Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Pemalsuan Uang Kertas Rupiah Dan Pengedarannya Di Kotamadya Medan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Arief, Barda Nawawi. 2007. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana.

Boediono. 1990. Ekonomi Moneter. Yogyakarta: BPFE.

Chazawi, Adami. 2005. Kejahatan terhadap Pemalsuan. Cetakan III. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Hamzah, Andi. 2006. Hukum Acara Pidana Indonesia. Cetakan V. Jakarta: Sinar Grafika.

Harahap, H. Chairuman. 2003. Penegakan Supremasi Hukum. Bandung: CitaPustaka Media.

Harahap, M. Yahya. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Edisi II. Cetakan VIII. Jakarta: Sinar Grafika.

Irawan, F.X. Bambang. 2000. Bencana Uang Palsu. Cetakan I. Yogyakarta: els Treba.

Komaruddin. 1991. Uang di Negara Sedang Berkembang. Cetakan I. Jakarta: Bumi Aksara.

Nitibaskara, Tb. Ronny Rahman. 2006. Tegakkan Hukum Gunakan Hukum. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Panjaitan, Petrus Irawan dan Pandapotan Simorangkir. 1995. Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Peradilan Pidana.Cetakan Kedua. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.


(2)

Prasetyo, Teguh, dkk. 2005. Politik Hukum Pidana Kajian Kriminalisasi dan Dekriminalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Projodikoro, Wirjono. 2003. Tindak-tindak Pidanan Tertentu di Indonesia. Edisi III. Cetakan I. Bandung: PT Refika Aditama.

Rahardjo, Satjipto. 2009. Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis. Yogyakarta: Genta Publishing.

Soejono. 1996. Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia. Cetakan I. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 1985. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Soekanto, Soerjono. 2005. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Cetakan V. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Soenarso, Siswanto. 2005. Wawasan Penegak Hukum di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Wibowo, Eddi, dkk. 2004. Hukum dan Kebijakan Publik. Yogyakarta: YPAPI.

Undang-Undang:

Kitab Undang-undang Hukumj Pidana

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia juncto Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia


(3)

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Internet:

http://paskakurniajati.blogspot.com/2009/02/pemalsuan-uang.html http://id.wikipedia.org/wiki/Jenis-jenis_uang

http://www.e-dukasi.net/mol/mo_full.php?moid=7&fname=eko203_06.htm http://ilmea.depperin.go.id/sk/uu198106.htm

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0204/15/sh05.html

http://paskakurniajati.blogspot.com/2009/02/pemalsuan-uang.html

Data:

Laporan Uang Palsu di Kantor Bank Indonesia Medan (Tahun 2000-2008)

Rekapitulasi Data Perkara Uang Palsu Laboratorium Forensik Cabang Medan (Tahun 2005-2008)

Laporan Pengaduan/Kasus Pemalsuan Uang di Kepolisian Kota Besar Medan dan Sekitarnya (Poltabes MS) Tahun 2000-2007

Data Perkara Uang Palsu di Pengadilan Negeri Medan (Tahun 2006-2008)

Makalah:

Rafiqoh Lubis, SH,MHum. “Bahan Perkuliahan Hukum Acara Pidana”. 2008. Bank Indonesia. “Materi Bidang Sistem Pembayaran dalam rangka Sosialisasi


(4)

H. Jantokartono Moeljo, SH, MH. “Kejahatan terhadap Mata Uang dan Upaya Penegakan Hukumnya di Wilayah Hukum Sumatera Utara” dalam rangka seminar Kejahatan terhadap Mata Uang dan Upaya Penegakan Hukumnya di Wilayah Sumatera Utara”. Medan. 2006.

Tim Peneliti Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung. “Ringkasan Penelitian Hukum Tindak Pidana di Bidang Mata Uang” dalam rangka seminar Kejahatan terhadap Mata Uang dan Upaya Penegakan Hukumnya di Wilayah Sumatera Utara”. Medan. 2006.

Direktorat Hukum Bank Indonesia. “Perlunya Paradigma Baru dalam Pemberantasan Pemalsuan Uang dan Pengedaran Uang Palsu” dalam rangka seminar Kejahatan terhadap Mata Uang dan Upaya Penegakan Hukumnya di Wilayah Sumatera Utara”. Medan. 2006.

AKBP Drs. Suryanbodo Asmoro. “Penyidikan terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Mata Uang” dalam rangka seminar Kejahatan terhadap Mata Uang dan Upaya Penegakan Hukumnya di Wilayah Sumatera Utara”. Medan. 2006. Gortap Marbun, SH. “Penuntutan Terhadap Kejahatan Mata Uang” dalam rangka

seminar Kejahatan terhadap Mata Uang dan Upaya Penegakan Hukumnya di Wilayah Sumatera Utara”. Medan. 2006.

Brosur:

Direktorat Pengedaran Uang Bank Indonesia. “Kenali Rupiah Anda! Uang Kertas dan Uang Logam Rupiah Indonesia”. 2007.


(5)

BAB III

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN PEMALSUAN UANG KERTAS RUPIAH DAN PENGEDARANNYA DI KOTAMADYA MEDAN

Penegakan Hukum

Pelaksanaan penegakan hukum sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-undang No.4 Tahun 2004 yang menggantikan Undang-undang No.14 Tahun 1970 jo. Undang-undang No.35 Tahun 1999, perumusannya sebagai berikut:

Pasal 1

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Pembatasan pengertian kekuasaan kehakiman dalam arti sempit sebagaimana disebutkan di atas, sepatutnya dikaji ulang, karena pada hakikatnya “kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara dalam menegakkan hukum”. Jadi, kekuasaan kehakiman identik dengan “kekuasaan (untuk) menegakkan hukum” atau “kekuasaan penegakan hukum”. Hakikat pengertian yang demikian sebenarnya terungkap juga dalam perumusan di atas, yaitu pada kalimat terakhir yang berbunyi: “guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.” Hanya sayangnya kalimat itu tidak dirumuskan sebagai hakikat/pengertian dari kekuasaan kehakiman, tetapi dirumuskan sebagai “tujuan” dari diselenggarakannya peradilan. Sekiranya “tujuan” itulah yang menjadi hakikat dari kekuasaan


(6)

kehakiman, maka pengertian “kekuasaan kehakiman” seyogianya dirumuskan sebagai “kekuasaan negara untuk menegakkan hukum dan keadilan demi terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia”.43

Dengan demikian “kekuasaan kehakiman (di bidang hukum pidana) dilaksanakan oleh 4 (empat) badan/lembaga seperti dikemukakan di atas. Keempat badan-badan itulah yang dapat disebut sebagai “badan-badan penegak hukum”. Dengan kata lain, kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana, bukan hany diwujudkan dalam “kekuasaan mengadili”, tetapi diwujudkan/diimplementasikan dalam 4 (empat) tahap kekuasaan di atas. Keempat tahap kekuasaan kehakiman (di bidang hukum pidana) itulah yang merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana, yang biasa dikenal

Dengan pengertian kekuasaan kehakiman dalam arti luas sebagaimaan disebutkan di atas, maka kekuasaan kehakiman tidak hanya berarti “kekuasaan mengadili” (kekuasaan menegakkan hukum di badan-badan pengadilan), tetapi mencakup menegakkan hukum dalam seluruh proses penegakan hukum. Ini berarti, dalam perspektif sistem peradilan pidana (SPP), “kekuasaan kehakiman (kekuasaan penegakan hukum) di bidang hukum pidana” mencakup seluruh kekuasaan/kewenangan dalam menegakkan hukum pidana, yaitu “kekuasaan penyidikan” (oleh badan/lembaga penyidik), “kekuasaan penuntutan” (oleh badan/lembaga penuntut umum), “kekuasaan mengadili” (oleh badan pengadilan), dan kekuasaan pelaksana putusan/pidana” (oleh badan /lembaga eksekusi)

43

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana


(7)

dengan istilah “sistem peradilan pidana yang terpadu” (“integrated criminal justice system”). Dengan kata lain, SPP (sistem peradilan pidana) pada hakikatnya merupakan “sistem penegakan hukum pidana” atau “sistem kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana”.

Masalah penegakan hukum, baik secara “in abstracto” maupun secara “in concreto”, merupakan masalah aktual yang akhir-akhir ini mendapat sorotan tajam dari masyarakat.44

Ruang lingkup dari istilah “penegak hukum” adalah luas sekali, oleh karena mencakup mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung berkecimpung di bidang penegakan hukum. Di dalam tulisan ini, yang

Kualitas penegakan hukum yang dituntut masyarakat saat ini bukan sekedar kualitas formal, tetapi kualitas penegakan hukum secara materiil/substansial seperti terungkap dalam beberapa isu sentral yang dituntut masyarakat, antara lain: (1) adanya perlindungan HAM (hak asasi manusia); (2) tegaknya nilai kebenaran, kejujuran, keadilan, dan kepercayaan antarsesama; (3) tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan/wewenang; (4) bersih dari praktek “favoritisme” (pilih kasih), KKN, dan mafia peradilan; (5) terwujudnya kekuasaan kehakiman/penegakan hukum yang merdeka, dan tegaknya kode etik/kode profesi; (6) adanya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Penegak Hukum

44


(8)

dimaksudkan dengan penegak hukum akan dibatasi pada kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement, akan tetapi juga peace maintance. Kiranya sudah dapat diduga bahwa kalangan tersebut mencakup mereka yang bertugas di bidang-bidang kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan pemasyarakatan.45

Secara sederhana sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) dapat dipahami sebagai suatu usaha untuk memahami serta menjawab pertanyaan apa tugas Hukum Pidana di masyarakat dan bukan sekedar bagaimana Hukum Pidana di dalam undang-undang dan bagaimana Hakim menerapkannya.

Secara sosiologis, maka setiap penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan (sosial) merupakan posisi tertentu di dalam struktur kemasyarakatan, yang makin tinggi, sedang-sedang saja atau rendah. Kedudukan tersebut merupakan suatu wadah yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu. Dalam bidang hukum pidana yang mencakup tugas kemasyarakatan maka mengenai kedudukan ini disebutkan sebagai tugas-tugas dan kewenangan-kewenangan. Tugas dan kewenangan tersebut merupakan peranan atau role. Oleh karena itu, seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya dinamakan pemegang peranan (role occupant).

Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

46

45

Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 19.

46

Petrus I. Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hal. 54.


(9)

Di Indonesia, sistem peradilan pidana setelah berlakunya Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mempunyai empat komponen (empat sub sistem), yaitu: Sub sistem Kepolisian yang secara administratif di bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan, Kejaksaan di bawah Kejaksaan Agung, Pengadilan di bawah Mahkamah Agung dan Lembaga Pemasyarakatan di bawah departemen Kehakiman. Tujuan sistem peradilan pidana dapat dikategorikan sebagai berikut:47

1. Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak dicapai resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana;

2. Dikategorisasikan sebagai tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dituju lebih luas yakni pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam konteks politik kriminal (Criminal Policy);

3. Tujuan jangka panjang, apabila yang hendak dicapai adalah kesejahteraan masyarakat (Social Welfare) dalam konteks politik kriminal (Criminal Policy).

