Analisis kinerja pembangunan daerah dan persepsi masyarakat terhadap pemekaran wilayah

(1)

ANALISIS KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DAN

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP MANFAAT

PEMEKARAN WILAYAH (STUDI KASUS KABUPATEN

HALMAHERA TIMUR PROPINSI MALUKU UTARA)

ANJAS TAHER

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Analisis Kinerja Pembangunan Daerah dan Persepsi Masyarakat terhadap Manfaat Pemekaran Wilayah: Studi Kasus Kabupaten Halmahera Timur Propinsi Malkuku Utara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini

Bogor, Januari 2011

Anjas Taher


(3)

ABSTRACT

ANJAS TAHER. Analysis of Regional Development Performance and Society Perceptions Creasing of New Distric (Case Study of East Halmahera District Province North Maluku). Supervised by ERNAN RUSTIADI and SETIA HADI)

Proliferation of new district to form new autonomous region since the enforcement of regional autonomy has experienced significant accretion. Recently, evaluation and feedback received from academia, politicians, government and the society, relating to the performance of regional development that have not been in accordance with its objectives as required in the regulation 129/2000 and the benefits of proliferation new district has not been evenly distributed to the public. The objectives of this study are: (1) analyze the performance of regional development after the splitting of the East Halmahera district, (2) analyze the aspirations and perceptions of communities about the benefits and the distribution of the benefits of region expansion of the East Halmahera District, (3) analyze factors that influence people's perceptions about the division region. The results show the performance of regional development after the splitting of the East Halmahera Years 2005-2009 is in upward trend. Compared with the parent (Central Halmahera) in the same year, the performance of regional development of East Halmahera is still in better position. Aspects in public aspirations that considered important are the economic, physical and social politics. Public perceptions on socio-political aspects of regional divisions are very diverse physically and economically. On the sociopolitical aspects, some people thought that public services and public participation increased, while employment opportunities, access to resources and law enforcement has not increased. On the physical aspect, most people thought that public and social facilities have not yet increased. For the economic aspect, some people thought that the agricultural sector, fisheries, forestry and mining has not increased and only the construction sector and trade that have increased. Benefits of regional divisions have not been evenly distributed to the public. Most of the benefits are distributed to local governments, large employers and other people (immigrants). Factors that affect (influence) the public perception is gender, ethnic origin, education, main occupation and position in society.

Key words: proliferation, Creation of new district, East Halmahera, regional autonomy


(4)

RINGKASAN

ANJAS TAHER. Analisis Kinerja Pembangunan Daerah dan Persepsi Masyarakat Terhadap Manfaat Pemekaran Wilayah (Studi Kasus Kabupaten Halmahera Timur Propinsi Maluku Utara). Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI dan SETIA HADI.

Sejak diberlakukan desentralisasi dan otonomi daerah, pemekaran wilayah menjadi beberapa daerah otonom baru mengalami pertambahan yang cukup pesat. Dari 26 propinsi, 225 kabupaten dan 58 kota yang terbentuk pada tahun 1950-1999, telah dimekarkan menjadi 33 propinsi, 398 kabupaten dan 93 kota dalam tahun 1999-2009. Diantara kabupaten dan kota tersebut salah satu diantara adalah kabupaten Halmahera Timur di Propinsi Maluku Utara yang di bentuk dengan UU Nomor 1 Tahun 2003.

Pertambahan daerah pemekaran baru yang semakin pesat, saat ini mendapat tanggapan dan penilaian dari berbagai kalangan akademisi, politisi, pejabat pemerintah dan masyarakat, berkaitan dengan kinerja pembangunan daerah yang belum sesuai dengan tujuan pemekaran wilayah (daerah) yang diisyaratkan dalam PP No. 129/2000, dan pemekaran wilayah belum memberikan manfaat serta belum terdistribusi secara merata kepada masyarakat. Hasil studi yang dilakukan Bappenas dan UNDP (2008) menunjukkan, bahwa daerah pemekaran sebagian besar memang tidak berada dalam kondisi awal yang lebih baik dibanding daerah induknya. Sementara banyak argumen yang mendukung, bahwa pemekaran wilayah merupakan kebutuhan daerah untuk mengatasi rentang kendali pelayanan dan pengawasan pemerintah, pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Kabupaten Halmahera Timur sebagai daerah otonom baru yang terbentuk melalui pemekaran wilayah Kabupaten Halmahera Tengah pada tahun 2003, tidak terlepas dari adanya tanggapan dan penilaian tersebut. Berkaitan dengan itu, maka dilakukan penelitian dengan tujuan: (1) menganalisis kinerja pembangunan daerah setelah pemekaran wilayah Kabupaten Halmahera Timur, (2) menganalisis aspirasi dan persepsi masyarakat mengenai manfaat dan distribusi manfaat pemekaran wilayah, (3) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat mengenai manfaat pemekaran wilayah. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini meliputi Analytical Hierarchy Process (AHP),

Chi-Square, dan deskriptif.

Hasil analisis menunjukkan bahwa kinerja pembangunan daerah Kabupaten Halmahera Timur setelah pemekaran wilayah khususnya pada tahun 2005-2009 cenderung mengalami peningkatan dengan trend peningkatan yang lebih tinggi dari daerah induk (Kabupaten Halmahera Tengah). Bahkan setelah pemekaran, kondisi daerah pemekaran (Halmahera Timur) dan daerah induk (Halmahera Tengah) menjadi lebih baik dan mengalami kemajuan yang signifikan, yang ditunjukkan dengan indeks kinerja aparatur daerah, kinerja keuangan daerah, perekonomian dan pelayanan public, serta kesejahteraan masyarakat berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Kinerja pembangunan daerah pemekaran dan daerah induk dapat dikatakan telah sesuai dengan tujuan pemekaran wilayah yang diisyaratkan dalam PP No. 129/2000, dan tujuan otonomi daerah yang diisyaratkan dalam PP No. 6/2008.


(5)

Hasil analisis menunjukkan bahwa aspirasi masyarakat mengenai manfaat pemekaran wilayah yang dipandang penting dan menjadi prioritas pertama adalah aspek ekonomi. Aspek ekonomi yang dipandang penting adalah perdagangan dan konstruksi. Aspek fisik yang dipandang penting adalah fasilitas sosial dan fasilitas umum. Sedangkan aspek sosial politik yang dipandang penting adalah penegakan hukum, akses terhadap sumberdaya, dan kesempatan kerja.

Persepsi masyarakat terhadap manfaat pemekaran wilayah, meliputi aspek sosial politik, fisik, dan ekonomi secara umum mengalami peningkatan setelah adanya pemekaran wilayah. Peningkatan aspek sosial politik ditunjukkan dengan semakin meningkat dan membaiknya pelayanan umum, partisipasi masyarakat, kesempatan kerja, akses terhadap sumberdaya dan penegakan hukum. Kemudian peningkatan aspek fisik, ditunjukkan dengan semakin meningkat dan membaiknya fasilitas umum dan sosial. Sedangkan peningkatan aspek ekonomi ditunjukkan dengan semakin meningkat dan membaiknya sektor pertanian, perikanan, kehutanan, pertambangan, konstruksi, perdagangan dan lainnya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap manfaat pemekaran wilayah aspek sosial politik, fisik, dan ekonomi, adalah karakterristik masyarakat yang diklasifikasi menurut jenis kelamin, asal suku, tingkat pendidikan, pekerjaan utama dan jabatan dalam masyarakat.

Distribusi manfaat pemekaran wilayah selama tahun 2005-2008, pertama pemerintah daerah, kedua pengusaha dan ketiga masyarakat umum. Untuk pemerintah daerah adalah DPRD, dan Pemda. Kemudian untuk pengusaha adalah pengusaha besar, sedangkan untuk masyarakat adalah masyarakat lainnya, kemudian Cina.


(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu msalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

ANALISIS KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DAN

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP MANFAAT

PEMEKARAN WILAYAH (STUDI KASUS KABUPATEN

HALMAHERA TIMUR PROPINSI MALUKU UTARA)

ANJAS TAHER

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister sains pada

Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(8)

Judul Tesis

Nama NRP

:

: :

Analisis Kinerja Pembangunan Daerah dan Persepsi Masyarakat Terhadap Manfaat Pemekaran Wilayah (Studi Kasus Kabupaten Halmahera Timur Propinsi Maluku Utara) Anjas Taher

P 035010211

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Ketua

Dr. Ir. Setia Hadi M.Si Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr. Ir Khairil Anwar Notodiputro MS


(9)

PRAKATA

Puji syukur seraya memohon doa kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Karya ilmiah dengan judul Analisis Kinerja Pembangunan Daerah dan Persepsi Masyarakat Terhadap Manfaat Pemekaran Wilayah (Studi kasus Kabupaten Halmahera Timur Propinsi Maluku Utara) merupakan tugas akhir akademis dalam menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini dapat terselesaikan berkat bimbingan komisi pembimbing dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis haturkan ucapan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Ernan Rustiadi M.Agr selaku ketua komisi pembimbing yang dengan tulus dan sabar membimbing penulis

2. Dr. Ir. Setia Hadi M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang dengan tulus dan sabar membimbing penulis

3. Isteri tercinta Ema Hujaima yang telah banyak berjasa dengan bantuan moril, materil dan selalu mendoakan saya selama menjalankan studi di IPB.

4. Anak-anakku tersayang: Muhammad Akbar Taher, Aliyah Zhatil Himmah, dan Si Kecil yang baru lahir saat penyempurnaan tesis ini diselesaikan, terima kasih atas kesabaran dan kesetiaannya.

5. Semua pihak yang telah membantu penulis selama proses penyusunan hingga rampungnya tesis ini yang tidak dapat penulis sampaikan secara satu persatu.

Akhirnya semoga tulisan ini ada manfaatnya bagi pembaca yang membutuhkan.

