Pelaksanaan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Chapter III IV

BAB III
PENERAPAN KONSEP HAK RESTITUSI ATAS KORBAN TINDAK
PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
DI INDONESIA

A. Penerapan Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan
Orang Dalam Putusan Pengadilan.
Uraian pada bab terdahulu telah disampaikan bahwa di Indonesia masih lemah
dalam pelaksanaan hak restitusi khususnya bagi korban TPPO. Meskipun sudah ada
landasan hukum yang kuat bahwa restitusi wajib diberikan oleh pelaku terhadap
korban maupun ahli warisnya sebagaimana yang diatur dalam UU No 21 tahun 2007
tentang TPPO. Polisi dalam hal ini juru periksa tidak memasukan restitusi dalam
Berita Acara Pemeriksaan, Jaksa Penuntut Umum tidak memasukannya dalam
dakwaan dan tuntutan, Hakim juga tidak memutus pemberian hak restitusi karena
tidak ada dimohonkan oleh pihak kejaksaan.
Putusan Hakim seharusnya merupakan mahkota dan puncak dari suatu perkara
yang sedang diperiksa dan diadili oleh hakim. Oleh karena itu tentunya hakim dalam
membuat putusan harus memperhatikan segala aspek didalamnya, mulai dari
perlunya kehati-hatian, dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan, baik yang bersifat
formal maupun matriil sampai dengan adanya kecakapan teknik membuatnya.


Universitas Sumatera Utara

Diharapkan dalam diri hakim hendaknya lahir, tumbuh, dan berkembang adanya
sikap atau sifat kepuasan moral jika kemudian putusan yang dibuatnya itu dapat
menjadi tolak ukur untuk perkara yang sama, atau dapat menjadi bahan referensi bagi
kalangan teoritisi maupun praktis hukum serta kepuasan nurani tersendiri jika
putusannya dikuatkan dan tidak dibatalkan pengadilan yang lebih tinggi. 125
Putusan hakim dalam hal memberikan restitusi terhadap korban maupun
keluarga oleh pelaku TPPO secara faktual masih sedikit dihasilkan oleh para hakim.
Penulis dalam hal ini mengambil contoh kasus dari Putusan Pengadilan Negeri
Tanjung Karang Lampung yang sudah berkekuatan hukum yang tetap yaitu putusan
pengadilan nomor : 1633/Pid/2008/PN TK.
Pengadilan Negeri Tanjung Karang dalam memutus kasus tersebut
menunjukan perkembangan baru berkaitan dengan mekanisme pemenuhan hak-hak
korban ditandai dengan adanya mekanisme yang dapat ditempuh korban untuk
mengajukan tuntutan ganti kerugian berupa restitusi. Korban dapat mengajukan
restitusi secara langsung ke pengadilan ataupun melalui Jaksa Penuntut Umum, dan
kemudian tuntutan tersebut dilampirkan dalam surat tuntutan pidana. Korban juga
mengajukan tuntutannya diwakili oleh pendampingnya dari Lembaga Perlindungan
Anak di Lampung untuk selanjutnya disampaikan kepada Jaksa Penuntut Umum. 126

Prosudur yang digunakan ini telah diterima oleh pengadilan sehingga apa yang
125

Lilik Mulyadi, sebagaimana terdapat dalam Makalah H. Muchsin, Peranan Putusan Hakim
pada Kekeradan dalam Rumah Tangga, Majalah Hukum Varia Peradilan Edisi No 260 Bulan Juli
2006, Ikahi, Jakarta, 2007, hal 25.
126
Hasil wawancara penulis dengan Direktur Damar Lampung dan LADA (Lembaga
Advokasi Anak dan Perempuan) Lampung , Dedi Suhendri ,Pada tanggal 6 Juni 2012, pukul 17.27
WIB.

Universitas Sumatera Utara

dilakukan ini merupakan suatu terobosan baru dalam pelaksanaan hak restitusi bagi
korban TPPO di Indonesia.
1. Kronologis Kasus
Pengadilan Negeri Tanjung Karang yang memeriksa dan mengadili perkara
pidana biasa pada tingkat pertama telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam
perkara terdakwa Fitriyani Binti Muradi , tempat kelahiran Tulung Agung , lahir pada
tanggal 10 Oktober 1960, tempat tinggal di kampung rawa laut gang I. RT 16. LK I

Kelurahan Panjang Selatan Kecamatan Panjang Bandar Lampung. Agama Islam,
pekerjaan pedagang dan pendidikan akhir SD.
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Fitriyani Binti Muradi dengan penjara
selama 12 tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan
perintah agar terdakwa tetap ditahan dan Pidana denda sebesar Rp. 120.000.000,subsidair 3 bulan kurungan dan menetapkan terdakwa membayar Restitusi kepada
saksi korban Mi Diani Binti Raja Sulaiman alias Asnawi sebesar Rp. 10.000.000,subsidair 2 bulan kurungan.
Berdasarkan kronologis sebagai berikut: Bahwa pada tanggal 13 September
2008 sekitar jam 01.00 Wib atau setidak- tidaknya pada suatu waktu dalam tahun
2008 bertempat di Kampung Rawa laut gang I Kel Panjang Bandar Lampung atau
setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masuk termasuk dalam daerah hukum
Pengadilan Negeri Tanjung Karang di Bandar Lampung Fitriyani Binti Muradi
bersama-sama dengan saksi Fuji Astuti Binti Sastro Suparno dan Marwan telah
melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pemindahan atau penerimaan

Universitas Sumatera Utara

seseorang yaitu saksi korban Mai Diani Binti Raja Sulaiman alias Asnawi dengan
ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,
penipuan penyalahgunaan kekuasan atau posisi rentan, penjeratan utang atau
memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang

memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut
diwilayah Republik Indonesia.
Perbuatan tersebut dilakukan terdakwa pada hari Minggu tanggal 31 Agustus
2008 sekira jam 07.00 WIB ketika saksi korban Mai Diana Binti Raja Sulaiman als.
Asnawi sedang menunggu kendaraan umum untuk pulang ke Way Kanan, kemudian
datang Marwan mencium dan memeluk saksi korban dengan paksa selanjutnya
sekitar jam 08.00 WIB Marwan berbincang- bincang dengan terdakwa kemudian
menanyakan asal usul saksi korban dan menawarkan pekerjaan kepada saksi korban
dengan berkata “Mau kerja disini ngak” pekerjaan disini enak ngak capek dan saksi
korban menjawab tidak mau dan menjawab mau pulang, namun Marwan tetap
membawa korban kedalam kamar dan memaksa korban untuk melakukan hubungan
seksual, setelah itu Marwan meninggalkan saksi korban, dan saksi Fuji Astuti Binti
Sastro Suparno menyuruh saksi korban untuk bekerja melayani tamu yang datang ke
kafe tersebut. Selama berada di Kafe tersebut saksi korban dipaksa oleh Saksi Fuji
melayani tamu sebanyak 2 kali dan selama tinggal ditempat tersebut saksi korban
sudah 3 kali menyerahkan uang kepada terdakwa, sampai akhirnya pada tanggal 13
September 2008 sekira pukul 01.00 WIB pihak kepolisian melakukan razia ditempat
tersebut dan mendapatkan saksi korban baru saja selesai melayani tamu, sehingga