Sedangkan menurut Mardjono Reksodiputro, sistem ini dianggap berhasil, apabila terdapat laporan dan keluhan masyarakat bahwa mereka telah menjadi korban dari suatu kejahatan dapat diselesaikan dengan diajukannya pelaku ke muka sidang pengadilan dan menerima pidana. Dengan demikian cakupan tugas sistem ini sangat luas, yaitu:48

a. Mencegah masyarakat menjadi korban;

47 Ibid. 48


(10)

b. Menyelesaikan kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah telah dipidana;

c. Berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak lagi mengulangi perbuatannya.

Mekanisme Sistem Peradilan Pidana dalam Kejahatan Uang Palsu

Sistem ini mulai bekerja pada saat adanya laporan kejahatan uang palsu dari masyarakat, setelah itu Polisi melakukan penangkapan, seleksi, penyelidikan, penyidikan dan membuat Berita Acara Pemeriksaan. Para pelaku yang bersalah diteruskan kepada Kejaksaan, sedangkan yang tidak bersalah dikembalikan kepada masyarakat. Kemudian Jaksa mengadakan seleksi lagi terhadap pelaku dan mengadakan penuntutan serta membuat surat dakwaan.

Para pelaku yang tidak bersalah dibebaskan, sedang yang bersalah diajukan ke Pengadilan. Dalam hal ini pun Pengadilan juga melakukan hal yang sama, artinya yang tidak terbukti bersalah dibebaskan, sedang yang terbukti melakukan kejahatan uang palsu diserahkan ke Lembaga Pemasyarakatan sebagai instansi terakhir yang melakukan pembinaan terhadap si terhukum.

Di dalam sistem peradilan pidana terdapat adanya suatu proses Input-Process-Output. Adapun yang dimaksud dengan Dikaitkan dengan kejahatan uang palsu, Input adalah laporan tentang terjadinya kejahatan uang palsu; dan yang dimaksud dengan Process adalah sebagai tindakan yang diambil pihak Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Sedangkan


(11)

yang dimaksud dengan Output adalah hasil-hasil yang diperoleh, yaitu tujuan dari penegakan hukum pidana.49

Sistem peradilan pidana diimplementasikan oleh seluruh kekuasaan dalam menegakkan hukum pidana, yaitu kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan, kekuasaan mengadili, dan kekuasaan eksekusi pidana. Keseluruhan proses

Sebagai suatu sistem, maka di dalam mekanismenya mensyaratkan adanya kerja sama diantara sub sistem. Apabila salah satu sub sistem itu tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka hal itu akan mengganggu sistem ini secara keseluruhan. Oleh karena itu, keempat sub sistem itu memiliki hubungan yang erat satu dengan yang lainnya dimana tujuannya adalah satu, tetapi tugasnya berbeda-beda.

Komponen Sistem Peradilan Pidana

Berdasarkan telaahan terhadap isi ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP ditemukan empat komponen yang mempengaruhi sistem peradilan pidana, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan. Keempat komponen aparatur hukum ini memiliki hubungan yang amat erat satu sama lain, bahkan saling menentukan.

Dibandingkan dengan bidang-bidang lain peraturan penegakan hukum dalam bidang pidana ini lebih lengkap, yang terdapat dalam ketentuan hukum acara pidana, undang-undang kekuasaan kehakiman, undang-undang kepolisian, undang-undang kejaksaan, dan peraturan tentang penjara.

49


(12)

penegakan hukum pidana ini dapat dimasukkan dalam pengertian kekuasaan kehakiman dalam bidang hukum pidana. Karena itu sistem peradilan pidana itu pada hakekatnya merupakan sistem penegakan hukum pidana atau sistem kekuasaan kehakiman dalam bidang hukum pidana.

Meskipun komponen sistem peradilan pidana ini merupakan satu kesatuan dalam penegakan hukum, namun masing-masing bekerja dalam batas tugas dan kewenangannya. Artinya satu komponen tidak harus mencampuri tugas dan kewenangan aparat penegak hukum lainnya. Hubungan komponen-komponen tersebut hanya sebatas komunikasi, dan koordinasi agar tercipta harmonisasi dalam pelaksanaan tugas, dan tidak terjadi konflik kewenangan di antara aparat penegak hukum. Dengan demikian akn terwujud proses peradilan yang jujur dan adil.

Dalam sejarah penegakan hukum pidana (khususnya di Indonesia) tercatat adanya pertemuan-pertemuan di antara unsur-unsur penegak hukum kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan yang biasanya dilaksanakan di Cibogo sehingga dikenal dengan sebutan “pertemuan Cibogo”. Selain itu dikenal pula forum Mahkamah Agung, Kehakiman, Kejaksaan, dan Kepolisian (Mahkejapol).

Pertemuan maupun forum ini sangat tepat dijadikan sebagai wadah pertemuan komunikasi dan koordinasi sekaligus evaluasi antara aparat penegak hukum pidana dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Pengawasan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan kewenangan tetap berada dalam kekuasaan penegak hukum secara vertikal. Oleh karenanya, atasan sebagai


(13)

pimpinan dari masing-masing unsur harus mengamati semua kegiatan yang diperankan oleh aparat bawahannya secara intensif.

Berikut adalah mekanisme penegakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan yang diuraikan secara umum sebagai berikut.

A. Kepolisian

Peredaran kejahatan pemalsuan uang dari tahun ke tahun selalu meningkat, terlebih dipergunakan sebagai transaksi untuk pembelian narkoba, serta beredarnya uang palsu di daerah-daerah konflik.50

a. Menerima pengaduan, menangkap orang, menahan orang (Pasal 13); Sebagai upaya penanggulangan kejahatan pemalsuan ini pihak kepolisian (dalam hal ini Poltabes Medan dan Sekitarnya) melakukan berbagai upaya melalui antisipasi dan strategi dengan melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kejahatan pemalsuan mata uang rupiah di kota Medan.

Polisi sebagai instansi pertama yang terlibat dalam mekanisme sistem peradilan pidana Indonesia, dalam menjalankan tugasnya berpedoman pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, yang mempunyai tugas dan wewenang, antara lain:

b. Polisi juga ikut serta secara fisik di dalam pertahanan negara (Pasal 18).

50


(14)

Sedangkan menurut Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara pidana, Polisi mempunyai wewenang dan dinyatakan sebagai:

a. Penyelidik (Pasal 4); b. Penyidik (Pasal 6);

c. Polisi diharuskan membuat Berita Acara Pemeriksaan (Pasal 75); d. Polisi mempunyai diskresi untuk menghentikan Penyidikan (Pasal 109); e. Polisi mempunyai wewenang untuk menentukan (men-stir) tindak pidana

apa yang dilakukan oleh tersangka (Pasal 121).

Oleh karena itu dapat dikatakan yang paling berat tugas dan tanggung jawabnya di antara alat penegak hukum, ialah Polisi. Polisi-lah yang pertama-tama yang harus melakukan segala daya upaya yang bersifat preventif yaitu menghindarkan terjadinya gangguan keamanan, termasuk terhadap kejahatan pemalsuan uang kertas rupiah dan pengedarannya. Polisi harus selalu siap siaga siang dan malam. Dalam tugasnya itu Polisi dianggap mempunyai indera keenam untuk mampu mencium adanya kejahatan uang palsu. Melalui indera keenam itulah Polisi diharapkan dapat dan mampu menghindarkan hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya kejahatan uang palsu yang sama-sama tidak dikehendaki.

Melihat kenyataan di atas, tugas kepolisian amat luas dan resikonya amat besar karena berhadapan dengan para penjahat. Begitu banyak kejahatan uang palsu yang tidak dilaporkan dengan demikian masih lebih banyak penjahat dibandingkan dengan yang diadili. Sehubungan dengan itu dirasakan adanya kekurangan personil dari Polisi dan untuk itu perlu banyak spesialisasi. Polisi saat melaksanakan tugas/fungsi sebagai aparat keamanan dan ketertiban maupun


(15)

sebagai penyelidik/penyidik kerapkali melakukan salah kira terhadap pelaku yang dicurigai. Hal ini akan menyulitkan apabila sampai pada acar pemeriksaan sampai pembuatan Berita Acara Pemeriksaan. Oleh karenanya tidak tertutup kemungkinan Berita Acara Pemeriksaan itu ditolak oleh Jaksa karena tidak lengkapnya bukti-bukti yang dapat membuktikan bahwa tersangka adalah pemalsu uang ataupun pengedarnya. Polisi sebagai penjaga gawang dalam arti apa yang harus diteruskan untuk penuntutan banyak diperhadapkan pada masalah-masalah administratif, padahal Polisi itu sebagai salah satu penegak hukum harus aktif

melindungi masyarakat dari terjadinya pelanggaran-pelanggaran.

Polisi juga mempunyai diskresi dalam menerapkan mandat yang diberikan. Polisi juga diberikan tugas utama, yaitu membuat keputusan ondespoot

(di tempat). Keputusan pada saat itu mengakibatkan sesuatu yang sangat penting, yaitu bagaimana hukum itu diterapkan (khususnya pengakuan terhadap hak-hak asasi tersangka).

Peranan pihak Kepolisian dalam pemberantasan uang palsu antara lain:51

a. Melakukan penangkapan terhadap pengedar serta mengajukan Berkas Perkara kepada Jaksa Penuntut Umum.

(Wawancara dengan Aipda Jikri Sinurat)

b. Melakukan penangkapan terhadap orang yang memalsukan atau orang yang mencetak sendiri uang palsu tersebut serta mengedarkannya. (Info diambil dari pengalaman yang tertangkap terlebih dahulu).

51 Ibid.


(16)

c. Melakukan penyitaan barang bukti berupa uang yang diduga palsu beserta alat-alat yang dipergunakan untuk membuat uang tersebut.

Peran Polisi sangat penting sebagai pihak yang pertama kali mengambil tindakan apabila terjadinya pemalsuan uang.

A.1. Penyelidikan dan Penyidikan terhadap Kejahatan Pemalsuan Mata Uang

a. Penyelidikan

Dibandingkan dengan HIR/RBg, maka dalam hal penyelidikan dan penyidikan KUHAP telah mengadakan perincian secara jelas tentang hal-hal yang berhubungan dengan penyelidikan dan penyidikan.

Pengaturan secara rinci tentang hal-hal yang berhubungan dengan penyelidikan dan penyidikan itu, yaitu dimulai dari pengertian penyelidikan dan penyidikan, para pejabat penyelidik dan pejabat penyidik, fungsi dan wewenang pejabat penyelidik dan pejabat penyidik serta tata cara pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan.

Penyelidik

Secara umum dapat dirumuskan bahwa penyelidik adalah orang yang melakukan penyelidikan atau dengan kata lain penyelidik adalah orang yang menyelidiki sesuatu peristiwa atau kejadian guna mendapatkan kejelasan tentang peristiwa atau kejadian itu. Untuk menggambarkan pengertian tentang


(17)

penyelidikan itu A. Hamzah mengemukakan bahwa ; “… penyelidikan berasal dari kata sidik yang mendapatkan sisipan el, menjadi selidik. Artinya sama dengan sidik, hanya diperkeras pengertiannya, banyak menyelidik”52

a. Dalam pasal 1 angka 4 KUHAP, dirumuskan bahwa penyelidik adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.

