2.1. Tinjauan Ruko 2.1.1. Defenisi Ruko - Studi Perkembangan Tipologi Rumah Toko di Kota

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini akan membahas mengenai tinjauan pustaka yang mendukung

  pembahasan penelitan ini, antara lain: mengenai ruko dan tipologi yang nantinya akan menjadi landasan dalam studi kasus penelitian ini sendiri.

2.1. Tinjauan Ruko

2.1.1. Defenisi Ruko

  Menurut Wicaksono (2007), Rumah toko atau biasa sering disebut juga dengan Ruko adalah sebutan bagi bangunan-bangunan di Indonesia yang pada umumnya dibuat bertingkat antara dua hingga lima lantai. Lantai bawahnya biasa digunakan sebagai tempat usaha atau kantor, sedangkan lantai atasnya dimanfaatkan sebagai tempat tinggal.

  Istilah ruko diperkirakan berasal dari bahasa Hokkian tiam chu yang berarti “rumah” dan “toko”. Etnis Hokkian mendominasi populasi Cina perantauan di kota-kota asia tenggara sehingga kebiasaan menetap dan berusaha di ruko sering dikaitkan dengan budaya mereka (Kompas, 2004). Dalam bahasa Melayu digunakan istilah kedai yang berarti sembarang ruangan tempat barang dagangan ditumpuk tanpa aturan jelas, tempat dimana sang pemilik atau penjaga toko melewati harinya sebelum etalase atau meja pajang diperkirakan, oleh Lombard dalam (Tambunan, 2013).

  Kehidupan di dalam ruko secara khas mencerminkan manajemen bertahan hidup di tengah kepadatan dan hiruk pikuk perkotaan tanpa teknologi yang rumit.

  Ruko tidak jarang dihuni oleh suatu keluarga besar yang semua anggotanya turut terlibat peran dalam bisnis keluarga tersebut. Lazimnya, sebuah ruko juga memiliki sebuah altar leluhur yang merupakan simbol kehadiran anggota keluarga yang telah tiada. dengan demikian, ruko juga memiliki arti penting sebagai simbol status keluarga yang terus dipelihara dan diturunkan ke generasi berikutnya. kadang juga ruko berfungsi sebagai rumah klan/abu keluarga atau mengemban fungsi sosial sebagai rumah perkumpulan atau organisasi, Sopandi dalam (Kompas, 2004).

2.1.2. Sejarah Ruko

  Pada Umumnya masyarakat Tionghoa dikenal sebagai kaum pedagang, begitu juga dengan masyarakat Tionghoa yang berada di Indonesia. Masyarakat Tionghoa di Indonesia menjalin hubungan yang baik dengan bangsa Eropa, oleh karena itu mereka dipercaya untuk memegang kendali perdagangan. Pada masa kolonial, masyarakat Tionghoa diberi wilayah permukiman yang terpisah dari penguasa dan masyarakat pribumi. Saat itu masyarakat Tionghoa harus menyesuaikan diri dengan regulasi tata kota. Bentrokan antara aturan tata kota dengan konsep rumah yang dibawa oleh masyarakat Tionghoa yang berasal dari Cina Selatan membentuk konsep rumah baru yang telah beradaptasi. Hunian bentuk baru inilah yang disebut sebagai ruko yang merupakan gabungan dari rumah dan toko (Kurniawan, 2010).

  Alain Viaro dalam (Kurniawan, 2010) menyatakan bahwa ruko tidak berasal dari Cina. Ia menyatakan bahwa kemunculan ruko merupakan percampuran arsitektur yang timbul akibat perdagangan disepanjang kota-kota pantai antara Cina dan Asia Tenggara oleh orang Eropa, Cina, serta penduduk setempat. Oleh karena itu ruko tersebar pada hampir semua kota-kota pantai di daerah Cina Selatan sampai Asia Tenggara.

  Menurut Wicaksono (2007) ruko telah dikenal di berbagai belahan dunia sejak zaman dulu. Di Yunani, terdapat pasar-pasar tradisional tempat melakukan transaksi perdagangan yang juga digunakaan sebagai tempat tinggal dan letaknya berdekatan dengan pelabuhan karena Yunani merupakan negara kepulauan.

