Model Implementasi Merilee S. Grindle

d Struktur Birokrasi Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar standard operating procedures atau SOP. SOP menjadi pedoman bagi setiap Implementor dalam bertindak.

3. Model Implementasi Merilee S. Grindle

Menurut Grindle Subarsono, 2009: 99, ada dua variable besar yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, yaitu: Gambar 2.3. Model Implementasi Kebijakan Menurut Grindle Sumber: Subarsono, 2009: 99 1. Variabel isi kebijakan content of policy mencakup: a. Sejauh mana kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan, b. Jenis manfaat yang diterima oleh target group, c. Sejauh mana perubahan yang diinginkan dari suatu kebijakan, d. Apakah letak suatu program sudah tepat, e. Apakah suatu kebijakan telah menyebutkan implementatornya dengan rinci, dan f. Apakah suatu program sudah didukung oleh sumber daya yang memadai. 2. Variable lingkungan kebijakan mencakup: a. Seberapa besar kekuasaan, kepentingan dan strategi yang dimiliki oleh para actor yang terlibat dalam implementasi kebijakan, b. Karakteristik institusi dan rezim yang sedang berkuasa, dan c. Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.

2.2. Variabel-variabel dalam Penelitian

Dalam mengkaji suatu studi implementasi kebijakan dapat dilakukana dengan menggunakan berbagai model implementasi kebijakan. Sehingga dapat dilihat pelaksanaan suatu kebijakan dengan variable-variabel dalam model-model implementasi tersebut. Model implementasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan model implementasi kebijakan George C. Edwards, dengan variable sebagai berikut: a. Komunikasi Komunikasi diperlukan supaya tercipta konsistensi atau kesepakatan dari ukuran dasar dan tujuan sehingga implementator mengetahui secara tepat ukuran maupun tujuan kebijakan itu. Komunikasi antar organisasi juga menunujuk adanya tuntutan saling mendukung antar institusi yang berkaitan dengan programkebijakan. Komunikasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah: 1 Kerjasama para implementator 2 Metode sosialisasi kebijakanprogram yang digunakan 3 Intensitas komukasi b. Sumber Daya Sumber daya yang memadai baik sumber daya manusia maupun finasial sangat penting dalam menjalankan kebijakanprogram. Sumber daya yang dimaksud dalam penelitian ini adalah: 1 Kemampuan implementator, dengan melihat jenjang pendidikan, pemahaman terhadap tujuan dan sasaran serta aplikasi detail program, kemampuan menyampaikan program dan mengarahkan. 2 Ketersedian fasilitas sarana dan prasarana 3 Ketersediaan finansial, dengan melihat kebutuhan dana, prediksi kekuatan dana dan besaran biaya. c. Disposisi Sikap para implementator sangat dibutuhkan dalam menjalankan sebuah kebijakanprogram. Adapun yang dimaksud dengan sikap implementator yan ditujukan dalam penelitian ini adalah: 1 Gambaran komitmen dan kejujuran yang dapat dilihat dari konsistensi antar pelaksana kegiatan dengan guideline yang telah ditetapkan 2 Sikap demokratis yang dapat terlihat dari proses kerjasama antar implementator. d. Struktur Birokrasi Aspek struktur birokrasi ini mencangkup dua hal penting, yang pertama adalah standar operation procedur SOP dan struktur organisasi pelaksana 1 Ketersedian SOP yang mudah dipahami. 2 Struktur organisasi pelaksana yang melihat rentang kendali antara pemimpin dan bawahan.