Bogor, Januari 2011 Penulis


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis merupakan putra ke-tujuh dari tujuh bersaudara, dilahirkan di desa Ekor (Nusajaya) Kabupaten Halmahera Timur pada tanggal 02 Mei 1973 dari Ayah M. Taher Meradji (almarhum) dan Ibu Hj. Farah Hanafi. Pada tahun 1997 penulis menyelesaikan pendidikan sarjana pada Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Khairun Ternate. Pada tahun 2001 penulis melanjutkan studi pada Program Pascasarjana IPB Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Wilayah dan Perdesaan. Penulis menikah dengan Emma Hujaima pada tahun 2003 dan dikaruniai 3 orang anak (M. Akbar Taher, Aliyah Dzatil Himmah, dan si Kecil yang baru lahir saat penyempurnaan tesis ini). Pada tahun 2004, penulis terpilih menjadi anggota DPRD Kab. Halmahera Timur periode 2004-2009, dan pada Pemilu Tahun 2009 penulis terpilih kembali menjadi anggota DPRD dan menjabat sebagai ketua DPRD Kabupaten Halmahera Timur periode 2009-2014. Semasa kuliah penulis aktif pada organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan. Pada tahun 1999-2001 menjadi Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Penulis pernah menulis buku Refleksi Pemekaran Wilayah Kabupaten Maluku Utara dan Pengembangan Kawasan Khusus (FTZ) Pulau Morotai yang diterbitkan pada tahun 2003, dan menjadi editor dalam penerbitan buku Menuju Pejuang Paripurna yang diterbitkan oleh KAHMI Maluku Utara pada tahun 2001.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan dan Identifikasi Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian ... 5

1.5 Tujuan, Analisis dan Output Penelitian yang Diharapkan ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemekaran Wilayah (Pembentukan Daerah Otonom) ... 7

2.2 Pemerintahan Daerah ... 10

2.3 Desentralisasi dan Otonomi Daerah ... 11

2.3.1 Desentralisasi Pemerintahan ... 12

2.3.2 Otonomi Daerah ... 13

2.4 Aspirasi Masyarakat ... 15

2.5 Persepsi Masyarakat ... 18

2.6 Pembangunan Daerah dalam Otonomi dan Desentralisasi ... 20

2.7 Indikator Pembangunan Daerah ... 23

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran ... 27

3.2 Lokasi Penelitian ... 31

3.3 Jenis dan Sumber Data ... 32

3.4 Penarikan Sampel ... 32

3.5 Teknik Analisa Data ... 33

3.5.1 Analisa Kinerja Pembangunan Daerah ... 33

3.5.2 Analisa Persepsi Masyarakat Terhadap Manfaat Pemekaran .. 39

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis dan Administrasi Wilayah ... 46

4.2 Kondisi Sosial dan Budaya ... 47

4.2.1 Kondisi Sosial ... 47

4.2.2 Budaya ... 52

4.3 Prasarana dan Sarana Wilayah ... 54

4.3.1 Prasarana wilayah ... 54

4.3.2 Sarana wilayah ... 55

4.4 PDRB dan PDRB Per Kapita ... 61

4.5 Pendapatan dan Belanja Daerah ... 62


(12)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Analisis Kinerja Pembangunan Daerah ... 67

5.1.1 Kinerja Aparatur Pemerintah Daerah ... 67

5.1.2 Kinerja Keuangan Daerah ... 73

5.1.3 Kinerja Ekonomi Daerah ... 81

5.1.4 Kinerja Pelayanan Publik ... 88

5.1.5 Analisis Kesejahteraan Masyarakat dengan IPM ... 97

5.2 Aspirasi Terhadap Manfaat Pemekaran Wilayah ... 106

5.2.1 Aspirasi Terhadap Manfaat Aspek Sosial Politik ... 108

5.2.2 Aspirasi Terhadap Manfaat Aspek Fisik ... 111

5.2.3 Aspirasi Terhadap Manfaat Aspek Ekonomi ... 111

5.3 Persepsi Terhadap Manfaat Pemekaran Wilayah ... 113

5.3.1 Persepsi Terhadap Manfaat Aspek Sosial Politik... 113

5.3.2 Persepsi Terhadap Manfaat Aspek Fisik ... 135

5.3.3 Persepsi Terhadap Manfaat Aspek Ekonomi ... 144

5.4 Distribusi Manfaat Pemekaran Wilayah ... 162

5.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Masyarakat ... 163

5.5.1 Hubungan Profil Responden dengan Persepsi Sosial Politik ... 163

5.5.2 Hubungan Profil Responden dengan Persepsi Manfaat Fisik ... 166

5.5.3 Hubungan Profil Responden dengan Persepsi Ekonomi ... 167

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 171

6.2 Saran ... 172


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Matriks Tujuan, Analisis, dan Ouput Penelitian yang Diharapkan ... 6

2. Indikator-Indikator Kinerja Pembangunan Daerah ... 25

3. Indikator Kinerja Pembangunan Daerah ... 26

4. Profil Umum Responden ... 33

5. Skala Perbandingan Berpasangan dalam AHP ... 42

6. Nilai Random Indeks ... 44

7. Pembagian Wilayah Administrasi Kabupaten Halmahera Timur ... 47

8. Perkembangan dan Kepadatan Penduduk Tahun 2009 ... 48

9. Penyebaran Pemeluk Agama Tahun 2009 ... 49

10. Persentase Penyebaran Suku (Etnis) Tahun 2009 ... 50

11. Pembangunan Jalan di Kabupaten Halmahera Timur Tahun 2009 ... 54

12. Jumlah Sekolah Menurut Kecamatan Tahun 2009 ... 57

13. Distribusi Guru Menurut Tingkat Pendidik Tahun 2009 ... 58

14. Jumlah Murid Tahun 2009 ... 59

15. Jumlah Fasilitas dan Tenaga Kesehatan Tahun 2009 ... 61

16. Perkembangan PDRB dan PDRB Per Kapita ... 62

17. Nilai Maksimum dan Minimum ... 98

18. Indikator Persepsi Manfaat Pemekaran Aspek Sosial Politik ... 114

19. Jarak Tempuh Ibukota Kecamatan ke Ibukota Kabupaten ... 116

20. Rasio Siswa dan Guru di Halmahera Timur Tahun 2009 ... 117

21. Rasio Jumlah Penduduk dan Tenaga Medis Tahun 2009 ... 118

22. Persepsi Masyarakat Mengenai Pelayanan Umum Menurut Profil Responden ... 120

23. Persepsi Masyarakat Mengenai Partisipasi Masyarakat Menurut Profil Responden ... 123

24. Persepsi Masyarakat Mengenai Partisipasi Masyarakat Menurut Profil Responden ... 127

25. Lahan Menggunakan Irigasi di Tingkat Kecamatan Tahun 2008 ... 130

26. Persepsi Masyarakat Mengenai Manfaat Akses Sumberdaya Menurut Profil Responden ... 131

27. Persepsi Masyarakat Mengenai Penegakan Hukum Menurut Profil Responden ... 133

28. Indikator Manfaat Pemekaran Wilayah Aspek Fisik ... 136

29. Persepsi Masyarakat Mengenai Fasilitas Umum Menurut Profil Responden ... 138


(14)

30. Rasio Murid dan Sekolah ... 141

31. Rasio Jumlah Penduduk dengan Fasilitas Kesehatan ... 142

32. Persepsi Masyarakat Mengenai Fasilitas Sosial Menurut Profil Responden ... 143

33. Indikator Manfaat Pemekaran Wilayah Aspek Ekonomi ... 144

34. Persepsi Masyarakat Mengenai Sektor Pertanian Menurut Profil Responden ... 147

35. Persepsi Masyarakat Mengenai Sektor Perikanan Menurut Profil Responden ... 149

36. Persepsi Masyarakat Mengenai Sektor Kehutanan Menurut Profil Responden ... 152

37. Persepsi Masyarakat Mengenai Sektor Pertambangan Menurut Profil Responden ... 155

38. Persepsi Masyarakat Mengenai Sektor Konstruksi Menurut Profil Responden ... 156

39. Persepsi Masyarakat Mengenai Sektor Perdagangan Menurut Profil Responden ... 158

40. Perkembangan Sarana Transportasi Angkutan Darat di Kabupaten Halmahera Timur Sampai Tahun 2009 ... 159

41. Sarana Komunikasi di Kabupaten Halmahera Timur Tahun 2009 ... 160

42. Persepsi Masyarakat Mengenai Sektor Lainnya Menurut Profil Responden ... 161

43. Hubungan Profil Responden dan Persepsi Manfaat Sosial Politik ... 164

44. Hubungan Profil Responden dengan Persepsi Manfaat Fisik ... 167


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 30

2. Struktur Hierarki Aspirasi Manfaat Pemekaran Wilayah ... 41

3. Struktur Hierarki Aspirasi Distribusi Manfaat Pemekaran Wilayah ... 41

4. Persentase Penduduk Menurut Suku (Etnis) Tahun 2009 ... 49

5. Persentase Tingkat Pendidikan Penduduk Tahun 2009 ... 51

6. Persentase Penduduk Bekerja Tahun 2009 ... 52

7. Perkembangan Fasilitas Sekolah Tahun 2004-2009 ... 56

8. Perkembangan Jumlah Guru di Kabupaten Halmahera Timur ... 57

9. Perkembangan Jumlah Murid Tahun 2009 ... 58

10. Perkembangan Fasilitas Kesehatan ... 60

11. Perkembangan Jumlah Tenaga Medis ... 60

12. Perkembangan Pendapatan Daerah ... 63

13. Perkembangan Sumber-Sumber Pendapatan Daerah ... 63

14. Perkembangan Belanja Daerah ... 64

15. Persentase Anggota DPRD Hasil Pemilu 2004 ... 66

16. Persentase Anggota DPRD Hasil Pemilu 2009 ... 66

17. Persentase Aparatur Berpendidikan Sarjana ... 69

18. Persentase Aparatur Pendidik (Guru negeri) ... 70

19. Persentase Aparatur Paramedis di Halmahera Timur, Halmahera Tengah dan Kota Tidore ... 71

20. Indeks Kinerja Aparatur Pemerintah Daerah ... 72

21. Perkembangan Dependensi Fiskal Halmahera Timur ... 74

22. Perkembangan Dependensi Fiskal Daerah Induk dan Pemekaran ... 75

23. Perkembangan Kapasitas Penciptaan Pendapatan Daerah ... 76

24. Perkembangan Belanja Daerah Halmahera Timur ... 77

25. Perkembangan Belanja Modal Halmahera Timur, Halmahera Tengah Dan Kota Tidore ... 79

26. Indeks Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah ... 80

27. Pertumbuhan Ekonomi Halmahera Timur dan Maluku Utara ... 82

28. Pertumbuhan Ekonomi Daerah Induk dan Pemekaran ... 83

29. Kontribusi Ekonomi Halmahera Timur, Halmahera Tengah, dan Kota Tidore Kepulauan Terhadap Perekonomian Maluku Utara ... 84

30. PDRB Per Kapita Halmahera Timur dan Maluku Utara ... 85 31. Perkembangan PDRB Per Kapita Halmahera Timur, Halmahera Tengah,