Pejabat Polri Sebagai Pejabat Penyelidik (dalam kejahatan uang palsu):

b. Dalam pasal 1 angka 5 ditegaskan pula bahwa yang dimaksudkan dengan penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Dari perumusan pasal 1 angka 4 dan pasal 1 angka 5 KUHAP di atas, dapat ditarik pengertian bahwa setiap pejabat kepolisian negara Republik Indonesia itu adalah pejabat yang berstatus sebagai pejabat penyelidik dan berwenang melaksanakan penyelidikan.

Bermula dari pengertian penyelidikan sebagaimana digariskan pada pasal 1 angka 5 KUHAP tersebut, maka dapat dikatakan bahwa penyelidikan adalah tindakan yang dilakukan oleh pejabat penyelidik dalam rangka mempersiapkan suatu penyelidikan terhadap suatu tindak pidana.

52

Harun M. Husein, S.H., Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hlm. 54.


(18)

Oleh karena itulah M. Yahya Harahap mengatakan bahwa penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan penyidikan. Akan tetapi harus diingat, penyelidik (penyelidikan, penulis) bukanlah suatu tindak atau fungsi yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan.

Karena penyelidikan itu merupakan tahap persiapan atau permulaan dari penyidikan, Soesilo Yuwono mengatakan bahwa lembaga penyelidikan di sini mempunyai fungsi sebagai “penyaring”, apakah suatu peristiwa dapat dilakukan penyidikan ataukah tidak. Sehingga kekeliruan pada tindakan penyidikan yang sudah bersifat upaya paksa terhadap seseorang, dapat dihindarkan sedini mungkin.53

Penyelidikan sebagai sub sistem daripada penyidikan, memegang peranan penting dan sangat menentukan bagi keberhasilan penyidikan. Oleh karena itu meskipun penyelidikan itu adalah wewenang dari setiap anggota Polri, tetapi dalam pelaksanaannya seyogianya dilakukan di bawah pimpinan pejabat

Dalam pedoman pelaksanaan KUHAP, diberikan penjelasan yang berhubungan dengan penyelidikan sebagai berikut : Penyelidikan bukanlah fungsi yang berdiri sendiri, terpisah dari fungsi penyidikan, melainkan hanya merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum.

53


(19)

penyidik. Dengan mekanisme kerja demikian diharapkan penyelidikan sejak dini telah menghasilkan gambaran tentang peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana dan kesimpulan bahwa suatu peristiwa benar-benar merupakan tindak pidana serta terhadap tindak pidana itu dapat dilakukan penyidikan.

Dengan adanya keikutsertaan pejabat penyelidik dalam pelaksanaan tugas penyelidikan itu, penyidikan yang akan dilakukan nantinya akan lebih mudah, karena sejak dini pejabat penyidik telah memperoleh gambaran tentang tindak pidana yang akan disidik itu.54

3. Tertangkap tangan, yaitu tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya atau apabila sesaat kemudian padanya Untuk mengetahui ada dugaan telah terjadi suatu peristiwa tindak pidana yaitu melalui:

1. Laporan, yaitu pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan, terjadinya peristiwa pidana (Pasal 1 butir 24 KUHAP).

2. Pengaduan, yaitu pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikan (Pasal 1 butir 25 KUHAP).

54


(20)

ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu (Pasal 1 butir 19). 4. Media Massa, di mana aparat penegak hukum dapat mengetahui terjadinya

tindak pidana melalui media massa misalnya TV, surat kabar, majalah dan lain-lain. Informasi yang diberikan melalui media massa dapat menjadi informasi bagi aparat penegak hukum terutama penyelidik dan penyidik untuk melakukan tindakan-tindakan apabila dari informasi tersebut diduga telah terjadi suatu tindak pidana.

Kewenangan Penyelidik

Dalam melaksanakan penyelidikan, penyelidik mempunyai kewajiban dan kewenangan. Penyelidik karena kewajibannya memiliki kewenangan antara lain sebagai berikut (Pasal 5 KUHAP):

1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;

2. Mencari keterangan dan barang bukti;

3. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Di samping itu, atas perintah penyidik, penyelidik dapat melakukan tindakan berupa:


(21)

1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan;

2. Pemeriksaan dan penyitaan surat;

3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

4. Membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik.

Penyelidikan merupakan tindakan tahap permulaan penyidikan. Akan tetapi, penyelidikan bukan merupakan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak terpisah dari fungsi penyidikan. Adapun pihak yang berwenang untuk melakukan penyelidikan adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia (Pasal 4 KUHAP).

b. Penyidikan

Apabila tahap penyelidikan telah dilalui dan dapat ditentukan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana maka dilanjutkan dengan tahap penyidikan.

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 butir 2 KUHAP).

Penyidik

Yang termasuk sebagai penyidik adalah (Pasal 6 KUHAP): 1. Pejabat polisi negara Republik Indonesia;

2. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.


(22)

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983, syarat kepangkatan penyidik adalah sebagai berikut:

a. Pejabat polisi RI tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan II Polisi (sekarang AIPDA/Ajun Inspektur Polisi Dua);

b. Pejabat PNS tertentu yang sekurang-kurangnya Pengatur Mda Tk.I Gol.II B atau yang disamakan dengan itu.

Pembuktian

Dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan, kepolisian berupaya untuk mengumpulkan barang bukti dan alat-alat bukti yang berkaitan guna menghukum pelaku sebenarnya.Alat-alat bukt i menurut KUHAP pasal 184 ayat (1) yaitu:

a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa

Kemudian, dalam melaksanakan tugasnya pula kepolisian membutuhkan bantuan teknis, antara lain :

a. Identifikasi

b. Laboratorium forensik c. Psikologi


(23)

Hal yang paling penting pula dalam upaya pemberantasak kejahatan pemalsuan mata uang rupiah ini pula ialah adanya koordinasi antara para penegak hukum dan juga dengan instansi-instansi terkait lainnya. Koordinasi tersebut yaitu antara:

a. Penegak hukum b. Interpol

c. Instansi perbankan d. BOTASUPAL55

Adapun proses penyelidikan yang dilakukan oleh POLRI atau Kepolisian dalam pekara kejahatan pemalsuan uang yaitu di mana pihak Kepolisian menerima pengaduan dari masyarakat atau tertangkap tangan memiliki, menyimpan, menguasai, atau mengedarkan uang palsu sehingga orang tersebut dapat dilakukan penyelidikan atas ditemukannya uang palsu tersebut.

Sedangkan proses penyelidikannya adalah di mana seseorang yang sudah tertangkap tangan memiliki uang palsu sehingga dapat diproses sesuai dengan ketentuan perundang-undangan atau pasal yang dipersangkakan. Sehingga perkara tersebut dapat diajukan kepada Jaksa Penuntut Umum.

Koordinasi dengan instansi-instansi terkait lainnya

Agar penanggulangan kejahatan pemalsuan uang dapat dilakukan semaksimal mungkin, sangat dibutuhkan adanya kerjasama yang erat antara para

55


(24)

penegakan hukum dan instansi terkait lainnya. Dalam hal ini akan dibahas mengenai koodinasi antara Kepolisian, Bank Indonesia, Botasupal serta tidak lepas pula peran masyarakat yang sangat penting.

Berikut ini merupakan wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan Bapak Novaryos, salah seorang dari staf pada Unit Kas Bank Indonesia Medan terkait dengan peran Bank Indonesia (dalam hal ini Bank Indonesia Medan) dalam rangka penanggulangan kejahatan pemalsuan uang di kota Medan sebagai berikut:56

1. Upaya yang dapat dilakukan oleh BI dalam rangka pemberantasan kejahatan pemalsuan uang adalah upaya perventif (pencegahan). Upaya preventif ini dilakukan dalam bentuk sosialisasi kepada 3 (tiga) golongan, yaitu:

- Golongan I ialah perbankan;

- Golongan II terdiri dari masyarakat, pedagang, toko, dan sebagainya;

- Golongan III ialah mahasiswa dan pelajar.

Bank Indonesia memberikan sosialisasi mengenai ciri-ciri uang asli (bukan ciri-ciri uang palsu) serta tindakan apa yang harus dilakukan apabila menemukan uang yang diduga palsu. Dalam sosialisasi tersebut ikut pula disampaikan oleh BI tentang bagaimana prosedur dalam melaporkan uang yang diduga palsu tersebut dan keadaan-keadaan atau

56


(25)

sanksi yang akan diterima apabila tidak dilaporkan mengenai uang yang diduga palsu itu.

Yang menjadi keburukan dari adanya uang palsu di negara kita ialah adanya beberapa kondisi yang pada akhirnya tetap membuat si pelapor merugi dengan memiliki uang palsu tersebut, di mana:

- Apabila uang tersebut dijalankan olehnya (diberikan kepada orang lain tanpa memberitahu bahwa uang tersebut palsu) karena ia tidak mau merugi sementara diketahuinya uang yang diterimanya itu palsu, ia dapat dituduh sebagai pengedar dan diancam dengan pidana karena melakukan kejahatan pengedaran uang palsu;

- Apabila uang tersebut disimpan/ditahan/tidak dijalankan karena ia takut disebut sebagai pengedar, ia merugi;

- Apabila dilaporkan, ia juga merugi sebab tidak ada uang pengganti atas uang palsu.

Hal-hal tersebut di atas inilah yang menjadi dilematis karena lemahnya kondisi yang ditimbulkan akibat dari kejahatan pemalsuan uang di Indonesia. Seperti halnya pribahasa seperti makan buah simalakama, dimakan mati ayah tak dimakan mati ibu. Di mana tindakan apapun yang dilakukan oleh pemegang uang palsu akan membuatnya merugi. Oleh karenanya sangat diperlukan kejelian dari setiap orang apabila menerima uang dari siapapun.57

57 Ibid.

Namun, upaya yang terbaik apabila seseorang menemukan uang yang diduga uang palsu ialah melaporkannya kepada


(26)

pihak yang berwajib (pihak Kepolisian) untuk dapat dilakukannya proses hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Adapun koordinasi yang dilakukan oleh pihak Kepolisian Poltabes MS dengan Bank Indonesia Medan salah satunya yaitu uang yang diduga palsu yang ditemukan oleh pihak Kepolisian diserahkan kepada Bank Indonesia Medan untuk dapat menentukan apakah uang itu palsu atau tidak serta menyertakan kertas dan peralatan lainnya yang digunakan mencetak uang yang ditemukan.58

Peran yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka pemberantasan kejahatan pemalsuan uang ini hanya dalam hal preventif (pencegahan sebelum kejahatan ini terjadi) yang niat dan tindakannya berasal dari BI lansung. Sedangkan upaya represifnya (penanggulangan Laporan kepada pihak Kepolisian atas ditemukannya uang palsu sangat memegang peranan penting dalam upaya pemberantasan kejahatan pemalsuan uang. Dengan adanya laporan serta adanya bukti permulaan yang cukup maka tindakan penyelidikan dapat dilakukan guna menemukan pelakunya. Dengan adanya laporan tersebut juga diharapkan dapat mengungkap kasus-kasus pemalsuan uang lainnya yang ditemukan sebelumnya yang pelakunya belum diketahui. Dengan kata lain, laporan tersebut akan mempermudah penyidikan atas penyelidikan kasus yang belum ditemukan pelakunya atau jaringan/organisasi pemalsu uang tersebut.