2.3. Hasil-hasil Penelitian mengenai Pelaksanaan Pendidikan Khusus

Sebagai bahan pertimbangan, peneliti mencantumkan beberapa hasil penelitian terdahulu mengenai pelaksanaan pendidikan khusus di sekolah luar biasa. Dalam penelitian Slamet H dan Joko Santosa mengenai Revitalisasi Sekolah Luar Biasa pasca implementasi program pendidikan inklusi melakukan penelitian di empat KabupatenKota yaitu Surakarta, Karanganyar, Sragen, dan Wonogiri dengan pemilihan sampel yaitu empat SLB Negeri dan delapan SLB Swasta dengan delapan jenis ketunaan yaitu tunanetra, tunarungu wicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, autis, tunaganda, dan lambar belajar. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dalam penyelenggaraan pendidikannya, beberapa SLB negeri maupun swasta sudah memiliki asrama bagi peserta didik. Tolok ukur standar pelayanan pendidikan antara lain pemenuhan standar isi, standar kompetensi lulusan, standar proses, sarana dan prasarana, pendidik dan tenaga kependidikan, pengelolaan, penilaian, dan pembiayaan. Dalam sarana dan prasarana, diketahui bahwa satu SLB swasta tidak memiliki ruang perpustakaan dan lima SLB swasta tidak memiliki ruang laboratorium. Sementara SLB negeri yang tidak memiliki ruang perpustakaan ada tiga. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat kekurangan standar sarana dan prasarana di beberapa SLB baik negeri maupun swasta. Sedangkan standar pendidik dan tenaga kependidikan diketahui bahwa dari 12 SLB terdapat empat SLB Negeri yang tidak memiliki tenaga laboratorium dan tujuh SLB swasta yang tidak memiliki tenaga laboratorium. Secara garis besar dapat ditarik kesimpulan bahwa tenaga yang kurang memenuhi, baik di SLB negeri maupun swasta adalah tenaga laboratorium dan perpustakaan. Dan mengenai Guru Pembimbing Khusus GPK diketahui bahwa guru pembimbing khusus yang sudah tersertifikasi lebih sedikit dari pada yang belum tersertifikasi. bahkan seluruh guru pembimbing khusus Tuna daksa, Tuna ganda, dan Lambat belajar belum ada yang sertifikasi. Hanya guru pembimbing khusus Tuna grahita yang telah sertifikasi jumlahnya lebih banyak dari pada yang belum. Selain itu juga dalam penelitian Estitika Rochmatul, Irwan Noor, dan Heru Ribawanto dengan judul Pengembangan Kapasitas Sekolah Luar Biasa untuk Meningkatkan Pelayanan Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus melakukan penelitian di SDLBN Kedungkandang Malang bahwa anak berkebutuhan khusus tidak dapat disamakan dengan anak normal pada umumnya. Pelayanan pendidikan yang diberikan kepada anak-anak berkebutuhan khusus sangat humanis. Cara memberikan pendidikannya yaitu perindividu dan tidak bisa secara klasikal. Anak- anak berkebutuhan khusus tidak dapat mengikuti pelajaran secara klasikal, karena kemampuan setiap anak berbeda-beda. Mereka memiliki kurikulum khusus dalam pelayanan pendidikannya. Akan tetapi, kurikulum tersebut tidak dapat diterapkan seratus persen karena setiap anak mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dan tidak bisa menyesuaikan kurikulum. Dari hasil penelitian di SDLBN Kedungkandang masih terdapat sarana prasarana yang penting dan belum terpenuhi yaitu 1 ruang orientasi dan mobilitas untuk latihan ketrampilan gerak, pembentukan postur tubuh, gaya jalan dan olahraga untuk anak tunanetra, 2 Ruang Bina Wicara untuk lahihan wicara anak tunarungu, 3 Ruang Bina Diri untuk pembelajaran Bina Diri untuk anak tunagrahita, 4 Ruang tata usaha untuk pengelolaan administrasi. Ruangan-ruangan inilah yang seharusnya dipenuhi terlebih dahulu oleh sebuah sekolah luar biasa. Berdasarkan sumberdaya manusianya yang dimaksud yaitu guru terdapat suatu program yaitu PIGP yang merupakan singkatan dari Program Induksi Guru Pembimbing. Program ini dilakukan kepada guru baru yang ada di sekolah tersebut dengan dibimbing oleh Kepala Sekolah, Pengawas Sekolah, dan sebagian besar dibimbing oleh guru senior. Sebelum dipercayakan untuk mengajar sendiri di kelas, maka guru baru akan dibimbing oleh guru senior dalam arti guru senior membagikan pengalamannya dengan guru baru tentang mengajar anak-anak berkebutuhan khusus. Program ini dilakukan selama satu sampai dua tahun. Jadi apabila dirasa guru baru sudah mempunyai keahlian yang baik untuk mengajar anak berkebutuhan khusus sendiri, maka sekolah berani untuk melepaskan guru untuk mengajar sendiri di kelas . Upaya pengembangan kapasitas dalam hal budaya organisasi di SDLBN Kedungkandang, berdasarkan penelitian yaitu sekolah menerapkan budaya kekeluargaan dan saling keterbukaan satu sama lainnya. Adanya budaya demikian memberikan pengaruh yang besar di dalam sekolah. Suasana sekolah menjadi lebih nyaman dan kondusif. Akan tetapi, tetap seluruh kewenangan dan pengambilan keputusan masih sentalistik pada kepala Sekolah. Namun, guru-guru juga dapat menyampaikan pendapatnya karena sifatnya sharing. Semua pendapat dari guru akan didengarkan dan ditampung oleh Kepala Sekolah. Selanjutnya dalam keputusannya Kepala Sekolah tetap mempunyai andil besar dalam memutuskan apa yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh Kepala Sekolah. Sedangkan faktor yang dapat menghambat pengembangan yaitu gaya kepemimpinan Kepala Sekolah. Dalam hal ini pemimpin terkesan tidak mau berupaya untuk mengembangkan kapasitasnya. Dengan gaya kepemimpinan yang demikian terkadang membuat guru merasa nyaman dengan situasi dan kondisi yang ada. Hal itu karena guru tidak perlu berpikir yang rumit, karena semua keputusan ada di Kepala Sekolah. Sehingga guru-guru tidak dapat mengembangkan kemampuannya. Selain itu, gaya kepemimpinan Kepala Sekolah juga tertutup untuk segala hal tentang perkembangan sekolah. Sehingga yang mengetahui segala sesuatu tentang sekolah hanya Kepala Sekolah. Selain itu, faktor penghambat lainnya yaitu beban administrassi yang dilakukan oleh guru. Tugas guru akan semakin berat dan mempunyai beban yang lebih banyak lagi. Dalam mengajar anak-anak berkebutuhan khusus membutuhkan energi yang besar dan butuh fokus yang besar pula. Apabila guru dibebankan dengan tugas lain di luar tugas utamanya yaitu mengajar maka guru akan merasa kewalahan. Kegiatan administrasi di sebuah sekolah luar biasa seharusnya dibebankan kepada personil lain di luar guru. Dari dua penelitian yang telah peneliti paparkan tadi terungkap bahwa dalam pelaksanaan pendidikan khusus di sekolah luar biasa memang masih banyak kendala yang dihadapi seperti halnya sarana dan prasarana dalam menunjang pelaksanaan pendidikan khusus ini masih kurang memadai khususnya ruang-ruang khusus bagi setiap jenis kelainan atau kebutuhan khusus dan tidak memiliki tenaga laboratorium baik di SLB negeri maupun swasta. Kendala yang kedua ialah gaya kepemimpinan Kepala Sekolah. Dalam hal ini pemimpin terkesan tidak mau berupaya untuk mengembangkan kapasitasnya. Dengan gaya kepemimpinan yang demikian terkadang membuat guru merasa nyaman dengan situasi dan kondisi yang ada. Hal itu karena guru tidak perlu berpikir yang rumit, karena semua keputusan ada di Kepala Sekolah sehingga guru-guru tidak benar-benar dapat mengembangkan kemampuannya. Selain itu juga beban administrassi yang dilakukan oleh guru sehingga guru selain tugasnya adalah mengajar juga menjadi tenaga administrasi yang membuat guru tersebut menjadi kewalahan dalam menjalankan tugas utamanya sebagai guru yaitu mengajar.