(16)

dan Kota Tidore Kepulauan ... 86

32. Tingkat Kemiskinan di Halmahera Timur, Halmahera Tengah, dan Kota Tidore Kepulauan ... 86

33. Indeks Kinerja Ekonomi Daerah Pemekaran dan Daerah Induk ... 87

34. Perkembangan Siswa Per Sekolah Tingkat SD/MI ... 89

35. Perkembangan Siswa Per Sekolah Tingkat SMP/MTs ... 89

36. Perkembangan Siswa Per Sekolah Tingkat SMA/SMK/MA ... 90

37. Perkembangan Jumlah Siswa Per Guru Tingkat SD/MI ... 91

38. Perkembangan Jumlah Siswa Per Guru Tingkat SMP/MTs ... 91

39. Perkembangan Jumlah Siswa Per Guru Tingkat SMA/SMK/MA ... 92

40. Perkembangan Fasilitas Kesehatan Per 10000 Penduduk ... 93

41. Perkembangan Tenaga Kesehatan Per 10000 Penduduk ... 94

42. Kualitas Infrastruktur Jalan ... 95

43. Indeks Kinerja Pelayanan Publik ... 97

44. Angka Harapan Hidup di Kab. Halmahera Timur dan Maluku Utara ... 99

45. Angka Harapan Hidup Kab/Kota di Propinsi Maluku Utara ... 99

46. Angka Melek Huruf Kab. Halmahera Timur dan Maluku Utara ... 101

47. Angka Melek Huruf Kab./Kota di Maluku Utara ... 101

48. Rata-Rata Lama Sekolah di Kab. Halmahera Timur dan Maluku Utara . 102 49. Rata-Rata Lama Sekolah Kab/Kota di Maluku Utara ... 103

50. Daya Beli Kabupaten Halmahera Timur dan Propinsi Maluku Utara ... 103

51. Rata-Rata Konsumsi Per Kapita Kab/Kota di Maluku Utara ... 104

52. Perkembangan IPM Halmahera Timur dan Maluku Utara ... 105

53. IPM Kabupaten/Kota di Maluku Utara ... 105

54. Struktur Hierarki Aspirasi Manfaat Pemekaran Wilayah ... 107

55. Persepsi Masyarakat Terhadap Manfaat Sosial Politik ... 115

56. Perkembangan Jumlah KTP, Kartu Keluarga, dan Akta Kelahiran ... 116

57. Struktur Ketenagakerjaan ... 126

58. Persepsi Manfaat Aspek Fisik ... 136

59. Perkembangan Pembangunan Jalan di Halmahera Timur Tahun 2005-2009 ... 137

60. Persepsi Masyarakat Terhadap Manfaat Aspek Ekonomi ... 145


(17)

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

Menyikapi dan merespons tuntutan reformasi, pemerintah menggulirkan otonomi daerah melalui UU No.22/1999 kemudian direvisi menjadi UU No.32/2004 menggantikan UU No.5/1974, yang penerapannya selama kurang lebih 32 tahun sangat sentralistik. Otonomi daerah dengan mengoperasionalkan azas desentralisasi dianggap mampu mewujudkan demokrasi, pemberdayaan masyarakat sipil, mengatasi problem kebangsaan dan kenegaraan yang

complicated, serta mampu merespons perkembangan globalisasi yang telah menembus berbagai keterkaitan negara dan bangsa (borderless state).

Dalam pentas sejarah, desentralisasi sesungguhnya telah dilaksanakan di Indonesia sejak pemerintahan Hindia Belanda dengan Undang-Undang

Desentralisatie-Wet 1903. Setelah kemerdekaan sampai era reformasi (1999), telah terjadi 7 (tujuh) kali perubahan peraturan perundang-undangan desentralisasi dan otonomi daerah, diantaranya UU No.1/1945, UU No.22/1948, Penpres No.6/1959, UU No.18/1965, UU No.5/1974, dan UU No.22/1999 (Marbun, 2005). Perubahan ini menandai bahwa azas penyelenggaraan negara yang relefan dan efektif dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah adalah desentralisasi.

Menurut Bowman dan Hampton (1983) dalam Oentarto (2004), bahwa tidak ada satupun pemerintahan dari suatu negara dengan wilayah yang luas dapat menentukan kebijaksanaan secara efektif ataupun dapat melaksanakan kebijaksanaan program-program secara efisien dan efektif melalui sistem sentralisasi. Oleh karena itu, desentralisasi menjadi penting untuk dilaksanakan. Namun, penerapan desentralisasi harus paralel dengan otonomi daerah karena desentralisasi tanpa otonomi daerah akan menyulitkan daerah dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan daerah.

Dengan diterapkannya desentralisasi dan otonomi daerah, muncul tuntutan dan aspirasi dari masyarakat dan pemerintah daerah dari berbagai daerah di Indonesia, yang disampaikan kepada pemerintah pusat, untuk membentuk daerah otonom baru disertai pembentukan pemerintahan daerah melalui pemekaran daerah (wilayah). Hatta dalam Manan (2001) menyebutkan bahwa, pembentukan


(18)

pemerintahan daerah (pemerintahan yang berotonomi), merupakan salah satu paham kedaulatan rakyat, hak rakyat untuk menentukan nasib tidak hanya pada cakupan pimpinan negeri, melainkan juga setiap tempat di kota, di desa dan di daerah.

Tuntutan dan aspirasi pemekaran wilayah yang semakin meluas, selanjutnya ditindaklanjuti dan disetujui oleh pemerintah pusat sesuai PP No.129/2000 yang dirubah menjadi PP No.78/2007 tentang pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah, sehingga jumlah daerah otonom baru di Indonesia mengalami pertambahan yang cukup signifikan dan hampir dua kali lipat. Hal tersebut terlihat dari 26 propinsi, 225 kabupaten dan 58 kota yang terbentuk pada tahun 1950-1998, telah bertambah menjadi 33 propinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota dalam periode tahun 1999-2010.

Pertambahan daerah otonom baru melalui pemekaran wilayah yang sangat pesat saat ini mendapat tanggapan dan penilaian terkait dengan manfaat dan kerugian dari pemekaran wilayah. Menurut hasil studi yang dilakukan Pusat Litbang Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri (2005), bahwa secara umum tidak ada satu pun daerah otonom baru (DOB) yang bisa dikelompokkan dalam kategori mampu, meski penataan berbagai aspek pemerintahan untuk menunjang penyelenggaraan pemerintahan telah sesuai dengan pedoman yang ada. Selanjutnya berdasarkan hasil studi Bappenas dan UNDP (2008) menunjukkan bahwa daerah pemekaran sebagian besar memang tidak berada dalam kondisi awal yang lebih baik dibandingkan daerah induknya. Bahkan setelah lima tahun dimekarkan ternyata daerah otonom baru tersebut rata-rata kondisinya tetap berada di bawah daerah induknya.

Sementara itu, banyak argumen yang mendukung bahwa pemekaran wilayah dilakukan karena adanya kebutuhan untuk mengatasi jauhnya rentang kendali pelayanan dan pengawasan pemerintah kepada masyarakat, serta memberi kesempatan pada daerah untuk melakukan pemerataan pembangunan. Kemudian hasil studi yang dilakukan Lumbessy (2005), Agusniar (2006) dan Sayori (2009), menyimpulkan bahwa pemekaran wilayah dapat memberikan manfaat bagi pertumbuhan ekonomi, pendapatan daerah dan kesejahteraan masyarakat.


(19)

Tanggapan dan penilaian yang telah menjadi opini publik tersebut, dalam kehidupan bernegara di tengah transisi menuju demokratisasi, merupakan hal yang biasa dan diperlukan sebagai instrumen dalam menciptakan check and balanced, guna mewujudkan pemerintahan yang baik dalam melaksanakan tujuan pemekaran wilayah (daerah) yang diamanatkan dalam bab II pasal (2) PP No.129/2000 tentang Persyaratan Pembentukan, Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, serta manfaat dari adanya kebijakan pemekaran bagi masyarakat dan perkembangan pembangunan daerah. Untuk mengetahui perkembangan pencapaian tujuan pemekaran wilayah, dan manfaat pemekaran wilayah yang diaspirasikan masyarakat perlu dilakukan kajian yang lebih bersifat evaluasi.

Evaluasi terhadap tujuan pemekaran wilayah diarahkan pada kinerja aparatur pemerintah daerah dan keuangan daerah sebagai input dari pelaksanaan pembangunan pada daerah pemekaran (otonom baru), serta kinerja ekonomi dan pelayanan publik sebagai dampak dari adanya kebijakan pemekaran wilayah. Sedangkan kajian terhadap manfaat pemekaran wilayah dilakukan dengan mendalami aspirasi masyarakat berkaitan manfaat pemekaran yang perlu dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah setelah pemekaran wilayah, dan persepsi masyarakat terhadap manfaat pembangunan yang dirasakan dan dialami masyarakat setelah adanya pemekaran wilayah.

Kabupaten Halmahera Timur sebagai salah satu daeah pemekaran baru di Propinsi Maluku Utara yang terbentuk melalui pemekaran wilayah Kabupaten Halmahera Tengah pada tahun 2003, tidak terlepas dari tanggapan dan penilaian yang berkaitan dengan perkembangan kinerja pembangunan daerah yang lambat, dan manfaat pemekaran wilayah belum sesuai dengan aspirasi dan tujuan pemekaran wilayah. Karena itu dipandang perlu untuk dilakukan evaluasi dan kajian melalui penelitian terhadap kinerja pembangunan daerah maupun manfaat pemekaran wilayah di Kabupaten Halmahera Timur.

Sesuai dengan uraian-uraian yang dikemukakan diatas, maka evaluasi dan kajian ini dilakukan melalui penelitian dengan judul “Analisis Kinerja Pembangunan Daerah dan Persepsi Masyarakat Terhadap Manfaat


(20)

Pemekaran Wilayah” Studi Kasus di Kabupaten Halmahera Timur Propinsi Maluku Utara.

1.2. Perumusan dan Identifikasi Masalah

Pemekaran wilayah dengan membentuk Kabupaten Halmahera Timur pada tahun 2003, bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melalui; (1) peningkatan pelayanan masyarakat, (2) percepatan pertumbuhan demokrasi, (3) percepatan pelaksanaan pembangunan ekonomi daerah, (4) percepatan pengelolaan potensi daerah, (5) peningkatan keamanan dan ketertiban, (6) peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.