58


(27)

setelah kejahatan ini terjadi) merupakan peran dari para penegak hukum, tidak termasuk BI.

Mengenai kerjasama antara pihak Kepolisian dengan BI yaitu apabila pihak BI Medan menemukan uang palsu karena penukaran uang lama dengan uang baru ataupun penukaran uang pecahan rupiah, maka pihak BI segera melaporkan hal tersebut ke Polda Sumut (Kepolisian Daerah Sumatera Utara)untuk kemudian pihak Polda menurunkan Surat Perintah untuk dilakukannya penyelidikan atas temuan uang palsu tersebut. Kepala Polda kemudian memberikan perintah kepada bagian Reserse untuk melakukan penyelidikan atau penyidikan. Dengan dimulainya tindakan penyelidikan atau penyidikan tersebut, pihak Polda kemudian membutuhkan pernyataan dari BI bahwa uang yang diduga palsu tersebut benar-benar palsu untuk kemudian dapat dilakukan tindakan penyelidikan atau penyidikan berikutnya, antara lain meminta keterangan pelapor, saksi, atau korban uang palsu tersebut. Dari hasil penyelidikan kemudian pihak Polda meetapkan tersangkanya. Setelah menetapkan tersangka dan menyelesaikan Berkas Hasil Perkara kemudian pihak Kepolisian melimpahkan kasus tersebut kepada Jaksa Penuntut Umum. Jaksa Penuntut Umum lalu memeriksa Berkas Hasil Perkara pamalsuan uang tersebut apakah sudah lengkap atau belum untuk dilimpahkan ke pengadilan. Apabila belum lengkap maka Berkas Hasil Perkara tersebut dikembalikan kepada pihak Kepolisian atai Penyidik untuk dilengkapi disertai penjelasan tentang hal-hal yang perlu dilengkapi oleh penyidik.


(28)

Setelah lengkap Jaksa Penuntut Umum kemudian melimpahkan kasus tersebut ke pengadilan untuk proses pemeriksaan selanjutnya.

Kalaupun dalam hal penyelidikan di mana BI setelah dimintakan oleh pihak Kepolisian memberikan pernyataan bahwa uang yang diduga palsu itu memang benar-benar palsu dan diberi tanda oleh BI sebagai uang palsu dan juga dalam hal pembuktian yaitu setelah dimintakan oleh Kepolisian atau Jaksa Penuntut Umum untuk menjadi saksi ahli di pengadilan, maka kedua hal tersebut bukanlah upaya yang dilakukan atas inisiatif BI karena kondisinya BI dimintakan bukan atas niatnya sendiri melakukan tindakan dalam hal penyelidikan maupun pembuktian tersebut. Tanpa adanya permintaan dari pihak Kepolisian, BI tidak dapat bertindak sendiri. Sehingga tindakan tersebut bukan termasuk upaya represif.

Meskipun demikian peranan dari pihak BI namun belum ada unit khusus di BI yang menangani apabila ditemukannya uang palsu pada BI. Namun, bagian di BI yang berhak menjadi saksi ahli serta dalam hal pmberitahuan kepada pihak Kepolisian (Polda) adalah bagian Kas BI. Di mana apabila datang permintaan dari pihak Kepolisian untuk menyatakan bahwa uang yang dilaporkan itu memang palsu, maka pihak BI yaitu pimpinan bagian Kas BI kemudian menunjuk siapa yang akan menjadi saksi ahli dalam kasus pemalsuan uang tersebut dilihat dari kemampuan yang dimiliki.

Peran BI dalam pemberantasan kejahatan pemalsuan mata uang rupiah kaitannya dengan penegakan hukum ialah membantu pihak


(29)

Kepolisian dalam penyelidikan ataupun penyidikan dan membantu pihak Kejaksaan atau pengadilan dalam hal memberikan keterangan sebagai saksi ahli dalam pemeriksaan atau pembuktian di pengadilan dalam kasus kejahatan pemalsuan uang. Sebab tanpa dukungan atau bantuan dari pihak BI, pihak Kepolisian akan kesulitan dalam melakukan penyelidikan ataupun penyidikan mengingat sangat pentingnya peran BI tersebut serta mengingat jumlah kasus uang palsu yang ditemukan di BI jauh lebih banyak dibandingkan dengan kasus pemalsuan uang yang diperoleh dari laporan pada pihak Kepolisian (data terlampir).

Sedangkan koordinasi antara pihak Kepolisian dengan Botasupal (Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu) antara lain dengan Botasupal mengirimkan surat bahwasanya telah ditemukannya uang palsu beserta keterangan, kemudian pihak Botasupal akan datang secara langsung ke Poltabes MS untuk melihat uang palsu tersebut serta keterangan tentang bagaimana cara ditemukannya uang palsu oleh pihak Kepolisian itu. Terhadap segala pemeriksaan uang palsu maupun informasi lainnya pihak Kepolisian membuat Berita Acara atas ditemukannya uang palsu tersebut.

Oleh karenanya kedua belah pihak ini (Kepolisian dan BI) harus mengeratkan koordinasinya dalam rangka pemberantasan kejahatan pemalsuan uang. Kepolisian sebagai pengambil tindakan pertama diusutnya suatu kasus pemalsuan uang dan BI sebagai penentu apakah uang yang diduga palsu tersebut itu benar palsu atau tidak. Meskipun yang termasuk dalam penegakan hukum


(30)

adalah aparat Kepolisian, namun peran BI tersebut di atas sangat memegang peranan penting. Kepolisian dan BI dapat dikatakan sebagai pintu pembuka dilakukannya penegakan hukum terhadap kejahatan pemalsuan mata uang (penulis), serta dilanjutkan dengan kekuasaan kehakiman serta diakhiri dengan pengambilan keputusan oleh hakim (penjatuhan hukuman).

Diharapkan terciptanya suatu penyamaan persepsi dan pandangan antara Bank Indonesia selaku bank sentral dengan aparat penegak hukum serta masyarakat luas dalam menangani kejahatan pemalsuan mata uang rupiah.

Berikut ini adalah hal-hal yang harus dilakukan bila menerima uang yang diragukan keasliannya, yaitu:59

1. Masyarakat umum agar melaporkan uang yang diragukan keasliannya tersebut kepada Bank Indonesia, bank umum atau pihak Kepolisian.

2. Bank umum agar melakukan hal-hal sebagai berikut:

a) Menahan uang yang diragukan keasliannya tersebut dan tidak

menggantinya.

b) Tidak boleh merusak fisik uang. c) Mencatat identitas pelapor/penyetor. d) Membuat laporan ke Bank Indonesia.

59


(31)

Kemudian BI memberikan pula bagaimana masyarakat seharusnya memperlakukan uang, sebagai berikut:

1. Simpanlah uang secara benar pada tempatnya.

2. Hindari perusakan fisik dari coret-coretan, staples, selotip, peremasan dan sebagainya.

3. Tukarkan uang lusuh, rusak, terbakar dan cacat ke Bank.

Disebutkan pula mengenai sanksi pidana terhadap perbuatan memalsukan uang, yaitu sebagai berikut:

Setiap orang yang sengaja meniru atau memalsukan uang rupiah yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh orang lain mengedarkan, dan setiap orang yang membuat benda semacam uang rupiah yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 244 KUHP atau pasal IX Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946.

Kejahatan pemalsuan uang berdampak luas dan strategis serta mengganggu stabilitas perekonomian dan kepercayaan masyarakat terhadap uang dan pembangunan. Oleh karenanya dalam rangka penanggulangan kejahatan pemalsuan mata uang rupiah ini sangat diperlukan peran dari para penegak hukum untuk melaksanakan tugasnya semaksimal mungkin, terutama pihak kepolisian selaku pihak yang mengambil tindakan pertama apabila terjadi kejahatan pemalsuan uang. Namun tindakan yang dilakukan oleh pihak


(32)

kepolisian ini pun sangat membutuhkan bantuan dari pihak lain seperti Bank Indonesia dan Botasupal.

2. Kemudian mengenai kerjasama antara pihak BI dengan pihak Botasupal (Badan Pemberantasan Uang Palsu) yaitu dalam hal saling memberikan informasi apabila mengetahui adanya hal-hal atau informasi bahwa telah ditemukannya uang yang diduga palsu ataupun tempat tertentu yang dicurigai menjadi dilakukannya praktek pembuatan uang palsu. Botasupal yang terdiri dari BIN (Badan Intelegensi Nasional), Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, sama halnya dengan BI yaitu berperan dalam hal melakukan upata preventif dalam rangka pemberantasan kejahatan pemalsuan uang, yaitu dengan memberikan informasi atau pemberitahuan kepada pihak yang berwajib (pihak Kepolisian) apabila mengetahui tentang adanya uang palsu. Demikian halnya Botasupal dengan Kepolisian, sama seperti dengan pihak BI, yaitu dalam hal pemberian informasi tentang terjadinya kejahatan pemalsuan uang..

Kemudian ada pula upaya dari Botasupal agar setiap printer

berwarna pembelinya didaftar dan diberi tanda berupa sticker khusus yang antara lain memuat identitas kode printer, nama pemilik dan wilayah printer tersebut digunakan. Hal ini dilakukan untuk semakin mempersempit ruang lingkup dalam menemukan pelaku pembuat uang palsu menggunakan printer berwarna.


(33)

BI mengharapkan masukan-masukan yang konstruktif dari berbagai kelompok masyarakat pengguna rupiah mengenai metode dan deteksi yang digunakan dalam mengenali keaslian uang rupiah. Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh BI adalah mengindetifikasi berbagai modus kejahatan terhadap penggunaan uang rupiah dan upaya-upaya preventif dan represif dalam penanggulangan pemalsuan uang rupiah. Saat ini BI pun telah dan terus melakukan berbagai upaya preventif guna menghadapi tantangan risiko uang Rupiah palsu. Berbagai tindakan yang dilakukan oleh BI dalam rangka penanggulangan pemalsuan uang antara lain :

a. Penggantian desain uang Rupiah secara berkala dengan menggunakan teknologi pengaman uang (security features) termutakhir dan terkini pada desain barunya.

b. Penyebarluasan secara aktif informasi ciri-ciri keaslian uang Rupiah melalui penayangan iklan layanan masyarakat

c. Melakukan kegiatan tatap muka dengan berbagai lapisan masyarakat dan instansi berwenang dalam rangkaian acara sosialisasi keaslian uang rupiah d. Membangun pusat database uang Rupiah Palsu yang dinamakan "Bank

Indonesia Counterfeit Analysis Center" atau BC-CAC.

Namun demikian, beberapa upaya tersebut yang dilakukan BI tidak akan optimal apabila tidak disertai dengan upaya represif dan penindakan tegas yang menjadi kewenangan aparat penegak hukum.


(34)

C. Kejaksaan

Tugas pokok Jaksa menurut Pasal 27 Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI adalah mengadakan penuntutan dalam perkara pidana dan melaksanakan penetapan Hakim. Di samping itu, apabila dianggap perlu Jaksa mengadakan penyelidikan tambahan. Dalam kejahatan uang palsu, Jaksa sebagai Penuntut Umum, ditugaskan merumuskan perkara yang diterima kepolisian sebagai penyidik untuk mendapat penyelesaian menurut hukum.

