Pelaksanaan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

BAB II:
PENGATURAN KONSEP HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

A. Sejarah Perkembangan Restitusi dan Pengaturannya Dalam Hukum
Internasional
Restitusi dalam kontek hubungannya dengan pelaku merupakan suatu
perwujudan dari resosialisasi tanggung jawab sosial dalam diri si pelaku . Restitusi
dalam hal ini bukan terletak pada kemanjurannya membantu korban, namun
berfungsi sebagai alat untuk lebih menyadarkan pelaku atas perbuatan pidana
(akibat perbuatannya) kepada korban. 69
Restitusi di negara-negara maju terutama di negara-negara Anglo Saxon
seperti Inggris, Amerika Serikat, Australia dan New Zealand telah disahkan sebagai
salah satu jenis pidana dalam peraturan perundang-undangannya. Karena itu,
restitusi telah dapat diterapkan di negara-negara tersebut, dan yang paling awal
melaksanakan adalah negara New Zealand mulai tahun 1963. 70

69

Disadur dari Romli Atmasasmita, Masalah Santunan Terhadap Korban Tindak Pidana,”
Majalah Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1992. Hal 44-45.

70
Stephen Schafer dalam Zul Akrial, http://zulakrial.blogspot.com/2012/09/dasar-

pembenaran-konsep-restitusi.html, diakses pada tanggal 27 September 2012, pukul 22.30 WIB.

Universitas Sumatera Utara

Restitusi merupakan bagian dari bentuk pemulihan hak atas korban atau yang
biasa disebut dengan istilah reparasi . Hal ini telah berkembang sejak lama bahkan
ketika belum dikenal adanya hukum HAM internasional. Hak atas pemulihan ini
biasanya diterapkan pada kasus perang antar negara- lazimnya bersifat bilateral di
mana negara pelaku diharuskan membayar kerugian perang bagi negara yang
diserang. Contoh kasusnya ialah Traktak Versailles (1919) setelah Perang Dunia I,
yang membuat Jerman dan negara porosnya harus membayar kepada negara-negara
lawannya. 71
Reparasi berasal dari bahasa Inggris reparation, yang telah berkembang
sebagai kata yang cukup produktif sejak ratusan tahun yang lalu. Kata reparation
(Inggris) berasal dari bahasa latin reparare yang masuk melalui bahasa Prancis kuno
reparer yang memiliki arti suatu tindakan ganti rugi atau kompensasi. Bahasa Inggris
modern kata reparation memiliki padanan kata kerja to repair yang artinya

memperbaiki dan memiliki etimologi agak berbeda dengan kata reparation di atas.
Padanan lainnya ialah kata repatriation, yang artinya merupakan suatu tindakan
mengembalikan seseorang ke tempatnya sendiri, terlepas tempat tersebut merupakan
tanah kelahirannya atau bukan. Pada prinsipnya kata reparation mengacu kepada
upaya pemulihan atau pengembalian suatu kondisi atau keadaan semula, sebelum
terjadinya suatu kerusakan. 72

71

Disadur dari http://www.kontras.org/buku/bagian%20II%20priok.pdf, Diakses pada
tanggal 4 Juli 2012, pukul 21.55 WIB.
72
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Hukum HAM internasional mengakui bahwa kejahatan kemanusiaan masuk
dalam kategori kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Terhadap terjadinya
kejahatan ini memunculkan kewajiban negara untuk memberikan pemulihan terhadap
korban. Kewajiban untuk memberikan pemulihan kepada korban merupakan

tanggung jawab negara yang telah terangkai dalam berbagai instrumen hak asasi dan
ditegaskan dalam putusan-putusan (yurisprudensi) komite-komite hak asasi manusia
internasional

maupun

regional.

Kewajiban

yang

diakibatkan

oleh

pertanggungjawaban negara atas pelanggaran hukum hak asasi manusia internasional
memberikan hak kepada individu atau kelompok yang menjadi korban dalam wilayah
negara itu untuk mendapatkan penanganan hukum yang relatif dan pemulihan yang
adil, sesuai dengan hukum internasional. 73

Kewajiban untuk memberikan reparasi kepada korban merupakan kewajiban
yang tidak perlu dikaitkan dengan ada atau tidaknya proses yudisial (pegadilan).
Artinya bahwa reparasi kepada korban pelanggaran HAM berhak mendapatkan
pemulihan baik ada pelaku yang dibawa kepengadilan atau tidak. Hal ini sejalan
dengan defenisi korban pelanggaran HAM bahwa seseorang itu dapat dianggap
sebagai korban, tanpa peduli apakah pelakunya itu berhasil di identifikasikan atau
tidak, ditangkap atau tidak, dituntut atau tidak, dan tanpa mempedulikan tentang
hubungan persaudaraan antara si korban dengan si pelaku. Berdasarkan hukum
internasional korban itu menjadi korban apabila haknya dilanggar. Ketika kejahatan

73

Theo Van Boven, Op.Cit.

Universitas Sumatera Utara

atau kekerasan tersebut dilakukan maka pada saat itulah orang tersebut memperoleh
status sebagai korban.
Sub Commission on Prevention of Discrimination and Protection of
Minoritas, dalam sidangnya ke 41 dan atas dasar resolusinya nomor 1989/33,

mempercayakan Theo Van Boven untuk bertugas melakukan studi atau kajian tentang
hak-hak korban pelanggaran HAM berat ( gross violation of human rights)
menyangkut hak atas restitusi, kompensasi dan rehabilitasi. Studi Van Boven ini
kemudian berujung pada sebuah prinsip dasar hak atas korban atas pemulihan Basic
principles and Guidelines on the right to a remedy and reparation for victims of gross
violations of international human rights law and serious violations of international
humanitarian law, (Human Rights Resolution 2005/35). 74
Ketentuan dalam Basis and Guidelines on the Right to a Remedy and
Reparatioan for Victims of Violations of International Human Rights and
Humanitarian Law dinyatakan bahwa para korban diberi lima hak reparasi yaitu: 75
a. Restitusi
b. Kompensasi
c. Rehabilitasi
d. Kepuasan ( Satisfaction)
e. Jaminan Ketidakberulangan ( non reccurence)

74

Kontras. Negara Wajib Pulihkan Korban ,bagian II, hal 54.
Wahyu Wagimin dan Zainal Abidin, Op.Cit hal 21.


