BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - Agresifitas Politik Luar Negeri Republik Rakyat Cina Dalam Sengketa Perbatasan Di Kawasan Asia Pasifik

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Abad 21 merupakan abad kebangkitan Asia. Kesuksesan pembangunan yang terjadi di

  negeri-negeri di kawasan tersebut dalam beberapa dekade terakhir menjadi alasan dari pernyataan tersebut. Tidak dipungkiri lagi, munculnya sejumlah negara dengan tingkat penghasilan yang tinggi di Asia telah mengubah wajah negeri-negeri tersebut dari semula hanyalah negeri miskin yang tak begitu disegani namun kini menjadi salah satu pemain kunci dalam percaturan global. Kesuksesan pembangunan dan industrialisasi di sejumlah negara Asia seperti Jepang, Republik Rakyat Cina (RRC), Taiwan (Republik Cina), Korea Selatan, Singapura, India, serta diikuti pula oleh sejumlah negara berpenghasilan menengah seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, Indonesia dan Filipina menjadikan wilayah Asia sebagai kekuatan ekonomi global yang baru.

  Seiring dengan kemajuan dalam pembangunan infrastruktur, Asia sudah tidak lagi sekedar dipandang sebagai penghasil bahan mentah untuk kepentingan industri maju yang berbasis di negara-negara Eropa dan Amerika Utara. Beralihnya kawasan produksi manufaktur dari negara-negara maju ke wilayah Asia menyebabkan pergeseran yang dramatis terhadap neraca ekspor-impor, dimana produk-produk manufaktur Asia mulai dipasarkan di negara-negara maju yang sudah beralih ke industri jasa dan teknologi tinggi. Meskipun, peralihan produksi tersebut lebih disebabkan oleh hukum rimba dalam bidang ekonomi, dimana tenaga kerja yang murah dan melimpah di wilayah Asia lebih menjanjikan margin keuntungan yang besar bagi Multi National Corporation (MNC), tetapi dampak yang ditimbulkan dari perubahan tersebut setidaknya membawa peningkatan penghasilan per kapita di negara-negara Asia.

  Kemajuan dalam bidang ekonomi inilah yang kemudian mengubah pola hubungan dan interaksi dalam politik global. Sebab, kebangkitan sejumlah negara-negara di kawasan Asia telah membawa konsekuensi logis berupa peningkatan anggaran dalam bidang pertahanan serta status posisi tawar negara-negara tersebut dalam rejim internasional. Kondisi tersebut menyebabkan munculnya poros kekuatan-kekuatan baru dalam konstelasi global, tawarnya tidak lagi bisa didikte oleh negara-negara besar yang menguasai panggung rejim internasional selama ini. Dunia mulai beralih dari masa bipolarisme era perang dingin menuju masa multipolarisme yang ditunjukkan dengan semakin menguatnya institusi negara sebagai aktor dalam politik internasional.

  Dalam bukunya, Post-American World, Fareed Zakaria menulis, dunia tengah bergerak dari kebencian ke ketidakpedulian, dari anti-Amerikaisme ke post-Amerikaisme. Fakta bahwa kekuatan baru lebih kuat menegaskan kepentingan mereka adalah realitas dunia pasca-Amerika. Hal ini juga menimbulkan teka-teki politik tentang bagaimana untuk

  1

  mencapai tujuan internasional di dunia yang banyak aktor, negara dan bukan negara. Hal ini menegaskan bahwa tidak ada lagi dominasi kekuatan tunggal dalam percaturan politik internasional, dan bahwa kekuatan politik global tengah terdistribusi ke negara-negara lain di luar barat, khususnya Asia yang kini tengah berkembang menjadi pusat perekonomian global.

  Yang menjadi persoalan kemudian, apakah pola multipolarisme yang saat ini tengah terjadi dalam tata dunia internasional dapat menjamin berlangsungnya kedamaian, harmoni, dan stabilitas ? Meskipun terdapat rejim internasional yang berkomitmen menjaga perdamaian dunia seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta terdapat mekanisme perdagangan internasional yang menjamin terpenuhinya kepentingan nasional tiap-tiap negara melalui Organisasi Perdagangan Dunia, dimana peraturan perdangangan yang ada, merupakan hasil kesepakatan oleh mayoritas negara di dunia, tetapi adakah yang bisa menjamin bahwa semua itu mampu meredam potensi konflik yang mungkin muncul akibat perebutan kepentingan antar negara ?

  Sebab, bukanlah hal yang baru jika kita mengatakan bahwa rejim internasional telah kehilangan legitimasinya sejak lama. Ada banyak sengketa dan konflik yang tidak mampu diselesaikan melalui prosedur dan mekanisme politik yang berlangsung di PBB. Ada banyak sekali resolusi dalam rangka perdamaian yang diabaikan oleh entitas politik dan negara akibat berbenturan dengan kepentingan negaranya masing-masing, serta bukanlah hal yang aneh

  2

  jika dikatakan bahwa PBB dikuasai oleh segelintir negara besar yang ingin tetap 1 mempertahankan kekuasaannya dalam tubuh organisasi tersebut demi kelangsungan 2 Fareed Zakaria, The Post-American World, New York, W.W Norton & Company Inc, 2009, hal 36 - 37

Hal ini tercermin dalam pemberian hak veto yang merupakan hak untuk membatalkan keputusan, ketetapan,

  

rancangan peraturan dan undang-undang atau resolusi pada Dewan Keamanan PBB kepada 5 negara besar yakni pencapaian kepentingannya sendiri. Sehingga bukannya memberikan solusi, yang terjadi tak jarang justru menimbulkan persoalan dalam proses penyelesaian konflik di berbagai belahan dunia. Berdasarkan fakta tersebut, relitas dan hakikat hubungan internasional yang dibangun melalui rejim internasional bersifat semu. PBB dibentuk sebagai upaya untuk mengendalikan karakteristik anarkis yang sesungguhnya menjadi pola alami dari hubungan internasional itu sendiri. Karena itu, tidak ada yang bisa menjamin konflik di dunia akan berakhir hanya dengan mengandalkan konsensus pada tataran rejim internasional.

