BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Prevalensi Trauma Gigi Permanen Anterior Pada Anak Usia 8-12 Tahun Di SDNegeri Kecamatan Medan Johor Dan Medan Selayang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  2.1 Definisi Trauma

  Trauma adalah luka atau jejas baik fisik maupun psikis yang disebabkan oleh tindakan fisik dengan terputusnya kontinuitas normal suatu struktur.Trauma dengan kata lain disebut injuri atau wound, yang dapat diartikan sebagai kerusakan atau luka karena kontak yang keras dengan sesuatu benda.Definisi lain menyebutkan bahwa trauma gigi adalah kerusakan yang mengenai jaringan keras gigi atau periodontal karena sebab mekanis.Berdasarkan definisi-definisi tersebut maka trauma gigi anterior merupakan kerusakan jaringan keras gigi dan atau periodontal karena kontak yang keras dengan suatu benda yang tidak terduga sebelumnya pada gigi anterior baik

  2

  pada rahang atas maupun rahang bawah atau kedua-duanya. Kejadian trauma gigi

  6,7 biasanya melibatkan gigi insisivus rahang atas dibanding gigi rahang bawah.

  Insidensi trauma pada gigi permanen biasanya terjadi pada anak sekitar 8 hingga 10

  4 tahun.

  Trauma injuri pada gigi dan jaringan pendukungnya merupakan tantangan

  8

  pada praktek kedokteran gigi anak. Kerusakan yang terjadi pada gigi anak dapat mengganggu fungsi bicara, pengunyahan, estetika, dan erupsi gigi permanen sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangan gigi serta rahang. Secara psikologis kehilangan gigi secara dini terutama gigi anterior akan menyebabkan gangguan pada

  2,9 anak dan orangtua.

  2.2 Prevalensi dan Etiologi Trauma

  Data statistik epidemiologi dari seluruh dunia menunjukkan bahwa 6-36 % dari setiap individu menderita trauma injuri pada gigi selama masa anak-anak dan

  1,10

  dewasa. Pada negara-negara berkembang seperti India, kejadian karies mengalami penurunan, tetapi kejadian trauma gigi menjadi isu kesehatan mulut yang utama

  10 pada anak-anak dan dewasa. Berdasarkan satu penelitian yang dilakukan di Kota Vadodara menunjukkan prevalensi trauma dalam penelitian ini adalah 8,79 % . Prevalensi tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan studi sebelumnya yang dilakukan oleh Gauba yaitu 7,54 % dan Nick Hussien yaitu 4,1%. Hasil penelitian itu juga menunjukkan anak laki-laki lebih tinggi dan lebih rentan mengalami trauma dibanding anak perempuan

  11 dengan rasio 1,28:1.

  Hasil penelitian trauma gigi permanen lainnya yang dilakukan di Yemen menunjukkan kebanyakan anak sekolah mengalami trauma gigi hanya melibatkan satu gigi.Trauma gigi paling sering ialah fraktur yang melibatkan enamel. Hasil penelitian menunjukkan fraktur enamel dan dentin sebanyak 45,5 % dan fraktur yang melibatkan enamel, dentin, pulpa yaitu sebanyak 5,4 %, serta sebanyak 3,6 % gigi

  12 mengalami luksasi.

  Trauma gigi anterior menunjukkan prevalensi yang cukup tinggi. Ellis dan Davey melaporkan 4251 anak sekolah di kota besar 4,2 % memiliki fraktur gigi anterior. Sementara Marcus dan Gutz dalam penelitian terpisah melaporkan frekuensi yang lebih tinggi, sekitar 16 % - 20 %. Andreas Jo, tahun 1984 melaporkan bahwa 18 % -20 % trauma pada gigi permanen muda, menyebabkan fraktur mahkota dengan pulpa terbuka. Fraktur mahkota dengan pulpa terbuka ini harus segera diatasi untuk

  9 melindungi pulpa agar tetap normal.

  Penyebab trauma gigi pada anak-anak yang paling sering adalah karena jatuh saat bermain, baik di luar maupun di dalam rumah dan saat berolahraga. Trauma gigi anterior dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung, trauma gigi secara langsung terjadi ketika benda keras langsung mengenai gigi, sedangkan trauma gigi secara tidak langsung terjadi ketika benturan yang mengenai dagu menyebabkan gigi rahang bawah membentur gigi rahang atas dengan kekuatan atau tekanan besar dan tiba-

  2 tiba.