2.4. Kebijakan-kebijakan mengenai Pelaksanaan Pendidikan Khusus

Pendidikan khusus bagi anak berkebutuhan khusus ABK sejak berdirinya hingga sekarang telah mengalami perjalanan yang panjang, baik yang terjadi di Indonesia maupun di negara-negara lain di dunia. Pendidikan anak berkebutuhan khusus secara umum dapat dilaksanakan di sekolah khusus, maupun di sekolah umumsekolah reguler. Di Indonesia, perkembangan pendidikan khusus bagi anak berkebutuhan khusus dan pendidikan khusus lainnya, mengalami perkembangan yang cukup pesat dalam dua dasa warsa terakhir. Dengan lahirnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 tahun 1989 yang kemudian disempurnakan menjadi Undang- Undang Nomor.20 tahun 2003, pendidikan luar biasa tidak saja diselenggarakan melalui sistem persekolahan khusus SLB, namun juga dapat diselenggarakan secara inklusif di sekolah reguler pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Dalam Undang-Undang Nomor.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, dan pada pasal 5 ayat 2 juga disebutkan bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, danatau social berhak memperoleh pendidika khusus. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, ada bermacam-macam ada beberapa jenis peserta didik berkelainana, yang terdiri atas: 1. Tunanetra Tunanetra adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihatannya, berupa kebutaan menyeluruh atau sebagian, dan walaupun telah diberi pertolongan dengan alat-alat bantu khusus masih tetap memerlukan pendidikan khusus. 2. Tunawicara Tunawicara merupakan individu yang mengalami kesulitan berbicara. Hal ini dapat disebabkan oleh kurang atau tidak berfungsinya alat-alat bicara, seperti rongga mulut, lidah, langit-langit dan pita suara. Selain itu, kurang atau tidak berfungsinya organ pendengaran, keterlambatan perkembangan bahasa, kerusakan pada system saraf dan struktur otot, serta ketidakmampuan dalam kontrol gerak juga dapat mengakibatkan keterbatasan dalam berbicara. 3. Tunarungu Tunarungu adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya sehingga tidak atau kurang mampu berkomunikasi secara verbal dan walaupun telah diberikan pertolongan dengan alat bantu dengar masih tetap memerlukan pendidikan khusus. 4. Tunadaksa Tunadaksa adalah anak yang mengalami kelainan atau cacat yang menetap pada alat gerak tulang, sendi, otot sedemikian rupa sehingga memerlukan pendidikan khusus. 5. Tunalaras Tunalaras adalah anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kelompok usia maupun masyarakat pada umumnya, sehingga merugikan dirinya maupun orang lain, dan karenanya memerlukan pendidikan khusus demi kesejahteraan dirinya maupun lingkungannya. 6. Tunagrahita Tunagrahita adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental jauh di bawah rata-rata IQ dibawah 70 sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi maupun sosial, dan karenanya memerlukan pendidikan khusus. Hambatan ini terjadi sebelum umur 18 tahun 7. Berkesulitan Belajar Anak yang berkesulitan belajar spesifik adalah anak yang secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus terutama dalam hal kemampuan membaca, menulis dan berhitung atau matematika, diduga disebabkan karena faktor disfungsi neugologis, bukan disebabkan karena factor inteligensi inteligensinya normal bahkan ada yang di atas normal, sehingga memerlukan pendidikan khusus. Anak berkesulitan belajar spesifik dapat berupa kesulitan belajar membaca disleksia, kesulitan belajar menulis disgrafia, atau kesulitan belajar berhitung diskalkulia, sedangkan mata pelajaran lain mereka tidak mengalami kesulitan yang signifikan. 8. Lamban belajar slow learner Lamban Belajar adalah anak yang memiliki potensi intelektual sedikit di bawah normal tetapi belum termasuk tunagrahita. Dalam beberapa hal mengalami hambatan atau keterlambatan berpikir, merespon rangsangan dan adaptasi sosial, tetapi masih jauh lebih baik dibanding dengan yang tunagrahita, lebih lamban dibanding dengan yang normal, mereka butuh waktu yang lebih lama dan berulang-ulang untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun non akademik, dan karenanya memerlukan pendidikan khusus. 9. Autis Autis adalah gangguan perkembangan anak yang disebabkan oleh adanya gangguan pada sistem syaraf pusat yang mengakibatkan gangguan dalam interaksi sosial, komunikasi dan perilaku. 