. Persepsi Keinginan Pedagang dan Pembeli Berbelanja

64 Berikut jawaban berbeda pula dari informan pembeli: “...kebetulan karena aku laki-laki memang agak segan kalau uda penjualnya perempuan. Apalagi kalau umurnya masih beda jauh. Kadang yang jualan uda tua, kadang yang masih muda. Misalnya pas lagi mau beli celana monza yakan, mau itu yang jualan perempuan. Kalau beli celana monza ini kan mesti dicoba. Tak ada pulak ruang gantinya. Jadi segan-segan lah aku kalo mau mencoba. Kurang nyaman kalau lawan jenis yang jual..” Dari pernyataan mengenai kriteria yang dimiliki setiap pedagang dan pembeli memang berbeda. Tetapi kepada pedagang biasanya hal ini tidak terlalu menjadi masalah. Pedagang pasar dwikora terutama yang sudah bertahun-tahun menjadi pedagang, segala macam jenis pembeli sudah mereka rasakan, jadi hal ini bukan menjadi sesuatu yang merepotkan. Mau itu perempuan ataupun laki-laki sama saja kriterianya. Justru malah sebaliknya, pembeli lah yang memiliki kriteria yang paling banyak dalam hal berbelanja. Seperti yang dijelaskan diatas bahwa lelaki kurang nyaman apabila pedagangnya adalah lawan jenis. Ada juga jawaban mengenai suku, pembeli merasa nyaman apabila dia menemukan pedagang yang se suku dengannya. Jadi memang pada umumnya setiap masyarakat memiliki kriteria tertentu dalam menentukan pilihan yang dia rasa cocok buatnya. Begitupun dengan yang terjadi di pasar dwikora antara pedagang dan pembeli.

4.6.3 . Persepsi Keinginan Pedagang dan Pembeli Berbelanja

Setiap masyarakat memiliki hak tesendiri dan keinginan untuk memilih kemana pun hendak berbelanja guna memenuhi kebutuhan akan sandang, pakaian, dan papan. Demi mencapai kepuasan tersendiri, masyarakat akan mencari tempat yang dirasakan cukup nyaman untuk berbelanja. Kenyamanan ini beragam cirinya. Kenyamanan menurut suasana berbelanja, kenyamanan karena merasa harga produk yang dicari cukup murah, kenyamanan akan kualitas suatu barang. 65 Berikut beberapan jawaban para informan mengenai pilihan mereka untuk berbelanja ke tempat yang mereka merasakan nyaman. “... kalau aku maunya sekali-sekali ke supermarket itu beli baju, entah pas hari besar, entah pas lagi ada uang. Perlu juganya aku pedagang monza ini punya baju baru. Jadi karena aku pedagang monza gak selamanya barang yang ku punya pundari pajak ini. Namanya pun kita manusia, mana puas kalo hanya barang dari pajak ini...”wawancara dengan kak Aan. Pernyataan berikut juga dilontarkan oleh pembeli yang memiliki peran penting dalam memilih tempat berbelanja. “...Aku berbelanja memang lebih senang dipajak, mungkin karena aku laki-laki. Kalau belanja di supermarket beli baju kurang nyaman. Sekali-sekali sajanya. Karena kualitasnya gak bagus. Mahal-mahal pun lagi harganya. Ratusan ribu harganya tapi barangnya gak sesuai kurasa. Tapi kalo orang rumah keluarga lebih senang kesana. Ntah apa yang mereka suka dari situ...” Menurut Weber dalam Damsar, 2009 tindakan sosial di pasar bermula dari persaingan dan berakhir dengan pertukaran. Weber juga melihat elemen perebutan atau konflik dalam pasar. Dia menggunakan istilah perebutan pasar market struggle ketika ia menjelaskan pertempuran antara seorang dengan yang lainnya di pasar. Konsep persaingan digunakannya ketika menjelaskan konflik yang damai, sejauh ia merupakan suatu usaha formal yang damai untuk memperoleh pengontrolan terhadap kesempatan dan keuntungan yang diharapkan oleh yang lainnya. Dari pernyaataan kedua informan peneliti, keinginan pedagang dan pembeli untuk memilih tempat berbelanja memang tergantung kenyamanan dan kebutuhan masing-masing. Persaingan antara pasar modern dan pasar tradisional merupakan persaingan yang sangat tampak di tengah-tengah masyarakat saat ini. Tidak dapat dipungkiri persaingan di pasar saat ini terjadi secara damai. 66

4.7. Diversifikasi dalam keluarga Pedagang

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Scoott juga dilakukan oleh pedagang dalam menggunakan alternatif subsistem yaitu swadaya yang mencakup kegiatan berjualan kecil-kecilan, bekerja sebagai tukang, atau melakukan migrasi untuk mencari pekerjaan. Cara ini dapat melibatkan seluruh sumber daya yang ada dalam rumah tangga miskin, terutama istri sebagai pencari nafkah tambahan bagi suami. Kedua dari lima informan mengaku untuk menambah pendapatan suami untuk memenuhi segala kebutuhan yang ada. Bukan hanya sebagai ibu rumahtangga.Hal demikian terangkum dalam potongan transkrip wawancara peneliti dengan informan: “... kalau mengharapkan gaji suami saja ya tak cukup lah. Memang anak masih ada yang belum sekolah. Tapi sekarang kan semua uda mahal. Beli susu apalagi. Jadi kalo mengharapkan itu saja memang masih kurang. Lagian saya juga tidak keberatan untuk bekerja. Saya berdagang seperti ini pun tidak mengganggu atau menelantarkan pekerjaan yang ada dirumah. Saya juga biar ada kegiatan, gak bosan...” Wawancara dengan kak Aan. Hal senada diungkapkan oleh informan Aisyah 56 tahun “...kalau gajinya suami cuma dikit. Ya hanya sebagai buruh bangunan saja. Saya mau kerja disini karena dekat sama rumah. Jadi masih bisa ngurusi rumah. Tapi saya justru mengurus rumah setelah pulang jualan. Karena kalo jualan kan harus mengejar pagi-pagi. Melihat kondisi dagangan saya adalah sembako. Pembeli kan ramainya pagi. kalo waktu sekarang ini gak sampe jam 12 siang aja uda sepi...” Dari jawaban kedua informan ini membuktikan bahwa bukan paksaan jika istri harus bekerja juga. Tidak hanya sebagai ibu rumahtangga. Tetapi mereka dengan ikhlas membantu suami untuk mendapatkan nafkah yang lebih lagi. Walaupun bukan sebagai sumber utama untuk memenuhi kebutuhan pokok rumah tangga, uang yang di peroleh juga bisa ditabung untuk hal-hal yang lebih penting