles Sanders Pierce. Pierce menandaskan bahwa tanda berkaitan dengan obyek yang menyerupainya, keberadaanya memilki hubungan sebab akibat dengan tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda Pierce melihat tanda, acuannya dan penggunanya sebagai tiga titik dalam segitiga.

Gambar 2 Unsur Makna Pierce

Ikon

Indeks Objek

Sumber : Bungin, 2007:168

Berdasarkan objeknya, Pierce membagi tanda menjadi tiga, yaitu tanda/ikon, indeks, dan objek/simbol. Ikon adalah sesuatu yang berfungsi sebagai penanda yang mengisyaratkan petandanya. Sedangkan simbol adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebgai penanda oleh kaidah secara konvensi telah lumrah digunakan dalam masyarakat (Bungin, 2007:166).


(36)

Universitas Sumatera Utara

Panah dua arah menekankan bahwa masing-masing istilah dapat dipahami hanya dalam relasinya dengan yang lain. Tanda adalah sesuatu yang dikaitkan pada seseorang untuk sesuatu dalam beberapa hal. Tanda menunjuk pada seseorang yakni menciptakan di benak orang tersebut suatu tanda yang setara atau tanda yang lebih berkembang. Tanda yang diciptakan tersebut merupakan interpretasi dari tanda pertama. Tanda itu menunjukkan sesuatu, yaitu objeknya.

Yang kedua adalah pendekatan yang didasarkan pada pandangan Ferdinan de Saussure yang mengatakan bahwa tanda disusun dari dua elemen yaitu aspek citra tentang bunyi dan sebuah konsep dimana bunyi disandarkan. Menurut Saussure, tanda merupakan objek fisik dengan sebuah makna. Sebuah tanda terdiri atas penanda (Signifier) dan petanda (signified) (Fiske, 2007).

Signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan bermakna yang meliputi aspek material . Signified adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental dari bahasa. Bila dianalogikan keduanya merupakan dua sisi dari sekeping mata uang (Sobur, 20004:125). Penanda mewakili bentuk isi, sedangkan petanda mewakili bentuk konsep atau makna. Berikut gambar elemen-elemen makana Saussure:

Gambar 3

Unsur Makna Saussure Sign

Composed of

Signification

Signifier Signified External Reality of

Meaning

(Phsycal Existence) (Mental Concept)

Sumber : John Fiske, Introduction to Communication Studies (dalam Sobur, 2004:125)


(37)

Universitas Sumatera Utara

Pada dasarnya, apa yang disebut sebagai signifier dan signified merupakan produk kultural yang mana hubungan diantara keduanya bersifat arbitrer atau berada dalam dua hal yang sama dan hanya berdasarkan pada konvensi, kesepakatan atau peraturan dari kultur pemakai bahasa tersebut. Signifikasi merupakan hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental. Dapat dikatakan signifikasi adalah upaya untuk memberikan makna terhadap dunia (Sobur, 2004:125).

II.2.3.1 Semiologi Barthes

Saussure tidak begitu memperhitungkan makna sebagai proses negosiasi antara pembaca/penulis dengan teks. Ia tidak menekankan cara tanda-tanda di dalam teks berinteraksi dengan penagalaman kultural penggunanya. Maka dari itu Roland Barthes, pengikut Saussure mengembangkan terori makna milik Saussure lewat gagasan tentan dua tatanan pertandaan (order of signification) (Fiske, 2007).

Menurut Barthes, semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to

communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa

informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Sobur, 2006).

Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (The Reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran kedua,yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama.

Untuk memperjelas signifikasi dua tahap, Barthes menciptakan peta bagaimana tanda bekerja sebagai berikut :


(38)

Universitas Sumatera Utara

Gambar 4

Peta Tanda Roland Barthes

1. Signifier 2. Signified (Penanda) (Petanda)

3. Denotatie Sign (Tanda Denotatif)

4. Connotative Signifier 5. Connotative Signified (Penanda Konotatif) (Petanda Konotatif) 6. Connotative Sign (Tanda Konotatif)

Sumber : Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, 2006:69

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dipahami oleh Barthes, yaitu (Sobur, 2006) ;

Denotasi

Tatanan ini merupakan hubungan anatara signifier dengan signified dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi, makna paling nyata dari tanda. Makna denotatif pada dasarnya meliputi pada hal-hal yang ditunjuk. Sifatnya langsung dan umum.

Konotasi

Konotasi merupakan signifikasi tahap kedua yang berubungan dengan bentuk. Konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Makna konotatif sifatnya subjektif, dalam pengertian ada pergeseran dari makna umum karena sudah ada penambaan rasa dan nilai tertentu.