10. Memiliki Gangguan Motorik 11. Menjadi Korban Penyalagunaan Narkotika, Obat Terlarang, dan Zat Adiktif Lainnya, dan 12. Memiliki Kelainan Lain Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan, penyelenggaraan pendidikan khusus bagi anak berkelainan diselenggarakan pada semua jalur dan jenis pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dan dapat diselenggarakan pada satuan pendidikan khusus, satuan pendidikan umum, satuan pendidikan kejuruan, dan satuan pendidikan keagamaan. Pada satuan pendidikan khusus, diselenggarakan oleh pemerintah provinsi dan pada satuan pendidikan umum diselenggarakan oleh pemerintah kabupatenkota. Bentuk-bentuk layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu: 1 Sistem Layanan Segregasi Sistem layanan pendidikan segregasi adalah pendidikan yang terpisah dari sistem pendidikan anak normal. Pendidikan anak berkebutuhan khusus melalui sistem segregasi meksudnya adalah penyelenggaran pendidikan yang dilakasanakan secara khusus, dan terpisah dari penyelenggarakan pendidikan untuk anak normal. Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus diberikan layanan pendidikan pada lembaga pendidikan khusus untuk anak berkebutukhan khusus seperti SLB, SDLB, SMPLB, SMALB. Ada empat bentuk penyelenggarakan pendidikan dengan sistem segregasi, yaitu SLB, SLB Berasrama, Kelas JauhKelas Kunjung, dan lain sebagainya. Bentuk Sekolah Luar Biasa merupakan bentuk sekolah yang paling tua. SLB berkembang sesuai dengan kelainan yang adasatu kelaianan saja, sehingga ada SLB untuk Tunanetra SLB-A, SLB untuk tunarungu SLB-B, SLB untuk tunagrahita SLB-C, SLB untuk tunadaksa SLB-D, SLB untuk tunalaras SLB-E. Di SLB tesebut ada tingkat persiapan,tingkat dasar, dan tingkat lanjut. Sistem pengajarannya lebih mengarah ke sistam individualisasi. 2 Sistem Layanan TerpaduIntegrasiInklusif Bentuk layanan pendidikan terpaduintegrasiinklusi adalah sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak biasa normal di sekolah umum. Untuk membantu kesulitan yang dialami oleh anak berkebutuhan khusus, si sekolah terpadu di sediakan Guru Pembimbing Khusus GPK. Berdasarkan Pedoman Standar Pelayanan Minimal SPM Pendidikan Khusus, yang menjadi tujuan utama penyelenggaraan pendidikan khusus ialah membantu peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, itelektual, dan social agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan, sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan dengan lingkungan social, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan. Selain itu dalam SPM tersebut ada juga tujuan setiap jenjang pendidikan, yaitu: a. Taman Kanak-kanak Luar Biasa bertujuan untuk membantu peserta didik mengembangkan berbagai potensi baik fisik maupun psikis yang meliputi moral dan nilai-nilai agama, social, emosional, kognitif, bahasa, fisikmotoric, kemandirian dan seni untuk sipa memasuki pendidikan dasar, b. Sekolah Dasar Luar Biasa bertujuan agar peserta didika memiliki kemampuan dasar baca, tulis, hitung, pengetahuan imtak, berkarakter, berbudi pekerti luhur dan keterampilan dasar yang bermanfaat bagi peserta didik sesuai dengan tingkat perkembangannya, mempersiapkan peserta didika untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, c. Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa bertujuan memberikan bekal kemampuan dasar yang merupakan perluasan serta peningkatan pengetahuan dasar peningkatan pengetahuan dasar dan sikap serta keterampilan yang diperoleh di SDLB yang bermanfaat bagi siswa untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat dan warga Negara sesuai dengan kelainan yang dimilikinya dan tingkat perkembangannya serta mempersiapkan mereka untuk mengikuti pendidikan pada jenjang SMALB d. SMALB bertujuan memberikan bekal kemampuan yang merupakan peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperoleh di SMPLB yang bermanfaat bagi siswa untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat dan warga Negara sesuai dengan kelainan yang dimilikinya. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasinonal No. 33 tahun 2008 disebutkan bahwa setiap SLB baik pada tingkatan SD, SMP, maupun SMA sekurang-kurangnya memiliki ruang pembelajaran umum, ruang pembelajaran khusus dan ruang penunjang sesuai dengan jenjang pendidikan dan jenis ketunaan peserta didik yang dilayani, dengan rincian sebagai berikut:

