2.1. Konselor 2.1.1 Pengertian Konselor - Peranan Konselor Dalam Pemulihan Korban Penyalahgunaan Narkoba Di Recovery Center Rumah Singgah Caritas Pengembangan Sosial Ekonomi Medan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1.

   Konselor

2.1.1 Pengertian Konselor

  Konselor adalah pihak yang membantu klien dalam proses konseling. Sebagai pihak yang paling memahami dasar dan teknik konseling secara luas, konselor dalam menjalankan perannya bertindak sebagai fasilitator bagi klien. Selain itu, konselor juga bertindak sebagai penasihat, guru, konsultan yang mendampingi klien sampai klien dapat menemukan dan mengatasi masalah yang dihadapinya (Lesmana, 2005). Maka tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa konselor adalah tenaga profesional yang sangat berarti bagi klien (Lubis, 2011: 22).

  Konseling merupakan bantuan yang diberikan oleh seseorang (konselor) kepada orang lain (klien) dengan cara ilmiah (terencana, terprogram, terarah dan sistematis) untuk membantu klien agar ia dapat keluar dari masalah yang dihadapinya (Lubis, 2006:10). Dalam melakukan proses konseling, seorang konselor harus dapat menerima kondisi klien apa adanya. Konselor harus dapat menciptakan suasana yang kondusif saat proses konseling berlangsung. Posisi konselor sebagai pihak yang membantu, menempatkannya pada posisi yang benar-benar dapat memahami dengan baik permasalahan yang dihadapi klien (Lubis, 2011: 22).

  Menurut Asosiasi Konselor dan ahli Psikoterapi Inggris (AKAPI), konseling dilakukan sesuai dengan seperangkat aturan dan pedoman yang telah digariskan oleh lembaga-lembaga konseling professional yang mensyaratkan standar akreditasi dan tingkat kompetensi minimum. Konselor terikat dengan kode etik, yang menekankan sikap menghargai nilai, pengalaman, pandangan, perasaan, dan kemampuan klien untuk menentukan diri sendiri. Konselor bertujuan memberikan pelayanan terbaik kepada klien. Di samping itu, konselor terikat dengan kode etik yang menekankan pentingnya batas-batas hubungan konselor-klien, sifat hubungan mereka, dan tujuan aktivitas konseling (Geldard dan Geldard, 2004:8).

  • Batas-batas hubungan konseling

  Konseling umumnya dilakukan di tempat yang menjamin privasi dan kenyamanan fisik dan psikologis konselor dan klien. Konselor menjelaskan sifat dan tujuan konseling kepada klien, dan kedua belah pihak mematuhi batas-batas etika konseling. Misalnya, konselor tidak boleh melakukan kontak fisik yang berlebihan dengan klien selama proses konseling atau sesudahnya. Demikian juga, konselor dilarang menjalin hubungan dengan klien karena alas an-alasan pribadi.

  • Kualitas hubungan konseling

  Kualitas hubungan konselor – klien berbeda dengan sifat hubungan di mana keterampilan konseling digunakan dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan sosial atau tempat kerja.

  Konseling biasanya bertujuan untuk membantu klien menyelesaikan problem yang mengganggu mereka. Konseling dimaksudkan untuk membantu klien mengembangkan beragam cara yang lebih positif dalam menyikapi hidup. Orang-orang meminta bantuan konseling dengan bermacam-macam sebab dan untuk berbagai tujuan (Geldard dan Geldard, 2004:11).

  Selanjutnya Corey (dikutip dari Lubis, 2011:67) menyatakan bahwa tujuan-tujuan konseling yang digunakan berdasarkan masing- masing pendekatan yang digunakan dalam proses konseling adalah seperti berikut.

1. Pendekatan Psikoanalisis

  Tujuan konseling meliputi:

  • Membuat hal-hal yang tidak disadari menjadi disadari
  • Merekonstruksi kepribadian dasar
  • Membantu klien menghidupkan kembali pengalaman- pengalaman masa kanak-kanak dengan menembus konfilk yang direpresi 2.

  Pendekatan Ekstensial-Humanistis Tujuan konseling meliputi:

  • Memaksimalkan kesadaran diri dan pertumbuhan
  • Menghapus penghambat aktualisasi diri dan pertumbuhan
  • Menghapus klien menemukan dan menggunakan kebebasan memilih dengan memperluas kesadaran diri
  • Membantu klien agar bebas dan bertanggung jawab atas arah kehidupannya sendiri 3.

  Pendekatan Client-Centered Tujuan konseling meliputi:

  • Menyadarkan penghambat pertumbuhan dan aspek pengalaman pribadi diri yang sebelumnya diingkari atau didistorsi
  • Membantu klien agar mampu bergerak ke arah keterbukaan terhadap pengalaman serta meningkatkan spontanitas dan perasaan hidup 4.

  Pendekatan Gestalt Tujuan konseling meliputi:

  • Membantu klien memperoleh kesadaran atas pengalaman dari waktu ke waktu
  • Menantang klien agar menerima tanggung jawab 5.

  Pendekatan Tingkah Laku Tujuan konseling meliputi:

  • Menghapus pola tingkah laku maladaptif
  • Mempelajari pola tingkah laku konstruktif
  • Mengubah tingkah laku 6.

  Pendekatan Rasional-Emotif Tujuan konseling meliputi:

  • Menghapus pandangan hidup klien yang melemahkan diri
  • Membantu klien memperoleh pandangan hidup yang lebih toleran dan rasional 7.

  Pendekatan Realitas Tujuan konseling meliputi:

  • Membimbing klien mempelajari tingkah laku realistis dan bertanggung jawab serta mengembangkan “identitas keberhasilan”
  • Membantu klien membuat pertimbangan nilai tingkah lakunya sendiri dan merencanakan tindakan untuk perubahan

2.1.2 Karakteristik Konselor

  Setiap konselor pada masing-masing pendekatan teknik konseling yang digunakannya memiliki karakteristik dan peran yang berbeda- beda. Hal ini tergantung dari konsep pendiri teori yang dijadikan landasan berpijak. Misalnya, pada konselor yang menggunakam pendekatan behavioristik, konselor berperan sebagai fasilitator bagi klien. Hal tersebut tidak berlaku bagi konseling yang menggunakan pendekatan humanistis di mana peran konselor bersifat holistis (Lubis, 2011:22).

  Rogers (dikutip dari Lesmana, 2005) menyebutkan ada tiga karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang konselor, yaitu

  congruence , unconditional positive regard, dan empathy.

  a) Congruence Seorang konselor haruslah terintegrasi dan kongruen.