Mitos

Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.


(39)

Universitas Sumatera Utara

Mitos adalah cerita yang digunakan suatu kebudayaan untuk menjelaskan atau memahami bebeapa aspek dari realitas atau alam. Menurut Barthes, mitos adalah cara berpikir kebudayaan tentang sesuatu atau sebuah cara memahami suatu hal. “tak ada mitos yang universal pada satu kebudayaan. Yang ada adalah mitos yang dominan (Fiske, 2007). Dapat dikatakan bahwa dari mitoslah kita kemudian menemukan ideologi.

II.2.3.1 Semiotika MK.Halliday

M.K.Halliday, seorang ahli yang meletakkan dasar-dasar bagi analisis semiotik sosial, untuk studi teks berita (yang dalam penelitian ini dimaksudkan adalah fotojurnalistik) dalam artian apa-apa yang dirangkai dalam isi berita yang kemudian membentuk konstruksi suatu ideologi lewat penerbitan fotojurnalistik di surat kabar. Pada penelitian ini, model ini sangat bermanfaat untuk menganalisis

caption foto (teks berita foto) yang merupakan satu keasatuan dari sebuah

fotojurnalistik.

Menurut Haliday, terdapat tiga komponen utama dalam menciptakan makna, yakni komponen ideasional, interpersonal, dan tekstual. Komponen ideasional berhubungan dengan bagaimana pengguna bahasa memahami lingkungan sosial. Komponen interpersonal berhubungan dengan bagaimana bahasa digunakan dalam interaksi sosial. Dan komponen tekstual berhubungan dengan interpretasi bahasa dalam fungsinya sebagai pesan.

Halliday menjabarkan semiotiika pertama mengulas masalah makna (the

problem of meaning) atau bagaimana orang memahami pesan? Informasi apa

yang dikandung dalam struktur sebuah pesan?. Kedua adalah masalah tindakan (the problem of action) atau pengetahuan tentang bagaimana memperoleh sesuatu, dan yang ketiga ialah masalah koherensi (the problem of coherence) yang menggambarkan bagaimana membentuk suatu pola bahasa masuk akal (logic) dan dapat dimengerti (sensible).


(40)

Universitas Sumatera Utara

Gambar 5

Skema Analisis Semiotika Sosial Halliday

Sumber : Halliday dan Hasan, 1992.

Sebagai suatu sistem, bahasa bersama-sama dengan sistem sosial lainnya bekerja dalam menciptakan makna. Semiotika sosial melihat tanda dalam arti yang lebih luas, yakni sebagai suatu sistem tanda yang merupakan bagian tatanan-tatanan yang saling berhubungan sebagai pembawa maknadalam budaya. Sehingga, bahasa dalam semiotika sosial mendapatkan maknanya melalui interaksi sosial, dengan perantara sosial, dan untuk tujuan sosial pula.

Bahasa sebagai semiotika sosial berhubungan dengan penggunaan bahasa bersama-sama dengan sistem makna lainnya dalam menciptakan kebudayaan. Pengalaman-pengalaman manusia sebagai bagian dari dimensi sosial merupakan awaldari munculnya gejala bahasa, oleh karena itu penting untuk melihat bahasa dari sudut padnang dimensi sosial yang melingkupinya.

Lingkungan sosial merupakan tempat terjadinya pertukaran makna. Oleh sebab itu, proses pertukaran makna adalah sesuatu yang bersifat kontekstual, artinya penggunaan bahasa sebagai alat interaksi sosial untuk menciptakan makna dari sederetan sistem makna yang tersedia secara keseluruhan berhubungan dengan konteks yang melatarbelakangi interaksi tersebut. Terdapat tiga konteks sosial yang melatarbelakangi penggunaan bahasa dalam suatu proses interaksi, yakni konteks situasi,budaya, dan ideologi (Halliday dan Hasan, 1992: 4-6).

Masalah Makna (Problem of Meaning)

Masalah Tindakan (Problem of Action)

Masalah Koherensi

(Problem ofCoherence)

Medan Wacana (Field of Discourse)

Pelibat Wacana (Tenor of Discourse)

Sarana Wacana (Mode of Discourse) Kata-kata


(41)

Universitas Sumatera Utara

II.2.3.2 Foto Berita Sebagia Perangkat Ideologis

Sebuah teks tidak pernah lepas dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi. Setiap penggunaan teks, penanganan bahasa, perilaku semiosis alias penggunaan tanda umumnya timbul berkat suatu ideologi yang secara sadar atau tidak sadar dikenal oleh pemakai tanda.

