2.1.1. Munculnya RRC Sebagai Raksasa Regional
Jika merujuk kepada Mearsheimer, power didasarkan pada kemampuan militer yang dikuasai oleh negara. Walaupun demikian, menurutnya, negara-negara memiliki
juga apa yang disebut dengan kekuatan laten yang meliputi potensi sosial ekonomi yang dapat dikembangkan untuk menjadi kekuatan militer. Kekuatan laten ini
meliputi apa yang sering disebut dengan sumber-sumber kekuatan nasional oleh Morgenthau, seperti penduduk, sumber alam, ekonomi dan teknologi. Jadi, mereka
mendapatkan power bukan saja dari menaklukkan negara lain tetapi juga melalui pengelolaan terhadap latent power atau sumber kekuatan nasional ini.
68
Kesadaran Republik Rakyat Cina yang sedang bangkit sebagai sebuah kekuatan regional terbesar di Asia Pasifik ialah salah satu faktor penyebab munculnya
agresivitas negeri tirai bambu tersebut dalam sengketa perbatasan di kawasan Asia Pasifik. Keberhasilan pembangunan ekonomi RRC semenjak berkuasanya rezim
reformis Deng Xiao Ping dan berlanjut hingga hari ini diikuti pula dengan peningkatan anggaran belanja militer negeri tersebut sebagai konsekuensi logis yang
tak mungkin dihindari. Kemampuan penyerapan RRC dalam men-transfer teknologi persenjataan, terutama dari Rusia adalah implikasi dari peningkatan anggaran
pertahanan RRC. Dengan Produk Domestik Bruto yang mencapai 4,758 miliar dollar AS pada
tahun 2009, serta total penduduk mencapai 2 miliar lebih, RRC menjadi penguasa regional yang hampir pasti tidak ada bandingnya dengan negara-negara lain yang
bersengketa dengannya. Bahkan untuk ukuran Jepang yang dianggap sebagai satu- satunya kekuatan di kawasan yang mampu membendung agresivitas RRC sekali pun
tidak akan mampu untuk mengambil sikap konfrontatif dengan Cina disebabkan hasil produksi negeri matahari terbit tersebut bergantung pada pasar Cina yang besar.
Terbukti, pada saat intensitas publikasi manuver kapal-kapal Jepang di wilayah sengketa kedaulatan antara RRC-Jepang atas kepulauan SenkakuDiayou meningkat,
sempat terjadi aksi penutupan sejumlah outlet penjualan produk-produk asal Jepang di kota-kota besar di Cina yang tentunya sangat merugikan Jepang. Hal ini membuat
Jepang lebih bersikap hati-hati dalam menghadapi Cina dalam persoalan sengketa perbatasan ini.
68
Log Cit, 2007 hal 74
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan dari sisi kekuatan pertahanan RRC memiliki pasukan tentara terbesar di dunia. RRC memiliki sekitar 2.285.000 prajurit aktif yang tergabung dalam
PLA People’s Liberation ArmyTentara Pembebasan Rakyat, 660.000 personil kepolisian, dan setidaknya 510.000 cadangan aktif. Tidak hanya dari segi jumlah,
militer RRC juga mengoperasikan alat utama sistem persenjataan yang cukup canggih di darat, laut, dan udara. RRC juga merupakan negara dengan kekuatan rudal berhulu
ledak nuklir aktif dengan jangkauan antar-benua yang siap ditembakkan kapan saja. Serta satu-satunya kekuatan regional yang memiliki kapal induk di kawasan Asia
Pasifik, suatu poin lebih yang bahkan tidak dimiliki oleh negara seperti Jepang sekalipun.
Kekuatan militer PLA bahkan tidak sebanding dengan Pasukan Bela Diri Jepang, dari sisi kuantitas dan kualitas, meskipun militer Jepang memiliki sistem
pertahanan anti-rudal yang canggih. Hal tersebut dikarenakan pasca Perang Dunia-II, Jepang meratifikasi konstitusi pasifis yang melarang negeri tersebut memiliki
angkatan perang yang berlebihan dengan maksud untuk menghalangi ambisi militeristik Jepang yang dikhawatirkan akan berakibat pada bencana seperti yang
pernah terjadi pada masa lalu. Akibatnya, sesuai dengan namanya, Pasukan Bela Diri Jepang dibentuk hanya untuk mempertahankan diri dan mengontrol agar order di
internal negeri tetap terjaga, bukan untuk tujuan ekspansif seperti halnya Cina yang terus menggeliat dengan meningkatkan anggaran belanja setiap tahun sekaligus
membangun armada militernya menuju dominasi global. Sedangkan di belahan selatan, RRC hanya berhadapan dengan negara-negara
ASEAN yang tidak begitu memiliki pengaruh kuat dalam percaturan global meskipun tetap diyakini sedang dalam proses pertumbuhan yang progresif, untuk menyebut
sejumlah negara seperti Vietnam, Malaysia, Brunei Darusalam, serta Filipina yang ‘berurusan’ dengan RRC dalam sengketa di perairan Laut Cina Selatan. Dengan
demikian, pengaruh Cina dalam mendikte negara-negara di kawasan tersebut lebih besar ketimbang saat berhadapan dengan Jepang ataupun Taiwan di Asia Timur.