  Demikian juga di Timur Tengah, telah dikenal bangunan yang berfungsi ganda, sebagai hunian dan tempat usaha. Namun, hunian di Timur Tengah terkesan lebih privat dan memisahkan aktivitas laki-laki dan perempuan.

2.1.3. Perkembangan Ruko di Indonesia

  Sebagai sosok arsitektur di Indonesia, ruko memiliki sejarah panjang dan berperan penting dalam memberi bentuk dan warna terhadap perkembangan kota- kota di Indonesia. Perkembangan ruko di Indonesia dimulai di kota-kota besar. Pada umumnya, ruko-ruko di Indonesia memiliki sejarah perkembangan yang sama dengan ruko Singapura.

  Menurut Lombard dalam Kurniawan (2010) ruko diperkenalkan di Jawa sejak abad ke 17 dengan teknik pembangunan yang menggunakan penggaris khusus dengan panjang 43 cm, Bentuk dasar ruko di Indonesia rata-rata dindingnya dari bata, atapnya terbuat dari genting. Setiap unit memiliki lebar 3 sampai 6 meter, dengan panjang 6 sampai 8 kali lebarnya. Satu deret ruko biasanya terdiri dari belasan unit yang digandeng menjadi satu.

  Kemudian pada akhir abad ke 20, corak ruko semakin bervariasi, namun bentuk dasarnya tidak mengalami banyak perubahan, begitu juga dengan denah ruko. Kini, ruko bisa bertingkat hingga 3 atau 4 lantai memberi kesempatan bagi penghuninya untuk mengembangkan usahanya.

  Semakin berkembangnya suatu kawasan ruko, menyebabkan nilai ekonomis kawasan semakin meningkat. Pembangunan ruko menjadi tidak terkendali, kurang memperhatikan syarat hunian dan non hunian yang bercampur dalam kawasan tersebut yang menyebabkan terbentuknya bangunan yang tidak manusiawi dan menghilangkan identitas lingkungnannya (Harisdani dan Lubis, 2004).

2.1.4. Perkembangan Ruko di Kota Medan

  Di kota Medan, kemunculan ruko timbul akibat perkembangan di bidang perdagangan di awal abad ke-20, khusunya di area pecinan. Ruko pada pecinan ini didesain dengan sistem grid dan terlihat mirip dengan ruko-ruko di wilayah koloni Inggris di Asia Tenggara (Strait Settlement). Ciri-cirinya antara lain, ukiran di atas pintu, dan berbagai jenis jendela di lantai dua. Fasade lantai duanya menjorok ke arah jalan dan memberikan perlindungan bagi pejalan kaki di selasar bawahnya yang juga berfungsi sebagai elemen penyatu ruko satu dengan lainnya. Gaya arsitektur pada ruko-ruko ini merupakan gaya hybrid yang terbentuk melalui kontak penduduk lokal dengan penjajah (Loebis, 2002).

Gambar 2.1 Ruko-Ruko di Kota Medan pada tahun 1920-an (Sumber : tropenmuseum)

2.1.5. Tipologi Ruko

  Ruko sebagai sebuah tipologi arsitektur perkotaan di indonesia sebenarnya memiliki sejarah panjang dan peran yang penting dalam memberi bentuk dan kehidupan kota-kota di indonesia. namun pada perjalanannya, khususnya dalam beberapa dasawarsa terakhir, tipologi ruko tampil dengan citra yang serampangan.

  Bahkan, ruko juga dikambinghitamkan sebagai salah satu penyebab kesemrawutan kota-kota di Indonesia, Sopandi dalam (Kompas, 2004).

  Di pecinan pada kota-kota kolonial , ruko biasanya dibangun di blok kota yang padat dengan gang di belakang dan gang buntu di dua sisi blok (Widodo, 2009). Ruko memiliki bentuk yang sempit dan memanjang. Terkadang teras ruko terhubung dengan teras tetangganya sehingga menciptakan jalan beratap menerus.

  Jalan ini mengikuti tipologi jalan berukuran lima kaki (five foot way) yang terkadang disebut sebagai "kaki lima". Jalan seperti ini dapat ditemukan di kota- kota permukiman selat yang dikembangkan Inggris contohnya di Penang, Malaka dan Singapura.