  Beberapa penyebab trauma yang paling sering terjadi pada periode 8-12 tahun adalah kecelakaan di tempat bermain, bersepeda, skateboard, atau pada saat berolahraga seperti olahraga bela diri, sepak bola, bola basket, lomba lari, sepatu

  4

  roda, dan berenang. Selain faktor-faktor di atas ada beberapa faktor predisposisi terjadinya trauma gigi anterior yaitu posisi dan keadaan gigi tertentu misalnya kelainan dentofasial seperti maloklusi kelas I tipe 2, kelas II divisi 1 atau yang

  14 mengalami overjet lebih dari 3 mm dan penutupan bibir yang kurang sempurna.

  Keadaan yang memperlemah gigi adalah seperti hipoplasia enamel dan kelompok

  13,14,15 anak penderita seperti cerebral palsy dan seizure disorders.

2.3 Klasifikasi Trauma

  Salah satu klasifikasi yang terbaik yang telah diterima secara internasional adalah klasifikasi World Health Organization (WHO).Klasifikasi ini dianggap lebih baik karena memiliki format yang deskriptif dan didasari oleh pertimbangan klinik dan anatomik. WHO mengklasifikasikan menjadi 4 garis besar yang meliputi kerusakan pada jaringan keras gigi dan pulpa; kerusakan pada tulang pendukung; kerusakan pada jaringan periodontal; serta kerusakan pada gingiva atau jaringan

  2 lunak rongga mulut.

  A.

  Kerusakan pada jaringan keras gigi dan pulpa

  2 Kerusakan pada jaringan keras gigi dan pulpa terdiri atas :

  1) Retak mahkota (enamel infraction) yaitu suatu fraktur yang tidak sempurna (retak) pada enamel tanpa kehilangan struktur gigi dalam arah horizontal maupun arah vertikal.

  2) Fraktur enamel yang tidak kompleks (uncomplicated crown fracture) yaitu fraktur pada mahkota gigi yang hanya mengenai lapisan enamel saja. 3) Fraktur enamel – dentin (uncomplicated crown fracture) yaitu fraktur mahkota gigi yang mengenai lapisan enamel dan dentin saja tanpa melibatkan pulpa. 4) Fraktur mahkota yang komplek (complicated crown fracture) yaitu fraktur yang mengenai lapisan enamel, dentin dan pulpa.

  5) Fraktur mahkota- akar yang tidak kompleks (uncomplicated crown root

  

fracture ) yaitu fraktur yang mengenai lapisan enamel, dentin, sementum tanpa

melibatkan pulpa.

  6) Fraktur mahkota- akar yang kompleks (complicated crown root fracture) yaitu fraktur yang mengenai lapisan enamel, dentin, sementum dan pulpa.

  7) Fraktur akar (root fracture) yaitu fraktur yang mengenai dentin , sementum dan pulpa.

  16 Gambar 1. Kerusakan pada jaringan keras gigi dan pulpa

  B.Kerusakan pada jaringan pendukung

  2,17

  Kerusakan pada jaringan pendukungterdiri atas: 1) Konkusio yaitu trauma yang mengenai jaringan pendukung gigi tanpa adanya kegoyangan atau perubahan posisi gigi, yang menyebabkan gigi lebih sensitif terhadap tekanan dan perkusi. 2) Subluksasi yaitu trauma yang mengenai jaringan pendukung gigi dengan adanya kegoyangan dan tanpa perubahan posisi gigi.

  3) Luksasi ekstrusi yaitu pelepasan sebagian gigi keluar dari soketnya sehingga gigi terlihat lebih panjang.

  4) Luksasi yaitu perubahan letak gigi ke arah labial, palatal maupun lateral yang menyebabkan kerusakan atau fraktur pada soket alveolar gigi tersebut.

  5) Luksasi intrusiyaitu pergerakan gigi ke dalam tulang alveolar yang menyebabkan kerusakan alveolar dan gigi akan terlihat lebih pendek . 6) Avulsi, yaitu pergerakan seluruh gigi keluar dari soketnya.