1. Ruang Pembelajaran Umum

a Ruang Kelas Fungsi ruang kelas adalah tempat kegiatan pembelajaran teori dan praktik dengan alat sederhana yang mudah dihadirkan. Jumlah minimum ruang kelas sama dengan banyak rombongan belajar. Kapasitas maksimum ruang kelas adalah 5 peserta didik untuk ruang kelas tingkat SD dan 8 peserta didik untuk ruang kelas tingkat SMP dan SMA. Rasio minimum luas ruang kelas adalah 3 m 2 peserta didik. Untuk rombongan belajar dengan peserta didik kurang dari 5 orang, luas minimum ruang kelas adalah 15 m 2 . Lebar minimum ruang kelas adalah 3 m. Ruang kelas memiliki jendela yang memungkinkan pencahayaan yang memadai untuk membaca buku dan untuk memberikan pandangan ke luar ruangan. Ruang kelas memiliki pintu yang memadai agar peserta didik dan guru dapat segera keluar ruangan jika terjadi bahaya, dan dapat dikunci dengan baik saat tidak digunakan. Salah satu dinding ruang kelas dapat berupa dinding semi permanen agar pada suatu saat dua ruang kelas yang bersebelahan dapat digabung menjadi satu ruangan. b Ruang Perpustakaan Ruang perpustakaan berfungsi sebagai tempat kegiatan peserta didik, guru dan orangtua peserta didik memperoleh informasi dari berbagai jenis bahan pustaka dengan membaca, mengamati dan mendengar, dan sekaligus tempat petugas mengelola perpustakaan. Luas minimum ruang perpustakaan adalah 30 m 2 . Lebar minimum ruang perpustakaan adalah 5 m. Ruang perpustakaan dilengkapi jendela untuk memberi pencahayaan yang memadai untuk membaca buku.

2. Ruang Pembelajaran Khusus

a Ruang Orientasi dan Mobilitas OM untuk Tunanetra A Ruang Orientasi dan Mobilitas OM merupakan tempat latihan keterampilan gerak, pembentukan postur tubuh, gaya jalan dan olahraga, serta dapat berfungsi sebagai ruang serbaguna. Sekolah yang melayani peserta didik SDLB danatau SMPLB tunanetra memiliki minimum satu buah ruang OM dengan luas minimum 15 m 2 . b Ruang Bina Komunikasi, Persepsi Bunyi dan Irama BKPBI untuk Tunarungu B i Ruang Bina Wicara Ruang Bina Wicara berfungsi sebagai tempat latihan wicara perseorangan. Sekolah yang melayani peserta didik SDLB danatau SMPLB tunarungu memiliki minimum satu buah ruang Bina Wicara dengan luas minimum 4 m 2 . ii Ruang Bina Persepsi Bunyi dan Irama Ruang Bina Persepsi Bunyi dan Irama berfungsi sebagai tempat mengembangkan kemampuan memanfaatkan sisa pendengaran danatau perasaan vibrasi untuk menghayati bunyi dan rangsang getar di sekitarnya, serta mengembangkan kemampuan berbahasa khususnya bahasa irama. Sekolah yang melayani peserta didik SDLB danatau SMPLB tunarungu memiliki minimum satu buah ruang Bina Persepsi Bunyi dan Irama yang dapat menampung satu rombongan belajar dengan luas minimum 30 m 2 . c Ruang Bina Diri untuk Tunagrahita C Ruang Bina Diri berfungsi sebagai tempat kegiatan pembelajaran Bina Diri yang meliputi merawat diri makan, minum, menjaga kebersihan badan, buang air, mengurus diri berpakaian dan berhias diri, okupasi melakukan kegiatan sehari-hari yang meliputi mencuci dan menyeterika baju, menyemir sepatu, membuat minuman, memasang sprei, dan membersihkan lantai. Sekolah yang melayani peserta didik SDLB danatau SMPLB tunagrahita memiliki minimum satu buah ruang Bina Diri dengan luas minimum 24 m 2 . Ruang Bina Diri dilengkapi dengan kamar mandi danatau jamban khusus untuk latihan atau dapat memanfaatkan jamban yang ada. d Ruang Bina Diri dan Bina Gerak untuk Tunadaksa D Ruang Bina Diri dan Bina Gerak berfungsi sebagai tempat latihan koordinasi, layanan perbaikan disfungsi organ tubuh, terapi wicara dan terapi okupasional, serta sekaligus berfungsi sebagai ruang asesmen. Sekolah yang melayani peserta didik SDLB danatau SMPLB tunadaksa memiliki minimum satu buah ruang Bina Diri dan Bina Gerak yang dapat menampung satu rombongan belajar dengan luas minimum 30 m 2 . Ruang Bina Diri dan Bina Gerak dilengkapi dengan kamar mandi danatau jamban khusus untuk latihan atau dapat memanfaatkan jamban yang ada. e Ruang Bina Pribadi dan Sosial untuk Tunalaras E Ruang Bina Pribadi dan Sosial berfungsi sebagai tempat penanganan dan pemberian tindakan kepada peserta didik dalam usaha perubahan perilaku, pribadi dan sosial. Sekolah yang melayani peserta didik SDLB danatau SMPLB tunalaras memiliki minimum satu ruang Bina Pribadi dan Sosial dengan luas minimum 9 m 2 .Ruang Bina Pribadi dan Sosial dapat memberikan kenyamanan suasana bagi peserta didik. f Ruang Keterampilan Ruang keterampilan berfungsi sebagai tempat kegiatan pembelajaran keterampilan sesuai dengan program keterampilan yang dipilih oleh tiap sekolah. Pada setiap sekolah yang menyelenggarakan jenjang pendidikan SMPLB danatau SMALB minimum terdapat dua buah ruang keterampilan. Ruang tersebut digunakan untuk kegiatan pembelajaran pada jenis keterampilan yang dapat dipilih dari tiga kelompok keterampilan: keterampilan rekayasa, keterampilan jasa atau keterampilan perkantoran. Ruang keterampilan memiliki luas minimum 24 m 2 dan lebar minimum 4 m. Ruang keterampilan dilengkapi dengan sarana sesuai jenis keterampilan.