Universitas Sumatera Utara


akhirnya terdakwa bersama saksi Fuji Astuti Binti Sastro Suparno diserahkan ke
Poltabes Bandar Lampung untuk proses lebih lanjut sesuai dengan Visum Et
Repertum No. 357/6670/ 5.3/XI/ 2008 tanggal 10 Nopember 2008.
2. Putusan Hakim
1. Menyatakan terdakwa Fitriyani Binti Muradi telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana” Melakukan permufakatan
jahat untuk melakukan atau penerimaan seseorang dengan penipuan,
penyalahgunaan

kekuasaan

atau

posisi

rentan

untuk


tujuan

mengeksploitasi orang tersebut diwilayah RI yaitu melanggar pasal 2 Ayat
(1) Jo. Pasal 11 Jo pasal 48 UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang yang unsur-unsurnya sebagai berikut:
1. Unsur setiap orang;
2. Unsur yang melakukan permufakatan jahat untuk melakukan
perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan
atau penerimaan seseorang;
3. Unsur dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerassan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi
bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari
orang yang memegang kendali atas orang lain.
2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap terdakwa Fitriyani Binti
Muradi dengan Pidana penjara selama 8 (delapan) tahun, dan atau denda

Universitas Sumatera Utara

sebesar Rp. 120.000.000,- dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar

harus diganti dengan kurungan selama 1 ( satu) bulan.
3. Menetapkan agar terdakwa membayar restitusi kepada saksi korban Mai
Diana Binti Raja Sulaiman Als Asnawti sebesar Rp.10.000.000,- apabila
restitusi tidak dibayar harus diganti dengan kurungan selama 1 (satu)
bulan.
4. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
5. Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan.
6. Memerintahkan barang bukti berupa 1 buah celana panjang jeans warna
biru tua, 1 buah celana pendek jeans warna biru tua, 1 buah celana pendek
warna orange, 1 buah baju kaos warna merah dan kuning, 2 stel baju tidur
warna merah dan merah muda, 2 buah celana dalam warna merah muda
dan biru muda, 1 buah BH garis-garis warna merah dikembalikan kepada
saksi korban Mai Diana Binti Raja Sulaiman Als, Asnawi.
7. Membebankan biaya perkara sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah).

3.

Analisis putusan.
Putusan yang dijatuhkan hakim sudah merupakan putusan hakim yang sesuai


dengan apa yang diatur dalam pasal 48 sampai 50 UU PTPPO yakni:

Universitas Sumatera Utara

1.

Korban Mai Diana Binti Raja Sulaiman als. Asnawi memperoleh restitusi
sebagaimana yang dimaksud berupa ganti kerugian sebesar Rp.10.000.000,(sepuluh juta rupiah) atas:
a. Kehilangan kekayaan dan penghasilan dimana korban ditipu mengenai
kondisi kerja yang harus dihadapinya, dipaksa bekerja sebagai pekerja seks,
dibebani oleh utang yang sebenarnya tidak ada atau jumlahnya lebih besar
dari apa yang sebenarnya , penghasilan yang diperoleh oleh korban diambil
oleh tersangka. korban masih berumur 15 tahun yang secara hukum belum
dewasa.
b. Penderitaan oleh karena rusaknya organ reproduksi korban yang dalam
melakukan pekerjaan tidak ada waktu istirahat, korban mengalami kekerasan
baik kekerasan fisik, psikologis dan seksual, jam kerja yang panjang.

2.


Mekanisme pengajuan restitusi dilaksanakan sejak korban melaporkan kasus
yang dialaminya dan masuk dalam Berita Acara Pemeriksaan di Poltabes
Bandar Lampung, dalam kasus ini pendamping bersama-sama dengan pihak
kepolisian atas masukan psikologi melakukan rincian bersama atas kerugian
materil dan immaterial yang dialami korban dan hasil konseling diserahkan
kepada pihak kepolisian sebagai dasar pertimbangan atas kerugian immaterial
dilihat dari psikologis yang dialami korban.

3.

Penuntut umum dalam hal ini memberitahukan kepada korban tentang haknya
untuk mengajukan restitusi, jumlah kerugian telah dihitung saat di kepolisian

Universitas Sumatera Utara

dan masuk dalam BAP dan selanjutnya penuntut umum melakukan kordinasi
ke kepolisian dan memasukannya dalam tuntutan.
4.


Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan
pengadilan tepatnya pada hari selasa tanggal 17 Maret 2009 oleh Majelis
Hakim Pengadilan Tanjung Karang.

5.

Pemberian restitusi dilaksanakan sejak dijatuhkannya putusan pengadilan
tingkat pertama dan sebelumnya restitusi sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh
juta) terlebih dahulu di titipkan di pengadilan Negeri Tanjung Karang, Bandar
Lampung. Jumlah restitusi yang diputus seperti apa yang dimuat dalam
tuntutan oleh jaksa penuntut umum yang merupakan pembayaran riil (factual)
dari jumlah restitusi yang diputus yang sebelumnya dititipkan pada pengadilan
tingkat pertama.

6.

Aparat penegak hukum dari kepolisian, kejaksaan sampai pengadilan secara
formal mengimplementasikan pelaksanaan pemberian hak restitisi bagi korban
TPPO yang menyatakan perbuatan terdakwa telah melanggar pasal 2 ayat (1)
,jo pasal 11, jo 48 UU Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang

PTPPO.