  Dalam pandangan realisme klasik, perimbangan kekuasan (balance of power) menjadi syarat mutlak untuk menciptakan stabilitas. Peningkatan anggaran belanja pertahanan di suatu negara misalnya, hendaknya direspon dengan peningkatan anggaran yang serupa di negara-negara kawasan sekitarnya untuk memastikan negara-negara tersebut aman dari intervensi politik dan militer dari negara yang dikhawatirkan akan bersikap agresif. Selain itu, negara-negara juga hendaknya menjalin aliansi pertahanan apabila secara sadar tidak mampu mengimbangi kekuatan-kekuatan besar disekelilingnya.

  Melihat fenomena yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir, terutama setelah tumbangnya model tata dunia bipolar sejak runtuhnya Uni Soviet awal 90-an, terlihatlah bahwa peran negara bangsa kian menguat. Amerika Serikat yang tetap bertahan sebagai negara superpower tunggal pasca perang dingin, awalnya dianggap sebagai poros pemersatu yang akan membawa nilai-nilai globalisasi pada taraf universal, sehingga nilai-nilai demokrasi liberal, HAM, dan sistem ekonomi pasar bebas akan berlaku untuk satu dunia. Akan tetapi, realitas yang terjadi membuktikan, bahwa homogenitas dalam nilai dan teknologi yang dibawa bersamaan dengan globalisasi tidak menjamin lunturnya kedaulatan negara-bangsa dalam pentas politik internasional. Sebaliknya, kecendrungan sentimen nasionalisme semakin menguat di banyak negara, bahkan perpecahan secara kultural juga tengah terjadi pada masyarakat yang berada di level lebih rendah.

  Dalam kasus krisis ekonomi yang melanda Eropa misalnya, muncul fenomena di kalangan masyarakat Jerman yang merasa tidak sudi apabila pajak yang dibayarkannya kepada negara justru dipakai untuk menanggulangi persoalan kredit yang ada di Yunani, meskipun kedua negara dipersatukan dalam Uni Eropa. Sedangkan, di Asia Tenggara ketegangan antara Indonesia dan Malaysia dalam persoalan sengketa perbatasan dan isu budaya tak kunjung usai meskipun kedua negara dipertemukan dalam ASEAN yang mustinya anggota. Hal yang sama juga terjadi misalnya dalam kasus Thailand dan Kamboja yang malah lebih jauh, dimana kedua negara sama-sama mengirimkan tentaranya untuk bertempur akibat persoalan sengeketa kedaulatan. Kecendrungan ini menimbulkan kesimpulan bahwa peran negara sebagai aktor dalam politik internasional tidaklah mungkin dinafikan, malah peran negara-bangsa sebagai aktor menunjukkan penguatan ketika tata pemerintahan global kian kehilangan bentuk dalam merumuskan konsensus internasional.

  Salah satu aktor negara yang dianggap muncul sebagai kekuatan baru dalam konstelasi politik internasional adalah Republik Rakyat Cina (RRC). Kebangkitan RRC menjadi sebuah negara yang kuat dan stabil di Asia dengan pertumbuhan ekonomi yang mencapai dua digit dalam beberapa tahun menjadikannya sebagai aktor berpengaruh dalam tatanan regional maupun internasional. Tak hanya pertumbuhan ekonomi, kebangkitan RRC juga diikuti dengan kebangkitan industri pertahanannya yang memang sejak lama dirintis melalui prinsip kemandirian. RRC berhasil meniru teknologi barat untuk merintis proyek- proyek industri strategisnya serta memodofikasinya sesuai dengan kebutuhan sendiri.

  Tak bisa dipungkiri, kebangkitan RRC dalam beberapa tahun terakhir telah menyebabkan perubahan kebijakan luar negeri dari negara-negara barat, terutama Amerika Serikat yang kini terlihat lebih fokus pada isu keamanan dan stabilitas di kawasan Asia Pasifik dari semula hanya fokus pada wilayah-wilayah rawan seperti Eropa Timur ataupun Timur Tengah yang merupakan daerah rawan konflik pada masa sebelumnya. Kebangkitan RRC ini patut untuk menjadi perhatian sebab wilayah Asia Pasifik masih menyisakan sejumlah potensi konflik yang belum berakhir seperti ketegangan di semenanjung Korea dan klaim RRC atas kepulauan Formosa yang saat ini merupakan wilayah kedaulatan Republik Cina (Taiwan). Selain itu juga terdapat jalur perlintasan internasional di kawasan perairan Laut Cina Selatan yang juga sangat berkaitan erat dengan kepentingan negara-negara barat untuk memastikan area tersebut bebas untuk bernavigasi.

  Sejak 1970-an, RRC telah beranjak dari sistem perekonomian tertutup yang sentralistis menuju sistem terbuka yang berorientasi pasar. RRC merupakan negara dengan skala ekonomi terbesar dengan total Produk Domestik Bruto sebesal $ 12,38 triliun pada tahun 2012, memiliki angkatan kerja terbesar di dunia yakni sebesar 795,4 juta jiwa, serta menjadi negara pengekspor terbesar di dunia, yang pada tahun 2012 membukukan nilai

  3

  ekspor senilai $ 201,7 miliar. Dengan kondisi yang ada saat ini, RRC menjadi lawan yang seimbang bagi Amerika Serikat dalam kompetisi perebutan cengkraman hegemoni dan kepentingan kedua negara tersebut dalam politik internasional.

  Dilihat dari sudut pandang lainnya, kebangkitan RRC sebagai sebuah tinjauan peradaban dengan nilai-nilai yang dibawanya bersikap relatif dengan nilai-nilai barat.

4 Peradaban Sino tidak sepakat dengan konsep demokrasi dan penegakan Hak Asasi Manusia

  ala barat yang selalu dijadikan justifikasi bagi barat untuk menegaskan kepentingan mereka dalam politik global. Sebab, nilai-nilai tersebut terkadang sering dianggap sebagai pembenaran bagi intervensi rejim internasional ke negara-negara dunia ketiga yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai tersebut. Karena itu, RRC kerap tampil menentang barat dalam perumusan sebuah keputusan pada badan-badan internasional. Salah satu yang terbaru, RRC sebagai salah satu anggota dewan keamanan tetap Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menolak untuk menyetujui sebuah resolusi berisi sanksi terhadap Suriah dalam respon badan internasional tersebut terhadap persoalan konflik saudara di Suriah.

  Di tengah-tengah redefenisi poros politik internasional yang masih mencari format baru, muncul kekhawatiran lain atas bangkitnya RRC sebagai sebuah kekuatan baru dunia. Kekhawatiran itu muncul dari negara-negara di kawasan regional yang menjadi tetangga RRC. Pasalnya, RRC dengan kebangkitan ekonomi dan militernya yang semakin kuat menunjukkan kecendrungan yang kian agresif di kawasan Asia Pasifik dengan mempertegas klaimnya atas sejumlah wilayah yang masih dipersengketakan dengan negara tetangganya.