  Pengertiannya di sini adalah seorang konselor terlebih dahulu harus memahami dirinya sendiri. Antara pikiran, perasaan, dan pengalamannya harus serasi. Konselor harus sungguh-sungguh menjadi dirinya sendiri, tanpa menutupi kekurangan yang ada pada dirinya sendiri.

  Misalnya, seorang konselor yang memiliki fobia terhadap ketinggian bersedia berbagi pengalaman kepada klien dengan keluhan ketakutan pada hewan berbulu. Konselor tidak berpura- pura mengatakan bahwa ia berani dan telah berhasil mengalahkan ketakutannya pada ketinggian. Hal ini akan membuat klien merasa bahwa bukan hanya dirinya yang memiliki masalah takut pada suatu objek.

  b) Unconditional positive regard

  Konselor harus dapat menerima/respek kepada klien walaupun dengan keadaan yang tidak dapat diterima oleh lingkungan. Setiap individu menjalani kehidupannya dengan membawa segala nilai- nilai dan kebutuhan yang dimilikinya. Rogers mengatakan bahwa setiap manusia memiliki tendensi untuk mengaktualisasikan dirinya ke arah yang lebih baik. Untuk itulah, konselor harus memberikan

  Brammer, Abrego, dan Shostrom (dikutip dari Lesmana, 2005) juga mengatakan bahwa klien akan mengalami perubahan efektif apabila ia berada dalam situasi yang kondusif untuk pertumbuhan. Situasi yang kondusif ini misalnya pengalaman penerimaan (acceptance) yaitu pengalaman dipahami, dicintai, dan dihargai tanpa syarat.

  Situasi konseling harus menciptakan hubungan kasih sayang yang mendatangkan efek konstruktif pada diri klien sehingga klien dapat memiliki kemampuan dalam memberi dan menerima cinta. Menurut Lesmana (2005), acceptance dalam konseling sama dengan bentuk cinta, yaitu bentuk cinta seseorang ketika berusaha membantu orang lain untuk berkembang. Menurutnya, acceptance juga bersifat tidak menilai, artinya konselor bersikap netral terhadap nilai-nilai yang dianut klien.

  c) Empathy

  Rogers (dikutip dari Willis, 2009) mengartikan empati sebagai kemampuan yang dapat merasakann dunia pribadi klien tanpa kehilangan kesadaran diri. Ia menyebutkan komponen yang terdapat dalam empati meliputi: penghargaan positif (positif regard), rasa hormat (respect), kehangatan (warmth), kekonkretan (concreteness), kesiapan/kesegaran (immediacy), konfrontasi (confrontation), dan keaslian (congruence/genuiness). klien yang melakukan hubungan seksual pranikah dengan tidak langsung menilainya sebagai perbuatan tercela dan menghakimi klien sebagai manusia hina.

  Secara umum, karakteristik kepribadian konselor yang berlaku di Indonesia telah diuraikan secara mendetail oleh Willis (2007) seperti berikut:

  1. Beriman dan bertakwa 2.

  Menyenangi manusia 3. Komunikator yang terampil dan pendengar yan baik 4. Memiliki ilmu dan wawasan tentang manusia, sosial-budaya yang baik dan kompeten

  5. Flesksibel, tenang, dan sabar 6.

  Menguasai keterampilan teknik dan memiliki intuisi 7. Memahami etika profesi 8. Respek, jujur, asli, menghargai, dan tidak menilai 9. Empati, memahami, menerima, hangat, dan bersahabat 10.

  Fasilitator dan motivator 11. Emosi stabil, pikiran jernih, cepat, dan mampu 12. Objektif, rasional, logis, dan konkret 13. Konsisten dan bertanggung jawab

  Walaupun terdapat beberapa perbedaan pada beberapa sisi, tetapi tujuan dari penggolongan karakteristik tersebut memiliki kesamaan yang jelas. Kesamaan tersebut adalah untuk dijadikan panduan para

2.1.3 Peranan Konselor

  Menurut Baruth dan Robinson, peran adalah apa yang diharapkan dari posisi yang dijalani seorang konselor dan persepsi dari orang lain terhadap posisi konselor tersebut. Misalnya, seorang konselor harus memiliki kepedulian yang tinggi terhadap masalah klien. Sedangkan Corey (2009) menyatakan bahwa tidak ada satu pun jawaban sederhana yang mampu menerangkan bagaimana sebenarnya peran konselor yang layak. Ada beberapa faktor yang diperhitungkan dalam menentukan peran konselor, yaitu tipe pendekatan konseling yang digunakan, karakteristik kepribadian konselor, taraf latihan, klien yang dilayani, dan setting konseling (Lubis, 2011: 31-32).

  Konselor dalam upaya rehabilitasi adalah sebagai berikut (Wibhawa dkk, 2010:39): a.

  Mendapat latihan dan/atau pendidikan dalam bidang psikologi pendidikan b. Memiliki keterampilan dalam menggunakan atau melakukan pengetesan c. Memfokuskan perhatian serta kemampuannya pada individu d. Konselor biasanya melakukan konsultasi singkat dengan kliennya

  Adapun peranan konselor dalam proses pemulihan korban penyalahgunaan narkoba:

1. Melakukan Asesmen

  Sebelum membantu pemulihan pecandu dan keluarganya, terlebih dahulu perlu diadakan penilaian permasalahan, yang disebut asesmen, dengan cara mengumpulkan informasi, terutama melalui wawancara. Asesmen yaitu menilai masalah dengan mengumpulkan informasi untuk menetapkan Joewana, 2008: 93).

  Asesmen berarti meramalkan gaya hidup, pandangan, kesehatan mental kliennya dan sebagainya. Asesmen berguna untuk mengidentifikasi alternatif dan mengembangkan alternatif itu secara realistik, merencanakan tindakan dan membantu klien meningkatkan potensinya. Asesmen sebaiknya diperoleh dengan metode yang komprehensif, sistematis, dan memperhitungkan fleksibilitas. Asesmen dapat dilakukan dengan tes terstandar, pelaporan diri, observasi,dan sebagainya, tergantung pada situasi dan kebutuhannya.

2. Melakukan Konseling

  Konseling merupakan aktivitas yang dilakukan dalam rangka memberikan berbagai alternative pemecahan masalah. Hubungan ini biasanya bersifat individual meskipun terkadang melibatkan lebih dari dua orang dan dirancang untuk membantu korban memahami dan memperjelas masalah yang dihadapinya. Sehingga korban dapat membuat pilihan yang bermakna sebagai pemecahan masalah yang dihadapinya (Zulkarnain, 2014: 78).