75

Universitas Sumatera Utara

Menurut Van Boven hak-hak para korban tersebut menunjukan kepada semua
tipe pemulihan baik material maupun non material bagi para korban pelanggaran hak
asasi manusia. Hak-hak tersebut telah terdapat dalam berbagai instrument- instrument
hak asasi manusia yang berlaku dan juga terdapat dalam yurisprudensi komite-komite
hak asasi manusia internasional maupun pengadilan regional hak asasi manusia. 76
Bentuk-bentuk reparasi tersebut dirinci secara detail dan jelas tentang apa
yang dimaksud dengan restitusi, kompensasi, rehabilitasi, kepuasan dan jaminan
ketidakberulangan. Restitusi misalnya ganti rugi atas hak milik atau juga nama baik
dari si korban. Kompensasi merujuk pada bentuk uang bagi kerugian- kerugian.
Rehabilitasi di dalamnya termasuk jasa medis atau juga jasa psikologis. Tindakantindakan untuk memuaskan ( Satisfaction) termasuk di dalamnya adalah pengakuan
oleh publik bahwa ini memang merupakan tanggungjawab negara dan juga
permintaan maaf secara umum yang dilakukan oleh pejabat dalam jabatan yang
cukup tinggi. Jaminan bahwa ini tidak akan terulang lagi atau non repetisi dengan
adanya reformasi tertentu dalam hukum dan regulasi.
Deklarasi PBB telah menganjurkan agar paling sedikit diperhatikan 4 (empat)

hal menyangkut korban kejahatan sebagai berikut: 77
1. Jalan masuk untuk memperoleh keadilan dan diperlakukan secara adil (Access
to justice and fair treatment);

76

Theo Van Boven, Op.Cit, hal xv.
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana,(Semarang:Universitas Diponegoro,1995),
hal 177-176.
77

Universitas Sumatera Utara

2. Pembayaran ganti rugi (restitution) oleh pelaku tindak pidana kepada korban,
keluarganya atau orang lain yang kehidupannya dirumuskan dalam bentuk
sanksi pidana dalam perundang-undangan yang berlaku;
3. Apabila terpidana tidak mampu, negara diharapkan membayar santunan
(compensation) financial kepada korban, keluarganya atau mereka yang
menjadi tanggungan korban;
4. Bantuan materiil, medis, psikologis dan sosial kepada korban, baik melalui

negara, sukarelawan, masyarakat (assistance).

Tabel 1.
Perbedaan Bentuk Reparasi Kepada Korban Berdasarkan Instrumen
Internasional 78
No
Hal
Bentuknya
1

Restitusi

2

Kompensasi

78

Haruslah diberikan untuk menegakkan kembali, sejauh
mungkin, situasi yang ada bagi korban sebelum

terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Restitusi mengharuskan, antara lain, pemulihan
kebebasan, kewarganegaraan atau tempat tinggal,
lapangan kerja.
Kompensasi akan diberikan untuk setiap kerusakan yang
secara ekonomis dapat diperkirakan nilainya, yang
timbul dari pelanggaran HAM seperti:
1. Kerusakan Fisik dan mental
2. Kesakitan, penderitaan dan tekanan batin
3. Kesempatan yang hilang, termasuk pendidikan
4. Hilangnya mata pencaharian dan kemampuan
mencari nafkah
5. Biaya medis dan biaya rehabilitasi lain yang
masuk akan termasuk keuntungan yang hilang
6. Kerugian terhadap reputasi dan martabat
7. Biaya dan bayaran yang masuk akal untuk

Wahyu Wagimin, Zainal Abidin , Op. Cit, hal 21.

Universitas Sumatera Utara


3

4

bantuan hukum atau keahlian untuk memperoleh
suatu pemulihan
8. Kerugian terhadap hak milik usaha, termasuk
keuntungan yang hilang.
Rehabilitasi
Haruslah disediakan yang mencakup:
1. Pelayanan Hukum
2. Psikologis, perawatan medis dan pelayanan atau
perawatan lainnya
3. Tindakan untuk memulihkan martabat dan
reputasi (nama baik) sang korban.
Jaminan kepuasan Tersedianya atau diberikannya kepuasan dan jaminan
dan
bahwa perbuatan serupa tidak akan terulang lagi di masa
ketidakberulangan depan dengan mencakupi:

1. Dihentikannya pelanggaran yang berkelanjutan
2. Verifikasi fakta-fakta dan pengungkapan
kebenaran sepenuhnya secara terbuka
3. Keputusan yang diumumkan demi kepentingan
korban
4. Permintaan maaf, temasuk pengakuan di depan
umum mengenai fakta-fakta dan penerimaan
tanggung jawab
5. Diajukannya ke pengadilan orang-orang yang
bertanggungjawab atas pelanggaran
6. Peringatan dan pemberian hormat kepada para
korban
7. Dimasukannya suatu catatan yang akurat
mengenai pelanggaran HAM dalam kurukulum
dan bahan-bahan pendidikan
8. Mencegah berulangnya pelanggaran dengan cara
seperti:
a. Memastikan pengendalian sipil yang efektif atas
militer dan pasukan keamanan
b. Membatasi yurisdiksi mahkamah militer
c. Memperkuat kemandirian bahan peradilan,
melindungi profesi hukum dan para pekerja
HAM
d. Memberikan pelatihan HAM pada semua sektor
masyarakat, khususnya kepada militer.

Universitas Sumatera Utara

Studi

Van

Boven

bertujuan

untuk

mengeksplorasi

kemungkinan

mengembangkan beberapa prinsip dan panduan hak-hak tersebut. Studi tersebut
kemudian disempurnakan lagi oleh pelapor khusus M. Cherif Bassiouni pada tahun
2000. Kedua studi ini dilakukan atas pengalaman kasus-kasus di berbagai negara dan
mendapatkan masukan dari berbagai pemerintah dan organisasi non negara. Hak atas
pemulihan di beberapa negara juga telah dipraktikkan, baik dalam sistem dan
mekanisme judisial maupun non judisial. Hal ini bisa terlihat dengan dibentuknya
beberapa komisi pemulihan hak atas korban di berbagai negara. Upaya pemulihan
yang dilakukan ini sebisa mungkin harus mengembalikan keadaan korban ke dalam
situasi sebelum kejadian (kerugian) tersebut berlangsung atau keadaan bila tindakan
kerugian tersebut tidak terjadi. 79
Prinsip sederhana tersebut konsep pemulihan hak atas korban kemudian
mengalami perkembangan yang lebih rumit seiring dengan upaya pendalaman
problem korban pelanggaran HAM. Hingga saat ini pemulihan hak atas korban
merupakan salah satu prinsip mendasar dalam hukum internasional, sebagaimana
dinyatakan pada Pengadilan Internasional Permanen untuk kasus Chorzow Factory
(Jerman Vs Polondia), 1928: “ It is a prinsiple of international law that the breach of
an engagement involves an abligation to make reparation in an adequate form. 80