  Agresivitas RRC terlihat misalnya di kawasan perairan Asia Timur dengan mengklaim kepulauan Senkaku (oleh Cina di sebut Diaoyu) yang secara defacto milik Jepang sebagai bagian dari wilayah kedaulatannya. Sedangkan di kawasan Asia Tenggara, RRC mengklaim kepemilikan seluruh perairan Laut Cina Selatan yang meliputi kedaulatan sejumlah negara seperti Vietnam, Filipina, Brunei, dan Malaysia. Laut Cina Selatan selain memiliki kandungan sumber daya alam berupa minyak bumi dan gas alam, juga merupakan jalur perlintasan internasional yang sangat strategis. Karena itu, klaim RRC tidak hanya akan membahayakan kedaulatan sejumlah negara di kawasan Asia Pasifik tetapi juga akan mengundang perhatian serius dari barat, terutama Amerika Serikat yang juga memiliki 4 kepentingan isu kebebasan bernavigasi di kawasan perairan tersebut.

  

Salah satu tipologi peradaban menurut Samuel P. Huntington yang merujuk pada bangsa han, suku bangsa

  Melihat perkembangan yang terjadi kekinian, terutama pada tahun 2011 hingga 2013, terlihat kecendrungan menguatnya upaya-upaya dari pihak tertentu untuk mengakhiri status

  

quo . Sebagai contoh adalah upaya penegasan klaim dengan menghadirkan kapal perang dan

  pesawat militer, eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi di kawasan sengketa, penerbitan paspor dengan menghadirkan peta kedaulatan yang masih dipersengketakan, serta bentuk-bentuk provokasi lainnya yang mengarah pada potensi konflik.

  Sebagai salah satu negara poros kekuatan baru dunia, pengaruh RRC dalam mendikte kebijakan negara-negara di kawasan sekitarnya cukup kuat. Hal ini terlihat misalnya ketika untuk pertama kalinya forum menteri luar negeri ASEAN gagal menyepakati komunike bersama di Phnom Phen, Kamboja untuk menentukan Kode Tata Berperilaku di kawasan perairan Laut Cina Selatan. Kondisi ini diyakini terjadi akibat sikap Kamboja sebagai tuan rumah yang tidak menginginkan isu yang terjadi di kawasan Laut Cina Selatan di- internasionalisasi-kan. Sikap Kamboja ini sesungguhnya merefleksikan kepentingan RRC yang bertentangan secara kontras dengan sikap Filipina, Brunei, dan Vietnam yang memiliki sengketa perbatasan dengan RRC di wilayah Laut Cina Selatan.

  Melihat perkembangan dan dinamika yang terjadi di kawasan Asia Pasifik yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi global abad-21, peneliti merasa penting untuk menganalisa fenomena kebangkitan negara yang menjadi poros kekuatan baru dunia untuk melihat kecendrungan yang memungkinkan adanya potensi konflik di masa depan dalam panggung politik global yang multipolar. Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dan menganalisa faktor-faktor yang menyebabkan munculnya sikap agresif dalam politik luar negeri RRC dalam konteks regional di Asia Pasifik.

2. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini akan menjawab pertanyaan penelitian yaitu: “ Apa Saja Faktor Penyebab Agresivitas Politik Luar

  Negeri Republik Rakyat Cina dalam Sengketa Perbatasan di Asia Pasifik ?” 3. Pembatasan Masalah

  Sebagai upaya dalam mensistematiskan masalah dalam penelitian ini diperlukan adanya batasan-batasan masalah agar masalah yang diteliti menjadi jelas, terarah, serta termasuk dalam ruang lingkup masalah penelitian dan faktor mana saja yang termasuk dalam ruang lingkup penelitian tersebut. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah: a.

  Penelitian yang dilakukan terbatas pada faktor-faktor internal RRC yang menyebabkan munculnya sejumlah kebijakan luar negeri yang agresif di kawasan regional. Sehingga, penelitian ini akan meminggirkan persoalan sengketa perbatasan sebagai akibat saja. Fokus utama penelitian ini tetap pada analisis penyebab munculnya sikap agresif dalam politik luar negeri RRC itu sendiri. Karena itu sebenarnya tidak terlalu relevan untuk menyimpulkan hasil penelitian hanya pada wilayah Asia Pasifik saja, sebab RRC juga terlibat konflik perbatasan dengan India di wilayah barat daya negerinya.

  b.

  Penelitian hanya dilakukan dengan melihat perkembangan sengketa klaim kedaulatan antara RRC dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik yang mulai mengemuka pada 2012 hingga 2013. Sehingga penelitian tidak akan terlalu mendalami kajian historis dari sengketa perbatasan tersebut, ataupun sengketa perbatasan lain yang pernah terjadi pada masa sebelumnya yang melibatkan RRC dengan negara di kawasan Asia Pasifik Lainnya.

  4. Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk memahami faktor-faktor yang menyebabkan munculnya sejumlah kebijakan politik luar negeri Republik Rakyat Cina (RRC) yang bersifat agresif di kawasan regional yang berimplikasi pada terjadinya sengketa klaim kedaulatan dengan negara-negara tetangga RRC di kawasan Asia Pasifik.

  5. Manfaat Penelitian

  Adapun manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: a. Secara akademis penelitian ini hendak memperkaya ilmu pengetahuan di bidang ilmu politik khususnya kajian seputar Politik Luar Negeri dan Hubungan Internasional.

  b.

  Secara praktis, dari hasil penelitian ini menggambarkan prespektif RRC sebagai sebuah aktor negara dalam pusaran politik internasional. Sehingga dapat diketahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tindakan-tindakan sebuah negara dalam

6. Kerangka Teori

  Secara umum penelitian ini didasari atas kerangka berpikir realis yang melihat negara sebagai aktor dalam politik internasional, dan bahwa struktur politik internasional pada hakikatnya bersifat anarkis. Para realis memperlakukan negara sebagai aktor yang rasional yaitu mengikuti prinsip mengejar, melindungi, dan mempertahankan kepentingan nasionalnya yang didefenisikan sebagai kekuasaan sesuai dengan kemampuan dan keterbatasanya di dunia

  5 internasional.