  Dalam konseling terjadi hubungan antara konselor dan klien untuk saling menerima dan membagi, yaitu dalam pengertian bahwa mereka dapat : 1)

  Bersepakat untuk menyukseskan hubungan tersebut 2)

  Berbagi pengalaman 3)

  Saling mendengarkan secara aktif 4)

  Mendorong pemikiran kreatif 5)

  Saling menghargai nilai-nilai dan tujuan hidup masing-masing yang memerlukan komitmen seorang konselor. Konseling berbeda dengan psikoterapi yang melibatkan pengalaman masa kecil dan kejadian trauma yang dialami klien. Peran konselor adalah menciptakan suasana yang memungkinkan konfrontasi pada klien dan klien dapat menyelesaikan masalahnya. Konseling narkoba merupakan hubungan antara konselor dengan penyalahguna dalam rangka membantu meningkatkan kesadaran akan masalah yang dimilikinya yang dapat digunakan dalam melakukan perubahan perilaku, mengatasi kesulitan, dan menentukan keputusan (Zulkarnain, 2014: 78).

3. Melakukan Monitoring

  Monitoring adalah pemantauan yang dapat dijelaskan sebagai kesadaran (awareness) tentang apa yang ingin diketahui, pemantauan berkadar tingkat tinggi dilakukan agar dapat membuat pengukuran melalui waktu yang menunjukkan pergerakan ke arah tujuan atau menjauh dari itu.

  Monitoring akan memberikan informasi tentang status dan kecenderungan bahwa pengukuran dan evaluasi yang diselesaikan berulang dari waktu ke waktu, pemantauan umumnya dilakukan untuk tujuan tertentu, untuk memeriksa terhadap proses berikut objek atau untuk mengevaluasi kondisi atau kemajuan menuju tujuan hasil manajemen atas efek tindakan dari beberapa jenis antara lain tindakan untuk mempertahankan manajemen yang sedang berjalan diakses tanggal diakses tanggal 22 februari pukul 00.45).

  Monitoring adalah kegiatan yang berkesinambungan. Dalam proses ini, terjadi pemantauan terhadap resident yang didasari dari keadaan fisik, emosional, spiritual, dan psikologis. Monitoring dilakukan oleh konselor dalam kegiatan sehari-hari resident.

2.2. Pengertian Peranan

  Menurut Bidle dan Thomas, peran adalah serangkaian rumusan yang membatasi perilaku-perilaku yang diharapkan dari pemegang kedudukan tertentu. Misalnya dalam keluarga, perilaku ibu dalam keluarga diharapkan bisa memberi anjuran, memberi penilaian dan memberi sanksi. Peranan merupakan aspek dinamis kedudukan seseorang melaksanakan hak dan kewajiban sesuai kedudukannya maka ia menjalankan suatu peranan. Kedudukan dan peranan tidak dapat dipisahkan keduanya saling ketergantungan artinya tidak ada peran tanpa status dan tidak ada status tanpa peran, seperti halnya status setiap orang mempunyai berbagai macam peran dengan berasal dari pola pergaulan hidupnya (Syarbaini, 2009:60).

  Peranan sendiri berkaitan erat dengan fungsi sosial seseorang baik secara formal maupun informal. Peranan sendiri digunakan dalam setiap bagian kehidupan, baik itu masyarakat, pekerjaan dan sekolah. Recovery Center Rumah Singgah Caritas PSE Medan yang merupakan panti rehabilitasi milik swasta turut andil dalam pemulihan korban penyalahgunaan narkoba.

2.3. Narkoba 2.3.1. Pengertian Narkoba

  Istilah narkoba sesuai dengan Surat Edaran Badan Narkotika NARkotika, psiKOtropika, dan Bahan Adiktif lainnya. Narkoba yaitu zat-zat alami maupun kimiawi yang jika dimasukkan ke dalam tubuh dapat mengubah pikiran, suasana hati, perasaan, dan perilaku seseorang (Zulkarnain, 2014:1).

  Secara umum sebenarnya narkoba itu adalah singkatan dari Narkotika dan Bahan-bahan Berbahaya. Bahan-bahan berbahaya ini juga termasuk didalamnya zat-zat kimia, limbah-limbah beracun, pestisida, atau lain-lainnya. Dari waktu ke waktu istilah narkoba ditambah dengan alkohol sering disebut sebagai NAZA (Narkotika, Alkohol dan Zat Adiktif lainnya), tetapi kemudian muncul obat-obatan yang sejenis dengan narkotika hanya saja tidak ada kandungan narkotika didalamnya. Kini banyak beredar di pasaran illegal disebut dengan Psikotropika. Dengan demikian belakangan ini disebut dengan NAPZA (Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya). Zat adiktif yang dimaksud disini adalah zat-zat pada umumnya yang dapat membuat orang adictive atau ketergantungan atau kecanduan seperti Nicotin pada tembakau dan Kafein pada kopi (Willy, 2005: 4).

  Narkoba (Narkotika dan Obat/Bahan Berbahaya) adalah istilah yang digunakan oleh penegak hukum dan masyarakat. Yang dimaksud dengan bahan berbahaya adalah bahan yang tidak aman digunakan atau membahayakan dan penggunaannya bertentangan dengan hukum atau melanggar hukum (illegal). Napza (Narkotika, Psikotropika, Zat Adiktif

  ) adalah istilah kedokteran untuk sekelompok zat yang ketika

  Lain

  masuk ke dalam tubuh menyebabkan ketergantungan (adiktif) dan obat, bahan, atau zat, baik yang diatur undang-undang dan perturan hukum lain maupun tidak, tetapi sering disalahgunakan, seperti alkohol, nikotin, kafein, dan juga inhalasia/solven. Istilah ini lebih tepat, karena mengacu pada undang-undang yang berlaku mengenai narkotika dan psikotropika (Martono & Joewana, 2008:5).

  Selain itu ada juga pengertian lain mengenai narkoba, narkoba adalah obat-obatan yang bekerja pada susunan syaraf pusat dan digunakan sebagai pengurang rasa sakit pada dunia kedokteran. Sedangkan obat terlarang biasa disebut dengan psikotropika, yakni obat-obatan yang mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan perilaku. Biasanya digunakan untuk terapi gangguan psiatrik (Sitompul, et.al. , 2004:88).

  Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya merupakan zat yang berguna untuk keperluan dalam bidang pengobatan, ilmu pengtahuan dan lainnya. Sayangnya zat tersebut sering disalahgunakan hingga menuimbulkan ketagihan dan ketergantungan yang berdampak buruk terhadap fisik dan psikis.