“Membaca” teks media (foto dan semacamnya) tidak ubahnya membongkar praktik ideologis yang bekerja secara manipulatif di dalam sebuah situasi sosial tertentu. Ideologi ini bekerja melalui sistem representasi atau kode yang menentukan bagaimana seseorang menggambarkan dunia atau lingkungannya (Littlejohn, 2009).

Penggunaan foto sebagai media merupakan bukti langsung tentang pandangan sosial ataupun ideologi para komunikaatornya. Isi dalam fotojurnalistik itu sendiri menjelaskan berbagai aspek tertentu dari arti atau bentuknya. Dalam artian fotojurnalistik dimuati struktur yang mendasari huubungan internal dari berbagai unsur di dalamnya (McQuail, 1987). Dengan memakai model analisis tersebut diatas, karya foto dapat dianalisis ideologinya dari :

1. Pesan ikonik yang tak terkodekan

Istilah ini menunjuk pada denotasi, pemahaman langsung dari gambar tanpa mempertimbangkan kode social yang lebih luas.

2. Pesan ikonik yang terkodekan

Istilah ini merupakan konotasi visual yang diturunkan dari penataan elemen-elemen visual. Ikonik disini artinya tanda yang memperlihatkan kemiripan (Sobur, 2006).

Pesan ikonik yang tak terkodekan merupakan tatanan denotasi yang berfungsi menetralkan pesan simbolik sementara pesan ikonik yang terkodekan itu sendiri merupakan tatanan konotasi yang keberadaannya didasarkan atas budaya tertentu (Budiman, 2003).


(42)

Universitas Sumatera Utara

Objek Penelitian

Fotojurnalistik pada Headline Harian Tribun Medan edisi Desember 2012-Februari 2013

II.3 Model Teoritik

Gambar 6

Bagan Model Teoritik Penelitian Representasi Citra Perempuan dalam Fotojurnalistik di Harian Tribun Medan.

Semiotika MK. Halliday

Analisis Semiotika Sosial 1. Medan Wacana 2. Pelibat Wacana 3. Sarana Wacana

1. Makna dalam fotojurnalistik pada Headline di Harian Tribun Medan

2. Praktik ideologi dalam menampilkan perempuan melalui foto berita Harian Tribun Medan

Semiotika Roland Barthes

Analisis Lima Kode Pembacaan

1. Hermeneutika 4. Proairetik 2. Semik 5. Kultural 3. Simbolik

Level Teks

Denotasi dan Konotasi

Level Konteks


(43)

Universitas Sumatera Utara

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Metode Penelitian

Metodologi adalah proses, prinsip dan prosedur yang digunakan untuk mendekati suatu masalah dan mencari jawabannya. Dengan kata lain, metodologi adalah suatu pendekatan umum untuk mengkaji topik penelitian. Metodologi dipengarui atau berdasarkan perspektif teoritis itu sendiri adalah suatu kerangka penjelasan atau interpretasi yang memungkinkan peneliti memahami data dan menghubungkan data yang rumit dengan peristiwa dan situasi lain (Mulyana, 2001:145).

Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adaalah tipe metodologi penelitian kualitatif dengan analisis semiotika sebagai pisau analisisnya. Penelitian kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya tentang apa yang dialami subjek penelitian. Metode kualitatif ini juga tidak mengutamakan besarnya populasi dan sampling, sehingga penelitian tersebut bersifat subyektif yang hasilnya bukan untuk digeneralisasikan (Kriyantono,2007:161)

Dalam penelitian kualitatif ada dua hal yang ingin dicapai, yaitu: (1) menganalisis proses berlangsungnya suatu fenomena sosial dan memperoleh suatu gambaran yang tuntas terhadap proses tersebut, (2) menganalisis makna yang ada di balik informasi, data dan proses suatu fenomena sosial itu (Nawawi, 1995:


(44)

Universitas Sumatera Utara

III.2 Objek Penelitian

III.2.1 Sejarah Harian Tribun Medan

Harian Tribun Medan adalah salah satu anak perusahaan dari Kompas Media Grup. Kompas Gramedia adalah sebuah perusahaan nasional yang bergerak di bidang media massa. Kompas Gramedia (KG) atau dikenal juga dengan sebutan Kelompok Kompas Gramedia berdiri pada 21 Juni 1965. Pendiri Kelompok \Kompas Gramedia adalah P.K Ojong dan Jakob Oetama. Kelompok Kompas Gramedia berkantor pusat di Jakarta, tepatnya di Palmerah Selatan 22-26.