B. Pelaksanaan Hak Restitusi Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia
Disadari atau tidak sampai saat ini di Pengadilan Negeri Tanjung Karang
Bandar Lampunglah yang baru pertama di Indonesia memutuskan pemberian restitusi
kepada korban TPPO. Hal tersebut terjadi karena ketidakjelasan definisi, jenis serta

Universitas Sumatera Utara

proses penghitungan kerugian dan mekanisme pengajuan restitusi serta ketidakjelasan
pihak yang memiliki kewenangan dalam tata pelaksanaan penghitungan kerugian juga
ketidakpahaman aparat penegak hukum terkait dengan restitusi tersebut. 127
Rujukan lainnya adalah dengan mendasarkan pada aturan lama yang berlaku,
yaitu ketentuan KUHAP. Dalam KUHAP terdapat mekanisme tentang ganti kerugian
dan rehabilitasi. Ganti kerugian bisa dimintakan oleh tersangka atau terdakwa dalam
kaitannya dengan proses pemeriksaan dan pengadilan yang tidak sah kepada aparat
penegak hukum dan juga oleh korban atas kerugian yang dideritanya kepada pelaku.
Mekanisme yang ditawarkan oleh KUHAP untuk hak-hak korban adalah mekanisme
untuk ganti rugi kepada korban oleh pelaku. Mekanisme pengajuan ganti kerugian
dalam KUHAP ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :
a. mengajukan gugatan perdata setelah perkara pidananya diputus; atau
b. menggabungkan antara pengajuan ganti kerugian dengan pokok
perkaranya.
Mekanisme pertama tidak dapat dilakukan secara cepat dalam kasus TPPO
karena harus ada putusan dari pengadilan terlebih dahulu, padahal penderitaan korban
telah berlangsung sejak tindak kejahatan terjadi. Mekanisme panggabungan perkara
pidana dengan tuntutan ganti rugi diatur dalam Pasal 98 ayat (1) KUHAP yang
menyatakan, “jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu
pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi

127

Hasil wawancara yang dilakukan dengan Ana Sakreti, Staff IOM di Jakarta, pada tanggal
26 Juni 2012, pukul 15.40 WIB.

Universitas Sumatera Utara

orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan
untuk menggabungkan perkara ganti kerugian kepada perkara pidana itu.” Sedangkan
cara untuk pemulihan kerugian korban dapat digabungkan dalam perkara pidana
adalah dengan permintaan perhatian Penuntut Umum agar Hakim dapat
mencantumkan dalam diktum putusan pidana. Kesalahan umum mengenai konsep ini
biasanya menyangkut bentuk pemulihannya. Orang awam sering menyamakan atau
menyederhanakan pemulihan hak atas korban sebagai proses ganti rugi yang
berbentuk finansial atau uang. Hal ini wajar karena kebanyakan bentuk pemulihan
hak atas korban baik itu dalam Undang Undang Pengadilan HAM, UU Perlindungan
Saksi dan Korban dan UU PTPPO Orang selalu dikonversi dalam bentuk uang atau
ganti rugi finansial lainnya meskipun bentuk pemulihan tidak hanya berupa ganti rugi
uang atau finansial.
Korban TPPO Rini Mayasari ( 16 tahun)
tentang apa itu restitusi.

128

menyatakan tidak mengetahui

Hal senada juga diucapkan oleh Nuraini yang kasusnya

disidangkan setelah lahirnya UU PTPPO. 129

128

Wawancara dilakukan pada tanggal 6 Juni 2012 , pukul 13.35 WIB dirumah korban. Kasus
yang dialami Rini Mayasari terjadi sebelum lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan
Orang. Meskipun UU No 21 tahun 2007 lahir kasus ini dapat dilakukan sekaligus dalam penggabungan
perkara pidana dan perdata, namun lagi-lagi ganti kerugian atas kerugian yang dialami korban tidak
diberikan terhadap korban. Walaupun dalam KUHAP tidak memberikan penggantian immaterial
namun seyogianya ganti kerugian Materiil dapat diterima oleh korban.
129
Wawancara dilakukan dirumah korban pada tanggal 7 Juni 2012. Pukul 11.12 WIB Kasus
Nuraini ini telah disidangkan di Pengadilan Negeri Binjai dengan No perkara 277/Pid.B/2011/PN-BJ
tanggal 24 Oktober 2012, dimana pelaku Erlina alias Erlin diputus 3 tahun penjara namun Jaksa
Penuntut Umum Banding di Pengadilan Tinggi Medan No : 702/PID/2011/PT-MDN pada tanggal 08
Desember 2011 putusan terhadap Erlina menjadi lebih tinggi dari sebelumnya 3 tahun menjadi 5 tahun.
Sementara terhadap tersangka Poniseh alias Membot di putus di Pengadilan Negeri Binjai dengan
nomor perkara 276/Pid.B/2011/PN-BJ tanggal 24 Oktober 2012, Jaksa Banding dan diputus pada
tanggal 02 Desember 2011 hukuman terhadap poniseh alias Membot tidak berubah tetap 3

Universitas Sumatera Utara

Kasubdit IV Renakta Ditreskrimum Polda Sumatera Utara, AKPBP Juliana
Situmorang, SH, CN menyatakan bahwa berkaitan dengan penjelasan pasal 48 ayat 1
UU PTPPO orang bahwa mekanisme pengajuan restitusi dilaksanakan sejak korban
melaporkan kasus yang dialaminya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia
setempat dan ditangani oleh penyidik bersamaan dengan penanganan tindak pidana
yang dilakukan. Dalam hal ini pihak kepolisian di Polda Sumatera Utara belum
pernah menyampaikan hak tersebut kepada korban pada saat di BAP, hal ini
disebabkan karena menurut polisi hal ini menjadi kewenangan sepenuhnya oleh
korban untuk meminta ganti kerugian, dan pihak kejaksaan selama ini juga tidak
pernah meminta dimasukan dalam BAP, sehingga permohonan ganti kerugian
tersebut dapat diperoleh saat di pengadilan saja. Pihak kepolisian juga tidak
semuanya paham adanya restitusi yang dapat diperoleh korban TPPO. Tugas Polisi
adalah menangkap pelaku dan memeriksa pihak-pihak yang terkait dalam Berita
Acara Pemeriksaan (BAP). Program kedepan yang akan dilakukan kepolisian Polda
Sumut akan mensosialisasikan tentang pemberian restitusi terhadap korban TPPO
ditingkat Polresta dan Polsek di Sumatera Utara agar pihak kepolisian memasukan
restitusi sejak proses BAP di kepolisian. 130
Kanit I bidang” Perempuan dan Anak” di Kepolisian Daerah Sumatera Utara
Kompol Fransisca Munthe juga mengungkapkan bahwa banyak orang yang tidak

tahun.Terhadap korban tetap tidak diberikan hak restitusi sebagaimana yang diatur dalam UU No 21
tahun 2007.
130
Wawancara dilakukan pada pertemuan rapat kordinasi gugus tugas TPPO, tanggal 2 Juli
2012 di kantor Gubernur Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara

terfikir khususnya aparat penegak hukum untuk memasukan restitusi karena korban
maupun pendamping tidak mengingatkannya kepada penyidik. Selain itu penyidik
juga memiliki rasa kekhawatiran bila apa yang diusulkan dalam BAP ternyata tidak
disetujui oleh jaksa maupun hakim sehingga korban sudah tahu akan menerima ganti
kerugian akan menyebabkan korban menjadi makin tidak percaya dengan instansi
kepolisian. Tidak dipungkiri masih banyak juga polisi yang tidak tahu bunyi pasal ini
sehingga disarankan antara polisi, jaksa, hakim dan pendamping korban dapat samasama bekerjasama dan saling mengingatkan. 131
Pelaksanaan restitusi yang telah diputus di Lampung menurut Direktur LAdA
Dedi Suhendri dan Diah bahwa inisiatif untuk diberikannya hak restitusi di inisiasi
oleh lembaga pendamping bersama pihak kepolisian sehingga restitusi sudah
dimasukan dalam BAP di kepolisian, dan pihak kejaksaan memasukan restitusi pada
proses penuntutan dilakukan, penghitungan biaya kerugian yang diterima oleh korban
dilakukan pendamping bersama pihak kepolisian saat proses penyidikan di
kepolisian. 132
AKP Haruniati, menyatakan bahwa pihak kepolisian Polda Lampung tetap
memantau jalannya proses persidangan kasus TPPO sampai ke pengadilan, sebelum
kasus dilimpahkan ke kejaksaan pihak kepolisian sudah melakukan kordinasi dengan
pihak kejaksaan dan pengadilan. Uang restitusi dititipkan di pengadilan pada saat
131

Wawancara dilakukan di ruang Kanit 1 Perlindungan Perempuan dan Anak yang dulunya
disebut PPA dan sekarang sudah berubah menjadi Renakta (Remaja Anak dan Wanita) di Polda
Sumut, pada tanggal 12 Juni 2012, pukul 11.10 WIB.
132
Wawancara dilakukan melalui komunikasi telepon pada tanggal 5 Mei 2012 , pukul 16.10
WIB.

Universitas Sumatera Utara

kasusnya akan disidangkan di pengadilan . Unit PPA Polda Lampung pada tahun
2008 telah mencoba untuk memohonkan restitusi dalam BAP namun hanya satu
kasus yang disetujui restitusinya oleh majelis hakim pada saat itu yaitu kasus putusan
No :1633/Pid/B/2008/PN.TK. 133
Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia sampai saat ini masih belum
memanfaatkan UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO pasal 1 ayat 13 dan pasal 48
sampai 50, berkenaan dengan tuntutan restitusi berupa ganti kerugian baik atas
kehilangan kekayaan atau penghasilan, penderitaan, biaya untuk tindakan perawatan
medis, dan/atau psikologis dan atau kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat
perdagangan orang.
Sebelum lahirnya UU PTPPO maka pasal yang digunakan untuk menuntut
pelaku TPPO adalah KUHP dan bila korban anak menggunakan UU No 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak namun belum pernah sekalipun terjadi
penggabungan perkara menurut pasal 98 KUHAP untuk memberikan ganti kerugian
terhadap korban, padahal kasus yang memiliki hukuman tertinggi di Indonesia
sebelum lahirnya UU PTPPO adalah di Sumatera Utara dimana pelaku dituntut 13
tahun penjara dan di putus tetap 13 tahun penjara oleh majelis hakim di Pengadilan
Negeri Tebing Tinggi.
Rosihan Juhriah. Rangkuti,SH,MH, seorang hakim yang memutus kasus
Tindak Pidana Perdagangan Orang tertinggi sebelum lahirnya UU PTPPO di Tebing
133

Wawancara dilakukan melalui komunikasi telepon pada tanggal 17 Juli 2012, pukul 13.07
WIB. AKP.Haruniati pada saat menangani kasus yang mendapatkan restitusi di Lampung menjabat
sebagai Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak ( Kanit PPA) di Polda Lampung.

Universitas Sumatera Utara

Tinggi Sumatera Utara menyatakan bahwa tidak ada permintaan pendamping dari
korban juga Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan restitusi menjadi hambatan
mengapa restitusi tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Selain itu pasal yang
ada dalam UU PTPPO mandul pelaksanaannya karena susahnya menghitung biaya
kerugian immateril terhadap korban seharusnya rincian kerugian immateril tersebut
sudah harus dirinci oleh psikolog saat melakukan konseling terhadap korban dan
dimuat dalam BAP. Restitusi merupakan hak bagi korban menurut beliau bahwa hak
itu bisa dilaksanakan bisa tidak baiknya dalam redaksi UU PTPPO dinyatakan hak
tersebut adalah wajib diberikan. Sebenarnya hakim bisa saja memutus dan
mewajibkan tersangka memberikan restitusi karena hakim tidak terikat pada tuntutan
namun hakim terikat pada dakwaan jaksa, karena jaksa merupakan mewakili
kepentingan negara diusulkan tidak diusulkan harusnya penggabungan gugatan
pidana atas ganti kerugian secara perdata juga secara otomatis dalam hukum acara
diperkenankan. Disarankan mekanisme permohonan restitusi itu dimohonkan kepada
majelis hakim baik itu oleh pendamping korban maupun jaksa saat pengadilan agar
hakim dapat memutus dan mewajibkan tersangka memberikan restitusi terhadap
korban. 134
Fitri Sumarni, SH,M.Hum Jaksa di Kejari Medan lebih lanjut mengatakan
bahwa alasan mengapa Penuntut Umum tidak melakukan penggabungan perkara
Pidana dan tuntutan restitusi tersebut disebabkan karena dalam UU PTPPO tidak
dijelaskan sejauhmana peran Jaksa dan bagaimana hubungan antara Jaksa dengan
134

Wawancara dilakukan lewat telepon pada tanggal 17 Juni 2012, pada pukul 10.05 WIB.

Universitas Sumatera Utara

korban dan tidak ada ketegasan kewenangan Jaksa dalam hal mengajukan upaya
hukum. Selain itu kewenangan Jaksa sebagai eksekutor putusan restitusi juga tidak
diatur secara tegas, karena dalam Pasal 50 ayat (3) hanya memberi kewenangan Jaksa
untuk menyita harta kekayaan pelaku setelah ada perintah dari Ketua Pengadilan bila
restitusi tidak dibayar oleh pelaku. Umumnya pelaku yang ditangkap bukan pelaku
utama , namun pihak kedua atau ketiga sehingga harta milik pelaku yang ditangkap
umumnya sulit untuk diketahui kepemilikannya. 135
Sita harta kekayaan terpidana umumnya sulit dilakukan karena pelaku TPPO
sudah tidak memiliki uang maupun harta lagi bisa saja harta yang dimiliki sudah
dipindahtangankan kenama orang lain ataupun dihambur-hamburkan sebelum harta
milik pelaku di eksekusi. Barang bergerak yang akan disita misalnya kendaraan roda
dua atau roda empat bila dieksekusi dan diletakan pada tempat yang kurang baik dan
tidak digunakan maka nilai kendaraan tersebut saat dilelang akan berkurang
nilainya. 136
Teguh Suhendro dari Kejaksaan Agung pada rapat Koordinasi Nasional
Gugus Tugas PTPPO menyatakan bahwa Hak restitusi untuk korban TPPO sangat
sulit dilaksanakan. Hal ini disebabkan pemenuhan hak bagi saksi dan/atau korban
pada tahap penyidikan, tahap penuntutan, dan tahap pelaksanaan putusan.” Pada
tahap penyidikan, kendala yang dihadapi adalah korban enggan mengikuti proses