2.3.2. Penggolongan Narkoba

  Menurut UU Narkotika No 35 Tahun 2009, narkotika di definisikan sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan 1.

  Narkotika golongan I: hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: Heroin, Kokain, Opium, Ganja,

  Katinon, MDMDA/Ecstasy .

  2. Narkotika golongan II: berkhasiat untuk pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: Morfin, Petidin, Fentanil, Metadon.

  3. Narkotika golongan III: berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh: Codein,

  Buprenorfin, Etilmorfin .

  Lahirnya UU RI Nomor 35 tahun 2009 meskipun tidak secara langsung membatalkan UU RI Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, namun telah membawa perubahan pada penggolongan psikotropika. Dalam pasal 153 huruf b UU RI No 35 tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa dengan berlakunya Undang-Undang tersebut lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika yang telah dipindahkan dan dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian, hal tersebut menegaskan bahwa Psikotropika golongan I dan II sebagaimana diatur dalam UU RI Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika digolongkan menjadi Narkotika golongan I berdasarkan UU RI Nomor 35 tahun 2009. Berdasarkan sejarah dan prosesnya, narkoba terdiri dari tiga (3) jenis yaitu narkoba alamiah, narkoba buatan (sintetis) dan narkoba campuran (semi sintetis).

  Narkoba alamiah berasal dari tumbuhan yaitu jenis narkoba yang masih alamiah karena belum diolah atau dicampur dengan bahan kimia lain. Jenis ini masih asli dari alam, yaitu dengan cara ditanam.Yang termasuk narkoba alamiah adalah ganja, opium, koka, alkot dan lain- lain.

  Narkoba buatan (sintetis) yaitu hasil dari proses dengan mencampurkan bermacam-macam bahan kimia. Yang termasuk jenis narkoba buatan ini seperti ekstasi, rohipnol, shabu-shabu dan lain-lain.

  Narkoba campuran (semi sintetis) yaitu hasil olahan (proses) dengan mencampurkan narkoba alamiah dengan bahan kimia. Jenis narkoba campuran ini seperti heroin, kokain dan lain-lain (Nasution, 2004: 4).

  Berikut adalah jenis-jenis narkoba yang sering disalahgunakan : 1)

  Ganja dan dikenal lebih dari 100 spesies tanaman yang dapat tumbuh di daerah tropis dan daerah beriklim sedang seperti India, Thailand, Sumatera, Nepal, Jamaika, Kolumbia, Korea, Iowa (AS), dan Rusia bagian selatan.

  Dikenal dengan nama Cannabis, Mariyuana, Hassish, Gelek, Budha Stick, Cimeng, Grass, Rumput, dan Sayur. Bentuknya berupa tanaman yang dapat dikeringkan. Daun ganja bentuknya memanjang, pinggirannya bergerigi, ujungnya lancip, urat daun memanjang ditengah pangkal hingga ujung, bila diraba bagian muka halus dan bagian belakang agak kasar. Jumlah helai daun ganja selalu ganjil yaitu 5,7 atau 9 helai.

  Warna daun ganja hijau tua segar dan berbuah coklat bila sudah lama dibiarkan karena kena udara dan panas. Sedangkan penggunaannya dapat dihisap dari gulungan menyerupai rokok atau dapat juga dihisap dengan menggunakan pipa rokok. Daun ganja mengandung zat THC (Tetrahydro-Cannabinol), yaitu suatu zat penyebab terjadinya halusinasi. Getah yang kering disebut Hasish. Apabila dicairkan dikenal dengan minyak kanabis.

  Efek yang diteimbulkan saat menggunakannya adalah denyut jantung semakin cepat, temperatur badan menurun, mata merah, nafsu makan bertambah, santai, tenang dan melayang-layang, fikiran selalu rindu pada ganja, daya tahan menghadapi problema menjadi lemah, malas, apatis, tidak peduli dan kehilangan semangat untuk belajar maupun bekerja, presepsi waktu dan

  Efek yang paling buruk dari pemakaian ganja secara kronis dapat menyebabkan kanker paru-paru karena pengaruh kadar tar pada ganja jauh lebih tinggi dari pada kadar tar pada tembakau. Dan penggunaan ganja dalam jangka waktu panjang dapat menyebabkan gangguan kejiwaan (Badan Narkotika Nasional RI, 2007:10).

  2) Kokain

  Kokain adalah alkaloida yang berasal ari tanaman Eritrosilon

  

koka yang tumbuh di Bolivia dan Peru pada lereng-lereng

pegunungan Andes, di Amerika Selatan.

  Bentuknya berupa bubuk, daun coca, biah coca, cocain Kristal. Warna cairan berwarna putih/tidak berwarna, kristal dan tablet berwarna putih, sedangkan bubuk atau serbuk berwarna seperti tepung.

  Penggunaannya dengan cara menghirup melalui hidung dengan menggunakan penyedot (sedotan) atau dapat juga dibakar bersama-sama dengan tembakau (rokok), ditelan bersama minuman atau disuntikan pada pembuluh darah.

  Efeknya membuat pemakai tidak bergairah kerja, tidak bisa tidur, halusinasi, tidak nafsu makan, berbuat dan berfikit tanpa tujuan, serta merasa gelisah dan cemas berlebihan.

  Selanjutnya apabila sudah pada tingkat over dosis atau takaran yang berlebihan dapat menyebabkan kematian, karena jantung. Di samping itu juga dapat menimbulkan keracunan pada susunan syaraf sehingga korban dapat mengalami kejang-kejang, tingkah laku yang kasar, fikiran yang kacau dan mata gelap. Dampak negatif yang sangat berbahaya dari penyalahgunaan kokain dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah di otak atau stroke (Badan Narkotika Nasional RI, 2007:11).

  3) Morfin atau Heroin

  Nama lainnya adalah putaw, Smack, Junk, Horse, H, PT, Etep, Bedak, dan Putih.Morfin dan heroin berasal dari getah opium yang membeku sendiri dari tanaman Papaver Somniferum.

  Dengan melalui proses pengolahan dapat menghasilkan Morfin. Kemudian dengan proses tertentu dapat menghasilkan Heroin yang mempunyai kekuatan 10 kali melebihi morfin.

  Bentuknya berupa serbuk dengan warna putih, abu-abu, kecoklatan hingga coklat tua. Penggunaannya dengan cara menghirup asapnya setelah bubuk heroin dibakar diatas kertas timah pembungkus rokok (sniffing) atau dengan menyuntikkannya langsung kepembuluh darah setelah heroin dilarutkan dalam air.