Menurut Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dinyatakan bahwa Jaksa juga sebagai Penuntut Umum (Pasal 13) dengan wewenang (Pasal 14) antara lain: menerima dan memeriksa berkas perkara, membuat surat dakwaan, melimpahkan perkara ke Pengadilan, memberi perpanjangan penahanan, melakukan penahanan. Asas yang paling fundamental dalam proses peradilan pidana yaitu keharusan membuat surat dakwaan. Apabila tidak jelas, maka akan memperngaruhi penilaian Hakim sehingga tidak dapat diterima.

Bagi Hakim, surat dakwaan harus dapat dijadikan pedoman dari putusan yang akan diambilnya tentang terbukti atau tidaknya kesalahan terdakwa melakukan kejahatan uang palsu, terutama mengenai segala sesuatu yang dimuat dalam surat dakwaan dengan apa yang dinyatakan telah terbukti dalam persidangan. Jadi, baik pengakuan maupun putusan Hakim keseluruhannya bersumber pada surat dakwaan yang diajukan Jaksa di awal persidangan mengenai terdakwa terbukti telah melakukan kejahatan uang palsu. Hakim didorong untuk memahami, meneliti, memeriksa dan menguji kebenaran dari surat dakwaan itu


(35)

yang kemudian melahirkan suatu kesimpulan tentang apakah si terdakwa bersalah atau tidak melakukan kejahatan uang palsu dan atau dihukum ataukah dibebaskan. Surat dakwaan yang tidak lengkap akan menghambat proses peradilan dan berakibat tertundanya penyelesaian perkara. Wewenang Penuntut Umum memperpanjang masa penahanan, menjadi kendala di dalam perjalanan penegakan hukum pidana. Di samping itu juga Penuntut Umum berhak mengembalikan berkas perkara kepada penyidik untuk dilengkapi (Pasal 110 Undang-Undang No.8 Tahun 1981). Kewenangan seperti ini tentunya memberikan kegelisahan bagi tersangka akan kepastian hukum kapan perkaranya disidangkan. Dalam Pasal 144 KUHAP, Jaksa dapat mengubah surat dakwaan sebelum persidangan dengan alasan penyempurnaan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya dalam batas waktu tujuh hari. Pasal ini memberikan kemungkinan memperlambat persidangan bahkan penyalahgunaan wewenang hingga menimbulkan penyimpangan hukum.

Penuntutan terhadap Kejahatan Pemalsuan Mata Uang Pasal 1 butir 6 KUHAP mengatur:

a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta “melaksanakan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap”.

b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.


(36)

Surat Dakwaan

Pengertian umum surat dakwaan dalam praktek penegakan hukum yakni, berupa surat akte yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa, perumusan mana ditarik dan disimpulkan dari hasil pemeriksaan dan penyidikan dihubungkan dengan unsur delik pasal tindak pidana yang dilanggar (dalam hal ini kejahatan pemalsuan uang) dan didakwakan kepada terdakwa dan surat dakwaan ini menjadi dasar pemeriksaan bagi hakim di sidang pengadilan.

Dari rumusan tersebut, terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan, yaitu:

1. Perumusan surat dakwaan harus konsisten dan sinkron dengan hasil pemeriksaan penyidikan.

Artinya, rumusan surat dakwaan itu harus benar-benar seiring dan sejalan dengan hasil pemeriksaan penyidikan. Jika menyimpang dari hasil penyidikan maka merupakan surat dakwaan yang palsu dan tidak benar.

Misalnya: Pasal 244 (Pemalsuan uang)

Apabila terdakwa/penasehat hukumnya menjumpai rumusan surat dakwaan yang jauh menyimpang dari hasil penyidikan maka ia berhak mengajukan keberatan (eksepsi) terhadap dakwaan tersebut. Demikian pula apabila hakim menjumpai rumusan surat dakwaan yang menyimpang dari hasil penyidikan maka hakim dapat menyatakan surat dakwaan tersebut tidak dapat diterima dengan alsan bahwa isi rumusan surat dakwaan kabur (obscuur libel). Menyimpang atau tidaknya rumusan surat dakwaan tersebut dapat diketahui


(37)

hakim dengan jalan menguji rumusan surat dakwaan dengan hasil pemeriksaan penyidikan.

2. Surat dakwaan merupakan landasan pemeriksaan di sidang pengadilan.

Surat dakwaan di dalam pemeriksaan sidang pengadilan adalah berfungsi sebagai landasan dan titik tolak pemeriksaan terdakwa. Berdasarkan rumusan surat dakwaan dibuktikan kesalahan terdakwa.

Misalnya: Tuduhan pemalsuan uang dengan mempergunakan peralatan printer warna untuk mencetaknya namun belum sempat diedarkannya, maka batas-batas itulah pemeriksaan dalam sidang pengadilan. Namun, sering terjadi di dalam praktek hakim kurang menyadari fungsi dari surat dakwaan sebagai landasan pemeriksaan.60

Kejaksaan Republik Indonesia yang merupakan salah satu komponen Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 diberi kedudukan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Kedudukan Kejaksaan dalam Sistem Peradilan Pidana

B.1. Kewenangan Kejaksaan RI di bidang Penuntutan

Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga dengan demikian maka penegakan hukum dan keadilan merupakan salah satu syarat mutlak dalam pencapaian tujuan nasional.

60

Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum, “Bahan Perkuliahan Hukum Acara Pidana”, 2008, hlm.41-42.


(38)

Pasal 13 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menentukan bahwa Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim, sedangkan Pasal 15 KUHAP menentukan bahwa Penuntut Umum menuntut perkara tindak pidana yang terjadi dalam daerah hukumnya menurut ketentuan undang-undang.

Kewenangan penuntutan tidak dapat dilepaskan dari upaya penegakan hukum secara keseluruhan. Tujuan penegakan hukum antara lain adalah untuk menjamin terciptanya kepastian hukum. Kepastian hukum dimaksudkan tidak hanya dikaitkan dengan adanya dasar hukum yang jelas dalam menjatuhkan pidana terhadap seorang pelaku pidana, melainkan juga meliputi peraturan hukum yang mengatur seluruh proses penanganan perkaranya. Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya Penuntut Umum senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya. Setiap tindakan Penuntut Umum baik pada tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun uapaya hukum, eksekusi dan eksaminasi harus selalu berpegang kepada aturan (rule of law) dan mencerminkan tertib administrasi serta adanya keterpaduan dan keserasian antar aparat penegak hukum khususnya dalam sistem peradilan pidana yang dikenal dengan integrated criminal justice system. Kerja sama antar aparat hukum dimaksudkan untuk memperlancar upaya penegakan hukum sesuai dengan asas


(39)

cepat, sedrhana dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak dalam penyelesaian perkara.

B.2. Kewenangan Penuntutan terhadap Kejahatan Pemalsuan Mata Uang Tindak pidana pemalsuan dan mata uang bukanlah tindak pidana yang dikategorikan sebagai tindak pidana khusus. Oleh karena itu, maka penyidikannya dilakukan oleh penyidik kepolisian dan Kejaksaan tidak dapat melakukan penyidikan terhadap kejahatan mata uang. Dengan kata lai, Kejaksaan bersifat menunggu penyerahan berkas perkara hasil penyidikan yang dilakukan oleh penyidik POLRI dalam kasus kejahatan pemalsuan mata uang.

Kegiatan Penuntutan oleh Penuntut Umum adalah meliputi tahap prapenuntutan dan tahap penuntutan.

Pada tahap pra penuntutan, setelah hasil penyidikan selesai maka berkas perkara diserahkan kepada Kejaksaan untuk diteliti dan apabila masih terdapat kekurangan-kekurangan baik mengenai kelengkapan formal maupun materil Jaksa Penuntut Umum mengembalikan serta memberikan petunjuk untuk melengkapi berkas perkara tersebut. Setelah berkas perkara lengkap maka berkas perkara beserta tersangka dan barang bukti (apabila ada) diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk kemudian Jaksa Penuntut Umum membuat dakwaan dan melimpahkan berkas perkara ke pengadilan.

Pada tahap penuntutan, Jaksa Penuntut Umum sangat berperan dalam membuktikan apakah terdakwa bersalah atau tidak. Pemeriksaan di depan persidangan dilakukan berdasarkan dakwaan yang yang dibuat oleh Jaksa


(40)

Penuntut Umum dan Jaksa Penuntut Umum bertanggung jawab untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Putusan hakim juga dijatuhkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum yang didasarkan kepada fakta-fakta persidangan, analisa yuridis tentang terbuktinya kesalahan terdakwa dan tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum.

Berdasarkan kebijakan pimpinan di lingkungan Kejaksaan RI maka kejahatan terhadap pemalsuan mata uang dalam proses penanganan perkara oleh Kejaksaan digolongkan ke dalam jenis Perkara Penting (PK-Ting). Hal ini berarti setiap tingkatan proses penanganannya harus mendapat perhatian yang lebih sungguh dan senantiasa dilaporkan kepada pimpinan Kejaksaan secara berjenjang untuk dapat dipantau dan dikendalikan serta dibina agar senantiasa berjalan di atas ketentuan undang-undang (rule of law) dan memenuhi syarat-syarat yuridis, teknis, dan administratif, dengan senantiasa memperhatikan nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat.

Mengingat bentuk kejahatan yang terjadi serta menimbang hal-hal yang memberatkan dan meringankan pada masing-masing perkara pemalsuan uang yang terjadi di Medan, maka menurut data yang ada tuntutan pidana yang diajukan terhadap para pelaku pengedar uang palsu yang didakwa dan dituntut berdasarkan Pasal 245 KUHP di Medan paling tinggi adalah selama 8 (delapan) tahun penjara. Tuntutan ini mungkin bias dianggap jauh lebih rendah daripada ancaman maksimal 15 (lima belas) tahun penjara. Namun, jika dilihat secara seksama berdasarkan fakta-fakta ynag terungkap di depan persidangan, para terdakwa yang diajukan ke depan persidangan adalah orang yang dibujuk


(41)

dengan pemberian atau gaji-gaji tertentu untuk mengedarkan uang palsu dengan motif kebutuhan ekonominya sehari-hari, sedangkan orang yang membuat uang palsu ataupun intellectual actor dalam kasus ini tidak perna terungkap atau tertangkap. Dengan demikian, Kejaksaan menganggap tuntutan pidana dan putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim kepada Terdakwa telah tepat dan memenuhi rasa keadilan.61

Tuntutan terhadap kasus pidana pemalsuan uang dinilai tidak seragam. Menurut Bank Indonesia, hukuman terhadap pelaku kasus pemalsuan uang bisa optimal dan menimbulkan efek jera.

Apabila penuntut umum menilai bahwa berkas perkara telah lengkap, maka penuntut umum kemudian akan membuat surat dakwaan dan dilanjutkan ke tahap penuntutan.

Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan (Pasal 1 butir 7 KUHAP). Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim (Pasal 13 KUHAP).

62

61

Gortap Marbun, 2006, “Penuntutan terhadap Kejahatan Mata Uang, dalam rangka Seminar Kejahatan Terhadap Mata Uang dan Penegakan HUkumnya di Wilayah Sumatera Utara, hal 5-6.