  Tipikal ruko adalah unit modul hunian berlantai dua yang dibangun di atas tanah berukuran panjang 14 hingga 40 meter dan lebar 3 hingga 5 meter (Widodo,

  2009). Ruko dapat terdiri atas satu atau lebih tipikal modul asal maupun dasar. Selain sebagai hunian, fungsi lain ruko adalah sebagai toko, bengkel, industri rumahan, gudang, hotel, bahkan kuil. Ruko merupakan penyusunan spasial dan memiliki fungsi yang sangat serbaguna dan berkelanjutan.

  Menurut Sopandi dalam (Kompas, 2004), Sejalan dengan perkembangan waktu, tipologi ruko juga mengalami perubahan akibat berubahnya nilai-nilai, teknologi, situasi ekonomi, dan budaya bermukim penghuninya. makna ruang- ruang di dalamnya pun turut berubah seiring berubahnya kebiasaan penghuni, misalnya hadirnya pesawat televisi dan barang-barang elektronik, “simplifikasi” altar leluhur (yang makin lama makin ditinggalkan seiring kelunturan tradisi ritual cina), perubahan fungsi komersial (perubahan layout toko, perubahan bentuk usaha, dan lain-lain). pergeseran makna chimchay juga diakibatkan karena berubahnya standar higienitas terhadap area basah atau kotor (dapur, cuci, dan kakus) sehingga bergeser ke bagian belakang rumah. dengan ini modernitas pun ikut hadir ke dalam ruko.

Gambar 2.2 Tipologi Ruko (Wicaksono, 2007)

2.2. Tinjauan Tipologi

2.2.1. Definisi Tipologi

  Tipologi berasal dari bahasa Yunani yaitu “typos” yang berarti kesan atau karakter. Secara harfiah adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang tipe.

  Menurut Loughlin (1969), tipologi adalah kumpulan dari beberapa bentuk bangunan, ruang atau penggabungan dari keduanya, dalam arti bahwa bagaimana cara membangun suatu hubungan diantara sejumlah objek yang sebanding. Hal inilah yang dapat dikategorikan menjadi sebuah model atau ciri khas. Adanya beberapa karakteristik yang harus diinterpretasi. Sangat cocok digunakan dalam proses desain karena berada di antara ide-ide abstrak dan bentuk yang konkret. Tipologi dalam hal ini lebih menitikberatkan sesuatu yang tradisional daripada yang modern.

  Tipologi adalah studi tentang tipe. Tipe adalah kelompok dari objek yang memiliki ciri khas formal yang sama. Dalam hal ini tipologi merupakan sebuah bidang studi yang mengklasifikasikan, mengkelaskan, mengelompokkan objek dengan persamaan ciri khas dan sifat dasar ke dalam tipe-tipe tertentu dengan cara memilah bentuk keragaman dan kesamaan jenis (Sulistijowati, 1991). Berdasarkan teori tersebut, maka beberapa bangunan dalam suatu lingkungan yang memiliki keunikan yang sama tentunya dapat diidentifikasi memiliki tipologi yang sama.

  Muratory (1910-1973) membedakan tipologi tersebut menjadi 4 tingkatan skala yaitu bangunan, kabupaten, kota dan wilayah. Perincian dan kompleksitas tipe tersebut dapat dibedakan dengan tingkatan. Ada beberapa hal yang dapat diidentifikasi sebagai tipologi, di antaranya: a) Unsur-unsur atau bagian dari desainnya. Misalnya bagian-bagian bangunan, ruang dan lain-lain b) Struktur internal dari unsur-unsur tersebut. Misalnya bagaimana disposisi bangunan dan ruang di lingkungan tersebut c) Hubungan antara bentuk dan fungsi

  d) Material yang terdapat di dalam bangunan tersebut Tipologi adalah ilmu yang mempelajari sesuatu dengan cermat dengan pendekatan dangkal dan bentuk abstrak dalam modernisme. Muratori memiliki maksud eksplisit bahwa metodenya dalam analisa dapat digunakan sebagai dasar untuk desain arsitektur dan perkotaan. Hal ini tercermin dalam kenyataan bahwa ia menggunakan kata “storia operante” (sejarah operasi). Sejarah tidak untuk memuaskan rasa ingin tahu, tetapi juga berguna dalam proses desain .