Dalam upaya mewujudkan tujuan pemekaran wilayah, pemerintah daerah Halmahera Timur sejak tahun 2004-2009 telah menyelenggarakan berbagai program pembangunan daerah. Meskipun demikian, program pembangunan yang dilakukan dipandang belum sesuai dengan aspirasi masyarakat, sehingga muncul penilaian dan tanggapan bahwa pemekaran wilayah belum memberikan manfaat sesuai aspirasi masyarakat dan tujuan pemekaran. Hal ini lebih disebabkan karena Kabupaten Halmahera Timur sebagai daerah otonom baru, pada tahun 2004-2009 masih menghadapi masa transisi, khususnya dalam hal penyiapan infrastruktur pemerintahan dan penataan aparatur pemerintahan daerah, termasuk pengelolaan keuangan daerah.

Tanggapan dan penilaian tersebut perlu dievaluasi dan dikaji untuk selanjutnya dapat dirumuskan kebijakan pembangunan daerah yang sesuai dengan tujuan pemekaran wilayah, dan aspirasi masyarakat terhadap manfaat pemekaran wilayah. Aspirasi dan persepsi masyarakat menjadi penting, karena masyarakat dipandang lebih memahami, mengetahui dan merasakan langsung permasalahan yang dihadapi, serta manfaat yang diinginkan. Selain itu, pelaksanaan pembangunan daerah yang didasarkan pada aspirasi masyarakat juga merupakan prinsip otonomi daerah.

Aspirasi dan persepsi masyarakat yang dikaji berkaitan dengan aspek manfaat dan distribusi manfaat pemekaran wilayah, yang dalam kajian ini digali dari aspirasi dan persepsi individu (perorangan). Sedangkan tujuan pemekaran wilayah yang dikaji berkaitan dengan perkembangan kinerja pembangunan daerah setelah pemekaran wilayah, dari aspek aparatur daerah, keuangan, ekonomi, dan


(21)

pelayanan publik. Relefansinya dengan uraian-uraian di atas, masalah pokok yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana kinerja pembangunan daerah setelah pemekaran wilayah, (2) Bagaimana aspirasi dan persepsi masyarakat mengenai manfaat dan distribusi manfaat pemekaran wilayah, (3) Faktor-faktor apa yang mempengaruhi persepsi masyarakat mengenai manfaat pemekaran wilayah.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Menganalisis kinerja pembangunan daerah setelah pemekaran wilayah Kabupaten Halmahera Timur.

2. Menganalisis aspirasi dan persepsi masyarakat mengenai manfaat dan distribusi manfaat pemekaran wilayah Kabupaten Halmahera Timur.

3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat mengenai manfaat pemekaran wilayah.

1.4. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi dan diarahkan untuk menganalisis kinerja pembangunan daerah setelah pemekaran wilayah, aspirasi dan persepsi masyarakat mengenai manfaat pemekaran wilayah, distribusi manfaat pemekaran wilayah, dan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat.

1.5. Tujuan, Analisis dan Output Penelitian yang Diharapkan

Tujuan penelitian, metode analisis, data dan sumber data, serta output yang diharapkan dari penelitian ini ditampilkan dalam matriks sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 1.


(22)

Tabel 1. Matriks Tujuan, Analisis, dan Ouput Penelitian yang Diharapkan.

No Tujuan Variabel/ Indikator

Metode

Analisis Data Output yang diharapkan 1 Menganalisis

kinerja pembangunan daerah setelah pemekaran wilayah

(a) Kinerja ekonomi. Indikator: pertumbuhan PDRB, PDRB per kapita, rasio PDRB kabupaten terhadap PDRB propinsi, angka kemiskinan (b) Kinerja keuangan. Indikator: Ketergantungan fiskal, kapasitas penciptaan pendapatan, proporsi belanja modal, kontribusi sektor pemerintah (c) Kinerja pelayanan publik. Indikator: Jumlah siswa per sekolah, jumlah siswa per guru,

ketersediaan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan, kualitas infrastruktur (d) Kinerja aparatur . Indikator: Kualitas pendidikan aparatur, persentase aparatur pendidik, persentase aparatur paramedis (e) kesejahteraan dengan IPM Deskriptif : (1) Indeks kinerja ekonomi, (2) Indeks kinerja keuangan, (3) Indeks Kinerja pelayanan publik, (4) indeks kinerja aparatur pemerintah daerah

PDRB, dan PDRB per kapita thn 2004-2008, Pendapatan dan Belanja daerah thn 2005-2009, IPM tahun 2004-2008; Sumber data BPS Pusat, BPS Propinsi Maluku Utara, BPS Halmahera Timur dan Instansi terkait.

Diketahuinya tingkat pencapaian kinerja pembangunan daerah setelah pemekaran wilayah

2 Menganalisis aspirasi dan persepsi masyarakat mengenai manfaat dan distribusi manfaat pemekaran wilayah

(a) aspirasi manfaat aspek sosial politik, fisik dan ekonomi, (b) Persepsi aspek sosial politik, fisik dan ekonomi,(c) distribusi manfaat pemekaran wilayah kepada masyarakat, pemerintah dan pengusaha Deskriptif dan AHP Persepsi

Masyarakat, dan data sekunder aspek ekonomi, fisik, dan sosial politik

- Diketahuinya harapan dan keinginan masyarakat mengenai manfaat pemekaran wilayah yang penting untuk dilaksanakan dalam pembangunan daerah. - Diketahuinya perkembangan pembangunan daerah dan manfaat pembangunan daerah setelah pemekaran wilayah

- Diketahuinya pola distribusi manfaat pemekaran wilayah. 3 Mengidentifikasi

faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat

Profil umum responden; jenis kelamin, pendidikan, asal suku, pekerjaan utama dan jabatan dalam masyarakat

Chi-Square Persepsi melalui

wawancara (pengisian questioner) Diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat


(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemekaran Wilayah (Pembentukan Daerah Otonom)

Daerah otonom selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 1 ayat 6 UU No.32/2004).

Pembentukan daerah otonom dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersanding atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Pembentukan daerah otonom harus memenuhi syarat admnistrasi, teknis, dan fisik kewilayahan (pasal 4 dan 5 UU No.32/2004). Pembentukan daerah otonom baru di Indonesia cenderung dilakukan melalui pemekaran wilayah.

Pertambahan daerah otonom baru di Indonesia yang cenderung dilakukan melalui pemekaran wilayah, dikarenakan luas wilayah geografis Indonesia yang terlalu luas. Menurut Bowman dan Hampton (Oentarto, 2004), tidak ada satupun pemerintahan dari suatu negara dengan wilayah yang luas dapat menentukan kebijaksanaan secara efektif ataupun dapat melaksanakan kebijaksanaan program-program secara efisien melalui sistem sentralisasi. Pandangan ini menggambarkan pentingnya desentralisasi dalam pelaksanaan otonomi daerah. Otonomi daerah mengandung dua aspek penting, yaitu; (1) pembentukan daerah otonom dan otonomi daerah, (2) penyerahan kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengurus dan mengatur pemerintahan di daerah, dalam upaya mewujudkan tujuan bernegara.

Pembentukan daerah melalui pemekaran wilayah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui; (a) Peningkatan pelayanan kepada masyarakat; (b) Percepatan pertumbuhan demokrasi masyarakat; (c) Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah; (d) Percepatan pengelolaan potensi daerah; (e) Peningkatan keamanan dan ketertiban; (f) Peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.

Daerah otonom yang dibentuk melalui pemekaran wilayah mesti disertai dengan pembentukan pemerintahan daerah untuk mengelola dan mengurus daerah dalam mencapai tujuan negara yang menjadi aspirasi masyarakat. Menurut Hatta


(24)

dalam Manan (2001) pembentukan pemerintahan daerah (pemerintahan yang berotonomi), merupakan salah satu aspek paham kedaulatan rakyat, hak rakyat untuk menentukan nasib tidak hanya pada cakupan pimpinan negeri, melainkan juga pada setiap tempat di kota, di desa dan di daerah.

Secara yuridis, pemekaran wilayah dengan membentuk daerah otonom sesungguhnya telah ditegaskan dalam UUD 1945 pasal 18 ayat (1), bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah propinsi, dan daerah-daerah propinsi dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-Undang. Kemudian secara operasional diatur dengan UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan PP No. 129 tahun 2000 dirubah menjadi PP No. 78 tahun 2007 tentang Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan daerah.

Prosedur pembentukan daerah otonom baru khususnya pembentukan kabupaten/kota dengan cara pemekaran wilayah (daerah), atau pemecahan kabupaten/kota menjadi dua daerah atau lebih, maka kabupaten/kota induk yang akan dimekarkan telah mencapai batas minimal usia pemerintahan 7 (tujuh) tahun. Selanjutnya pembentukan kabupaten/kota melalui pemekaran daerah harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.

Syarat administratif pembentukan daerah kabupaten/kota meliputi; (a) keputusan DPRD kabupaten/kota induk tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota, (b) keputusan Bupati/Walikota induk tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota, (c) keputusan DPRD propinsi tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota, (d) keputusan Gubernur tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota, (e) rekomendasi Menteri.

Syarat teknis pembentukan daerah kabupaten/kota meliputi; faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan daerah. Syarat fisik kewilayahan meliputi; cakupan wilayah, lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan. Syarat fisik kewilayahan pembentukan kabupaten paling sedikit memiliki 5 (lima) kecamatan, sedangkan cakupan


(25)

wilayah pembentukan kabupaten digambarkan dalam peta wilayah calon kabupaten/kota.

Tata cara pembentukan daerah kabupaten/kota dilaksanakan sebagai berikut: (a) Aspirasi sebagian besar masyarakat setempat dalam bentuk keputusan BPD untuk desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk Kelurahan di wilayah yang menjadi calon cakupan wilayah kabupaten/kota yang akan dimekarkan, (b) DPRD kabupaten/kota dapat memutuskan untuk menyetujui atau menolak aspirasi sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) dalam bentuk Keputusan DPRD berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat yang diwakili oleh BPD untuk Desa atau nama lain dan Forum Komunikasi Kelurahan untuk kelurahan atau nama lain, (c) Bupati/Walikota memutuskan untuk menyetujui atau menolak aspirasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam bentuk keputusan Bupati/Walikota berdasarkan hasil kajian daerah, (d) masing-masing Bupati/Walikota menyampaikan usulan pembentukan kabupaten/kota kepada Gubernur untuk mendapatkan persetujuan dengan melampirkan: (1) dokumen aspirasi masyarakat di calon kabupaten/kota, (2) hasil kajian daerah, (3) peta wilayah calon kabupaten/kota; dan (4) keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan Bupati/ Walikota, (e) Gubernur memutuskan untuk menyetujui atau menolak usulan pembentukan kabupaten/kota berdasarkan evaluasi terhadap kajian daerah, (f) Gubernur menyampaikan usulan pembentukan calon kabupaten/kota kepada DPRD provinsi, (g) DPRD provinsi memutuskan untuk menyetujui atau menolak usulan pembentukan kabupaten/kota; dan (h) dalam hal Gubernur menyetujui usulan pembentukan kabupaten/kota, gubernur mengusulkan pembentukan kabupaten/kota kepada Presiden melalui Menteri dengan melampirkan: (1) dokumen aspirasi masyarakat di calon kabupaten/kota, (2) hasil kajian daerah, (3) peta wilayah calon kabupaten/kota, (4) Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan Bupati/ Walikota; dan (5) keputusan DPRD provinsi dan keputusan gubernur.