79

Lihat hasil Keputusan Permanent Court of Arbitration, kasus Chorzow Factory ( Jerman
VS Polondia), 1928, Konsepsi tentang ganti rugi pada kasus ini dianggap menjadi landasan bagi
praktek hak atas pemulihan dalam konteks hukum Internasional dan HAM.
80
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Pemulihan hak atas korban memiliki beberapa ketentuan pokok yang
penting: 81
Pertama, korban didefinisikan sebagai orang-orang yang secara individual atau
kolektif menderita kerugian, termasuk kerugian akibat kekerasan secara fisik dan
mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau gangguan mendasar atas hakhak dasarnya, melalui tindakan atau pembiaran yang merupakan pelanggaran berat
terhadap hukum hak asasi manusia, atau pelanggaran serius hukum humaniter
internasional.
Istilah korban juga mencakup keluarga atau tanggungan dari korban langsung dan
orang-orang yang mengalami kerugian dalam melakukan pendampingan atau bantuan
kepada korban dalam keadaan susah atau dalam mencegah tindakan viktimisasi.
Seseorang harus dianggap sebagai korban tanpa menghiraukan apakah para pelaku
pelanggaran bisa diidentifikasi, ditangkap, dituntut, atau divonis dan tanpa
menghiraukan hubungan kekeluargaan antara pelaku dan korban. Pemberian
pemulihan pada korban tidak boleh bersifat diskriminatif, entah karena alasan rasial,
agama, jenis kelamin, latar belakang sosial atau politik, dan sebagainya.
Kedua, hakekat (nature) korban tidak bergantung
pelaku lapangan langsung maupun

pada situasi pelaku, baik itu

pelaku yang terikat pada tanggung jawab

komando. Hak korban juga tidak bergantung pada nasib pelaku, baik karena tidak
bisa diidentifikasi atau gagal diajukan ke muka pengadilan. Hak korban semata-mata
81

Basic principles and guidelines on the right to a remedy and reparation for victims of gross
violations of international human rights law and serious violations of international humanitarian law,
Human Rights Resolution 2005/35, Kontras, Negara Wajib Pulihkan Korban, hal 67.

Universitas Sumatera Utara

berhubungan dengan kondisi di mana seseorang sudah dirampas haknya pada suatu
peristiwa pelanggaran HAM. Hak korban atas pemulihan merupakan hak yang tidak
bisa dipisahkan (inalieanable right) dari korban itu sendiri. Negara harus
menyediakan pemenuhan efektif hak atas pemulihan baik lewat upaya yudikatif
(pengadilan), legislatif, atau administratif. Untuk kategori pelanggaran HAM-berat,
hak atas pemulihan bersifat nonderogable dan kegagalan pemenuhannya merupakan
suatu impunitas.
Ketiga, pemberian pemulihan pada korban harus proporsional terhadap tingkat
beratnya kejahatan dan kerugian yang diderita yang mencakup restitusi, kompensasi,
rehabilitasi, kepuasan, dan jaminan non-repetisi. Bentuk pemulihan ini bisa dalam hal
kompensasi material, pemulihan kondisi fisik dan psikis/moral, dan rehabilitasi status
sosial dan politik. Negara harus berusaha membentuk program nasional bagi
pemulihan dan bantuan lainnya kepada para korban, di mana pihak yang bertanggung
jawab atas kerugian yang diderita korban tersebut tidak mampu atau tidak mau
memenuhi kewajibannya.
Pengaturan konsep pemulihan hak atas korban dalam hukum internasional
dapat di temukan di beberapa instrument internasional diantaranya Universal
Declaration of Human Rights, International Covenant on Civil and Political Rights,
International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination,
Convention of The Rights of the Child, The Rome Statue for an International
Criminal Court, Hague Convention on Land Warfare, Geneva Convention, 1949,
Protocol I 1977, ICTR Statue, Basic Principles of Justice for Victims of Crime and

Universitas Sumatera Utara

Abuse of Power, Declaration on Enforced Dissapearance, Declaration on Violance
against Women, Principles on Extra-legal Arbitrary and Summary Executions, Draft
Basic Prinsciples and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation, Draft
Articles on the Responsibillity of States for Internationall Wrongful Acts, General
Comment 29 on State of Emergency Human Rights Committee, Istanbul Protocol,
Study on the Right to R e s t i t u t i o n Compensation and Rehabilitation, Set of
principles for the protection and promotion of human rights through action to combat
impunity (Joinet Principles), Basic principles and guidelines on the right to a remedy
and reparation for victims of gross violations of international human rights law and
serious violations of

international humanitarian law (Bassiouni Principles).

Substansi isi dari masing-masing instrument internasional tersebut mengandung
makna bahwa negara memiliki kewajiban untuk mengambil langkah bahwa setiap
orang yang menjadi korban pelanggaran untuk mendapatkan pemulihan yang efektif
dan adanya jaminan bahwa negara berwenang untuk menegakkan hukum. Negara
juga wajib menjamin setiap individu untuk dilindungi dari perlaku buruk dan
intimidasi, korban wajib memperoleh ganti rugi, kompensasi dan rehabilitasi
kerugian mencakup kerusakan material atau moral. 82
Merujuk pada hukum internasional hak atas pemulihan ini atau reparasi
adalah bentuk pemulihan yang menunjuk pada semua tipe pemulihan baik materil
maupun immaterial bagi korban. Pemulihan atau reparasi yang dimaksud adalah
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Pemulihan dengan demikian merupakan bentuk
82

www. kontras,org, Op. Cit, diakses pada tanggal 4 Juli 2012, pada pukul 22.20 WIB.

Universitas Sumatera Utara

umum dari berbagai bentuk pemulihan kepada korban. Semangat perjuangan reparasi
ini adalah bentuk usaha memperbaiki masa lalu dan menetapkan norma-norma untuk
masa depan.

B.Sejarah Restitusi Dan Pengaturannya Di Indonesia
Sejarah restitusi

awalnya

dapat dilihat pada hukum Hamurabi yang

memfokuskan bagaimana supaya pelaku tindak pidana dapat dihukum sesuai dengan
tindak pidana yang terbukti dilakukannya. Hubungan antara korban dengan pelaku
beserta keluarganya sangat dominan dalam proses penyelenggaraan hukuman balas
dendam. Pelaksanaan hukum Hamurabi ini menghadapi kendala manakala si pelaku
atau keluarganya mempunyai kedudukan tinggi dan berkekuatan mempertahankan
diri, maka pembalasan dendam tidak berjalan malah berubah menjadi perlawanan
oleh pelaku terhadap si korban. Kedudukan korban disini malah menjadi tidak
mendapat perlindungan hukum dan keadilan yang seharusnya, maka dicarilah jalan
keluar sebagai alternatif dengan restitusi jika sifatnya ke arah privat atau kompensasi
jika sifatnya ke arah publik. 83
Sejarah hukum di Indonesia mengenai penggunaan istilah restitusi awalnya
hanya dinyatakan dengan penggunaan istilah” ganti kerugian”, hal ini dapat dijumpai
dalam berbagai kitab undang-undang hukum yang ada di Indonesia.

Salah satu

diantaranya adalah berasal dari Zaman Majapahit, ialah yang disebut” perundang-

83

Bambang Poernomo dalam Tri Hermintadi, bahan makalah Kepentingan korban dalam
sistem peradilan pidana dari sudut pandang Viktimologi , hal 2.