Pada tahun 1980-an, perusahaan ini berkembang pesat khususnya dalam bidang komunikasi. Kini Kompas Gramedia telah memiliki beberapa anak perusahaan atau unit bisnis yang bervariasi, seperti media massa, toko buku, percetakan, penerbit, radio, hotel, lembaga pendidikan, hingga event organizer.

Tribun Medan adalah salah satu jaringan surat kabar daerah. Dulu namanya Persda. Orang menyebutnya Pers Daerah. Sebenarnya, Persda adalah nama singkat dari nama diri perusahaan yang mengelola surat kabar daerah di Kompas Gramedia ini. PT Indopersda Prima Media atau disingkat Indopersda. PT Indopersda Prima Media, merupakan salah satu unit usaha atau anak perusahaan Kompas Gramedia Group (KGG), yang telah menerbitkan surat kabar daerah sejak tahun 1988.

Pers daerah merupakan surat kabar yang terbit setiap hari. Semula Persda hanya memiliki beberapa koran, diantaranya Serambi Indonesia (Aceh), Pos Kupang (Kupang), Bernas (Jogja), Bangka Pos (Bangka), Banjarmasin Post, Sriwijaya Pos (Palembang), Tifa (Papua) dan Harian Surya (Surabaya).

Belakangan sejak tahun 2003, persda semakin menggeliat. Dengan konsep baru, Persda membuat koran dengan brand Tribun. Uji coba pertama kali dilakukan di Balikpapan, Kalimantan Timur. Tahun 2003 lahirlah Tribun Kaltim. Beberapa bulan setelah Tribun Kaltim diterima oleh masyarakat Kalimantan Timur, Persda mengembangkan sayapnya ke Sulawesi, dan lahirlah Tribun Timur. Dari Sulawesi, brand Tribun kemudian berkibar di Pekanbaru (Tribun Pekanbaru). Selanjutnya hadir Tribun Batam, Tribun Jabar, Tribun Manado, Tribun Pontianak, Tribun Medan, Tribun Jogja, Tribun Lampung dan Tribun


(45)

Universitas Sumatera Utara

Jambi. Ke depan, akan ada beberapa Tribun lainnya yang sudah disiapkan untuk hadir di sejumlah kota di negeri ini. Hingga saat ini persda telah memiliki 19 koran daerah.

Di era terkini, Persda juga masuk ke dunia online. Saat ini juga ada www.tribunnews.com, situs berbasis berita yang melibatkan hampir 600 wartawan se Indonesia. Situs ini bermarkas di kantor Persda, Jalan Palmerah Barat, Jakarta dan dikelola oleh Febby Mahendra, Dahlan Uki, M Kurdi, Achmad Subechi dan sejumlah redaktur senior lainnya.

III.2.2 Profil Harian Tribun Medan

Harian Tribun Medan merupakan koran lokal untuk wilayah Medan dan mencakup Sumatera Utara secara keseluruhan. Tribun Medan mulai beroperasi sejak tanggal 27 September 2010. Selama hampir tiga tahun ini, perkembangan perusahaan terus meningkat, terutama dari segi oplah, iklan, dan promosi. Dimana dulu hanya mencetak sekitar 40.000 eksemplar/hari, sekarang sudah mencapai 70.000 eksemplar/hari.

Selain itu, Harian Tribun Medan juga mendapat pengakuan dari masyarakat kota Medan dan sekitarnya, melalui Indonesia Printing Media Award (IPMA) sebagai koran terbaik di Sumatera Utara dengan tampilan layout dan ketepatan berita selama tiga tahun berturut, tahun 2011, 2012 dan 2013.

Visi Tribun Medan adalah menjadi kelompok usaha penerbitan surat kabar, media online, dan percetakan daerah terbesar dan tersebar di Sumatera Utara melalui penyediaan informasi yang terpercaya.

Sedangkan Misi Tribun Medan adalah memberikan spirit baru dan mendorong terciptanya demogratisasi di Sumatera Utara dengan menjalankan bisnis yang beretika, efisien, dan menguntungkan. Misi ini sejalan dengan tagline Tribun Medan, “Spirit Baru Sumatera Utara”.


(46)

Universitas Sumatera Utara

Rubrikasi

Selain halaman depan yang memuat berita-berita aktual, Harian Tribun Medan terbit dengan 24 halaman dengan menyajikan berbagai macam rubrik, yaitu sebagai berikut :

Tribun Nasional, menyajikan informasi dari dalam negri, biasa menyangkut

politik dan hukum.

