Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Kinerja Ekonomi Daerah di Kota Lhokseumawe

(1)

SKRIPSI

DAMPAK PEMEKARAN WILAYAH TERHADAP KINERJA EKONOMI DAERAH DI KOTA LHOKSEUMAWE

OLEH

Aqmarina 110501016

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

ABSTRAK

Pemekaran wilayah merupakan pembentukan suatu wilayah baru baik di tingkat provinsi, kabupaten dan kota dari wilayah induknya, dimana wilayah baru tersebut dapat menjalankan kegiatan pemerintahannya sendiri secara terpisah dari wilayah induknya sebagai suatu wilayah baru yang utuh. Melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2001 yang mengatur pembentukan Kota Lhokseumawe, status Kota Administratif Lhokseumawe pada wilayah Kabupaten Aceh Utara dihapuskan, dan kecamatan-kecamatan yang terdapat pada Kota Lhokseumawe menjadi bagian dari wilayah pemerintahan Kota Lhokseumawe sebagai wilayah pemerintahan hasil pemekaran dari Aceh Utara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak dari pemekaran wilayah Kota Lhokseumawe terhadap kinerja ekonomi daerah pada periode sesudah pemekaran (2001-2013).

Metode analisis digunakan adalah metode indeksasi menggunakan Indeks Kinerja Ekonomi Daerah kemudian dilakukan perbandingan kinerja ekonomi daerah antara sebelum dan sesudah pemekaran menggunakan Uji Indpendent Samples t Test untuk mengetahui perbedaan kondisi ekonomi daerah di Kota Lhokseumawe sebelum pemekaran wilayah dan pasca pemekaran wilayah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara Kinerja Ekonomi Daerah Kota Lhokseumawe pada periode sebelum dan sesudah pemekaran wilayah. Nilai rata-rata indeks Kinerja Ekonomi Daerah pada periode setelah pemekaran lebih tinggi dibandingkan pada periode sebelum pemekaran wilayah yang menunjukkan bahwa pemekaran wilayah memberi dampak positif terhadap kinerja ekonomi daerah Kota Lhokseumawe.


(3)

ABSTRACT

Regional division is the formation of a new region in province, regency, and city of its origin region. A new region can manage its government activities independently without relying on its origin region. Lhokseumawe was formed from Aceh Utara regency, which is passed in the legislation of the Republic of Indoseia No. 20 of 2001. This research is conducted to determine the impact of administration region formation on regional economic performance in Lhokseumawe.

This research uses indexing method and Independent Samples t Test to determine the impact of administration region formation on regional economic performance in Lhokseumawe in the period before and after regional division.

Index calculation and Independent Samples t Test results that there is a difference in regional economic performance before and after regional division. The average value of the index in the period after regional division is higher than in the period before regional expansion, it means that regional division have a positive impact on regional economi performance in Lhokseumawe.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Sang Pencipta Allah SWT, yang atas berkat dan rahmat, dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi dengan judul “Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Kinerja Ekonomi Daerah di Kota Lhokseumawe”. Salawat dan salam juga penulis sanjungkan kepada junjungan dan suritauladan yaitu kepada Nabi Muhammad SAW.

Penelitian ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara dan untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi.

Penulis menyadari sepenuhnya atas segala kekurangan dan keterbatasan yang penulis miliki dalam penulisan skripsi. Untuk itu penulis meminta maaf atas segala kekurangan dan ketidaksempurnaan yang terdapat dalam skripsi ini. Dengan selesainya penyusunan skripsi dan juga penyelesaian studi penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Kedua orang tua tercinta Hasbi dan Rasyidah atas cinta, kasih, sayang, doa dan seluruh dukungan baik moril maupun materil yang telah diberikan kepada penulis dari kecil sampai sekarang.

2. Bapak Prof. Dr Azhar Maksum, SE, M.Ec, Ak, selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec, selaku Ketua Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara, dan Bapak Paidi Hidayat, SE, M.Si, selaku Sekertaris Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara. 4. Bapak Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Sc, Ph.D, selaku Ketua Program Studi S1

Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara, dan Bapak Drs. Syahrir Hakim Nasution, M.Si, selaku Sekertaris


(5)

Program Studi S1 Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Kasyful Mahalli, SE, M.Si, selaku dosen pembimbing yang telah bersedia membimbing dan meluangkan waktunya dan memberi masukan dari awal sehingga terselesaikannya skripsi ini.

6. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec. dan Paidi Hidayat, SE, M.Si, selaku dosen penguji 1 dan 2 yang telah meluangkan waktunya dan memberikan saran dan kritik dalam skripsi ini.

7. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

8. Seluruh staf pengajar dan staf akademik Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

9. Kepada seluruh teman-teman Ekonomi Pembangunan 2011 serta kepada seluruh pihak lainnya yang telah banyak membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Akhir kata, penulis berharap semoga hasil penelitian skripsi ini dapat memberi manfaat bagi banyak pihak, termasuk bagi penulis sendiri.

Medan, Juli 2015

(Aqmarina) 110501016


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah dan Desentralisasi ... 8

2.2 Pemekaran Wilayah ... 12

2.3 Kinerja Ekonomi Daerah ... 18

2.4 Penelitian Terdahulu ... 20

2.5 Kerangka Konseptual ... 23

2.6 Hipotesis ... 24

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 26

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 26

3.3 Definisi Operasional ... 26

3.4 Skala Pengukuran Variabel ... 28

3.5 Jenis Data ... 28

3.6 Metode Pengumpulan Data ... 29

3.7 Teknik Analisis ... 29

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Daerah ... 31

4.1.1 Lokasi dan Geografi Kota Lhokseumawe ... 32

4.1.2 Kependudukan Kota Lhokseumawe ... 33

4.1.3 Tinjauan Perekonomian Kota Lhokseumawe ... 35

4.1.3.1 PDRB Non-Migas Kota Lhokseumawe ... 35

4.1.3.2 Sektor-Sektor Ekonomi Kota Lhokseumawe ... 36

4.2 Kinerja Ekonomi Daerah Kota Lhokseumawe ... 39

4.2.1 Komponen Kinerja Ekonomi Daerah ... 39

4.2.1.1 PDRB Non-Migas (ECGI) ... 39


(7)

4.2.1.3 Rasio PDRB Kabupaten terhadap PDRB

Provinsi (ESERI) ... 43

4.2.1.4 Angka Kemiskinan (POVEI) ... 45

4.2.2 Perbandingan Kinerja Ekonomi Daerah Sebelum dan Sesudah Pemekaran ... 47

4.2.3 Pengembangan Ekonomi Daerah di Kota Lhokseumawe Setelah adanya Pemekaran Wilayah ... 49

4.2.4 Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Kinerja Ekonomi Daerah ... 50

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 55

5.2 Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 58


(8)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Halaman 4.1 Luas Wilayah Kota Lhokseumawe Menurut Kecamatan ... 33 4.2 Jumlah Penduduk Kota Lhokseumawe Tahun 1998-2013 ... 34 4.3 PDRB Non-Migas Kota Lhokseumawe Atas Dasar Harga

Konstan Tahun 1998-2013 ... 35 4.4 PDRB Kota Lhokseumaw Atas Dasar Harga Berlaku Tahun

2009-2015 ... 38 4.5 Pertumbuhan PDRB Non-Migas Kota Lhokseumawe

Berdasarkan Harga Konstan Tahun 1998-2013 ... 41 4.6 PDRB Per Kapita Kota Lhokseumawe Tahun 1998-2013 ... 43 4.7 Rasio PDRB Kota Lhokseumawe Terhadap PDRB

Provinsi Aceh ... 44 4.8 Angka Kemiskinan Kota Lhokseumawe Tahun 1998-2013 ... 46 4.9 Perhitungan Indeks Kinerja Ekonomi Daerah Kota


(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Output Uji Independent Samples t Test ... 60 2. Data Indeks Kinerja Ekonomi Daerah ... 61


(11)

ABSTRAK

Pemekaran wilayah merupakan pembentukan suatu wilayah baru baik di tingkat provinsi, kabupaten dan kota dari wilayah induknya, dimana wilayah baru tersebut dapat menjalankan kegiatan pemerintahannya sendiri secara terpisah dari wilayah induknya sebagai suatu wilayah baru yang utuh. Melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2001 yang mengatur pembentukan Kota Lhokseumawe, status Kota Administratif Lhokseumawe pada wilayah Kabupaten Aceh Utara dihapuskan, dan kecamatan-kecamatan yang terdapat pada Kota Lhokseumawe menjadi bagian dari wilayah pemerintahan Kota Lhokseumawe sebagai wilayah pemerintahan hasil pemekaran dari Aceh Utara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak dari pemekaran wilayah Kota Lhokseumawe terhadap kinerja ekonomi daerah pada periode sesudah pemekaran (2001-2013).

Metode analisis digunakan adalah metode indeksasi menggunakan Indeks Kinerja Ekonomi Daerah kemudian dilakukan perbandingan kinerja ekonomi daerah antara sebelum dan sesudah pemekaran menggunakan Uji Indpendent Samples t Test untuk mengetahui perbedaan kondisi ekonomi daerah di Kota Lhokseumawe sebelum pemekaran wilayah dan pasca pemekaran wilayah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara Kinerja Ekonomi Daerah Kota Lhokseumawe pada periode sebelum dan sesudah pemekaran wilayah. Nilai rata-rata indeks Kinerja Ekonomi Daerah pada periode setelah pemekaran lebih tinggi dibandingkan pada periode sebelum pemekaran wilayah yang menunjukkan bahwa pemekaran wilayah memberi dampak positif terhadap kinerja ekonomi daerah Kota Lhokseumawe.


(12)

ABSTRACT

Regional division is the formation of a new region in province, regency, and city of its origin region. A new region can manage its government activities independently without relying on its origin region. Lhokseumawe was formed from Aceh Utara regency, which is passed in the legislation of the Republic of Indoseia No. 20 of 2001. This research is conducted to determine the impact of administration region formation on regional economic performance in Lhokseumawe.

This research uses indexing method and Independent Samples t Test to determine the impact of administration region formation on regional economic performance in Lhokseumawe in the period before and after regional division.

Index calculation and Independent Samples t Test results that there is a difference in regional economic performance before and after regional division. The average value of the index in the period after regional division is higher than in the period before regional expansion, it means that regional division have a positive impact on regional economi performance in Lhokseumawe.