Usulan pembentukan kabupaten/kota yang disampaikan Gubernur kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri, selanjutnya Menteri melakukan penelitian terhadap usulan pembentukan kabupaten/kota, yang dilakukan oleh Tim yang dibentuk Menteri. Berdasarkan hasil penelitian, Menteri menyampaikan


(26)

rekomendasi usulan pembentukan daerah kepada DPOD. Berdasarkan rekomendasi usulan pembentukan daerah, Menteri meminta tanggapan tertulis para Anggota DPOD pada sidang DPOD. Dalam hal DPOD memandang perlu dilakukan klarifikasi dan penelitian kembali terhadap usulan pembentukan daerah, DPOD menugaskan Tim Teknis DPOD untuk melakukan klarifikasi dan penelitian. Berdasarkan hasil klarifikasi dan penelitian, DPOD bersidang untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Presiden mengenai usulan pembentukan daerah. Menteri menyampaikan usulan pembentukan suatu daerah kepada Presiden berdasarkan saran dan pertimbangan DPOD. Dalam hal Presiden menyetujui usulan pembentukan daerah, Menteri menyiapkan rancangan undang-undang tentang pembentukan daerah ke DPR RI untuk ditetapkan menjadi undang-undang. Setelah Undang-undang pembentukan daerah diundangkan, Pemerintah melaksanakan peresmian daerah dan melantik penjabat kepala daerah. Peresmian daerah dilaksanakan paling lama 6 (enam) bulan sejak diundangkannya undang-undang tentang pembentukan daerah.

2.2. Pemerintahan Daerah

Keberadaan pemerintahan oleh manusia moderen diperlukan untuk mencegah terjadinya " homo homini lupus bellum omnium contra omnes", yaitu mencegah manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya, dan mencegah jangan sampai yang kuat menguasai yang lemah (Oentarto, 2004). Manusia pada tahap perkembangan masyarakat tertentu mengadakan kontrak sosial (social contract),

untuk membentuk suatu lembaga pemerintahan yang bertugas mengatur hidup mereka agar tidak saling membinasakan satu dengan lainnya.

Sarundayang (2005) menyebutkan bahwa di banyak negara, pemerintahan daerah sudah ada jauh sebelum pemerintah pusat atau pemerintahan nasional di bentuk. Lebih jauh, Hossein dalam Nurcholis (2005) menjelaskan bahwa local government (pemerintah daerah) dapat mengandung tiga arti, pertama;

pemerintah lokal, kedua; pemerintahan lokal yang dilakukan oleh pemerintah lokal, ketiga; berarti daerah otonom.

Manan (2001) menyebutkan bahwa dilihat dari kekuasaan pemerintahan daerah otonom, maka pemerintahan dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok; (1) Pemerintahan dalam arti sempit yaitu penyelenggaraan kekuasaan eksekutif atau


(27)

administrasi negara, (2) Pemerintahan dalam arti agak luas yaitu penyelenggaraan kekuasaan eksekutif dan legislatif tertentu yang melekat pada pemerintahan daerah otonom, (3) Pemerintah dalam arti luas yang mencakup semua lingkungan jabatan negara dibidang eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lain sebagainya.

Dalam UU No.22/1999 pasal 1 ayat (huruf d) Pemerintah Daerah adalah penyelenggaraan pemerintah daerah otonomi oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut azas desentralisasi. Kemudian perubahan UU No.22/1999 menjadi UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang dimaksud dengan Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut azas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI dalam UUD 1945. Pemerintah daerah adalah Gubernur, bupati/walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

2.3. Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Rasyid dalam Sumaryadi (2005), menjelaskan bahwa pengertian desentralisasi dan otonomi sebenarnya mempunyai tempat masing-masing. Istilah otonomi daerah lebih cenderung pada political aspect (aspek politik-kekuasaan negara), sedangkan desentralisasi lebih cenderung pada administrative aspect

(aspek administrasi negara). Namun dilihat dari konteks sharing of power

(berbagi kekuasaan), dalam prakteknya, kedua istilah tersebut mempunyai keterkaitan yang erat, dan tidak dapat dipisahkan. Artinya jika berbicara mengenai otonomi daerah, tentu akan menyangkut pertanyaan seberapa besar wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang telah diberikan sebagai wewenang rumah tangga daerah. Uraian di atas memberikan makna bahwa desentralisasi dan otonomi daerah secara terminologi dapat dipisahkan, namun dalam praktek penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara keduanya memiliki keterkaitan yang erat dan saling menentukan serta saling mendukung. Artinya bahwa, desentralisasi yang melandasi suatu daerah dapat dikatakan otonomi, dan otonomi daerah tidak akan ada jika tidak ada desentralisasi.


(28)

Sebaliknya desentralisasi tanpa otonomi daerah akan menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan daerah.

2.3.1. Desentralisasi Pemerintahan

Koesoemahatmadja dalam Sumaryadi (2005), menjelaskan bahwa ditinjau secara etimologis, desentralisasi berasal dari bahasa latin, de=lepas dan

centrum=pusat; sehingga desentralisasi berarti melepaskan dari pusat. Dalam

Encyclopedia of the Social Science disebutkan bahwa, "The process of decentralisation denotes the transference of authority, legislative, judicial or administrative, from higher level of government to alower "(Desentralisasi adalah penyerahan wewenang dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, baik yang menyangkut bidang legislatif, yudikatif, atau administratif.

Cheema dan Rondinelli dalam Nurcholis (2005) memberikan definisi desentralisasi sebagai berikut, "Decentralization is the transfer of planning, decision-making, or administrative authority from the loco! government to in field organizations, local government, or non-governmental organizations"

(Desentralisasi adalah penyerahan perencanaan, pembuatan keputusan, atau kewenangan administrasi dari pemerintah pusat kepada organisasi wilayah, satuan administrative daerah, organisasi semi otonom, pemerintah daerah, atau organisasi non pemerintah/lembaga swadaya masyarakat).

Dalam UU No.32/2004 tentang pemerintah daerah, desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Cheema dan Rondinelli dalam Nurcholis (2005) membedakan 4 (empat) bentuk desntralisasi berdasarkan definisi desentralisasi yang dirumuskannya, yaitu; (1) Dekonsentrasi (Deconcentralion), (2) Pelimpahan wewenang pada lembaga semi otonom (delegasi) (Delegation to semi -autonomous), (3) Devolusi (Devolution), (4) Penyerahan fungsi pemerintah pusat ke lembaga non pemerintah (Transfer of function from government to non governmental organizations).

Litvack (1991) dalam Mardiasmo (2008) mengemukakan bahwa secara garis besar pengertian desentralisasi dapat dibedakan dalam 3 (tiga) jenis:


(29)

a. Desentralisasi politik, pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada daerah yang menyangkut aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan standar dan berbagai peraturan.

b. Desentralisasi administrasi, merupakan pelimpahan kewenangan, tanggungjawab, dan sumberdaya antar berbagai tingkat pemerintahan.

c. Desentralisasi fiskal, merupakan pemberian wewenang kepada daerah untuk menggalai sumber-sumber pendapatan, hak menerima transfer dari pemerintah yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin dan investasi.

Osborne dan Gaebler (1991) menyebutkan bahwa lembaga yang terdesentralisasi mempunyai 4 (empat) keunggulan, diantaranya; pertama,

lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih fleksibel daripada yang tersentralisasi. Lembaga tersebut dapat memberi respon dengan cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan pelanggan yang berubah; kedua, lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih efektif daripada yang tersentralisasi; ketiga, lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih inovatif daripada yang tersentralisasi; keempat, lembaga yang terdesentralisasi menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih banyak komitmen, dan lebih besar produktifitas.

2.3.2. Otonomi Daerah

Dalam UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang dimaksud dengan otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu, melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Moeliono (1998) dalam Jeddawi (2005), kata wewenang disamakan dengan kata kewenangan, yang diartikan sebagai hak dan kekuasaan untuk bertindak, membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggungjawab kepada orang/badan lain. Manan dalam Jeddawi (2005) menjelaskan bahwa wewenang


(30)

dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (match). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum wewenang berarti hak dan kewajiban. Wewenang dalam kaitan dengan otonomi daerah, maka hak memiliki pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen)

dan mengelola sendiri (zelfbesturen).

Prinsip otonomi daerah sebagaimana ditegaskan dalam UU No.32/2004, menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya, dalam arti bahwa daerah diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintahan yang ditetapkan dalam UU No.32/2004. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan. peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan harus dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasaan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.

Berdasarkan prinsip otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab, yang berorintasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat, maka penerapan otonomi daerah, harus lebih dimaknai substansi otonomi daerah dari aspek kerangka teoritik maupun instrumen hukumnya, agar tidak terjadi interpretasi yang sempit dan keliru terhadap otonomi daerah. Disamping itu, penyelenggaraan otonomi daerah menjadi keharusan dan kebutuhan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan dan percepatan pembangunan daerah, oleh karena pemerintah daerah akan melaksanakan


(31)

pemerintahan dan pembangunan daerah berdasarkan prakarsa, kreaktifitas dan partisipasi aktif masyarakat yang seluas-luasnya. Dengan diberlakukannya otonomi daerah, dalam arus globalisasi dewasa ini akan memperkuat eksistensi negara bangsa, yang kini tengah digugat. Namun, penerapan desentralisasi dan otonomi yang diatur dalam UU No.32/2004, harus dilaksanakan secara konsisten dan sungguh-sungguh.