  Berdasarkan pandangan Muratori, tipologi tidak hanya membahas tentang bangunan tetapi juga tentang dinding, jalan, kebun, pembangunan kota dan segala sesuatu yang menentukan bentuk kota dalam jangka waktu tertentu. Dalam karyanya dan karya-karya yang datang setelah itu, lebih ditekankan pada waktu tertentu dan tempat tertentu. Hal ini dilakukan dengan studi yang cermat dari pengembangan jenis bangunan dalam jaringan perkotaan. Berdasarkan studi ini seseorang mencoba untuk merumuskan pola dasar dari semua jenis, kemudian mencoba untuk merekonstruksi garis perkembangan dari pola dasar ini untuk selanjutnya.

2.2.2. Bentuk, Ruang dan Sirkulasi

a. Bentuk

  Menurut Bacon dalam D.K. Ching (2008), mengatakan bahwa bentuk arsitektural adalah titik sentuh antara massa dan ruang. Bentuk-bentuk arsitektural tekstur, material, madulasi cahaya dan bayangan, warna, semua berkombinasi untuk menghadirkan suatu kualitas atau roh yang mengartikulasikan ruang. Kualitas arsitektur akan akan ditentukan oleh keahlian sang desainer dalam menggunakan dan menghubungkan elemen- elemen ini, baik itu interior maupun eksterior atau di sekeliling bangunan.

  Bentuk adalah sebuah istilah inklusif yang memiliki beberapa makna. Bentuk bisa merujuk pada sebuah penampilan eksternal yang dapat dikenali, seperti kursi atau tubuh manusia yang mendudukinya. Bentuk juga menawarkan rujukan baik pada struktur interior maupun eksterior serta prinsip yang memberikan kesatuan pada keseluruhan. Jika bentuk seringkali menyertakan sebuah massa atau volume yang tiga dimensi, maka bentuk- bentuk dasar lebih terujuk secara khusus pada aspek bentuk yang sangat penting yang mengendalikan penampilannya, konfigurasi atau disposisi relatif garis atau kontur yang menentukan batas sebuah figur atau bentuk (D.K. Ching, 2008).

b. Ruang

  Ruang adalah sesuatu yang dapat terlihat dan teraba, menjadi teraba karena memiliki karakter yang jelas berbeda dengan semua unsur lainnya. Plato (2007) mengatakan bahwa kini, segala sesuatunya harus berwadah, kasat mata, dan teraba, namun tidak ada sesuatupun yang dapat kasat mata tanpa adanya api, tak ada sesuatupun yang dapat teraba bila tak bermassa dan tak ada sesuatupun yang dapat bermassa tanpa adanya unsur tanah. Ruang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia baik secara psikologis emosional (persepsi), maupun dimensional. Manusia berada dalam ruang, bergerak serta menghayati, berfikir dan juga menciptakan ruang untuk menyatakan bentuk dunianya. Secara umum, ruang dibentuk oleh beberapa elemen pembentuk ruang yaitu : 1). Bidang alas atau lantai, merupakan pendukung kegiatan manusia dalam suatu bangunan dan secara struktural harus kuat dan awet. Lantai juga merupakan unsur yang penting didalam sebuah ruang, bentuk, warna, pola dan teksturnya akan menentukan sejauh mana bidang tersebut akan menentukan batas-batas ruang dan berfungsi sebagai dasar dimana secara visual unsur-unsur lain di dalam ruang dapat dilihat. Tekstur dan kepadatan material dibawah kaki juga akan mempengaruhi cara kita berjalan di atas permukaannya. 2). Bidang dinding atau pembatas, yaitu unsur perancangan bidang dinding yang dapat menyatu dengan bidang lantai atau dibuat sebagai bidang yang terpisah. Bidang tersebut bisa sebagai latar belakang yang netral untuk unsur-unsur lain di dalam ruang atau sebagai unsur visual yang aktif didalamnya. Bidang dinding ini dapat juga transparan seperti halnya sebuah sumber cahaya atau suatu pemandangan. 3). Bidang langit-langit atau atap, adalah unsur pelindung utama dari suatu bangunan dan berfungsi untuk melindungi bagian dalam dari pengaruh iklim. Bentuknya ditentukan oleh geometris dan jenis material yang digunakan pada strukturnya serta cara meletakannya dan cara melintasi ruang diatas penyangganya. Secara visual bidang atap merupakan „topi ‟ dari suatu bangunan dan memiliki pengaruh yang kuat terhadap bentuk bangunan dan pembayangan. Jadi, Ruang merupakan bagian ruang di dalam sebuah bangunan dan dipisahkan oleh dinding atau partisi dari ruang-ruang serupa (D.K. Ching, 2008)