135

Wawancara dilakukan lewat telepon pada tanggal 2 Juli 2012, Pada pukul 17.20 WIB.
Hal tersebut diungkapkan oleh hakim di Banda Aceh Ainal Mardiah dalam kegiatan
LOKAKARYA UNTUK KEPOLISIAN, KEJAKSAAN DAN LSM ,Menyatukan Pemerintah dan
Masyarakat Sipil utuk Melindungi Indonesia dari Perbudakan Modern, September 2012.
136

Universitas Sumatera Utara

persidangan yang panjang (minimum 3 bulan). Masih adanya perbedaan pendapat
antara polisi dan jaksa terhadap laporan saksi dan/atau korban dalam proses
penyidikan. Kendala lain yang dihadapi oleh Jaksa yaitu tidak adanya barang-barang
bergerak/tidak bergerak yang disita untuk jaminan pemenuhan/pembayaran restitusi.
Saksi dan/atau korban yang melaporkan menjadi tersangka dalam perkara tindak
pidana lain. 137
Jaksa dalam melakukan penuntutan, banyak mengalami kesulitan untuk
menghadirkan saksi, permintaan restitusi tidak di dukung dengan bukti-bukti
pengeluaran dalam hal ini seringkali pelaku tidak membayar dan memilih untuk
tambahan kurungan, sementara tambahan kurungan sebagai pengganti restitusi ini
sangat ringat (maksimum 1 tahun kurungan). Kesulitan yang dihadapi Jaksa adalah
dalam menentukan berapa besaran restitusi yang menjadi hak saksi korban dan
menghadirkan ahli.
Tahap pelaksanaan pada putusan pengadilan, para Jaksa menghadapi kendala
dalam mengeksekusi putusan restitusi untuk saksi dan/atau korban, karena aplikasi
penyitaan barang bergerak maupun tidak bergerak milik terpidana belum ada dasar
hukum untuk penyitaan, lebih dari itu terpidana TPPO seringkali tidak mampu
membayar restitusi dan memilih tambahan penjara kurungan, dimana menurut UU
PTPPO pengalihan hukuman denda restitusi dengan maksimum 1 tahun penjara
137

Disampaikan Teguh Suhendro dari Kejaksaan Agung pada kegiatan Rapat Koordinasi
Nasional Gugus Tugas Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang di adakan di Hotel
Aston,
Bogor
pada
tanggal
7
Juni
2012,
sebagaimana
diberitakan
dalam
http://www.gugustugastrafficking.org. diakses pada tanggal 23 Juni 2012, pukul 13.52 WIB.

Universitas Sumatera Utara

kurungan. Hal ini terjadi karena terpidana umumnya adalah pelaku lapangan dan
bukan pelaku utama atau korporasi.
Mengatasi kendala dalam memenuhi hak bagi saksi dan/atau korban, menurut
Teguh Suhendro, “Perlu menggunakan pendekatan sistemik dalam penegakan hukum,
yaitu melalui pembenahan struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum.”
Pemberian restitusi dan menggabungkan gugatan perkara pidana dan perdata
seharusnya tergantung dari kebijakan pemimpin sidang dalam hal ini hakim bila jaksa
tidak mengajukan pada saat penuntutan maka hakim dapat berinisiatif untuk
melakukannya.

C. Asas-Asas Yang Terdapat Dalam Pelaksanaan Hak Restitusi.
Konteks pemulihan terhadap korban dalam bentuk restitusi terkandung pula
beberapa asas asas hukum sebagai berikut: 138
1. Asas Manfaat
Artinya, perlindungan korban kejahatan tidak hanya ditujukan bagi tercapainya
kemanfaatan (baik materiil maupun spiritual) bagi korban kejahatan, tetapi juga
kemanfaatan bagi masyarakat luas, khususnya dalam upaya mengurangi jumlah
tindak pidana serta menciptakan ketertiban masyarakat.
2. Asas Keadilan
138

Dikdik M. Arief Mansur-Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban KejahatanAntara Norma dan Realita, (Jakarta: PT. RadjaGrafindo Persada, 2007) hal 164.

Universitas Sumatera Utara

Artinya, penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi korban kejahatan tidak
bersifat mutlak karena hal ini dibatasi pula oleh rasa keadilan yang harus juga
diberikan pada pelaku kejahatan.
3. Asas Keseimbangan
Tujuan hukum disamping memberikan kepastian dan perlindungan terhadap
kepentingan manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat
yang terganggu menuju pada kekayaan yang semula (restitution in integrum), asas
keseimbangan memperoleh tempat yang penting dalam upaya pemulihan hak-hak
korban.

4. Asas Kepastian Hukum
Asas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi aparat penegak
hukum pada saat melaksanakan tugasnya dalam upaya memberikan perlindungan
hukum pada korban kejahatan.
UU No 21 tahun 2007 tentang PTPPO pasal 28 menyatakan bahwa
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara TPPO,
dilakukan berdasarkan Hukum Acara Pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain
dalam undang-undang ini. Sehingga dalam proses pemberian restitusi juga menganut
asas-asas hukum acara pidana yang antara lain: 139
1. Asas “Equality Before The Law”
139

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Asas ini merupakan salah satu manifestasi dari negara hukum (rechstaat) sehingga
harus ada perlakuan yang sama bagi setiap orang dihadapan hukum (gelijkheid van
iedeer voor de wet). Dengan demikian, elemen yang melekat mengandung makna
perlindungan yang sama di depan hukum (equal protection on the law) dan
mendapatkan keadilan yang sama di depan hukum (equal justice under the law).
Tegasnya hukum acara pidana tidak mengenal adanya perlakuan yang berbeda
terhadap orang-orang yang terkait dengan peradilan (forum prevelegiatum) baik
sebagai saksi, tersangka maupun korban, sebagaimana ditentukan Pasal 5 ayat (1)
UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan penjelasan umum Pasal 3
KUHAP, dan karena itu pulalah untuk menjaga kewibawaan pengadilan, maka segala
intervensi terhadap peradilan dilarang kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
2. Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi
Asas ganti kerugian dan rehabilitasi mulanya diperuntukkan bagi tersangka atau
terdakwa yang diadili tidak sebagaimana mestinya. 140 Dalam perkembanganya asas
ini dapat diterapkan terhadap saksi dan korban yang dirugikan terhadap suatu tindak
pidana. 141 Asas ini pada pokoknya menghendaki adanya suatu bentuk pemberian
berupa material maupun imaterial kepada orang yang dirugikan di dalam suatu
perkara pidana baik menyangkut kejadian tindak pidana itu sendiri maupun masalah
prosedural pemeriksaan perkara pidana. Ganti rugi dan rehabilitasi ini sangat
140

Pasal 9 UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 95, 96, 97

KUHAP.
141

Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, jo PP No. 3 Tahun 2002
tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia
yang Berat, jo pasal 6, 7 UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Terhadap Saksi dan Korban.