6.1. Asumsi- Asumsi Utama Realisme

  Ada tiga asumsi utama realisme yang sering dikelompokkan dalam 3S :

  6

  adalah aktor utama dalam hubungan internasional

  statism, survival, self-help . State

  yang anarkis. Asumsi ini berasal dari kenyataan bahwa untuk bisa survive dan mencapai level subsisten manusia perlu hidup bersatu berdasarkan suatu solidaritas kelompok. Kohesi dalam grup ini juga berpotensi untuk berkonflik dengan kelompok- kelompok lain. State merupakan pengelompokan manusia (groupism) yang paling penting dewasa ini, dan sumber kohesi in-group yang paling kuat adalah

  7 nasionalisme.

  Negara sebagai satu komunitas politik yang independen mempunyai kedaulatan terhadap suatu wilayah dalam dunia yang anarkis. Perlu dijelaskan bahwa anarkis bagi realis bukan keadaan benar-benar chaos dan tidak ada aturan, tetapi ketiadaan kekuasaan sentral. Berbeda dengan struktur organisasi dalam politik domestik yang hirarkis, dalam hubungan internasional, struktur dasarnya adalah anarkis di mana negara-negara adalah berdaulat dan menganggap kekuasaan tertinggi ada di tangan mereka. State diasumsikan seperti black-box yang mewakili keseluruhan

  8 kepentingan di suatu negara.

  Ide tentang negara yang utuh berdaulat ini berasal dari defenisi Weber yaitu ‘monopoli terhadap penggunaan kekuatan fisik secara sah dalam suatu wilayah.’ 5 Dalam teori kedaulatan Barat, diasumsikan bahwa persoalan di dalam negeri ini sudah 6 Abu Bakar Ebi Hara, Pengantar Analisis Politik Luar Negeri, Nuansa, 2011, hal 34 Dunne and Schmidt, The Globalization of World Politics : An Introduction to International Relations, Oxfort

  University Press 2001, hal 155 - 156 terselesaikan dan negara berhasil mengamankan berbagai masalah dalam negeri. Rakyat di dalam pun mendapatkan rasa aman bahkan keadilan. Di sinilah kemudian bermula perbedaan antara inside/outside. Di dalam semuanya aman, namun di luar tidak berlaku dan negara dapat melakukan apa saja untuk menjamin survival dari negara.

  Dalam konteks internasional yang anarkis, prioritas politik luar negeri negara- negara dengan demikian adalah menjaga kelangsungan hidupnya atau survival dari ancaman negara lain, yang juga merupakan inti dari kepentingan nasional. Sementara kepentingan lainnya, seperti ekonomi, adalah kurang penting (low politics). Kode etik realis adalah sesuatu yang harus dinilai dari hasilnya, bukan dari apakah tindakan individu itu benar atau salah. Realis tidak percaya pada universalitas moral; kalaupun ada, itu hanya berlaku relatif untuk suatu masyarakat tertentu saja. Dengan kata lain, dalam pandangan Wohlforth, negara seringkali harus bertindak egois, terutama bila dihadapkan pada pilihan kepentingan diri dan kepentingan kolektif. Ini juga merupakan sifat dasar manusia sebagaimana diungkapkan adagium klasik realis:

  inhumanity is just humanity under pressure (kekejaman berarti kemanusian di bawah

  9

  tekanan) Dalam keadaan anarkis ini, tiap negara harus menolong dirinya sendiri atau

  self-help. Negara tidak boleh percaya pada negara lain atau organisasi internasional,

  tapi harus mencari cara sendiri, terutama meningkatkan kekuatan militernya. Struktur internasional tidak mengizinkan adanya persahabatan, kepercayaan dan kehormatan, yang ada hanyalah kondisi abadi ketidakpastian karena tiadanya pemerintahan global. Walaupun penting untuk menilai apakah negara lain merupakan negara revisionis yang ingin mengubah balance of power atau pro-status quo yang tidak ingin mengubah keadaan itu secara militer, namun adalah susah untuk memastikan intensi atau maksud suatu negara secara empirik. Cara terbaik adalah memperkuat diri

  10 sehingga negara lain tidak berani menyerang.

  Koeksistensi demikian bisa dicapai melalui keseimbangan kekuatan dan interaksi terbatas, tetapi pendirian negara tetap lebih untuk keuntungan dirinya sendiri daripada negara lain. Di sini terjadi security dilemma yang lebih sering terjadi pada negara-negara besar daripada negara kecil karena peningkatan kekuatan militer mereka akan selalu mendorong meningkatkan kekuatan negara besar yang lain. Keamanan bagi negara lain berarti ketidakamanan bagi negara sendiri. Inilah tragedi

  11 politik negara-negara besar.

  Tetapi ada dua pandangan yang berbeda dalam melihat bagaimana dilema keamanan ini dapat dikelola. Realis historis dan klasik melihat balance of power dapat mengurangkan dilema keamanan ini. Sementara kaum neo-realis atau disebut realis struktural berpendapat bahwa dilema keamanan ini adalah situasi yang abadi dalam politik internasional. Bagi realis struktural atau neo-realis, balance of power akan muncul dengan sendirinya secara alamiah terlepas dari intensi negara-negara, misalnya dengan munculnya aliansi-aliansi.

  Dalam kaitan dengan politik luar negeri, dengan melihat asumsi di atas harus dipahami bahwa negara sebagai aktor utama harus menghadapi negara lain seperti bola biliar yang sedang dimainkan di atas mejanya bergerak dan bertabrakan satu sama lain. Yang membuat konsep bola biliar ini menarik adalah adanya perasaan ketidakamanan bersama antarnegara dan ketiadaan otoritas kekuatan politik yang disebut anarki di dunia internasional. Tindakan negara-negara karena itu didorong oleh keinginan untuk survive atau mempertahankan diri dari ancaman keamanan yang terus-menerus. Karena tiap negara mengejar keamanan yang meningkatkan kekuatan militernya, maka politik luar negeri pun diorientasikan pertama kali untuk mempertahankan keamanan. Mereka menghadapi dilema keamanan atau security yang tiada habisnya.

  dilemma

  Dari sini kemudian kita mengenal konsep power atau kekuasaan yang merupakan kepentingan nasional yang harus selalu dikejar oleh negara. Walaupun sering membingungkan karena begitu luas dan bermacam-macam maknanya, power tetap menjadi ukuran bagi analis realis. Ia pun sering dipertukarkan dengan konsep pengaruh, kekuasaan, kekuatan senjata, perimbangan kekuasaan, kekuatan lunak (soft

  ) dan berbagai istilah lainnya. Power juga sering disamakan dengan uang dalam

  power

  ekonomi yang perlu dicari, ditambah dan digunakan. Negara-negara, terutama negara- negara besar, sangat khawatir power mereka berkurang atau menjadi relatif lemah dalam hubungan dengan negara lain. Karena itu, mereka ingin selalu memastikan keseimbangan kekuasaan yang ada tidak bergeser ke pihak lawan.