Universitas Sumatera Utara

undangan Agama”. Perundang-undangan ini terdapat pidana pokok berupa ganti
kerugian atau panglicawa atau patukucawa. 84 Ketentuan ini sekarang tidak berlaku
namun ada kecenderungan dari pembentuk undang-undang untuk menggali hukum
asli dan menemukan nilai-nilai yang pernah ada dalam hukum aslinya.
Perundang-undangan dari Majapahit tersebut, apabila diteliti, maka tampak
adanya hubungan antara di pelaku dan korban, sebagaimana beberapa contoh
dibawah ini: 85
Pasal 56 : Jika seorang pencuri mohon hidup, maka ia harus menebus pembebasannya
sebanyak delapan tali, membayar denda empat laksa kepada raja yang berkuasa,
membayar kerugian (panglisyawa) kepada orang yang kena curi dengan cara
mengembalikan segala milik yang diambilnya dua lipat.
Pasal 242 : Barang siapa naik pedati, kuda atau kendaraan apapun, jika melanggar
atau menginjak orang sampai mati, ia sendiri atau saisnya dikenakan denda dua laksa
oleh raja yang berkuasa, ditambah uang ganti kerugian (pamidara) sebanyak delapan
tali kepada pemilik orang yang terlanggar itu, atau kepada sanak saudara orang yang
mati itu.
Pasal 19 : Barangsiapa membunuh wanita yang tidak berdosa, harus membayar untuk
wanita yang bersangkutan dua lipat, dan dikenakan uang ganti kerugian
(patukusyawa) empat kali.

84
85

Djoko Prakoso, Masalah Ganti Kerugian dalam KUHAP, ( Jakarta: Bina, 1987), hal 116.
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana ( Bandung: Alumni, 1986), hal 183-184.

Universitas Sumatera Utara

Tanggung jawab pelaku terhadap kerugian atau penderitaan yang dialami oleh
korban (sebagai akibat perbuatannya) ini, untuk beberapa perbuatan pidana yang
terjadi dalam masyarakat, seringkali penyelesaiannya dilakukan atas dasar
perdamaian antara kedua belah pihak. Cara penyelesaian seperti ini merupakan suatu
realitas yang hidup di kalangan anggota masyarakat tertentu di Indonesia yang
mendasarkan penyelesaian pada hukum adat. Mahmud Mulyadi menyatakan bahwa
istilah ganti kerugian juga terdapat dalam kearifan lokal yang ada di masing-masing
wilayah di Indonesia, bahwa faktor dominan untuk terjadinya kejahatan kekerasan
dipengaruhi oleh watak masyarakat , contohnya apa yang ada di dalam Kitab Hukum
Simbur Cahaya di Palembang dimana terdapat banyak delik adat yang dapat ditarik
nilai-nilainya dalam proses legislasi untuk dijadikan upaya penanggulangan kejahatan
kekerasan. Delik kesusilaan diatur dalam pada Bab I tentang Adat Bujang Gadis dan
Kawin menyatakan bahwa seorang laki-laki memegang seorang gadis atau janda
dapat dikenakan sanksi adat dengan denda maksimal 12 ringgit dan tekap malu
maksimal 8 ringgit. 86 Delik kesusilaan yang disebut gawe dalam hal masuk kerumah
seorang dengan maksud ingin melakukan perbuatan yang tidak terhormat apakah
dengan istri penghuni rumah atau dengan perempuan lain yang tinggal dirumah
tersebut , dalam kasus ini bila pelaku tertangkap di luar rumah maka pelaku tidak

86

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal
Policy dalam Penanggulangan Kejahatan,Kekerasan, ( Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), Hal 224.

Universitas Sumatera Utara

boleh dibunuh, melainkan kena hukuman denda sebesar 12 Ringgit dan aturan lainnya
yang terkait dengan kearifan lokal . 87
Undang-undang dan aturan pada uraian tersebut diatas menunjukkan bahwa
korban yang mengalami penderitaan atau kepedihan yang di akibatkan oleh perbuatan
si pelaku, oleh undang-undang tersebut diringankan dengan diberi kemungkinan
penggantian kerugian. Apabila melihat pengertian ”korban” sebagaimana disebutkan
dalam undang-undang tersebut, maka pengertian tersebut sangat luas, dan hal itu
menimbulkan kesulitan dalam pemberian penggantian kerugian. Perlu diberi
pembatasan siapakah dalam suatu perkara pidana di sebut ”korban” atau orang yang
dirugikan itu.
Setiap orang yang menderita kerugian atau menjadi korban sebagai akibat dari
tindakan orang lain, mempunyai hak untuk melakukan atau menuntut balas atas
kerugian/penderitaan yang dialaminya dan masuk keranah hukum perdata.
Pembalasan itu pada umumnya tidak hanya merupakan hak dari seseorang yang
dirugikan atau yang terkena tindakan, melainkan meluas menjadi kewajiban dari
seluruh keluarga, famili, dan bahkan dalam beberapa hal menjadi kewajiban dari
anggota masyarakat. 88
Perkembangan lebih lanjut, diantara warga masyarakat timbul suatu
kebutuhan atau hasrat untuk mengambil tindakan terhadap mereka yang telah
menimbulkan kerugian pada kepentingan perseorangan itu, yaitu dengan suatu

87
88

Ibid, hal 227.
Sunaryati Hartono, Capita Selekta Perbandingan Hukum, ( Bandung: 1976 ), Hal 68.

Universitas Sumatera Utara

kesadaran, bahwa perbuatan-perbuatan yang merugikan kepentingan perseorangan itu
sesungguhnya juga merupakan pelanggaran terhadap kepentingan masyarakat.
Sehingga untuk mengakhiri terjadinya balas dendam yang timbal balik atau
berlakunya asas ius talionis (hukum balas membalas), diputuskanlah oleh warga
masyarakat bahwa seseorang yang telah menimbulkan kerugian pada kepentingan
orang lain itu, harus membayar ganti kerugian kepada orang yang dirugikan sekaligus
juga kepada masyarakat. Hal ini, menurut L.H.C. Hulsman, telah berlangsung dari
abad pertengahan sampai abad ketiga belas, dimana sebagian besar konflik-konflik
antar manusia diselesaikan dalam rangka ganti rugi. 89
Pemikiran masyarakat semakin maju, sehingga masalah ganti rugi inipun
mengalami perubahan. Ganti rugi tersebut dihapuskan dan diganti dengan hukuman
publik, karena pada fase ini hukuman tidak lagi dijatuhkan (ditentukan) oleh
perorangan yang menjadi korban, tetapi adalah oleh masyarakat (negara). Demikian
juga menurut S.R. Sianturi, “pada mulanya jumlah ganti rugi (denda) ini lebih banyak
tergantung pada keinginan dari pihak yang dirugikan, kemudian dikendalikan dan
ditentukan oleh penguasa”. 90
Bertolak dari uraian di atas dapat dinyatakan, bahwa pada mulanya, reaksi
terhadap suatu pelanggaran yang menimbulkan kerugian dan penderitaan pada pihak
lain, sepenuhnya merupakan hak dari pihak yang dirugikan (korban) untuk menuntut
balas. Efek samping dari tuntutan balasan ini, telah menimbulkan suatu keadaan,
89

Purwoto.S. Gandasubrata, Masalah Ganti rugi dalam perkara pidana , (Bandung : 1977),

90

S.R. Sianturi. Asas-asas hukum pidana di Indonesia ( Jakarta: Alumni, 1989), hal 39.

hal 116.

Universitas Sumatera Utara

tindakan balasan yang dilakukan oleh pihak korban, seringkali tidak setimpal
dibandingkan dengan tindakan yang telah dilakukan oleh pelaku, hal ini terjadi
sebagai

akibat

dari

emosi

yang

berlebihan

dari

pihak

korban.