Universitas Sumatera Utara

dibutuhkan bagi saksi dan korban untuk memulihkan atau mengembalikannya kepada
keadaan yang tepat.
3. Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan
Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) UU
Kekuasaan Kehakiman dan penjelasan umum angka 3 huruf e KUHAP. Secara
konkrit, apabila dijabarkan bahwa peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan
dimaksudkan supaya orang-orang yang terkait di dalam peradilan tidak diperlakukan
dan diperiksa sampai berlarut-larut, kemudian memperoleh kepastian prosedural
hukum serta proses administrasi yang ringan serta tidak memboroskan sumber daya
yang ada pada proses pemeriksaan. Kaitannya dengan keberadaan saksi dan korban
adalah agar saksi dan korban diperiksa secara cepat dan sederhana sehingga tidak
membuat mereka menjadi tidak nyaman dan terbebani pada saat memberikan
keterangannya.
4. Asas Bantuan Hukum
Asas bantuan hukum ditegaskan dalam penjelasan umum angka 3 huruf f KUHAP
yang pada intinya mewajibkan pemberian bantuan hukum terhadap setiap orang yang
tersangkut perkara pidana untuk kepentingan pembelaannya, sedangkan asas bantuan
hukum dalam Bab VII Pasal 37 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman menyatakan :
“ setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.” Selain
dasar hukum tentang bantuan hukum seperti di atas, juga terdapat di dalam Pasal 56,
69 s.d 74 KUHAP dan pasal 37 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman yang bersifat
imperatif, serta yurisprudensi Mahkamah Agung RI seperti Putusan No. 510

Universitas Sumatera Utara

k/Pid/1988/ tanggal 28 April 1988 dan Putusan No. 1565 K/Pid/1991 tanggal 16
September 1993. Asas bantuan hukum ini wajib diberikan kepada saksi dan korban,
agar mereka menjadi terang akan hak-hak dan kewajibannya.
5. Asas Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan
Praktik pemeriksaan perkara pidana di depan persidangan dilakukan hakim secara
langsung kepada terdakwa dan saksi-saksi serta dilaksanakan dengan cara lisan dan
bahasa Indonesia. Pemberlakuan asas ini lebih luas, seperti dapat diperiksanya
seseorang secara in absentia atau tanpa hadirnya terdakwa di dalam persidangan.
Kaitannya terhadap saksi dan korban Pelanggaran HAM yang berat adalah
kemungkinannya dalam pemeriksaan tanpa hadir secara langsung di pengadilan yaitu
dapat melalui sarana elektronik, maupun secara tertulis.
Pelaksanaan hak restitusi bagi korban TPPO harus mewujudkan pengamalan
pancasila yang merupakan jiwa, kepribadian dan pandangan hidup bangsa dan dasar
negara Indonesia yang dapat dihayati dengan segenap jiwa raga oleh seluruh pihak
yang terkait khususnya dalam pelaksanaan pelayanan dan pemenuhan hak atas
korban. Semua pihak yang terkait dalam memberikan pelayanan terhadap korban
harus memegang nilai-nilai yang ada dalam Pancasila. 142
Ide dasar Pancasila hendaknya dipahami sebagai nilai-nilai yang tercermin
dari sila-sila dari pancasila seperti mengenai ide-ide paradigma ketuhanan (moral
religius), paradigma kemanusiaan (humanistik), paradigma kebangsaan (persatuan/
nasionalistik),
142

paradigma

kerakyatan/demokrasi,

paradigma

keadilan

sosial.

Arif Gosita, Op.Cit, hal 77-79.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan ide tersebut, menurut Barda Nawawi Arief dapat dikelompokkan dalam
tiga nilai keseimbangan berupa: 143
1. Nilai keseimbangan nilai ketuhanan (moral-religius),
2. Nilai kemanusiaan (humanistik) dan
3. Nilai kemasyarakatan: nasionalistik, demokratik, keadilan sosial.

D. Hambatan Yuridis Dalam Pelaksanaan Hak Restitusi
Salah satu dasar pertimbangan diundangkannya UU No 21 Tahun 2007
tentang PTPPO adalah adanya perlindungan yang diberikan terhadap korban atas
penderitaan dan kerugian baik materil dan atau immaterial sebagai akibat TPPO yang
dilakukan pelaku, selama ini peraturan yang berkaitan dengan perdagangan orang
belum memberikan landasan hukum yang menyeluruh dan terpadu bagi PTPPO.
Penanganan perkara TPPO berlandaskan pada Pasal-pasal dalam UU No 21 Tahun
2007 memberikan perlindungan kepada korban, selain diwujudkan dalam bentuk
dipidananya pelaku, juga diwujudkan dalam bentuk pemenuhan hak atas korban
salah satu hak korban TPPO ialah hak untuk memperoleh restitusi, hak ini diberikan
kepada korban oleh pelaku sebagai bentuk ganti rugi atas penderitaan yang dialami
korban akibat terjadinya TPPO.

143

Barda Nawawi Arief, Pokok-pokok Pikiran (Ide Dasar) Asas-asas Hukum Pidana
Nasional, yang telah di sadur penulis dari tulisan Sapto Budoyo Semarang, 2006.