Hal tersebut sebagaimana disampaikan

62

Kamis, 16/04/2009 10:44 WIB, “Sanksi Pemalsuan Uang Harusnya Bikin Jera”, oleh Herdaru Purnomo – detikFinance


(42)

oleh Deputi Gubernur BI, S Budi Rochadi dalam sambutan acara Diskusi Panel "Arah Dan Strategi Kebijakan Penanggulangan Pemalsuan Rupiah" di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (16/04/2009). Menurutnya, ketidakseragaman ini terlihat dalam hal penuntutan oleh pihak kejaksaan maupun pemidanaan yang dijatuhkan oleh para hakim. Di mana dalam beberapa kasus tindak pidana uang palsu, terdapat tuntutan pidana dan pemidanaan yang mencapai lebih dari 5 tahun kepada para pelaku, sebagaimana diterapkan dalam wilayah kerja kejaksaan dan pengadilan negeri Cibinong. Namun pada penanganan kasus lain yang sejenis, para pelaku tindak pidana pemalsuan uang Rupiah hanya dituntut dan dijatuhi pidana penjara beberapa bulan saja. Diharapkan agar tercipta suatu penyamaan persepsi dan pandangan antara BI dengan aparat penegak hukum serta masyarakat luas mengenai bahaya dan risiko penyebaran uang rupiah palsu. Sehingga keputusan proses pidana uang palsu yang diberikan kepada pelaku tindak pidana uang Rupiah palsu benar-benar berperan optimal dan menimbulkan efek jera bagi para pelaku.

C. Pengadilan

Di negara-negara yang menerapkan rule of law, termasuk Indonesia, kebebasan Kehakiman merupakan hal yang pokok yang ditentukan di dalam undang-undang. Artinya kekuasaan Kehakiman tidak boleh dipengaruhi oleh kekuasaan lain. Apabila terdapat kerja sama antara pengadilan dengan instansi


(43)

yang lain dalam pelaksanaan sistem Peradilan Pidana, hal ini akan mengalami titik rawan, karena dalam suatu Negara Hukum dimana Kekuasaan Kehakiman tidak boleh dipengaruhi lembaga lain. Hakim harus menjaga jarak sehingga keputusan mereka tidak saja bersifat tidak memihak secara pribadi tetapi juga tidak memihak di mata masyarakat. Namun, dalam kenyatannya Hakim dalam memutuskan suatu perkara sering menimbulkan Disparitas Hukuman (Disparity of sentencingi).

Yang dimaksud dengan Disparitas Hukuman (Disparity of sentencing) dalam hal ini adalah penerapan pidana yang sama (Same offence) atau terhadap tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan (offences comparable seriousness) tanpa dasar pembenaran yang jelas.

Di dalam Hukum Pidana positif Indonesia, Hakim mempunyai kebebasan yang sangat luas untuk memilih jenis (strafsort) yang dikehendaki, sehubungan dengan sistem alternatif di dalam pengancaman pidana di dalam undang-undang. Di samping itu Hakim juga mempunyai kebebasan untuk memilih beratnya pidana (strafmaat) yang akan dijatuhkan, sebab yang ditentukan oleh KUHP hanyalah maksimumnya.

Faktor disparitas itu dapat bersumber dari hukum maupin pada diri Hakim, yang bersifat internal dan eksternal. Kedua sifat ini sulit dipisahkan karena sudah terpadu sebagai atribut seseorang yang disebut sebagai Human EquationI atau

Personality of Judge, dalam arti luas yang menyangkut pengaruh latar belakang sosial, pendidikan, agama, pengalaman, perangai dan perilaku sosial.


(44)

Pemidanaan terhadap Kejahatan Pemalsuan Mata Uang

Sebagaimana terjadi di antara para ahli filsafat, di antara ahli hukum pidana pun diskusi mengenai pemidanaan masih terus berlangsung. Disadari bahwa terdapat gap antara apa yang disebut pemidanaan dan apa yang digunakan sekarang sebagai metode untuk memaksakan kepatuhan. Perubahan dalam senimen publik, kemajuan dalam ilmu pengetahuan, adanya kesatuan polisi penuh, semuanya mendorong adaptasi metode-metode pemidanaan.

Sebagian berpandangan, pemidanaan adalah sebuah persoalan yang murni hukum (purely legal matter). J. D. Mabbot, misalnya, memandang seseorang “penjahat” sebagai seseorang yang telah melanggar hukum bukan orang jahat. Seorang yang “tidak bersalah” adalah seseorang yang belum melanggar suatu hukum, meskipun ia bisa jadi merupakan orang jahat dan telah melanggar hukum-hukum lain. Sebagai seorang retributivis, Mabbot memandang, pemidanaan merupakan akibat wajar yang disebabkan bukan dari hukum, tetapi dari pelanggaran hukum. Artinya, jahat atau tidak jahat, bila seseorang telah bersalah melanggar hukum maka orang itu harus dipidana.

Beberapa di antara para ahli hukum pidana menyadari betul persoalan pemidanaan bukanlah sekedar masalah tentang proses sederhana memidana seseorang dengan menjebloskannya ke penjara. Refleksi yang paling kecil saja, dengan mudah menunjukkan bahwa memidana sesungguhnya mencakup pola pencabutan (peniadaan), termasuk proses pengadilan itu sendiri. Oleh karena itu, kesepakatan tentang apa pemidanaan itu merupakan hal yang penting sebelum menempatkan perintah (putusan) ke berbagai aplikasi paksaan publik pada


(45)

individu, entah atas nama kesehatan, pendidikan, ataupun kesejahteraan umum.63

Ketiga, penguasa yang berwenang berhak untuk menjatuhkan pemidanaan hanya pada subyek yang telah terbukti secara sengaja melanggar hukukm atau peraturan yang berlaku dalam masyarakatnya. Unsur ketiga ini memang mengundang pertanyaan tentang “hukuman kolektif”, misalnya embargo Sedangkan Ted Honderich berpendapat, pemidanaan harus memuat 3 (tiga) unsur berikut:

Pertama, pemidanaan harus mengandung semacam kehilangan (deprivation) atau kesengsaraan (distress) yang biasanya secara wajar dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan pemidanaan. Unsur pertama pada dasarnya merupakan kerugian atau kejahatan yang diderita oleh subyek yang menjadi korban akibat dari tindakan sadar subyek lain. Secara aktual, tindakan subyek lain dianggap salah bukan saja karena mengakibatkan penderitaan bagi orang lain, tetapi juga karena melawan hukum yang berlaku secara sah.

Kedua, suatu pemidanaan harus datang dari institusi yang berwenang secara hukum. Jadi, pemidanaan tidak merupakan konsekuensi alamiah suatu tindakan, melainkan sebagai hasil keputusan pelaku-pelaku personal suatu lembaga yang berkuasa. Karenanya, pemidanaan bukan merupakan tindakan balas dendam dari korban terhadap pelanggar hukum yang mengakibatkn penderitaan.

63

Teguh Prasetyo, Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm.73-74.


(46)

ekonomi ynag dirasakan juga oleh orang-orang yang tidak bersalah. Meskipun demikian, secara umum pemidanaan dapat dirumuskan terbuka sebagai denda dirumuskan terbuka sebagai denda (penalty) yang diberikan oleh instansi yang berwenang pada pelanggar hukum atau peraturan.

Perkembangan pemikiran tentang pemidnaan juga diikuti oleh kemajuan pemikiran mengeni tujuan pemidanaan. Sejarah pemidanaan selama seratus tahun terakhir memberi pengaruh kuat pada harapan-harapan yang membaik ini, bagi orang yang dihukum bahkan lebih mengesankan ketika itu dipandang bersama dengan kekerasan yang meningkat yang telah diciptakan oleh perang modern hampir dalam setiap kehidupan.

Hakim dan Kewajibannya

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 28 ditegaskan:

Hakim wajib menggali , mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, yakni dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam mas apergolakan dan peradilan. Hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan masyarakat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan, dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.


(47)

Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Sifat-sifat yang baik maupun yang jahat dari terdakwa wajib diperhatikan hakim dalam mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan. Keadaan-keadaan pribadi seseorang perlu diperhitungkan untuk memberikan pidana yang setimpal dan seadil-adilnya. Keadaan pribadi tersebut dapat diperoleh dari keterangan orang-orang dari lingkungannya, rukun tetangganya, dokter ahli jiwa dan sebagainya.

Profesi Hakim

Hakim memiliki kedudukan dan peranan yang penting demi tegaknya negara hukum. Inilah sebabnya, Undang-Undang Dasar 1945 mengatur secara khusus masalah kekuasaan kehakiman ini yakni dalam Pasal 24 dan 25. Penjelasan kedua pasal tersebut menegaskan, bahwa kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka (independent), artinya terlepas dari pengaruh pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim.

D. Lembaga Pemasyarakatan

Lembaga Pemasyarakatan sebagai instansi terakhir di dalam sistem perasdilan pidana dan pelaksana Putusan Pengadilan (Hukum) di dalam kenyataannya tidak mempersoalkan apakah seseorang yang hendak direhabilitasi itu adalah seseorang yang benar-benar terbukti bersalah atau tidak. Bagi Lembaga


(48)

Pemasyarakatan, tujuan pembinaan pelanggar hukum tidak semata-mata membalas tetapi juga perbaikan dimana falsafah pemidanaan di Indonesia pada intinya mengalami perubahan seperti apa yang terkandung dalam sistem pemasyarakatan yang memandang narapidana sebagai orang yang tersesat dan mempunyai waktu untuk bertobat. Sahardjo yang dikenal sebagai tokoh pembaharu di dalam dunia kepenjaraan Indonesia, telah mengemukakan ide pemasyarakatan bagi terpidana. Lebih jauh Sahardjo mengemukakan bahwa pokok dasar memperlakukan narapidana menurut kepribadian kita, ialah:

1. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia; 2. Tiap orang adalah makhluk kemasyarakatan, tidak ada orang yang hidup di luar masyarakat;

3. Narapidana hanya dijatuhi kehilangan kemerdekaan bergerak, jadi diusahakan agar mempunyai mata pencaharian.

Akan tetapi ide tersebut tampaknya hanya tinggal kenangan belaka, dimana saat ini tampak jelas bahwa permasalahan mendasar yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan terletak pada beberapa sarana yang mendukung pembinaan narapidana, yaitu terbatasnya sarana personalia yang profesional yang mampu melakukan pembinaan secara efektif. Sarana administrasi dan keuangan, dalam hal ini sangat dibutuhkan untuk mengelola suatu lembaga pemasyarakatan. Sarana fisik yang diperlukan untuk penampung narapidana yang memenuhi syarat kesehatan begitu pula sarana bengkel kerja, yang berguna untuk melatih narapidana agar terampil dalam pekerjaan tertentu. Ketiadaan beberapa sarana pendukung dan kegagalan lembaga pemasyarakatan melakukan pembinaan akan


(49)

mengakibatkan bekas narapidana setelah berada di masyarakat kemabali melakukan kejahatan uang palsu. Hal ini dapat dilihat dari tidak sedikit pelaku kejahatan uang palsu yang residivis. Cap atau stigma yang dibuat oleh masyarakat terhadap lembaga pemasyarakatan maupun bekas narapidana merupakan pertanda kegagalan lembaga pemasyarakatan pada khususnya dan sistem peradilan pidana secara keseluruhan.