  Menurut Mearsheimer, power didasarkan pada kemampuan militer yang dikuasai oleh negara. Walaupun demikian, menurutnya, negara-negara memiliki juga apa yang disebut dengan kekuatan laten yang meliputi potensi sosial ekonomi yang dapat dikembangkan untuk menjadi kekuatan militer. Kekuatan laten ini meliputi apa yang sering disebut dengan sumber-sumber kekuatan nasional oleh Morgenthau, seperti penduduk, sumber alam, ekonomi dan teknologi. Jadi, mereka mendapatkan

  power bukan saja dari menaklukkan negara lain tetapi juga melalui pengelolaan

  12 terhadap latent power atau sumber kekuatan nasional ini.

  Konsep power ini terus berubah mulai dari yang satu dimensi, seperti Morgenthau, ke yang lebih canggih. Menurut Morgenthau, power adalah kontrol

  13

  manusia terhadap pikiran dan tindakan manusia yang lain. ’Power harus dipahami dalam hubungan dengan negara lain, jadi bukan dalam situasi vacuum. Power sifatnya relatif karena dilihat dalam perbandingan dengan kekuatan negara lain. Pengertian yang lebih kompleks adalah power sebagai prestige yakni kemampuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, bukan dengan senjata atau ancaman penggunaan senjata, tetapi melalui pengaruh diplomasi dan otoritas. Terakhir sekali, kelompok neo-realis menyamakan power dengan kapabilitas. Kapabilitas dapat dirangking menurut kekuatannya dalam ukuran penduduk dan wilayah, sumber dana, kemampuan

  

14

militer, stabilitas dan kompetisi politik.

6.2. Teori Realisme Klasik dalam Perspektif Kajian Politik Luar Negeri

  Dalam politik internasional, kalau mengikuti realisme klasik seperti Morgenthou, negara-negara masih dianggap memiliki tujuan dan aspirasi politik luar negeri sendiri dan tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh distribusi kekuasaan pada struktur internasional seperti yang diasumsikan oleh kaum neo-realis. Morgenthou, menyadari bahwa negara memiliki contextual imperative yang sering dihubungkan dengan posisi geografis, sejarah, ekonomi dan politik. Morgenthou juga berbicara 12 tentang tanggungjawab pemimpin dan artinya melihat pentingnya peranan individu

  Ibid, 2007 hal 74 dalam politik luar negeri. Dia juga mendiskusikan pentingnya karakter nasional sebagai satu aspek kekuatan nasional yang mempengaruhi politik luar negeri.

  Holsti, yang juga digolongkan sebagai pengikut realisme klasik penerus Morgenthou, mengejawantahkan lebih lanjut pandangan di atas dengan menyebutkan bahwa selain dipengaruhi oleh struktur sistem internasional, strategi umum politik luar negeri suatu negara juga dihubungkan dengan sifat dari keadaan domestik dan

  15

  kebutuhan ekonomi. Seperti Morgenthou, ia juga menyebutkan peranan pembuat keputusan dalam mempersepsikan ancaman eksternal yang tetap terhadap nilai-nilai dan kepentingan mereka akan sangat menentukan orientasi politik luar negeri negara itu. Juga faktor lokasi geografis, ciri-ciri topografi, potensi alam, menurut Holsti, adalah variabel-variabel yang mempengaruhi pilihan orientasi politik luar negeri.

  Dalam pandangannya, Holsti melihat negara sebagai aktor memiliki tujuan- tujuan, aspirasi, kebutuhan, sikap, pilihan, dan tindakan politik luar negeri yang dipengaruhi atau terbentuk oleh struktur kekuatan dan distribusi kekuasaan dalam politik internasional. Ia membagi empat komponen utama dalam politik luar negeri yaitu : Orientasi-orientasi politik luar negeri, peran-peran nasional, tujuan-tujuan dan

  16 tindakan-tindakan.

  Menurut Holsti, orientasi dasar politik luar negeri ada tiga, orientasi pertama disebut isolasi di mana untuk menjaga kepentingannya, negara memilih membatasi hubungannya dengan negara lain. Negara yang melakukan ini biasanya merasa cukup sufisien secara ekonomi dan sosial sehingga tidak memerlukan banyak bantuan dari negara lain. Isolasi Amerika dan juga Jepang sebelum Perang Dunia I merupakan contoh dari orientasi politik luar negeri yang demikian. Orientasi jenis kedua adalah atau non-blok, untuk kepentingan strategis, mereka bersatu untuk

  nonalignment

  mencapai tujuan kemerdekaan dan mempertahankan diri dari pengaruh negara-negara besar. Orientasi ketiga disebut Holsti pembuatan koalisi dan pembangunan aliansi. Berbeda dengan isolasi, orientasi yang ketiga ini berangkat dari ketidakmampuan negara, baik dalam pertahanan maupun ekonomi, untuk berdiri sendiri. Jadi karena itu, mereka berusaha melakukan koalisi diplomatik dan kadangkala melakukan aliansi

  17 militer untuk melindungi pertahanan negara.

  Komponen kedua dari politik luar negeri menurut Holsti adalah peran-peran nasional dan konsepsi tentang peran yang merupakan turunan dari komponen pertama orientasi politik luar negeri. Konsepsi peran nasional ini adalah sebagaimana yang didefenisikan oleh para pembuat keputusan tentang komitmen, aturan, tindakan yang sesuai untuk negara. Contoh peran nasional adalah ‘pelindung regional’ yaitu peranan untuk melindungi negara-negara lain dalam lingkungan tertentu. Juga ada perang sebagai ‘mediator’ yaitu membantu pemecahan konflik internasional. Banyak istilah lain untuk peran nasional ini, seperti pemimpin regional, bebas aktif, agen antiimperialis, pembebas dan beberapa peran khusus lain yang didefenisikan oleh

  18 negara sendiri.