2.4. Aspirasi Masyarakat

Secara terminologi, aspirasi didefinisikan sebagai harapan terhadap sesuatu hal yang disertai keinginan. Good dalam Sarwono (1999) memberikan batasan aspirasi, "aspiration is the degree to which individual sets his goals realistically in relation to his physical and mental attributes and in accordance with his environment" (aspirasi yaitu bagaimana individu mempersiapkan sekumpulan sasaran atau tujuan secara realistis dalam kaitannya dengan keadaan fisik dan mentalnya serta lingkungan sekitarnya).

Terminologi tersebut, menunjukkan bahwa pemaknaan terhadap istilah atau perkataan aspirasi relatif fleksibel dan kontekstual yang dalam penggunaannya tergantung pada obyek yang akan diamati. Jika idiom aspirasi diletakkan dalam perspektif politik, kekuasaan dan negara (state), maka aspirasi akan berasal (muncul) dari pemegang kedaulatan negara yaitu rakyat (civillity), sedangkan yang bertugas dan bertanggungjawab mengakomodir dan mengagregasi aspirasi adalah penyelenggara negara baik legislatif (DPR) maupun eksekutif. Dalam hal ini, aspirasi membutuhkan saluran (ruang) yang memungkinkan sebuah aspirasi akan tersalur dengan baik sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aspirasi adalah sekumpulan harapan dan keinginan untuk mencapai tujuan dan sasaran.

Dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara, pengistilahan aspirasi tidak berdiri tunggal, tetapi sering diparalelkan dengan subyek (pelaku) yaitu masyarakat sebagai penyalur aspirasi sehingga disebut aspirasi rakyat (masyarakat). Masyarakat sebagai sistem sosial terdiri dari unsur-unsur yang tersusun secara sistematis, dimana setiap unsur mempunyai pola hubungan tertentu seperti pola hubungan keluarga, ekonomi, pemerintahan, agama, pendidikan, dan lapisan masyarakat. Menurut Rudito dan Budiman (2003),


(32)

masyarakat sebagai sistem sosial, didalamnya terdapat aturan-aturan yang mengatur bagaimana seharusnya individu-individu sebagai anggota berinteraksi satu sama lain. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (2003), masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.

Secara sosiologis menurut Himawan dalam Cula (2002), bahwa jika kita merujuk pada istilah society dalam bahasa Indonesia jelas berarti masyarakat. Namun demikian, dalam pengertian politik hal ini memerlukan klarifikasi. Dalam ilmu politik, menurut pandangan di satu sisi, masyarakat dapat ditempatkan dalam posisi yang berhadapan dengan negara, tetapi disisi lain ada yang menganggapnya meliputi political society dan civil society. Dalam peristilahan popular civilsociety

sering diartikan sebagai masyarakat berbudaya atau masyarakat madani, merujuk pada Madinah sebuah kota yang sebelumnya bernama Yastrib di wilayah Arab, dimana masyarakat Islam di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW pernah membangun peradaban tinggi. Menurut Madjid (2004), Madinah berasal dari bahasa Arab Madaniah yang berarti peradaban, sehingga masyarakat madani berasosiasi dengan masyarakat beradab.

Terhadap beragam peristilahan ini, namun yang umum digunakan di Indonesia adalah masyarakat sebagai warga negara (bangsa), yang berbudaya dan memiliki hak dan kewajiban yang sama. Dalam penelitian ini, masyarakat dimaknai sebagai seluruh warga negara (bangsa) yang hidup dalam wilayah NKRI, yang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Upaya memenuhi hak dan memenuhi kewajiban, masyarakat harus menyampaikan aspirasi kepada penyelenggara negara yaitu pemerintah. Aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat ke pemerintah disebut aspirasi masyarakat. Dalam penyampaiannya, didasarkan pada realitas sosial, ekonomi, budaya, sejarah, hukum dan politik yang dihadapi suatu masyarakat. Sehingga kadang kala aspirasi masyarakat dapat bersifat subjektif dan objektif. Aspirasi dikatakan subjektif apabila aspirasi masyarakat tersebut, memiliki muatan politik yang dominan, ketimbang realitas yang benar-benar dialami oleh masyarakat. Sedangkan aspirasi yang obyektif, dapat diamati substansi aspirasi dengan realitas yang terjadi di masyarakat benar-benar bersesuain.


(33)

Bentuk penyampaian aspirasi masyarakat dapat dikelompokkan menjadi aspirasi langsung dan tidak langsung. Aspirasi langsung, biasanya disampaikan dengan cara masyarakat datang langsung ke institusi negara seperti eksekutif dan legislatif. Aspirasi langsung biasanya diekspresikan dengan cara demonstrasi dengan jumlah massa yang banyak, atau hanya sekelompok orang saja. Sedangkan aspirasi tidak langsung, disampaikan dalam bentuk surat atau pernyataan-pernyataan yang bersifat pengaduan dan laporan.

Dari pengertian-pengertian mengenai aspirasi dan masyarakat yang dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa aspirasi masyarakat adalah sekumpulan harapan dan keinginan masyarakat untuk mencapai tujuan yang diinginkan atau dicita-citakan. Berkaitan dengan penelitian ini pula, aspirasi masyarakat meminta pemekaran wilayah Kabupaten Halmahera Tengah menjadi beberapa daerah otonom baru, yaitu Kabupaten Halmahera Timur dan Kota Tidore Kepulauan dengan harapan atau tujuan agar dengan adanya pemekaran wilayah akan tercipta kesejahteraan masyarakat dan memacu laju perkembangan pembangunan daerah Kabupaten Halmahera Timur. Oleh karena itu, aspirasi masyarakat yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah keinginan-keinginan dan harapan-harapan masyarakat terhadap manfaat pemekaran wilayah, yang perlu diselenggarakan dalam pembangunan daerah.

2.5. Persepsi Masyarakat

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (2003), kata persepsi mengandung arti, (1) tanggapan (penerimaan) langsung, (2) proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca indera. Sedangkan kata mempersepsikan berarti membuat persepsi. Selanjutnya menurut Echols dan Shadily (2003), kata

perception (persepsi) berarti (1) penglihatan, (2) tanggapan daya memahami atau menanggapi.

Robins dalam Setiawati dan Tangkilisan (2005) menyatakan bahwa persepsi adalah suatu proses dimana seseorang mengorganisasikan dan menginterprestasikan kesan-kesan sensori untuk memberikan arti tertentu bagi lingkungannya. Lebih jauh Reksowardoyo dalam Sugiyanto (1996), mengemukakan bahwa persepsi masyarakat merupakan tanggapan, pengertian dan interpretasi masyarakat tentang sesuatu obyek yang diinformasikan kepada


(34)

mereka, terutama bagaimana mereka memandang sesuai dengan dirinya sendiri dalam lingkungan tempat dia berada. Sedangkan Krech dalam Khalid (2002) mendefinisikan persepsi masyarakat sebagai proses perubahan kognitif masyarakat dalam menafsirkan serta memahami dunia yang berada disekitar mereka.

Dari definisi dan pengertian persepsi yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah tanggapan, pandangan, penilaian atau penafsiran seseorang (individu) untuk memberikan pernyataan, arti (makna) terhadap sesuatu objek, fenomena atau peristiwa tertentu. Jika persepsi dikaitkan dengan manfaat pemekaran wilayah yang diaspirasikan masyarakat, maka persepsi masyarakat dalam konteks penelitian diartikan sebagai pandangan, tanggapan, atau penilaian masyarakat terhadap manfaat pemekaran wilayah.

Persepsi masyarakat terhadap manfaat pemekaran wilayah dapat terbentuk dari dua aspek, (1) aspirasi mengenai manfaat pemekaran wilayah yang perlu dilaksanakan dalam pembangunan daerah, dan (2) pembangunan daerah yang dilaksanakan pemerintahan daerah tidak didasarkan pada aspirasi masyarakat. Selanjutnya kedua faktor ini secara kognitif melalui panca indera akan membentuk persepsi masyarakat terhadap pemekaran wilayah. Dalam hubungan ini, Kemp et al. dalam Khalid (2002) menyatakan bahwa dalam proses persepsi, seseorang menggunakan pikiran untuk memahami objek atau peristiwa. Sedangkan mata, telinga dan ujung-ujung saraf merupakan alat-alat utama persepsi. Selanjutnya terdapat 2 (dua) prinsip penting, yaitu; (1) persepsi tidak berdiri sendiri, tetapi terdiri atas beberapa proses penginderaan yang dihubungkan dan dipadukan menjadi suatu pola yang komplit. Inilah yang menjadi dasar pengetahuan seseorang, (2) seseorang akan bereaksi terhadap sebagian kecil saja lingkungannya. la akan memilih bagian peristiwa yang ingin ia alami dan menarik perhatian.

Sarwono dalam Ridwan (1999) mengemukakan bahwa perbedaan persepsi seseorang disebabkan oleh:

a. Perhatian, biasa kita tidak dapat menerima seluruh rangsangan yang ada disekitar kita sekaligus, tetapi kita dapat memfokuskan perhatian kita pada satu atau dua obyek saja. Perbedaan fokus antara seseorang dengan orang


(35)

lainnya menyebabkan perbedaan persepsi antara mereka.

b. Set, adalah harapan seseorang akan rangsangan yang akan timbul, misalnya pada seorang atlit lari yang siap digaris start, terdapat set bahwa akan terdengar pistol aba-aba untuk berlari. Pada saat itu ia harus berlari.

c. Kebutuhan, kebutuhan-kebutuhan sesaat maupun yang menetap pada diri seseorang akan mempengaruhi persepsi orang tersebut.

d. Sistem nilai, seperti adat istiadat, kepercayaan yang berlaku dalam suatu masyarakat, akan mempengaruhi pula terhadap persepsi.

e. Ciri kepribadian, seperti watak, karakter, kebiasaan, akan mempengaruhi pula persepsi.

Perbedaan persepsi yang dijelaskan di atas, memperlihatkan suatu perbedaan persepsi yang sifatnya alami atau kodrati (hukum Tuhan) dan politik. Perbedaan persepsi yang sifatnya alami, ditunjukkan dengan sistim nilai dan ciri kepribadian yang dimiliki seseorang. Sedangkan perbedaan yang sifatnya politik, ditunjukkan dengan perhatian, set dan kebutuhan. Namun demikian, perbedaan persepsi semacam ini tidak bersifat permanen (mutlak), tetapi memiliki sifat fleksibilitas yang memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan dalam persepsi seseorang.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa persepsi setiap individu (manusia) dalam masyarakat, dipengaruhi oleh karakteristik setiap orang (individu) itu sendiri. Hubungannya dengan persepsi masyarakat terhadap manfaat pemekaran wilayah, maka dapat dikatakan bahwa persepsi masyarakat sangat dipengaruhi oleh karakteristik setiap orang (individu) dalam masyarakat. Karakteristik masyarakat dapat dikelompokkan menjadi, (1) jenis kelamin, (2) asal suku, (3) tingkat pendidikan, (4) pekerjaan utama, (5) jabatan dalam masyarakat.