Tribun Bisnis, menyajikan informasi seputar dunia usaha dan bisnis.

Tribun Finance, menyajikan informasi tentang keuangan.

Tribun Probis, menyajikan informasi tentang

Tribun Line, menyajikan informasi sambungan dari halaman depan.

Tribun Sumut, menyajikan informasi dari berbagai daerah di Suamatera Utara.

Kesawan Square, menyajikan informasi seputar daerah kesawan, Medan.

Medan Life, menyajikan informasi seputar gaya hidup warga Medan.

Iklan Paten, menyajikan informasi tentang iklan singkat (iklan baris).

Public Service, menyajikan informasi tentang pelayanan publik dan komentar

pembaca.

Tribun Siantar, menyajikan informasi daerah Simalungun sekitarnya.

Super Ball, menyajikan informasi olahraga yang menyoroti profil seorang bintang

sepakbola.

Soccer Hot News, menyajikan informasi tentang gosip di bidang olahraga

sepakbola.

Tribun Seleb, menyajikan informasi dari dunia selebritis.

Tribun Smart Online menyajikan informasi tentang gadget dan berbagai

aplikasinya.

Tribun Weekend, menyajikan informasi ringan dari kegiatan seorang sosok pada

akhir pekan.

Tribun Smart Home menyajikan informasi tentang tata ruang dan tempat tinggal.

Tribun Health, menyajikan informasi seputar kesehatan dan pengetahuan ilmiah.

Tribun Jiran, menyajikan informasi dari negara tetangga dan dunia Internasional.


(47)

Universitas Sumatera Utara

Tribun Show Off, menyajikan informasi advetorial maupun kegiatan dari seorang

tokoh.

Tribun Women, menyajikan informasi seputar dunia wanita

Tribun Kids, menyajikan informasi tentang dunia anak.

Tribun Automoto, menyajikan informasi tentang dunia otomotif.

Tribun PSMS, menyajikan informasi tentang tim Sepakbola asal Medan, PSMS.

Tribun Iklan, menyajikan informasi tentang iklan berwarna.

Manajemen Tribun Medan Director : Herman Darmo, Sentrijanto Business General Manager : Sentrijanto

Board of Editor : Herman Darmo, Febby Mahendra Putra, Achmad Subechi, Uki M

Kurdi, Dahlan Dahi, Domu Ambarita Editor in Chief : Dahlan Dahi

Vice editor in Chief : Abdul Haerah HR

Redaktur :

Tariden Turnip, Bantors Sihombing, Eti Wahyuni, Perdata Oktoberta Ginting, Rachmi C Ayu Wulandari, T Agus Khaidir, Truly Okto Hasudungan Purba

Fotografer :

Dedy Sinuhaji, Taufan Wijaya

Reporters :

Adol Frian Rumaijuk, Ibrahim, Wiwi Deriana, Arifin Al Alamudi, Fahrizal Fahmi Daulay, Irfan Azmi Silalahi, Maulina Siregar, Maulina Noor, Mohamad Yoenus, Muhammad Tazli, Randy Pf Hutagaol, Budi Warsito, M. Azhari Tanjung, Feriansyah, Liston Damanik, Indra Gunawan Sipahutar, Eris Estrada, Sofyan Akbar, Silfa Humairah, Averiana Barus, Ayu Prasandi.


(48)

Universitas Sumatera Utara

Biro Jakarta-Persda :

Redaksi, Jl Pal Merah Selatan No 12 Lantai II Jakarta 10270, Telp (021) 5483008, 5480888 dan 5490666 Fax (021) 5495358

Perwakilan Jakarta : Febby Mahendra Putra Biro Siantar : Adol Frian Rumaijuk Biro Binjai : Ibrahim

Biro Lubuk Pakam : Indra Gunawan Sipahutar

Alamat Redaksi

Jln. K.H. Wahid Hasyim No. 37 Kelurahan Babura, Kecamatan Medan Baru (20154), Medan -

Sumatera Utara.