  Komponen ketiga disebut tujuan-tujuan politik luar negeri yang mengacu pada komponen kedua dan pertama dari politik luar negeri. Tujuan dan kepentingan sekurangnya ada tiga macam. Yang pertama adalah nilai-nilai dan kepentingan- kepentingan ‘inti’ atau core di mana secara umum semua orang akan rela mengorbankan diri untuk tujuan ini. Ini diistilahkan dengan macam-macam term seperti ‘merdeka atau mati’ untuk membela kedaulatan dan kemerdekaan, keamanan, memenangkan perang dan lain-lain tujuan yang harus dicapai dalam jangka pendek karena merupakan kepentingan vital. Kemudian ada tujuan dan kepentingan jangka menengah seperti kepentingan ekonomi dan perdagangan. Prestise negara juga masuk dalam kepentingan jenis jangka menengah ini, sama halnya seperti perluasan pengaruh di negara lain. Macam ketiga dari tujuan politik luar negeri adalah tujuan- tujuan jangka panjang yang sering disebut sebagai visi dan rencana universal, seperti mengkonsumsi dunia oleh rejim-rejim komunis atau tindakan sebagian negara Barat

  19 untuk menciptakan dunia demokratis.

  Dalam analisis politik luar negeri Holsti ini, terdapat hubungan yang logis mulai dari orientasi yang menentukan peran-prean nasional negara-negara, kemudian juga mempengaruhi pilihan tujuan-tujuan politik luar negeri dan akhirnya akan 17 mempengaruhi tindakan-tindakan politik luar negeri yang akan diambil oleh suatu

  Ibid, 1983 hal 98 negara. Karena sifatnya yang demikian, maka orientasi-orientasi politik luar negeri dan peran nasional biasanya adalah yang paling langgeng, bertahan lama dan susah berubah. Kemudian diikuti oleh komponen yang lain. Politik luar negeri suatu negara, misalnya, akan selalu menggantikan tindakan politik luar negeri untuk mencapai tujuan, baik jangka pendek ataupun jangka panjang, namun jarang mereka menggantikan orientasi dan peran nasional politik luar negeri mereka.

6.3. Makna Agresivitas dalam Perspektif Realisme

  Kata Agresif dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia berarti ‘bernafsu menyerang,’ sedangkan kata agresivitas diartikan sebagai ‘hal agresif,’ ‘sifat agresif,’

  20

  atau ‘tindakan yang agresif.’ Agresif dan agresivitas sesungguhnya merupakan sebuah kata sifat yang melekat pada manusia. Akan tetapi dilekatkannya kata ‘agresif’ dan ‘agresivitas’ pada negara dalam konteks penelitian ini dimaksudkan untuk menjelaskan perilaku ataupun sikap sebuah negara yang secara personifikasi memiliki defenisi yang serupa dengan makna kedua kata tersebut pada manusia, yakni berarti ‘bernafsu menyerang’ untuk kata agresif, serta ‘hal agresif,’’sifat agresif,’ atau ‘tindakan yang agresif,’ untuk kata agresivitas.

  Dalam perspektif realisme, negara merupakan suatu kohesi sosial yang penting dalam masyarakat modern. Sebab, negara memberikan perlindungan terhadap individu-individu yang bernaung di dalamnya dalam menjalankan aktivitas kehidupannya, terutama dalam konteks ketika berhadapan dengan ‘dunia luar.’ Perspektif realisme mengasumsikan ‘dunia luar’ sebagai suatu wilayah di luar batas juridiksi negara, dimana jangkauan negara atas hak-hak individu yang berada dalam di

  21 luar naungannya terbatas.

  Karena negara merupakan kumpulan dari individu-individu, serta digerakkan dan dikendalikan oleh manusia itu sendiri, maka sikap dan tindakan sebuah negara sesungguhnya ialah perwujudan dari sikap dan tindakan manusia yang bernaung di dalamnya. Negara dalam perspektif realisme yang menganggap panggung global sebagai suatu area yang bersifat anarki, tanpa struktur hirarkis, menyebabkan individu-individu yang bernaung di dalam negara menyelenggarakan suatu pola kebijakan yang sesuai dan mampu mencukupi kebutuhan-kebutuhannya. Sikap, tindakan dan kebijakan sebuah negara terhadap dunia luar yang dikendalikan oleh individu-individu itulah yang kemudian disebut sebagai Politik Luar Negeri.

  Perspektif realis sebenarnya tidak menggarisbawahi perilaku ataupun sikap negara yang bagaimana yang menunjukkan politik luar negeri yang agresif. Tetapi perspektif realis itu sendiri menganggap bahwa manusia dan negara (sebagai kohesi individu) itu cenderung egois terhadap orang lain yang berada di’luar’ (outside). Perspektif realis memandang bahwa pemenuhan kebutuhan di dalam (inside) negara hendaknya dicapai dengan cara apapun termasuk apabila mengharuskan negara

  22 bersikap agresif terhadap dunia luar.

  Meskipun di dalam teori realisme secara khusus tidak ada kriteria yang menyebutkan suatu tindakan politik luar negeri tertentu yang bisa diklasifikasikan sebagai tindakan yang agresif, namun dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan sejumlah kriteria sebagai alat bantu untuk memberikan pola yang mengarahkan pemahaman kita pada apa yang dimaksud sebagai tindakan-tindakan politik luar negeri yang agresif itu. Sejumlah kriteria yang peneliti tentukan ini merupakan derivasi atas teori realisme dalam tahap aplikatif. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa kriteria-kriteria ini masih terbuka untuk diperdebatkan secara teoretik, serta tidak bermaksud untuk mengeneralisir. Adapun sejumlah kriteria yang menunjukkan sikap atau tindakan agresif dalam politik luar negeri sebuah negara itu ialah sebagai berikut:

   Sebuah negara yang secara eksplisit mengumumkan sikap dan posisinya yang bermusuhan terhadap sebuah negara berdaulat lainnya;  Sebuah negara yang mengklaim kepemilikan suatu wilayah teritorial dimana masih terdapat entitas politik berdaulat yang secara sah menguasai wilayah tersebut;  Sebuah negara yang melakukan provokasi ataupun bertujuan ekspansif dengan menghadirkan kekuatan militer di kawasan teritorial negara lain atau di sebuah kawasan teritorial yang masih dalam tahap perselisihan di Mahkamah Internasional;