Dalam

perkembangannya kemudian, akibat dari dendam yang sering tidak berkesudahan
(talionis) ini, telah pula menimbulkan suatu keadaan, kerugian/penderitaan yang
dialami oleh seseorang itu lambat laun dapat diganti dengan membayar sejumlah
harta kepada korban. 91
Pelanggaran yang terjadi itu tidak hanya merupakan hubungan (urusan)
antara pelaku dan korban, melainkan pelaku pelanggaran dianggap juga telah
mengganggu “keseimbangan” ketertiban dalam masyarakat, sehingga yang terjadi
adalah juga gangguan dalam “keseimbangan” antara pelaku dan masyarakat.
Penerapan hukum pidana, dalam praktek ternyata mendapat gangguan
terhadap keseimbangan ketertiban dalam masyarakat

dan inilah yang lebih

diperhatikan, sehingga masyarakat (negara) merasa sebagai satu-satunya yang berhak
untuk menuntut “balas” atau ganti rugi dari pelaku. Korban sendiri dalam hal ini
kehilangan haknya untuk melakukan tindakan. Hal yang sama juga dinyatakan oleh
Arif Gosita, secara berangsur-angsur negara mengambil alih tanggung jawab
pelaksanaan hukum dari pihak korban. Ini berakibat pada sentralisasi dalam sistem
hukum pidana. Negara bertindak sebagai “wakil perdamaian” dalam masyarakat dan
pihak korban. Situasi kongkrit “sebagai yang dirugikan” dan keadaan “perdamaian”
yang memberikan perlindungan terhadap kerugian ini, kemudian diabstrahir menjadi
91

http://eprints.undip.ac.id, diakses pada tanggal 23 April 2012, pada pukul 19.01 WIB.

Universitas Sumatera Utara

“tertib hukum.” Pengertian ini kemudian dijadikan yang utama. Suatu tindak pidana
tidak lagi dilihat, terutama sebagai kerugian terhadap manusia yang terdiri atas jiwa
dan raga, tetapi adalah sebagai “pelanggaran terhadap suatu tertib hukum.” Dengan
kata lain, bahwa suatu tindak pidana bukanlah suatu perbuatan yang merugikan orang
yang mempunyai darah, daging dan perasaan, akan tetapi adalah sebagai sesuatu yang
melawan hukum, yaitu bertentangan dengan sesuatu yang abstrak yang dinamakan
ketertiban hukum. 92
Menurut pendapat pakar hukum pidana Indonesia : Penetapan orang yang
dirugikan itu di dasarkan atas asas-asas hukum perdata dan kerugian itu ditimbulkan
oleh perbuatan seseorang yang oleh hukum pidana disebut ”si pembuat” (dader) dari
suatu tindak pidana. Jadi dalam masalah ganti rugi dalam pidana harus di lihat dalam
hubungannya dengan ”tiga serangkai” : delik (tindak pidana) pembuat korban. Masih
pula harus di perhatikan, kerugian itu bersifat materiil dan immateriil. Penggantian
kerugian bersifat materiil tidak menimbulkan masalah, tidak demikian dengan
kerugian yang bersifat immateriil, yang berupa kesusahan, kecemasan, rasa malu dan
sebagainya. Kerugian ini harus diganti dengan wujud uang. Dalam hukum perdata hal
ini sudah biasa, disitu di kenal apa yang disebut uang duka. 93
Dimensi ganti rugi atas penderitaan korban saat ini dikaitkan dengan sistem
restitusi sebagai bentuk pemulihan hak atas korban, sebagai bentuk perbaikan atas
kerugian fisik, moral, harta benda dan hak-hak korban yang diakibatkan oleh tindak

92
93

Ibid.
Sudarto, Op.Cit, hal 186-187.

Universitas Sumatera Utara

pidana, restitusi di tuntut oleh korban agar di putus oleh di pengadilan dan jika
diterima tuntutannya harus dibayar pelaku terhadap korban.
Restitusi ini menjadi relevan dalam konteks Indonesia setelah munculnya
desakan dari berbagai kelompok masyarakat termasuk dari organisasi HAM dan para
korban pelanggaran HAM agar negara membuat ketentuan atau hukum yang
mengatur mekanisme pemulihan hak atas korban . Hal ini didasari oleh pandangan
bahwa sepanjang puluhan tahun rejim militer berkuasa telah terjadi pelanggaran
HAM dengan jumlah yang luar biasa, sementara nasib jutaan korban tidak pernah
diperhatikan oleh negara.

C. Konsep Restitusi Ditinjau dari Sudut Viktimologi
Viktimologi adalah suatu ilmu pengetahuan ilmiah/studi yang mempelajari
suatu viktimisasi (kriminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan
suatu kenyataan sosial.” Viktimologi berasal dari kata Latin victima yang berarti
korban dan logos yang berarti pengetahuan ilmu/ studi. 94
Viktimologi merupakan ilmu mempelajari mengenai korban, sementara istilah
Viktimologi itu sendiri pertama kali dilontarkan oleh seorang pengacara kelahiran
Rumanias, Benjamin Mendelsohn ( 1947). Dalam sebuah makalahnya berjudul “ New

94

Ruang lingkup perhatian atau objek studi Viktimologi dan Kriminologi dikatakan sama.
Yang berbeda adalah titik tolak pengamatannya dalam memahami suatu viktimisasi kriminal, yaitu
Viktimologi dari sudut pihak korban sedangkan Kriminologi dari sudut pihak pelaku. Dua-duanya,
objek studinya sama, yaitu korban dan pelaku, sebabnya tidak ada/timbul viktimisasi korban
(Viktimas) atau kejahatan (kriminalitas) tanpa adanya pihak korban dan pelaku. Masing-masing
merupakan komponen-komponen suatu interaksi (mutlak), yang hasil interaksinya adalah suatu
viktimitasi kriminal atau kriminlaitas.Lihat Arif Gosita, Op.Cit, hal 329.

Universitas Sumatera Utara

Bio-psycho-social Horizon; Victimology” 95 memberikan batasan mengenai korban
dengan upaya pendekatan korban dari segi biologis, psikologis dan sosial, namun
beberapa pakar memberikan kritik terhadap pendapat ini karena Mendelsohn dalam
memberikan pendekatan masih menggunakan penelitian terhadap tindak pelanggaran
(penjahat) yang mana masih menggunakan perspektif kriminologi yang dianggap
sudah agak kuno.
Von Hentig memberikan kontribusi keilmuan melalui tulisannya pada 1941
berjudul “Remarks on the Interaction of Prepertator and Victim” dan “The Criminal
and His Victim” (1948) yang memberikan gambaran hubungan antara Pelaku
Kejahatan dengan Korbannya. 96
Situasi dan kondisi baik fisik, fisikis dan mental korban yang labil dan lebih
khususnya pada anak sering menjadi peluang dan kesempatan pelaku tindak pidana
khususnya TPPO dalam melampiaskan niat jahatnya dengan mengiming-ngiming
korban akhirnya menjerumuskan korban ke dunia prostitusi, pekerja paksa, meminta
minta dijalanan dan sebagainya.Umumnya bila korbannya kelihatan lemah maka si
pelaku akan lebih agresif.
Berdasarkan teori Criminal-Victim Relationship, maka keterlibatan korban
akan berpengaruh pada tingkat kesalahan pelaku kejahatan. Lebih lanjut, tingkat
kesalahan ini akan berpengaruh pula pada aspek pertanggungjawaban pidana. Maka

95

JE. Sahetapy, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, ( Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1987),

96

Ibid.

hal 9.