2.6 . Pembangunan Daerah dalam Otonomi dan Desentralisasi

Secara filosofi suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik (Rustiadi et al. 2009). Lebih jauh Todaro dan Smith (2007) mengemukakan bahwa pembangunan harus dipandang sebagai proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur


(36)

sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar percepatan pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Jadi pada hakekatnya pembangunan ini harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat, atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individu maupun kelompok-kelompok sosial yang ada didalamnya, untuk bergerak maju menuju suatu kondisi yang serba lebih baik secara material maupun spiritual.

Pengertian pembangunan tersebut jika dikaitkan dengan konsep daerah atau wilayah (region) yang terdiri dari wilayah homogen, nodal, perencanaan, dan administrasi politis, maka dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan daerah pada daerah otonom baik propinsi maupun kabupaten dan kota, digunakan pengertian daerah atau wilayah yang termasuk didalam UU No.32/2004. Dengan demikian, pembangunan daerah dapat dipahami sebagai proses pembangunan yang diselenggarakan di daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota, dan pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional.

Hadi (2001) mengemukakan bahwa pembangunan wilayah atau daerah adalah proses atau tahapan kegiatan pembangunan di suatu wilayah tertentu yang dalam perwujudannya melibatkan interaksi antar sumberdaya dan lingkungannya melalui kegiatan investasi pembangunan. Anwar (1998) mengemukakan bahwa dalam pembangunan wilayah lebih ditekankan kepada memanfaatkan sifat keadaan daerah dan lokal yang bersangkutan terutama aspek yang menyangkut sumberdaya fisik dan sosiokultural yang hidup di masing-masing wilayah, sedangkan Rustiadi (2001) menyatakan bahwa pembangunan wilayah harus memandang penting keterpaduan antar sektoral, antar spasial, serta antar pelaku pembangunan yang berada di dalam dan antar wilayah.

Pelaksanaan pembangunan pada masa lalu yang sentralistik, telah mengabaikan aspek keterpaduan dan keterintegrasian dalam pembangunan. Sebagai akibatnya pemerintah daerah dan lokal gagal menangkap kompleksitas pembangunan diwilayahnya, dan partisipasi masyarakat lokal tidak mendapat tempat (Rustiadi, 2001). Pembangunan yang sentralistik, tujuan-tujuan


(37)

pembangunan wilayahnya menjadi sangat tergantung kepada kebijakan yang diambil pemerintah pusat (Rustiadi, 2001). Implikasi dari pembangunan yang sentralistik juga, telah mengkibatkan berbagai ketimpangan dan kesenjangan baik antar masyarakat maupun antar daerah.

Dengan diterapkannya otonomi daerah dan desentralisasi, memberikan peluang bagi daerah-daerah otonom untuk membenahi kekeliruan-kekeliruan pada masa lalu. Karena proses pembangunan daerah dalam otonomi daerah dan desentralisasi, didasarkan pada prinsip demokrasi, pemerataan (equity), keadilan, pertumbuhan, dan keberlanjutan (sustainable). Untuk itu, pemerintah daerah selaku penyelenggara pemerintahan, yang berkewenangan melaksanakan pembangunan daerah harus diarahkan pada terciptanya demokrasi, pemerataan (equity), pertumbuhan (efficiency), dan keberlanjutan (sustainable).

Pembangunan sebagai suatu proses multidimensional, baik dari aspek ekonomi, sosial dan lingkungan, maka pelaksanaan pembangunan daerah harus dilakukan secara sistematik, terintegrasi dan terpadu. Dengan prinsip demokrasi, pemerataan (equity), keadilan, pertumbuhan, dan keberlanjutan (sustainable), tujuan pembangunan yang diinginkan dapat terwujud.

Tujuan pembangunan daerah secara khusus antara satu daerah dengan daerah lainnya tentu tidak sama, karena kondisi permasalahan yang dihadapi setiap daerah berbeda-beda. Namun, apapun perbedaan permasalahan daerah, secara hakiki pelaksanaan pembangunan daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Goulet dalam Todaro dan Smith (2007) mengatakan bahwa paling tidak ada 3 (tiga) komponen dasar atau nilai inti yang harus dijadikan basis konseptual dan pedoman praktis untuk memahami arti pembangunan yang paling hakiki, diantaranya; (1) kecukupan (sustenance); kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, (2) harga diri (self-esteem); menjadi manusia seutuhnya, (3) kebebasan (freedom); kebebasan dari sikap menghamba, kemampuan untuk memilih.

Todaro dan Smith (2007), menyebutkan bahwa proses pembangunan di semua masyarakat paling tidak harus memiliki 3 (tiga) tujuan inti sebagai berikut; (1) peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai barang kebutuhan


(38)

hidup yang pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, dan perlindungan keamanan, (2) peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan, tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultur dan kemanusiaan, yang kesemuanya itu tidak hanya untuk memperbaiki kesejahteraan materiil, melainkan harga diri pada pribadi dan bangsa yang bersangkutan, (3) perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara keseluruhan, yakni dengan membebaskan mereka dari belitan sikap menghamba dan ketergantungan, bukan hanya terhadap orang atau negara-negara lain, namun juga terhadap setiap kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan mereka.

2.7. Indikator Pembangunan Daerah

Menurut Rustiadi et al. (2009) indikator adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat capaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Kemudian dalam PP No.6/2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, indikator kinerja adalah alat ukur spesifik secara kuantitatif dan/atau kualitatif yang terdiri dari unsur masukan, proses, keluaran, hasil, manfaat, dan/atau dampak yang menggambarkan tingkat capaian kinerja suatu kegiatan.

Secara umum indikator kinerja memiliki fungsi untuk, (1) memperjelas tentang apa, berapa dan kapan suatu kegiatan dilaksanakan, (2) meciptakan konsensu yang dibangun oleh berbagai pihak terkait untuk menghindari kesalahan interpretasi selama pelaksanaan kebijakan/program/kegiatan dan dalam menilai kinerjanya, dan (3) membangun dasar bagi pengukuran, analisis dan evaluasi kinerja organisasi/unit kerja (Rustiadi et al. 2009).

Berdasarkan fungsi indikator yang dikemukakan tersebut, maka dalam mengukur dan menilai keberhasilan atau kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam pelaksanaan pembangunan daerah sangat diperlukan adanya indikator yang relevan dan komprehensif. Kekeliruan dalam memahami dan menerapkan indikator dapat menyebabkan tujuan dari pelaksanaan pembangunan tidak akan tercapai.


(39)

Todaro dan Smith (2007) mengemukakan bahwa sebelum tahun 1970-an, pembangunan semata-mata dipandang sebagai fenomena ekonomi saja. Tinggi rendahnya kemajuan pembangunan di suatu negara hanya diukur berdasarkan tingkat pertumbuhan GNI, baik secara keseluruhan maupun per kapita, yang diyakini akan memberikan efek penetesan ke bawah (trikle down effect).

Akibatnya timbul berbagai permasalahan kemiskinan, pengganguran, ketimpangan serta berbagai permasalahan pembangunan lainnya. Oleh karena itu, ukuran pembangunan tidak saja dilihat dari aspek pertumbuhan ekonomi tetapi perlu secara utuh mencakup multidimensional.

Arsyad (1999) mengemukakan indikator-indikator keberhasilan pembangunan yang secara garis besar; (1) indikator moneter, (2) indikator non moneter, (3) indikator campuran. Indikator pembangunan moneter meliputi; (1) pendapatan per kapita, (2) indikator kesejahteraan ekonomi bersih. Kemudian indikator pembangunan non moneter meliputi; (1) indikator sosial, (2) indeks kualitas hidup dan indeks pembangunan manusia (IPM).

Menurut Rustiadi et al. (2009) dari berbagai pendekatan yang ada, setidaknya terdapat 3 (tiga) kelompok dalam menetapkan indikator pembangunan, yakni (1) indikator berbasis tujuan pembangunan, (2) indikator berbasis kapasitas sumberdaya, dan (3) indikator berbasis proses pembangunan. Sejalan dengan itu, Bappenas (2008) dalam studinya mengenai evaluasi terhadap kinerja pembangunan pada daerah otonom baru, juga didasarkan pada tujuan pemekaran daerah sesuai PP No. 129/2000, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui; (1) peningkatan pelayanan masyarakat, (2) percepatan pertumbuhan demokrasi, (3) percepatan pelaksanaan pembangunan ekonomi daerah, (4) percepatan penggelolaan potensi daerah, (5) peningkatan keamanan dan ketertiban, (6) peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.

Fokus dan indikator yang digunakan Bappenas dalam melakukan evaluasi daerah pemekaran lebih lengkap disajikan dalam Tabel 2. Evaluasi untuk mengukur dan penilaian kinerja pembangunan daerah khususnya dalam upaya mencapai tujuan otonomi daerah, saat ini pemerintah telah menerbitkan PP No.6/2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, yang didalamnya memuat aspek-aspek dan indikator-indikator kinerja pembangunan


(40)

daerah. Dalam peraturan pemerintah tersebut, selain mengukur kinerja penyelenggaraan pemerintah sekaligus mengukur tingkat kemampuan daerah otonom melaksanakan tujuan otonomi daerah melalui pelaksanaan pembangunan daerah. Dengan PP No.6/2008, pemerintah sejak tahun 2008 akan melakukan evaluasi pada seluruh daerah otonom baik propinsi maupun kabupaten dan kota di Indonesia.

Evaluasi Kemampuan Penyelenggaraan Otonomi Daerah (EKPOD) dilakukan untuk menilai kemampuan daerah dalam mencapai tujuan otonomi daerah. Tujuan akhir pelaksanaan otonomi daerah ditujukan dengan parameter tinggi kualitas manusia yang secara internasional diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Oleh karena itu, dalam melakukan Evaluasi Kemampuan Penyelenggaraan Otonomi Daerah, IPM digunakan untuk mengecek apakah aspek-aspek yang digunakan untuk mengukur kemampuan penyelenggaraan otonomi daerah dapat dipertanggungjawabkan. Aspek-aspek yang digunakan dalam mengevaluasi kemampuan penyelenggaraan otonomi daerah terdiri dari, (1) kesejahteraan masyarakat, (2) pelayanan umum, (3) daya saing daerah.