c. Sirkulasi

  Menurut D.K. Ching (2008), mengatakan bahwa sirkulasi merupakan pergerakan manusia yang dianggap sebagai elemen penyambung inderawi yang menghubungkan ruang-ruang sebuah bangunan atau serangkaian ruang eksterior atau interior maupun secara bersama-sama. Sebelum benar-benar berjalan memasuki interior suatu bangunan, seseorang mencapai pintu masuknya melalui sebuah jalur. Ini adalah tahap pertama sistem sirkulasi yang ketika tengah menempuh pencapaian tersebut seseorang disiapkan untuk melihat, mengalami dan memanfaatkan ruang-ruang di dalam sebuah bangunan. Proses memasuki sebuah bangunan, ruang di dalam bangunan ataupun area ruang eksterior tertentu akan melibatkan aksi menembus suatu bidang vertikal yang membedakan suatu ruang dari ruang lainnya, serta memisahkan makna “di sini” dan “di sana”. Jalur dapat dikaitkan dengan ruang-ruang yang dihubungkannya melalui beberapa cara berikut :

  1) Melewati Ruang, yaitu Integritas setiap ruang dipertahankan, konfigurasi jalurnya fleksibel dan ruang ruang yang menjadi perantara dapat digunakan untuk menghubungkan jalur dengan ruang-ruangnya.

Gambar 2.3 Sirkulasi Melewati Ruang

  2) Lewat Menembusi Ruang, yaitu jalur dapat melalui sebuah ruang secara aksial, miring atau di sepanjang tepinya dan ketika menembusi ruang, jalur menciptakan pola-pola peristirahatan dan pergerakan di dalamnya.

Gambar 2.4 Sirkulasi Menembusi Ruang

  3) Menghilang di dalam Ruang, yaitu lokasi ruangnya menghasilkan jalurnya dan hubungan jalur jalur ruang ini digunakan untuk mencapai atau memasuki ruang-ruang penting baik secara fungsional maupun simbolis.

Dokumen yang terkait

BAB II PENGOLAHAN KASUS A. Konsep dasar dengan Asuhan Keperawatan dengan Masalah Kebutuhan Dasar Oksigenasi - Asuhan Keperawatan Pada Tn. S dengan Prioritas masalah Kebutuhan Dasar Oksigenasi di RSUD.dr. Pirngadi Medan Tahun 2014

0 1 36

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) - Pengaruh Pelaksanaan PenyuluhanDalam Upaya Meningkatkan Kepatuhan Wajib PajakUntuk Memenuhi Kewajiban Perpajakan Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat

0 0 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Hydraulic Retention Time (HRT) dan pH pada Proses Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) pada Temperatur 45oC

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN - Pengaruh Hydraulic Retention Time (HRT) dan pH pada Proses Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) pada Temperatur 45oC

0 0 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karateristik Visual - Kajian Karakteristik Visual Koridor Jalan K. H. Zainul Arifin Medan

0 2 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Hydraulic Retention Time (HRT) dan pH pada Proses Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) pada Keadaan Ambient

0 0 22

BAB I PENDAHULUAN - Pengaruh Hydraulic Retention Time (HRT) dan pH pada Proses Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) pada Keadaan Ambient

0 0 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ruang Terbuka Publik 2.1.1. Pengertian Ruang Terbuka Publik - Persepsi Masyarakat Kota Terhadap Ruang Terbuka Publik di Kota Tebing Tinggi

1 1 12

Persepsi Masyarakat Kota Terhadap Ruang Terbuka Publik di Kota Tebing Tinggi

0 0 17

BAB II MELIHAT BUKIT, MEMANDANG DANAU - Penataan dan Pengembangan Kawasan Geopark Kaldera Toba (Engagement With Stone)

0 0 32