3. Ruang Penunjang

a Ruang Pimpinan Ruang pimpinan berfungsi sebagai tempat melakukan kegiatan pengelolaan SDLB, SMPLB danatau SMALB, pertemuan dengan sejumlah kecil guru, orang tua murid, unsur komite sekolah, petugas dinas pendidikan, atau tamu lainnya. Luas minimum ruang pimpinan adalah 12 m 2 dan lebar minimum adalah 3 m. Ruang pimpinan mudah diakses oleh guru dan tamu sekolah, serta dapat dikunci dengan baik. b Ruang Guru Ruang guru berfungsi sebagai tempat guru bekerja dan istirahat serta menerima tamu, baik peserta didik maupun tamu lainnya.Rasio minimum luas ruang guru adalah 4 m 2 pendidik dan luas minimum adalah 32 m 2 . Ruang guru mudah dicapai dari halaman SDLB, SMPLB danatau SMALB ataupun dari luar lingkungan SDLB, SMPLB danatau SMALB, serta dekat dengan ruang pimpinan. c Ruang Tata Usaha Ruang tata usaha berfungsi sebagai tempat kerja petugas untuk mengerjakan administrasi SDLB, SMPLB danatau SMALB. Rasio minimum luas ruang tata usaha adalah 4 m 2 petugas dan luas minimum adalah 16 m 2 . Ruang tata usaha mudah dicapai dari halaman SDLB, SMPLB danatau SMALB ataupun dari luar lingkungan SDLB, SMPLB danatau SMALB, serta dekat dengan ruang pimpinan. d Tempat Beribadah Tempat beribadah berfungsi sebagai tempat warga SDLB, SMLPB danatau SMALB melakukan ibadah yang diwajibkan oleh agama masing-masing pada waktu sekolah. Banyaknya tempat beribadah sesuai dengan kebutuhan tiap SDLB, SMPLB danatau SMALB, dengan luas minimum adalah 12 m 2 . e Ruang UKS Ruang UKS berfungsi sebagai tempat untuk penanganan dini peserta didik yang mengalami gangguan kesehatan di SDLB, SMPLB danatau SMALB. Luas minimum ruang UKS adalah 12 m 2 . f Ruang KonselingAsesmen Ruang konselingasesmen berfungsi sebagai tempat peserta didik mendapatkan layanan konseling dari konselor berkaitan dengan pengembangan pribadi, sosial, belajar, dan karir, serta berfungsi sebagai tempat kegiatan dalam menggali data kemampuan awal peserta didik sebagai dasar layanan pendidikan selanjutnya. Luas minimum ruang konselingasesmen adalah 9 m 2 . Ruang konselingasesmen dapat memberikan kenyamanan suasana dan menjamin privasi peserta didik. g Ruang Organisasi Kesiswaan Ruang organisasi kesiswaan berfungsi sebagai tempat melakukan kegiatan kesekretariatan pengelolaan organisasi kesiswaan. Luas minimum ruang organisasi kesiswaan adalah 9 m 2 . h Jamban Jamban berfungsi sebagai tempat buang air besar danatau kecil. Minimum terdapat 2 unit jamban. Pada SDLB, SMPLB, danatau SMALB untuk tunagrahita danatau tunadaksa, minimum salah satu unit jamban merupakan unit yang dapat digunakan oleh anak berkebutuhan khusus, termasuk pengguna kursi roda. Jamban dilengkapi dengan peralatan yang mempermudah peserta didik berkebutuhan khusus untuk menggunakan jamban. Luas minimum 1 unit jamban adalah 2 m 2 . Jamban harus berdinding, beratap, dapat dikunci, dan mudah dibersihkan. Tersedia air bersih di setiap unit jamban. i Gudang Gudang berfungsi sebagai tempat menyimpan peralatan pembelajaran di luar kelas, tempat menyimpan sementara peralatan SDLB, SMPLB danatau SMALB yang tidakbelum berfungsi, dan tempat menyimpan arsip SDLB, SMPLB danatau SMALB yang telah berusia lebih dari 5 tahun. Luas minimum gudang adalah 18 m 2 . j Ruang Sirkulasi Ruang sirkulasi horizontal berfungsi sebagai tempat penghubung antar ruang dalam bangunan SDLB, SMPLB danatau SMALB dan sebagai tempat berlangsungnya kegiatan bermain dan interaksi sosial peserta didik di luar jam pelajaran, terutama pada saat hujan ketika tidak memungkinkan