  Efeknya menimbulkan rasa mengantuk, lesu, penampilan “dungu”, jalan mengambang, rasa sakit seluruh badan, badan gemetar, jantung berdebar-debar, susah tidur, nafsu makan berkurang, matanya berair dan hidungnya selalu ingusan, problem HIV/AIDS, Hepatitis B dan C, problem jantung, dada dan paru- paru, serta sulit buang air besar, dan pada wanita mengganggu sirkulasi menstruasi.

  Gejala putus zat (sakaw) adalah sangat menyiksa sehingga yang bersangkutan akan berusaha untuk mengkonsumsi heroin.

  Oleh karena itu pecandu heroin akan berusaha dengan cara apapun dan resiko apapun guna memperoleh heroin. Mereka tidak segan-segan melakukan tindakan-tindakan kekerasan atau kejahatan, misalnya mencuri, menodong, merampok dan melakukan pembunuhan. Telah banyak remaja yang terlibat pelacuran (menjual diri) hanya sekedar untuk mendapatkan uang guna membeli heroin.

  Pecandu heroin sangat sulit untuk menghentikan pemakaian heroin dan cenderung untuk mengkonsumsi dalam jumlah atau dosis semakin bertambah dan sesering mungkin. Akibatnya over dosis (Badan Narkotika Nasional RI, 2007:12).

  4) Ekstasy

  Dikenal dengan nama Inex, Kancing, Huge Drug, Yuppie Grug, Essence, Clarity, Butterfly, dan Black Heart. Bentuknya berupa tablet dan kapsul dengan warna yang bermacam-macam dan penggunaannya dengan ditelan.

  Efeknya timbul rasa gembira secara berlebihan. Banyak orang mengkonsumsi ekstasy untuk tujuan bersenang-senang.

  Ekstasy biasanya digunakan oleh anak-anak muda agar dapat kadang-kadang sampai lepas kendali sehingga tidak malu-malu melakukan pesta seks. Efek lainnya seperti merasa cemas, tidak mau diam (hiperaktif), rasa percaya diri meningkat, mengalami keringat dan gemetaran, susah tidur, sakit kepala dan pusing- pusing, mual dan muntah.

  Pemakaian ekstasy dapat mendorong tubuh untuk melakukan aktifitas yang melampaui batas kemampuannya. Akibatnya dapat menyebabkan kekurangan cairan pada tubuh (dehidrasi) karena terlalu banyak menggerakkan tenaga dan terlalu banyak berkeringat.

  Pada pemakaian yang berlebihan (over dosis) mengakibatkan penglihatan kabur, mudah tersinggung (pemarah), tekanan darah meningkat, nafsu makan berkurang, dan denyut jantung bertambah cepat. Kematian sering terjadi karena pemakaian yang berlebihan, yang mengakibatkan pecahnya pembuluh darah di otak (Badan Narkotika Nasional RI, 2007: 14).

  5) Shabu

  Dikenal dengan nama Kristal, Ubas, SS, Mecin dengan bentuk berupa Kristal dan berwarna putih. Penggunaannya dibakar dengan menggunakan aluminium foil dan asapnya dihirup melalui hidung. Dibakar dengan menggunakan botol kaca khusus (bong) dan disuntikan.

  Efek penggunaan shabu ini adalah badan pemakai merasa lebih kuat dan energik (meningkatkan stamina), tidak mau diam orang lain, nafsu makan berkurang akibatnya badan semakin kurus, susah tidur, jantungnya berdebar-debar, tekanan darah meningkat, dan mengalami gangguan pada fungsi sosial dan pekerjaan.

  Penggunaan shabu mendorong tubuh melakukan aktifitas yang melampaui batas kemampuan fisik/berkeringat secara berlebihan, sehingga dapat menyebabkan kekurangan cairan tubuh (dehidrasi).

  Bagi mereka yang sudah ketagihan, apabila pemakaiannya dihentikan (putus zat) akan timbul gejala-gejala seperti merasa lelah dan tidak berdaya (stamina menurun), kehilangan semangat hidup (ingin bunuh diri), merasa cemas dan gelisah secara berlebihan, kehilangan rasa percaya diri dan susah tidur (Badan Narkotika Nasional RI, 2007:15).

  6) Inhalansia atau Solven

  Yang termasuk adalah gas dan zat pelarut yang mudah menguap berupa senyawa organik. Inhalansia dan solven terdapat pada berbagai barang-barang keperluan rumah tangga, kantor, dan pelumas mesin.

  Inhalansia yang terdapat pada lem dan pengencer cat (thinner) ini digunakan dengan cara dihirup yang dapat mengakibatkan kematian mendadak, seperti tercekik (sudden

  

sniffing, death syndrome ). Efeknya dapat menghilangkan ingatan,

  sistem syaraf utama, kerusakan hati dan ginjal, sakit maag, sakit pada waktu buang air kecil, serta kejang-kejang otot dan batuk- batuk.

  Penggunaan inhalansia dapat merusak pertumbuhan dan perkembangan otot, syaraf, dan organ tubuh lain. Menghirup sambil menggunakan obat tidur, alkohol, akan meningkatkan resiko over dosis dan dapat mematikan. Jika pengguna melakukan aktifitas normal seperti berlari atau berteriak dapat mengakibatkan kematian karena gagal jantung (Badan Narkotika Nasional RI, 2007:16). 7)

  Alkohol Menurut catatan arkeologik, minuman beralkohol sudah dikenal manusia sejak kurang lebih 5000 tahun yang lalu. Alkohol merupakan penekan susunan syaraf pusat tertua, dan bersama- sama kafein dan nikotin merupakan zat kimia yang paling banyak digunakan manusia.

  Alkohol yaitu minuman yang mengandung etanol yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi atau destilasi, baik melalui perlakuan sebelumnya, menambah bahan lain, mencampur konsentrat dengan ethanol ataupun dengan proses pengenceran minuman yang mengandung ethanol.

  Efeknya dapat menyebabkan depresi pada sistem syaraf pusat, jika penggunaan dicampur dengan obat lain si pemakai oedema otak (pembengkakan dan terbendungnya darah dari otak), menimbulkan halusinasi, toleransi dan ketagihan (Badan Narkotika Nasional RI, 2007:16).

  Alkohol terdapat pada minuman keras, yang kadar etanolnya berbeda-beda. Minuman keras golongan A berkadar etanol 1-5% seperti bir, minuman keras golongan B berkadar 5-20% seperti anggur, minuman keras golongan C berkadar 20-45% seperti rum, gin, dan Manson House (Martono & Joewana, 2008:10).