Tabel 2. Indikator-indikator Kinerja Pembangunan Daerah

Aspek/Fokus Indikator

Ekonomi Daerah 1. Pertumbuhan PDRB Non Migas 2. PDRB per Kapita

3. Rasio PDRB kabupaten terhadap PDRB Propinsi 4. Angka Kemiskinan

Keuangan Daerah 1. Dependensi fiskal

2. Kapasitas penciptaan pendapatan 3. Proporsi belanja modal

4. Kontribusi sektor pemerintah Pelayanan Publik 1. Jumlah siswa per sekolah

2. Jumlah siswa per guru

3. Ketersediaan fasilitas kesehatan 4. Ketersediaan tenaga kesehatan 5. Kualitas infrastruktur

Aparatur Daerah 1. Kualitas aparatur yang berstatus PNS 2. Persentase aparatur pendidik

3. Persentase aparatur paramedic (tenaga kesehatan)


(41)

Berdasarkan pengertian dan indikator kinerja yang dikemukakan diatas, baik menurut Rustiadi et al. (2009), maupun yang digunakan Bappenas (2008) dalam melakukan evaluasi kinerja pembangunan pada daerah pemekaran menurut tujuan pemekaran yang diisyaratkan dalam PP No.129/2000, serta PP No.6/2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, maka dalam menganalisis kinerja pembangunan daerah pemekaran di Kabupaten Halmahera Timur Propinsi Maluku Utara digunakan aspek/fokus dan indikator kinerja yang secara lengkap ditampilkan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Indikator-indikator Kinerja Pembangunan Daerah

Aspek/Fokus Indikator

Ekonomi Daerah 1. Pertumbuhan PDRB Non Migas 2. PDRB per Kapita

3. Rasio PDRB kabupaten terhadap PDRB Propinsi 4. Angka Kemiskinan

Keuangan Daerah 1. Dependensi fiskal

2. Kapasitas penciptaan pendapatan 3. Proporsi belanja modal

4. Kontribusi sektor pemerintah Pelayanan Publik 1. Jumlah siswa per sekolah

2. Jumlah siswa per guru

3. Ketersediaan fasilitas kesehatan 4. Ketersediaan tenaga kesehatan 5. Kualitas infrastruktur

Aparatur Daerah 1. Kualitas aparatur yang berstatus PNS 2. Persentase aparatur pendidik

3. Persentase aparatur paramedik (tenaga kesehatan) Kesejahteraan

Masyarakat

Indeks Pembangunan Manusia (IPM)


(1)

1. Dalam rangka lebih meningkatkan kinerja pembangunan daerah yang bersinergi dengan tujuan pemekaran wilayah dan tujuan otonomi daerah, perlu dilakukan:

a. Revitaliasi dan pemberdayaan kelembagaan Pemerintah Daerah melalui, (i) penataan kelembagaan pemerintahan daerah, (ii) penempatan jabatan harus sesuai dengan kompetensi kerja, (iii) pemberdayaan aparatur pemerintah daerah, melalui pendidikan dan pelatihan.

b. Institusionalisasi program dan anggaran pembangunan daerah dapat dilakukan, melalui; (i) RPJMD ditetapkan dengan Peraturan Daerah, (ii) pemerintah daerah perlu segera menyusun standar pelayanan minimal (SPM) menggunakan pendekatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah, (c) perlu segera dibentuk Peraturan Daerah tentang pengelolaan keuangan daerah.

c. Fungsionalisasi institusi DPRD dilakukan dengan mendayagunakan fungsi legislasi, anggara dan pengawasan, melalui fungsionalisasi alat kelengkapan DPRD diantaranya badan-badan, dan komisi-komisi dalam setiap tahapan proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.

d. Transparansi sistem informasi program dan anggaran dapat menggunakan media lokal, atau yang secara khusus disiapkan oleh pemerintah daerah yang secara berkala dapat menginformasikan kepada seluruh masyarakat tentang kebijakan program dan anggaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah.

e. Penguatan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan daerah.

f. Penegakan hukum yang baik di daerah perlu ditekankan pada 3 (tiga) aspek penting; (i) struktur hukum, didalamnya kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, dan pemerintahan daerah, (ii) substansi hukum, berkaitan dengan materi hukum yang telah menjadi kesepakatan


(2)

nasional, dan produk hukum daerah (PERDA), (ii) budaya hukum, berkaitan dengan ketaatan dan kepatutan masyarakat terhadap hukum. 2. Dalam rangka pelaksanaan pembangunan daerah yang sesuai dengan

aspirasi masyarakat, maka kebijakan pembangunan daerah perlu diarahkan dan diprioritaskan pada bidang ekonomi, fisik (infrastruktur) wilayah dan pemerintahan, serta sosial politik. Disamping itu, dalam setiap proses penyusunan kebijakan pembangunan daerah harus didasarkan pada aspirasi masyarakat.

Dalam rangka menciptakan keseimbangan dan pemerataan distribusi manfaat pemekaran wilayah pada seluruh masyarakat, maka kebijakan pembangunan daerah perlu dilakukan secara terpadu dengan pendekatan pembangunan wilayah.


(3)

ANALISIS KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DAN

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP MANFAAT

PEMEKARAN WILAYAH (STUDI KASUS KABUPATEN

HALMAHERA TIMUR PROPINSI MALUKU UTARA)

ANJAS TAHER

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Agusniar A. 2006. Analisis Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Perekonomian Wilayah dan Kesejahteraan Masyarakat (Studi Kasus Di Kabupaten Aceh Singkil, Propinsi Nangroe Aceh Darussalam). [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Anwar A. 1998. Program Penanggulangan Kemiskinan dan Pembangunan Berkelanjutan. Bahan Kuliah Umum. Diberikan di Universitas Borobudur. Jakarta.

Arsyad L. 1999a. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Edisi pertama BPFE. Yogyakarta.

Arsyad L. 1999b. Ekonomi Pembangunan. FPIE-YKPN Yogyakarta.

Bappenas. 2008. Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007. Bappenas Bekerjasama dengan UNDP. Building and Reinventing Decentralised Governance (BRIDGE).

BPS. 2009. Produk Domestik Regional Bruto (PDRD) Propinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 2004-2008. BPS Jakarta.

Cula AS. 2002. Masyarakat Madani. Pemikiran, Teori dan Relevansinya dengan Cita-Cita Reformasi. Penerbit IKAPI. Jakarta.

Echols, J.M., dan Shadily, H. 2003. An English-Indonesian Dictionary. Kamus Inggris-Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Hadi S. 2001. Studi Dampak Kebijakan Pembangunan Terhadap Disparitas Ekonomi Antar-Wilayah (Pendekatan Model Analisis Sistem Neraca Sosial) [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Jeddawi. 2005. Memacu Investasi di Era Otonomi Daerah. Kajian beberapa PERDA tentang Penanaman Modal. IKAPI. Jogjakarta.

Khalid MA. 2002. Persepsi masyarakat tentang Bank Islam di Kabupaten Bogor. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Kroelinger, M. 2001. Sampling and Inferential Statics. Paper.

Laode I. 2005. Permasalahan Pemekaran Daerah di Indonesia. Media Indonesia. Jakarta. 22 Maret 2005.

Lumbessy K. 2005. Analisis Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Perkembangan Perekonomian Wilayah dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten Buru. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Madjid N. 2004. Indonesia Kita. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Manan B. 2001. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Pusat studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII. Yogyakarta.

Marbun BM. 2005. Otonomi Daerah 1945-2005. Proses dan Realita Perkembangan OTDA. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.


(5)

Mardiasmo. 2008. Era Baru Kebijakan Fiskal. Pemikiran Konsep dan Implementasi. (Editor Abimanyu A dan Megantara 2009. Kompas. Jakarta). Moeliono AM. 1998. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Penebit Balai Pustaka.

Jakarta.

Nurcholis H. 2005. Teori dan Praktek. Pemerintah dan Otonomi Daerah. Gramedia Widyasarana. Jakarta.

Oentarto SM. 2004. Menggagas Format Otonomi Daerah Masa Depan: Jakarta. Samitra Media Utama.

Osborne D, Gaebler T. 1991. Mewirausahakan Birokrasi (Reinfenting Government). LPPM. Jakarta.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Otonomi Daerah. 2005. Sinopsis Penelitian. Efektifitas Pemekaran Wilayah di Era Otonomi Daerah. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri.

Ridwan. 1999. Persepsi Masyarakat terhadap Pelaksanaan Program Kawasan Pertumbuhan Ekonomi Terpadu (KAPET) Di Kawasan Timur Indonesia. Studi Kasus Di Kotamadya Bitung SULUT. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Rudito B, dan Budiman A. 2003. Metode dan Teknik Pengelolaan Komoditi Development. ICSD. Jakarta.

Rustiadi E. 2001. Pergerseran Menuju Paradigma Baru Pembangunan Wilayah. Makalah Forum Diskusi. Puslitbang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian Depnakertrans. Jakarta.

Rustiadi E, Saefulhakim S, dan Panuju DR. 2009. Perencanaan Pengembangan Wilayah, Crestpent press dan Yayasan Obor Indonesia. Bogor.

Saaty, T.L, 1991. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpinan. PT Gramedia. Jakarta.

Sangarimbun, M dan Effendi, S. 1989. Metode Penelitian Survei. LP3ES Jakarta. Sarundajang SH. 2002. Arus balik kekuasaan pusat ke daerah. Pustaka Sinar

Harapan. Jakarta.

Sarundajang SH. 2005. Babak baru system pemerintahan daerah. Sarwono SW. 1992. Psikologi Sosial. Penerbit Balai Pustaka. Jakarta.

Sayori N. 2009. Analisis Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Perekonomian Wilayah Kepulauan dan Pengembangan Pariwisata Bahari (Studi Kasus Di Kabupaten Raja Ampat Propinsi Papua Barat). [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Setiawati, EB dan Tangkilisan HN. 2005. Responsivitas Kebijakan Publik. Yoyakarta: Jalasutra.

Simanjuntak, M.S. 2004. Aspirasi dan Persepsi Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen Terhadap Kehidupan Kampus di Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.


(6)

Sugiyanto. 1996. Persepsi masyarakat tentang penyuluhan pembangunan masyarakat pedesaan. [tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sumaryadi IM. 2005. Efektifitas Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah. Citra Utami Jakarta.

Todaro M dan Smith. 2007. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah