MUHAMMAD FAQIH MASKUMAMBANG DAN SIKAPNYA TERHADAP PEMIKIRAN MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB.

(1)

MUHAMMAD FAQIH MASKUMAMBANG DAN SIKAPNYA TERHADAP PEMIKIRAN MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1) pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)

Oleh :

Ari Nurhidayaty Ningtyas NIM : A0.22.12.041

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Muhammad Faqih Maskumambang dan Sikapnya Terhadap Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab”. Masalah yang diteliti dalam skripsi ini adalah: 1) bagaimana biografi Muhammad Faqih Maskumambang? 2) bagaimana biografi dan pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab? 3) bagaimana sikap Muhammad Faqih Maskumambang terhadap pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab?

Penulisan skripsi ini disusun dengan menggunakan metode sejarah. Adapun metode penulisan sejarah yang digunakan penulis dengan menggunakan beberapa langkah yaitu heuristik (mengumpulkan arsip-arsip terkait dengan pembahasan yang ditujukan), verifikasi (kritik terhadap data), interpretasi (penafsiran) serta historiografi (penulisan sejarah). Sedangkan pendekatan dan kerangka teori yang digunakan adalah pendekatan historis (mendeskripsikan peristiwa yang terjadi pada masa lampau) dan teori continuity and change (kesinambungan dan perubahan) yang dinyatakan oleh Zamakhsayari Dhofier.

Dari penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil sebagai berikut, (1)

Muhammad Faqih Maskumambang adalah pemangku Pondok Pesantren

Maskumambang pada tahun 1907-1937 M. Beliau anak ke 4 dari pasangan Abdul Jabbar dan Nyai Nursimah. Beliau dilahirkan pada 1857 M dan wafat pada tahun 1937 M diusia 80 tahun. (2) Muhammad bin Abdul Wahhab adalah salah satu tokoh pembaharu Islam. Lahir di Nejed pada tahun 1703 M dan meninggal pada tahun 1793 M. Ayahnya, Abdul Wahhab adalah seorang ulama besar. Beliau terkenal dengan semboyan kembali pada Aquran dan Hadis. (3) Sikap awal dari Muhammad Faqih Maskumambang terhadap pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab adalah menolaknya. Hal ini dikarenakan beliau membaca buku Fajrul Sodiq. Akan tetapi setelah membaca buku Ammar Faqih, akhirnya pemikirannya berubah. Hal ini dibuktikan dengan menunjuk Ammar Faqih yang lebih cenderung kepada paham wahabi sebagai penerus kepemimpinan Pondok Pesantren Maskumambang.


(7)

ABSTRACT

This thesis is entitled "Muhammad Faqih Maskumambang and his Attitude toward Muhammad bin Abdul Wahhab's Ideas". The research problems in this thesis are: 1) what is the biography of Muhammad Faqih Maskumambang? 2) what are the biography and ideas of Muhammad bin Abdul Wahhab? 3) what is the attitude of Muhammad Faqih Maskumambang against thought of Muhammad bin Abdul Wahhab?

This Thesis used historical method with several steps. They are heuristics (collect archives related to the topic), verification (data criticized), interpretation and historiography (historical writing). While the theoretical framework approached to the historical approach (to describe the events that occurred in the past) and the theory of continuity and change (continuity and change) expressed by Zamakhsari Dhofier.

The results of this study are obtained, (1) Muhammad Faqih Maskumambang is a leadher of Islamic boarding house of Makumambang on 1907-1937 M. He is the forth children from Abdul Jabbar and Nyai Nursimah. He was born on 1857 M and pass away on 1937 in 80 years old (2) Muhammad bin Abdul Wahhab is one of Islam reformer. He was born in Nejed on 1703 M an pass away on 1793 M. His father, Abdul Wahhab is a great Islamic theologian. He is noted for motto „back to Alquran and Hadis‟. (3) The initial attitude of Muhammad Faqih Maskumambang toward

Muhammad bin Abdul Wahhab‟s ideas is refusing. This is because he read a book

Fajrul Sodiq. Finally his ideas were changed so. Another changed was to appoint Ammar Faqih as successor to the next leader of Islamic boarding house of Maskumambang due to he understand about Wahabi‟s idea.


(8)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK ... xi

ABSTRACT ... xii

KATA PENGANTAR ... xiii

DAFTAR ISI ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Kegunaan Penelitian ... 7

E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik ... 8

F. Penelitian Terdahulu ... 10

G. Metode Penelitian ... 11

H. Sistematika Bahasan ... 14

BAB II BIOGRAFI MUHAMMAD FAQIH MASKUMAMBANG A.Sekilas Tentang Pondok Pesantren Maskumambang ... 16

B.Riwayat Hidup ... 18

1. Genealogis ... 18

2. Pendidikan ... 20

C.Perjalanan Hidup ... 21

1. Penerus dan Pengasuh Pondok Pesantren Maskumambang Gresik (1907-1937 M) ... 21


(9)

BAB III MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB DAN PEMIKIRANNYA

A. Riwayat Hidup Muhammad bin Abdul Wahhab... 32 B. Latar belakang Pemikiran dan Karya Tulis Muhammad bin Abdul

Wahhab ... 35 C. Pemikiran Pembaharuan Muhammad bin Abdul Wahhab ... 41

BAB IV SIKAP MUHAMMAD FAQIH MASKUMAMBANG TERHADAP PEMIKIRAN MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB

A. Penolakan Muhammad Faqih Maskumambang Terhadap Pemikiran

Muhammad bin Abdul Wahhab ... 47 1. Menerbitkan Kitab Al-Nuṣūṣ al-Islamiyah fī al-Aradi ‘ala

Madhahib al-Wahābiyah ... 51 2. Mendirikan Organisasi Masyarakat NU ... 62

B. Perubahan Sikap Muhammad Faqih Maskumambang Terhadap

Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab ... 66

C. Fase Perubahan Sikap Muhammad Faqih Maskumambang dari NU ke

pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab ... 72

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 74 B. Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(10)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tidak dapat dipungkiri bahwa memang selalu terjadi perubahan dalam setiap kehidupan manusia. Manusia akan terus melakukan perubahan demi masa depan yang lebih baik. Perubahan ini terjadi dalam segala aspek misalnya pendidikan, politik, sosial, ekonomi hingga aspek keagamaan. Perubahan ini disebabkan munculnya persoalan-persoalan baru dari kehidupan manusia yang pada akhirnya akan menciptakan pemikiran-pemikiran baru dari manusia.

Dalam hal keagamaan misalnya, manusia pun melakukan perubahan-perubahan dari masa ke masa. Perubahan-perubahan-perubahan ini biasa disebut dengan istilah pembaharuan. Mulai dari jaman sepeninggal Rasulullah hingga pembaharuan yang terjadi pada saat ini. Banyak dari mereka melakukan pembaharuan dalam bidang teologis dan tidak sedikit dari pemikiran mereka yang pada akhirnya menimbulkan pro-kontra atau bahkan menimbulkan perpecahan dalam tubuh Islam itu sendiri. Padahal Rasulullah pernah bersabda, “Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara.” (HR Muslim).

Dalam hal teologis, banyak pembaharuan yang terjadi. Sebut saja pembaharuan pemikiran Ibnu Taimiyah, Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh,


(11)

2

Rasyid Ridha, Syukri Afandi al-Alusi al-Baghdadi, dan Abdul Qadir at-talmisani. Di Indonesia pun muncul beberapa tokoh pembaharu, misalnya KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Ash-Asyari, Muhammad Faqih Maskumambang, Ammar Faqih Maskumambang hingga Nurcholis Majid. Ada beberapa dari mereka yang memiliki pemikiran hampir sama dan ada pula yang berseberangan antara satu sama lain.

Salah satu contoh tokoh pemikiran pembaharu adalah Muhammad bin Abdul Wahhab. Muhammad bin Abdul Wahhab lahir di kota Uyainah, Nejed, pada tahun 1115 H. Beliau telah mampu menghafal Alquran saat usianya genap 10 tahun. Dari ayahnya, beliau belajar tentang fiqih madzhab Hambali. Beliau juga belajar tentang hadis dan tafsir kepada beberapa guru diberbagai negeri, terutama Madinah Munawarah. Dalam buku karangan Muhammad bin Jamil Zainu ditulis bahwa, Muhammad bin Abdul Wahhab memahami tauhid dari Alquran dan hadis, sehingga beliaupun khawatir terhadap fenomena di negerinya (Nejed) dan negeri lainnya yang telah beliau kunjungi, berupa berbagai kesyirikan, khurafat, dan kebid‟ahan serta pengagungan pada kuburan, yang bertentangan dengan ajaran Islam yang sahih.1

Muhammad bin Abdul Wahhab menjadi terkenal dengan semboyannya yaitu „kembali ke ajaran pokok Alquran dan Assunnah‟. Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab ini kemudian biasa dikenal dengan gerakan wahabi dan pengikutnya disebut wahabiyyah. Sebutan wahabi sendiri sebenarnya pada awal mulanya bukanlah sebutan yang dimunculkan oleh

1

Muhammad bin Jamil Zainu, Ada Apa dengan Wahabi, terj. Agus Ma‟mun (Jakarta: Pustaka


(12)

3

kelompok ini sendiri melainkan ia berasal dari para pengkaji dan sejarawan yang memang sengaja melebelkan istilah ini kepada kelompok ini.2 Orang-orang biasa menyebut istilah Wahabi secara mutlak kepada setiap yang menyelisihi adat dan kebiasaan mereka, atau menyelisihi keyakinan kebid‟ahan mereka, meskipun keyakinan-keyakinan tersebut salah, menyelisihi Alquran dan hadis hadis sahih.3 Sebagaimana diketahui bahwa wahabiyah adalah suatu gerakan pembaharuan yang berorientasi kepada pemurnian ajaran Islam terutama dibidang akidah, banyak mengilhami para pembaharu pemikiran Islam dalam upaya memajukan kehidupan umat Islam. Penegasan Muhammad bin Abdul Wahab akan hak untuk melakukan ijtihad, secara langsung atau tidak dapat berfungsi sebagai kekuatan pembebas yang besar. Dalam kitab Al-Nuṣūṣ al-Islamiyah fī al-Arad „ala Madhahib al -Wahābiyah karangan Muhammad Faqih Maskumambang yang kemudian diterjemahkan menjadi menolak wahabi mengatakan bahwa,

„dalam pandangan mereka (pengikut Muhammad bin abdul Wahhab), umat Islam saat ini tengah berada dalam kesesatan akidah yang amat parah, lantaran selalu mengagungkan para auliya, menziarahi kuburan mereka, dan meminta syafaat dari mereka, serta melakukan hal-hal yang tidak preferensinya dalam kitab suci, maupun ajaran Nabi (melakukan bid‟ah dalam agama).‟4

Sebagaimana dengan pemikiran pembaharu lain, pemikiran

Muhammad bin Abdul Wahhab pun memiliki pro-kontra. Tidak sedikit dari masyarakat yang menentang pemikiran beliau, terlebih lagi para ahli bid‟ah. Dari sini maka mulailah mereka memeranginya, menyebarkan berbagai

2

Muhammad Faqih, Menolak Wahabi, terj. Abdul Aziz Masyhuri (Depok: Sahifa, 2015), 2.

3

Zainu, Ada Apa dengan Wahabi, 4.

4


(13)

4

kedustaan, bahkan bersepakat untuk membunuh beliau agar pemikiran beliau tidak semakin menyebar luas. Akan tetapi hingga akhirnya dakwah tauhid menuai kemenangan yang gemilang di negeri Hijaz dan negeri-negeri Islam lainnya.

