Hubungan antara Pola Makan dengan Siklus Menstruasi

BAB V PEMBAHASAN

5.1 Hubungan antara Pola Makan dengan Pola Menstruasi

Hubungan pola makan mahasiswi yang meliputi jumlah, jenis bahan makanan dan frekuensi makan dalam sehari dengan pola menstruasi yang meliputi siklus, lama dan volume darah menstruasi

5.1.1 Hubungan antara Pola Makan dengan Siklus Menstruasi

Hasil tabulasi silang antara pola makan dengan siklus menstruasi diketahui mahasiswi dengan pola makan pada kategori kurang, lebih banyak mengalami siklus menstruasi yang terganggu yaitu sebesar 58,3. Mahasiswi dengan pola makan pada kategori baik cenderung mengalami siklus menstruasi yang normal yaitu sebesar 54,5. Mahasiswi dengan pola makan lebih cenderung mengalami siklus menstruasi yang terganggu yaitu sebesar 100. Sedangkan hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi makan mahasiswi berada pada kategori sering 100,0 yaitu mahasiswi makan pagi, siang dan malam. Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa mahasiswi yang mengonsumsi jenis bahan makanan yang baik atau lebih dari 4 jenis per hari lebih banyak mengalami siklus menstruasi yang terganggu sebanyak 59,5. Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan Uji Chi Square diketahui bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pola makan dengan siklus menstruasi pada mahasiswi dengan nilai p-value = 0,392. Sementara pada kategori jenis bahan makanandiketahui tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis bahan makanan dengan siklus menstruasi pada mahasiswi dengan nilai p=0,054. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa semakin baik pola makan seseorang maka akan semakin teratur pula siklus menstruasinya. Hasil penelitian di atas sesuai dengan pendapat Sayogo 2006 yang mengatakan ketidakseimbangan antara asupan kebutuhan atau kecukupan akan menimbulkan masalah gizi, baik itu berupa masalah gizi lebih maupun gizi kurang. Masalah gizi pada remaja akan berdampak negatif pada tingkat kesehatan masyarakat, misalnya penurunan konsentrasi belajar, risiko melahirkan bayi dengan BBLR, dan penurunan kesegaran jasmani. Dan asupan makanan pada masa remaja sebaiknya mengandung jumlah zat-zat gizi yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Sebagai contoh remaja putri membutuhkan makanan dengan kandungan zat besi yang tinggi terlebih bagi remaja putri yang mengalami menstruasi setiap bulan. Ketidakseimbangan asupan energi biasanya terjadi pada masa pubertas dimana remaja sangat memperhatikan penampilan tubuhnya. Hasil penelitian pada mahasiswi diketahui bahwa masih banyak mahasiswi yang mengonsumsi energi di bawah kebutuhan minimun yaitu sebesar 41,4. Warren 2001 mengatakan pada sebagian besar atlit wanita, sering terjadi gangguan makan yang berakibat terjadinya ketidakseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran energi sehingga terjadi defisiensi energi kronik. Ketidakseimbangan energi berhubungan dengan menurunnya kadar estrogen, gangguan metabolisme, dan terjadinya amenorrhoea atau oligomenorrhoea. Disfungsi hipotalamus yang berhubungan dengan latihan fisik yang berat dan gangguan pada pulsasi GnRH, dapat menyebabkan menarche yang terlambat dan gangguan siklus menstruasi. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Walaupun hasil penelitian di atas tidak menunjukkan hubungan yang signifikan antara pola makan dengan siklus menstruasi secara statistik, namun mahasiswi perlu waspada dengan pola makan yang tidak teratur, karena beberapa penelitian menyatakan adanya hubungan yang signifikan anatara pola makan dengan gangguan siklus menstruasi. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Devi 2009 yang mengatakan kelompok yang mengalami sindrom pramenstruasi salah satu gangguan menstruasi mengonsumsi pangan sumber karbohidrat lebih rendah dari kelompok yang tidak mengalami sindrom pramenstruasi. Hasil penelitian pada mahasiswi jurusan olahraga menunjukkan bahwa pola makan mahasiswi pada tahun ajaran 2014 sebesar 43,5 pada kategori kurang 80 AKG dan persentase siklus menstruasinya sebesar 50 pada kategori tidak teratur 21 hari dan 35 hari. Dalam penelitian Rowland AS, et al 1996 terhadap wanita di Iowa dan North Carolina menyatakan bahwa lemak tubuh, diukur dengan BMI, sangat terkait dengan siklus panjang dan siklus yang tidak teratur. Perempuan dengan BMI yang normal tinggi 24-25 memiliki dua kali kemungkinan siklus panjang dibandingkan dengan wanita dengan BMI dari 22-23, dan asosiasi semakin kuat dengan masing-masing kategori BMI. Perempuan dengan BMI 35 atau lebih memiliki kemungkinan siklus panjang lima kali. Perempuan dalam kelompok terberat juga menunjukkan peningkatan kemungkinan siklus tidak teratur. Selain itu, Rowland AS, et al 1996 menemukan bahwa menarche sebelum usia 13 berhubungan dengan siklus pendek dan perdarahan intermenstrual bagi perempuan pada usia 21-40. Menarche pada usia 15 ke atas terkait memiliki siklus panjang dan siklus tidak teratur. Faktor-faktor inilah Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara yang menjadikan tidak adanya hubungan antara pola makan dengan siklus menstruasi.

5.1.2 Hubungan Pola Makan dengan Lama Menstruasi