Universitas Sumatera Utara

sebaliknya, seharusnya keterlibatan korban itu sendiri juga mempengaruhi aspek
pelayanan dalam mewujudkan perlindungan terhadap kepentingannya. 97
Manfaat dan tujuan viktimologi adalah untuk meringankan kepedihan dan
penderitaan manusia di dunia. Penderitaan dalam artian menjadi korban jangka
pendek dan jangka panjang yang berupa kerugian fisik, mental maupun moral, sosial,
ekonomis, kerugian yang hampir sama sekali dilupakan, diabaikan oleh kontrol sosial
yang melembaga, seperti penegak hukum, penuntut umum, pengadilan, petugas
probation, pembinaan, pemasyarakatan dan sebagainya. 98
Arif Gosita merumuskan beberapa manfaat dari studi mengenai korban antara
lain: 99
1. Dengan viktimologi akan dapat diketahui siapa korban, hal-hal yang dapat
menimbulkan korban, viktimisasi dan proses viktimisasi;
2. Viktimologi memberikan sumbangan dalam mengerti lebih baik tentang
korban akibat tindakan manusia yang menimbulkan penderitaan mental, fisik
dan sosial. Tujuannya, tidaklah untuk menyanjung (eulogize) korban, tetapi
hanya untuk memberikan beberapa penjelasan mengenai kedudukan dan
peran korban serta hubungannya dengan pihak pelaku serta pihak lain;
3. Viktimologi memberikan keyakinan, bahwa setiap individu mempunyai hak
dan kewajiban untuk mengetahui mengenai bahaya yang dihadapinya
berkaitan dengan kehidupan, pekerjaan mereka. Terutama dalam bidang
penyuluhan dan pembinaan untuk tidak menjadi korban struktural atau non
struktural;
4. Viktimologi juga memperhatikan permasalahan viktimisasi yang tidak
langsung, misalnya: efek politik pada penduduk “dunia ketiga” akibat
97

Ninik Widiyanti dan Yulius Waskita,Kejahatan Dalam Masyarakat dan Pencegahannya
(Jakarta: 1987), hal 135.
98
Apabila diteliti lebih lanjut, maka viktimologi mempunyai tujuan yang sama dengan
Pancasila dalam pemgamalan pancasila. Oleh sebab itu, jelas dapat dikatakan bahwa victimologi
mempunyai keselarasan dan keserasian tertentu dengan Pancasila, khususnya dalam usaha mencapai
masyarakat yang adil dan makmur spiritual dan material, meningkatkan martabat manusia, baik bagi
mereka yang melakukan dan atau yang menjadi korban suatu viktimisasi kriminal, mengusahakan
manusia dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Ibid,hal 332.
99
Arif Gosita, Op.Cit, hal 32-34.

Universitas Sumatera Utara

penyuapan oleh suatu korporasi internasional, akibat-akibat sosial pada setiap
orang akibat polusi industri, terjadinya viktimisasi ekonomi, politik dan sosial
setiap kali seorang pejabat menyalahgunakan jabatan dalam pemerintahan
untuk keuntungan sendiri;
5. Viktimologi memberikan dasar pemikiran untuk masalah penyelesaian
viktimisasi kriminal, pendapat-pendapat viktimologi dipergunakan dalam
keputusan-keputusan peradilan kriminal dan reaksi pengadilan terhadap
pelaku kriminal.
Kegunaan Viktimologi juga sangat bermanfaat bagi pihak penegak hukum
antara lain : 100
1. Bagi aparat kepolisian, viktimologi sangat membantu dalam upaya
penanggulangan kejahatan. Melalui viktimologi akan mudah diketahui latar
belakang yang mendorong terjadinya kejahatan, seberapa besar peranan
korban pada terjadinya kejahatan, bagaimana modus operandi yang biasanya
dilakukan oleh pelaku dalam menjalankan aksinya serta aspek aspek lainnya
yang terkait.
2. Bagi Kejaksaan, khususnya dalam proses penuntutan perkara pidana di
pengadilan, viktimologi dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan
dalam menentukan berat ringannya tuntutan yang akan diajukan kepada
terdakwa, mengingat dalam praktiknya sering dijumpai korban kejahatan turut
menjadi pemicu terjadinya kejahatan.
3. Bagi hakim tidak hanya menempatkan korban sebagai saksi dalam
persidangan suatu perkara pidana, tetapi juga turut memahami kepentingan

100

http://belajarhukumpidana.blogspot.com/2009/05/urgensi-penerapan-mata-kuliah.html,
diakses pada tanggal 7 Juni 2012, pukul 17.19 WIB.

Universitas Sumatera Utara

dan penderitaan korban akibat dari sebuah kejahatan atau tindak pidana,
sehingga apa yang menjadi harapan dari korban terhadap pelaku sedikit
banyak dapat terkonkritisasi dalam putusan hakim.
Kegunaan viktimologi

tersebut diatas dikaitkan dengan keadilan adalah

merupakan bentuk tanggung jawab yang harus dibebankan kepada pelaku atas
kerugian baik materil maupun immaterial yang telah dialami korban sebagai
perbaikan atau restorasi atas kerugian fisik, moril, harta benda dan hak-hak yang di
akibatkan oleh tindak pidana yang telah dilakukan.
Perkembangan viktimologi hingga pada keadaan seperti sekarang tentunya
tidak terjadi dengan sendirinya, namun telah mengalami berbagai perkembangan
yang dapat dibagi dalam tiga fase. Pada tahap pertama viktimologi hanya
mempelajari korban kejahatan saja, pada fase ini dikatakan sebagai” penal or spesial
viktimology”. Sementara itu, fase kedua, viktimologi tidak hanya mengkaji masalah
korban kejahatan, tetapi juga meliputi korban kecelakaan. Pada fase ini disebut
sebagai” general victimology.” Fase ketiga, viktimologi sudah berkembang lebih luas
lagi, yaitu mengkaji permasalahan korban karena penyalahgunaan kekuasaan dan
hak-hak asasi manusia. Fase ini dikatakan sebagai” new victimology”. 101
Kehadiran Viktimologi secara keilmuan diharapkan mampu memberikan
sudut pandang dan keberpihakan terhadap korban sehingga dapat meminimalisir
penderitaan berlipat ganda yang dialami korban. Sesuai dengan fungsinya bahwa

101

Rena Yulia,Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan , ( Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2010), hal 44-45.