Dalam hal ini, Muhammad Faqih Maskumambang memiliki pemahaman yang berbeda dengan pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab. Sikap Muhammad Faqih bisa dilihat dari kitab karangannya yang berjudul Al-Nuṣūṣ al-Islamiyah fī al-Arad „ala Madhahib al-Wahābiyah. Dalam kitab ini Muhammad Faqih Maskumambang memberikan alasan-alasan sikapnya terhadap pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab.

Salah satu pemikiran dari Muhammad bin Abdul Wahhab yang ditolak oleh Muhammad Faqih Maskumambang adalah istighatsah.5 Muhammad bin Abdul Wahhab menjelaskan pendapatnya tentang istighatsah dalam kitab tauhid yang dikarangnya bahwa memohon kepada selain Allah adalah syirik

akbar,6hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Ahqaf ayat 5-6:

ْمَُو ِةَمَيِقْلا ِموَي َِإ ,ُهَل ُ يِجَتْسَي َ نَم ِها ِنوُد ْنِم اْوُعْدَي ن ِ لَضَأ ْنَمَو

َنوُلِفَغ ْمِهِئ اآَعُد نَع

{

5

}

ْمِِ َداَبِعِب اوُناَكَو ًءاآَدْعَأ ْمََُ اوُناَك ُسانلاَرِ ُح اَذِإَو

َنيِرِفَك

{

6

}

“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sesembahan-sesembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa) nya sampai Hari Kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa

5

Istighatsah adalah meminta pertolongan ketika dalam keadaan sulit supaya dibebaskan dari kesulitan itu.

6

Muhammad at-Tamimi, Kitab Tauhid, terj. Muhammad Yusuf Harun (Jakarta: Darul Haq, 2013),


(14)

5

mereka? Dan apabila manusia dikumpulkan (pada Hari Kiamat) niscaya sesembahan-sesembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka.”

Dalam hal ini Muhammad Faqih menolak pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab karena baginya menghukumi syirik akbar kepada pengamal

istighatsah adalah berlebihan. Muhammad Faqih Maskumambang mengutip pendapat Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa pengamal istighatsah hanya sebagai orang yang mengamalkan bid‟ah yang sangat ia larang tetapi tidak sampai mengkafirkan pelakunya. Sekalipun Ibnu Taimiyah juga menyebut pengamal istighatsah dengan sebutan musyrikin, tetapi istilah musyrikin yang dipakai oleh Ibnu Taimiyah tidak sama dengan istilah musyrikin yang dipakai oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, karena yang terakhir ini, ia menganggap darah dan harta mereka halal.7

Selain itu wujud dari sikap penolakan Muhammad Faqih Maskumambang terhadap pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab ditunjukan dengan keikutsertaannya dalam mendirikan organisasi masyarakat Nahdlatul Ulama (NU) yang dimana tujuannya untuk membebaskan masyarakat dari pemahaman yang disebarkan Muhammad bin Abdul Wahhab beserta pengikutnya. Bahkan diorganisasi tersebut beliau menjabat sebagai wakil rais akbar.

Akan tetapi pemikiran Muhammad Faqih Maskumambang sangat bertolak belakang dengan pemikiran anaknya yang bernama Ammar Faqih Maskumambang. Pemikiran Ammar Faqih banyak dipengaruhi oleh

7


(15)

6

Muhammad bin Abdul Wahhab. Hal ini terjadi setelah Ammar Faqih pulang dari Mekkah. Di sana Ammar Faqih banyak menuntut ilmu dari ulama yang sepaham dengan pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab. Pada awal kepulangan Ammar Faqih ke Pondok Pesantren Maskumambang, beliau sering berdikusi dengan ayahnya, Muhammad Faqih Maskumambang. Muhammad Faqih Maskumambang menolak dengan tegas pemikiran Ammar Faqih. Tetapi Ammar Faqih tetap sabar menghadapi sikap ayahnya. Pada akhirnya Muhammad Faqih Maskumambang terketuk hatinya untuk menerima pemikiran Ammar Faqih. Hal ini kemudian dibuktikan dengan menunjuk Ammar Faqih sebagai penerus dan pengasuh Pondok Pesantren Maskumambang.

Untuk lebih jelasnya maka dalam penelitian ini akan dibahas secara mendalam tentang Muhammad Faqih Maskumambang serta sikapnya terhadap pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab.

B. Rumusan Masalah

Sesuai dengan judul mengenai “Muhammad Faqih Maskumambang dan Sikapnya Terhadap Ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab”, maka penulis menetapkan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana biografi Muhammad Faqih Maskumambang?

2. Bagaimana biografi dan pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab?

3. Bagaimana sikap Muhammad Faqih Maskumambang terhadap ajaran


(16)

7

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, adapun tujuan yang ingin penulis sampaikan, antara lain:

1. Mengetahui biografi Muhammad Faqih Maskumambang.

2. Mengetahui biografi dan pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab.

3. Mengetahui sikap Muhammad Faqih Maskumambang terhadap ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab.

D. Kegunaan Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat yang positif pada masyarakat baik dari sisi keilmuan akademik maupun dari sisi praktis: 1. Secara Akademik (Praktis)

a. Hasil dari pada penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi bagi penelitian dibidang kesejarahan.

b. Memberikan sumbangan wacana bagi perkembangan perbendaharaan ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang sejarah.

2. Secara Ilmiah (Teoritis)

a. Bagi penulis, penyusunan penelitian ini digunakan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar S-1 pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

b. Untuk memperkaya kajian sejarah di Indonesia terutama untuk mengetahui pandangan ulama tentang pergerakan keagamaan yang terjadi di Indonesia.


(17)

8

E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik

Untuk mempermudah ilmuan sejarah dalam memecahkan masalah, maka dibutuhkan pendekatan ilmu-ilmu sosial lainnya. Sebagaimana menurut Sartono Kartodirjo, penggambaran kita mengenai suatu peristiwa sangat tergantung pada pendekatan, yaitu dari segi mana kita memandangnya, dimensi mana yang diperhatikan, dan unsur-unsur mana yang diungkapkan, dan lain sebagainya.8

Dalam penulisan skripsi ini pendekatan yang dipakai oleh penulis adalah pendekatan historis, yaitu suatu penelitian yang berusaha untuk merekonstruksikan kejadian masa lalu secara sistematis dan obyektif, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasikan, serta mensistesiskan bukti-bukti untuk menegakkan dan memperoleh kesimpulan.9 Dengan pendekatan historis maka penulis dapat menjelaskan latar belakang sejarah kehidupan Muhammad Faqih Maskumambang, sejarah munculnya pemikiran Muhammad bin abdul Wahhab, beberapa pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab yang ditolak oleh Muhammad Faqih Maskumambang, serta sikap dan usaha yang dilakukan oleh Muhammad Faqih Maskumambang terhadap pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab.

Menurut para ahli untuk mempermudah seorang sejarawan dalam melakukan upaya pengkajian terhadap peristiwa-peristiwa masa lampau maka dibutuhkan teori dan konsep dimana keduanya berfungsi sebagai alat analisis serta sintesis sejarah. Kerangka teoritis maupun konseptual itu sendiri berarti

8

Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama, 1992), 4. 9


(18)

9

metodologi di dalam pengkajian sejarah, dan pokok pangkal metodologi sejarah adalah pendekatan yang dipergunakan.10 Teori adalah kreasi intelektual, penjelasan beberapa fakta yang telah diteliti dan diambil prinsip umumnya.11 Banyak pemikir pembaharuan dalam Islam yang pada akhirnya menjadi pelaku dalam sejarah karena berani menorehkan sesuatu yang dianggap baru meski menimbulkan pro-kontra. Oleh karena itu, maka penulis

memilih menganalisis penelitian dengan judul “Muhammad Faqih

Maskumambang dan Sikapnya Terhadap Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab”.

Adapun kerangka teori yang digunakan dalam penelitian adalah teori

continuity and change. Menurut Zamaksyari Dhofier continuity and change

adalah kesinambungan dan perubahan.12 Dengan teori tersebut penulis akan meneliti tentang hubungan pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab sebagai penggagas pemikiran „kembali kepada Alquran dan hadis‟ dengan pemikiran tokoh pembaharu yang ada di Indonesia. Perubahan akan terjadi ketika ada tokoh pembaharu yang datang membawa pemikiran yang dianggap melenceng dari ajaran yang telah dipercaya sebelumnya. Perubahan yang ada tidak akan serta merta terputus begitu saja dengan pemikiran sebelumnya. Masih ada kesinambungan yang berkelanjutan. Dengan demikian proses kesinambungan dan perubahan (continuity and change) masih tetap terlihat.

10

Dudung Abdurrahman, Metodologi Penelitian Sejarah (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999),

25. 11

Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia

(Bandung: Mizan, 1996), 63.

12

Syamsul Arifin, Pesantren Sebagai Saluran Mobilitas Sosial Suatu Pengantar Penelitian


(19)

10

F. Penelitian Terdahulu

Sejauh penelusuran penulis terhadap skripsi, tesis, maupun buku yang membahas tentang pemikiran Muhammad Faqih Maskumambang memang sudah ada. Namun pembahasan mengenai “Muhammad Faqih Maskumambang dan Sikapnya Terhadap Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab” masih belum ada.

Dalam bentuk skripsi misalkan, skripsi yang ditulis oleh Salimin

dengan judul “Pengaruh Unsur-Unsur Wahabi di Pondok Pesantren

Karangasem Paciran Lamongan” pada tahun 1986.13 Hanya saja dari judulnya sudah tampak begitu berbeda dengan apa yang hendak peneliti tulis. Dalam hal ini peneliti lebih memfokuskan pengaruh unsur-unsur pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab dalam Pondok Karangasem Paciran Lamongan.

Ada pula tesis yang ditulis A.Z. Fanani pada tahun 1996 dengan judul “Ajaran-Ajaran Wahabiyah dalam Pemikiran Ammar Faqih al-Maskumambangi”.14 Tesis ini lebih membahas tentang pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab menurut Ammar Faqih yaitu putra dari Muhammad Faqih Maskumambang sendiri.

Dari beberapa karya ilmiah yang telah diteliti, tidak ada yang membahas tentang sikap Muhammad Faqih Maskumambang terhadap pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab. Sehingga peneliti dalam skripsi

13

Salimin, “Pengaruh Unsur-Unsur Wahabi di Pondok Pesantren Karangasem Paciran

Lamongan”, (Skripsi, Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel, 1986)

14

A.Z.Fanani, “Ajaran-ajaran Wahabiyah dalam Pemikiran Ammar Faqih al-Maskumambangi”, (Tesis, IAIN Sunan Ampel Fakultas Adab, Surabaya, 1996)


(20)

11

ini membahas bagaimana sikap Muhammad Faqih tentang ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab.

G. Metode Penelitian

Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, maka penulis mengunakan metode penulisan sejarah dengan langkah-langkah sebagai berikut:15

1. Heuristik (pengumpulan sumber) adalah proses yang dilakukan oleh peneliti untuk mengumpulkan sumber-sumber, data-data, atau jejak sejarah.16 Metode heuristik merupakan tahap pertama yang dilakukan oleh peneliti. Adapun metode yang ditempuh dalam menghimpun data-data sumber sejarah dalam penulisan ini adalah dengan menggunakan sumber data tertulis baik berupa sumber primer maupun sekunder.

a. Sumber Primer

Sumber primer adalah sumber yang dihasilkan atau ditulis pihak-pihak yang secara langsung terlibat dan atau menjadi saksi mata dalam peristiwa sejarah.17 Sumber primer yang digunakan penulis adalah:

1) Arsip tentang data Muhammad Faqih Maskumambang sebagai

utusan dari Sidayu Gresik untuk Muktamar NU I, II, III.

2) Arsip tentang data Muhammad Faqih Maskumambang sebagai

ketua umum PBNU bagian hukum.