  Gambar 2: Kerusakan pada jaringan pendukung

  16 Gambar 2. Kerusakan pada jaringan pendukung

  C. Kerusakan pada tulang pendukung

  2 Kerusakan pada tulang pendukung terdiri atas:

  1) Kerusakan soket alveolar yaitu hancurnya soket alveolar, pada kondisi ini dijumpai intrusi dan luksasi lateral. 2) Fraktur dinding soket alveolar maksila dan mandibula yaitu fraktur tulang alveolar yang melibatkan dinding soket labial atau lingual, dibatasi oleh bagian fasial atau oral dari dinding soket. 3) Fraktur prosessus alveolaris maksila dan mandibula yaitu fraktur yang mengenai prosessus alveolaris dengan atau tanpa melibatkan soket alveolaris gigi. 4) Fraktur tulang alveolar yaitu fraktur tulang alveolar maksila atau mandibula yang melibatkan prosessus alveolaris dengan atau tanpa melibatkan soket alveolar.

  16 Gambar 3. Kerusakan pada tulang pendukung

  D. Kerusakan pada gingiva atau jaringan lunak rongga mulut

  2 Kerusakan pada gingiva atau jaringan lunak rongga mulut terdiri atas:

  1) Laserasi yaitu suatu luka terbuka pada jaringan lunak rongga mulut yang biasanya disebabkan oleh benda tajam. 2) Kontusio yaitu memar yang biasanya disebabkan oleh pukulan benda tumpul dan menyebabkan perdarahan pada daerah submukosa tanpa disertai sobeknya daerah mukosa.

  3) Abrasi yaitu luka pada daerah superfisial yang disebabkan karena gesekan atau goresan suatu benda, sehingga terdapat permukaan yang berdarah dan lecet.

2.4 Penanganan Darurat

  Pemeriksaan darurat meliputi pengumpulan data vital, riwayat kesehatan pasien, data dan keluhan pasien. Data vital terdiri dari usia pasien, bagaimana dan dimana terjadinya trauma serta kapan terjadinya trauma. Apabila terjadinya trauma di tempat yang kotor atau kemungkinan banyak bakteri dan mengakibatkan keadaan klinis kemerahan, pembengkakan pada gingiva, maka pasien perlu diberikan ATS (Anti Tetanus Serum).Pasien juga ditanyakan apakah terjadi muntah pada saat trauma, atau pasien menjadi tidak sadar, sakit kepala serta amnesia setelah mengalami trauma.Apabila hal ini terjadi maka kemungkinan ada kerusakan pada sistem syaraf pusat. Pada pasien ini dianjurkan untuk pemeriksaan lebih lanjut di bagian

  18,19

  neurologi. Pemeriksaan lanjutan meliputi pemeriksaan kembali klinis lengkap

  9 yang terdiri dari pemeriksaan ekstra oral dan intraoral.

  1) Pemeriksaan Ekstra Oral

  Pemeriksaan leher dan kepala merupakan pemeriksaan awal yang bermanfaat untuk mencatat lokasi dan besar luka pada wajah dan kemungkinan adanya kontaminasi pada luka. Selanjutnya dilakukan palpasi terhadap mandibula, zigoma, TMJ, dan daerah mastoidea. Fraktur mandibula dapat diketahui dengan palpasi pada daerah pinggir mandibula untuk suatu fraktur step down. Terbatasnya pergerakan rahang bawah pada pembukaan atau penutupan mulut merupakan tanda-tanda terjadinya fraktur rahang. Biasanya terjadi perubahan gigitan, ketidakseimbangan wajah, pergerakan rahang yang abnormal dan sakit, pembengkakan, numbness (rasa baal). Pemeriksaan selanjutnya untuk menentukan apakah bibir mengalami laserasi, memar atau pembengkakan serta apakah terdapat benda asing seperti

  9 serpihan pasir ataupun gigi yang patah.

   2) Pemeriksaan Intra Oral

  Seluruh jaringan lunak mulut yaitu mukosa labial, palatal dan gingiva harus diperiksa. Benda asing yang terdapat pada mukosa seperti gumpalan darah, kotoran yang masih menempel, fragmen gigi dan tanah harus dibersihkan dengan

  9

  menggunakan H

2 O 2 3%, larutan salin atau air hangat.

  Daerah alveolus dipalpasi untuk mendeteksi apakah terdapat fraktur terutama pada daerah gigi yang avulsi. Ini penting untuk diketahui sebab regenerasi tulang tidak akan bisa memberikan dukungan yang kuat apabila replantasi dilakukan pada alveolus yang sudah hancur. Semua gigi yang ada harus diperiksa apakah terdapat

  9 fraktur, karies atau dislokasi.

  Tes-tes khusus perlu dilakukan pada pasien yang mengalami trauma dental.Salah satunya adalah tes vitalitas, baik konvensional maupun vital tester. Gigi yang mengalami trauma akan memberikan reaksi yang sangat sensitif terhadap tes vitalitas. Oleh karena itu tes vitalitas hendaknya dilakukan beberapa kali dengan

  4,20 waktu yang berbeda-beda.