(13)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Saat ini berbagai daerah terus berupaya untuk melakukan pemekaran wilayah sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pemerataan pembangunan di daerah. Penyelenggaraan pemerintahan kepada masyarakat di beberapa daerah tidak merata dikarenakan luas wilayah administratif kabupaten/kota yang terlalu luas, sehingga tidak dapat menjangkau semua wilayah yang berada pada kabupaten/kota tersebut secara merata. Pembangunan cenderung dilakukan secara intensif di suatu wilayah yang dianggap penting dan memiliki peran besar terhadap perekonomian dan pemerintahan saja. Sementara kemajuan suatu wilayah sesungguhnya terwujud dengan dari adanya dukungan dari wilayah-wilayah yang ada di sekitarnya.

Pemekaran daerah dilakukan dengan harapan agar dapat memperbesar peluang suatu daerah agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan melakukan pembangunan di daerahnya. Suatu daerah ingin membentuk daerah otonom secara terpisah dari daerah induknya untuk memperoleh infrasturktur pemerintahan, pengelolaan anggaran, dan peraturan serta penyelenggaraan pemerintahannya sendiri, sehingga daerah tersebut dapat mengelola daerahnya secara mandiri. Wilayah yang sebelumnya sulit mendapatkan akses pembangunan akan dapat melakukan pembangunan sesuai dengan yang diharapkan dengan adanya pemekaran daerah.


(14)

Berdasarkan permasalahan tersebut maka muncul kebijakan desentralisasi pembentukan daerah-daerah otonom melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang selanjutnya diubah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Disusunnya Undang-Undang ini dilakukan berdasarkan perkembangan dan perubahan kondisi pemerintahan, ekonomi, sosial ekonomi, dan lain lain. Dengan adanya penyerahan wewenang untuk mengatur pemerintahan dari pemerintah kepada daerah otonom, maka diharapkan daerah otonom mampu menyelenggarakan pemerintahan.

Selain itu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juga mengatur mengenai ketentuan-ketentuan dalam pemekaran wilayah. Pembentukan wilayah pemekaran dapat dilakukan apabila daerah-daerah yang akan termasuk dalam suatu daerah pemekaran memiliki kemampuan ekonomi dan potensi daerah sehingga daerah tersebut dapat mengelolanya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Selain itu faktor sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor-faktor lainnya juga menjadi dasar pertimbangan dalam evaluasi untuk meninjau kelayakan pemekaran suatu wilayah. Dengan adanya pemekaran wilayah maka diharapkan daerah-daerah yang termasuk dalam wilayah pemekaran dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, melakukan pembangunan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya melalui kemandirian pemerintahan dan tata kelola ekonomi.

Kota Lhokseumawe merupakan salah satu wilayah pemekaran di provinsi Aceh. Kota Lhokseumawe merupakan hasil pemekaran dari Aceh Utara pada tahun 2001. Wilayah pemerintahan Aceh Utara sebelum adanya pemekaran


(15)

tergolong luas, yaitu mencakup 38 kabupaten. Luas wilayah pemerintahan Aceh Utara yang cukup luas menunjukkan bahwa terdapat beban tugas dan volume kerja yang tinggi dalam pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat, sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kemasyarakatan tidak dapat terselenggara secara efektif dan efisien. Didasari oleh hal tersebut, maka pemekaran Aceh Utara dilakukan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pelayanan kemasyarakatan secara merata. Aceh Utara melakukan pemekaran yang menghasilkan tiga kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, dan Kabupaten Bireuen.

Berdasarkan aspirasi masyarakat yang berkembang untuk meningkatkan kesejahteraan dengan mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan dalam ruang lingkup yang lebih kecil secara mandiri, maka dengan mempertimbangan berbagai aspek ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk luas daerah, dan berbagai pertimbangan lainnya, dibentuklah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2001 yang mengatur pembentukan Kota Lhokseumawe. Dengan terbentuknya Undang-Undang ini, maka status Kota Administratif Lhokseumawe pada wilayah Kabupaten Aceh Utara dihapuskan, dan kecamatan-kecamatan yang terdapat pada Kota Lhokseumawe menjadi bagian dari wilayah pemerintahan Kota Lhokseumawe sebagai wilayah pemerintahan hasil pemekaran dari Aceh Utara.

Pemekaran Kota Lhokseumawe dari Aceh Utara diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dengan penyelenggaraan pemerintahan yang


(16)

dilakukan secara mandiri. Maka perlu diketahui apakah tujuan dari pemekaran wilayah Kota Lhokseumawe dapat tercapai atau tidak. Terdapat beberapa indikator yang dapat menunjukkan keberhasilan pencapaian tujuan pemekaran wilayah, yaitu aspek kinerja perekonomian daerah, pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan keuangan daerah. Berdasarkan pemaparan di atas penulis akan menganalisa kinerja perekonomian daerah Kota Lhokseumawe pada periode sebelum terjadinya pemekaran wilayah dan periode seteleh terjadinya pemekaran wilayah Kota Lhokseumawe dari Aceh Utara.

1.2 Perumusan Masalah

Untuk mengetahui perkembangan kondisi perekonomian daerah, terdapat indikator-indikator yang mempengaruhi kinerja ekonomi daerah, yaitu pertumbuhan PDRB non-migas, pertumbuhan PDRB per kapita, rasio PDRB kabupaten terhadap PDRB provinsi, dan angka kemiskinan. Dengan adanya indikator-indikator tersebut maka dapat diukur kinerja ekonomi daerah melalui Indeks Kinerja Ekonomi Daerah yang merupakan rata-rata dari empat indikator diatas.

PDRB Kota Lhokseumawe disumbang oleh 4 kecamatan yang terdapat pada wilayah pemerintahan Kota Lhokseumawe, yaitu Kecamatan Banda Sakti, Kecamatan Blang Mangat, Kecamatan Muara Dua, dan Kecamatan Muara Satu. Setiap kecamatan memberi sumbangsi yang berbeda terhadap PDRB kota Lhokseumawe dikarenakan adanya perbedaan faktor-faktor ekonomi maupun


(17)

faktor lainnya yang turut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dari masing-masing kecamatan.

Dengan adanya pemekaran wilayah Kota Lhokseumawe dari Aceh Utara tentunya memberi dampak terhadap perubahan PDRB kecamatan-kecamatan di Kota Lhokseumawe yang sebelumnya merupakan bagian dari susunan PDRB Aceh Utara. Kecamatan yang sebelumnya tidak mempengaruhi PDRB Aceh Utara secara dominan memiliki peluang untuk menjadi penyokong utama PDRB Kota Lhokseumawe. Peningkatan PDRB kecamatan-kecamatan di Kota Lhokseumawe dapat mengaruhi kinerja ekonomi daerah di Kota Lhokseumawe.

Pemekaran wilayah merupakan salah satu harapan dari masyarakat Kota Lhokseumawe untuk bisa meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Dengan adanya kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memaksimalkan potensi ekonomi daerah dan mengelola perekonomian daerah, PDRB non-migas Kota Lhokseumawe terus meningkat setiap tahunnya. Namun di sisi lain, setelah empat belas tahun usia pemekaran Kota Lhokseumawe dari Kabupaten Aceh Utara, masih ditemukan beberapa permasalahan terutama di bidang sosial dan ekonomi seperti penurunan pendapatan per kapita dan perihal angka kemiskinan. Permasalahan ini tentunya tidak sejalan dengan tujuan dari adanya pemekaran wilayah, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut.

Kondisi dari kinerja ekonomi daerah di Kota Lhokseumawe harus terus dipantau sehingga dapat menjadi acuan dan bahan pertimbangan dalam mengelola


(18)

dan memaksimalkan potensi ekonomi, sehingga tujuan dari pemekaran wilayah yaitu peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai.

Untuk mengetahui kondisi kinerja ekonomi daerah di Kota Lhokseumawe pada periode sebelum pemekaran dan sesudah pemekaran, maka dalam penelitian ini disusun rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kinerja ekonomi daerah Kota Lhokseumawe sebelum dan setelah dilakukan pemekaran wilayah?

2. Bagaimana dampak pemekaran wilayah terhadap kinerja ekonomi daerah di Kota Lhokseumawe?

3. Apa yang menjadi kendala pengembangan ekonomi daerah di Kota Lhokseumawe pasca pemekaran wilayah?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut: 1. Untuk menganalisa kinerja ekonomi daerah Kota Lhokseumawe

sebelum dan sesudah pemekaran wilayah.

2. Untuk mengetahui dampak pemekaran wilayah terhadap kinerja ekonomi daerah di Kota Lhokseumawe.

3. Untuk mengetahui kendala pengembangan ekonomi daerah Kota Lhokseumawe setelah adanya pemekaran wilayah.

Manfaat Penelitian


(19)

1. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan menjadi hasil penerapan terhadap pemahaman teoritis yang telah diperoleh selama menuntut ilmu pada masa perkuliahan.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber ilmu, sumber informasi dan referensi bagi berbagai pihak dan dapat menjadi rujukan untuk penelitian selanjutnya.


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Otonomi Daerah dan Desentralisasi

Otonomi daerah dan desentralisasi memiliki kaitan erat dengan pemekaran wilayah. Kebijakan otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memberdayakan daerah melalui pelayanan kepada masyarakat secara adil dan merata.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menurut Safi’i (2007 : 11), otonomi daerah merupakan konsep penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang ingin mengembalikan supremasi kedaulatan rakyat di atas kekuasaan dan keabsolutan negara. Menurut Adisasmita (2010 : 65), daerah otonomi adalah “kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwewenang dan berkewajiban mengatur dan atau mengurus rumah tangganya sendiri dalam kaitan Negara


(21)

Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Otonomi daerah merupakan hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Selain itu juga terdapat kewajiban dalam pelaksanaan otonomi daerah. Menurut Muslim (2007 : 104), otonomi harus dimaknai juga sebagi kewajiban, maka di dalam otonomi terdapat pertanggungjawaban yang besar terhadap kesejahteraan rakyat di daerah dan terhadap perwujudan good governance.

Daerah otonom memiliki wewenang untuk mengelola wilayahnya secara mandiri dengan memanfaatkan potensi daerah yang dimiliki. Menurut Nurjaman (2006), terdapat berbagai manfaat dengan adanya otonomi daerah, yaitu untuk pendidikan politik, pelatihan dalam kepemimpinan, untuk mencapat stabilitas politik, kesamaan politik, dan akuntabilitas serta responsivitas.

Otonomi daerah merupakan salah satu bagian dari sistem tata negara dan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 ayat 2 yang menyebutkan bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Otonomi daerah dimulai setelah gerakan reformasi tahun 1998 berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sebelumnya kontrol pusat lebih dominan dalam perencanaan dan pembangunan di Indonesia. Pemerintah daerah memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap


(22)

pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak dapat menetapkan dan melaksanakan program pembangunan di daerah secara leluasa. Dari sisi politik kebijakan otonomi daerah memang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, namun kenyataannya tidak sejalan dengan realita dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dominasi pusat masih sangat dirasakan oleh daerah sehingga muncul berbagai permasalahan antara daerah dan pusat. Maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 kemudian direvisi dan disempurnakan melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dan telah mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan terakhir dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, yang disempurnakan dengan adanya Perpu Nomor 2 Tahun 2014.

Kebijakan otonomi daerah merupakan bagian dari konsep desentralisasi. Menurut Safi’i (2007 : 2), desentralisasi adalah “pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada satuan-satuan pemerintahan untuk menyelenggarakan kepentingan-kepentingan setempat dari kelompok penduduk yang mendiami wilayah tertentu”. Menurut Nurjaman (2006 : 158), desentralisasi adalah “proses pendelagasian kekuasaan dari pemerintah pusat kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah dalam hal teritorial dalam suatu negara, atau dalam organisasi yang berskala besar”.

Menurut Mariana (2008 : 185), desentralisasi tidak menyebabkan pengurangan wilayah mesipun terjadi pemekaran, penggabungan, ataupun penghapusan daerah otonom karena Kabupaten/Kota tersebut tetap menjadi bagian dari Provinsi, dan Provinsi tetap menjadi wilayah dari negara. Hal yang


(23)

menjadikannya berbeda setelah adanya desentralisasi hanyalah beberapa urusan dan fungsi yang sebelumnya menjadi kewenangan dari daerah otonom. Begitupun dengan adanya otonomi daerah, seperti menurut pendapat Widjaja (1998 : 134), otonomi daerah tidak akan mengarah kepada disintegrasi negara, sebaliknya otonomi daerah akan lebih mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan menciptakan pemerataan pembangunan yang sekalipun akan memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa.

Tujuan desentralisasi adalah upaya untuk menciptakan kemampuan unit pemerintah secara mandiri dan independen. Desentralisasi merujuk pada konsep pemerintahan yang mencerminkan kebutuhan untuk menciptakakan pemerintah lokal sebagai institusi yang paling berhak melakukan formulasi kebijakan, implementasi dan evaluasi atau kontrol kebijakan yang dirancang untuk kesejahteraan masyarakatnya. Dengan adanya desentralisasi, maka diharapkan dapat menciptakan efisiensi administrasi. Menurut Mariana (2008), sistem sentralisasi tergolong birokratis dan boros. Memberdayakan aparat di tingkat daerah dan lokal akan memberikan hasil yang lebih baik karena dapat menghilangkan prosedur birokrasi yang bertingkat-tingkat.

Otonomi daerah memiliki kaitan yang erat dengan desentralisasi. Menurut Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (2002 : 201), desentralisasi dan otonomi daerah yang dikembangkan di Indonesia adalah desentralisasi yang mengandalkan pada sistem Negara Kesatuan dengan otonomi yang luas, dengan titik berat otonomi pada kabupaten/kota. Hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan daerah dapat terlaksana dengan adanya penyerahan


(24)

wewenang dari pusat kepada daerah untuk mengelola dan mengatur daerahnya secara mandiri. Maka dari itu dikatakan bahwa otonomi daerah tidak dapat terselenggara tanpa adanya desentralisasi sebagai aktualisasi dari otonomi daerah itu sendiri.

2.2 Pemekaran Wilayah

Pemekaran wilayah merupakan salah satu wujud dari desentralisasi otonomi daerah. Pemekaran wilayah diharapkan dapat memberi peluang yang sama bagi setiap wilayah dalam peningkatan pelayanan publik dan mengoptimalkan pemanfaatan potensi ekonomi daerah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan adanya pemekaran wilayah, maka daerah dapat menjalankan kegiatan pemerintahannya secara mandiri sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Negara. Menurut Mariana (2008 : 179), pemekaran diharapkan mampu menjadi media pembuka simpul-simpul keterbelakangan akibat jangkauan pelayanan pemerintah yang terlalu luas, sehinga perlu dibuka kesempatan bagi derah untuk menjalankan pemerintahan secara mandiri berdasarkan potensi yang dimiliki.

Ketentuan mengenai pemekaran wilayah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pasal 4 ayat 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, disebutkan bahwa pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Pemekaran wilayah merupakan pembentukan suatu wilayah baru baik di tingkat provinsi, kabupaten dan kota dari wilayah induknya, dimana wilayah baru tersebut


(25)

dapat menjalankan kegiatan pemerintahannya sendiri secara terpisah dari wilayah induknya sebagai suatu wilayah baru yang utuh.

Menurut Sjafrizal (2008 : 260), terdapat berbagai alasan yang mendorong pemekaran wilayah, yaitu “untuk meningkatkan jangkauan pelayanan publik, terutama untuk daerah dengan luas cukup besar, pemekaran wilayah juga dipicu aspek keuangan daerah dan aspek politik”.

Selain itu faktor agama, budaya, luas daerah, dan perbedaan kemakmuran dan pembangunan antar daerah juga turut mempengaruhi terjadinya pemekaran wilayah yang juga dikarenakan kurangnya sarana transportasi dan komunikasi. Pelayanan publik tidak dapat dirasakan masyarakat secara adil dan merata apabila wilayah terlalu luas, maka dengan adanya pemekaran wilayah diharapkan masyarakat yang tinggal di wilayah-wilayah yang sebelumnya kurang mendapatkan pelayanan publik dapat memperoleh pelayanan publik sebagaimana mestinya.

Ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah merupakan salah satu faktor terbesar yang menjadi alasan pemekaran wilayah, yang juga dipengaruhi oleh faktor sumber daya alam. Ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah dapat memicu kecemburuan sosial, terlebih lagi apabila wilayah yang bersangkutan berada dalam wilayah pemerintahan yang sama, seperti adanya ketimpangan pembangunan ekonomi antar kecamatan pada kabupaten/kota yang sama. Demikianlah alasasan-alasan yang mendorong terjadinya pemekaran wilayah.


(26)

Namun pemekaran tidak dapat dilakukan begitu saja secara serta-merta. Menurut Sjafrizal (2008 : 276) terdapat beberapa faktor yang menentukan kelayakan pemekaran daerah yaitu:

1. Kemampuan keuangan daerah.

Pemekaran suatu daerah tidak dapat berjalan dengan baik apabila kemampuan daerah yang bersangkutan tidak memadai untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan melakukan pelayanan publik.

2. Pertumbuhan ekonomi daerah.

Apabila pertumbuhan ekonomi pada daerah yang ingin melakukan pemekaran masih rendah, maka dapat menimbulkan resiko yang tinggi karena dikhawatirkan daerah tersebut tidak mampu mengelola perekonomiannya sehingga menyebabkan pertumbuhan ekonomi menjadi semakin rendah.

3. Kualitas sumberdaya manusia.

Kualitas sumberdaya manusia merupakan faktor yang paling penting sebagai pertimbangan dalam melakukan pemekaran wilayah. Apabila suatu wilayah memiliki kemampuan finansial dan sumberdaya yang memadai namun kualitas sumberdaya yang dimiliki justru rendah, maka dapat menimbulkan resiko menurunnya pertumbuhan ekonomi daerah dan sumberdaya yang dimiliki oleh daerah tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien. Selain itu apabila kualitas sumberdaya manusia rendah, maka pelaksanaan pemerintahan dan pelayanan publik juga tidak


(27)

dapat dilakukan secara maksimal, sehingga tujuan awal dari pemekaran wilayah tidak dapat tercapai.

Selain itu terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan pemekaran wilayah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, syarat-syarat untuk melakukan pemekaran wilayah kabupaten/kota adalah sebagai berikut:

a. Syarat administratif, meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur, serta rekomendasi Menteri dalam Negeri.

b. Syarat teknis, meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah sosial budaya, sosial politik, kepenudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.

c. Syarat fisik, memiliki paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.

Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah menetapkan syarat-syarat pembentukan daerah dengan aspek penilaian sebagai berikut:

a. Kegiatan ekonomi, meliputi hasil kegiatan usaha perekonomian yang berlangsung di suatu Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota yang dapat diukur


(28)

dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan penerimaan daerah sendiri.

b. Potensi daerah, yang merupakan cerminan tersedianya sumber daya yang dapat dimanfaatkan dan memberikan sumbagan terhadap penerimaan daerah dan kesejahteraan masyarakat, yang dapat diukur dari lembaga keuangan, sarana ekonomi, sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana transportasi dan komunikasi, sarana pariwisata, dan ketenagakerjaan. c. Sosial budaya, berkaitan dengan struktur sosial dan pola budaya

masyarakat. Kondisi sosial budaya masyarakat dapat diukur dari tempat peribadatan, tempat/kegiatan institusi sosial dan budaya, dan sarana olah raga.

d. Sosial politik, yang merupakan cerminan kondisi sosial politik masyarakat yang dapat diukur dari partisipasi masyarakat dalam berpolitik dan organisasi kemasyarakatan.

Prosedur pemekaran wilayah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 meliputi:

a. Ada kemauan politik dari Pemerintah Daerah dan masyarakat yang bersangkutan.

b. Pembentukan Daerah harus didukung oleh penelitian awal yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah.

c. Usul pembentukan Provinsi disampaikan kepada pemerintah, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan dilampirkan hasil penelitian Daerah dan persetujuan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang


(29)

berada dalam wilayah Provinsi yang dimaksud, yang dituangkan dalam Keputusan DPRD.

d. Usul pembentukan Kabupaten/Kota disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah melalui Gubernur dengan dilampirkan hasil penelitian Daerah dan persetujuan DPRD Kabupaten/Kota serta persetujuan DPRD Provinsi, yang dituangkan dalam Keputusan DPRD. e. Dengan memperhatikan usulan Gubernur; Menteri Dalam Negeri dan

Otonomi Daerah memproses lebih lanjut dan dapat menugaskan Tim untuk melakukan observasi ke Daerah yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.

f. Berdasarkan rekomendasi pada huruf e, Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah meminta tanggapan para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dan dapat menugaskan Tim Teknis Sekretariat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah ke Daerah untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

g. Para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah memberikan saran dan pendapat secara tertulis kepada Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.

h. Berdasarkan saran dan pendapat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, usul pembentukan suatu daerah diputuskan dalam rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.

i. Apabila berdasarkan hasil keputusan rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah menyetujui usul pembentukan Daerah, Menteri Dalam


(30)

Negeri dan Otonomi Daerah selaku Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah mengajukan usul pembentukan Daerah tersebut beserta Rancangan Undang-undang Pembentukan Daerah kepada Presiden.

j. Apabila Presiden menyetujui usul dimaksud, Rancangan Undang-undang pembentukan Daerah disampaikan kepada DPR-RI untuk mendapat persetujuan.

2.3 Kinerja Ekonomi Daerah

Meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah salah satu tujuan dari pemekaran wilayah. Peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat dicapai melalui peningkatan kinerja perekonomian daerah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001), kinerja adalah sesuatu yang dicapai atau prestasi yang di perlihatkan. Menurut Rachim dan Sasana (2013), kinerja ekonomi digambarkan oleh beberapa variabel untuk mengetahui apakah kinerja ekonomi sebuah daerah menjadi lebih baik setelah dilakukannya pemekaran daerah. Variabel-variabel tersebut adalah pertumbuhan PDRB non-migas, pertumbuhan PDRB per kapita, rasio PDRB kabupaten/kota terhadap PDRB provinsi, dan angka kemiskinan.

Berdasarkan Studi Evaluasi Pemekaran Daerah oleh BAPPENAS (2008), terdapat 4 indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja ekonomi daerah menggunakan Indeks Kinerja Ekonomi Daerah (IKE). Empat indikator yang dimaksud adalah:

1. Pertumbuhan PDRB Non-Migas (ECGI)

Indikator ini digunakan untuk mengukur gerak perekonomian daerah yang mampu menciptakan lapangan kerja sehingga dapat meningkatkan


(31)

kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi dihitung menggunakan PDRB harga konstan 2000.

2. Pertumbuhan PDRB per Kapita (WELFI)

Indikator ini mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah yang bersangkutan. Semakin tinggi PDRB per Kapita di suatu daerah, maka semakin baik kinerja ekonomi daerah tersebut.

3. Rasio PDRB Kabupaten Terhadap PDRB Provinsi (ESERI)

Indikator ini menunjukkan tingkat perkembangan ekonomi di satu daerah dibandingkan dengan daerah lain dalam satu wilayah provinsi.

4. Angka Kemiskinan (POVEI)

Tingkat kemiskinan diukur menggunakan head-count index, yaitu persentase jumlah penduduk miskin terhadap jumlah penduduk di suatu daerah. Menurunnya angka kemiskinan menunjukkan semakin baik kinerja ekonomi suatu daerah karena dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

Berdasarkan indikator-indikator di atas, maka untuk mengetahui kinerja ekonomi daerah dapat dilakukan menggunakan Indeks Kinerja Ekonomi Daerah (IKED) yang merupakan rata-rata dari keempat indikator tersebut. Untuk mengukur kinerja ekonomi daerah pada kabupaten i di tahun t dapat dengan rumus perhitungan sebagai berikut:

IKEDi,t= ECGIi,t+ WELFIi,t+ ESERIii,t+ − POVEIi,t


(32)

2.4 Penelitian Terdahulu

Berikut beberapa penelitian terdahulu yang menjadi referensi pada penelitian ini:

Rachmawati (2009) dalam penelitianya berjudul “Analisis Kinerja Ekonomi dan Potensi Keuangan Daerah Kota Bogor Sebelum dan Selama Desentralisasi Fiskal”, menganalisis kinerja ekonomi dan potensi keuangan daerah Kota Bogor sebelum dan selama desentralisasi fiskal. Analisis dilakukan menggunakan metode Two Stage Least Square (2SLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa PDRB Kota Bogor pada masa desentralisasi fiskal mengalami peningkatan, namun laju pertumbuhan ekonomi daerah pada masa itu relatif rendah dibandingkan sebelum desentralisasi fiskal. Peningkatan Potensi keuangan terjadi pada seluruh komponen pendapatan daerah.

Afriani, Saleh, dan Fattah (2012) melakukan penelitian dengan judul “Dampak Pemekaran Kabupaten Tana Toraja Terhadap Kinerja Perekonomian, Keuangan, Pelayanan Publik dan Aparatur Pemerintah Daerah. Penelitian dilakukan untuk melihat dampak dari pemekaran yang terjadi terhadap daerah induk. Metode analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif menggunakan indeks. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kabupaten Tana Toraja sebagai daerah induk sudah layak untuk dimekarkan baik dari segi kinerja perekonomian daerah, kinerja keuangan pemerintah daerah, kinerja perlayanan publik, dan kinerja aparatur pemerintah daerah.

Penelitian Rachim (2013) berjudul “Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah Terhadap Kinerja Ekonomi dan Kinerja Pelayanan Publik di Kota Serang”,


(33)

dilakukan penelitian untuk mengetahui kinerja ekonomi dan kinerja pelayanan publik di Kota Serang setelah terjadinya pemekaran wilayah dari Provinsi Jawa Barat yang membentuk Provinsi Banten dengan Kota Serang sebagai ibukota. Metode analisis yang digunakan untuk membandingkan kinerja daerah otonomi baru dengan daerah induk pada periode setelah pemekaran adalah metode indeksasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja ekonomi dan kinerja pelayanan publik di Kota Serang mampu mengimbangi dan lebih baik dibandingkan kinerja pelayanan publik Kabupaten Serang yang merupakan daerah induknya.

Penelitian Arianti dan Cahyadinata (2013) berjudul “Kajian Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Kinerja dan Pemerataan Ekonomi Daerah Pesisir di Provinsi Bengkulu. Penelitian dilakukan menggunakan uji beda t untuk menganalisis perbedaan kinerja ekonomi daerah pesisir antara sebelum dan setelah pemekaran dilakukan. Diperoleh hasil penelitian bahwa pertumbuhan ekonomi Daerah Inti paling tinggi dan relatif stabil sedangkan pertumbuhan ekonomi DOB paling rendah dan cenderung fluktuatif. PDRB tertinggi terjadi di Daerah Inti dan yang terendah di DOB. Angka kemiskinan paling rendah terdapat di Daerah Inti dan yang tertinggi di DOB. Tingkat kesenjangan ekonomi daerah pesisir di Provinsi Bengkulu setelah pemekaran wilayah lebih tinggi dibandingkan sebelum pemekaran wilayah.

Tiffani (2014) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Komparasi Konvergensi, Aglomerasi, dan Kinerja Ekonomi Daerah pada Daerah Pemekaran”. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dampak pemekaran


(34)

Kabupaten Kepulauan Meranti dari Kabupaten Bengkalis terhadap konvergensi atau ketimpangan pembangunan wilayah di Provinsi Riau, terhadap aglomerasi di Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Kepulauan Meranti dan terhadap Kinerja Ekonomi Daerah di dua kabupaten tersebut. Metode analisis yang digunakan adalah adalah analisis shift share, indeks Williamson untuk menghitung ketimpangan wilayah, indeks Balassa untuk mengukur aglomerasi, dan perhitungan kinerja daerah melalui 4 indikator yaitu pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan PDRB per kapita, rasio PDRB Kabupaten terhadap PDRB Provinsi, dan angka kemiskinan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konvergensi pembangunan wilayah Provinsi riau lebih rendah setelah adanya pemekaran Kabupaten Kepulauan Meranti dari Kabupaten Bengkalis dibandingkan sebelum adanya pemekaran. Aglomerasi di Kabupaten Bengkalis sebelum adanya pemekaran lebih lemah dibandingkan dengan setelah adanya pemekaran daerah, sedangkan pada Kabupaten Kepulauan Meranti belum terbentuk aglomerasi di sektor formal. Kinerja ekonomi daerah Kabupaten Bengkalis periode sebelum adanya pemekaran tidak berbeda dengan setelah adanya pemekaran daerah, tren kinerja ekonomi daerah Kabupaten Kepulauan Meranti pada periode setelah adanya pemekaran terlihat lebih baik dibandingkan tren kinerja ekonomi daerah Kabupaten Bengkalis pada periode yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa pemekaran daerah lebih memiliki dampak terhadap kinerja ekonomi daerah Kabupaten Kepulauan Meranti dibandingkan dengan kinerja ekonomi daerah Kabupaten Bengkalis.


(35)

2.5 Kerangka Konseptual

Pemekaran wilayah memiliki tujuan utama yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang dapat diwujudkan dengan keleluasan bagi pemerintah daerah untuk mengelola, mengatur, dan memanfaatkan sektor-sektor ekonomi di daerah sehingga dapat mendorong peningkatan perekonomian daerah. Peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pemekaran wilayah dapat dicapai dari berbagai aspek. Aspek-aspek yang menggambarkan peningkatan kesejahteraan masyarakat beberapa diantaranya adalah peningkatan kinerja ekonomi daerah, peningkatan kinerja keuangan pemerintah daerah, peningkatan kinerja pelayanan publik, dan peningkatan kinerja aparatur pemerintah daerah.

Penelitian ini fokus kepada pengaruh pemekaran wilayah Kota Lhokseumawe, yang merupakan daerah hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Utara, pada aspek kinerja ekonomi daerah. Maka untuk melihat perkembangan dari daerah hasil pemekaran yaitu Kota Lhokseumawe, dilakukan analisa terhadap perubahan kinerja ekonomi daerah yang diukur dengan Indeks Kinerja Ekonomi Daerah (IKE), yang didalamnya terdapat 4 indikator, yaitu pertumbuhan PDRB non-migas, pertumbuhan PDRB per kapita, rasio PDRB kabupaten/kota terhadap PDRB provinsi, dan angka kemiskinan. Melalui Indeks Kinerja Ekonomi Daerah, selanjutnya dapat dilakukan perbandingan untuk melihat bagaimana perbandingan antara kinerja ekonomi daerah pada 4 kecamatan yang akan menjadi bagian dari Kota Lhokseumawe sebelum dilakukan pemekaran, dengan kinerja ekonomi daerah hasil pemekaran yaitu Kota Lhokseumawe pada periode setelah adanya


(36)

pemekaran wilayah. Berikut gambaran secara sistematis atas kerangka konseptual penelitian:

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

2.6 Hipotesis

Indikator-indikator dalam Indeks Kinerja Ekonomi Daerah (IKED) tentunya sangat mempengaruhi kinerja ekonomi daerah di wilayah tersebut. Melalui indeks kinerja ekonomi dapat dilihat bagaimana kinerja ekonomi daerah di suatu wilayah pada tahun tertentu atau periode tertentu. Untuk mengetahui kinerja ekonomi daerah di Kota Lhokseumawe pada periode sebelum pemekaran


(37)

wilayah dan sesudah pemekaran wilayah, maka dapat dilihat perbandingan dari rata-rata IKED pada periode sebelum pemekaran wilayah dan pada periode sesudah pemekaran wilayah melalui uji Independent Samples t Test. Oleh karena itu, dibentuk hipotesis untuk melihat dampak dari pemekaran wilayah terhadap kinerja ekonomi daerah. Berdasarkan landasan teori dan kerangka konseptual yang telah dikemukakan di atas, maka diambil hipotesis sebagai berikut:

1. Kinerja ekonomi daerah Kota Lhokseumawe menjadi lebih baik dengan adanya pemekaran wilayah.


(38)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif merupakan jenis penelitian yang dilakukan dengan mengumpulkan dan menganalisa data dalam bentuk angka, kemudian hasilnya dijabarkan dalam bentuk narasi berdasarkan angka hasil perolehan.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Kota Lhokseumawe, Aceh. Kota Lhokseumawe merupakan daerah hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Utara pada tahun 2001. Penelitian ini dilakukan dari Februari 2015 sampai selesai. 3.3 Definisi Operasional

Definisi operasional memberikan penjelasan atas suatu variabel untuk mengukur variabel yang akan di teliti. Berikut definisi operasional dari variabel yang digunakan dalam penelitian ini:

1. Indeks Kinerja Ekonomi Daerah (IKED)

Indeks kinerja ekonomi daerah merupakan hasil perhitungan dari berbagai indikator yang berkaitan dengan kinerja ekonomi yang menunjukkan kinerja ekonomi daerah. Indikator-indikaor yang merupakan bagian dari Indeks Kinerja Ekonomi Daerah (IKED) adalah pertumbuhan PDRB non-migas, pertumbuhan PDRB per kapita, rasio PDRB kabupaten terhadap PDRB provinsi, dan angka kemisknan.


(39)

Untuk mengetahui perkembangan Kinerja Ekonomi Daerah (IKED) Kota Lhokseumawe sebelum dan sesudah pemekaran wilayah, maka dapat dihitung dengan perumusan indeks sebagai berikut:

IKEDi,t= ECGIi,t+ WELFIi,t+ ESERIii,t+ − POVEIi,t

4

2. Pertumbuhan PDRB non-migas (ECGI)

Indikator ini mengukur gerak perekonomian daerah yang mampu menciptakan lapangan kerja sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi dihitung menggunakan PDRB harga konstan 2000.

3. Pertumbuhan PDRB per kapita (WELFI)

Indikator ini mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah yang bersangkutan. Angka PDRB per kapita dapat diperoleh dengan membagi total PDRB daerah dengan jumlah penduduk.

4. Rasio PDRB Kabupaten terhadap PDRB Provinsi (ESERI)

Indikator ini menunjukkan tingkat perkembangan ekonomi di suatu daerah dibandingkan dengan daerah lain dalam satu provinsi.

5. Angka Kemiskinan (POVEI)

Merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan yang ada pada suatu wilayah. Angka kemiskinan diukur menggunakan head-count index, yaitu persentase jumlah penduduk miskin terhadap jumlah penduduk pada suatu daerah.


(40)

3.4 Skala Pengukuran Variabel

Menurut Sekaran (2006), variabel merupakan sesuatu yang mempunyai nilai yang dapat berbeda Nilai ini dapat berbeda dalam waktu yang lain untuk objek yang sama atau dapat juga berbeda pada waktu yang sama untuk objek yang berbeda.

Penelitian ini menggunakan variabel dependen dan variabel independen yang dijelaskan sebagai berikut:

1. Variabel Dependen

Variabel dependen merupakan variabel yang menjadi efek atau merupakan variabel yang dipengaruhi oleh variabel independen. Yang menjadi variabel dependen dalam penelitian ini adalah kinerja ekonomi daerah. 2. Variabel Independen

Menurut Sekaran (2006), variabel independen merupakan variabel yang mempengaruhi variabel dependen, baik pengaruh secara positif maupun negatif. Yang menjadi variabel independen dalam penelitian ini adalah pemekaran wilayah.

3.5 Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data-data sekunder. Pengertian data sekunder menurut Taniredja (2011:128), adalah data yang diambil dari sumber kedua atau sumber sekunder. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kota Lhokseumawe dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Utara.


(41)

Data yang digunakan adalah data PDRB non-migas, PDRB per kapita, PDRB Kota Lhokseumawe, PDRB Provinsi Aceh, jumlah penduduk Kota Lhokseumawe, dan jumlah penduduk miskin Kota Lhokseumawe. Data penelitian meliputi data sebelum pemekaran (1998-2000) dan setelah pemekaran (tahun 2001-2013).

3.6 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan metode dokumentasi. Menurut Moleong (2000), metode dokumentasi adalah metode pencarian data yang berupa catatan, transkrip, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan lain sebagainya. Metode dokumentasi dilakukan atas dokumen-dokumen dan literatur terkait yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik.

3.7 Teknik Analisis

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode indeksasi, yaitu Indeks Kinerja Ekonomi Daerah untuk mengetahui kinerja ekonomi daerah sebelum dan sesudah pemekaran wilayah. Selain itu juga digunakan uji statistik dengan melakukan uji independent samples t test untuk pada nilai Indeks Kinerja Ekonomi Daerah untuk menganalisis perbedaan antara kinerja ekonomi daerah pada priode sebelum pemekaran wilayah dan periode setelah adanya pemekaran. Uji independent samples t test merupakan uji komparatif atau uji beda yang digunakan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan rata-rata (mean) antara 2 values dalam 1 variabel.


(42)

Alat analisis yang digunakan dalam analisis data adalah:

1. Menggunakan Microsoft Excel 2010 untuk menghitung kinerja ekonomi daerah menggunakan Indeks Kinerja Ekonomi Daerah.

2. Menggunakan SPSS untuk melakukan Uji independent samples t test sehingga dapat diketahui perbedaan kondisi kinerja ekonomi daerah pra pemekaran wilayah dan pasca pemekaran wilayah dengan melihat perbedaan rata-rata kinerja ekonomi daerah pada periode sebelum pemekaran wilayah dan periode setelah adanya pemekaran wilayah.


(43)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Daerah

Kota Lhokseumawe merupakan salah satu kota yang terdapat di Provinsi Aceh. Pembagian wilayah di Provinsi Aceh sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia adalah berdasarkan sungai-sungai yang melintasi wilayah-wilayah yang ada di Provinsi Aceh. Kemudian pembagian wilayah-wilayah administratif mulai dibentuk, dengan pembentukan Kota Lhokseumawe yang digabung dengan Bestuurder van Cunda.

Pada tahun 1956 melalui Undang-Undang DRT Nomor 7 Tahun 1956, diatur mengenai daerah-daerah otonom kabupaten dalam ruang lingkup daerah Provinsi Aceh, salah satunya pembentukan Kabupaten Aceh Utara dengan ibukotanya yaitu Lhokseumawe. Peningkatan status Lhokseumawe menjadi Kota Administratif ditetapkan pada 14 Agustus 1986 yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1986.

Berdasarkan pembentukan Kota Administratif Lhokseumawe, maka Kota Lhokseumawe telah menjadi Kota Administratif dengan luas wilayah 235, 87 km2 yang meliputi 101 desa, dan 6 kelurahan yang tesebar di lima kecamatan, yaitu Kecamatan Banda Sakti, Kecamatan Muara Dua, Kecamatan Dewantara, Kecamatan Muara Batu, dan Kecamatan Blang Mangat.

Berdasarkan asprasi masyarakat yang berkembang, muncul gagasan untuk peningkatan status Kota Administratif Lhokseumawe menjadi Kotamadya. Maka lahirlah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota


(44)

Lhokseumawe dan dihapuskannya status Kota Lhokseumawe pada wilayah administratif Kabupaten Aceh Utara sebagai wujud dari pemekaran wilayah Kota Lhokseumawe dari Kabupaten Aceh utara.

4.1.1. Lokasi dan Geografi Kota Lhokseumawe

Kota Lhokseumawe merupakan kota di Provinsi Aceh yang terletak persis di tengah jalur timur Sumatera. Letak geografi Kota Lhokseumawe berada pada titik koordinat 4°54’ - 5°18’ LU dan 96°20’-97°21’ BT, pada ketinggian 2-24 meter DPL, dan dengan luas wilayah pemerintahan seluas 181,10 km2. Batas-batas wilayah pemerintahan Kota Lhokseumawe adalah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara : Selat Malaka.

2. Sebelah Barat : Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara. 3. Sebelah Selatan : Kecamatan Kuta Makmur, Kabupaten Aceh Utara 4. Sebelah Timur : Kecamatan Syamtalira Bayu, Kabupaten Aceh Utara.

Secara administratif, Kota Lhokseumawe memiliki 4 kecamatan dan 6 kelurahan. 4 kecamatan yang terdapat di Kota Lhokseumawe adalah Kecamatan Banda Sakti, Kecamatan Muara Dua, Kecamatan Muara Satu, dan Kecamatan Blang Mangat.

Kecamatan Banda Sakti memiliki luas wilayah yang paling kecil diantara kecamatan-kecamatan lainnya, yaitu seluas 11,24 km2 atau 6,21% dari total luas wilayah administratif Kota Lhokseuamawe. Kecamatan Muara Dua merupakan kecamatan dengan wilayah terluas, yaitu dengan luas 57,80 km2 atau 31,92% dari luas Kota Lhokseumawe. Luas wilayah administratif Kecamatan Muara Satu adalah 55,90 km2 atau 30,87%. Luas wilayah administratif Kecamatan Blang


(45)

Mangat adalah 56,12 km2 atau 31% dari luas wilayah administratif Kota Lhokseumawe.

Tabel 4.1

Luas Wilayah Kota Lhokseumawe Menurut Kecamatan No. Kecamatan Luas (km2) Persentase (%)

1. Banda Sakti 11,24 6,21

2. Muara Dua 57,80 31,92

3. Blang Mangat 56,12 30,99

4. Muara Satu 55,90 30,87

Jumlah 181,06 100,00

Sumber: BPS Kota Lhokseumawe

Jumlah desa (gampong) di kecamatan-kecamatan yang terdapat di Kota Lhokseumawe adalah 69 desa, yaitu pada Kecamatan Banda Sakti sebanyak 18 desa, Kecamatan Banda Sakti sebanyak 23 desa, Kecamatan Muara Dua sebanyak 17 desa, dan Kecamatan Muara satu dengan jumlah 11 desa.

4.1.2. Kependudukan Kota Lhokseumawe

Perkembangan dan kemajuan suatu daerah sangat ditentukan oleh partisipasi masyarakat di daerah. Jumlah penduduk di suatu daerah juga mempengaruhi proses dari peningkatan pembangunan di daerahnya. Namun ketersediaan lapangan kerja juga harus mengimbangi laju pertumbuhan penduduk sehingga adanya keseimbangan antara jumlah penduduk dan ketersediaan lapangan kerja untuk meningkatkan kegiatan pembangunan ekonomi di daerah. Dari Tabel 4.2 berikut dapat dilihat jumlah penduduk Kota Lhokseumawe berdasarkan kecamatan tahun 1998-2013.


(46)

Tabel 4.2

Jumlah Penduduk Kota Lhokseumawe Menurut Kecamatan Tahun 1998-2013

Tahun Kecamatan Jumlah

Banda Sakti Blang Mangat Muara Dua Muara Satu

1998 66.307 16.001 66.184 148.491

1999 66.350 16.011 66.227 148.588

2000 66.885 15.851 65.565 148.301

2001 66.870 14.296 66.214 147.380

2002 66.885 15.851 65.565 148.301

2003 67.838 15.878 66.389 150.105

2004 68.731 17.857 65.503 152.091

2005 69.763 18.387 35.990 30.494 154.634

2006 70.569 18.552 36.505 30.930 156.556

2007 71.295 18.744 36.881 31.249 158.169

2008 71.521 18.814 36.957 31.469 158.761

2009 71.749 18.869 37.132 31.489 159.239

2010 73.193 21.628 44.469 31.622 170.912

2011 73.542 21.689 44.209 31.723 171.163

2012 77.336 22.850 46.646 32.975 179.807

2013 78.269 23.126 47.209 33.373 181.976

Sumber: BPS Kota Lhokseumawe, 1998-2013.

Sepanjang tahun 1998-2000, jumlah penduduk 4 kecamatan yang akan menjadi bagian dari Kota Lhokseumawe, yaitu Kecamatan Banda Sakti, Kecamatan Blang Mangat, Kecamatan Muara Dua, dan Muara Satu, tercatat sebanyak 148.491 jiwa pada tahun 1998, 148.588 jiwa pada tahun 1999, dan 148.301 jiwa pada tahun 2000. Jumlah penduduk Kota Lhokseumawe setelah pemekaran, tahun 2001-2013 mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2001, jumlah penduduk Kota Lhokseumawe tercatat 147.380 jiwa dan terus meningkat hingga mencapai 181.976 jiwa pada tahun 2013. Laju pertumbuhan tertinggi adalah pada tahun 2010 yaitu sebesar 7,33%. Rata-rata laju pertumbuhan penduduk Kota Lhokseumawe tahun 1998-2013 adalah sebesar 1,35%.


(47)

4.1.3. Tinjauan Perekonomian Kota Lhokseumawe

4.1.3.1 Produk Domestik Regional Bruto Non-Migas Kota Lhokseumawe Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah salah satu indikator yang menggambarkan kondisi perekonomian di suatu daerah. PDRB non-migas atas dasar harga konstan dapat digunakan untuk memantau laju pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun atas sektor-sektor ekonomi yang mampu menciptakan lapangan kerja.

Tabel 4.3

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Non-Migas Kota Lhokseumawe Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1998-2013

Tahun PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000

(Jutaan Rupiah)

1998 1.032.400,41

1999 1.102.336,15

2000 1.175.767,06

2001 1.240.181,88

2002 1.313.133,76

2003 1.355.492,91

2004 1.414.213,55

2005 1.491.223,62

2006 1.539.795,21

2007 1.851.531,57

2008 1.969.930,02

2009 2.081.436,51

2010 2.203.799,82

2011 2.283.665,53

2012 2.372.871,14

2013 2.446.180,21

Sumber: BPS Kota Lhokseumawe, (diolah)

Struktur perekonomian Kota Lhokseumawe didominasi oleh sektor industri pengolahan minyak dan gas. Sektor non-migas yang memberi kontribusi terbesar terhadap PDRB Kota Lhokseumawe adalah sektor perdagangan, hotel


(48)

dan restauran. Pada tabel 4.3 dapat dilihat bahwa PDRB non-migas Kota Lhokseumawe mengalami peningkatan setiap tahunnya, baik pada periode sebelum adanya pemekaran wilayah, maupun pada periode setelah adanya pemekaran wilayah. Jumlah PDRB non-migas terendah adalah pada tahun 1998 yaitu sebesar 1.032.400,41 juta rupiah dan PDRB non-migas tertinggi adalah pada tahun 2015 yaitu sebesar 2.446.180,21 juta rupiah. Rata-rata laju pertumbuhan PDRB non-migas Kota Lhokseumawe tahun 1998-2013 adalah 5,87 persen per tahunnya.

4.1.3.2 Sektor-Sektor Ekonomi Kota Lhokseumawe

Sektor-sektor ekonomi yang ada di Kota Lhoksumawe turut memberi sumbangan terhadap total PDRB Kota Lhokseumawe. Dapat dilihat pada tabel 4.4, sektor ekonomi utama yang mendominasi adalah sektor industri pengolahan, yaitu 5.752.860,31 juta rupiah pada tahun 2009, pada tahun 2010 meningkat menjadi 5.287.672,23 juta rupiah, namun pada tahun 2011 menurun menjadi 5.061.614,82 juta rupiah. Pada tahun 2012 sektor industri pengolahan kembali mengalami peningkatan menjadi 5.659.504,00 juta rupiah, namun kembali menurun di tahun berikutnya yaitu pada tahun 2013 sebesar 5.482.169,28 juta rupiah.

Sektor yang turut memberi sumbangan terbesar kedua mengikuti sektor industri adalah sektor perdagangan, hotel dan restauran. Sektor ini memberi sumbangsi terhadap PDRB Kota Lhokseumawe sebesar 2.415.752,93 juta rupiah pada tahun 2009, kemudian meningkat pada tahun 2010 yaitu sebesar 2.811.223,44 juta rupiah. Pada tahun 2011 sektor perdagangan, hotel, dan


(49)

restauran meningkat menjadi 3.091.953,15 juta rupiah, dan terus meningkat pada tahun 2012 dan 2013 yaitu sebesar 3.384.220,85 juta rupiah pada tahun 2012 dan 3.723.670,63 juta rupiah pada tahun 2013.

Selanjutnya sektor bangunan pada posisi ketiga sebagai penyumbang PDRB Kota Lhokseumawe, dengan kontribusi pada tahun 2009 sebesar 577.952,81 juta rupiah, yang meningkat pada tahun 2010 menjadi sebesar 653.268,48 juta rupiah. Kemudian pada tahun berikutnya yaitu tahun 2011 sektor bangunan memberi kontribusi terhadap PDRB Kota Lhokseumawe sebesar 703.598,03 juta rupiah, dan terus meningkat pada tahun 2012 dan 2013 yaitu sebesar 759.666,07 juta rupiah pada tahun 2012 dan sebesar 801.904,87 juta rupiah pada tahun 2013.

Sementara itu sektor pengangkutan dan komunikasi menduduki posisi keempat sebagai kontributor PDRB Kota Lhokseumawe, dimana pada tahun 2009 sektor ini memberikan kontribusi sebesar 524.555,82 juta rupiah, kemudian pada tahun 2010 memberi sumbangsi terhadap PDRB Kota Lhokseumawe sebesar 586.805,05 juta rupiah, dan meningkat pada tahun 2011 menjadi sebesar 644.773,12 juta rupiah. Pada tahun 2012 dan tahun 2013 kontribusi sektor pengangkutan juga meningkat sebesar 679.676,85 juta rupiah pada tahun 2012 dan sebesar 726.906,96 juta rupiah pada tahun 2013.

Sektor pertanian merupakan sektor terbesar kelima yang memberi kontribusi terhadap PDRB Kota Lhokseumawe. Pada tahun 2009 sektor pertanian memberi kontribusi sebesar 475.318,01 juta rupiah, kemudian pada tahun 2010 memberi sumbangan terhadap total PDRB sebesar 504.905,32, pada tahun 2011


(50)

meningkat menjadi sebesar 540.635,53 juta rupiah, dan pada tahun 2012 dan 2013 masing-masing sebesar 559.811,99 juta rupiah pada tahun 2012 dan 595.357,83 juta rupiah pada tahun 2013.

Tabel 4.4

PDRB Kota Lhokseumawe Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2009-2013 (juta rupiah)

Lapangan Usaha

Tahun

2009 2010 2011 2012 2013

Pertanian 475.318,01 504.905,32 540.635,53 559.811,99 595.357,83

Pertambangan 16.081,56 17.573,88 19.285,38 20.547,92 22.486,54

Industri

Pengolahan 5.752.860,31 5.287.672,23 5.061.614,82 5.659.504,00 5.482.169,28 Listrik dan

Air Bersih 6.971,05 7.811,20 8.416,26 9.027,65 9.836,23 Bangunan 577.952,81 653.268,48 703.598,03 759.666,07 801.904,87

Perdagangan, Hotel, dan Restauran

2.415.752,93 2.811.223,44 3.091.953,15 3.384.220,85 3.723.670,63

Pengangkutan dan

Komunikasi

524.555,82 586.805,05 644.773,12 679.676,85 726.906,96

Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan

129.069,58 142.038,21 151.427,47 168.037,56 183.545,08

Jasa-jasa 303.513,02 326.836,31 341.968,50 366.418,71 389.149,95 Sumber: BPS Kota Lhokseumawe tahun 2009-2013 (diolah)

4.2 Kinerja Ekonomi Daerah Kota Lhokseumawe 4.2.1. Komponen Kinerja Ekonomi Daerah

Kinerja ekonomi daerah dapat dianalisis melalui komponen-komponen penyusun (indikator) dari kinerja ekonomi daerah. Komponen-komponen kinerja


(51)

ekonomi daerah tersebut adalah pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Non-Migas (ECGI), pertumbuhan Produk Regional Domestik Bruto per kapita (WELFI), rasio PDRB kabupaten terhadap PDRB provinsi (ESERI), dan angka Kemiskinan (POVEI).