15

Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer (Jakarta: Yayasan Idayu,

1978), 38. 16

Lilik Zulaicha, Metodologi Sejarah I (Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2005),

16.

17


(21)

12

3) Kitab Al-Nuṣūṣ al-Islamiyah fī al-Aradi „ala Madhahib al -Wahābiyah karangan Muhammad Faqih Maskumambang.

4) Kitab Tufat al-Umah fī al-„aqāʼid wa Rad al-Mafāsid karangan Ammar Faqih Maskumambang, anak dari Muhammad Faqih Maskumambang.

5) Wawancara kepada Bapak Marzuki selaku cucu dari Muhammad Faqih Maskumambang.

6) Wawancara kepada Bapak Abdur Rahman sebagai pengajar dan

tokoh masyarakat di lingkungan Pondok Pesantren

Maskumambang.

7) Wawancara kepada Bapak Abdul Aziz Masyhuri selaku

penerjemah dari kitab al-Nuṣūṣ al-Islamiyah fī al-Aradi „ala Madhahib al-Wahābiyah.

8) Kitab Tauhid karangan Muhammad bin Abdul Wahhab.

b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder adalah sumber yang digunakan sebagai pendukung dalam penelitian. Sumber-sumber tersebut didapatkan dari beberapa buku maupun literatur yang berkaitan dengan tema yang penulis bahas, dalam hal ini yang berkaitan dengan sikap Muhammad Faqih Maskumambang terhadap ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab.

1) Buku “Bersikap Adil Kepada Wahabi” dan “Mendamaikan Ahlus Sunnah di Nusantara”, karya A.M Waskito.


(22)

13

2) Buku “Ulasan Tuntas Tentang 3 Prinsip Pokok”, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.

3) Buku “KH Ammar Faqih Maskumambang Sang Pencerah dari Kota Santri”, karya Nuruddin.

2. Verifikasi (kritik) adalah proses seleksi pada sumber-sumber yang telah berhasil dikumpulkan oleh peneliti dengan cara melakukan kritik terhadap sumber tersebut. Kritik sumber dimaksudkan sebagai penggunaan dan penerapan dari sejumlah prinsip-prinsip untuk menilai atau menguji kebenaran nilai-nilai sejarah dalam bentuk aslinya dan menerapkan pengertian sebenarnya. Kritik sumber dibedakan menjadi dua, yaitu kritik intern dan kritik ekstern. Kritik intern yaitu suatu upaya yang dilakukan oleh sejarawan untuk melihat isi sumber tersebut cukup kredibel atau tidak, sedangkan kritik ekstern yaitu kegiatan sejarawan untuk melihat apakah sumber yang didapatkan autentik atau tidak.18

3. Interpretasi (penafsiran) adalah menetapkan makna yang saling

berhubungan atau menafsirkan fakta-fakta sejarah yang telah diperoleh. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar fakta yang ada mampu untuk

mengungkapkan permasalahan yang ada, sehingga diperoleh

pemecahannya. Dalam skripsi ini, setelah penulis menemukan beberapa sumber yang valid, maka selanjutnya penulis melakukan kritik terhadap sumber-sumber tersebut sehingga akhirnya penulis mampu melakukan

18


(23)

14

interpretasi (penafsiran) terhadap alasan sikap Muhammad Faqih Maskumambang menolak pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab. 4. Historiografi (penulisan sejarah) adalah tahap akhir langkah-langkah

penulis sejarah yang menyajikan cerita dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya berdasarkan data yang diperoleh.

Selain itu penelitian ini juga menggunakan metode analisis dan sintetis,19 yaitu suatu penelitian sejarah yang menguraikan faktor-faktor sebab akibat dan segala hal yang menyangkut peristiwa yang terjadi, kemudian mengelompokkan menjadi satu. Selain itu penelitian ini juga menggunakan metode komparatif, yaitu metode yang berusaha untuk menemukan persamaan dan perbedaan tentang benda-benda, tentang orang, peristiwa atau terhadap ide-ide.20

H. Sistematika Pembahasan

Secara umum sistematika pembahasan disusun untuk mempermudah pemahaman terhadap penulisan ini, dimana akan dipaparkan tentang hubungan antara bab demi bab. Untuk lebih jelasnya dibawah ini akan dijelaskan beberapa bab yang akan dibahas:

Bab pertama menjelaskan pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, pendekatan dan kerangka teoritik, penelitian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

19

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Yayasan Benteng Bidaya, 1995), 100-102.

20

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis (Jakarta: Bina Aksara,


(24)

15

Bab kedua menjelaskan tentang riwayat hidup Muhammad Faqih Maskumambang, genealogis, pendidikan, perjalanan hidup beliau sebagai penerus dan pengasuh Pondok Pesantren Maskumambang Gresik, ikut serta sebagai pendiri NU, dan wakil rais akbar NU.

Bab ketiga menjelaskan tentang riwayat hidup Muhammad bin Abdul Wahhab, latar belakang pemikiran dan beberapa karyanya, serta pemikiran pembaharuannya.

Bab keempat menjelaskan sikap penolakan Muhammad Faqih Maskumambang terhadap pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab, serta usahanya seperti menerbitkan kitab Al-Nuṣūṣ al-Islamiyah fī al-Arad „ala Madhahib al-Wahābiyah dan ikut serta dalam mendirikan organisasi masyarakat NU. Selain itu, akan dibahas juga perubahan sikap Muhammad Faqih Maskumambang sebelum akhir hayatnya hingga beliau memilih Ammar Faqih, anaknya yang memiliki paham sama dengan Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai pengganti beliau dalam meneruskan dan menjadi pengasuh di Pondok Pesantren Maskumambang.

Bab kelima berisi tentang kesimpulan-kesimpulan pembahasan dari awal hingga akhir, kritik, dan saran.


(25)

16

BAB II

BIOGRAFI MUHAMMAD FAQIH MASKUMAMBANG

A. Sekilas Tentang Pondok Pesantren Maskumambang

Pondok Pesantren Maskumambang terletak di desa Sembungan Kidul, Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Pondok ini didirikan oleh Abdul Djabbar pada tahun 1859 M. Abdul Djabbar adalah putra pertama dari 3 bersaudara. Adiknya bernama Muniban dan Ngapiani. Ayah beliau bernama Wirosari yang masih memiliki garis keturunan hingga ke Pangeran Pajang atau biasa dikenal dengan sebutan Jaka Tingkir.

Pada tahun 1855 M, Abdul Djabbar bersama dengan istrinya, Nursimah, seorang putri dari Kiai Idris Kebondalem Boureno Bojonegoro, mengembara ke beberapa tempat yang masih berupa hutan rimba, dan pada akhirnya menemukan tempat di daerah Sembungan Kidul, Kecamatan Dukun. Di tempat ini keduanya membuka sebidang tanah lalu mendirikan tempat tinggal yang sederhana untuk ditinggali keluarga.

Setelah berjalan beberapa tahun, akhirnya Abdul Djabbar dan istrinya pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji. Perjalanan yang mereka tempuh kurang lebih selama 2 tahun. Sepulangnya dari Mekkah, mereka mendirikan sebuah langgar (mushola) di sebelah rumahnya dengan tujuan untuk mengajar tetangga dan anak-anak.


(26)

17 Setelah beberapa lama, minat belajar warga sekitar semakin bertambah. Jumlah santri semakin banyak, mereka datang dari luar Desa Sem bungan Kidul. Pada tahun 1859 M, Abdul Djabbar mendirikan sebuah sekolah berbasis pondok pesantren. Pada awalnya pondok ini terdiri dari 3 buah kamar berukuran kecil. Pondok pesantren inilah yang akhirnya diberi nama Pondok Pesantren Maskumambang.

Pada saat awal berdirinya Pondok Pesantren Maskumambang, jumlah santrinya masih sangat sedikit. Mereka terdiri dari anak-anak Abdul Djabbar sendiri dan anak-anak di Kampung Maskumambang. Metode pembelajaran yang digunakan masih sederhana, yaitu metode halaqah dan sorogan. Yang dimaksud dengan metode halaqah ialah penyampaian ajaran Islam melalui kitab kuning yang diajarkan di musola atau masjid.1 Sudah menjadi kebiasaan bahwa pada saat itu memang belum dikenal cara belajar dengan metode madrasah. Saat menuntut ilmu mereka lebih sering dengan metode pengajian dengan duduk melingkar (halaqah). Demikian pula dengan pelajaran yang diajarkan di Pondok Pesantren Maskumambang, awalnya hanya sebatas Alquran dan beberapa dasar ilmu agama Islam.

Jika dilihat dari sisi paham keagamaannya, Pondok Pesantren Maskumambang mengikuti madzab Syafi‟iyah. Hal ini memang sudah menjadi ciri khas dari pesantren yang berada di wilayah Jawa Timur. Amaliyah

1

Mundzier Suparta, Perubahan Orientasi Pondok Pesantren Salafiyah Terhadap Perilaku Keagamaan


(27)

18 keagamaan dan tradisi pesantren pada umumnya dipertahankan dan dipraktikkan di Pesantren Maskumambang. Tradisi ziarah kubur, tahlilan dan haul diterapkan. Amaliyah peribadatan Syafi‟iyah seperti doa qunut subuh, 2 adzan pada solat jumat dan shalawat Nabi menjadi kebiasaan sehari-hari di Pesantren Maskumambang. 2

B. Riwayat Hidup

1. Genealogis

Muhammad Faqih Maskumambang adalah anak ke 4 dari pasangan Abdul Jabbar dan Nyai Nursimah. Beliau lahir sekitar tahun 1857 M di komplek Pesantren Maskumambang di desa Sembungan Kidul, Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Dilihat dari garis keturunannya, Muhammad Faqih Maskumambang masih tergolong darah biru, baik dari ayah ataupun ibunya. Ayahnya, yaitu Abdul Jabbar masih keturunan Sultan Hadiwijaya –atau yang lebih dikenal dengan sebutan Jaka Tingkir– yang nasabnya bersambung hingga ke salah satu walisongo, yaitu Sunan Giri.3 Ibunya, Nyai Nursimah adalah seorang putri dari Kiai Idris, Kebondalem, Bojonegoro. Berikut adalah bagan silsilah garis keturunan Muhammad Faqih Maskumambang yang dikutip dari buku karangan Nuruddin,4

2

Ibid., 123. 3

Muhammad Faqih, Menolak Wahabi, terj. Abdul Aziz Masyhuri (Depok: Sahifa, 2015), xxxiv.

4

Nuruddin, KH. Ammar Faqih Maskumambang Sang Pencerah dari Kota Santri, (Yogyakarta:


(28)

19

Raja Brawijaya

Pangeran Pajang (alias Jaka Tingirr)

Abdul Djabbar I (alias Pangeran Selarong)

Abdullah

Ongkoyudan

Sarimah

Siman

Wirosari ( alias Kudo Lesono)

Kadiyun Kasli Nasik

Abdul Djabbar Muniban Ngapiani

1. Rois

2. Nyai Alimah

3. Abu Dzarrin 4. M. Faqih

5. Atqon

6. Syahid

7. Muhsinah

8. Harun

9. Ahmad Muhtadi

10.Abdullah

1. Ismail

2. Mutmainah

3. Abdul

Qohhar

1. A. Ghofar

2. Masyhadi

3. Abdul Muid 4. Abdul Ghofur


(29)

20 Semasa hidupnya, Muhammad Faqih Maskumambang pernah menikah sebanyak 3 kali. Pernikahan beliau yang pertama dengan Nur Khodijah, putri dari Kiai Muhammad Achyat Kebondalem Surabaya. Dari pernikahannya yang pertama, beliau memiliki 9 anak yaitu Abdullah, Abdul Hamid, Moh Hasan, Ammar, Atqon, Mochtar, Nyai Solichah, Yahya, Ahmad Zayadi dan Jabal Rahmat. Pernikahan kedua beliau dengan putri bernama Fatimah. Bersama Fatimah, beliau tidak memiliki keturunan. Sedangkan pernikahan ketiga beliau adalah dengan seseorang bernama Sribanun. Dalam pernikahan ini beliau dikaruniai 5 orang anak. Mereka yaitu Djamilah, Abdul Mughni, Ghonimah, Muwaffaq, dan Husnul Aqib Suminto.

2. Pendidikan

Sejak kecil Muhammad Faqih Maskumambang sudah terbiasa belajar sendiri dengan ayahnya, Abdul Djabbar. Beliau banyak mempelajari ilmu agama kepada ayahnya. Ayah beliau terkenal sebagai pendiri sekaligus pengasuh pesantren Maskumambang. Dijelaskan dalam buku karya Nuruddin bahwa,5

„Sebelum meninggal dunia, sang ayah telah mewasiatkan kepada putra-putrinya agar kelak yang menjadi pemangku dan penerus perjuangannya adalah Muhammad Faqih Maskumambang. Oleh

karena itu setelah menginjak remaja, Muhammad Faqih

Maskumambang kemudian dipersilahkan oleh ayahnya untuk mendalami ilmu agama pada Kiai Ahmad Soleh, Pengasuh Pondok Pesantren Langitan di Tuban, Jawa Timur, yang saat itu terkenal dengan ilmu fiqhnya. Pada saat nyantri ke Kiai ahmad Soleh,

5


(30)

21 Muhammad Faqih Maskumambang dibekali Alquran tulisan tangan ayahnya.‟

Setelah 3 tahun menimba ilmu di Pondok Pesantren Langitan, Muhammad Faqih Maskumambang melanjutkan belajarnya ke Pondok Pesantren Kebondalem Surabaya. Sepulang dari Surabaya beliau kembali menuntut ilmu ke Pondok Pesantren Ngelom Sepanjang di Sidoarjo. Lalu berlanjut ke pondok pesantren yang diasuh oleh Kiai Sholeh Tsani yaitu Pondok Pesantren Qomaruddin Bungah Gresik.

Selesai mendalami ilmu di daerah Jawa, Muhammad Faqih Maskumambang menunaikan ibadah haji sambil belajar di Makkah selama 3 tahun. Kemudian kembali pulang ke Maskumambang dan membantu ayahnya untuk mengajar di Pondok Pesantren Maskumambang Dukun Gresik.

C. Perjalanan Hidup

1. Penerus dan Pengasuh Pondok Pesantren Maskumambang Gresik

Pada tahun 1900 M, diusianya yang ke 43 tahun, Muhammad Faqih Maskumambang mulai memfokuskan dirinya untuk mengajar di Pondok Pesantren Maskumambang milik ayahnya. Sejak tahun 1907 M, Muhammad Faqih Maskumambang mulai memusatkan perhatiannya untuk mengasuh Pesantren Maskumambang dengan dibantu oleh saudara-saudaranya dan didukung oleh masyarakat sekitar.6

6


(31)

22 Letak Pondok Pesantren Maskumambang yang berdekatan dengan pusat perdagangan, Sidayu, membuat banyak santri yang pada akhirnya mondok di Pondok Pesantren Maskumambang. Sidayu saat itu menjadi pusat perdagangan yang kebanyakan para pedagangnya datang dari pulau Madura, Kalimantan, Sumatra, Surabaya, Tuban, Lamongan, dan daerah lainnya. Selain itu Sidayu juga menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Gresik. Selain itu pada masa kepemimpinan Muhammad Faqih Maskumambang, Pondok Pesantren Maskumambang mengalami banyak perkembangan, baik dari segi fisik maupun sistem belajar mengajarnya.

Bentuk fisik Pondok Pesantren Maskumambang mengalami banyak perubahan, terutama jumlah bangunan yang digunakan sebagai asrama para santri. Hal ini dikarenakan jumlah santri yang semakin bertambah banyak. Perubahan juga terjadi dalam sistem pengajarannya. Sitem pengejarannya tidak hanya menggunakan sistem halaqah, tapi sudah menggunakan sistem

bandongan, wetonan dan sorogan.7

Pada saat kepemimpinan Muhammad Faqih Maskumambang, Pondok Pesantren Maskumambang mengalami masa puncak kejayaannya. Pada saat itu Pondok Pesantren Maskumambang mengalami kemajuan yang sangat pesat. Dennis Lombard menyebutkan bahwa pesantren ini pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20 sangat terkenal di Pulau Jawa, bahkan di Nusantara.8

7

Ibid., 128.

8


(32)

23

Hal ini dikarenakan kharisma kepemimpinan Muhammad Faqih

Maskumambang dan juga letak pondok yang tidak jauh dari pusat pemerintahan di Sidayu. Ketenaran Pondok Makumambang disebabkan antara lain oleh kealiman dan pemikiran-pemikiran brilian beliau yang dituangkan dalam buku-buku yang dipelajari di pesantren-pesantren.9

Dari beberapa pemikiran Muhammad Faqih Maskumambang yang dituangkan kedalam buku adalah Al-Manẓūmāt al-Daliyah fī ʼawāʼil al -ʼashhur al-qamarīyah. Buku ini berisi tentang pemikiran Muhammad Faqih Maskumambang dalam ilmu falak (astronomi), terlebih dalam mengetahui permulaan tanggal disetiap nulan Qomariyyah. Karya ini adalah sebuah karya yang menjadi pegangan kaum Ahlus Sunnah wal Jama‟ah yang bermadzab Syafi‟i yang ada dalam tradisi Nahdlatul Ulama (NU).10

Selain kitab tersebut, ada satu kitab yang beredar dimasyarakat yang

mencantumkan nama Muhammad Faqih Maskumambang sebagai

pengarangnya. Kitab tersebut berjudulAl-Nuṣūṣ al-Islamiyah fī al-Aradi „ala Madhahib al-Wahābiyah yang kemudian diterjemahkan oleh Abdul Aziz menjadi Menolak Wahabi. Dalam buku ini menjelaskan tentang apa itu wahabi, penyimpangan sekte wahabi mulai dari Ibnu Taimiyah sampai Abdul Qadir at-Tilmisani termasuk di dalamnya membahas pula bagaimana pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab.

9

Suparta, Perubahan Orientasi, 125.

10


(33)

24 Pada masa kepemimpinan Muhammad Faqih Maskumambang banyak santri yang pada akhirnya menjadi orang-orang besar, sebagaimana dijelaskan dalam buku karangan Mundzier Suparta, mereka diantaranya adalah:

a. Kiai Faqih Usman yang pernah menjadi ketua Muhammadiyah Surabaya pada tahun 1938, ketua PP Muhammadiyah pada tahun 1948-1942, dan menjadi Menteri Agama RI ke-5 pada Kabinet Abdul Halim/Kabinet RI di Yogyakarta. Beliau belajar di pondok Pesantren Maskumambang pada tahun 1918-1922.

b. Kiai Abdul Hadi, yang menjadi pemangku Pondok Pesantren Langitan tuban yang ke-4. Saat di Pondok Pesantren Maskumambang beliau secara khusus mempelajari Ilmu Falak. Beliau menjadi santri di Pondok Pesantren Maskumambang pada tahun 1930.11

c. Kiai Wahid Hasyim, beliau menjadi santri pada tahun 1914-1935. Pada tahun 1945 beliau menjabat sebagai Menteri Negara pada Kabinet Soekarno, Kabinet Syahrir 3 pada tahun 1946-1947, Menteri Agama Pertama RIS pada tahun 1949, Menteri Agama Kabinet Natsir pada tahun 1950-1951, Menteri Agama Kabinet Sukiman pada tahun 1951-1952, dan menjadi pemangku Pesantren Tebuireng Jombang pada tahun 1947.

d. Kiai Ma‟sum bin Ali, beliau menjadi seorang ahli hisab yang terkenal di Indonesia sekaligus menjadi pendiri Pesantren Seblak di kota Jombang

11

Masyudi, „Kyai Haji Muhammad Faqih Maskumambang Sebagai Guru Kyai Haji Abdul Hadi

Langitan Dalam Ilmu Astronomi‟ dalam Dukut Imam Widodo dkk, Grissee Tempo Doeloe (Gresik:


(34)

25 setelah beliau menikah dengan putri Kiai Hasyim Asy‟ari yang bernama Nyai Khoiriyah.

e. Kiai Fattah Yasin, beliau pernah menjadi Menteri Penghubung Alim Ulama Indonesia.

Dalam hal ibadah keseharian, Pondok Pesantren Maskumambang tetap menggunakan pemahaman fiqih dan syariat Islam yang tidak berbeda dengan masa kepemimpinan Kiai Abdul Jabbar. Mereka tetap mengikuti mazhab Syafi‟iyah. Tradisi peribadatanpun tetap dilestarikan seperti tradisi ziarah ke makam wali dan orang-orang keramat, tahlilan dihari pertama hingga hari ketujuh, hari ke-40, hari ke-100, dan hari ke-1000 kematian seseorang, mengadakan perayaan meninggalnya ulama (haul), doa qunut, penggunaan bedug sebagai tanda masuknya waktu shalat, jumlah shalat terawih sebanyak 23 rakaat, menentukan awal bulan dengan rukyat, seruan (bacaan solawat) sebelum adzan subuh, solawat diantara 2 khutbah jumat, dan masih banyak tradisi yang dikerjakan pada masa kepemimpinan Muhammad Faqih Maskumambang.

2. Ketua Taswirul Afkar dan Pendiri NU

Pada masa Muhammad Faqih Maskumambang menjadi pemangku Pondok Pesantren Maskumambang, saat itu mulai banyak bermunculan organisasi-organisasi masyarakat dan partai-partai Islam. Hingga pada saat itu


(35)

26 beliaupun ikut memiliki peran dalam beberapa organisasi yang ada di masyarakat. Salah satunya adalah Taswirul Afkar dan Nahdlatul Ulama (NU). Pada bulan Oktober 1918 M, berdirilah sebuah organisasi masyarakat bernama Taswirul Afkar atas gagasan Wahhab Hasbullah. Tujuan didirikannya organisasi ini adalah untuk menjadi petunjuk perihal keislaman yang sejati dan senantiasa memantapkan ajaran Ahlus Sunnah Wal Jamaah

pada umat Islam yang masih dalam kegelapan dan terbebas dari pengaruh golongan yang sesat. Selain itu sebab lain didirikannya Taswirul Afkar adalah adanya kondisi masyarakat pribumi yang mengalami keterpurukan terutama kaum santri yang direndahkan oleh penjajah dan dari kalangan priyayi dari bangsa sendiri.12

Pada tahun 1924 M, saat diadakannya kongres tahunan, 6 tahun berdirinya Taswirul Afkar, Muhammad Faqih Maskumambang terpilih sebagai ketua I dan merangkap jabatan sebagai Dewan Penasehat Taswirul Afkar bersama Hasyim Asy‟ari dari Jombang.13

Pada tahun 1935 M, Muhammad Faqih Maskumambang meninggalkan jabatannya di Taswirul Afkar dan kemudian kedudukannya digantikan oleh Chamim Syahid.

Pada tahun 1926, lahirlah organisasi masyarakat Nahdlatul Ulama di kota Surabaya. Organisasi ini dibentuk oleh beberapa ulama/Kiai yang memiliki pengaruh di wilayah Jawa Timur pada saat itu. Para Kiai yang hadir

12

Arina Wulandari, “K.H. Abdul Wahhab Hasbullah; Pemikiran dan Peranannya dalam Taswirul

Afkar (1914-1926 M)”, (Skripsi, Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel, 2016), 42.

13


(36)

27 dalam di sana secara aklamasi memilih Hasyim Asy‟ari sebagai Rais Akbar

Nahdlatul Ulama dan Muhammad Faqih Maskumambang sebagai wakilnya.14

Setelah keduanya mendapat jabatan tersebut, beliau berdua semakin terlihat akrab karena memang pernah bersama dalam perjuangan mencari ilmu di Makkah bahkan beliau berdua memiliki guru yang sama. Selain itu keakraban ini juga semakin bertambah karena didukung oleh pertalian keluarga. Ma‟sum bin Ali yang masih memiliki hubungan kerabat keluarga dengan Pesantren Maskumambang menikah dengan putri Hasyim asy‟ari yang bernama Khairiyah.

Saat usia Muhammad Faqih Maskumambang mencapai 69 tahun, beliau tetap menjadi salah satu rujukan Kiai-Kiai di Jawa Timur sebelum dan sesudah didirikannya NU.15 Beliau sering sekali berdiskusi dengan Kiai-Kiai Jawa Timur tentang hukum Islam, salah satunya adalah diskusi beliau dengan Hasyim Asy‟ari menyangkut hukum penggunaan kentongan dan beduk dalam menentukan masuknya waktu shalat. Dalam masalah ini keduanya memiliki pendapat yang berbeda. Pada awalnya Hasyim Asy‟ari menulis artikel yang kemudian dimuat dalam majalah Suara Nahdlatul Ulama. Hasyim Asy‟ari beragumen bahwa kentongan tidak disebutkan dalam hadist Nabi Muhammad SAW, sehingga penggunaanya diharamkan dan tidak boleh menggunakannya sebagai penanda masuknya waktu solat wajib.

14

Faqih, Menolak Wahabi, xi.

15


(37)

28 Sebulan setelah itu, Muhammad Faqih Maskumambang membalas artikel Hasyim Asy‟ari dengan penjelasan bahwa dalam masalah tersebut adalah masalah qiyas atau kesimpulan yang didasarkan atas prinsip yang sudah ada. Menurut Muhammad Faqih Maskumambang, kentongan yang ada di Asia Tenggara sudah memenuhi syarat untuk digunakan penanda masuknya waktu solat wajib.

Dengan adanya kejadian ini tak lantas membuat keduanya berseteru. Kedua pemimpin pondok pesantren ini saling menghargai pendapat masing-masing. Hal ini dibuktikan dengan saling toleransi diantara mereka sehingga saat Hasyim Asy‟ari mengunjungi Pondok Pesantren Maskumambang maka Muhammad Faqih Maskumambang memerintahkan kepada seluruh santrinya untuk menyembunyikan kentongan yang ada diseluruh masjid. Begitu pula saat Muhammad Faqih Maskumambang berkunjung ke Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, maka Hasyim Asy‟ari memerintahkan santrinya untuk menggunakan kentongan sebagai pertanda masuknya waktu sholat.

Bukti lain yang menunjukkan peran Muhammad Faqih

Maskumambnag dalam organisasi NU termuat dalam arsip dengan judul Catatan Singkat Muktamar I, II, dan III yang tersimpan di Museum NU Surabaya. Arsip ini menjelaskan bahwa pada tanggal17-19 September 1926 terjadi Muktamar NU yang pertama di Hotel Muslimin. Muktamar ini diselenggarakan 8 bulan setelah didirikannya NU.


(38)

29 Setahun setelahnya terjadilah Muktamar NU yang kedua bertempat di Hotel Muslimin Surabaya. Muktamar ini berlangsung selama 3 hari, pada malam ke-4 kembali mengadakan rapat umum guna menyampaikan hasil keputusan muktamar di Masjid Agung Ampel Surabaya. Rapat ini dihadiri 18.000 orang yang terdiri dari utusan ulama, pengusaha, wakil-wakil buruh dan tani, tamu undangan, penghulu, wakil pemerintah setempat dan tidak ketinggalan pula hadir wakil-wakil perhimpunan. Dari 146 orang utusan ulama yang datang dari 36 daerah, salah satunya adalah Muhammad Faqih Maskumambang. Beliau saat itu menjadi pemimpin utusan dari Sidayu (Gresik) bersama dengan Abdul Hamid.

Pada September 1928 terjadi muktamar NU yang ketiga bertempat di Hotel Muslimin Surabaya. Muktamar ini dihadiri oleh 260 utusan ulama dari 35 daerah. Jumlah ini tidak termasuk daerah-daerah kecil di sekitar Jawa Timur. Disini Muhammad Faqih Maskumambang kembali menjadi pemimpin utusan dari Sidayu Gresik bersama Abdul Hamid.

Dalam arsip yang lain masih dalam koleksi Museum NU juga disebutkan dengan judul Introeksi Pertama Pengoeroes Besar Nahdlatoel Oelama. Dalam arsip ini menjelaskan tentang isi beberapa surat dari pengurus besar NU yang diperuntukkan pengurus cabang NU. Di dalamnya di jelaskan tugas ketua dan anggota, kwajiban anggota, pemberhentian anggota, tabligh


(39)

30 dengan memakai amplop terbuka, dan seruan untuk membaca Qunut nazilah. Di lampiran terakhir tertulis susunan pengurus besar NU, salah satunya dijelaskan posisi Muhammad Faqih Maskumambang sebagai ketua muda PBNU bagian hukum.

Menurut penuturan cucu Muhammad Faqih Maskumambang, Marzuki, Muhammad Faqih Maskumambang tidak pernah ingin disebut sebagai NU karena arti dari NU sendiri merupakan kebangkitan ulama. Bagi Muhammad Faqih Maskumambang ulama adalah orang yang benar-benar memiliki tanggung jawab yang tinggi dimasyarakat. Akan tetapi Muhammad Faqih Maskumambang lebih senang disebut sebagai Ahlus Sunnah Wal Jamaah.16 Sedangkan menurut Abdur Rahman, Muhammad Faqih Maskumambang memang pernah menjadi salah satu pengurus di NU, akan tetapi tidak diketahui pasti beliau menduduki jabatan apa diorganisasi tersebut.17

Pada tahun 1937 M, Muhammad Faqih Maskumambang meninggal dunia dalam usia 80 tahun. Beliau meninggalkan Pondok Pesantren Maskumambang dengan tetap mempertahankan metode belajar secara tradisional dan berfaham Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Pada periode selanjutnya Pondok Pesantren Maskumambang diasuh oleh putra yang ke 5 yaitu Ammar Faqih Maskumambang.

16

Marzuki, Wawancara, Pondok Maskumambang Gresik, 21 Mei 2016.

17


(40)

31 Menurut penuturan cucu beliau yang bernama Marzuki, Muhammad Faqih Maskumambang meninggal dunia dalam keadaan tangan telunjuk kanannya lurus, seperti orang sholat yang sedang tasyahud.18

18


(41)

32

BAB III

MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB DAN PEMIKIRANNYA

A. Riwayat Hidup Muhammad bin Abdul Wahhab

Al-Imam asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Rasyid bin Buraid bin Muhammad bin Musrif bin Ummar bin Mu’dhad bin Rais bin Zakhir bin Muhammad bin Alwi bin

Wuhaib bin Qosim bin Musa bin Mas’ud bin Uqbah bin Sani’ bin Nahsyal bin Syaddad bin Zuhair bin Syihab bin Rabi’ah bin Abu Suud bin Malik bin

Hanzhalah bin Malik bin Zaid bin Manah Ibni Tamim bin Mur bin Ad bin Thabikhah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Ad’nan1 atau yang biasa kita kenal dengan sebutan Muhammad bin Abdul Wahhab adalah salah seorang dari keterunan Bani Tamim. Beliau juga memiliki nama lain yaitu Syaikh Muhammad at-Tamimi. Beliau merupakan pembaharu di Arabia, pengikut paham Taimiyah dan bermazhab Hambali.2

Muhammad bin Abdul Wahhab lahir di negeri al-‘Uyainah, Nejed, pada tahun 1115 H / 1703 M. Ayah beliau adalah seorang ulama besar dan kakeknya, Sulaiman adalah alim negeri Nejed pada zamannya.3 Adapun ibu beliau adalah Bintu Muhammad bin Azaz al-Musyarrofi al-Wuhaibi at-Tamimi. Nasab Muhammad bin Abdul Wahhab bertemu dengan nasab

1

Sofyan Chalid bin Idham Ruray, Salafi Antara Tuduhan dan Kenyataan (Bandung: Toobagus

Publishing, 2012), 29. 2

M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), 58. 3

Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Ulasan Tuntas tentang 3 Prinsip Pokok, terj. Zainal Abidin


(42)

33

Rasulullah pada Ilyas bin Mudhar, terus sampai kepada Nabi Ismail dan Nabi Ibrahim.4

Saat menginjak usia 10 tahun, Muhammad bin Abdul Wahhab telah mampu menghafal Alquran, selain itu beliau juga mempelajari ilmu fiqih sampai mendalam kepada ayah dan paman beliau sampai beliau menjadi sangat matang dan menguasainya. Kedua orang tua beliau sangat mengagumi kekuatan hafalannya. Beliau adalah salah seorang yang gemar menuntut ilmu. Membaca kitab-kitab tafsir, hadis dan ushul adalah salah satu kebiasaan yang beliau lakukan baik disiang maupun malam hari. Tidak berhenti sampai disitu, beliau juga mampu menghafal berbagai macam matan (semacam rumusan) ilmiah dalam berbagai bidang ilmu. Salah satu matan yang beliau hafal dalam bahasa Arab adalah Matan Alfiyyah Ibni Malik. Saat belajar dengan ayah dan pamannya, beliau telah membaca kitab-kitab besar dalam mazhab Hambali seperti Asy-Syarhul Kabir, Al-Mughni dan Al-Inshof. Pada masa itu pula beliau banyak membaca kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya al-Allahmah Ibnu Qoyyim rahimahumallah.5

Kegemaran Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap aktifitas menuntut ilmu, mengharuskan beliau untuk mengembara ke berbagai daerah, diantaranya Nejed, Makkah, Madinah, Basrah hingga ke Baghdad. Perjalanan pertama beliau dimulai dari wilayah Najed dan Makkah. Beliau berguru pada para ulamanya secara langsung. Diantara mereka adalah al-Allamah asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim asy-Syammari. Beliau juga berguru kepada putra

4

Ruray, Salafi Antara Tuduhan dan Kenyataan, 29.

5


(43)

34

Syaikh Abdullah bin Ibrahim yang terkenal sebagai ahli ilmu Faraidh fi Syarh Alfiyah al-Fara’idh.6Dari kedua ulama inilah Muhammad bin abdul Wahhab kemudian diperkenalkan kepada seorang ulama ahli hadis yang terkenal yaitu asy-Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi. Kepadanya, Muhammad bin Abdul Wahhab belajar mengenai hadis dan rijal (periwayat hadis) hingga beliau di beri ijazah (semacam rekomendasi) karena telah selesai mempelajari kitab-kitab induk hadis.

Dalam buku Salafi Antara Tuduhan dan Kenyataan dijelaskan bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab mendapat ijazah dari asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim asy-Syaikh Syammari,

‘Asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim asy-Syaikh Syammari juga memberikan ijazah periwayatan Shahih Bukhari dan syarahnya,

Shahih Muslim dan syarahnya, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasai, Sunan Abu Daud, Sunan Ibnu Majah, beberapa karya ad-Darimi,

Musnad asy-Syafi’i, Muwattha’ Malik dan Musnad Ahmad, dengan sanad bersambung sampai kepada penulisnya.’7

Asy-Syaikh Ali Afandi ad-Dagistani dan asy-Syaikh Abdul Latif al-Ahsai juga pernah memberikan ijazah yang sama dalam periwayatan hadis kepada Muhammad bin Abdul Wahhab. Hal ini menunjukkan kesungguh-sungguhan beliau dalam menuntut ilmu, bahkan beliau meninggalkan tanah kelahirannya demi untuk belajar dari para ulama kaum muslimin.