Universitas Sumatera Utara

viktimologi dapat dirumuskan sebagai suatu studi yang mempelajari masalah korban,
penimbulan korban, serta sebab-akibat penimbulan korban, yang merupakan suatu
masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial. 102
Viktimologi menuntut supaya pembuat kejahatan bertanggung jawab terhadap
kerugian baik fisik, moril maupun nyawa korban, oleh karena itu dapat dijadikan
dasar politik kriminal pada umumnya dan perlakuan terhadap korban serta
keluarganya dan pembuat pada khususnya. 103
Posisi korban kejahatan dalam setiap sistem penegakan hukum di negara
Indonesia, ternyata masih ditempatkan sebagai alat bukti yang memberi keterangan
yaitu hanya sebagai saksi sehingga kemungkinan untuk memperoleh keleluasaan
dalam memperjuangkan hak-haknya adalah kecil khususnya dalam memperoleh ganti
kerugian atas penderitaan yang telah dialami korban.
Dimensi ganti rugi atas penderitaan korban dikaitkan dengan sistem restitusi,
adalah berhubungan dengan perbaikan atau restorasi atas kerugian fisik, moril, harta
benda dan hak-hak korban yang di akibatkan oleh tindak pidana. Karakter utama dari
restitusi ini berindikasi pertanggungan jawab pembuat atas tuntutan tindakan restitutif
yang bersifat pidana dalam kasus pidana.

102

Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan ( Jakarta: Akademik Presindo, 1983), hal 44.
Iswanto, Restitusi Kepada Korban Mati atau Luka Berat Sebagai Syarat Pidana Bersyarat
Pada Tindak Pidana Lalu Lintas Jalan , Disertasi pada Universitas Gajahmada,Yogyakarta, 1995), hal
68.
103

Universitas Sumatera Utara

D. Pengaturan Konsep Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana
Perdagangan Orang Di Indonesia.
Hak restitusi bagi korban TPPO Orang harus dapat dinikmati oleh setiap
orang yang bertempat tinggal di Indonesia yang dijamin oleh hukum sesuai dengan
ciri Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang Undang
Dasar 1945, yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Ketentuan-ketentuan
mengenai perlindungan kepada korban harus dihormati dan dijamin pelaksanaanya
oleh negara hal tersebut dapat kita lihat pada pasal 27 ayat 1 Undang Undang Dasar
1945 yang menyatakan bahwa:
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.
Pasal tersebut menunjukan bahwa negara berkomitmen bahwa setiap warga
negara harus diperlakukan baik dan adil sama kedudukannya di dalam hukum, juga
dalam pengertian apakah dia seorang tersangka atau korban tindak pidana.
UUD 1945 Republik Indonesia menjamin masyarakat pencari keadilan untuk
mendapatkan kepastian hukum berdasarkan pasal 28 D ayat (1): Setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.
BAB XA Undang Undang Dasar 1945 tentang Hak Asasi Manusia juga
menegaskan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan HAM
adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah. Prikemanusiaan sebagai sendi

Universitas Sumatera Utara

nilai Pancasila menjiwai seluruh keberadaan hukum di Indonesia, mulai dari UUD 45
hingga kepada peraturan perundang-undangan ke bawahnya. 104
Setiap terjadi kejahatan maka dapat dipastikan akan menimbulkan kerugian
bagi korbannya. Korban kejahatan harus menanggung kerugian kejahatan, baik
materil maupun immaterial, sedangkan penderitaan yang dialami oleh korban
kejahatan hanya relevan untuk dijadikan instrumen penjatuhan pidana kepada pelaku,
sebenarnya penderitaan pelaku karena dipidana tidak ada hubungannya dengan
penderitaan korban.
Selama ini dalam hukum pidana di Indonesia tidak ditemukan peraturan yang
mewajibkan pelaku tindak pidana untuk menghadapi apa yang mereka lakukan dan
efeknya kepada korban atau untuk mengganti kerugian pada korban atau publik.
Pelaku tindak pidana hanya dijatuhkan pidana penjara, memang dengan dipenjaranya
pelaku tindak pidana maka akan membatasi kebebasan pelaku, tapi sesungguhnya hak
itu juga mereduksi pertanggungjawabannya kepada korban. Sistem hukum di
Indonesia, upaya perlindungan korban kejahatan terkait dengan ganti kerugian selain
dalam UUD 1945 juga dapat dilihat dalam KUHPidana , KUHAP, KUH Perdata, UU
No 26 tahun 2000 dan UU No 13 tahun 2006. Dalam tulisan ini penulis mengangkat
tentang ganti rugi atau restitusi dalam penanganan TPPO yang diatur dalam UU No
21 tahun 2007.
Kelemahan mendasar dalam penegakan hukum adalah terabaikannya hak
korban kejahatan dalam proses penanganan perkara pidana maupun akibat yang
104

Poernomo Bambang dalam Tri Herminta, Op.Cit

Universitas Sumatera Utara

ditanggung oleh korban kejahatan karena perlindungan hukum terhadap korban
kejahatan tidak mendapatkan pengaturan yang memadai. 105

D.1. Pengaturan Ganti Rugi Dalam KUH Pidana
Ketentuan yang mengatur masalah ganti rugi dalam hukum pidana diatur
pada pasal 14c KUHP menyatakan apabila hakim menjatuhkan pidana percobaan,
maka di samping penetapan syarat umum bahwa terhukum tidak akan melakukan
tindak pidana, dapat pula ditetapkan syarat khusus bahwa terhukum dalam waktu
tertentu, yang lebih pendek dari masa percobaan, harus mengganti seluruh atau
sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana itu.
Perlindungan hukum terhadap korban selama ini didasarkan pada Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana selanjutnya disebut KUHP sebagai sumber hukum
materiil, dengan menggunakan KUHAP sebagai hukum acaranya. Bila diperhatikan,
di dalam KUHP lebih banyak diatur mengenai tersangka dari pada mengenai korban.
Kedudukan korban dalam KUHP tampaknya belum optimal dibandingkan dengan
kedudukan pelaku. Hal ini dapat dijelaskan dalam penjelasan sebagai berikut:
Pertama KUHP belum secara tegas merumuskan ketentuan yang secara
konkrit atau langsung memberikan perlindungan hukum terhadap korban misalnya

105

Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Malang: UMM Pres, 2005), hal

2.

Universitas Sumatera Utara

dalam hal penjatuhan pidana wajib dipertimbangkan pengaruh tindak pidana terhadap
korban atau keluarga korban. KUHP juga tidak merumuskan jenis pidana restitusi
(ganti rugi) yang sebenarnya sangat bermanfaat bagi korban dan/ atau keluarga
korban. Rumusan pasal-pasal dalam KUHP cenderung berkutat pada rumusan tindak
pidana, pertanggungjawaban dan ancaman pidana. Hal ini tidak terlepas pula pada
doktrin hukum pidana yang melatarbelakangi sebagaimana dikatakan oleh Herbert
Packer dan Muladi bahwa masalah hukum pidana meliputi perbuatan yang dilarang
atau kejahatan (offense), orang yang melakukan perbuatan terlarang dan mempunyai
aspek kesalahan (guilt), serta ancaman pidana (punishment). 106
Kedua KUHP menganut aliran neoklasik yang antara lain menerima
berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan bagi pelaku tindak pidana yang
menyangkut fisik ,lingkungan serta mental. Demikian pula dimungkinkannya aspekaspek

yang

meringankan

pidana

bagi

pelaku

tindak

pidana

dengan

pertanggungjawaban sebagian, di dalam hal-hal yang khusus, misalnya jiwanya cacat
(gila), di bawah umur dan sebagainya. 107
Melihat penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa pengaturan KUHP
beroreantasi terhadap pelaku, bahkan korban cenderung dilupakan. Padahal korban
merupakan salah satu aspek yang benar-benar mengalami penderitaan akibat
perbuatan

pelaku.