Pertumbuhan PDRB Non-Migas (ECGI) digunakan untuk mengukur gerak perekonomian daerah yang mampu menciptakan lapangan kerja sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan PDRB per Kapita (WELFI) mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah yang bersangkutan. Rasio PDRB Kabupaten Terhadap PDRB Provinsi (ESERI) menunjukkan tingkat perkembangan ekonomi di satu daerah dibandingkan dengan daerah lain dalam satu wilayah provinsi. Angka Kemiskinan (POVEI) diukur menggunakan head-count index, yaitu persentase jumlah penduduk miskin terhadap jumlah penduduk di suatu daerah. Menurunnya angka kemiskinan menunjukkan semakin baik kinerja ekonomi suatu daerah karena dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

4.2.1.1 Pertumbuhan PDRB Non-Migas (ECGI)

Pertumbuhan PDRB non-migas digunakan untuk mengukur gerak perekonomian daerah yang mampu menciptakan lapangan kerja sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penggunaan harga yang berlaku pada periode yang lalu menghasilkan PDRB atas haraga konstan. PDRB atas dasar harga konstan disebut sebagai PDRB volume atau PDRB riil.

PDRB non-migas Kota Lhokseumawe yang ditunjukkan pada Tabel 4.5, mengalami peningatan setiap tahunnya. Pertumbuhan PDRB non-migas Kota


(52)

Lhokseumawe yang signifikan terjadi pada tahun 2007, yaitu sebesar 20,25% dengan PDRB non-migas sebesar 1.851.531 juta rupiah pada tahun 2007, dimana pada tahun sebelumnya adalah sebesar 1.539.795 juta rupiah.

Persentase rata-rata pertumbuhan PDRB non-migas Kota Lhokseumawe pada periode sebelum pemekaran (1998-2000) adalah sebesar 6,58%. Sedangkan rata-rata pertumbuhan PDRB non-migas pada periode setelah adanya pemekaran wilayah (2001-2013) adalah sebesar 5,76%. Dengan membandingkan rata-rata pertumbuhan PDRB Kota Lhokseumawe pada periode sebelum pemekaran wilayah dengan rata-rata pertumbuhan PDRB Kota Lhokseumawe pada periode sesudah adanya pemekaran wilayah, dapat disimpulkan bahwa rata-rata pertumbuhan PDRB non-migas Kota Lhokseumawe pada periode setelah adanya pemekaran wilayah adalah lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan PDRB non-migas pada periode sebelum adanya pemekaran, meskipun perolehan PDRB non-migas Kota Lhokseumawe terus mengalami peningkatan setiap tahunnya sejak periode sebelum adanya pemekaran hingga sekarang.

Tabel 4.5

PDRB Non-Migas Kota Lhokseumawe Berdasarkan Harga Konstan 2000

Tahun Kota Lhokseumawe

(juta rupiah)

Pertumbuhan PDRB (%)

1998 1.032.400,41

1999 1.102.336,15 6,77


(53)

2001 1.240.181,88 5,48

2002 1.313.133,76 5,88

2003 1.355.492,91 3,23

2004 1.414.213,55 4,33

2005 1.491.223,62 5,45

2006 1.539.795,21 3,26

2007 1.851.531,57 20,25

2008 1.969.930,02 6,39

2009 2.081.436,51 5,66

2010 2.203.799,82 5,88

2011 2.283.665,53 3,62

2012 2.372.871,14 3,91

2013 2.446.180,21 3,09

Sumber: BPS Kota Lhokseumawe (diolah)

Pertumbuhan PDRB non-migas Kota Lhokseumawe yang cukup pesat pada tahun 2007 yaitu sebesar 20,25% didukung dengan adanya peningkatan upaya rekonstuksi untuk mendorong sektor-sektor perekonomian non-migas di Kota Lhokseumawe, namun sangat disayangkan upaya ini tidak memberi dampak langsung terhadap sektor sektor pertanian, sehingga pertumbuhan PDRB non-migas yang signifikan tersebut tidak berlangsung secara berkelanjutan. Namun PDRB non-migas Kota Lhokseumawe tetap meningkat setiap tahunnya. Pertumbuhan PDRB non-migas Kota Lhoskeumawe terendah terjadi pada tahun 2013, yaitu sebesar 3,09%. Rata-rata pertumbuhan PDRB non-migas Kota Lhokseumawe tahun 1998-2013 adalah sebesar 5,9%.

4.2.1.2 Pertumbuhan PDRB Per Kapita (WELFI)

Indikator ini mencerminkan kemakmuran atau tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah secara umum. Semakin tinggi PDRB per kapita, maka semakin baik tingkat kemakmuran masyarakat yang ada di wilayah tersebut.


(54)

PDRB perkapita diperoleh dari pembagian PDRB terhadap jumlah penduduk. PDRB per kapita atas dasar harga konstan dapat digunakan untuk mengetahui pertumbuhan nyata dari ekonomi per kapita dari penduduk yang ada di suatu daerah.

Dari tabel 4.6, dapat dilihat bahwa PDRB per kapita di Kota Lhokseumawe mengalami fluktuasi sepanjang tahun 1998-2013. Pada tahun 1998 sampai tahun 2005, PDRB per kapita Kota Lhokseumawe mengalami peningkatan setiap tahunnya, dimana PDRB per kapita Kota Lhokseumawe pada tahun 1998 adalah sebesar 1.665.360 juta rupiah dan pada tahun 2005 adalah sebesar 3.163.966 juta rupiah. Kemudian PDRB per kapita menurun pada tahun 2006 menjadi 2.739.305 rupiah. Pada tahun 2007, PDRB per kapita kembali meningkat menjadi 3.111.168 rupiah, namun kembali menurun setiap tahunnya pada tahun 2008-2013.

Pertumbuhan PDRB per kapita di Kota Lhokseumawe juga berfluktuasi pada tahun 1998-2013. Pertumbuhan PDRB tertinggi terjadi pada tahun 2003 yaitu sebesar 21,71%, dan pertumbuhan PDRB terendah adalah sebesar -13,42% pada tahun 2006. Rata-rata pertumbuhan PDRB per kapita di Kota Lhokseumawe adalah sebesar 2,52%.

Tabel 4.6

PDRB Per Kapita Kota Lhokseumawe Tahun 1998-2013

Tahun PDRB Per Kapita

(Rupiah)

Pertumbuhan PDRB Per Kapita (%)

1998 1.665.360

1999 1.791.004 7,54


(55)

2001 1.988.507 4,81

2002 2.209.670 11,12

2003 2.689.297 21,71

2004 3.139.353 16,74

2005 3.163.966 0,78

2006 2.739.305 -13,42

2007 3.111.168 13,58

2008 2.923.327 -6,04

2009 2.723.207 -6,85

2010 2.431.440 -10,71

2011 2.399.265 -1,32

2012 2.327.898 -2,97

2013 2.254.290 -3,16

Sumber: BPS Kota Lhokseumawe

4.2.1.3 Rasio PDRB Kabupaten terhadap PDRB Provinsi (ESERI)

Rasio PDRB Kabupaten terhadap PDRB provinsi dapat menunjukkan tingkat perkembangan ekonomi di daerah dan menunjukkan besarnya peran dari PDRB suatu daerah terhadap PDRB Provinsi.

Tabel 4.7 menunjukkan rasio PDRB Kota Lhokseumawe terhadap PDRB Provinsi Aceh mengalami peningkatan dan penurunan. Rasio PRDB Kota Lhokseumawe terhadap PDRB Provinsi Aceh mengalami peningkatan pada tahun 1998-2001, lalu mengalami penurunan pada tahun 2002-2003, kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2004-2005. Pada tahun 2006 rasio PDRB Kota Lhokseumawe terhadap PDRB Provinsi Aceh kembali mengalami penurunan menjadi sebesar 6,35% dan pada tahun 2007-2010 kembali mengalami peningkatan, namun pada tahun 2011-2013 kembali mengalami penurunan. Rata-rata rasio peran PDRB Kota Lhokseumawe terhadap PDRB Provinsi Aceh adalah sebesar 6,75%.


(56)

Rasio PDRB Kota Lhokseumawe terhadap PDRB Provinsi Aceh

Tahun Kota Lhokseumawe

(jutaan rupiah)

Provinsi Aceh (jutaan rupiah)

Rasio (%)

1998 1.032.400,41 17.037.075 6,06

1999 1.102.336,15 17.861.003 6,17

2000 1.175.767,06 18.801.055 6,25

2001 1.240.181,88 19.539.800 6,35

2002 1.313.133,76 21.095.270 6,22

2003 1.355.492,91 21.875.760 6,20

2004 1.414.213,55 22.260.700 6,35

2005 1.491.223,62 22.528.850 6,62

2006 1.539.795,21 24.267.790 6,35

2007 1.851.531,57 26.022.200 7,12

2008 1.969.930,02 26.523.093 7,43

2009 2.081.436,51 27.576.591 7,55

2010 2.203.799,82 29.072.035 7,58

2011 2.283.665,53 30.726.190 7,43

2012 2.372.871,14 32.591.173 7,28

2013 2.446.180,21 34.339.546 7,12

Sumber: BPS Provinsi Aceh dan BPS Kota Lhokseumawe (diolah)

Rata-rata persentase rasio PDRB Kota Lhokseumawe terhadap PDRB Provinsi Aceh pada periode sebelum adanya pemekaran wilayah (1998-2000) adalah sebesar 6,16%. Artinya pada periode sebelum adanya pemekaran wilayah, PDRB Kota Lhokseumawe memberi sumbangsi sebesar 6,16% terhadap total dari PDRB Provinsi Aceh. Sedangkan pada periode setelah adanya pemekaran wilayah (2001-2013), rata-rata persentase rasio PDRB Kota Lhokseumawe terhadap PDRB Provinsi Aceh adalah sebesar 6,89%, yang persentasenya lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata persentase rasio pada periode sebelum adanya pemekaran wilayah. Hal ini menunjukkan bahwa pasca adanya pemekaran


(57)

wilayah, rata-rata dari peran PDRB Kota Lhokseumawe terhadap PDRB Provinsi Aceh adalah sebesar 6,89%.

4.2.1.4 Angka Kemiskinan (POVEI)

Indikator ini menunjukan tingkat kinerja ekonomi daerah yang dilihat dari tingkat kemiskinan yang diukur menggunakan head-count index. Head-count index merupakan persentase jumlah penduduk miskin terhadap jumlah penduduk di suatu daerah. Semakin rendah angka kemiskinan makan menunjukkan semakin baik kinerja ekonomi daerah di daerah tersebut.