Telp : (061) 4574222 , Faks : (061) 4520611

E-mail : tribunmedan@yahoo.com dan redaksi@tribun-medan.com

III.3 Subjek Penelitian

Subjek penelitian dari penelitian ini adalah foto-fotojurnalistik pada

Headline Harian Tribun Medan edisi Desember 2012, Januari 2013 dan Februari

2013. Ada 18 foto yang akan diteliti, yaitu sebagai berikut : Gambar 7

Tabel Subjek Penelitian Representasi Citra Perempuan dalam Fotojurnalistik di Harian Tribun Medan

NO TANGGAL JUDUL FOTO

1 Senin, 03 Desember 2012 PULIH

2 Rabu, 05 Desember 2012 CELANA HOT PANS 3 Rabu, 12 Desember 2012 PELANGI


(49)

Universitas Sumatera Utara

4 Kamis, 13 Desember 2012 BAYI 12-12-12 5 Minggu, 16 Desember 2012 HISTERIS

6 Sabtu, 12 Januari 2013 PARA MANTAN RATU TERJERAT

SKANDAL

7 Senin, 14 Januari 2013 BAJAJ BULE

8 Selasa, 15 Januari 2013 AKTRIS TERBAIK 9 Minggu, 20 Januari 2013 BERPONI

10 Sabtu, 26 Januari 2013 VICKY SHU

11 Selasa, 29 Januari 2013 LUKISAN LIMBAH TEH 12 Jumat, 01 Februari 2013 MAHARANI DIBEBASKAN 13 Senin, 04 Februari 2013 SATU-SATUNYA PEREMPUAN 14 Senin, 11 Februari 2013 IMLEK

15 Selasa, 12 Februari 2013 MENGINTIP 16 Senin, 18 Februari 2013

TAMPIL DI JAKARTA 17 Senin, 25 Februari 2013

BERLUMUR TINTA 18 Kamis, 27 Februari 2013

PEREMPUAN ANTI KORUPSI

III.4 Kerangka Analisis

Penelitian ini menggunakan dua kerangka pisauanalisis semiotika, yaitu semiologi Roland Barthes dan semiotika sosial MK. Halliday. Dimana proses analisis dilakukan dalam dua tingkatan yaitu teks dan konteks. Analisis dilakukan terhadap 18 fotojurnalistik di Headline Harian Tribun Medan edisi Desember 2012- Februari 2013.


(50)

Universitas Sumatera Utara

Semiotika sosial MK. Halliday bertumpu pada tiga unsur penafsiran secara kontekstual, yaitu medan wacana, pelibat wacana dan sarana wacana. Sedangkan semiotika Roland Barthes akan bertumpu pada makna denotatif, konotatif serta mitos yang terkandung dari foto berita yang diteliti.

III.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Studi dokumenter, yaitu data unit analisis dikumpulkan dengan cara mengumpulkan foto-foto Headline yang mengandung unsur perempuan pada Harian Tribun Medan. Foto-foto terkait kemudian dikliping untuk selanjutnya dilakukan analisiss data.

b. Studi kepustakaan (library research), yaitu penelitian dilakukan dengan cara mempelajari dan mengumpulkan data melalui literature buku, jurnal ilmiah, serta bacaan lain di internet yang relevan dan mendukung penelitian.

III.6 Teknik Analisis Data

Analisis semiotika dipahami sebagai suatu ilmu untuk mengkaji tanda. Dimana tanda dianggap sebagai suatu hasil konstruksi realitas. Saussure berkeyakinan bahwa persepsi dan pandangan kita mengenai suatu realitas dibentuk oleh kata-kata dan tanda-tanda lain yang dipergunakan dalam konteks social (Sobur, 2004:87).

Penelitian ini akan menganalisis 18 fotojurnalistik dari halaman depan

(Headline) Harian Tribun Medan. Seluruh foto tersebut diteliti dengan

menggunakan analisis semiologi Roland Barthes dan analisis semiotika sosial MK.Halliday.

Setiap foto dipandang sebagai representasi citra perempuan yang dihadirkan lewat fotojurnalistik di Headline surat kabar tersebut setiap edisinya.


(51)

Universitas Sumatera Utara

Namun penelitian ini tidak berhenti pada level teks saja tetapi juga sampai pada level konteks. Dilakukan analisis terhadap tanda yang terkandung di dalam teks dan membacanya dalam konteks kerangka sosialnya dan konteks ideologinya.

III.6.1 Analisis Lima Kode Pembacaan Barthes

Barthes mengemukakan analisis lima kode pembacaan atau lima kode pokok yang di dalamnya mengandung penanda teks (leksia). Berikut lima kode yang diungkapkan oleh Barthes (Sobur, 2004:65) yaitu :

1) Kode Hermeneutika

Dikenal sebagai kode teka-teki yang memunculkan pertanyaan sehingga membuat para pembacanya berharap memperoleh “kebenaran” pertanyaan. Kode ini “melafalkan” persoalan yang ada di dalam teks.