Meskipun Amerika Serikat memiliki pangkalan militer di Filipina, tetapi posisi tawar Filipina sebagai sebuah negara yang berdaulat tidaklah cukup besar untuk
membungkam sifat agresif dari Cina. Filipina sangat tergantung dengan keputusan strategis Amerika Serikat dalam konteks regional untuk berhadapan dengan RRC,
Universitas Sumatera Utara
sedangkan sikap perlawanan Filipina terhadap beberapa manuver politik yang dilakukan Cina terkait sengketa perbatasan di Kepulauan Spratly dan Benting
Scarborough lebih mencerminkan keterdesakan pemerintah negeri tersebut untuk meredam kemarahan rakyatnya.
Belakangan, Jepang menghibahkan sejumlah kapal patroli laut miliknya kepada Filipina. Meskipun pejabat terkait kedua negara mengelak untuk menyatakan
bahwa penghibahan sejumlah kapal tersebut terkait dengan isu sengketa perbatasan yang menyeruak belakangan, tetapi secara eksplisit hal tersebut dinilai sebagai upaya
Jepang untuk menjalin aliansikerjasama dalam menghadapi RRC yang kian ekspansif dan agresif di kawasan. Jepang mengikuti peribahasa klasik yang menyatakan bahwa,
“musuh dari musuhku adalah temanku,” yang secara eksplisit berarti Jepang memerlukan rekan yang bisa diajak bersama-sama menghadapi Cina, dan kebetulan
Filipina juga tengah merasa jengkel dengan sikap arogan Cina selama ini. Mengacu pada perspektif perimbangan kekuasaan dalam teori realisme sebuah
negara harus mampu bertahan, menolong dirinya sendiri self-help. Negara tidak boleh percaya pada negara lain atau organisasi internasional, dikarenakan struktur
global pada dasarnya bersifat anarki. Struktur internasional tidak mengizinkan adanya persahabatan, kepercayaan dan kehormatan, yang ada hanyalah kondisi abadi
ketidakpastian karena tiadanya pemerintahan global. Akan tetapi, realis juga menggarisbawahi pentingnya aliansi kepada negara-negara yang dianggap tidak
memiliki cukup power untuk membendung kekuatan-kekuatan besar yang ada di sekelilingnya sehingga akan sangat menganggu kepentingan nasional negara tersebut.
Jadi, dalam perspektif realis, sikap Jepang yang berusaha membangun aliansi regional dalam membendung agresivitas Cina adalah sangat dimotivasi oleh kepentingan
pragmatik saat ini. Namun, dari sisi lain, peningkatan belanja pertahanan dan modrenisasi
kekuatan alat utama sistem persenjataan yang dilakukan oleh RRC sesungguhnya dapat dimengerti dari sudut pandang realis. Karena pada dasarnya setiap negara harus
mengupayakan kepentingannya sendiri dengan tidak mempercayai negara-negara lain. ketiadaan struktur internasional yang bersifat hirarkis, mengharuskan setiap negara
survive dengan caranya sendiri-sendiri, terutama ialah dengan cara meningkatkan kekuatan dan posisi tawar. Walaupun penting untuk menilai apakah negara lain
Universitas Sumatera Utara
merupakan negara revisionis yang ingin mengubah balance of power atau pro-status quo yang tidak ingin mengubah keadaan itu secara militer, namun adalah susah untuk
memastikan intensi atau maksud suatu negara secara empirik. Cara terbaik adalah memperkuat diri sehingga negara lain tidak berani menyerang.
69
Keagresifan RRC dalam menyikapi isu sengketa perbatasan di kawasan perairan Laut Cina Timur dengan Jepang, serta di kawasan perairan Laut Cina Selatan
dengan sejumlah negara ASEAN sesungguhnya merupakan hal yang patut dimengerti nalar logika berpikir realis yang melihat bahwa berdasarkan konsep perimbangan
kekuasaan, RRC memiliki kekuatan yang lebih besar dari negara-negara lain di kawasan tersebut baik dari segi ekonomi, pertahanan, teknologi, maupun jumlah
penduduk. Karena itu, adalah merupakan hal yang wajar bila mereka dengan percaya diri menunjukkan sikap agresifnya untuk memenangkan tujuan-tujuan stretegis
negaranya.
2.1.2. Cina Sebagai Negara Kunci di Kawasan Asia Pasifik