  8) Lysergic Acid (LSD)

  LSD menyebabkan halusinasi (khayalan) dan termasuk psikotropika golongan I. Nama yang sering digunakan adalah dan tabs.

  acid, red dragon, blue heaven, sugar cubes, trips,

  Bentuknya seperti kertas berukuran kotak kecil sebesar seperempat perangko dalam banyak warna dan gambar, atau berbentuk pil dan kapsul. Cara pemakaiannya adalah dengan meletakan LSD pada lidah.

  Pengaruh LSD tak dapat diduga. Sensasi dan perasaan berubah secara dramatis, dengan mengalami flashback atau trips (halusinasi/penglihatan semu) berulang tanpa peringatan sebelumnya. Pupil melebar, tidak bisa tidur, selera makan hilang, suhu tubuh meningkat, berkeringat, denyut nadi dan tekanan darah naik, koordinasi otot terganggu dan tremor. Dapat merusak sel otak, gangguan daya ingat dan pemusatan perhatian yang dan jantung (Martono & Joewana, 2008:11).

  9) Nikotin

  Nikotin terdapat pada tanaman tembakau atau Nicotiana

  

Tabacum L. yang diduga berasal dari argentina, berupa tanaman

perdu setinggi 1-3 meter.

  Nikotin yang terdapat pada tembakau termasuk stimulansia. Selain nikotin, tembakau mengandung tar dan CO yang berbahaya, serta zat lain,seluruhnya tak kurang dari 4000 senyawa. Jika nikotin adalah penyebab ketregantungan, maka tar menjadi penyebab kanker.

  Survey menunjukan bahwa merokok pada anak/remaja adalah pintu gerbang masuk kepada pemakaian ganja, heroin, ekstasy, dan shabu yang banyak disalahgunakan. Oleh karena itu, pencegahan penyalahgunaan narkoba harus dimulai dengan mencegah merokok atau menunda usia merokok (Martono dan Joewana, 2008:12).

2.4. Penyalahgunaan Narkoba

  Penyalahgunaan narkoba merupakan masalah yang kompleks dan memiliki dimensi yang luas, baik dari sudut medik, psikiatrik, kesehatan jiwa, maupun psikosial (Afiatin, 2008:12). Penyalahgunaan narkoba adalah penggunaan narkoba yang digunakan tidak hanya untuk maksud pengobatan, tetapi karena ingin menikmati pengaruhnya. Karena pengaruhnya itulah narkoba disalahgunakan. Sifat pengaruh itu sementara, sebab setelah itu timbul narkoba itu lagi. Karena itu, narkoba mendorong seseorang memakainya lagi (Martono dan Joewana, 2008: 15).

  Penyalahgunaan narkoba tidak terjadi begitu saja, ada beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadinya penyalaggunaan narkoba ini, antara lain: 1)

  Faktor Individu Setiap manusia memiliki kepribadian yang berbeda-beda, hal ini di karenakan proses perkembangan yang terjadi di tiap-tiap individupun tidak sama. Usia yang berbeda dan rasa ingin tahu yang pada akhirnya membawa individu pada persepsi yang salah mengenai narkoba.

  2) Faktor Keluarga

  Keluarga sebagai wadah pertama bagi anggota keluarga untuk bersosialisasi, maka komunikasi yang baik antar anggota keluarga sangatlah penting guna membangun karakteristik anggota keluarga yang kuat. Keluarga yang tidak harmonis dimana selalu terjadi konflik dan orang tua yang otoriter merupakan salah satu faktor yang mendorong seseorang dalam penggunaan narkoba.

  3) Faktor Lingkungan

  Kondisi lingkungan yang rawan dan tidak sehat dimana seseorang bergaul dan bersosialisasi dapat menjadi pendorong bagi perkembangan yang menyimpang atau dengan sederhananya dapat dikatakan terikut dengan arus pergaulan yang tidak benar.

  4) Tersedianya Narkoba

  Selain faktor pendorong ada pula faktor yang memicu penyalahgunaan narkoba, yaitu ketersediaan narkoba yang sangat mudah untuk berkeliaran disetiap sudut kehidupan, baik di gang sempit, warung makan, sekolah, tempat nongkrong, permukiman masyarakat dan sebagainya.

  Ketergantungan tidak berlangsung seketika, tetapi melalui rangkaian proses penyalahgunaan. Ada beberapa tahapan atau pola pemakaian narkoba, yaitu sebagai berikut :

  1) Pola coba-coba

  Karena iseng atau ingin tahu. Pengaruh kelompok sebaya sangat besar, yaitu teman dekat atau orang lain yang menawarkan atau membujuk untuk memakai narkoba. Ketidakmampuan berkata ‘tidak’ mendorong anak untuk mencobanya, apalagi jika ada rasa ingin tahu atau ingin mencoba. 2)

  Pola pemakaian sosial Yaitu pemakaian narkoba untuk kepentingan pergaulan (kumpul, acara tertentu) dan keinginan untuk diakui atau diterima kelompoknya.

  3) Pola pemakaian statuasional

  Yaitu karena situasi tertentu, seperti kesepian dan stres. Tahapan ini disebut juga tahap instrumental, karena dari pengalaman pemakaian sebelumnya, disadari bahwa narkoba dapat menjadi alat untuk mempengaruhi atau memanipulasi emosi dan suasana hatinya. Di sini pemakaian narkoba telah mempunyai tujuan, yaitu sebagai cara mengatasi masalah (compensatory use). Pada tahap ini pemakai berusaha memperoleh narkoba secara aktif. Pola habituasi (kebiasaan)

  Pada tahap ini telah mencapai tahap pemakaian teratur atau sering. Terjadi perubahan pada tubuh dan gaya hidup. Teman lama berganti teman pecandu. Kebiasaan, pakaian, pembicaraan, dan lain-lain berubah. Ia menjadi sensitif, mudah tersinggung, pemarah, sulit tidur, atau berkonsentrasi, sebab narkoba mulai menjadi bagian dari kehidupannya. Minat dan cita-cita semula menjadi hilang. Sering membolos sekolah atau bekerja menyebabkan prestasi merosot. Lebih suka menyendiri dari pada berkumpul bersama keluarga. Meskipun pemakaiannya masih terkendali, telah terjadi gejala awal ketergantungan.

  Inilah penyalahgunaan narkoba secara klinis. 5)

  Pola ketergantungan (kompulsif) Dengan gejala khas, yaitu timbulnya toleransi dan atau gejala putus zat. Ia berusaha untuk selalu memperoleh narkoba dengan berbagai cara: berbohong, menipu, dan mencuri. Ia tidak dapat lagi mengendalikan dari dalam penggunaannya, sebab narkoba telah menjadi pusat kehidupannya. Hubungan dengan keluarga dan teman rusak. Pada pemakaian beberapa jenis narkoba seperti putaw ketergantungan terjadi sangat cepat (Martono & Joewana, 2008: 15).