Perjalanan Muhammad bin Abdul Wahhab terus berlangsung. Setelah belajar dengan asy-Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi, beliau meneruskan ke Basrah selama 4 tahun, kemudian ke Baghdad 5 tahun dan di sinilah beliau

6

Al-Utsaimin, Ulasan Tuntas tentang 3 Prinsip Pokok, 1.

7


(44)

35

memperoleh seorang istri yang kaya raya.8 Sesaat setelah istrinya meninggal, beliau kembali melanjutkan perjalanan untuk menuntut ilmunya ke wilayah Kurdisan. Beliau hanya menetap selama satu tahun di wilayah tersebut. Setelah itu beliau kembali melakukan perjalanan di Hamadan dan menetap disana selama 2 tahun dan pernah pula berkunjung ke Isfahan, Qum (Iran).

Muhammad bin Abdul Wahhab meninggal pada 29 Syawal 1206 H (1793M). Beliau meninggal dalam usia 91 tahun. Makam beliau terdapat di

Dar’iyah (Najed).

B. Latar Belakang Pemikiran dan Karya Tulis Muhammad bin Abdul Wahhab

Jika melihat dari perjalanan hidup Muhammad bin Abdul Wahhab saat menuntut ilmu ke berbagai negeri, tentulah kita tahu bahwa beliau termasuk orang dengan aktifitas-aktifitas yang luar biasa. Dari perjalanan beliau dalam menuntut ilmu, ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh. Selain memperoleh khazanah ilmu yang begitu luas, beliau juga memperoleh pengalaman yang luar biasa disetiap wilayah yang pernah disinggahi. Beliau dapat menyaksikan secara langsung gejala-gejala sosial keagamaan yang berkembang di daerah tersebut. Gejala-gejala sosial keagamaan tersebut diantaranya adalah kesyirikan, khurafat, kebid’ahan, hingga pengagungan kepada kuburan yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Beliau pernah mendengar para wanita di negerinya menjadikan pohon kurma sebagai

wasilah (perantara), seraya berkata, “Wahai pohon kurma, saya ingin menikah

8


(45)

36

sebelum tahun ini sirna!”9

Pengagungan terhadap kuburan tidak hanya sebatas kuburan para ulama atau guru tarekat, melainkan juga pengagungan kepada kuburan para sahabat, ahlul bait dan juga kuburan Nabi Muhammad SAW. Mereka memiliki alasan bahwa pengagungan terhadap kuburan termasuk dari rasa cinta mereka kepada orang-orang soleh. Padahal seharusnya wujud cinta ditunjukan dengan cara mengikuti jejak mereka, bukan menjadikan mereka sebagai wasilah antara mereka dengan Allah. Pengaruh tarekat yang berkembang pada saat itu menjadikan permohonan dan doa tidak lagi

langsung dimintakan dan dipanjatkan kepada Allah, tetapi melalui syafa’at

syaikh atau guru tarekat yang dipandang dekat dengan Allah.10

Fenomena lain yang terjadi di lingkungan masyarakat pada saat itu adalah masalah taqlid. Hal ini juga menjadi perhatian Muhammad bin Abdul Wahhab karena taqlid merupakan sumber kebekuan ummat Islam sendiri. Banyak dari kalangan masyarakat yang tidak berijtihad menggali hukum dari permasalahan yang ada. Masyarakat lebih suka bertaqlid. Padahal untuk memahai ajaran yang terkandung dalam Alquran dan hadis, maka setiap orang harus melakukan ijtihad.

Berangkat dari fenomena-fenomena inilah Muhammad bin Abdul Wahhab memulai dakwahnya, menyeru kepada kaum muslimin mengenai perkara tauhid dan berdoa hanya kepada Allah semata. Dari sinilah kemudian

beliau terkenal dengan semboyannya yaitu ‘kembali ke ajaran pokok Alquran dan Assunnah’.

9

Muhammad bin Jamil Zainu, Ada Apa dengan Wahabi, terj. Agus Ma’mun (Jakarta: Pustaka

at-Tazkia, 2011), 10. 10


(46)

37

Pada tahun 1740 M, Muhammad bin Abdul Wahhab mulai menyebarkan idenya, menyeru kepada masyarakat untuk kembali kepada Alquran dan hadis, memurnikan ajaran agama Islam dan membersihkan paham yang menyesatkan. Sebagaimana dakwah yang telah terjadi pada masa-masa sebelumnya, setiap ada seseorang yang membawa perubahan, tentunya akan ada pula beberapa orang yang tidak menyukainya, memusuhi, bahkan menindas. Begitu pula yang dialami oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, sehingga membuatnya harus pindah kepemukiman Amir Saudi, di sebelah Utara Riyadh di desa ad-Dariyah.

Dalam buku Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Islam yang ditulis oleh Yusran Asmuni dijelaskan bahwa,

‘Muhammad bin Abdul Wahhab yang dibantu oleh Amir Dar’iyah

pada tahun 1802 M, menyerang Karbala, karena di kota ini terdapat kuburan al-Husain, yang merupakan kiblat bagi golongan Syi’ah dan menjadi pujaannya, kemudian menyerang Madinah untuk menguasai kota itu dan menghancurkan kubah yang ada di atas kuburan-kuburan, terus ke Mekkah untuk menghancurkan Kiswah sutera yang menutupi

Ka’bah.’11

Dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab semakin berkembang pesat di wilayah kekuasaan Turki Ustmani pada saat itu, hal ini tentunya membuat cemas pemerintah kerajaan Ustmani. Salah usaha pemerintah kerajaan Ustmani untuk menghadang dakwah beliau adalah dengan cara mengerahkan ulama-ulamanya untuk menulis buku-buku sebagai propaganda untuk menjelek-jelekkan ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab. Mereka memberikan julukan Wahabi kepada semua pengikut ajaran beliau. Sehingga

11


(47)

38

ketika mendengar kata wahabi maka akan timbul kebencian dan ketakutan terhadap ajaran beliau. Hal ini membuat salah satu pengikut ajaran

Muhammad bin Abdul Wahhab yaitu Ibnu Sa’ud menjadi tawanan dan

menerima hukuman mati, secara otomatis gerakan wahabisme untuk sementara dihapus.

Pada awal abad 20 di bawah pimpinan Abdul Aziz Ibnu Sa’ud, ajaran

Muhammad bin Abdul Wahhab kembali bangkit. Pada bulan September 1932 M, Abdul Aziz ibnu Sa’ud memproklamasikan dirinya sebagai raja kerajaan Saudi Arabia. Beliau dikenal sebagai pemimpin yang cerdas, pandangannya luas tentang pemerintahan, sehingga pemerintahannya berjalan dengan baik dan mencapai kemajuan yang sangat pesat. Perkembangan ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab yang pada mulanya hanya pemurnian ajaran Islam, akhirnya menjadi gerakan pembaharuan dalam Islam.

Dalam menjalankan misi dakwahnya, Muhammad bin Abdul Wahhab juga mengarang beberapa buku diantaranya yang paling terkenal adalahKitāb al-Tauḥid Aladhī ḥaqāllah ‘ala al-‘abīd, Masāʼil al-Jāhiliyyah al-Latī Khālafa

Fīhā Rasūlallah Mā ‘alaihi ʼahlu al-Jāhiliyyah, Al-uṣūl al-Thalathah, Kashif

al-shubhāt, dan Kitāb Al-Kabāʼir. Dari buku-buku yang beliau karang, sudah

banyak yang disarah dan di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Pertama adalah Kitāb al-Tauḥid Aladhī ḥaqāllah ‘ala al-‘abīd yang dalam terjemahannya menjadi Kitab Tauhid; Pemurnian Ibadah Kepada Allah menjelaskan tentang hakikat tauhid dan penerapannya dalam kehidupan seorang Muslim. Dijelaskan dalam pembukaan buku tersebut bahwa,


(48)

39

‘Dalam Bab 1, penulis menjelaskan hakikat tauhid dan kedudukannya;

dalam Bab 2 dan 3 menerangkan keistimewaan tauhid dan pahala yang diperoleh darinya; dalam Bab 4 mengingatkan agar takut terhadap perbuatan yang bertentangan dengan tauhid serta membatalkannya (syirik akbar) atau perbuatan yang mengurangi kesempurnaan tauhid (syirik ashghar); dalam Bab 5 menjelaskan kewajiban berdakwah

kepada tauhid dan syahadat “La ilaha Illallah”.’12

Dalam buku ini, disetiap babnya, penulis menyebutkan ayat-ayat dalam Alquran dan hadis-hadis serta pendapat ulama salaf; dan setelah itu dijabarkan dengan menyebutkan permasalahan-permasalahan penting yang terkandung dan tersirat dari dalil-dalil tersebut.

Kedua adalah Masāʼil al-Jāhiliyyah al-Latī Khālafa Fīhā Rasūlallah

Mā ‘alaihi ʼahlu al-Jāhiliyyah yang dalam terjemahannya berarti Seratus

Keyakinan Jahiliyah yang Ditentang Nabi Muhammad SAW. Dalam buku ini dijelaskan tentang seratus macam kebiasaan yang dianggap biasa dalam masyarakat akan tetapi sangat dibenci oleh Nabi Muhammad SAW. Salah satu diantaranya adalah kebiasaan berdoa (tawasul) kepada orang-orang soleh yang telah meninggal dunia, menjalankan adat kebiasaan dari nenek moyang tanpa dalil yang shohih, dan masih banyak lagi. Dalam buku ini penulis menuliskan dalil-dalil shohih dari Alquran dan hadis yang banyak tidak diketahui oleh masyarakat untuk meluruskan pemahaman yang telah berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Ketiga adalah Al-uṣūl al-Thalathah. Kitab ini telah disarah oleh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dan diberi judul Ulasan Tuntas tentang 3 Prinsip Pokok. Buku ini menjelaskan tentang 3 landasan utama manusia dalam

12

Muhammad at-Tamimi, Kitab Tauhid, terj. Muhammad Yusuf Harun (Jakarta: Darul Haq,


(49)

40

beragama yaitu mengenal siapa Rabb (Tuhannya), apa agamanya dan siapa Nabinya. Disini disertakan pula ayat-ayat yang memperkuat dalil tentang penjelasan tersebut. Bahkan beliau juga memberikan contoh aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat.

Keempat adalah Kitāb Kashif al-Shubhāt. Dalam sarah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin buku ini berjudul Tauhid vs Syirik Terjemah Kitab

Syarah Kashif al-Shubhāt, Menyingkap Kerancuan dalam Memahami Tauhid

dan Syirik. Secara umum buku kecil ini didiktekan kepada para pengikutnya agar mereka memahami sifat-sifat kaum musyrikin dan sifat-sifat kaum muslimin menurut versinya sendiri.13 Beliau juga menjelaskan bahwa pada era saat ini kaum muslimin yang mengamalkan tabarruk, tawasul, dan sejenisnya maka dianggap sama dengan kaum musyrikin pada era Nabi Muhammad SAW.

Kelima adalahKitāb Al-Kabāʼir. Dalam sarah Adz-Dzahabi yang telah diterjemahkan, buku ini berjudul Dosa-Dosa Besar. Buku ini membahas tentang 70 dosa besar yang biasa dilakukan diantaranya seperti syirik, sihir,

membunuh orang tanpa alasan yang dibenarkan syara’, memakan harta anak

yatim, memakan riba, lari dari medan pertempuran, dan menuduh berzina pada perempuan-perempuan mu’min.

Tentunya selain buku yang disebutkan di atas, masih banyak buku-buku karangan Muhammad bin Abdul Wahhab dan artikel-artikel yang telah beliau tulis.