Sebagai suatu sistem, sistem peradilan pidana yang bertujuan untuk menegakkan hukum atas kejahatan pemalsuan uang kertas rupiah dan pengedarannya ini di dalam perjalanannya mengalami masalah-masalah yang bukan saja disebabkan tidak terdapatnya kerja sama di antara sub sistem, tetapi tidak kalah pentingnya pengaruh peraturan perundang-undangan yang memberikan kekuasaan maupun wewenang yang melampaui kemampuan personil, administratif, serta profesionalisme tiap sub sistem, dan hal ini berakibat lebih jauh, yaitu menghambatnya proses peradilan pidana yang sederhana, cepat dan biaya murah, serta penegakan hukum terhadap kejahatn pemalsuan uang kertas rupiah dan pengedarannya ini.

Teknik-teknik penghukuman dengan berdasarkan kepada suatu sanksi, pada hakikatnya kurang efektif bilamana konsistensi penegakan hukum masih tetap kurang optimal. Penerapan sanksi berat justru akan menambah meningkatnya kolusi perkara antara pelaku kejahatan dengan penegak hukum. Konsistensi penegakan hukum juga amat dipengaruhi pula oleh sikap transparansi penegakan hukum dan akuntabilitas di depan publik.


(50)

Dewasa ini, institusi lembaga penegak hukum seolah-olah sebagai lembaga tertutup dan kelihatan terasing dari dunia luar. Ketertutupan lembaga penegak hukum ini akhirnya menimbulkan atau mengeluarkan putusan-putusan yang amat kontroversial dan sulit dimengerti oleh masyarakat yang tidak mengetahui seluk-beluk hukum. Harapan masyarakat agar lembaga penegak hukum lebih transparan, pada hakikatnya adalah supaya menjaga kewibawaan lembaga penegak hukum itu sendiri sehingga masyarakat semakin menaruh kepercayaan terhadap kinerja penegak hukum. Dampaknya ialah dengan meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada kinerja penegak hukum akan menentukan efektifitas hukum itu sendiri.

Mencermati dari beberapa gejala di atas, dapat dirumuskan persoalannya yaitu penegakan hukum di bidang kejahatan pemalsuan uang masih belum mampu menjamin keadilan masyarakat. Adapun yang melandasi isu tersebut di atas, sebagai titik sentral masalah pokoknya, ialah:

1. Masih lemahnya peran serta masyarakat dan belum mampu mendukung prevensi kejahatan dalam rangka mengatasi frekuensi dari intensitas kejahatan pemalsuan uang.

2. Paradigma baru dan idealisme apara penegak hukum belum mampu memberikan perlindungan dan jaminan keamanan kepada masyarakat yang telah memberikan peran serta secara aktif.


(51)

3. Realitas penggunaan teknik penyelidikan dan penyidikan yang belum professional. Demikian pula, masalah fasilitas dukungan anggaran guna kepentingan teknik penyelidikan dan penyidikan tidak memadai.

4. Etika profesi hukum dari para aparat penegak hukum masih terpengaruh oleh faktor ekonomis dalam penjatuhan sanksi pidana.

Pola kebijakan kriminal sebagai upaya penanggulangan kejahatan, menurut Barda Nawawi Arief, (1996:48) dapat ditempuh dengan tiga elemen pokok, yakni penerapan hukum pidana (criminal law application), pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment) dan mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime). Dengan demikian, upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua, yakni: (1) lewat jalur penal (hukum pidana) yang lebih menitikberatkan pada sifat repressive; dan (2) lewat jalur non-penal, lebih mendekatkan pada sifat preventive atau pencegahan sebelum kejadian itu terjadi. Penanggulangan kejahatan lewat jalur non-penal, yaitu sasaran pokoknya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan, yang berpusat pada kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Sedangkan cara penal digunakan untuk menangani kejahatan pemalsuan uang yang telah terjadi.


(52)

Kegiatan Penanggulangan Kejahatan Pemalsuan Mata Uang

Dalam menanggulangi kejahatan pemalsuan mata uang, kegiatan yang dilakukan dengan pola :

1. Pre Emtif (Penyuluhan / Sosialisasi)

a) Melaksanakan kegiatan penyuluhan/sosialisasi kepada masyarakat dengan tujuan agar masyarakat mengetahui dan mengenal ciri-ciri uang yang asli baik uang logam maupun uang kertas. Dengan mengetahui dan mengenal uang yang asli diharapkan adanya partipasi dan kekebalan dan masyarakat agar jangan sampai mudah dilibatkan dalam kegiatan kejahatan terhadap pemalsuan mata uang sehingga dapat terwujud sikap partisipasi dalam menanggulangi kejahatan pemalsuan terhadap mata uang dan sebagai upaya kegiatan berkaitan dengan uang palsu.

b) Kegiatan tersebut dilakukan dengan bekerja sama secara terpadu antar fungsi maupun koordinasi lintas sektoral dalam bentuk ceramah, pameran, mass media (iklan tayangan 3 D dan media cetak serta elektronik lainnya)

2. Preventif

Kegiatan preventif dilakukan melalui kegiatan :

a) Pengawasan dan pengamanan di tempat mencetak uang asli dan pabrik kertas yang memproduksi security paper.

b) Pengawasan terhadap perusahaan percetakan maupun toko alat dan tinta cetak.


(53)

cash.

d) Mengadakan koordinasi dan kerjasama dengan Perbankan dan Money Changer.

e) Pengawasan dan pemeriksaan secara ketat terhadap orang yang masuk ke wilayah Negara Republik Indonesia dengan bekerja sama dengan instansi terkait.

f) Meningkatkan penanganan dan pengembangan terhdap setiap laporan tentang uang palsu sehingga masyarakat terlindungi.

g) Melakukan study banding dan kunjungan ke Luar Negeri.

3. Represif

Kegiatan represif dilakukan dalam bentuk penyelidikan dan penyidikan terhadap para pelaku kejahatan pemalsuan mata uang guna mengungkap jaringan pembuatan maupun pendistribusian uang palsu. Kegiatan tersebut dilakukan secara terpadu antar fungsi Reserse, Intel. Labfor, NCB Interpol dan Instansi terkait lainnya.

Dalam rangka penyidikan terhadap kejahatan pemalsuan mata uang di Indonesia dilakukan oleh Polri sebagai penyidik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981. Namun dalam penanggulangan terhadap kejahatan pemalsuan mata uang berdasarkan Inpres No. 1 tahun 1971, Botasupal dapat mengkoordinasikan instansi-instansi dan aparat penegak hukum lainnya dalam rangka melakukan kegiatan operasi dan pembinaan baik di dalam maupun di luar negeri dalam rangka menanggulangi tindak pidana pemalsuan uang.


(54)

Kerjasama Kepolisian baik Regional maupun Internasional dapat dilakukan melalui Interpol, Badan-badan Pemerintah lainnya atau secara langsung.64

64


(55)

BAB IV

KENDALA YANG DIHADAPI DALAM UPAYA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN PEMALSUAN UANG KERTAS RUPIAH DAN

PENGEDARANNYA DI KOTAMADYA MEDAN

Beberapa kelemahan dan hambatan dalam rangka penegakan hukum terhadap kejahatan pemalsuan mata uang rupiah saat ini termasuk di wilayah hokum Kotamadya Medan, yaitu:65

Sebagai contoh dalam proses pidana yang dikeanal dengan adanya “Criminal Justice System” dalam praktek, ternyata KUHAP tidak mengatur jangka waktu penyidik harus mengembalukan berkas perkara yang dikembalikan oleh Penuntut Umum untuk dilengkapi (prapenuntutan). Oleh karena itu dalam prakteknya banyak perkara yang dikembalikan untuk dilengkapi oleh penyidik, tidak dikembalikan kepada penuntut umum, dengan berbagai alasan, misalnya, kaena tersangka atau saksi yang akan diperiksa tidak di tempat dan sebagainya. Hal ini seharusnya ada pengaturannya dalam KUHAP, sehingga ada kepastian hukum untuk penyelesaian kasus tersebut. 1. Belum sempurnanya perangkat hukum.

Perangkat hukum yang tidak jelas, serta terdapatnya kekosongan atau rancu, dapat menjadi hambatan dalam proses penegakan hukum. Sistem hukum harus dapat menampung dan memecahkan permasalahan yang terjadi atau yang timbul dalam praktek penegakan hukum.

65

H. Chairuman Harahap, SH, Merajut Kolektifitas Melalui Penegakan Supremasi


(56)

Demikian pula halnya terhadap kejahatan pemalsuan mata uang yang sangat diharapkan untuk segera dikeluarkan undang-undang tentang mata uang. Hal ini dikarenakan dengan melihat begitu besarnya dampak yang dapat ditimbulkan oleh kejahatan ini jangan sampai benar-benar dapat membahayakan negara oleh karena tidak ditangani dari sekarang. Hai ini nampak dari semakin maraknya kejahatan pemalsuan uang dari tahun ke tahun, termasuk di kota Medan.

2. Masih rendahnya moral integritas aparat penegak hukum

Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, aparat penegak hukum, yang merujuk pada kesatuan kelompok penegak hukum sering disebut catur wangsa yang terdiri dari Polisi, Jaksa, Hakim, dan Pengacara. Keempatnya telah dianggap sebagai orang-orang yang menegakkan hukum dan keadilan. Bahkan kadang-kadang mereka disebut juga dengan pendekar hukum.

Setiap aparat dalam komponen Catur Wangsa wajib peduli dan langsung berkepentingan pada perkembangan mutakhir negara. Kepedulian itu terutama berkenaan dengan cita-cita reformasi sebagaimana yang telah tumbuh dalam masyarakat luas. Oleh karena itu, harus dijadikan acuan bagi pembinaan dan rekrutmen aparat penegak hukum, agar aparat penegak hukum polisi, jaksa, dan hakim terdiri dari orang-orang yang tangguh dalam menghadapi godaan dan tantangan yang mungkin timbul dalam proses penegakan hukum.

3. Penegak hukum yang kurang professional

Dalam proses penegakan hukum, profesionalisme dalam arti kecakapan dan keterampilan serta kemampuan intelektual dalam bidang tugasnya, sangat


(57)

diperlukan bagi setiap apaat penegak hukum, agar ia mampu melaksanakan tugasnya dengan cepat, tepat, tuntas, dan memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Namun dalam kenyataannya harus diakui bahwa masih ada aparat penegak hukum, penyidik atau penuntut umum dan hakim yang kurang professional, sehingga penanganan kasus sering terlambat dan bahkan karena ketidakcermatan dalam penanganan kasus dapat berakibat kegagalan dalam penuntutan di pengadilan. Ini menyebabkan kadangkala timbul reaksi dari pencari keadilan pada saat perkara digelar di pengadilan. Upaya mengatasinya di samping penyempurnaan, rekrutmen pegawai, juga perlu dilaksanakan pelatihan dan pendidikan bagi aparat penegak hukum.