2) Kode Semik

Bisa juga disebut sebgai kode konotatif. Kode ini sering digambarkan sebagai kesan – kesan, konotasi yang didapatkan dari subjek, objek, maupun tempat, segala unsure yang membangun teks. Kode semik adalah factor utama dalam mengenal segala sesuatu. Bagi Barthes, konotasi kata atau frase tertentu dalam teks bias dikelompokkan dengan konotasi atau frase lain yang mirip sehingga bila melihat kumpulan dari pengelompokan tadi dapat dipahami makna suatu teks. Analisis terhadap kode ini menghasilkan makna konotasi kedua yang bermain pada level konteks.

3) Kode Simbolik

Kode ini memandang bahwa suatu teks berdiri diatas struktur oposisi biner, dimana ada suatu hal yyang dikontraskan dengan hal lain sehingga menimbulkan makna. Analisis terhadap kode ini menghasilkan makna konotasi pertama pada level teks. Kita memahami apa yang berusaha diperlawankan dalam suatu teks melalui apa yang suatu teks sajikan.


(52)

Universitas Sumatera Utara

4) Kode Proairetik

Kode yang dikenal sebagai kode tindakan yang dianggap sebgai perlengkapan utama dalam teks. Barthes memandang bahwa setiap lakuan dapat dikodifikasi meskipun akhirnya Barthes menerapkan proses seleksi dalam penerapannya. Proses analisis yang dilakukan pada kode inilah yang menghasilkan makna denotasi pertama yang berada pada level teks.

5) Kode Kultural

Kode ini memuat acuan teks pada benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya atau pengalaman manusia. Analisis terhadap kode ini mengahasilkan makna denotasi kedua yang bekerja pada level konteks.

III.6.2 Analisis Semiotika Sosial Halliday

Dalam semiotika M.K Halliday, ada tiga unsur yang menjadi pusat perhatian dalam penafsiran teks secara kontekstual, yaitu sebagai berikut :

a) Medan Wacana

Yaitu menunjukkan pada hal yang terjadi. Yaitu objek perempuan yang dijadikan produk dalam teks (gambar/ foto berita), dalam hal ini mengenai sesuatu yang sedang terjadi di lapangan.

b) Pelibat Wacana

Unsur ini menunjuk pada orang-orang yang dicantumkan dalam teks (gambar/ foto berita); sifat orang-orang itu, kedudukan, dan peranannya. Dalam hal ini Tribun Medan menggambarkan siapa perempuan sebagai orang yang dicantumkan dalam teks berita.

c) Sarana Wacana

Merupakan unsur yang menunjukkan bagian yang diperankan oleh bahasa. Yaitu, bagaimana komunikator (media massa/ Tribun Medan) menggunakan gaya bahasa untuk menggambarkan medan (situasi) dan pelibat (orang-orang yang dikutip). Dalam penelitian ini, sarana wacana, berupa bahasa tertulis dari gambar yang terdapat pada caption foto.


(53)

Universitas Sumatera Utara

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil

Pada bab ini terlebih dahulu peneliti menjelaskan kemudian proses analisisnya serta pembahasan hasil penelitian dari judul ““Representasi Citra Perempuan dalam Fotojurnalistik, Analisis Semiotika pada foto headline di Harian Tribun Medan”.

Data penelitian ini adalah foto-foto berita dengan objek perempuan dalam media cetak Harian Tribun Medan, pada edisi Desember 2012 s/d Februari 2013 yang berjumlah 18 foto. Peneliti mengambil sampel berdasarkan kepentingan penelitian yang dianggap dapat menjadi bahan penelitian. Foto-foto berita tersebut sengaja peneliti pilih dengan memperhatikan karakteristik objek pemberitaan. Objek tersebut meliputi sosok perempuan dengan berbagai macam kategori foto berita yang layak untuk dijadikan sampel data penelitian.

Pada umumnya, setiap edisinya Harian Tribun Medan dapat menjadi sampel penelitian bagi peneliti, sebab ditemukan bahwa harian ini kerap menyajikan foto berita perempuan dengan berbagai komponen dan jenis gambar pada setiap terbitannya. 18 foto ini tidak dapat dikatakan mewakili seluruh foto berita perempuan yang ada, namun cukup mewakili atas kriteria, komponen dan ciri yang hampir sama secara keseluruhan.

Terdapat berbagai macam karakteristik foto berita perempuan di harian Tribun Medan. Namun dalam hal ini peneliti menemukan kecenderungan sampel jenuh, sehingga pemilihan data sampel objek penelitian menjadi sangat subjektif, dan berdasarkan kepentingan penelitian.