13

Pejuang Ahlussunnah, “Biografi Lengkap asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (dari

Lahir - Wafat)”, dalam


(50)

41

C. Pemikiran Pembaharuan Muhammad bin Abdul Wahhab

Awal munculnya pemikiran pembaharuan Muhammad bin Abdul Wahhab adalah ketika beliau mulai cemas melihat fenomena keagamaan yang terjadi di masyarakat yang banyak melenceng dari ajaran Alquran dan Hadis terlebih di wilayah yang telah disinggahi beliau selama beliau menuntut ilmu di berbagai negeri. Beberapa fenomena keagamaan yang terjadi adalah

kesyirikan, khurafat dan bid’ah. Begitu pula tentang sikap mereka dalam

mengkultuskan kubur, yang mana hal ini sangat bertentangan dengan ajaran agama Islam. Di Madinah, beliau mendengar permohonan tolong (istighosah) kepada Rasulullah, serta berdoa (memohon) kepada selain Allah, yang sesungguhnya bertentangan dengan Alquran dan sabda Rasulullah.14

Pemikiran yang dikemukakan Muhammad bin Abdul Wahhab adalah upaya memperbaiki kedudukan umat Islam terhadap paham tauhid yang terdapat dikalangan umat Islam saat itu.15 Karena pada saat itu paham tauhid masyarakat sudah banyak tercampuri dengan paham ajaran-ajaran tarekat yang mulai tersebar di dunia Islam sejak abad ke-13.

Mengutip dari buku Bersikap Adil Kepada Wahabi yang menjelaskan beberapa prinsip dasar yang digunakan Muhammad bin Abdul Wahhab dalam menjalankan misi dakwahnya. Pertama, al-Ilmu (menghidupkan ilmu-ilmu keislaman). Seperti telah diketahui bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab menggunakan metode dakwah sesuai yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad

14

Muhammad bin Jamil Zainu, Jalan Golongan yang Selamat, terj. Ainul Haris Umar Arifin

(Jakarta: Darul Haq, 2014), 63. 15

Zafirint, “Tentang Pemikiran Muhammad bin Abd Al-Wahhab”, dalam https://zafirint.wordpress.com/tentang-pemikiran-muhammad-bin-abd-al-wahhab/ (27 Mei 2016)


(51)

42

SAW. Sebagaimana Nabi Muhammad dan para ulama selalu meletakkan asas ilmu sebagai pondasi dakwahnya. Hal ini dapat dibuktikan dalam kitab karangan beliau yang berjudul Al-uṣūl al-Thalathah. Di halaman 13 beliau menuliskan, ilmu adalah mengetahui secara pasti terhadap sesuatu sesuai hakikatnya.16 Aplikasi dari pemikiran ini adalah dengan menyelenggarakan

halaqah ilmu, majelis taklim, daurah, menyelenggarakan madarah diniyah,

mendirikan universitas Islam, menulis risalah, dan lain sebagainya.

Kedua, at-Tauhid (memurnikan tauhid dan memberantas

kemusyrikan). Sebagaimana pada awal muncul gagasan untuk berdakwah adalah karena melihat keprihatinan kondisi masyarakat yang mengalami kerusakan moral dan kehancuran akhlak, maka Muhammad bin Abdul Wahhab menjadikan sikap memurnikan tauhid dan memberantas kemusyrikan sebagai prisip dakwah beliau. Prinsip ini juga beliau tulis dalam buku yang berjudul Kitāb al-Tauḥid aladhī ḥaqāllah ‘ala al-‘abīd. Kedua buku ini lantas menjadi karangan beliau yang paling dikenal di masyarakat. Kebiasaan masyarakat yang suka mengibadahi kuburan, meminta pertolongan para ahli kubur, memakai jimat dan mantra, serta mendatangi dukun Muhammad bin Abdul Wahhab merasa prihatin. Hingga pada akhirnya beliau memulai dakwahnya dengan menempuh jihad fi sabillah. Sikap beliau yang seperti itu lantas mengundang celaan, permusuhan, dan kebencian dari musuh-musuhnya. Akan tetapi pada akhirnya hasil dari itu semua adalah pulihnya

16


(52)

43

peradaban tauhid dan bersihnya wilayah Kerajaan Saudi dari praktik kemusyrikan.

Ketiga, as-Sunnah (menghidupkan sunnah dan memberantas bid’ah). Selain gencar dalam memerangi kemusyrikan, Muhammad bin Abdul Wahhab juga giat dalam memberantas amalan-amalan bid’ah. Karena menurut

pandangan beliau, bid’ah dapat mengantarkan pelakunya pada kekufuran,

misalnya seperti mengibadahi kuburan, meminta pertolongan (istighatsah) kepada arwah orang soleh, jin, malaikat, percaya kepada ramalan-ramalan, dukun dan tukang sihir. Sedangkan dalam amalan sunnah terlihat dari sikap Muhammad bin Abdul Wahhab seperti memakai gamis putih, memakai penutup kepala, memakai celana yang panjangnya di atas mata kaki, memanjangkan jenggot, dan lain sebagainya.

Keempat, at-Tasfiyah (pemurnian khazanah ilmu-ilmu keislaman).

Tafsiyah yang dimaksud disini ialah membersihkan khazanah kitab-kitab keislaman dari pengaruh hadis-hadis palsu dan munkar, hadis lemah, kisah Israiliyyat, ajaran-ajaran khurafat, filsafat-filsafat Yunani dan materialisme, dan lain-lain.17 Secara umum, Muhammad bin Abdul Wahhab menggunakan dalil-dalil yang kuat, hal ini dimaksudkan untuk menghindari aneka intepretasi dan perdebatan.

Kelima, ad-Dakwah (menyebarkan ajaran agama Islam). Sebagaimana yang Muhammad bin Abdul Wahhab tulis sendiri dalam kitabnya Al-uṣūl al-Thalathah, mengatakan, bahwa Allah mewajibkan kita mempelajari ilmu,

17


(53)

44

mendakwahkan ilmu dan bersabar di atas jalan itu. Beliau mengambil dalil dalam surat al-ashar yang memerintahkan kepada setiap Muslim untuk beriman, beramal soleh, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.

Keenam, amar makruf nahi munkar (menganjurkan kebaikan dan mencegah kemunkaran). Muhammad bin Abdul Wahhab secara intens menyampaikan dakwah kepada keluarga dan kerabat dekatnya. Selain itu beliau juga mencegah kemunkaran dengan tangannya, misalnya dengan menghentikan praktik kemusyrikan, membongkar kuburan yang diibadahi manusia, dan membersihkan kampung-kampung dari ritual dan simbol kemunkaran.

Ketujuh, taht biqus syariah (menegakkan hukum Allah dalam pemerintahan dan masyarakat). Strategi dakwah yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap keluarga Ibnu Saud di Arab memberikan keuntungan yang besar. Akibat dari kerjasama antar kedua pihak memberikan dampak yang luar biasa. Pertama, kerjasama ini berhasil melindungi, mendukung, dan menguatkan dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab. Kedua, kerjasama ini berhasil mendesak Raja Muhammad bin Saud, perintis kerajaan Saudi, untuk melaksanakan syariat Islam dalam pemerintahannya.18

Kedelapan, al-Ijtihad (membuka pintu-pintu ijtihad untuk menjawab masalah-masalah kontemporer umat). Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya telah membuka pintu ijtihad, selama sesuai dengan kaidah

18


(54)

45

syariat Islam. Bukti konkrit dari prinsip ini adalah dengan adanya Dewan Fatwa Saudi yang bertugas untuk menyampaikan fatwa-fatwa yang didalamnya sarat bermuatan unsur ijtihad.

Kesembilan, jihad fi sabilillah (membela agama Allah dan negeri-negeri Muslim dengan kekuatan senjata). Dalam perjuangan dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab terdapat 3 fase dalam berjihad. Pertama, jihad yang betujuan untuk memenangkan dakwah dan memberantas kemusyrikan. Kedua, jihad untuk melindungi tempat dakwah beliau. Pada saat itu dakwah beliau berada di Arab (Kerajaan Saudi). Ketiga, jihad untuk menolong negeri-negeri Muslim lain yang sedang dalam incaran pemerintahan kafir. Sebagai contoh dari prinsip dakwah ini adalah adanya dukungan politik Arab Saudi untuk kemerdekaan negara-negara Muslim dari tangan penjajah, termasuk kemerdekaan Indonesia dari Jepang dan Belanda.

Kesepuluh, at-Tazkiyah (mensucikan jiwa). Tazkiyah merupakan tindakan mensucikan jiwa dari segala hal yang mengotorinya. Aplikasi

tazkiyah dalam dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab terlihat dari gerakan dakwah beliau dengan membersihkan keyakinan dari kemusyrikan,

meninggalkan amalan bid’ah, membiasakan dengan amalan sunnah, mencintai ahlul bait Rasulullah, dan lain sebagainya. Bahkan beliaupun pernah menulis buku dengan judul Sirah Nabawi sebagai bentuk kecintaan beliau kepada Rasulullah.

Pada abad ke-19 pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab yang berpengaruh terhadap pemikiran pembaharuan adalah hanya Alquran dan


(55)

46

hadis yang merupakan sumber asli ajaran Islam, taklid kepada ulama tidak dibenarkan, dan pintu ijtihad senantiasa terbuka. Muhammad bin Abdul Wahhab termasuk orang sangat aktif dalam mewujudkan pemikirannya. Hal ini membuat beliau mendapat julukan rajul ad-da’wah (pejuang dakwah). karena keaktifannya ini membuat pemikirannya tersebar luas dan pengikutnya yang semakin bertambah. Pada tahun 1773 M pengikut pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab menjadi mayoritas di Riyadh.

Dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab memiliki ciri yang khas sejak awal kemunculannya pada abad ke 18 hingga abad 21 ini. Dakwahnya bersikap terus terang, tegas dalam memegang prinsip dan tidak kompromi terhadap penyimpangan. Keadaan yang terkesan kaku ini pada akhirnya menimbulkan konflik internal maupun eksternal, akan tetapi keadaan ini juga mampu mengubah keadaan masyarakat, bahkan tatanan politik. Sebagai buktinya adalah kenyataan di Saudi, Afghanistan di bawah Thaliban, di Aljazair ketika kekuatan FIS mendominasi, di Yaman, Pakistan, serta Sudan. Di negara-negara ini, dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab memiliki pengaruh yang nyata.19

19


(56)

47

BAB IV

SIKAP MUHAMMAD FAQIH MASKUMAMBANG TERHADAP PEMIKIRAN MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB

A. Penolakan Muhammad Faqih Maskumambang Terhadap Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab

Sejak sepeninggal Nabi Muhammad SAW sudah banyak terjadi pembaharuan di negeri-negeri Islam, tidak terkecuali dalam hal teologis. Sebut saja pembaharuan pemikiran Ibnu Taimiyah, Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Syukri Afandi al-Alusi al-Baghdadi, dan Abdul Qadir at-Talmisani. Di Indonesia pun muncul beberapa tokoh pembaharu, misalnya KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Ash-Asyari, Wahhab Hasbullah, Muhammad Faqih Maskumambang, Ammar Faqih Maskumambang hingga Nurcholis Majid. Ada beberapa dari mereka yang memiliki pemikiran hampir sama dan ada pula yang berseberangan antara satu sama lain.