kegiatan-kegiatan tersebut berlangsung di halaman SDLB, SMPLB danatau SMALB. Ruang sirkulasi horizontal berupa koridor yang menghubungkan ruang-ruang di dalam bangunan SDLB, SMPLB danatau SMALB dengan luas minimum adalah 30 dari luas total seluruh ruang pada bangunan, lebar minimum adalah 1,8 m, dan tinggi minimum adalah 2,5 m. Ruang sirkulasi horizontal dapat menghubungkan ruang-ruang dengan baik, beratap, serta mendapat pencahayaan dan penghawaan yang cukup. Koridor tanpa dinding pada lantai atas bangunan bertingkat dilengkapi pagar pengaman dengan tinggi 90 -110 cm. k Tempat BermainBerolahraga Tempat bermainberolahraga berfungsi sebagai area bermain, berolahraga, pendidikan jasmani, upacara, dan kegiatan ekstrakurikuler, serta sebagai tempat latihan orientasi dan mobilitas bagi peserta didik tunanetra dan latihan mobilitas bagi peserta didik tunadaksa. Minimum terdapat tempat bermainberolahraga berukuran 20 m x 10 m yang memiliki permukaan datar, drainase baik, dan tidak terdapat pohon, saluran air, serta benda-benda lain yang mengganggu kegiatan berolahraga. Sebagian lahan di luar tempat bermainberolahraga ditanami pohon yang berfungsi sebagai peneduh. Lokasi tempat bermainberolahraga diatur sedemikian rupa sehingga tidak banyak mengganggu proses pembelajaran di kelas. Tempat bermainberolahraga tidak digunakan untuk tempat parkir. Mengenai kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan khusus yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 157 tahun 2014 tentang Kurikulum Pendidikan Khusus bahwa kurikulum pendidikan khusus bagi peserta didika berkelainan atau kebutuhan khusus merupakan kurikulum 013 PAUD, kurikulum 2013 SDMI, kurikullum 2013 SMPMTS, kurikulum 2013 SMAMA, kurikulum 2013 SMKMA yang kemudian disesuaikan dengan kebutuhan khusus peserta didik berkelainan atau berkebutuhan khusus. Dalam Pasal 9 ayat 1 disebutkan bahwa muatan kurikulum pendidikan khusus bagi peserta didik tunanetra dan tunadaksa ringan kelas I SDLBMILB sampai dengan kelas XII SMALBMALB atau SMKLBMAKLB disetarakan dengan muatan kurikulum pendidikan reguler Pendidikan Anak Usia Dini sampai dengan kelas VIII SMPMTs ditambah program kebutuhan khusus dan program pilihan kemandirian. Pasal 9 ayat 2 yaitu muatan kurikulum pendidikan khusus bagi peserta didik tunarungu kelas I SDLBMILB sampai dengan kelas XII SMALBMALB atau SMKLBMAKLB disetarakan dengan muatan kurikulum pendidikan reguler Pendidikan Anak Usia Dini sampai dengan kelas VI SDMI ditambah program kebutuhan khusus dan program pilihan kemandirian. Pasal 9 ayat 3 yaitu muatan kurikulum pendidikan khusus bagi peserta didik tunagrahita ringan, tunadaksa sedang, dan autis kelas I SDLBMILB sampai dengan kelas XII SMALBMALB atau SMKLBMAKLB disetarakan dengan muatan kurikulum pendidikan reguler Pendidikan Anak Usia Dini sampai dengan kelas IV SDMI ditambah program kebutuhan khusus dan program pilihan kemandirian. Dan pada pasal 9 ayat 4 bahwa muatan kurikulum pendidikan khusus bagi peserta didik tunagrahita sedang kelas I SDLBMILB sampai dengan kelas XII SMALBMALB atau SMKLBMAKLB disetarakan dengan muatan kurikulum pendidikan reguler Pendidikan Anak Usia Dini sampai dengan kelas II SDMI ditambah program kebutuhan khusus dan program pilihan kemandirian. Dan kemudian dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 160 tahun 2014 tentang Pemberlakuan Kurikulum tahun 2006 dan Kurikulum 2013 dalam pasal 8 menyatakan bahwa satuan pendidikan khusus melaksanakan kurikulum 2013 sesuai dengan peraturan perundagn-undangan