Universitas Sumatera Utara

Mengacu pada ketentuan Pasal 48-50 UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO
yang mengatur tentang hak korban TPPO berupa restitusi (ganti rugi), memiliki
kelemahan secara yuridis diantaranya: 144
1. UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO tidak diatur secara limitatif mengenai
kewenangan Jaksa dalam melakukan upaya hukum baik dalam tingkat
banding maupun kasasi terhadap putusan pengadilan dalam perkara TPPO
tetapi pasal 28 UU PTPPO menyatakan bahwa “Penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara TPPO, dilakukan
berdasarkan Hukum Acara Pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam
undang-undang ini”. Sehingga KUHAP juga menjadi hukum acara dalam
pelaksanaan UU PTPPO Pasal ini akan merugikan korban dalam memenuhi
haknya dalam memperoleh hak restitusi misalnya dalam hal penggabungan
perkara pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 98-101 KUHAP. Dalam
hal tidak diajukan permintaan banding maka permintaan banding atas putusan
ganti kerugian tidak diperkenankan, dalam hal ini korban akan dirugikan
karena korban harus menerima putusan karena bila terdakwa menyatakan
banding maka secara otomatis perkara perdatanya mengikuti pemeriksaan
banding. Bila tidak maka korban tidak diperkenakan untuk mengajukan
banding atas gugatan ganti kerugian atau restitusi atas putusan yang dianggap

144

Disadur dari tulisan terkait penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang berkaitan
dengan perlindungan hak-hak korban, http://www.kejaksaan.go.id , diakses pada tanggal 2 Juli 2012,
pada pukul 12.40 WIB.

Universitas Sumatera Utara

tidak sesuai dengan beban kerugian yang dialami korban baik materil maupun
immaterial.
2. Penjelasan pasal 48 Ayat (1) menyatakan mekanisme pengajuan restitusi
dilaksanakan sejak korban melaporkan kasus yang dialaminya kepada
Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dan ditangani oleh penyidik
bersamaan dengan penanganan tindak pidana yang dilakukan. Penuntut umum
memberitahukan kepada korban tentang haknya untuk mengajukan restitusi,
selanjutnya penuntut umum menyampaikan jumlah kerugian yang diderita
korban akibat TPPO bersamaan dengan tuntutan. Mekanisme ini tidak
menghilangkan hak korban untuk mengajukan sendiri gugatan atas
kerugiannya. Meskipun Penuntut Umum berwenang mengajukan restitusi,
tetapi mekanisme pelaksanaannya belum diatur dengan jelas oleh peraturan
perundang-undangan: seperti bagaimana menentukan besar kecilnya jumlah
uang restitusi yang diajukan, apakah diperkenankan kalau sudah diajukan
penuntut umum korban dapat mengajukan restitusi sendiri. Ketentuan pasal
yang mengatur tentang mekanisme restitusi ini tidak terletak dalam substansi
pasal hanya dicantumkan dalam pasal penjelasan. Harusnya pasal ini
dimasukan dalam substansi pasal bukan penjelasan, akibatnya Polisi, Jaksa
maupun hakim dapat langsung memahami dan mengintegrasikan ketentuan
pasal ini.
3. Pasal 48 ayat 5 UU PTPPO menyatakan bahwa restitusi dapat dititipkan
terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara diputus artinya bahwa dalam UU

Universitas Sumatera Utara

No 21 Tahun 2007 terdapat peraturan yang kurang mendukung semangat
undang-undang tersebut untuk memberikan perlindungan kepada korban yaitu
ketentuan mengenai penitipan restitusi yang sifatnya sukarela . Sementara
penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa penitipan restitusi dalam bentuk
uang di pengadilan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Ketentuan ini disamakan dengan proses penanganan perkara
perdata dalam konsinyasi., tentang waktu penitipan uang restitusi, dilakukan
sejak tahap penyidikan. Kalimat pasal dapat tersebut menimbulkan arti bahwa
tidak ada kata “wajib” agar restitusi dititipkan di pengadilan terlebih dahulu.
Sebaiknya kata dapat di ubah menjadi wajib. Wajib mengandung makna
ketegasan bahwa perintah undang-undang harus diikuti oleh siapapun tanpa
kecuali, atau dengan kata lain pelaku TPPO wajib menitipkan uang restitusi
pada Pengadilan Negeri setempat. Kata wajib menitipkan uang kalau tidak
diikuti dengan upaya paksa, maka ketentuan itu akan sia-sia saja. Sebab bila
pelaku tetap tidak mau menitipkan uang restitusi ke pengadilan juga tidak ada
sanksi yang akan diberikan pada pelaku. Ini berarti salah satu unsur sistem
hukum yaitu dapat diaplikasinya peraturan tidak dapat terwujud. Tidak
berfungsinya salah satu unsur maka sistem hukum tidak akan berjalan dengan
efektif.
4. Pasal 50 ayat (4) UU No 21 Tahun 2007 dikatakan jika pelaku tidak mampu
membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling
lama 1 (satu) tahun. Hukuman pidana pengganti sudah tepat tetapi dengan

Universitas Sumatera Utara

maksimal 1 (satu) tahun pidana kurungan pengganti dianggap terlalu ringan.
Ketentuan ini seharusnya diubah disesuaikan dengan jumlah kerugian yang
diderita korban. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kecenderunga pihak
pelaku untuk menjalani pidana kurungan dari pada harus membayar uang
restitusi, karena pidana kurungannya tidak lama. Mungkin saja nilai
restitusinya sangat besar dan untuk menghindari itu maka pihak terpidana
akan memilih menjalankan pidana kurungan selama 1 (satu) tahun dan
kewajiban untuk membayar restitusi secara otomatis menjadi gugur. Restitusi
seyogianya tidak dapat diganti dengan pidana kurungan karena bertentangan
dengan semangat UU No 21 Tahun 2007 itu sendiri yang ingin memberi
perlindungan kepada korban dalam bentuk ganti rugi secara finansial. Apabila
pidana pengganti diterapkan, maka korban tidak mendapatkan ganti rugi atau
kompensasi secara materiil dan atau immaterial atas penderitaannya.
5. UU No 21 Tahun 2007 tidak menjelaskan sejauhmana peran Jaksa dan
bagaimana hubungan antara Jaksa dengan korban. Selain itu kewenangan
Jaksa sebagai eksekutor putusan restitusi juga tidak diatur secara tegas, karena
dalam Pasal 50 ayat (3) hanya memberi kewenangan Jaksa untuk menyita
harta kekayaan pelaku setelah ada perintah dari Ketua Pengadilan bila restitusi
tidak dibayar oleh pelaku.
6. UU No 21 Tahun 2007 tidak menetapkan mengenai jangka waktu pengajuan
restitusi dapat dilakukan apakah sesaat setelah terjadinya TPPO sampai berapa
tahun batas waktunya . Ini berbeda dengan beberapa negara yang memiliki

Universitas Sumatera Utara

program restitusi dimana negara-negara tersebut menentukan jangka waktu
pengajuan restitusi. Belanda misalnya menentukan jangka waktu pengajuan
restitusi di kepolisian 3 tahun sejak terjadinya tindak pidana sementara
pengajuan permohonannya tidak ada pembatasan. Lain halnya di Inggris
laporan di kepolisian secepat mungkin sejak terjadinya tindak pidana dan
pengajuan permohonan sejak terjadinya tindak

pidana. Kolombia

ketentuannya 1 tahun sejak terjadinya tindak pidana dan dapat diajukan
permohonan 1 sampai 2 tahun sejak terjadinya tindak pidana. Philipina harus
melapor terlebih dahulu di kepolisian sama halnya dengan Australia namun di
Philipina pengajuannya 6 bulan sejak korban menderita kerugian ataupun
terluka sementara Australia 2 sampai 3 tahun setelah tindak pidana terjadi. 145