Pada abad ke 12 H, muncullah nama seorang tokoh yang membawa perubahan dalam hal teologis. Muhammad bin Abdul Wahhab, seorang tokoh dari negeri Najed yang membawa perubahan cukup besar di negara Arab hingga saat ini. Inti dari dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab adalah kembali kepada Alquran dan Hadis. Dakwah beliau dimulai saat beliau mulai mengalami keresahan saat melihat gejala-gejala sosial keagamaan yang terjadi dalam masyarakat dimana dari beberapa wilayah yang beliau singgahi baik ketika beliau


(57)

48 sedang menuntut ilmu maupun saat hanya sekedar singgah, beliau banyak melihat penyimpangan yang dilakukan oleh masyarakat diantaranya adalah syirik, pengagungan kuburan, khurafat, dan bid’ah. Bahkan penggagungan kuburan tidak hanya sebatas mengagungkan kuburan orang soleh, kuburan para ulama atau guru tarekat, melainkan juga pengagungan kepada kuburan para sahabat, ahlul bait dan juga kuburan Nabi Muhammad SAW. Bagi mereka, melakukan hal tersebut adalah salah satu bentuk rasa cinta mereka kepada orang-orang soleh. Pengaruh tarekat yang berkembang saat itu sedikit banyak juga memiliki andil terhadap adanya gejala-gejala sosial keagamaan yang terjadi. Pada saat itu mereka menjadikan permohonan dan doa tidak lagi langsung dimintakan dan dipanjatkan kepada Allah, tetapi melalui syafa’at syaikh atau guru tarekat yang dipandang dekat dengan Allah.

Dari sini Muhammad bin Abdul Wahhab mulai melakukan gerakan-gerakan sebagai bentuk keseriusan beliau dalam berdakwah memerangi kebiasaan syirik, kurafat, dan tahayul. Beliau memulai dakwahnya dengan menghancurkan kuburan yang biasa diagungkan oleh masyarakat. Kota pertama yang diserang

adalah Karbala dengan dibantu Amir Dar’iyah. Dimana di kota tersebut terdapat kuburan Husain yang menjadi kiblat kaum Syi’ah. Dakwah beliau mengalami

perkembangan yang sangat pesat di wilayah Turki. Hingga pada abad ke 20 H di

bawah pimpinan Abdul Aziz Ibnu Sa’ud, ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab


(58)

49 Sebagaimana dengan pemikiran pembaharu lain, pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab pun memiliki pro-kontra. Tidak sedikit dari masyarakat yang menentang pemikiran beliau, terlebih lagi para ahli bid’ah. Tidak sedikit dari mereka yang ingin membunuh Muhammad bin Abdul Wahhab agar dakwahnya tidak semakin menyebar luas. Akan tetapi usaha mereka mengalami kegagalan. Dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab semakin berkembang pesat karena adanya dukungan dari pemerintahan Arab dan beberapa pemikiran beliau menjadi peraturan dari negeri Arab. Sepeninggal Muhammad bin Abdul Wahhab dakwah tentang tauhid tetap berjalan dan semakin tersebar luas keseluruh penjuru dunia tidak terkecuali Indonesia.

Di Indonesia pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab juga mempengaruhi beberapa tokoh masyarakat yang kemudian membawa perubahan hingga saat ini. Sebut saja pemikiran Ahmad Dahlan yang kemudian beliau mendirikan organisasi masyarakat bernama Muhammadiyah, selain itu berdiri pula organisasi masyarakat yang lain seperti al-Irsyad dan Persatuan Islam (Persis). Tiga organisasi masyarakat ini memiliki paham yang sama yaitu kembali kepada Alquran dan Hadis, gerakannya adalah memberantas syirik dan bid’ah yang saat ini sedang berkembang di Indonesia. Sebagaimana dakwah yang dilakukan Muhammad bin Abdul Wahhab, ada sebagian masyarakat yang menerima akan tetapi tidak sedikit pula yang menolak.


(1)

74

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pada pembahasan mengenai Muhammad Faqih Maskumambang dan sikapnya terhadap pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab yang telah dibahas dari bab pertama hingga bab keempat, maka pada bab ini dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Muhammad Faqih Maskumambang adalah anak ke 4 dari pasangan Abdul

Jabbar dan Nyai Nursimah. Beliau lahir sekitar tahun 1857 M di desa Sembungan Kidul, Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Beliau menjadi penerus dan pengurus Pondok Pesantren Maskumambang pada tahun 1907-1937 M. Beliau pernah menjadi ketua I dan merangkap jabatan sebagai Dewan Penasehat Taswirul Afkar bersama Hasyim

Asy’ari dari Jombang dan pernah ikut serta dalam pendirian organisasi

Nahdlatul Ulama (NU) sebagai utusan dari Sidayu Gresik bersama dengan Abdul Hamid.

2. Muhammad bin Abdul Wahhab adalah salah satu tokoh pembaharu dalam

dunia Islam. Beliau lahir di negeri al-‘Uyainah, Nejed, pada tahun 1703 M. Beliau terkenal dengan semboyannya yaitu ‘kembali ke ajaran pokok Alquran dan Assunnah’. Latar belakang pemikiran beliau adalah


(2)

75

keresahan melihat gejala-gejala keagamaan yang banyak terjadi di masyarakat. Pada tahun 1793 M, beliau wafat diusia 92 tahun.

3. Sikap Muhammad Faqih Maskumambang terhadap pemikiran Muhammad

bin Abdul Wahhab pada awalnya adalah menolaknya dengan keras. Sikap penolakan Muhammad Faqih Maskumambang ditunjukan dengan menerbitkan kitab Al-Nuṣūṣ al-Islamiyah fī al-Arad ‘ala Madhahib al

-Wahābiyah dan keikutsertaan beliau dalam organisasi NU. Akan tetapi beberapa tahun sebelum beliau wafat, sikap beliau terhadap pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab mengalami perubahan. Hal ini dikarenakan anak beliau yang bernama Ammar Faqih memberikan sebuah buku karangannya yang berjudul Tufat al-Umah fī al-‘aqāʼid wa Rad al

-Mafāsid. Perubahan sikap Muhammad Faqih Maskumambang dibuktikan

dengan menunjuk Ammar Faqih sebagai penggantinya untuk meneruskan mengasuh Pondok Pesantren Maskumambang sebagai generasi ketiga.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan diatas, maka saran penulis untuk peneliti lain adalah banyak aspek keunikan dari keluarga Muhammad Faqih Maskumambang baik pemikiran maupun dinamika pesantren Maskumambang yang perlu dikaji secara lebih mendalam. Banyak ulama dan pemimpin pondok pesantren di Jawa Timur yang pernah mondok


(3)

76

di Pondok Pesantren Maskumabang. Hal ini menunjukkan kontribusi yang sangat penting dari Pondok Pesantren Maskumambang.

Penulis juga menyarankan agar penelitian pemikiran para pemimpin pondok yang memiliki andil besar dalam usaha kemerdekaan Indonesia. Banyak para ulama dan pemimpin pondok pesantren yang sebenarnya memiliki peran dalam kemerdekaan. Sehingga hal ini bisa dijadikan referensi dalam sejarah Nasional Indonesia.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Abdurrahman, Dudung. Metodologi Penelitian Sejarah. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999.

Al-Fauzan, Shalih bin Fauzan. Kitab Tauhid, Jakarta: Ummul Qura, 2013.

Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. Ulasan Tuntas tentang 3 Prinsip Pokok. Jakarta: Darul Haq, 2014.

Arifin, Syamsul. Pesantren Sebagai Saluran Mobilitas Sosial Suatu Pengantar

Penelitian. Universitas Muhammadiyah Malang, 2010.

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Bina Aksara, 1989.

Asmuni, M. Yusran. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan

dalam Dunia Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.

At-Tamimi, Muhammad. Kitab Tauhid. Jakarta: Darul Haq, 2013.

Dahlan, Ahmad bin Zaini. Menolak Mazhab Wahabi; Ulasan Kritis Kesalahan

dan Penyelewengan Aliran Wahabi, Jakarta: Turos Khazanah Pustaka

Islam, 2015.

Faqih, Muhammad. Menolak Wahabi. Depok: Sahila, 2015.

Kartodirjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992.

Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Benteng Bidaya, 1995.

Lombard, Dennis. Nusa Jawa Silang Budaya, Jilid 2. Jakarta: LP3ES, 2000. Notosusanto, Nugroho. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Jakarta:

Yayasan Idayu, 1978.

Nuruddin. KH Ammar Faqih Maskumambang Sang Pencerah dari Kota Santri. Yogyakarta: Ghaneswara, 2015.

Mansur Suryanegara, Ahmad. Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di


(5)

Nuruddin. KH. Ammar Faqih Maskumambang Sang Pencerah dari Kota Santri. Yogyakarta: Ghaneswara, 2015.

Ruray, Sofyan Chalid bin Idham. Salafi Antara Tuduhan dan Kenyataan. Bandung: Toobagus Publishing, 2012.

Sairin, Weinata. Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.

Suparta, Mundzier. Perubahan Orientasi Pondok Pesantren Salafiyah Terhadap

Perilaku Keagamaan Masyarakat. Jakarta: Asta Buana Sejahtera, 2009.

Suryabrata, Sumadi. Metodologi Penelitian. Jakarta: CV Rajawali, 1983.

Waskito, AM. Bersikap Adil Kepada Wahabi. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012. Widodo, Dukut Imam dkk. Grissee Tempo Doeloe. Gresik: Pemerintah Kabupaten

Gresik, 2004.

Zainu, Muhammad bin Jamil. Ada Apa dengan Wahabi. Jakarta: Pustaka at-Tazkia, 2011.

---. Jalan Golongan yang Selamat. Jakarta: Darul Haq, 2014.

Zulaicha, Lilik. Metodologi Sejarah I. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2005.

2. Wawancara

Marzuki Ammar, Wawancara, Pondok Maskumambang Gresik, 21 Mei 2016.

Marzuki Ammar, Wawancara, Pondok Maskumambang Gresik, 31 Mei 2016.

Abdul Aziz Masyhuri, Wawancara, Pondok Al-Aziziyah Jombang, 7 Juni 2016. Abdur Rahman, Wawancara, Dukun-Gresik, 21 Mei 2016.

3. Skripsi dan Tesis

Hasanah, Saadatul. Dinamika Pengembangan Pondok Pesantren Maskumambang

Tahun 1937-1977 M (Studi Pembaharuan dalam Bidang Aqidah Oleh

KH. Ammar Faqih dan KH. Nadjih Ahjad. UIN Sunan Ampel Fakultas

Adab dan Humaniora, Surabaya. 2016.

Salimin. Pengaruh Unsur-Unsur Wahabi di Pondok Pesantren Karangasem


(6)

Wulandari, Arina. K.H Wahhab Hasbullah: Pemikiran dan Peranannya dalam

Taswirul Afkar (1914-1926). Skripsi, UIN Sunan Ampel Fakultas Adab

dan Humaniora, Surabaya. 2016.

Z. Fanani, A. Ajaran-ajaran Wahabiyah dalam Pemikiran Ammar Faqih

al-Maskumambangi.Tesis, IAIN Sunan Ampel Fakultas Adab, Surabaya.

1996.

4. Internet

Hartono Ahmad Jaiz. “Apa Sebenarnya Tujuan Didirikannya NU?”, dalam

http://rofiqshare.blogspot.co.id./2010/05/apa-sebenarnya-tujuan-didirikannya-nu.html?m=1. 13 Juni 2016.

Pejuang Ahlussunnah, “Biografi Lengkap asy-Syaikh Muhammad bin Abdul

Wahhab (dari Lahir - Wafat)”, dalam

http://www.elhooda.net/2013/10/biografi-lengkap-asy-syaikh-muhammad-bin-abdul-wahhab-dari-lahir-wafat/. 5 Juni 2016.

PP Al-Irsyad, “Tentang Al-Irsyad”, dalam http://alirsyad.net/tentang-al-irsyad/. 11 Juli 2016.

Zafirint, “Tentang Pemikiran Muhammad bin Abd Al-Wahhab”, dalam

https://zafirint.wordpress.com/tentang-pemikiran-muhammad-bin-abd-al-wahhab/. 27 Mei 2016.