   Sebuah negara yang memiliki tujuan nasional baik yang tertulis melalui dokumen resmi kenegaraan, maupun visi misi pemimpin politiknya yang secara gamblang mengutarakan ambisi ekspansionisme dalam kebijakan politik luar negerinya;  Sebuah negara yang memberlakukan kebijakan politik luar negeri yang bersifat unilateral tetapi mengancam kepentingan negara lain sehingga mencederai hubungan bilateral dengan negara tersebut;  Sebuah negara yang melalui pemimpin politik ataupun utusan diplomatik resminya mengumumkan suatu pernyataan verbal yang bersifat mengancam kedaulatan, kepentingan, dan kehormatan negara lain;  Sebuah negara dengan sengaja mengadakan sebuah kegiatan di dalam negerinya yang bertentangan dengan norma ataupun asas keamanan yang telah menjadi kesepakatan dalam komunitas internasional atau mengadakan kegiatan yang berpotensi membahayakan perdamaian dunia. Adapun sejumlah kebijakan luar negeri Republik Rakyat Cina yang disoroti sebagai sebuah sikap ataupun tindakan yang agresif dalam penelitian ini ialah berkisar seputar perselisihan sengketa perbatasan yang terjadi di kawasan regional Asia Pasifik, diantaranya ialah sebagai berikut: menghadirkan armada militer dan personil bersenjata di kawasan yang secara resmi merupakan wilayah kedaulatan negara lain ataupun kawasan yang masih dipersengketakan; menerbitkan dokumen resmi (baca: paspor) bergambar peta wilayah kedaulatan negara lain ataupun wilayah yang masih dipersengketakan; mengintervensi kebijakan politik luar negeri negara lain dengan tujuan menguntungkan kepentingan nasional RRC; menghalangi kehadiran pemimpin politik negara lain ke RRC dengan tidak bersedia menerbitkan visa kunjungan dengan maksud hendak mengadakan transaksi berupa pencabutan laporan negara tersebut pada Mahkamah Internasional atas sejumlah pelanggaran kedaulatan yang dilakukan oleh RRC; serta, melalui pemimpin politiknya menyuarakan pernyataan verbal yang bersifat memprovokasi negara lain atas perselisihan sengketa kedaulatan yang melibatkan RRC.

6.4. Beberapa Konsep dalam Teori Realis

  Berikut dijabarkan sejumlah defenisi konsep yang mengemuka dalam teori realis, yang akan dipakai sebagai instrumen pembedah analisis dalam penelitian ini :

6.4.1 Konsep Kepentingan Nasional

  Kepentingan Nasional (National Interest) adalah tujuan-tujuan yang ingin dicapai sehubungan dengan kebutuhan negara bangsa atau sehubungan dengan hal yang dicita-citakan. Dalam hal ini kepentingan nasional yang relatif tetap dan sama diantara semua negara/bangsa adalah keamanan, (yang mencakup kelangsungan hidup rakyatnya dan kebutuhan wilayah) serta kesejahteraan. Kedua hal pokok ini yaitu keamanan (Security) dan kesejahteraan (Prosperity) merupakan kepentingan nasional yang utama. Kepentingan nasional diidentikkan dengan dengan “tujuan nasional”. Contohnya kepentingan pembangunan ekonomi, kepentingan pengembangan dan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) atau kepentingan

  23 mengundang investasi asing untuk mempercepat laju industrialisasi.

  Kepentingan nasional sering dijadikan tolok ukur atau kriteria pokok bagi para pengambil keputusan (decision makers) masing-masing negara sebelum merumuskan dan menetapkan sikap atau tindakan. Bahkan setiap langkah kebijakan luar negeri (Foreign Policy) perlu dilandaskan kepada kepentingan nasional dan diarahkan untuk mencapai serta melindungi apa yang dikategorikan atau ditetapkan sebagai ”Kepentingan Nasional.” Sedangkan menurut Morgenthau, ”Kepentingan nasional adalah kemampuan minimum negara untuk melindungi, dan mempertahankan identitas fisik, politik, dan kultur dari gangguan negara lain. Dari tinjauan ini para pemimpin negara menurunkan kebijakan spesifik terhadap negara lain yang sifatnya

  24 kerjasama atau konflik”.

23 T.May Rudy, Study Strategis dalam transformasi sistem Internasional Pasca Perang dingin, Refika Aditama,

  

6.4.2. Konsep Perimbangan Kekuasaan (Balance of Power)

  Konsep perimbangan kekuasaan (Balance of Power) merupakan suatu konsep yang menginginkan perimbangan kekuatan di antara kekuatan- kekuatan utama aktor hubungan internasional. Dalam pandangan kaum realis, perang terjadi karena dunia tidak seimbang dalam aspek power. Karena pada dasarnya manusia itu buruk, setiap negara memiliki hasrat untuk menguasai negara lainnya. Dengan hal ini, untuk menguasai negara lain maka suatu negara yang memiliki power yang kuat akan menyerang negara yang dituju sehingga menimbulkan konflik dan peperangan. Hal ini dapat menimbulkan ketidakstabilan keamanan di dunia. Jika hal ini terus berlangsung, peperangan di dunia akan terus terjadi. Morgenthau mengemukakan suatu konsep yang disebut Balance of Power yang didasari dari pemikiran seorang sejarawan yaitu Thucydides.

  Balance of power menganggap dunia akan aman jika semua negara

  memiliki kekuatan yang seimbang. Perimbangan kekuatan yang dimaksud adalah pada aspek kekuatan militernya. Namun, hal ini akan sulit terwujud karena setiap negara mempunyai kekuatan yang berbeda-beda. Menurut kaum realis, negara-negara yang paling penting dalam politik dunia adalah negara-

  25

  negara berkekuatan besar (great powers). Akan tetapi, konsep ini bisa disambungkan dengan konsep polaritas dalam hubungan internasional. Ini terlihat pada masa perang dingin yang merupakan masa bipolar. Hubungan internasional dipahami oleh kaum realis terutama sebagai perjuangan di antara

  26 negara-negara berkekuatan besar untuk dominasi dan keamanan.