  Sedangkan dampak penyalahgunaan narkoba secara umum adalah sebagai berikut : Dampak Fisik :

  a) Badan kurus karena pola makan yang tidak teratur

  b) Gagal ginjal

  Pelemakan hati, pengkerutan hati, kanker hati

  d) Radang paru-paru, radang selaput paru, TBC Paru

  e) Rentan terhadap berbagai penyakit hepatitis B, C, dan HIV/AIDS

  f) Cacat janin

  g) Impotensi

  h) Gangguan menstruasi i)

  Pucat akibat kurang darah j) Penyakit lupa ingatan k) Kerusakan otak l)

  Radang pancreas m) Radang syaraf n)

  Mudah memar o) Gangguan fungsi jantung p) Menyebabkan kematian

  Dampak Psikologis :

  a) Emosi tidak terkendali

  b) Curiga berlebihan (tidak sejalan antara fikiran dengan kenyataan)

  c) Selalu berbohong

  d) Tidak merasa aman

  e) Tidak mampu mengambil keputusan yang wajar

  f) Tidak memiliki tanggung jawab

  g) Kecemasan yang berlebihan dan depresi

  h) Ketakutan yang luar biasa i)

  Hilang ingatan Dampak Sosial :

  a) Hubungan dengan keluarga, guru, dan teman serta lingkungan terganggu b)

  Mengganggu ketertiban umum

  c) Selalu menghindari kontak dengan orang lain

  d) Merasa dikucilkan atau menarik diri dari lingkungan positif

  e) Melakukan hubungan seks secara bebas f) Tidak peduli dengan norma dan nilai yang ada

  g) Melakukan tindakan kekerasan, baik fisik, psikis maupun seksual

h) Mencuri (Nasution, 2004: 36).

  Akibat penyalahgunaan narkoba adalah: 1. Bagi diri sendiri a.

  Terganggunya fungsi otak dan perkembangan normal remaja

  • menurunnya daya ingat sehingga mudah lupa
  • menurunnya perhatian sehingga sulit berkonsentrasi
  • menurunnya persepsi sehingga member perasaan semu/khayal
  • menurunnya motivasi sehingga keinginan dan kemampuan belajar merosot, persahabatan rusak, serta minat dan cita- cita semula padam

  Oleh karena itu, narkoba menyebabkan perkembangan normal mental-emosional dan sosial menjadi terhambat b.

  Intoksikasi (keracunan), yakni gejala yang timbul akibat pemakainan narkoba dalam jumlah yang cukup, berpengaruh pada tubuh dan perilakunya. Gejalanya tergantung pada jenis, jumlah, dan cara penggunaan. Istilah yang sering dipakai pecandu adalah

  pedauw, fly, mabuk, teller, dan high.

  c.

  Overdosis (OD), yang dapat menyebabkan kematian karena terhentinya pernapasan (heroin) atau perdarahan otak (amfetamin, sabu). OD terjadi karena toleransi sehingga perlu dosis yang lebih besar, atau karena sudah lama berhenti pakai, lalu memakai lagi dengan dosis yang dahulu digunakan.

  d.

  Gejala putus zat, yakni gejala ketika dosis yang dipakai berkurang atau dihentikan pemakaiannya. Berat atau ringannya gejala tergantung pada jenis zat, dosis, dan lama pemakaian.

  e.

  Berulang kali kambuh, yakni ketergantungan menyebabkan

craving (rasa rindu pada narkoba), walaupun telah berhenti pakai.

  Narkoba dan perangkatnya, kawan-kawan, suasana, dan tempat- tempat penggunaannya dahulu mendorongnya untuk memakai narkoba kembali. Itulah sebabnya pecandu akan berulang kali kambuh.

  f.

  Gangguan perilaku/mental-sosial, yakni acuh tak acuh, sulit mengendalikan diri, mudah tersinggung, marah, menarik diri dari pergaulan, serta hubungan dengan keluarga/sesama terganggu. Terjadi perubahan mental: gangguan pemusatan perhatian, motivasi belajar/bekerja lemah, ide paranoid, dan gejala

  Parkinson .

  Gangguan kesehatan, yakni kerusakan atau gangguan fungsi organ tubuh seperti hati, jantung, paru, ginjal, kelenjar endokrin, alat reproduksi; infeksi (hepatitis B/C (80%), HIV-AIDS (40-50%), penyakit kulit dan kelamin; kurang gizi, penyakit kulit, dan gigi berlubang.

  h.

  Kendornya nilai-nilai, yakni mengendornya nilai-nilai kehidupan agama-sosial-budaya, seperti perilaku seks bebas dengan akibatnya (penyakit kelamin, kehamilan tak diinginkan). Sopan santun hilang. Ia menjadi asosial, mementingkan diri sendiri, dan tidak mempedulikan kepentingan orang lain. i.

  Masalah ekonomi dan hukum, yakni pecandu terlibat utang, karena berusaha memenuhi kebutuhannya akan narkoba. Ia mencuri uang atau menjual barang-barang milik pribadi atau keluarga. Jika masih sekolah, uang sekolah digunakan untuk membeli narkoba, sehingga terancam putus sekolah. Jika bekerja, ia terancam putus hubungan kerja. Mugkin juga ia ditahan polisi atau bahkan dipenjara.

2. Bagi keluarga

  Suasana nyaman dan tenteram terganggu. Keluarga resah karena barang-barang berharga di rumah hilang. Anak berbohong, mencuri, menipu, tak bertanggung jawab, hidup semaunya, dan asosial. Orang tua malu karena memiliki anak pecandu, merasa bersalah, dan berusaha menutupi perbuatan anak.

  Masa depan anak tidak jelas. Ia putus sekolah atau menganggur, karena dikeluarkan dari sekolah atau pekerjaan. Stres meningkat. Orang tua putus asa anak harus berulang kali dirawat, bahkan mungkin mendekam di penjara. Keluarga harus menanggung beban sosial-ekonomi ini (Martono & Joewana, 2008:18-20).

  Berdasarkan uraian tersebut semakin jelaslah bahwa narkoba bukan saja berdampak pada diri si pemakai melainkan kerusakan eksternal yang berpengaruh pada lingkungan masyarakat sekitarnya.