2.5 Perawatan Trauma Gigi pada Anak

  Sebelum perawatan dilakukan, anak dan orangtua perlu diredakan emosinya terlebih dahulu. Setelah trauma terjadi, anak pasti akan merasa takut dan cemas, terutama bila dokter gigi langsung memberikan perawatan.Pasien yang mengalami cedera, harus benar-benar diperhatikan bagaimana kondisi saluran pernapasannya. Dasar dari usaha mempertahankan jalan napas adalah mengontrol perdarahan dari mulut atau hidung dan membersihkan orofaring. Untuk anak yang tidak memiliki kelainan pada pembekuan darah, perdarahan pada daerah yang avulsi biasanya tidak berakibat fatal, melakukan penekanan baik secara langsung dengan jari maupun tidak

  9 langsung menggunakan kasa atau tampon.

  Kasus lepasnya gigi dari soket alveolar akibat trauma injuri harus mendapatkan penanganan yang tepat dan cepat, dengan tetap memperhatikan kondisi fisik anak. Pada kasus avulsi yang disebabkan oleh cedera kemungkinan terdapat komplikasi seperti laserasi pada jaringan lunak labial, bukal, palatum, lidah. Pencegahan terhadap tetanus harus dilakukan dengan membersihkan luka dengan

  9,20 seksama, penyingkiran benda-benda asing dan pemberian tetanus toxoid antitoxin.

  Dianjurkan untuk tidak memegang gigi avulsi pada bagian akarnya, karena dapat merusak serat-serat ligamen periodontal, tetapi memegang gigi pada bagian mahkota. Pembersihan gigi dilakukan hanya jika terdapat kotoran pada gigi, namun tidak boleh

  9 mengikis atau menggosok gigi.

  Penatalaksanaan gigi avulsi harus dilakukan dalam waktu sesingkat mungkin untuk menjaga ligamen periodontal karena bila ligamen periodontal masih baik, derajat dan ketepatan waktu resorpsi akar akan terjaga dan kemungkinan terjadinya ankilosis akan berkurang. Resorpsi akar hampir tidak terhindarkan apabila melebihi 2 jam, waktu maksimal dilakukan replantasi adalah 48 jam setelah gigi berada di luar

  21

  soket. Setelah replantasi perlu juga dilakukan splinting untuk menjaga stabilitas gigi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan ligamen periodontal untuk regenerasi. Kemudian dilakukan kontrol yang tepat agar hasil perawatan dapat diperoleh dengan

  9,20 baik.

  Fraktur enamel dapat dilakukan restorasi dengan menggunakan resin komposit tergantung dari lokasi frakturnya. Fraktur enamel dan dentin dapat dilakukan restorasi dengan semen glass ionomer dan restorasi permanen dengan resin komposit. Fraktur enamel dentin pulpa dapat dilakukan perawatan seperti caping pulpa, pulpotomi sebagian dan perawatan pulpa lainnya dalam perawatan pada trauma gigi yang pulpanya terpapar yang paling penting adalah bagaimana

  22 mempertahankan vitalitas pulpa.

  Menurut penelitian di Syria, diantara semua anak yang mengalami trauma gigi; 93,1 % tidak melakukan perawatan karena trauma yang dialami anak hanya mengenai bagian enamel saja. Dikatakan bahwa, proporsi anak yang membutuhkan perawatan (63,2 %) lebih kecil dibandingkan anak yang mengalami trauma tanpa

  5 perawatan (93,1 %).

  Penelitian di Damaacus mendapatkan dari 87 sampel anak-anak usia 9-12 tahun yaitu sebagian besar anak yang mengalami trauma gigi (59,8 %) tidak dibawa ke dokter gigi oleh orangtuanya untuk dilakukan evaluasi maupun perawatan terhadap trauma giginya. Sebagian lainnya yang melakukan perawatan memiliki

  5 persentase yang sangat kecil sekitar 6,9 % (Tabel 1).