4. Masih rendahnya penghasilan Aparat Penegak Hukum

Terdapat suatu hal yang dilematis pada diri aparat penegak hukum, di satu sisi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, seorang penegak hukum berkewajiban untuk melaksanakan tugas dengan jujur, adil dan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Di sisi lain, penghasilan yang diterimanya tidak memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya, sehingga dengan alasan gaji atau penghasilan yang tidak cukup aparat penegak hukum melakukan penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang. Rendahnya gaji pegawai negeri pada umumnya, termasuk penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim) oleh Andi Hamzah dipandang sebagai suatu penyebab terjadinya korupsi.

5. Masih rendahnya tingkat kesadaran hukum masyarakat

Kesadaran hukum masyarakat di wilayah hukum Kotamadya Medan yang masih rendah dapat menjadi hambatan dalam proses penegakan hukum. Hal ini


(58)

dapat dilihat dari masih adanya rasa enggan warga masyarakat untuk menyampaikan laporan atau menjadi saksi atas terjadinya suatu proses penegakan hukum. Memang diakui bahwa hal di atas tidak semata-mata menggambarkan rendahnya kesadaran hukum masyarakat, karena masih adanya faktor lain, seperti belum terlaksananya secara maksimal jaminan perlindungan terhadap saksi meskipun telah ada lembaga perlindungan saksi dan korban dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Akan tetapi jika kesadaran hukum masyarakat tinggi, maka di satu pihak diharapkan akan timbul kepatuhan masyarakat terhadap hukum dan di lain pihak akan ada peran serta masyarakat untuk membantu aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum.

6. Kurangnya sarana dan prasarana

Dalam proses penegakan hukum, sarana dan prasarana hukum mutlak diperlukan untuk memperlancar dalam menciptakan kepastian hukum. Sarana dan prasarana yang memadai dimaksudkan untuk mengimbangi kemajuan teknologi dan globalisasi, yang telah mempengaruhi tingkat kecanggihan kriminalitas, seperti kejahatan pembobolan bank, dengan menggunakan teknologi computer, kejahatan pemalsuan uang dengan menggunakan peralatan canggih, kejahatan pencucian uang (money laundring) dan lain sebagainya. Semua jenis kejahatan di atas dapat dikatakan sebagai kejahatan kerah putih (white colour crime), sehingga penanganannya pun memerlukan dukungan sarana dan prasarana yang memadai.


(59)

Di masa lalu sudah menjadi opini publik, bahwa campur tangan perintah (eksekutif) terhadap proses peradilan sangat kuat. Pengaruh eksekutif terhadap proses pengadilan terjadi disebabkan belum adanya kemandirian instansi penegak hukum, terutama instansi pengadilan. Hal ini terjadi karena dalam perundang-undangan masih ada celah yang memungkinkan tidak mandirinya instansi pengadilan.

Peredaran uang palsu di masyarakat cukup sulit untuk diberantas. Hal ini didorong oleh perilaku masyarakat yang kurang mendukung upaya pemerintah dalam rangka mengurangi peredaran uang palsu. Kesadaran masyarakat untuk melaporkan adanya uang palsu sangat kurang. Bila mereka mendapatkan uang palsu, mereka cenderung membelanjakannya. Hal ini tidak dapat memotong mata rantai peredaran uang palsu. Masyarakat justru ikut berperan dalam mengedarkan uang palsu.

Pemerintah kurang memperhatikan sarana dan prasarana yang diperlukan oleh Polisi dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kejahatan pemalsuan mata uang yang terjadi di kota Medan. Selain itu, kurangnya kesadaran masyarakat untuk segera melaporkan apabila mengetahui tentang uang palsu yang beredar di kota Medan merupakan faktor penting yang terus menjadikan semakin

maraknya pemalsuan uang terjadi di kota Medan. Peran serta masyarakat serta perhatian pemerintah atas sarana dan

prasarana yang dibutuhkan pihak kepolisian dalam memberantas kejahatan pemalsuan mata uang di kota Medan. Serta koordinasi antara instansi-instansi


(1)

Pidana, yang mendukung penulis dalam pemilihan judul dalam penulisan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. 3. Ibu Nurmalawaty, SH.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I, yang

membimbing dan mendukung penulis dalam masa penulisan sampai penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak M. Eka Putra, SH.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, yang juga telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan skripsi ini hingga selesai.

5. Ibu DR. Agusmidah, SH.M.Hum, selaku Dosen Wali penulis yang telah membimbing penulis selama menjalankan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Novaryos, Bagian Kas Bank Indonesia Medan yang juga telah memberikan data-data dan bersedia pula meluangkan waktu untuk menjawab pertanyaan yang saya ajukan tentang penulisan skripsi ini.

7. Bapak Aipda Jikri Sinurat, Unit Ekonomi Sat Reskrim Poltabes MS yang telah memberikan data-data dan bersedia meluangkan waktu untuk menjawab pertanyaan yang saya ajukan tentang penulisan skripsi ini.

8. Bagian Laboratorium Forensik Cabang Medan yang telah memberikan data-data yang juga dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini.

9. Pengadilan Negeri Medan yang juga telah memberikan data-data yang dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini.

Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada kedua orangtua saya yang paling berperan dalam penyelesaian skripsi ini serta kepada


(2)

pihak-pihak lainnya yang turut membantu dalam pengerjaan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Penulis sadar bahwa skripsi ini memiliki sangat banyak kekurangan, oleh karenanya kritik dan saran yang membangun akan sangat diterima guna perbaikan dan penulisan lainnya.

Demikian skripsi ini penulis selesaikan, semoga dapat bermanfaat bagi seluruh masyarakat. Sekian dan terima kasih.

Medan, Juni 2009


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAKSI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penulisan ... 6

D. Manfaat Penulisan ... 6

E. Keaslian Penulisan ... 7

F. Tinjauan Kepustakaan ... 7

1. Pengertian Penegakan Hukum ... 7

2. Defenisi Uang, Jenis Uang, Fungsi Uang, dan Ciri Uang Kertas Rupiah ... 11

3. Pengertian Kejahatan Pemalsuan Uang Kertas Rupiah dan Pengedarannya ... 20

G. Metode Penelitian ... 24

H. Sistematika Penulisan ... 27

BAB II KETENTUAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN PEMALSUAN UANG KERTAS RUPIAH DAN PENGEDARANNYA ... 30


(4)

A. Keadaan dan Modus Operandi Kejahatan Pemalsuan Uang

Kertas Rupiah dan Pengedarannya di Kotamadya Medan ... 30

B. Kasus Pemalsuan Uang Kertas Rupiah dan Pengedarannya serta Dampaknya bagi Indonesia ... 42

C. Ketentuan Hukum terhadap Kejahatan Pemalsuan Uang Kertas Rupiah dan Pengedarannya ... 47

BAB III PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN PEMALSUAN UANG KERTAS RUPIAH DAN PENGEDARANNYA DI KOTAMADYA MEDAN... 63

A. Kepolisian ... 71

B. Kejaksaan ... 92

C. Pengadilan ... 100

D. Lembaga Pemasyarakatan ... 105

BAB IV KENDALA YANG DIHADAPI DALAM UPAYA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN PEMALSUAN UANG KERTAS RUPIAH DAN PENGEDARANNYA DI KOTAMADYA MEDAN ... 113

A. Kendala yang Dihadapi oleh Para Penegak Hukum dalam Upaya Penegakan Hukum terhadap Kejahatan Pemalsuan Uang Kertas Rupiah dan Pengedarannya ... 113

B. Kendala-kendala Lainnya ... 117


(5)

B. Analisis Kasus ... 135

BAB VI PENUTUP ... 138

A. Kesimpulan ... 138

B. Saran ... 139

LAMPIRAN A. Data Laporan Uang Palsu di Kantor Bank Indonesia Medan Tahun 2000 – 2008 ... viii

B. Data Kasus Uang Palsu di Laboratorium Forensik Cabang Medan Tahun 2005 – 2008 ... xiv

C. Data Kasus Uang Palsu di Poltabes Medan dan Sekitarnya Tahun 2004 – 2008 ... xv

D. Data Kasus Uang Palsu di Pengadilan Negeri Medan Tahun 2006 – 2008 ... xvi DAFTAR PUSTAKA


(6)

ABSTRAKSI

Setiap negara termasuk Indonesia selalu bertujuan untuk memakmurkan dan mensejahterakan rakyatnya dengan melakukan berbagai upaya demi mencapainya. Berbagai kemudahan juga diupayakan pemerintah bagi rakyat antara lain dengan mengeluarkan mata uang rupiah sebagai alat pembayaran yang tanggung jawab pengedarannya diserahkan kepada Bank Indonesia sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah serta mencabut, menarik dan memusnahkan uang dimaksud dari peredaran (Pasal 20 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia). Namun seiring bertambahnya waktu, peran uang yang semakin dirasakan penting menumbuhkan keinginan manusia untuk memiliki uang sebanyak-banyaknya dan tidak sedikit cara-cara untuk memperoleh uang yang dilakukan dengan cara melawan hukum.

Perbuatan memalsukan uang telah diatur dalam hukum pidana di Indonesia sebagai suatu kejahatan dan memberikan sanksi bagi pelakunya. Akan tetapi, sanksi tersebut masih dirasakan belum menyentuh rasa keadilan masyarakat serta mengingat dampak yang begitu besar bagi negara kita karena sangat merugikan perekonomian negara yang apabila terus dibiarkan akan membahayakan negara dan juga menjatuhkan martabat negara. Oleh karenanya perlu untuk diketahui ketentuan hukum apa yang dapat dikenakan terhadap pelaku kejahatan uang palsu ini. Putusan-putusan yang dijatuhkan pengadilan terhadap kejahatan ini relatif ringan demikian pula tuntutan dari Kejaksaan yang memberikan dakwaan yang berat hukumannya sangat jauh dari ancaman maksimal hukuman dalam KUHP. Hal ini yang membuat orang tidak terlalu takut untuk memalsukan uang di mana semakin meningkatnya kejahatan pemalsuan uang di Indonesia, termasuk Kotamadya Medan yang dapat dilihat dari semakin banyaknya uang palsu yang ditemukan pada Bank Indonesia Medan, sehingga perlu dilihat lagi bagaimana penegakan hukumnya serta hal-hal apa saja yang menjadi kendala dalam penegakan hukum tersebut.

Penegakan hukum yang semaksimal mungkin melalui Sistem Peradilan Pidana merupakan upaya terbaik yang dapat dilakukan dalam memberantas kejahatan pemalsuan uang ini yang pelaksanaannya tergantung dari para penegak hukum yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman dan Lembaga Pemasyarakatan.

Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan khususnya perundang-undangan dan kepustakaan hukum yang berkaitan dengan pemalsuan uang dan penegakan hukumnya. Sedangkan penelitian lapangan yaitu penelitian yang dilakukan dengan mendatangi objek penelitian untuk mengadakan wawancara.

Data yang digunakan adalah data sekunder berupa dokumen-dokumen resmi, buku-buku karya ilmiah pendapat sarjana dan data-data lainnya yang diperoleh melalui situs internet, kemudian data-data tersebut diolah secara kualitatif.

Untuk mengurangi dan mencegah terjadinya kejahatan pemalsuan uang ini, pemerintah serta para penegak hukum harus mengupayakan proses penegakan