2.5. Definisi Konsep

Konsep merupakan istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial Singarimbun, 1989: 3. Melalui konsep, peneliti diharapkan dapat meneyederhanakan pemikirannya dengan menggunakan satu istilah untuk beberapa kejadian yang berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Adapun definisi konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Kebijakan Publik adalah serangkaian pedoman dan dasar rencana yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi sebuah persoalan yang ada dalam kehidupan masyarakatnya dengan hubungan yang mengikat. Kebijkan publik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. 2. Implementasi kebijakan merupakan tindakan atau proses pelaksanaan terhadap kebijakan yang telah ditetapkan dan dijalankan dengan berbagai program untuk mencapai tujuan dan kepentingan bersama. Adapun teori yang digunakan yaitu dengan menggabungkan teori implementasi kebijakan George C. Edward sebagai berikut: a. Komunikasi, b. Sumber Daya, c. Disposisi, dan d. Struktur Birokrasi. 2.6. Definisi Operasional Konsep yang digambarkan dalam definisi konsep tentu saja tidak akan dapat diobservasi atau diukur gejalanya dilapangan. Untuk dapat diobservasi atau diukur, maka suatu konsep harus didefinisikan secara operasional. Definisi operasional ini dimaksudkan untuk memberikan rujukan-rujukan empiris apa saja yang dapat ditemukan dilapangan untuk menggambarkan secara tepat konsep yang dimaksud sehingga konsep tersebut dapat diamati dan diukur. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa definisi operasional merupakan jembatan yang menghubungkan conceptual-theoretical level dengan empirical –observational level. Adapun definisi operasional dari penelitian ini yaitu sebagai berikut : a. Komunikasi Komunikasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah: 1. Kerjasama para pelaksana pendidikan khusus bagi anak berkebutuhan khusus 2. Metode sosialisasi program pendidikan khusus yang digunakan 3. Intensitas komukasi para pelaksana program pendidikan khusus b. Sumber Daya Sumber daya yang yang dimaksud dalam penelitian ini adalah: 1. Kemampuan implementator atau pelaksana 2. Sumber dana dalam penyelenggaraan program pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. 3. Ketersediaan fasilitas yang mendukung program pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. c. Disposisi atau Sikap Para Implementator Adapun yang dimaksud dengan sikap implementator yan ditujukan dalam penelitian ini adalah: 1. Gambaran komitmen dan kejujuran yang dapat dilihat dari konsistensi antar pelaksana pendidikan khusus dengan pedoman yang telah ditetapkan 2. Sikap demokratis yang dapat terlihat dari proses kerjasama antar pelaksana program pendidikan khusus. d. Struktur Birokrasi Aspek struktur birokrasi ini mencangkup dua hal penting, yaitu sebagai berikut: 1. Ketersedian SOP yang mudah dipahami dalam pelaksanaan pendidikan khusus bagi anak berkebutuhan khusus. 2. Struktur organisasi pelaksana yang menangani program pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. 2.7. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini memuat kerangka teori, hasil penelitian, isu-isu dalam pelaksanaan, definisi konsep, dan definisi operasional.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, penelitian data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data.

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini memuat gambaran umum mengenai tempat dilakukannya penelitian yang meliputi lokasi penelitian, keadaan lokasi penelitian, sistem kepemimpian pada lokasi penelitian, dan lain sebagainya BAB V PENYAJIAN DATA Bab ini memuat analisis data-data yang diperoleh di lapangan

BAB VI ANALISIS DATA

Bab ini memuat analisis data-data yang diperoleh saat penelitian dilakukan dan memberikan interpretasi atas permasalahan yang diajukan BAB VII PENUTUP Bab ini memuat kesimpulan dan saran-saran yang dianggap perlu dari hasil penelitian yang dilakukan

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Bentuk Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode deskriptif adalah metode penelitian yang berupaya mengungkapkan suatu masalah atau keadaan sebagaimana adanya, untuk itu peneliti dibatasi hanya mengunkapkan fakta-fakta dan tidak menggunakan hipotesa Moloeng, 2006 : 11. Penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat individu dan keadaan social nyang timbul dalam masyarakat untuk dijadikan sebagai objek penelitian. Berdasarkan pengertian di atas, maka penelitian ini adalah penelitian yang diarahkan untuk memberikan gejala-gejala, fakta-fakta, atau kejadian-kejadian secara sistematis dan akurat mengenai sifat-sifat populasi, serta menganalisa kebenarannya berdasarkan data yang diperoleh dan diiringi dengan interpretasi yang rasional dan akurat.

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara Jln Teuku Cik Di Tiro, No 1-D dan SLB-E Negeri PTP Sumatera Jln Karya Ujung - Helvetia Timur Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan Sumatera Utara. 51

3.3. Populasi dan Sampel

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya Sugiyono, 2004: 90. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah orang tua siswa di SLB-E Negeri Pembina Tingkat Provinsi Sumatera Utara yang berjumlah 355 orang. Untuk menetukan sampel, peneliti menggunakan teknik purposive sampling. Purposive Sampling adalah teknik penentuan dengan pertimbangn tertentu Sugiyono, 2008: 85. Artinya adalah dengan memilih atau menetapkan sasaran penelitian berdasarkan pertimbangan tertentu tanpa mendasarkan dari resistensi atau keterwakilan dari populasi tetapi lebih mengarah pada cakupan, kekhasan dan kedalaman informasi yang dianggap tahu dan memberikan informasi yang dibutuhkan oleh peneliti. Jadi sampel yang diambil dalam penelitian ini ialah 35 orang tua siswa dengan kriteria yaitu orang tua yang anaknya bersekolah di SLB-E Negeri PTP Sumatera Utara dengan.

3.4. Informan Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, populasi diartikan sebagai wilayah generalisasi yang terdiri atas: objeksubjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti dan kemudian ditarik kesimpulannya. Sedangkan sampel adalah sebagian dari populasi itu. Sugiyono, 2008: 297 Informan penelitian terbagi atas Suyanto, 1995: 171: a. Informan kunci merupakan mereka yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian. Informan kunci dalam penelitian ini adalah Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara yaitu Kepala Bagian Pendidikan Dasar dan Pendidikan Khusus dan Kepala Seksi Pendidikan Luar Biasa. b. Informan utama merupakan mereka yang terlibat langsung dalam interaksi sosial yang diteliti. Informan utama dalam penelitian ini adalah Kepala Sekolah dan Guru SLB-E Negeri Pembina Tingkat Provinsi Sumatera Utara.

3.5. Teknik Pengumpulan Data

3.5.1. Data Primer