Jumlah penduduk miskin di Kota Lhokseumawe mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Namun pada tahun 2008 jumlah penduduk miskin di Kota Lhokseumawe meningkat menjadi sebanyak 23.900, dan kembali menurun pada tahun 2009 menjadi sebanyak 22500. Pada tahun 2010 hingga tahun 2012 jumlah penduduk miskin di Kota Lhokseumawe kembali meningkat yaitu sebanyak 24.100 jiwa pada tahun 2010, 24.200 jiwa pada tahun 2011, dan 23.560 jiwa pada tahun 2012. Pada tahun 2013 angka kemiskinan Kota Lhokseumawe kembali menurun menjadi sebesar 22.980 jiwa.

Angka kemiskinan di Kota Lhokseumawe pada tahun 1998 adalah sebesar 19,04% dan terus mengalami penurunan hingga tahun 2007 menjadi sebesar 12,27%. Angka kemiskinan meningkat pada tahun 2008 dengan angka kemiskinan sebesar 15,05%, dimana pada tahun sebelumnya yaitu tahun 2007 angka kemiskinan adalah sebesar 12,27%. Namun angka kemiskinan k embali mengalami penurunan pada tahun 2009 hingga tahun 2013. Angka kemiskinan tertinggi adalah pada tahun 1998 yaitu sebesar 19,04% dan angka kemiskinan


(58)

terendah adalah pada tahun 2007 yaitu sebesar 12,27%. Rata-rata angka kemiskinan di Kota Lhokseumawe pada tahun 1998-2013 adalah sebesar 15,74%.

Tabel 4.8

Angka Kemiskinan Kota Lhokseumawe Tahun 1998-2013

Tahun Jumlah Penduduk

Miskin

Jumlah Penduduk

Angka Kemiskinan

1998 28.270 148.491 19,04%

1999 27.784 148.588 18,70%

2000 27.197 148.301 18,34%

2001 26.853 147.380 18,22%

2002 26.558 148.301 17,91%

2003 26.225 150.105 17,47%

2004 25.865 152.091 17,01%

2005 24.077 154.634 15,57%

2006 22.200 156.556 14,18%

2007 19.400 158.169 12,27%

2008 23.900 158.761 15,05%

2009 22.500 159.239 14,13%

2010 24.100 170.912 14,10%

2011 24.200 171.163 14,14%

2012 23.560 179.807 13,10%

2013 22.980 181.976 12,63%

Sumber: BPS Kota Lhokseumawe (diolah)

Rata-rata dari angka kemiskinan Kota Lhokseumawe pada periode sebelum adanya pemekaran wilayah adalah sebesar 18,69%. Sedangkan rata-rata angka kemiskinan Kota Lhokseumawe pada periode setelah adanya pemekaran adalah sebesar 15,06%. Dengan membandingkan rata-rata angka kemiskinan pada dua periode tersebut, dapat disimpulkan bahwa rata-rata angka kemiskinan di Kota Lhokseumawe lebih rendah dibandingkan dengan pada periode sebelum adanya pemekaran wilayah.


(59)

4.2.2. Perbandingan Kinerja Ekonomi Daerah di Kota Lhokseumawe Sebelum dan Sesudah Pemekaran Wilayah

Adanya peningkatan kinerja ekonomi daerah di daerah hasil pemekaran menunjukkan bahwa dengan adanya pemekaran wilayah dapat memberi dampak baik bagi perekonomian di daerah hasil pemekaran tersebut. Apabila kinerja ekonomi daerah di daerah hasil pemekaran menurun maka artinya pemekaran wilayah tidak memberikan dampak yang berarti terhadap kinerja ekonomi daerah di daerah hasil pemekaran tersebut.

Kinerja ekonomi daerah dapat diukur dengan Indeks Kinerja Ekonomi Daerah (IKED) yang digunakan dalam studi evaluasi kinerja daerah oleh BAPPENAS. Indeks Kinerja Ekonomi Daerah (IKED) terdiri atas 4 indikator, yaitu pertumbuhan PDRB Non-Migas (ECGI), PDRB per kapita (WELFI), rasio PDRB kabupaten terhadap PDRB provinsi (ESERI), dan angka kemiskinan (POVEI).

Indeks Kinerja Ekonomi Daerah (IKED) Kota Lhokseumawe pada tahun 1998-2013 mengalami fluktuasi, sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 4.9. Indeks Kinerja Ekonomi Daerah (IKED) meningkat pada tahun 1998-1999 yaitu sebesar 21,76 dan 25,45, kemudian mengalami penurunan pada tahun 2000-2001 sebesar 25,13 dan 24,61. Pada tahun 2002 dan tahun 2003 kembali meningkat yaitu masing-masing sebesar 26,33 dan 28,42. Indeks Kinerja Ekonomi Daerah Kota Lhokseumawe kembali menurun pada tahun 2004-2006, lalu kembali meingkat pada tahun 2007 menjadi sebesar 32,17, kemudian menurun setiap tahunnya pada tahun 2007-2010. Pada tahun berikutnya yaitu tahun 2011 Kinerja


(1)

Republik Indonesia. 2014.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang

Pemerintahan Daerah

.

Republik Indonesia. 2007.

Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2007 Tentang

Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.

.

Safi’i, H.M. 2007.

Strategi dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah

,

Averroes Press, Malang.

Sekaran, Uma. 2006.

Research Methods for Business : “Metodologi Penelitian

untuk Bisnis.

Edisi 4. Salemba Empat, Jakarta.

Sjafrizal. 2008.

Ekonomi Regional

, Praninta Offset, Padang.

Taniredja, Turkin dan Hidayati Mustafidah. 2011.

Penelitian Kuantitatif

, Alfabeta,

Bandung.

Tiffani, Mutiara Karina. 2014. “Analisis Komparasi Konvergensi, Aglomerasi,

dan Kinerja E

konomi Daerah pada Daerah Pemekaran”. Fakultas Ekonomi

dan Bisnis, Universitas Brawijaya. Malang.

Widjaja, H.A.W. 1998.

Percontohan Otonomi Daerah di Indonesia

, PT Rineka

Cipta, Jakarta.


(2)

Lampiran 1

Output uji

Independent Samples t test

Group Statistics

Periode N Mean Std. Deviation Std. Error Mean Pemekaran

Wilayah

Sebelum Pemekaran 3 24,11 2,044 1,180

Setelah Pemekaran 13 24,90 3,057 ,848

Independent Samples Test

Pemekaran Wilayah Equal

variances assumed

Equal variances

not assumed Levene's Test for

Equality of Variances

F ,408

Sig. ,533

t-test for Equality of Means

t -2,545 -5,117

df 14 4,401

Sig. (2-tailed) ,684 ,617

Mean Difference -,782 -,782

Std. Error Difference 1,879 1,453

95% Confidence Interval of the Difference Lower -4,812 -4,676 Upper 3,248 3,112


(3)

Lampiran 2

Data Indeks Kinerja Ekonomi Daerah

PDRB Non-Migas Kota Lhokseumawe Berdasarkan Harga Konstan 2000

Tahun

Kota Lhokseumawe

(juta rupiah)

Pertumbuhan PDRB

(%)

1998

1.032.400,41

1999

1.102.336,15

6,77

2000

1.175.767,06

6,66

2001

1.240.181,88

5,48

2002

1.313.133,76

5,88

2003

1.355.492,91

3,23

2004

1.414.213,55

4,33

2005

1.491.223,62

5,45

2006

1.539.795,21

3,26

2007

1.851.531,57

20,25

2008

1.969.930,02

6,39

2009

2.081.436,51

5,66

2010

2.203.799,82

5,88

2011

2.283.665,53

3,62

2012

2.372.871,14

3,91

2013

2.446.180,21

3,09


(4)

Pertumbuhan PDRB Per Kapita Kota Lhokseumawe Tahun 1998-2013

Tahun

PDRB Per Kapita

(Rupiah)

Pertumbuhan PDRB

Per Kapita (%)

1998

1.665.360

1999

1.791.004

7,54

2000

1.897.166

5,93

2001

1.988.507

4,81

2002

2.209.670

11,12

2003

2.689.297

21,71

2004

3.139.353

16,74

2005

3.163.966

0,78

2006

2.739.305

-13,42

2007

3.111.168

13,58

2008

2.923.327

-6,04

2009

2.723.207

-6,85

2010

2.431.440

-10,71

2011

2.399.265

-1,32

2012

2.327.898

-2,97

2013

2.254.290

-3,16

Sumber: BPS Kota Lhokseumawe


(5)

Rasio PDRB Kota Lhokseumawe terhadap PDRB Provinsi Aceh

Tahun

Kota Lhokseumawe

(jutaan rupiah)

Provinsi Aceh

(jutaan rupiah)

Rasio

(%)

1998

1.032.400,41

17.037.075

6,06

1999

1.102.336,15

17.861.003

6,17

2000

1.175.767,06

18.801.055

6,25

2001

1.240.181,88

19.539.800

6,35

2002

1.313.133,76

21.095.270

6,22

2003

1.355.492,91

21.875.760

6,20

2004

1.414.213,55

22.260.700

6,35

2005

1.491.223,62

22.528.850

6,62

2006

1.539.795,21

24.267.790

6,35

2007

1.851.531,57

26.022.200

7,12

2008

1.969.930,02

26.523.093

7,43

2009

2.081.436,51

27.576.591

7,55

2010

2.203.799,82

29.072.035

7,58

2011

2.283.665,53

30.726.190

7,43

2012

2.372.871,14

32.591.173

7,28

2013

2.446.180,21

34.339.546

7,12

Sumber: BPS Provinsi Aceh dan BPS Kota Lhokseumawe (diolah)


(6)

Angka Kemiskinan Kota Lhokseumawe Tahun 1998-2013

Tahun

Jumlah Penduduk

Miskin

Jumlah

Penduduk

Angka

Kemiskinan

1998

28.270

148.491

19,04%

1999

27.784

148.588

18,70%

2000

27.197

148.301

18,34%

2001

26.853

147.380

18,22%

2002

26.558

148.301

17,91%

2003

26.225

150.105

17,47%

2004

25.865

152.091

17,01%

2005

24.077

154.634

15,57%

2006

22.200

156.556

14,18%

2007

19.400

158.169

12,27%

2008

23.900

158.761

15,05%

2009

22.500

159.239

14,13%

2010

24.100

170.912

14,10%

2011

24.200

171.163

14,14%

2012

23.560

179.807

13,10%

2013

22.980

181.976

12,63%

Sumber: BPS Kota Lhokseumawe (diolah)