  5 Tabel 1. Proporsi anak pada perawatan trauma gigi insisivus permanen

  Persentase Relatif Jumlah Frekuensi (n)

  Frekuensi (%) Tidak dirawat 81 93,1 Dirawat 6 6,9 Membutuhkan perawatan 55 63,2 Tidak membutuhkan perawatan 32 36,8

  Penelitian dari kota Vadodara (India) menunjukkan hanya 2,45% anak yang menerima perawatan untuk trauma gigi. Itu jelas terlihat bahwa anak dengan kasus

  

trauma gigi yang melibatkan pulpa, diskolorasi dan avulsi tidak dirawat.Disini terlihat

bahwa perawatan trauma gigi tidak memenuhi kualitas perawatan. Faktor penyebab dari tingginya persentase trauma yang tidak dirawat adalah karena kurangnya pengetahuan yang cukup dan motivasi dari orangtua disebabkan karena masalah 11 sosioekonomi.

  Penelitian yang dilakukan di Valencia (Spanyol) menunjukkan kebanyakkan perawatan trauma gigi yang diterima adalah tambalan gigi sebanyak 43,2% dan sebanyak 37% kasus tidak menerima perawatan. Penelitian ini menunjukkan

  7 kebanyakkan kasus yang terjadi adalah non complicated coronal fractures.

  Penelitian yang lain menunjukkan, sebagian besar sampel menerima perawatan pada waktu tidak langsung yaitu lebih dari 24 jam setelah terjadinya trauma. Hal ini dapat menjadi faktor penting dalam menentukan prognosis pasca

trauma. Keterlambatan dalam menerima perawatan

  3 dapat menyebabkan prognosis yang buruk.

2.6 Pencegahan Trauma

  Pencegahan trauma gigi dianggap lebih penting daripada perawatannya sama seperti masalah kesehatan yang lain. Perlu dilakukan program untuk mengedukasi

  6

  masyarakat mengenai trauma gigi, cara pencegahan dan cara pengobatan. Pada anak- anak yang mempunyai gerakan aktif, agar terhindari terjadinya fraktur akibat trauma dapat digunakan alat pelindung mulut seperti mouthguard. Alat ini hanya digunakan sewaktu anak-anak melakukan aktifitas, misalnya berolah raga, naik sepeda atau

  14 bermain.

  Mouthguard yang tersedia dipasaran terdiri atas 3 macam yaitu :

  1. Stock atau ready-made mouthguard Merupakan pelindung mulut yang siap pakai, dapat dibeli di toko-toko olahraga.Harganya yang paling murah namun kurang memuaskan ketika digunakan.Meskipun alat ini mempunyai bentuk dan ukuran yang berbeda-beda, namun hanya sedikit yang sesuai dengan rongga mulut. Alat ini terlalu besar, mudah

  14 lepas, tidak nyaman dipakai dan sering mengganggu pernafasan dan bicara.

  2. Mouth-formed /self adapted mouthguard Alat ini relatif murah dan tersedia di toko-toko olahraga dan banyak digunakan.Terbuat dari bahan thermoplastik, dicelupkan pada air mendidih dan dibentuk atau dicetak di dalam mulut menggunakan jari, lidah dan tekanan gigitan. Tipe mouthguard ini juga terasa besar dan dapat menyebabkan sulit untuk bernafas

  14 dan bicara.

  3. Costum-made mouthguard Alat pelindung mulut ini yang paling disarankan.Dibuat di klinik dan dicetak secara individual oleh dokter gigi.Alat ini yang paling memuaskan dipakai dibandingkan semua tipe perlindungan mulut.Harganya juga sedikit lebih mahal. Alat pelindung ini memenuhi semua kriteria adaptasi, retensi, kenyamanan stabilitas dan

  14 tidak mengganggu pernafasan dan bicara.

  Gambar 4. A) Stock mouthguard

  14 B) Custom-made mouthguard

2.7 Kerangka Teori

  Mengurangi Trauma Gigi

  Permanen Anterior Prevalensi dan

  Etiologi Klasifikasi

  WHO Kecelakaan

  Terjatuh Olahraga

  Kerusakan pada Jaringan

  Keras Gigi dan Pulpa Kerusakan pada

  Jaringan Periodontal

  Kerusakan pada Tulang

  Pendukung Kerusakan pada

  Gingiva atau Jaringan Lunak

  Rongga Mulut Penanganan

  Darurat Perawatan

  Trauma Pencegahan

  Trauma

2.8 Kerangka Konsep

  Trauma gigi permanen anterior menurut Klasifikasi WHO yang diperiksa secara klinis:

  Faktor Risiko:

  • Jenis kelamin • Etiologi : Terjatuh, Kecelakaan,

  Olahraga

  • Usia • Lokasi Kejadian • Tindakan orangtua