Apabila

berkaitan

dengan

pelaku

yang

tidak

mampu

bertanggungjawab, maka korban juga dimungkinkan untuk mendapatkan kompensasi.

106
107

Rena Yulia, Op.Cit, hal 181.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

D.2 Pengaturan Ganti Rugi Dalam KUHAP
Pengaturan mengenai korban apabila dilihat dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana selanjutnya disebut KUHAP sama sekali termarginalkan.
KUHAP lebih banyak mengatur mengenai perlindungan terhadap tersangka,
sedangkan perlindungan terhadap korban tidak terumuskan secara lengkap. Hak yang
diberikan KUHAP terhadap korban sangat terbatas. Perhatian KUHAP terhadap
korban tindak pidana lebih berupa bagaimana agar proses pemberian ganti kerugian
yang akan diberikan dan diterima oleh korban tindak kejahatan bisa dilakukan lebih
cepat, dengan cara menggabungkan perkara pidananya dengan ganti kerugian yang
pada hakikatnya merupakan perkara perdata.
Hak menuntut ganti atas kerugian yang di derita dari akibat tindak pidana
dalam kapasitasnya sebagai pihak yang dirugikan yang diatur dalam KUHAP yang
sebenarnya lebih dekat dengan sistem ganti kerugian yang bersifat keperdataan dapat
dijumpai dalam pasal 98 sampai dengan pasal 101 KUHAP.
Pasal 98 ayat ( 1) KUHAP berbunyi :
Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan
perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain,
maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk
menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.
Penggabungan perkara pidana ini dimaksudkan agar perkara gugatan tersebut pada
suatu ketika yang sama diperiksa serta diputus sekaligus dengan perkara pidana yang

Universitas Sumatera Utara

bersangkutan. Kerugian bagi orang lain yang dimaksud termasuk kerugian pihak
korban. Orang lain yang dimaksud dalam pasal ini adalah pihak korban kejahatan,
yaitu perbuatan terdakwa yang merupakan tindak pidana yang menimbulkan kerugian
bagi orang tersebut. Kata” dapat” berarti bahwa hakim dalam menyidangkan kasus ini
bisa menolak atau menerima permohonan dalam hal penggabungan perkara ganti
kerugian dengan perkara pidananya. Sehingga dibuka peluang bagi hakim untuk
mengambil kebijakan apakah dapat diajukan secara perdata atau dapat digabungkan.
Sehingga membuka kesempatan bagi hakim untuk menolak penggabungan perkara
yang diajukan dan bila ini dilakukan maka hakim tidak salah secara hukum karena
undang-undang mengatur hal tersebut.
Penggabungan perkara pidana dan perdata tersebut sesuai dengan asas peradilan yang
sederhana , cepat dan biaya ringan , maka itulah yang paling baik dan tepat untuk
dilakukan jadi korban sebaiknya sekaligus mengajukan tuntutan ganti rugi, tanpa
perlu menunggu putusan perkara pidananya selesai.
Pasal 98 Ayat (2) KUHAP berbunyi:
Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan
selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana.
Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambatlambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.
Pengertian tidak hadirnya penuntut umum dalam perkara pidana yang dimaksud
karena perkara tersebut diputus dengan acara pemeriksaan cepat ( pasal 205 KUHAP
dan seterusnya). Hukum acara untuk melakukan tuntutan ganti kerugian ini berlaku

Universitas Sumatera Utara

Hukum Acara Perdata sebagaimana diatur dalam pasal 101 KUHAP. Uraian tersebut
diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
a. Harus ada permintaan dari pihak yang dirugikan
b. Ada kerugian yang benar-benar terjadi akibat dari perbuatan/ tindakan si
terdakwa.
c. Permintaan tuntutan ganti kerugian ini dapat diajukan selambat-lambatnya
sebelum hakim menjatuhkan putusan.
Pasal 99 ayat (1) KUHAP berbunyi:
Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada
perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, maka pengadilan
negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut,
tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya
yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut.
Pasal 99 ayat (2) berbunyi:
Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang mengadili
gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau gugatan dinyatakan tidak
dapat diterima, putusan hakim hanya memuat tentang penetapan hukuman
penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan. Ayat (3)
Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat kekuatan tetap,
apabila putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum tetap.

Ganti kerugian yang dapat diputus hanyalah sebatas pada penggantian biaya yang
telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan saja, oleh karenanya tuntutan lain dari
pada itu harus dinyatakan tidak dapat diterima dan harus diajukan dalam perkara
biasa. Berdasarkan uraian tersebut bila amar putusan dimuat tidak dapat diterima dan
harus diajukan sebagai perkara perdata biasa. Jika pada amar putusan berbunyi” tidak
dapat diterima dan harus diajukan sebagai perkara perdata biasa”. Maka pengajuan

Universitas Sumatera Utara

perkara pidana bukan merupakan perkara ne bis in idem. Namun jika amar putusan
hanya memuat “ tidak dapat diterima” maka akan menimbulkan masalah ne bis in
idem. 108 Putusan mengenai ganti rugi dengan sendirinya akan memperoleh hukum
tetap, apabila putusannya memperoleh kekuatan hukum tetap artinya dengan serta
merta karena telah digabungkan maka putusan perdata mengenai ganti kerugian
mengikuti perkara pidananya. Dalam hal pengadilan menjatuhkan juga putusan ganti
kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99, maka pelaksanaannya dilakukan
menurut tatacara putusan perdata hal ini diatur dalam pasal 274 KUHAP.
Pasal 100 ayat (1) KUHAP berbunyi
Apabila terjadi penggabungan antara perkara perdata dan perkara pidana,
maka penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan
tingkat banding. Ayat (2) Apabila terhadap suatu perkara pidana t

Dokumen yang terkait

IMPLEMENTASI RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG.

0 0 1

Penerapan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orangdengan eksploitasi anak dibawah umur dengan undang-undang nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.

0 0 1

Pelaksanaan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

0 0 14

Pelaksanaan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

0 0 3

Pelaksanaan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

0 0 35

Pelaksanaan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Chapter III IV

0 0 31

Pelaksanaan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

0 0 7

IMPLEMENTASI PEMBERIAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (Studi Pasal 48 Undang-Undang Nomor. 21 Tahun 2007) (Jurnal)

0 0 15

BAB II FAKTOR - FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG - Penerapan Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Kajian Putusan No.1554/Pid.B/20

0 0 40

PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG(Kajian Putusan No.1554Pid.B2012PN.Mdn) SKRIPSI

0 0 11