2.5. Proses Pemulihan Korban Penyalahgunaan Narkoba

  Penyalahgunaan narkoba (drugs abuse) adalah suatu pemakainan non

  medical atau ilegal barang haram yang dinamakan narkoba (narkotik dan obat-

  obat adiktif) yang dapat merusak kesehatan dan kehidupan yang produktif manusia pemakainya. Manusia pemakai narkoba bisa dari berbagai kalangan, mulai dari level ekonomi tinggi hingga rendah, para penjahat, pekerja, ibu-ibu rumah tangga, bahkan sekarang sudah sampai ke sekolah-sekolah yang jelas- jelas terdiri dari para generasi muda, bahkan lebih khusus lagi anak dan remaja (Willis, 2010:156)

  Penyalahgunaan narkoba dapat menyebabkan kebergantungan zat narkoba, yang jika dihentikan maka si pemakai akan sakaw/withdrawal.

  Penyalahgunaan narkoba perlu melakukan berbagai pendekatan, terutama bidang psikiatri, psikologi, dan konseling. Bidang psikiatri akan menanggungjawabi gangguan mental dan perilaku yang disebabkan narkoba yang mengganggu sinyal penghantar syaraf (disebut neurotransmitter) di dalam susunan syaraf sentral (otak). Gangguan neurotransmitter ini akan mengganggu fungsi kognitif (daya pikir dan memori), fungsi afektif (perasaan fisik seperti kelainan paru-paru, lever, jantung, ginjal, pankreas, dan gangguan fisik lainnya (Willis, 2010:157).

  Dadang Hawari adalah seorang psikiater yang amat handal dalam masalah narkoba dan berkomentar bahwa orang yang telah bergantung pada narkoba, maka hidupnya mengalami gangguan jiwa sehingga tidak lagi mampu berkomunikasi secara wajar di masyarakat (Republika, Juli 2003). Kondisi demikian dapat dilihat dari rusaknya fungsi sosial, pekerjaan atau sekolah, serta tidak mampu mengendalikan diri. Terutama jika putus narkoba maka si pemakai akan mengalami gejala withdrawal (sakaw). Pada peristiwa ini timbul gejala-gejala seperti air mata berlebihan (lakrimasi), cairan hidung berlebihan (rhinorea), puril mata melebar (dilatasi pupil), keringat berlebihan, mual, muntah, diare, bulu kuduk berdiri, menguap, tekanan darah naik, jantung berdebar, insomnia (tak bias tidur), mudah marah, emosional, serta agresif (Willis, 2010:157).

  Pemulihan adalah suatu proses yang dinamis dan progresif, sebagai perjalanan panjang dan menyakitkan, dari ketergantungan seseorang terhadap narkoba kearah gaya hidup sehat tanpa narkoba. Pemulihan dimulai dengan berhenti menggunakan narkoba (abstinensia). Akan tetapi, tidak cukup hanya berhenti memakai.Gaya hidup juga harus berubah. Perubahan-perubahan yang terjadi memengaruhi keadaan tubuh, jiwa dan rohaninya, serta mengubah gaya hidupnya dengan hidup sehat dan memuaskan. Proses ini disebut “pemulihan seluruh pribadinya ”.

  Pada pemulihan dimulailah proses dipertahankannya keadaan bebas dari narkoba, terjadinya perubahan-perubahan pribadi, dan hubungan dengan psikologi atau kejiwaan, hubungan sosial, keadaan rohani, pekerjaan, pendidikan, dan bahkan masalah keuangan dan hukum. Semuanya harus dilakukan secara bertahap.

  Pemulihan adalah upaya yang dilakukan secara bertahap, untuk mempelajari keterampilan baru dan tugas-tugas yang mempersiapkan klien menghadapi tantangan hidup bebas tanpa narkoba. Jika gagal, ia beresiko untuk kambuh.

  Motivasi atau kemauan pecandu untuk berhenti memakai narkoba memang penting dalam keberhasilan pemulihan, karena pecandulah yang harus mengambil keputusan untuk berhenti memakai dan mengubah gaya hidupnya. Motivasi adalah keadaan siap dan keinginan kuat untuk berubah. Akan tetapi, hal itu sering berubah-ubah dan berfluktuasi dari waktu ke waktu dan dari situasi ke situasi.

  Oleh karena itu, kemauan saja tidak cukup bagi pemulihan, karena pada kenyataannya pecandu sulit mengendalikan pemakaiannya dan perilakunya.

  Pemberontakan adalah ciri khas pecandu. Jika ingin pulih, ia harus menyerah dan mengakui ketidakberdayaannya. Mengakui dan menerima adalah kunci pemuliham. Orang harus mau mengakui dan merima keadaannya jika mau berubah. Manusia memang harus mau berubah, agar dapat mengikuti, menyesuaikan diri, dan mengahadapi tantangan arus perubahan zaman (Martono & Joewana, 2008:89).

  Sejak 2011, SAMHSA (Substance Abuse and Mental Health Service ) suatu badan yang berperan dalam layanan narkoba dan gangguan

  Administration

  jiwa di kementerian kesehatan Amerika mengenalkan istilah “recovery”. Istilah gangguan jiwa yang kompleks dan perjalanan penyakitnya bersifat kronis-jangka panjang. Dengan pendekatan ini maka pemahaman dan pemulihan pecandu narkoba lebih menyeluruh atau komprehensif.

  Istilah ini menempatkan pecandu sebagai agent of recovery, titik sentral dalam pemulihan dirinya dan mantan pecandu lebih tepat disebut recovering addict atau orang dalam pemulihan. Pecandulah yang memegang peran utama dan aktif dalam upayanya menjadi bebas dari narkoba (drug free), sehat fisik dan mental, sejahtera (wellness) serta meningkat kualitas hidupnya. Sangat berbeda sekali dengan istilah terapi/pengobatan yang konotasinya upaya yang berasal dari luar diri pecandu dan berlangsung dalam suatu episode singkat. Dengan recovery, sudut pandang upaya pemulihan berubah menjadi upaya jangka panjang (long

  term ) dan keterlibatan pecandu itu sendiri sangat penting/ client-directed.

  Kemudian aktifitas pemulihan lebih tepat disebut sebagai manajemen pemulihan (recovery management). Pecandu sendirilah yang merupakan subjek yang aktif, sejak asesmen, perencanaan hingga monitoring dan evaluasi. Walaupun pada awalnya difasilitasi oleh para profesional adiksi untuk kemudian saling berkolaborasi. Dari sudut pandang recovery ini, berkembang 12 prinsip- prinsip komprehensif yang merupakan penuntun dalam upaya recovery pecandu narkoba.