Berdasarkan tujuan penelitian, peneliti menggunakan analisis semiotika untuk mengetahui makna serta praktik ideologi dalam fotojurnalistik dengan objek perempuanpada foto headline di Harian Tribun Medan.


(54)

Universitas Sumatera Utara

IV.1.1 Analisis Foto 1

Gambar 8

Foto Headline Harian Tribun Medan edisi Senin, 03 Desember 2012

Judul : PULIH

Sumber : Harian Tribun Medan edisi Senin, 03 Desember 2012

A). Analisis MK.Halliday a. Medan Wacana

Foto berita ini mengangkat topik internasional . Foto ‘people in the

news’ ini dibuat atas satu berita tentang para perempuan yang

mengubah dunia. Nama-nama tersebut dikeluarkan oleh majalah ‘Foreig Policy’ terbitan Amerika Serikat.

b. Pelaku Wacana

Malala yosafzai (15), seorang siswi Pakistan sebagai objek utama gambar. Malala termasuk salah satu perempuan yang mengubah dunia versi majalah terbitan Washington Post tersebut. Ia berada diurutan keenam atas kegigihannya melawan pasukan Taliban yang tidak memperbolehkan anak perempuna mendapat pendidikan.


(55)

Universitas Sumatera Utara

c. Sarana Wacana

“PULIH - Malala Yousufzai (15) siswi Pakistan yang ditembak Taliban membaca saat dirawat di RS. Queen Elizabeth Birmingham, Inggris 8 November lalu”.

Melalui caption di atas, selain menyajikan informasi tentang keadaan anak-anak Pakistan yang ditembak oleh pasukan Taliban. Selain itu, foto berita ini juga menjadi media promosi RS.Queen Elisabeth Ingris.

B). Analisis R.Barthes 1. Kode Hermeneutika

Mengapa seorang siswi? mengapa perempuan tersebut mengenakan kerudung seperti itu? mengapa matanya memar? Apa yang sedang ia baca? mengapa foto tersebut close up? mengapa foto diambil dengan angle eye level?

2. Kode Proairetik

Dalam foto tersebut objek menunjukkan sikap tertutup, terlihat dari posisi yang tidak menatap kamera, tetapi tertunduk sambil membaca. Selain itu, Posisi yang sedang membaca membuku mempertegas bahwa objek adalah seorang siswi. 3. Kode Simbolik

Penggunaan kerudung diasosiasikan dengan identitas wanita Pakistan adalah penganut agama islam. Sementara itu, penampilan mata sebelah kiri yang memar menunjukkan kekerasan yang ia derita.

4. Kode Kultural

Budaya muslim hadir pada foto tersebut. Terlihat dari objek gambar yang memakai jilbab. Hal ini menunjukkan identitass perempuan pakistan yang memakai pakaian tertutup.


(56)

Universitas Sumatera Utara

5. Kode Semik

Dengan menampilkan wajah memar dari objek, Perempuan dalam foto tersebut digambarkan sebagai makhluk yang lemah. Yaitu objek yang sering menjadi sasaran kekerasan.

IV.1.2 Analisis Foto 2

Gambar 9

Foto Headline Harian Tribun Medan edisi Rabu, 05 Desember 2012

Judul : CELANA HOT PANS


(1)

Universitas Sumatera Utara LAMPIRAN


(2)

Universitas Sumatera Utara


(3)

Universitas Sumatera Utara


(4)

Universitas Sumatera Utara


(5)

Universitas Sumatera Utara


(6)

Universitas Sumatera Utara BIODATA PENELITI

Nama : SURYADI

NIM : 090904093

Tempat / Tanggal Lahir : Medan, 1 Juni 1991

Alamat : Jl.Jamin Ginting Gg.Ganefo 32 Pd.Bulan

Email : suryadi.sarminson@gmail.com

Orangtua

Ayah : SARMIN

Ibu : TITIR PANJAITAN

Anak ke : 1 dari 2 bersaudara

Nama Saudara Kandung : PUSPAWATI

Pendidikan

2009 – 2013 : Universitas Sumatera Utara – Ilmu Komunikasi

2006 – 2009 : SMA Negeri 1 Tarutung

2003 – 2006 : SMP Negeri 2 Tarutung

1997 – 2003 : SD Negeri 173100 Tarutung

Organisasi

 Pers Mahasiswa “PIJAR” Ilmu Komunikasi USU

 UKM Beladiri Silat “Merpati Putih” USU

 UKM Debat Bahasa Inggris “USD” (USU Society for Debating)