  

6.4.3. Konsep Perimbangan Ancaman (Balance of Threat)

  Teori Perimbangan Ancaman (Balance of Threat) merupakan kritik terhadap teori perimbangan kekuasaan. Menurut teori ini, dalam sistem internasional yang anarkis dan cenderung pada tidak adanya distribusi 25 kekuatan yang berimbang, negara akan menggalang aliansi dengan atau

  

Robert Jackson dan George Sorensen. Pengantar Studi Hubungan Internasional. terj. 2009, Yogyakarta:

  27

  melawan kekuatan yang paling mengancam . Aliansi adalah respon atas ketidakseimbangan ancaman (imbalances of “threat”), bukan

  28

  ketidakseimbangan kekuatan (imbalance of “power”) . Jadi, berbeda dengan yang melihat balancing sebagai kondisi alamiah dalam

  Balance of Power

  sistem internasional yang terdiri dari unit-unit negara ketika terjadi ketidakmerataan distribusi kekuatan terutama militer (lebih tepatnya, ini adalah konsepsi Balance of Power menurut Neoralism/Structrual Realism), Teori perimbangan ancaman berasumsi bahwa, balancing adalah respon yang dilakukan oleh negara atau beberapa negara terhadap negara lain yang memiliki power (militer, ekonomi, teknologi, dll) besar atau lebih besar dari yang dimiliki negara tersebut. Berbeda dari teori perimbangan kekuasaan yang melihat pengaruh power itu sendiri terhadap sistem internasional, konsep perimbangan ancaman melihat akibat dari kepemilikan power tersebut terhadap sistem.

  Berangkat dari asumsi dasar neorealis bahwa sistem internasional adalah anarkis, bahwa tidak ada pemerintahan yang mengatur negara-negara sehingga setiap negara harus menjamin keamananannya sendiri dalam pergaulan regional maupun global, dan bahwa setiap negara bertindak untuk mencapai kepentingan nasionalnya baik ekomoni maupun keamanan, Walt memandang bahwa kepemilikan power oleh sebuah negara, misalnya rudal balistik atau bahkan senjata nuklir, akan mengancam keamanan dan kepentingan nasional negara-negara lain terutama yang berada di sekitarnya. Walt lebih lanjut menjabarkan sumber-sumber ancaman bagi negara sebagai

  29

  berikut :  Pertama, aggregate power. Jenis ancaman ini berasal dari level atau jumlah relative power yang dimiliki oleh suatu negara. Semakin besar kekuatan yang dimiliki seperti populasi, industri, militer, teknologi, dan lain sebagainya, akan semakin besar potensi ancamannya bagi negara lain. Uni Eropa “mungkin” dapat dikatakan sebagai mekanisme untuk 27 mendistribusikan kekuatan agregat di antara negara-negara Eropa Barat.

  Walt, Stephen M. Spring. Alliance Formation and The Balance of World Power, 1985 hal 8-9

  Dalam sejarahnya, saat persebaran kekuatan di wilayah tersebut tidak merata, terjadi ketidakstabilan sistem sehingga menyebabkan peperangan bebar dalam sejarah dunia (Perang Dunia I dan Perang Dunia II).  Kedua, proximity. Semakin dekat dekat jarak sebuah negara, semakin besar potensi ancaman yang dimiliki bagi negara lain. Sebagai contoh, Perang Arab-Israel I pada 1948 terjadi antara Israel melawan koalisi Arab yaitu Mesir, Libanon, Yordania, Suriah dan Irak. Negara-negara Arab lain seperti Arab Saudi, Oman, Yaman dan Libya tidak terlibat perang, karena negara- negara tersebut tidak berbatasan langsung dengan Israel.

   Ketiga, offensive power. Negara yang memiliki kapabilitas militer kuat lebih memprovokasi terjadinya aliansi dalam sistem daripada negara yang kemampuan militernya lemah atau yang militernya hanya untuk pertahanan diri. Bagi Arab Saudi, pertumbuhan postur militer Iran akhir-akhir ini menjadi sangat mengkhawatirkan, karena dilihat dari kualitasnya, kemampuan militer Iran tersebut lebih dari sekedar untuk pertahanan diri. Maka tidak mengherankan jika aliansi Arab Saudi dengan AS semakin erat seiring dengan perkembangan agresivitas Iran. Keempat, offensive intention. Negara yang agresif selalu memicu terbentuknya aliansi negara- negara lain. GCC terbentuk di antara negara-negara Arab Teluk adalah sebagai reaksi atas agresivitas Iran. Pada tahun 2006 GCC kembali mempererat aliansinya dengan AS untuk merespon Iran yang kembali

  30

  agresif sejak dipimpin oleh Mahmoud Ahmadinejad Bagi GCC Iran dianggap lebih berbahaya daripada AS karena AS tidak menunjukkan ambisi ofensif di kawasan tersebut meskipun memiliki kapabilitas militer yang jauh lebih kuat dari pada Iran.

   Keempat, sumber ancaman tersebut merupakan kondisi-kondisi yang menggiring negara-negara dalam sistem internasional untuk membangun aliansi atau melakukan bandwagoning. Keempatnya juga menunjukkan kompleksitas balancing dalam konsepsi Walt, sehingga dalam bukunya The Origins of Alliances Walt secara eksplisit dia menyebutnya sebagai

  31

  . Teori Walt

  

parsimonious revision of realist balance-of-power theory

  mampu menjelaskan fenomena-fenomena yang tidak mampu dijelaskan oleh teori Balance of Power.

6.4.4. Teori Dilema Keamanan

  Dilema keamanan yaitu suatu keadaan ketergantungan pada persenjataan yang menjadi kebijakan suatu negara yang seolah-olah demi kepentingan pertahanan suatu negara padahal untuk mengancam negara lain. Ancaman persenjataan yang menyebabkan negara lain tertekan karena adanya ancaman-ancaman tersebut, menyebabkan negara yang tertekan tersebut membuat kebijakan untuk meningkatkan nilai persenjataanya baik dari segi jumlah, maupun kualitasnya.

  Dilema disini timbul antara kebijakan untuk peningkatan senjata mempengaruhi ekonomi negara. Sedangkan perekonomian negara yang stabil sangat dibutuhkan bagi negara yang sedang berkembang untuk pembangunan nasionalnya, peningkatan sumber daya ekonomi, seperti sektor pertambangan, sektor pertanian, perkebunan dan lain sebagainya yang seharusnya dibangun sarana untuk peningkatan laju pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan sarana dan prasarana seperti jalan, komunikasi yang sesungguhnya berdampak langsung dengan kekuatan militer disuatu negara.Sedangkan peningkatan jumlah senjata, dan anggaran militer yang besar menyebabkan banyak menghabiskan dana, dan anggaran devisa negara sehingga akan menyebabkan dampak langsung maupun tidak langsung akan menjadikan negara tersebut jatuh kepada kebinasaan.