145

The Asia Foundation, Directori International Victim Compensation Programs 2004-2005
dalam Naskah Akademis dan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pemberian kompensasi dan
restitusi serta bantuan Saksi dan Korban, ( Jakarta: Indonesia Coruption Watch, 2007), hal 23.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan sebagaimana telah dikemukakan di atas,
maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pengaturan konsep hak restitusi terhadap korban TPPO diatur dalam pasal
1 ayat 13 dan pasal 48 sampai 50 , UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO .
Restitusi yang dimaksud adalah pembayaran ganti kerugian yang
dibebankan

kepada

pelaku

berdasarkan

putusan

pengadilan

yang

berkekuatan hukum yang tetap atas kerugian materiil dan immaterial yang
diderita korban atau ahli warisnya. Restitusi juga diatur dalam UU No 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan UU No 26 tahun
2000 tentang Pengadilan HAM. Ganti kerugian juga diatur dalam peraturan
nasional lainnya namun yang dapat dituntut hanya kerugian materiil saja
yaitu pengaturan yang diatur dalam KUHAP pasal 98 sampai 101 tentang
penggabungan perkara pidana dan perdata. KUH Perdata yaitu pasal 1365
sampai 1380 sebagai ganti kerugian akibat dari wanprestasi dalam sebuah
perikatan.

Universitas Sumatera Utara

2.

Penerapan konsep hak restitusi atas korban TPPO dalam sistem peradilan
pidana di Indonesia belum dilaksanakan sesuai dengan aturan yang ada
dalam UU TPPO hal ini disebabkan beberapa kendala :
a. Pada tahap penyidikan Polisi tidak memasukan restitusi dalam Berita
Acara Pemeriksaan karena tidak semua polisi paham tentang restitusi
sebagaimana yang diatur dalam pasal 48 sampai 50 UU TPPO. Sulitnya
mengumpulkan bukti bukti untuk mengajukan restitusi atas kerugian
material dan immaterial
b. Pada tahap Penuntutan, Jaksa tidak memohonkan restitusi dalam
tuntutannya karena tidak ada mekanisme/ tatacara pengajuan restitusi
pada saat pengajuan tuntutan maupun petunjuk teknisnya serta sulitnya
menghitung kerugian immaterial bagi korban TPPO,selain itu UU
PTPPO tidak menyebutkan atau menentukan jumlah atau besaran
restitusi yang dapat diajukan atau dimintakan korban ke pengadilan ,
selain itu sulitnya mengukur kerugian immaterial bagi korban TPPO.
c. Pada tahap putusan pengadilan hakim sulit memutuskan pelaku harus
memberikan restitusi kepada korban TPPO karena karena harta yang
dimiliki pelaku baik itu barang bergerak/tidak bergerak tidak ada,
sementera UU TPPO membuka peluang pilihan hukuman bila restitusi
tidak dapat diberikan pelaku terhadap korban sehingga pelaku lebih
memilih penambahan hukuman 1 tahun penjara daripada memberikan
restitusi dalam bentuk uang.

Universitas Sumatera Utara

B. SARAN
1. Agar restitusi ini dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan pemerintah
harus segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Mekanisme
dan Tata Cara Pengajuan Restitusi Bagi Korban TPPO. Sepanjang belum ada
ketentuan yang mengatur tata cara menghitung nilai kerugian yang akan
diajukan ke pengadilan , maka penghitungan biaya kerugian dilakukan oleh
korban dibantu oleh psikologi untuk mengetahui sampai sejauhmana trauma
psikologis yang dialami korban, sebagai tolok ukur/standar penilaian atas
kerugian khususnya kerugian immaterial maka dapat dilakukan melalui
formulasi penghitungan kerugian dengan harga emas yang berlaku pada saat
proses hukum peradilan berjalan.
2. Agar penerapan konsep hak restitusi atas korban TPPO dapat berjalan
sebagaimana mestinya maka:
a. Perlu disusun petunjuk pelaksana (Juklak) dan petunjuk teknis (Juknis)
bagi para Polisi dan Jaksa agar ada keseragaman sikap dari para polisi
dan jaksa di daerah dalam menangani perkara TPPO hal ini disarankan
kepada Mabes Polri dan Mahkamah Agung untuk dapat mengeluarkan
Juklak dan Juknis agar para Polisi dan Jaksa diseluruh Indonesia sebagai
pihak yang memperjuangkan hak korban dapat mewujudkan hak korban
untuk memperoleh restitusi atas penderitaan yang dialami korban akibat
terjadinya TPPO.

Universitas Sumatera Utara

b. Pelatihan bagi Aparat penegak hukum perlu dilakukan dalam upaya
pemahaman yang sama baik itu Polisi, Jaksa, Hakim, Pengacara dan
LSM tentang restitusi sebagai bentuk perbaikan atas kerugian yang
diakibatkan oleh Tindak Pidana Perdagangan Orang yang dilakukan oleh
pelaku dan harus dibayarkan kepada korban atau keluarga korban.
c. Bagi hakim agar restitusi dapat diberikan terhadap korban maka
alangkah baiknya penghitungan restitusi dapat dilakukan terlebih dahulu
atas kerugian material dan bila jaksa tidak memasukan restitusi dalam
tuntutan

maka hakim memberi peluang kepada korban agar dapat

mengajukan restitusi atau melalui pendamping korban, bila tersangka
banding maka restitusi diharapkan dapat dititipkan terlebih dahulu di
pengadilan agar tersangka tidak dapat memindahtangankan harta yang
dimilikinya.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

IMPLEMENTASI RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG.

0 0 1

Penerapan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orangdengan eksploitasi anak dibawah umur dengan undang-undang nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.

0 0 1

Pelaksanaan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

0 0 14

Pelaksanaan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

0 0 3

Pelaksanaan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

0 0 35

Pelaksanaan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

0 1 59

Pelaksanaan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

0 0 7

IMPLEMENTASI PEMBERIAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (Studi Pasal 48 Undang-Undang Nomor. 21 Tahun 2007) (Jurnal)

0 0 15

BAB II FAKTOR - FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG - Penerapan Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Kajian Putusan No.1554/Pid.B/20

0 0 40

PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG(Kajian Putusan No.1554Pid.B2012PN.Mdn) SKRIPSI

0 0 11